MEMOAR PROVINSI Short and Flash Fiction
ICHSAN MIKAIL
INDIE BOOK CORNER
Memoar Provinsi Copyright © 2016 by ichsan mikail Penyunting: Nulisbuku.com Desain Sampul: M. Abdurrohman Tata Letak: Mikailearns.com Penerbit: Indie Book Corner Jl. Wahid Hasyim No. 3 Gorongan, Caturtunggal, Depok Sleman, Jogja www.bukuindie.com
[email protected] Dicetak melalui: www.nulisbuku.com Cetakan Pertama: 2016 13 x 20 cm. 217 hlm. ISBN: 978-602-3091-51-5
Daftar Isi
Garis Depan ~ 9 Lari ~ 19 Gugur ~ 33 Puitis ~ 41 Sayyid ~ 53 Gila ~ 61 Sepupu ~ 67 Anak-Anak di Persimpangan ~ 81 Feri di Bulan Mei ~ 89 Langgeng ~ 95 Dari Pesantren ~ 103 Bunga Bank ~ 109 Fotografi Pekan Raya ~ 117 Pemanjat ~ 127 Memoar Provinsi ~ 133 Cacat ~ 141 Anak Perempuan ~ 149 Mudik Bukan di Hari Raya ~ 155 Jong ~ 163 Klaim & Versi ~ 173 Sayang Senin ~ 185 Pacar ~ 191 Perjodohan ~ 199 Spion ~ 207
Untuk orang-orang yang berkata atau tak terkatakan, “Kapan kau berhasil?” Mereka yang menunggu dan melupakan, baik berhasil maupun tidak
1
GARIS DEPAN
AKU akan mengungkapkan padamu bagaimana rasanya berada di garis depan. Itu yang kulakukan selama ini. Ketika kau ditempatkan di garis depan, kau punya kepastian yang hampir pasti. Kau di ujung tanduk. Jantung dan pikiranmu merasakan itu-itu saja. Daging dan tulangmu keras
karenanya.
Debu-debu
kau
biarkan.
Mudah
diperkirakan nasibmu dan terbiasa dengan itu. Sampai kau tidak merasakan apapun karena kau punya rencana, tujuan gamblang tepat di depanmu. Menoleh ke belakang serasa tabu. Betapa indah masa kanak-kanak. Aku berangan-angan, jika berhasil melewati semua ini, aku akan sempat mendekati kerumunan anakanak. Meraba wajah mereka berbisik, “Bermainlah terus, jangan ingin cepat dewasa!” Perang belum berakhir. Salah seorang petinggi di sana memanggilku. Mungkin dia benar, aku tak mirip tentara.
2
Kau tanyakan apakah aku bisa membunuh? Semua orang punya potensi untuk membunuh jika kau suka teori. Seiring waktu, kau tahu yang sebenarnya. Perkara yang mengancam diri dan keluargamu. Kontra spionase tanpa kompromi. Kau menganggapku khianat karena memulai hubungan ini dengan rahasia. Sudah kodratku untuk mengejarmu sampai dapat. Kamu juga ‘kan yang tebar pesona sewaktu pertama kita bertemu. Jadi, ini kisah cinta yang alami, bukan? Dan aku telah mengambil keputusan, satu dari dua pilihan. Apa dugaanmu benar? Aku tak bisa meninggalkan rancangan yang telah kukerjakan sejak awal berada di negara ini. Ini bukan mitos. Semua pria akan pergi (berperang). Aku
tinggal
di sini, wilayah
lawan,
kampung
halamanmu. Jauh dari perbatasan. Jelas perbedaannya, namun tak pasti nasibku. Ini bisa lokasi yang paling aman, sekaligus yang paling mencekam. Suasana hatiku berubahubah.
Situasi
dapat
berbalik
cepat.
Sungguh
lebih
menegangkan dari front-front pertempuran di mana kau dapat langsung mengenali musuhmu dan tahu yang harus dilakukan. Periode gencatan senjata akan berakhir bulan depan. Keadaan bakal semakin krusial. Aku memerlukanmu guna 3
mengalihkan kecemasan dari segala ketegangan ini dan akan kuluangkan waktuku lebih banyak denganmu. Aku akan sering
berkunjung.
Kita
masih
bisa
melakukannya.
Perpisahan tidak harus dilalui dengan sengketa dan pertengkaran. Kita akan melaluinya. Kuharap kau tidak naif. Tak pernah ada perdamaian abadi, yang ada hanya perjanjian damai yang diperpanjang. Aku akan kembali ke garis depan. ~ Aku kadang memikirkan malam terakhirku mengingat pekerjaan ini. Apakah ada pertanda khusus tentang itu? Kegelapan masih sama. Kutinggalkan mobil yang sudah jauh dari sebuah bengkel, kurang lebih satu kilometer. Kugedor pemiliknya, agak memaksa. Hujan menyerupai badai malam ini, tapi aku sudah janji. Aku terus berlari dan berhenti di sela-selanya. M adalah kota Ruko. Setiap blok, kusisir satu persatu agar terkena sedikit-sedikit. Sesampai di depan sebuah bangunan besar, aku basah kuyup. Ini bukan mimpi, mirip malam pertamaku saat tiba di apartemenmu. “Mikail! Masuklah!” nada terkejut istri Tuan Induks. “Terima kasih.” “Apa kau baik-baik saja?” 4
“Ya, Nyonya Induks, saya tidak ingin merepotkan.” “Tentu tidak.” Kurapikan diri. Kutinggalkan sepatu dan kaus kaki basah di beranda. “Ngomong-ngomong di mana Anda bekerja?” tanya dia lagi. Sudah lama kuhindari pertanyaan itu. Aku tidak menganggap perempuan tua ini bodoh. “Aku bekerja di konsulat dagang negara tetangga di utara kota.” “Begitu. Apa persisnya yang Anda kerjakan?” “Mm....” Dia pusat informasi di lingkungan sini. Kusebut saja penghantar gosip. “Baiklah, dia mungkin sudah menunggumu.” “Saya permisi, Nyonya.” Ruang lobi sebetulnya jarang sepi. Baru kali ini kakiku merasakan karpet-karpet lusuh di sini yang sudah berumur dan terawat. Berikutnya naik ke lantai teratas. Terdapat notice untuk tidak beraktivitas di sepanjang tangga. Menjadi ritualku melakukan segala sesuatu di rangkaiannya sebelum menemui belahan jiwa, sebelum dia tahu pekerjaaanku yang sebenarnya. Aku selalu berusaha tampak sewajar mungkin. 5
Pembersih mata, dasi, wajahku yang kusut kukencangkan, dan satu sesi pernapasan dalam. Hari-hariku yang berbahaya. Aku tak ingin dia bertanya-tanya khawatir karena inderanya yang tajam, tidak boleh terbawa suasana. Aku suka matanya. “Hai!” sapaku. Wajahnya tidak semeriah biasa. Ketahuan selama ini banyak berbohong. Aku masuk, menutup pintu, lalu duduk. Kenapa mesti kaku? Dia masih istriku. Menikah tapi tidak tinggal
bersama.
Aku
agak
malu
memang
telah
meremehkannya. Kulihat ke arah jendela. Hujan mengetuk-ngetuk kaca nya. Terngiang awal mula pernikahan, saat aku pulang dari suatu hari yang seru, dan kukisahkan sepak terjangku. Aku berbicara berbusa-busa. Dia tampak mendengarkan dengan seksama seolah kami saling memahami. Waktu itu aku masih mempelajari bahasa isyarat. …..
6