Laporan Khusus
Kisah Warga Eks Timor Timur:
Memilih Indonesia Lalu Diabaikan Raja Eben Lumbanrau & Anggi Kusumadewi, CNN Indonesia Rabu, 17/08/2016 09:15 WIB http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817091559-20-151908/kisah-warga-eks-timor-timur-memilih-indonesia-lalu-diabaikan/
Mama Rosalinda Dosreis sudah 14 tahun tinggal di permukiman warga eks Timor Timur di Desa Bauho, Atambua, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Belu, CNN Indonesia -- Terik mentari menusuk kulit siang itu di Bandara AA Tere Balo, Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Puluhan orang turun dari pesawat berkapasitas 72 penumpang. Mereka disambut belasan orang yang menawarkan jasa transportasi di pintu keluar-masuk bandara. Begitu keluar bandara, mata langsung disuguhi panorama tak sedap dipandang. Permukiman warga tersusun berantakan dan berjauhan. Rumah-rumah itu mayoritas dihuni warga eks Timor Timur (kini Timor Leste). Mereka mengungsi karena huru-hara di kampung halaman mereka pada periode 1975 sampai 1999. Pada 1999, saat referendum digelar di Timor Timur, mereka memilih bergabung dengan Indonesia. Dalam referendum yang digelar 13 hari usai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, 30 Agustus 1999, sebanyak 94.388 orang atau 21,5 persen penduduk Timor Timur memilih tetap bergabung dengan Indonesia, sedangkan mayoritas 344.580 orang atau 78,5 persen warga Timor Timur memilih merdeka.
1
Provinsi ke-27 Indonesia itu akhirnya lepas dari Indonesia dan memperoleh status resminya sebagai negara pada 20 Mei 2002. Mereka yang memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia lantas berbondong-bondong mengungsi, menyeberang ke Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar pengungsi, 70.453 orang, menurut data Sekretariat Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi Provinsi NTT tahun 2005, tinggal di Kabupaten Belu. Disusul 11.176 orang di Timor Tengah Utara, dan 11.360 orang di Kupang. Total pengungsi tercatat berjumlah 104.436 orang. Di Belu sendiri, berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik Kabupaten Belu pada 2012, terdapat 53.500 orang penduduk miskin. Di sana, infrastruktur pun seadanya. Jalan raya mulus selepas bandara misal hanya sampai dua kilometer. Setelah itu, jalanan yang menanjak ke bukit belakang bandara mulai berbatu. Aspal terkelupas oleh batu-batu yang mencuat ke permukaan. Bukit di belakang bandara tersebut, mencakup antara lain Desa Kabuna, menjadi tempat penampungan eks warga Timor Timur. Meski Belu –nama kabupaten di wilayah itu– bermakna ‘persahabatan’, namun kehidupan di sana kerap tak bersahabat. Miskin Agustina Mutubere. Dia perempuan suku Kemak yang berasal dari Kota Maliana, Timor Leste. Salah satu pengungsi di Atambua. Rumah Agustina menghadap langsung ke Bandara AA Tere Balo. Di rumah itu, dia tinggal bersama empat anaknya, sedangkan empat anaknya yang lain pergi ke daerah lain untuk mencari penghidupan lebih layak.
2
Agustina Mutubere bersama seorang putrinya. Kehidupan masyarakat Indonesia di daerah perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste, jauh dari sejahtera. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau)
“Kami pergi meninggalkan kampung halaman saat pergolakan tahun 1975. Suami saya buta, meninggal setengah tahun lalu. Untuk hidup sehari-hari, kami berharap dari kiriman anak yang bekerja di luar kota,” kata Agustina saat CNNIndonesia.com bertamu ke rumahnya, Selasa (2/8). Dari kiriman uang anaknya pula, Agustina membangun rumah berdinding batang dan beratap daun dari pohon gewang, sejenis pohon palem yang banyak ditemukan di Nusa Tenggara Timur. Rumah Agustina amat sederhana, dengan satu kamar tidur saja. Tak ada kamar mandi di rumah itu. Terik matahari pun menerobos rumah, masuk di antara dinding batang dan atap daun. Untuk mengurangi sengatan sinarnya, spanduk iklan kopi dipakai untuk menutupi sebagian dinding rumah. Di atas tikar yang digelar menutupi tanah yang menjadi alas rumah itu, putra Agustina, Adrianus Lelosoro, tidur lelap. Pelajar SMP itu baru pulang sekolah.
