Edisi 42 - Agustus 2007
Memerdekakan Kedaulatan Ekonomi
Penanggung Jawab: Henry Saragih Pemimpin Umum: Zaenal Arifin Fuad Pemimpin Redaksi: Achmad Ya’kub; Dewan Redaksi: Ali Fahmi, Agus Rully, Tejo Pramono, M Haris Putra, Indra Lubis, Irma Yani; Redaktur Pelaksana: Cecep Risnandar Redaktur: Muhammad Ikhwan, Tita Riana Zen, Wilda Tarigan, Syahroni; Reporter: Elisha Kartini Samon, Susan Lusiana (Jakarta), Tyas Budi Utami (Jambi), Harry Mubarak (Jawa Barat), Muhammad Husin (Sumatera Selatan), Marselinus Moa (NTT). Sekertaris Redaksi: Tita Riana Zen Keuangan: Sriwahyuni Sirkulasi: Supriyanto, Gunawan; Penerbit: Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) Alamat Redaksi: Jl. Mampang Prapatan XIV No.5 Jakarta Selatan 12790. Telp: +62 21 7991890 Fax: +62 21 7993426 Email:
[email protected] website: www.fspi.or.id
Redaksi menerima tulisan, artikel, opini yang berhubungan dengan perjuangan agraria dan pertanian dalam arti luas yang sesuai dengan visi misi Pembaruan Tani. Bila tulisan dimuat akan ada pemberitahuan dari redaksi.
DAFTAR ISI Kemerdekaan kita yang semakin terjajah
4
Persoalan kaum tani
6
Konferensi Internasional Hak Asasi Manusia dan Agrofuel
8-9
Perusahaan perkebunan serobot hak rakyat
10
Padi Salek, Padi kami
12
UTAMA
Pembaruan Tani - Agustus 2007
3
MEMERDEKAKAN KEDAULATAN EKONOMI
Pengelolaan Anggaran Negara dalam Kerangka Ekonomi Merdeka Enam puluh dua tahun kemerdekaan Indonesia tidak serta merta membawa kemerdekaan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Sektor ekonomi Indonesia sebagai basis struktur kehidupan bangsa nyata-nyata tidak bisa memberikan keadilan bagi rakyat negeri ini. Alihalih memberikan kesejahteraan, hingga kini kehidupan ekonomi negeri masih tergadaikan kepada kekuasaan bangsa lain sebagai manifestasi dari sistem kolonialisme yang terbarukan dengan istilah nekolim (Neo-kolonialimperialism). Celakanya sistem pembangunan ahistoris yang dilakukan oleh pemerintah justru malah melanggengkan kepincangan struktur ekonomi peninggalan pemerintah kolonial. Roda pembangunan negeri diproyeksikan dalam anggaran negara yang disusun setiap tahun oleh pemerintah. Anggaran ini berfungsi sebagai instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka pembangunan yang sejatinya memberikan kesejahteraan bagi segenap rakyat Indonesia. Permasalahan muncul tatkala struktur dari anggaran ini justru tidak memperhatikan prinsipprinsip kedaulatan ekonomi yang
berpihak kepada rakyat. Saat ini struktur pendapatan negara masih bertumpu pada penerimaan pajak dalam negeri. Pada tahun 2007, 68.39 per sen pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak dalam negeri, proporsi ini meningkat dari tahun 2006 yang menunjukan dukungan pajak dalam negeri terhadap total pendapatan hanya sebesar 62.24 per sen saja. Namun demikian, 50 persen dari penerimaan pajak ini ternyata digunakan untuk pembayaran cicilan utang luar negeri. Dalam anggaran tahun 2007, pembayaran bunga utang mencapai 85.1 trilyun, nilai ini 5 kali lipat anggaran kesehatan, 1.5 kali dari anggaran pendidikan, 27 kali anggaran perlindungan sosial dan 8 kali anggaran pertanian, kehutanan perikanan dan kelautan. Sementara itu, hingga saat ini sumber-sumber pendapatan negara lainnya masih belum dioptimalkan, terbukti dengan masih tinggunya kepemilikan bangsa asing terhadapa sumber-sumebr kekayaan alam negeri ini. Hal lain yang perlu disoroti dalam masalah pengelolaan anggran ini yakni adanya ketimpangan dalam sistem penganggaran anatar ibu kota negara dengan daerah-daerah
lainnya di Nusantara. 80 per sen uang hanya beredar di Jakarta, dan objek Pajak Bumi dan Bangunan 65 persen diantaranya terdapat di Jakarta, 25 per sen di Pulau Jawa, baru sisanya sebesar 10 persen dibagi diantara pulau-pulau lain. Dalam catatan sejarah, kepemimpinan pendiri bangsa ini telah menunjukkan pada dunia bahwa sebenarnya pemikiran Indonesia dan bangsa-bangsa Asia Afrika lainnya patut dijadikan rujukan dalam konteks sistem perekonomian negara. Sistem perekonomian itu dikenal dengan istilah sistem perekonomian ala Konferensi Asia Afrika Bandung yang menjadi sistem perekonomian alternatif antara ekonomi globalisasi dan ekonomi sosialis. Dalam perkembangannya, sistem perekonomian ini dimanifestasikan dalam sistem perekonomian kerakyatan yang menjunjung tinggi kedaulatan ekonomi untuk kedaulatan rakyat. Kedaulatan ekonomi ini diejawantahkan dengan menjalankan prinsip-prinsip ekonomi yang lahir pada 1945, yaitu ekonomi usaha bersama, negara menguasai semua hajat hidup orang banyak dan penguasaan negara tersebut adalah demi kepentingan orang banyak. Sistem ini telah meletakan rakyat sebagai tujuan utama dari proses ekonomi dan pembangunan bangsa. Namun sayangnya, dalam perjalanannya sistem perekonomian ini berbuah nama saja, dalam implementasinya, kolonialisme semakin menancapkan kekuatannya untuk semakin meminggirkan bahkan melemparkan dan membuang rakyat dari sistem perekonomian yang menjamin penghidupan yang layak. Rakyat Indonesiasecara tidak sadar--masih terjajah secara ekonomi, dan hingga saat ini rakyat belum mengecap manisnya ekonomi merdeka. Susan Lusiana
4
UTAMA
Pembaruan Tani - Agustus 2007
Kemerdekaan kita yang
DUA hari setelah perayaan kemerdekan 17 Agustus, sang Dwi Warna masih berkibar di banyak tempat. Atmosfir peringatan masih terasa. Di tiap pojok gang dan ujung jalan, banyak orang masih membicarakan pesta rakyat yang baru saja usai. Di ibukota, Indonesia kedatangan tamu penting. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, datang berkunjung. Abe datang untuk menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi (economic partnership agreements/ EPA) RI-Jepang. Pertanyaannya, apakah kedatangan Shinzo Abe dan juga EPA, ikut menambah darah segar bagi Indonesia untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya: rakyat yang makmur dan sejahtera? Dalam sejarah perjanjian perdagangan dunia, model kesepakatan ala EPA sebenarnya muncul belakangan. Sebelum EPA, telah ada perjanjian perdagangan bebas bilateral ataupun kawasan (bilateral/regional FTA). Kemunculan EPA maupun FTA adalah akibat dari molor atau tertunda-tundanya target penyelesaian perjanjian perdagangan
bebas multilateral dalam WTO. Dalam pertemuan tingkat menteri di Hong Kong 2005, memang telah dirancang agar proses panjang negosiasi perdagangan bisa 'dibungkus' untuk ditandatangani. Tetapi apa lacur, kesepakatan bulat tidak bisa dicapai. Kesepakatan yang masih 'lonjong' atau masih menunggu proses penyelesaian lebih lanjut pun dipaksa menjadi kesepakatan. Maklum, pengalaman kegagalan pertemuan sebelumnya seperti di Seattle, AS, dan Cancun, Meksiko, terus menghantui. Terlebih demonstrasi ribuan petani di bawah payung perjuangan petani dunia La Via Campesina saat itu, benar-benar terasa mendelegitimasi WTO. Pada Juli 2006, tepat di markas WTO di Jenewa, Swis, mini ministerial meeting (G4) WTO, akhirnya memang gagal mencapai kesepakatan. Pascal Lamy sebagai petinggi nomor satu WTO, menyatakan, pembekuan negosiasi hingga tanpa batas. Hampir satu tahun berlalu, sampai pertemuan kembali G4 di Jerman, negosiasi kembali kembai menemui jalan buntu.
Negara-negara maju, tentunya atas desakan beberapa perusahaan transnasional di belakangnya, menjadikan EPA dan FTA jalan keluar dari kebuntuan negosiasi WTO. Berdasarkan data rekam-jejak, perjanjian EPA dan FTA selalu berlangsung di antara negara maju dengan negara berkembang yang tidak setara situasi ekonominya. Misalnya, proposal EPA antara Uni Eropa dengan negara-negara Afrika dan Karibia. Begitu pula FTA antara Thailand dengan Amerika Serikat (AS), Korsel dengan AS, termasuk usulan FTA antara Uni Eropa dengan ASEAN. Ketidaksetaraan ini menunjukkan bahwa perdagangan bebas, baik dalam kerangka EPA, FTA, dan WTO, adalah bagian dari proyek dominasi ekonomi. Melalui proyek ini, rezim ketergantungan inti-satelit (nucleusperiphery dependency) terus berlangsung dan makin sempurna. Dalam kasus hubungan ekonomi Jepang-Indonesia, 'Saudara Tua' itu telah lama menjadi pemberi utang luar negeri terbesar Indonesia, baik secara langsung maupun melalui mekanisme perantara seperti Bank Pembangunan Asia (ADB). Paketpaket utang tersebut, disertai dengan sejumlah kebijakan pembangunan yang mendikte dan menjadikan pembangunan Indonesia bias pada kepentingan perusahaan besar ketimbang rakyat kecil. Setelah EPA ditandatangani, negosiasi seperti dalam proses utang tak lagi alot. Sejumlah hambatan perdagangan telah disepakati untuk dihapus. Di pihak Indonesia, pemerintah menyepakati untuk menghapus 93 persen dari 11.163 pos tarif yang ada selama ini. Bahkan, 58 persen di antaranya harus dilaksanakan setelah perjanjian diteken. Celakanya, walaupun namanya kerja sama ekonomi (economic partnership), isinya tak lain adalah liberalisasi perdagangan dan investasi. Banyak pihak menilai EPA Indonesia-Jepang akan membawa
UTAMA 5
Pembaruan Tani - Agustus 2007
semakin terjajah banyak manfaat. Pandangan ini didasarkan pada fakta, sejauh ini perdagangan kita surplus sebesar US$10 miliar. Secara agregat, data ini tidak keliru. Tetapi, kita belum menghitung berapa devisa bersih yang diperoleh. Harus diingat, perdagangan kita dengan Jepang didominasi oleh ekspor barang mentah seperti minyak dan gas. Ada perdagangan dari sektor lainnya tapi, tidak mencerminkan kapasitas perekonomian nasional, karena bukan diproduksi oleh ekonomi rakyat, melainkan oleh perusahaan besar. Bahkan, oleh perusahaan asal Jepang sendiri. Di sektor pertanian kedua negara, dengan ditandatanganinya EPA, muncul persoalan lain yang tak kalah seriusnya. Di Jepang, sejak zaman PM Junichiro Koizumi, sektor pertaniannya lumpuh dikalahkan oleh kebijakan industrialisasi. Walaupun negara sakura itu memiliki teknologi tapi, perdagangan bebas membuat