Putra Agustina, Adrianus Lelosoro, terlelap di atas tikar yang menutupi tanah, alas rumah mereka di kamp
3
pengungsian Atambua, Nusa Tenggara Timur. (CNNIndonesia/Raja Eben Lumbanrau)
Kontras dengan limpahan cahaya pada siang hari, rumah itu gelap jika malam datang. Listrik belum masuk daerah itu. Penerangan petang hari hanya mengandalkan satu lampu minyak tanah. Salah satu putra Agustina, Oktavianus Talo, juara maraton 10 kilometer Likurai Perbatasan tahun 2014 dan 2015, mengalahkan 199 lebih peserta yang berasal dari masyarakat umum dan tentara. Perlombaan itu merupakan rangkaian kegiatan Festival Timoresia yang digelar Kementerian Pariwisata. Bagi Okta, menjuarai lomba maraton mungkin biasa saja. Namun dengan mata kirinya yang buta, itu cukup luar biasa. Mata kiri Okta tak lagi berfungsi sejak digigit ular hijau sewaktu ia kecil. Hingga kini pemuda 17 tahun itu ingin terus berlari. “Saya ingin jadi atlet lari maraton, tapi pemerintah tidak pernah membantu saya.” Sang ibunda, Agustina, mengatakan tak pernah menerima bantuan pemerintah, sampai sekarang. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (dulu Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat), melalui situs Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat (LAPOR!) yang dikelola Kantor Staf Presiden, pada Mei 2014 mengatakan memiliki program pemberian bantuan pembangunan rumah bagi warga eks Timor Timur dan masyarakat Nusa Tenggara Timur yang kurang mampu. April 2016, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan pemerintah bertanggung jawab penuh atas pemberian kompensasi bagi rakyat Indonesia eks warga Timor Timor. Ucapannya itu terkait rencana pemerintah memberikan dana kompensasi Rp10 juta per kepala keluarga untuk warga Indonesia eks Timor Timur yang berada di luar Nusa Tenggara Timur. Soal itu diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 25 Tahun 2016 tentang Pemberian Kompensasi kepada Warga Negara Indonesia Bekas Warga Provinsi Timor Timur yang Berdomisili di Luar Provinsi Nusa Tenggara Timur. Perpres itu diteken 30 Maret oleh Presiden Joko Widodo.
4
Lihat: Menyapa Batas Negeri di Hari Merdeka
Tuntut perhatian Gemericik air terdengar dari sumur umum di seberang rumah Agustina. Tiga remaja perempuan sedang mencuci baju dan menimba air. Bella, 13 tahun, membawa jeriken berisi air di atas kepalanya, sementara kedua tangannya masing-masing menjinjing jeriken pula. Kedua kawannya melakukan hal serupa. Sudah jadi kewajiban mereka untuk menimba air guna keperluan sehari-hari, sepulang sekolah. Maka sumur itu sangat berharga bagi warga setempat.
Seorang anak warga eks Timor Timur memanggul jeriken berisi air bersih yang diambil dari mata air tak jauh dari permukiman Dusun Sakaloon, Testifeto Timur, Atambua, NTT. Air sangat berharga di sini. Mereka harus berjalan lima kilometer menyusuri bukit dan semak untuk mendapatkan air bersih. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Tetangga Agustina, Jose Filomena asal Distrik Natarbora, Timor Leste, mengatakan kehidupan di Atambua sesungguhnya lebih baik ketimbang di daerah asalnya. Jose mengungsi ke Atambua bersama pamannya, seorang pegawai negeri sipil, pada 1999. Saat itu ia berumur 14 tahun, dan tak sempat menamatkan pendidikannya di satu SMP di Timor Timur. Sial baginya, sebab dia juga tak bisa melanjutkan sekolah di Atambua karena prosedur pindah sekolah yang rumit, ditambah ketiadaan biaya. Jose akhirnya bekerja sebagai tukang ojek, dengan penghasilan maksimal sehari Rp150 ribu. 5
Ia sempat pulang kampung tahun 2009 lewat jalur ilegal di selatan Pulau Timor. Namun setelah setahun satu bulan di Natarbora, ia memutuskan kembali ke Atambua. “Saya tidak menyesal pindah ke Indonesia karena kondisinya lebih baik. Tapi saya kecewa kenapa saya tidak diperhatikan pemerintah,” kata Jose. Tak jauh dari situ, dua perempuan eks warga Timor Timur tampak memunguti botol plastik bekas dari tumpukan sampah di pinggir jalan. Botol-botol itu mereka masukkan ke kantong plastik hitam berukuran besar, untuk nantinya dijual Rp3 ribu per kilogram. Ketiadaan lapangan kerja layak membuat mereka terpaksa menjadi pemulung. Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, dan 17 tahun Timor Timur dilepaskan. Derita mereka yang berada di tepian tak jua berakhir. Saatnya Jakarta merealisasikan niatnya, meneropong sungguh-sungguh ke tapal batas. (rel/agk)