teknologi tidak berdaya. Terlebih bagi pertanian keluarga. Tidak berdaulat Dalam pertemuan petani kecil dunia La Via Campesina di Roma, Yoshitaka Mashima sebagai salah satu pemimpin gerakan petani keluarga Nouminren, menyatakan, produksi dalam negeri hanya bisa mencukupi satu kali makan dalam sehari. Dua kali makan lainnya dalam sehari adalah pangan impor. "Memang negeri kami memproduksi Toyota, Mitshubishi maupun produk elektronik lainnya tetapi, dalam hal pangan kami tidak berdaulat," tegas Mashima. Puluhan juta petani kecil Indonesia pun bernasib sama petani keluarga di Jepang. Merekalah yang paling dirugikan oleh kesepakatan EPA ini. Pasalnya, devisa ekspor pertanian bukan dinikmati oleh buruh tani, petani kecil dan nelayan kecil tapi, perusahaan agribisnis. Justru, dengan kian meningkatnya ekspor pertanian RI, kehidupan
petani makin terancam. Lahanlahan pertanian mereka, satu per satu jatuh ke tangan perusahaan tersebut. Bagi jutaan rakyat biasa di kedua negara, cara yang paling mungkin dilakukan adalah bersama-sama mendelegitimasi kesepakatan EPA tersebut. Perjanjian itu adalah manifestasi dari kebutuhan perusahaanperusahan agribisnis. EPA bukanlah keinginan rakyat di kedua negara. Itu sebabnya, pemerintah Indonesia maupun Jepang, tidak memiliki legitimasi untuk menandatanganinya. Memang, kolonialisme dan neokolonialisme tidak berbeda. Keduanya bertentangan dengan jiwa proklamasi kemerdekaan Republik ini.*** Tulisan ini dimuat juga di Indoprogress Tejo Pramono
6
PENDAPAT
Pembaruan Tani - Agustus 2007
Persoalan kaum tani NGABIDIN Koord. Lembaga dan Jaringan Kerjasama SEPKUBA
Petani adalah kekuatan pokok dan sebagai tulang punggung sebuah Negara, khususnya disuatu negara agraris seperti di Indosia. Dimana petaninya dihancurkan, sehingga tidak ada harapan dapat tercapai cita cita sebagai negara yang adil dan makmur. Tetapi anehnya mengapa di negara ini masyarakat petani dianggap bodoh dan lemah serta mendapatkan perlakuan sebagai budak ditanahnya sendiri. Semua tokoh, pemuka yang dipilih menjadi wakil warga masyarakat selalu melupakan dirinya sebagai posisinya sebagai wakil rakyat yang mayoritas petani. Tugas dan tanggung jawab mereka hampir tidak pernah menyentuh kebutuhan serta keinginan kaum petani. Dimana Petani yang telah memberikan hak suaranya telah dijadikan korban untuk sebuah kekuasaan. Fenomena terhentinya sebuah akses terhadap system produksi dan pasar yang dahulunya dimiliki masyarakat petani (rakyat), dapat dilihat dengan jelas di semua sector birokrasi pemerintahan. Nasib petani seolah ditentukan melalui Remote control yang pusat kendalinya tidak lagi ditemui di balai desa, kantor kecamatan, kantor bupati, gubernur, DPRD dan DPR, maupun dikantor kantor Menteri. Nasib petani telah dikendalikan dari ruang ruang mewah di kantor Bank Dunia, IMF, Asian Development Bank, sebuah konsorsium negara negara kaya, yang mayoritas kantor kantor perusahaan multi nasionalnya berbasis di kota kota metropolitan dunia.1 Untuk mengingatkan kembali bahwa masalah tersebut menjadi bagian universal para petani di negeri ini, oleh karenanya penyelesaian sebagai upaya mewujudkan kemakmuran dan keadilan sebagai sebuah cita cita negara harus kembali
ke ruhnya, dengan tidak meninggalkan kekuatan besar negeri ini yaitu para petani, sementara para petani diinternal maupun ektrnal tengah menghadapi persoalan persoalan petani. Persoalan lahan adalah persoalan besar bagi kaum tani, karena lahan adalah kekuatan pokok para petani, tidak mungkin seorang petani akan melakukan aktivitas pertaniannya tanpa memiliki lahan. Secara non fisik hubungan antara petani dengan tanah atau lahan bukan sekedar hubungan ekonomis semata, melainkan juga memiliki hubungan yang bersifat religius magis. Artinya tanah memiliki ikatan religius yang berproses dalam pertautan sejarah yang sangat panjang dan tidak terputus, yang kesemuanya bersifat dialektik dan ini menjadi dasar kepercayaan yang selama ini telah mereka percayai. Sebagaimana yang telah diketahui secara umum, kolonialisme yang telah begitu lama di Indonesia telah mengakibatkan ketidakadilan agrarian (pertanahan) yang sangat nyata di tengah tengah rakyat Indonesia. Dimana tanah yang subur banyak dikuasai perusahan perusahaan perkebunan dalam skala besar, dan sekelompok masyarakat desa. Pada sisi lain rakyat hidup dalam keadaan kekuarangan tanah, keadaan inilah yang mendorong pemerintah Indonesia pada tahun 1960 mengeluarkan Undang
Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebagai dasar dilaksanakannya landreform di Indonesia guna mengatasi ketidak adilan tanah di Indonesia. Di jaman kekuasaan Soekarno yang dikenal dengan istilah orde lama, konflik tanah yang menonjol adalah konflik yang bersumber pada kebijakan landreform. Dimana prosesnya secara bertahap dimulai dari pengambil alihan tanah tanah yang dikuasai oleh pemerintah colonial belanda. Nasionalisasi seluruh asset pemerintahan colonial (1958) menjadi sebuah pilihan strategis dari rejim Soekarno. Dengan beralihnya kekuasaan dari pemerintah belanda ke pemerintahan Indonesia terhadap tanah, air dan sumber daya alam lainnya, kemudian diikuti dengan dicanangkan Landreform. Dari analisa pemetaan pada jaman rejim Soekarno khusus tahun 1960 - 19652, seperti dalam tabel 1. Dalam tabel tersebut, ada bentuk konflik yang muncul dalam konteks Landreform antara “rakyat versus rakyat”. Dalam hal ini harus dilihat lebih jauh ada sebagian masyarakat desa yang memiliki penguasaan lahan cukup besar selain yang telah dikuasai oleh negara melalui perkebunan dan lainnya, masyarakat yang pro dan yang setuju dengan
ORDE LAMA Orientasi kebijakan Sifat Strategi Intervensi Konflik yang terjadi Prinsip Pandangan / Konsep
Kemakmuran rakyat yang sebesar - besarnya (Neo) Populis Landreform (redistribusi tanah), Penataan struktur, baru kemudian menuju industri Dilakukan dalam upaya redistribusi Antara rakyat (petani luas) versus raky at dalam konteks Landreform Tanah untuk petani penggarap Politik pertanahan dipandang sebagai dasar pembangunan tanah, tidak boleh diperdagangkan. Periode pasca kemerdekaan, Landreform dianut negara yang diikuti model pembang unan industri substitusi impor
PENDAPAT
Pembaruan Tani - Agustus 2007
Masa Kolonial
Orde Baru
Eksploitasi sektor
Pengadaan tanah untuk pertumbuhan ekonomi (investasi)
Sifat
Kapitalis
Kapitalis
Strategi
Pengambilan ta nah rakyat, untuk perkebunan, baru kemudian menjadi industri Dilakukan melalui pemberian hak erpacht, konsesi, dll
-. Pengambilan tanah rakyat -. Pembangunan Industri, tanpa penataan struktur Diupayakan dalam rangka pengadaan tanah un tuk pembangunan. Intervensi melalui pemberian izin lokasi, HGU, HPH , dll Antara rakyat versus pemilik modal di dukung negara
Orientasi Kebijakan landreform, yang menjadi masalah adalah pengaruh struktur penguasaan dan pemilikan tanah, apalagi dengan melihat corak dan budaya kapitalistik oleh pemerintah colonial belanda yang dikombinasikan dengan feodalisme lokal. Dalam perkembangannya UUPA No 5 Tahun 1960 sebagai sebuah upaya untuk menyelesaiakan persoalan agrarian tidak tercapai. Persoalan ini sebagai akibat peralihan kekuasaan dari rezim Soekarno ke Pemerintahan Orde baru, yang menerapkan system politik pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan dengan menggunakan system politik yang otoriter yang sangat sentralistik. Untuk kepentingan itu, rezim Orde baru di bawah pimpinan Soeharto, memanipulasi UUPA no 5 Tahun 1960 sebagai landasan hukum agrarian dengan mengeluarkan aturan yang sifatnya sektoral seperti Undang Undang Penanaman modal asing (UUPMA) tahun 1967, Undang undang Penanaman modal dalam negeri (UUPMDN) tahun 1967 serta UU no 11 tahun 1967 tentang ketentuan pokok kehutanan yang dalam perkembangannya diganti dengan UU No 41 tahun 1999, selanjutnya UU No 7 tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan landreform. Dengan atas nama pembangunan pemerintahan Orde baru mengeluarkan kebijakan kebijakan di bidang agrarian, yang secara politis sebagai upaya penggagalan terhadap landreform, terutama sekali pada kekuasaan rezim Sueharto Idiom pembangunan yang dilekati dengan “isme” sebagai paradigma ajaran yang harus diartikan oleh rakyat
Intervensi Negara
Konflik yang terjadi Fandango / Konsep
Antara rakyat versus penguasa colonial dan swasta asing terutama di perkebunan Tanayh s ebagai objek eksploitasi
Periode Kolonialisme ; perebutan tanah jajahan
sebagai bentuk pengorbanan, dengan menggunakan atas nama “pembangunan”. Tetapi anehnya pembangunan itu sendiri pada kenyataannya tidak mudah dinikmati oleh takyat banyak (community based), pembangunan tidak lain dilakukan untuk memfasilitasi masuknya kaum capital (modal asing dan modal dalam negeri) dengan menggunkan kekebalan hokum pada UUPMA dan UUPMDN, serta secara sinergi memperkuat posisi militer sebagai upaya melindungi kepentingan kepentingan politik rezim. Pola pola penguaaan tanah yang dilakukan oleh rezim Orde baru dan masa kolonialisme dapat terlihat dalam table : Namun satu hal yang perlu dilihat, meskipun sepenjang
-. Tekhnis administrative. -. Tanah dipandang sebagai satu sisi pembangunan -. Tanah sebagai komuditi strategis -. Berkembang idiologi pasar, neo liberal sebagai akibat NICs. -. Berkembang industri pulang ke Industri yang berorientasi ekspor.