Derita Warga Nusa Tenggara di Tapal Batas:
Kami Bagai Dijajah Raja Eben Lumbanrau, CNN Indonesia Rabu, 17/08/2016 08:31 WIB http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160817045046-20-151897/derita-warga-nusa-tenggara-di-tapal-batas-kami-bagai-dijajah/
Dua warga eks Timor Timur melewati perbukitan Aitaman untuk mencari kayu bakar di Desa Manleten, Tasifeto Timur, Atambua, Nusa Tenggara Timur. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Belu, CNN Indonesia -- Angin berembus kencang, menderu, di perbukitan Laktutus, Desa Fohoeka, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Di atas salah satu bukit, rumah ibadah sedang dibangun. Para pekerja konstruksi mengenakan jaket, melawan dingin
6
udara sore. Di timur, barisan bukit lain menjulang, bernaung awan putih kapas. Wilayah itu bukan lagi Nusa Tenggara, tapi Subdistrik Fatumea di bawah pemerintahan Republik Demokratik Timor Leste. Bukit-bukit tersebut ialah saksi bisu tragedi hidup manusia. Peperangan, pembunuhan, dan eksodus menjadi catatan kelam Indonesia dan Timor Leste. Ribuan nyawa melayang. Suara tembakan dan ledakan bom bak alunan perkusi yang mengisi gendang telinga setiap hari. Saat itu pasca-referendum 1999, sanak saudara terpaksa berpisah karena perubahan politik besar di daerah itu: Timor Timur merdeka. “Kami di sini (Fohoeka) dan mereka di sana (Fatumea) masih satu darah, satu leluhur, satu bahasa, dan satu budaya. Politik dan kekerasan memisahkan kami,” kata tokoh masyarakat Laktutus, Paulinus Halek, berbincang dengan CNNIndonesia.com di muka gereja sambil ditemani segelas sopi, minuman beralkohol khas warga timur Indonesia. Menuju pos perbatasan Indonesia-Timor Leste di Fohoeka, Dusun Fatubesi terbentang di kelokan kiri jalan. Fatubesi di Nusa Tenggara Timur dan Fatumea di Timor Leste hanya berjarak satu bukit. Ironisnya, jaringan telekomunikasi di Fatubesi berasal dari Timor Leste. Warga yang ingin menelepon kawan atau kerabatnya di Indonesia harus memencet kode negara +62 (Indonesia). Sebaliknya, sahabat atau famili mereka di Indonesia yang hendak menghubungi harus menggunakan kode +670 (Timor Leste) meski Fatubesi bagian dari Indonesia.
Jaringan telekomunikasi di Fatubesi berasal dari Timor Leste, Telemor. Tak ada jaringan
7
Indonesia di sini. (CNNIndonesia/Raja Eben Lumbanrau).
“Tidak ada jaringan telekomunikasi Indonesia di sini. Yang masuk malah dari Timor Leste, yaitu Telemor. Kalau mau telepon ke nomor Indonesia, biayanya 10 menit satu Dolar Amerika. Kami seakan-akan dijajah oleh Timor Leste,” kata Kepala Dusun Fatubesi, Yosep Laumau, Rabu (3/8). Telekomunikasi bukan satu-satunya persoalan di Fatubesi yang mayoritas penduduknya petani dan gembala sapi. Infrastruktur minim membuat orang yang hendak ke dusun itu mesti melintasi jalan kecil berbatu-batu. Pendidikan sama buruknya. Tak ada Sekolah Menengah Atas di Fatubesi. Murid yang ingin melanjutkan pendidikan ke bangku SMA harus pergi ke Atambua, ibu kota Nusa Tenggara Timur, yang berjarak sekitar 60 kilometer. “Di sini hanya ada Sekolah Dasar dari kelas satu sampai tiga, dengan tiga ruangan dan tiga guru. Kelas empat sampai enam lanjut ke SD Laktutus. SMK di Laktutus yang berjarak sekitar tiga kilometer dari sini,” ujar Yosep. Lihat: Menyapa Batas Negeri di Hari Merdeka
Dua bocah eks Timor Timur menemani orang tua mereka mencari kayu bakar di Desa Mauleten, Tasifeto Timur, Atambua, Nusa Tenggara Timur, Jumat 12 Agustus 2016. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Persaudaraan pudar Kehidupan di Fohoeka bukan cuma sulit karena fasilitas publik yang tak memadai, tapi juga sebab lunturnya jalinan silaturahmi keluarga. Patok-patok perbatasan tak bernyawa
8