pemerintahan orde baru, pemerintah Indonesia sama sekali tidak mencabut UUPA, keadaan ini tentunya bukan suatu yang diinginkan oleh pemilik modal untuk jangka panjang. Hal ini disebabkan sikap mendua pemerintah orde baru, satu sisi ingin menjalankan prinsip prinsip pasar, guna mengatur kepentingan pemodal. Tetapi disisi lain tetap mempertahankan UUPA No 5 tahun 1960 untuk melindungi rakyatnya. Karena pemerintah Orde baru Undang Undang membatasi masa HGU untuk pemilik modal hanya sampai 25 tahun, demikian UUPA yang membayang bayangi kelompok pemilik modal.
7
8 INTERNASIONAL
Pembaruan Tani - Agustus 2007
. 2 1 ) ( 5 ( 1 6 , ,1 7( 5 1 $ 6 ,2 1 $ /
Hak Asasi Manusia Saat ini di berbagai belahan dunia disadari adanya suatu krisis global yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia dalam hubungannya dengan krisis energi dan alternatif yang ditawarkan melalui pemanfaatan agrofuel. Hal ini dibicarakan secara mendalam pada diskusi yang berlangsung selama 3 hari di Bogota, Colombia. Colombia adalaha salah satu negara yang cukup parah terkena dampak dari "demam" agrofuel yang melanda berbagai negara, khususnya negara-negara berkembang, yang mencoba untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar alternatif yang diminta oleh negara-negara industri maju. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan mengapa konferensi ini diadakan di Colombia. Francois Houtard, sosiolog Belgia yang banyak bekerja dengan pemimpin-pemimpin populer di Latin Amerika, bahkan menyatakan bahwa istilah biofuel yang lazim digunakan untuk menyebut bahan bakar ini seharusnya diganti dengan istilah nikrofuel (nikro: kematian), karena telah mematikan hidup banyak orang khususnya para petani kecil, masyarakat pedesaan dan masyarakat adat. Krisis global yang terjadi saat ini bersumber dari suatu sistem ekonomi kapitalis yang memandang segala sesuatu sebagai komoditas yang berperan untuk meningkatkan keuntungan dan menimbun kapital. Hal ini juga berlaku terhadap energi, yang merupakan salah satu komoditas yang amat penting saat ini, sehingga dibutuhkan adanya suatu sumber daya energi yang amat besar dan dapat diperbaharui (renewable energy).
Energi yang dapat diperbaharui ini bukan di-maksudkan untuk menjadi solusi bagi masalah lingkungan yang memang sedang terjadi di dunia namun lebih untuk mem-pertahankan kontrol ekonomi dunia di tangan kaum kapitalis. Kampanye besar yang sedang berkembang di kalangan pengusaha kelas atas Amerika Serikat adalah "How Global Warming Can Make You Rich?" (Bagaimana Pemanasan Global Dapat Membuatmu Kaya?"). Hal ini dimotori dengan adanya koalisi antara 3 kelompok perusahaan transnational yaitu produsen minyak mentah, Agrocompany serta produsenprodusen mobil. Koalisi ketiga kelompok perusahaan transnational yang umumnya berpusat di negara-negara industri maju menjadi bentuk penjajahan baru bagi negara-negara Dunia Ketiga. Pelanggaran HAM Isu pemanasan global dan penggunaan agrofuel hanya menguntungkan bagi perusahaanperusahaan dan dua kekuatan super power, Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang sedang berperang. Bagaimana kedua kekuatan ekonomi ini sedang bersaing untuk mengontrol ekonomi dunia lewat target yang amat ambisius dalam penggunaan bahan bakar nabati (agrofuel) bagi kebutuhan energi mereka. Menurut Ricardo Carrere, Koordinator Internasional dari World Rainforest Movement, krisis energi yang begitu diributkan beberapa tahun terakhir ini hanya terjadi di Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. Sementara krisis yang sebenarnya terjadi adalah kelaparan yang
semakin meningkat di kawasankawasan seperti Afrika, Asia dan Latin Amerika. Amerika Serikat dan Uni Eropa memandang kawasan Afrika, Asia dan Latin Amerika sebagai spermarket raksasa yang berguna untuk memenuhi kebutuhan mereka. Situasi ini semakin diperparah dengan dukungan dari sebagian besar pemerintah negara-negara dunia ketiga. Para pemerintah ini menyerahkan penduduknya untuk melayani kepentingan superpower. Contoh nyata dari hal ini terjadi di seluruh dunia, di Indonesia, Meksiko, hingga Colombia, ratusan ribu rakyat menderita akibat perebutan kekuasaan dengan dalih krisis energi dan pemanasan global. Di Indonesia dengan jelas terlihat bagaimana tren agrofuel telah menyebabkan kelangkaan minyak goreng yang menyebabkan harga salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia ini meningkat 30 persen pada pertengahan Mei 2007 dibandingkan dengan harga awal tahun. Belum lagi meningkatnya kasus konflik agraria yang disebabkan perluasan perkebunan kelapa sawit untuk pemenuhan kebutuhan agrofuel. Di Meksiko harga jagung yang merupakan kebutuhan pangan pokok penduduknya meningkat 3 kali lipat dalam waktu singkat. Jagung yang merupakan bahan pangan pokok penduduk Meksiko diekstrak menjadi ethanol untuk bahan bakar. Pengembangan agrofuel di Kolombia digunakan sebagai alibi bagi paramiliter dan kekuasaan yang berperang di kawasan ini untuk mengambil alih lahan penduduk secara paksa. Di wilayah Tumaco hingga Chocó puluhan ribu petani kecil, orang-orang Indian dan
INTERNASIONAL
Pembaruan Tani - Agustus 2007
dan Agrofuel keturunan Afrika dibunuh dan ratusan desa dibakar demi perluasan perkebunan sawit di negeri itu. Dengan basis "pertumbuhan ekonomi" masyarakat kecil tergusur, menderita kelaparan, dan mengalami penganiayaan. Proses untuk menghasilkan agrofuel telah merendahkan derajat manusia. Penggunaan sumber pangan menjadi bahan bakar kendaraan dan mesin-mesin amat bertentangan dengan hak asasi manusia. Setiap harinya 2,5 hektar lahan subur direbut dari tangan para petani kecil dan masyarakat desa demi kepentingan industri. Lebih dari 3000 orang khususnya anak-anak meninggal setiap harinya karena kelaparan, dan lebih dari 10 juta orang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber agraria seperti air dan lahan. Sementara bahan pangan disia-siakan sebagai bahan bakar kendaraan. Another World is Possible Dalam konferensi ini berbagai pihak, baik para pembela hak asasi manusi maupun para petani dan masyarakat adat yang menjadi korban, mencoba mencari solusi dan tindakan yang dapat dilakukan untuk melawan perampasan pangan manusia demi "memberi makan" mesin-mesin dan memberikan keuntungan bagi kaum kapitalis semata. Beberapa tawaran solusi yang berkembang antara lain terkait dengan melawan orientasi ekspor dan mengutamakan kebutuhan di tingkat lokal terlebih dahulu serta mengembangkan pemasaran secara langsung pada konsumen. Hal ini nantinya juga terkait dengan perubahan kebutuhan energi secara radikal. Karena jelas orientasi ekspor yang berkembang di sektor pertanian saat ini membutuhkan kebutuhan energi yang sangat besar terkait dengan distribusi bahan mentah yang umumnya dihasilkan
negara-negara berkembang ke negara-negara industri maju serta distribusi produk olahan dari negara-negara maju ke negaranegara Dunia Ketiga. Contoh paling jelas dari hal ini terjadi di Amerika Serikat dimana 58 persen kebutuhan energi mereka adalah untuk transportasi, karena koneksi sistem perdagangan mereka yang amat luas. Hal lain yang menjadi sorotan adalah reforma agraria yang menjadi dasar penting agar sumber daya agraria berada di tangan para petani dan masyarakat adat. Dengan memiliki kontrol terhadap sumber-sumber agraria, masyarakat di pedesaan dapat melakukan diversifikasi tanaman yang diperuntukkan terutama bagi bahan pangan bukannya dipaksa untuk menanam tanaman energi oleh perusahaan-perusahaan agribisnis. Pengembangan sistem ekonomi selain ekonomi kapitalis juga amat penting untuk dilakukan, karena sistem ekonomi kapitalis yang memandang segala sesuatunya sebagai komoditas telah menyebabkan berbagai krisis di dunia, mulai dari masalah pelanggaran hak asasi manusia
hingga kerusakan lingkungan. Perlu adanya pendidikan massa dalam membangun hubungan antara manusia dengan lingkungan, bahwa lingkungan jangan dijadikan alat untuk mengakumulasi kapital dan memenuhi keinginan tetapi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pertanian organik dan juga menjadi solusi yang coba ditawarkan dalam konferensi ini. Sistem pertanian organik yang tidak bergantung pada pupuk dan racun kimia yang berbahan dasar dari minyak bumi juga berperan penting dalam mengurangi kebutuhan terhadap bahan bakar konvensional (fossil fuel). Pengurangan kebutuhan energi seharusnya menjadi fokus utama jika berbicara tentang masalah krisis energi dunia dan bukannya menciptakan energi alternatif yang merampas hak hidup manusia. Masalah yang dihadapi dunia saat ini adalah kemanusiaan melawan kapitalisme, dan perlu ada kekuatan masyarakat secara global untuk dapat memenangkan pertempuran ini.