yang menjadi batas pemisah antara Indonesia dan Timor Leste, merenggut hangat kehidupan warga. Paulinus Halek berkata, banyak kerabatnya yang tinggal di Distrik Fatumea, Timor Leste. Dalam referendum 1999, Paulinus memilih Indonesia, sedangkan saudara-saudaranya memilih Timor Leste. Alhasil meski jarak hanya dipisahkan bukit, mereka kini jadi jarang bertemu karena aturan batas negara yang ketat. “Kami hanya bisa ke sana atau mereka ke sini jika ada acara adat seperti kelahiran, kematian, dan pernikahan. Misal ada paman di sini yang meninggal, maka keponakannya di seberang harus menghadiri pemakamannya,” ujar Paulinus. Tanpa patok-patok perbatasan, Fohoeka dan Fatumea sesungguhnya satu. Kini kedua wilayah itu bagai desa kembar, dengan jejeran rumah adat dan budaya serupa. Meski kehidupan tak berjalan mulus di tapal batas, Paulinus tak menyesal memilih Indonesia. Ia mencintai Indonesia sepenuh hati di tengah segala kekurangan dan keterbatasan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada warganya. Pun meski listrik baru mengaliri desanya tiga bulan lalu, Mei 2016. Baca Kisah Warga Eks Timor Timur: Memilih Indonesia Lalu Diabaikan
Pudarnya persaudaraan juga terjadi di titik lain perbatasan Indonesia dan Timor Leste, yakni di utara Pulau Timor antara warga Insana Utara dengan penduduk Distrik Oekusi, Timor Leste. Mereka sesungguhnya keluarga besar Suku Dawan yang memiliki ikatan darah, budaya, dan bahasa. “Hampir tidak bisa dibedakan ketika warga negara Indonesia ke sana (Oekusi) atau mereka (warga Oekusi) ke sini (Insana Utara). Pakaian adat sama, bahasa sama, budaya sama. Tapi karena politik, mereka terpisah. Relasi dan interaksi jadi sangat terbatas,” kata Romo Kanisius Oki Pr, Deken Dekenat Mena, Keuskupan Atambua, Nusa Tenggara Timur. Dekenat ialah wilayah yurisdiksi atau himpunan gerejawi dalam Gereja Katolik Roma. Dekenat dipimpin seorang deken, yakni imam yang diangkat oleh Uskup Diosesan –uskup yang bertugas di suatu wilayah keuskupan. Romo Kanisius mengatakan, banyak pertalian keluarga putus setelah Timor Timur lepas dari Indonesia, bak harga yang harus dibayar untuk sebuah kemerdekaan.
9
“Kalau ada anggota keluarga meninggal di seberang, warga yang hendak ke sana harus memiliki paspor atau surat perjalanan (pas) lintas batas, dan mengurus izinnya sulit. Akhirnya warga tidak saling berkunjung, atau memilih lewat jalan tikus. Hanya, kalau tertangkap di jalan tikus itu urusannya panjang dan harus melalui proses hukum,” ujar Romo Kanisius. Komandan Pos Perbatasan Laktutus, Sersan Satu TNI Nur Hidayat, berkata, “Lintas batas, berdasarkan kebijakan Bupati Belu, boleh dilakukan dalam kondisi tertentu seperti kematian, pernikahan, dan kunjungan keluarga. Siapa yang masuk dan keluar, kami data. Mereka meninggalkan kartu identitas.”
Komandan Pos Perbatasan Laktutus, Sertu TNI Nur Hidayat, berpatroli berkeliling 30 patok perbatasan sembari memandang perbukitan Timor Leste. (CNN Indonesia/Raja Eben Lumbanrau)
Jalur resmi menuju Timor Leste kerap memiliki rute lebih panjang dan memutar sehingga warga enggan melaluinya. Sebagian dari mereka memilih memotong jalan lewat jalur ilegal karena jarak tempuhnya lebih singkat. Pastor Paroki Gereja Hati Kudus Yesus Laktutus, Pater Yohanes Kristovorus Tara OFM, mengatakan sampai sekarang fasilitas publik di Laktutus amat terbatas. “Pemerintah minimal perhatikanlah kebutuhan substansial publik seperti jalan, air, listrik, dan telekomunikasi. Selebihnya, masyarakat bisa buat sendiri. Tapi untuk fasilitas umum yang vital, itu tugas dan kewajiban pemerintah (untuk membangun),” kata Pater Yohanes. Hal lain yang perlu mendapat perhatian ialah status hukum tanah warga di Laktutus yang
10
belum jelas lantaran merupakan bagian dari kawasan hutan lindung. Ketidakjelasan status tanah itu berpotensi memicu konflik di kemudian hari jika diklaim oleh Timor Leste. Dengan situasi seperti ini, ujar Pater Yohanes, penduduk daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste di Pulau Timor sesungguhnya belum merasakan kemerdekaan. (rel/agk)
11