Elisha Kartini
9
10
NASIONAL
Pembaruan Tani - Agustus 2007
Perusahaan perkebunan serobot hak rakyat KUALA KURUN - Bupati Gunung Mas J Djudae Anom mengatakan, izin lokasi PT Agro Lestari Sentosa (ALS) tergantung dari pusat dan kebijakan gubernur. Karena pembukaan perkebunan kelapa sawit di sekitar wilayah Kecamatan RunganManuhing adalah program dari pusat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. “Nanti terserah apa petunjuk Gubernur. Sebab, Gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat yang ada di daerah. Beliau sering mengatakan demikian kan? Jadi, kita menunggu pentunjuk dari Gubernur,” kata Djudae,usai upacara bendera 17 Agustus. Ditegaskannya, meskipun realisasi izin lokasi itu berasal dari pemerintah kabupaten, tapi tetap saja petunjuk untuk merealisasikan itu adalah dari pusat. Oleh karena itu disebut program Pusat. Terang saja menurut Djudae, semua itu terkait program revitalisasi lahan, dan pemerintah daerah tidak mungkin melaksakan hal itu tanpa adanya investor.“Karena apabila ada investor barulah itu terlaksana, tanpa investor kan tidak mungkin,” ujarnya.
Kepada masyarakat RunganManuhing, Djudae meminta bersabar, karena keputusan itu semua menunggu petunjuk dari pemerintah pusat, dalam hal ini melalui Gubernur Kalimantan Tengah. Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Gunung Mas, Yansah, melalui Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Yulius Langkah dan Kepala Seksi Pengukuran dan Pemetaan Kondrat, menjelaskan bahwa belum semua tanah warga telah dilakukan kandastral. Kandastral itu adalah pengukuran sebelum pendaftaran sertifikasi. Sehingga menurutnya, peristiwa penolakan warga RunganManuhing terhadap perkebunan sawit itu belum menyentuh masalah klaim tanah. Sedangkan izin lokasi yang telah di miliki PT Agro Lestari Sentosa (ALS) yang hendak membuka perkebunan sawit di daerah setempat itu sepenuh-nya kebijakan pimpinan daerah Kabupaten Gunung Mas. “Sebetulnya terkait hal itu yakni kandastral dan izin lokasi, Red) BPN Pusat, BPN Provinsi, BPN kabupaten dan pemerintah
daerah telah melakukan pengukuran, tetapi karena kesalahpemahaman masyarakat, sehingga sempat terjadi insiden sehingga tidak dilanjutkan,” kata Yulius yang dibenarkan Kondrat, Kamis (16/8). Dijelaskannya pula bahwa sebetulnya untuk izin lokasi, perusahaan perkebunan harus berkoordinasi dengan pihak BPN Kabupaten. Sayangnya, ujar Yulius, pihak BPN Kabupaten tidak pernah dilibatkan, dan pihak perusahaan lebih senang langsung berurusan dengan BPN Pusat. “Izin lokasi itu sendiri belum mutlak lahan yang telah diplotkan menjadi hak pengelolaan perusahaan, jadi sebelumnya harus ada sosialisasi di lapangan (masyarakat, Red), dan apabila ada tersangkut lahan milik warga, maka harus diselesaikan terlebih dahulu,” kata Kondrat di sela-sela diskusi wawancara itu. Dijelaskannya pula bahwa sebetulnya untuk izin lokasi itu perusahaan hanya diberi jangka waktu dua tahun. Apabila dalam waktu dua tahun itu segala prinsip-prinsip izin lokasi belum terpenuhi, pemerintah bisa saja membatalkan atau melimpahkan izin lokasi itu ke perusahaan lainnya. “Sebetulnya saat izin lokasi perusahaan harus melaporkan perkembangan di lapangan kepada BPN, dan laporan itu dilakukan secara berkala. Tetapi sejauh ini tidak ada perusahaan yang mendapat izin lokasi memberikan laporan berkala kepada BPN Kabupaten,” timpal Yulius. Terkait dengan hal itu, baik masalah izin lokasi atau masalah lain yang menyebabkan tumpang tindih lahan, menurut Yulius, karena selama ini juga belum didapatkan kejelasan tentang rencana tata ruang wilayah provinsi. Sumber : Kalteng post 18 AGUSTUS 2007
SERIKAT
Pembaruan Tani - Agustus 2007
11
Padi Salek, Padi Kami Benih merupakan salah satu sumber agraria yang seharusnya dimiliki dan direproduksi oleh petani. Sayangnya, bagi petani di Indonesia, hingga saat ini justru benihlah yang menjadi salah satu sumber ketergantungan dan membuat petani menjadi objek eksploitasi para perusahaan agribisnis raksasa. Di tingkat dunia terdapat Dupont, Monsanto, Syngenta, Bayer, Limagrain, Dow dan Aventis. Perusahaan ini juga telah menguasai pasar benih di Indonesia melalui akuisisi perusahaan benih lokal, tercatat Bayer, Dupont, East-West Seeds, Monsanto, Syngenta telah terus meraup laba dan menyengsarakan petani. Untuk mengeruk keuntungan, petani diiming-imingi hasil yang tinggi sehingga terbuai menggunakan benih hibrida. Dalam beberapa kasus, Departemen Pertanian dan PPL malah jadi sales benih hibrida produk perusahaan. Padahal benih hibrida belum tentu bisa memberikan produksi atau keuntungan besar bagi petani. Petani dibuat menjadi tergantung bukan saja pada input benihnya namun juga termasuk input lainnya seperti pestisida dan pupuk. Banyak petani yang terjerat utang karena dengan pola tanam seperti ini karena rata-rata 45.4 persen modal petani terutama komoditas padi dihabiskan untuk membeli input luar yang mahal, termasuk benih, pupuk, dan racun. Adanya ancaman krisis pangan akibat tidak stabilnya produksi pertanian pangan telah membuat pemerintah mencanangkan program peningkatan produksi padi 2 juta hektar pada tahun 2007 ini. Salah satu subsidi yang dilakukan oleh pemerintah adalah berupa subsidi benih. Sayangnya, dalam pengadaan benih, pemerintah justru mengupayakan benih hibrida yang berasal dari impor. Selain mengancam kedaulatan bangsa Indonesia yang telah menggadaikan masa depannya melalui ketergantungan terhadap benih, kasus-kasus ini juga
telah meniadakan kearifan lokal dan keluhuran budaya Indonesia dalam sektor pertanian. Dulu, pertanian tidak harus mengeluarkan banyak modal. Dengan menguasai semua sumber agrarianya termasuk benih di tingkat lokal, petani bisa secara efektif dan efisien mengelola pertanian berbasis keluarga. Hal inilah yang saat ini masih tersisa dan dipertahankan di kampung Kuro. Kuro adalah sebuah desa di Kecamatan Pampangan. Lokasinya sedikit terpencil, jarak tempuh dari kota Palembang berkisar 120 KM, jika dari Kota Kayu Agung lebih kurang berjarak 80 KM. Untuk menuju Desa Kuro bisa di tempuh dengan kendaraan bermotor melalui darat, tetapi jika dalam kondisi air pasang bisa ditempuh dengan menggunakan Speedboat atau ketek (perahu) mengingat desa kuro termasuk daerah yang dominan wilayah perairannya. Mata pencarian atau pekerjaan dari masyarakat kuro adalah sebagai petani dan pencari ikan. Dalam bertani, masyarakat desa kuro lebih banyak menggarap sawah dengan menanam padi. Padi yang digunakan lebih banyak menggunakan benih hasil persilangan yaitu benih IR 64, IR 42, Ciherang. Hal ini terjadi karena di Indonesia sejak diberlakukannya politik Revolusi hijau oleh rejim Soeharto yang memaksa kaum tani untuk menyeragamkan jenis makanan Pokok yang pada awalnya makanan pokoknya beragam seperti beras,jagung,gandum,ubi dan lain sebagainya hanya menjadi Beras saja hal memberikan dampak besar pada sektor pertanian seperti mulai hilangnya hampir 10.000 varietas lokal padi. Tetapi ditengah larisnya penggunaan benih yang di produksi oleh perusahaan besar tersebut, ada sebagian petani yang menjadi anggota Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS) yang tergabung dalam kelompok tani Melati SPSS Desa Kuro tetap berupaya menggunakan dan melestarikan benih lokal yaitu benih padi Salek, benih sawah kanyut, padih puteh, padi sibur.
Dari sekian banyak benih lokal tersebut, benih salek lebih banyak digunakan karena lebih cocok dengan daerah kuro yang memiliki suhu rata-rata 30 derajat celcius dan merupakan sawah lebak. Disamping sesuai dengan keadaan iklim tersebut, padi salek lebih mampu beradaptasi jika sawah mengalami kekeringan lebih awal begitupun sebaliknya jika sawah masih dalam kondisi terendam (air tinggi) padi salek pun masih masih ditanam. Padi salek memiliki bentuk yang lebih tinggi dengan jumlah daun yang lebih banyak/rimbun. Dengan kondisi daun yang rimbun dapat mencegah tumbuhnya gulma atau tumbuhan liar sehingga tidak lagi diperlukan herbisida untuk memberantas gulma-gulma tersebut. Secara historis padi salek ini tidak diketahui secara pasti asal dan penemunya, tetapi menurut keterangan wong tuo padi ini sudah ditanam secara turun temurun jauh sebelum padi generasi sekarang yang ada. Secara historis padi salek ini tidak diketahui secara pasti asal dan penemunya, tetapi menurut keterangan wong tuo padi ini sudah ditanam secara turun temurun jauh sebelum padi generasi sekarang yang ada. Upaya Melestarikan Dalam melakukan pelestarikan terhadap benih lokal khususnya padi salek, kelompok tani Melati juga mengalami sebuah hambatan yang mulai mempengaruhi petanipetani di Desa Kuro pada khususnya. Pemasaran benihbenih hasil persilangan yang dikatakan sebagai "bibit Unggul" yang dibawa dan dikampanyekan oleh tenaga petugas penyuluh lapangan (PPL) sudah sangat mempengaruhi pemikiran petani untuk beralih menggunakan benihbenih tersebut. Tingkat produktivitas yang selalu menjadi keunggulan bagi benih "bibit unggul" membuat sebagian petani melupakan
12
SERIKAT warisan bertani dari generasi pendahulu yang sangat mementingkan budaya dan karakter bersama seperti perarian begilir (gotong royong), musyawarah, dan tanah yang sehat yang akan diwariskan kepada generasi penerus. Kondisi ini tidak menjadikan kelompok melati menyerah dalam upaya mempertahankan warisan benih lokal ini. Disamping upayaupaya dalam bentuk kampanye berupa tulisan maupun lisan yang disampaikan di ruang-ruang formal desa maupun dengan cara begesah (ngobrol) di bantelan (tempat duduk massa). Kelompok melati juga melakukan upaya pelestarian benih lokal ini dengan cara tetap membudidayakannya. Dalam hal menjaga benih padi salek ini supaya tetap ada dan digunakan di desa kuro, kelompok melati selalu menyisihkan 2 sampai 4 kaleng atau sebanyak 14 sampai 24 KG padi untuk ditanam sawah seluas 7.500 M2 (3/4 ha) sampai 15.000 M2 (1,5 ha). Mengapa ini dilakukan, tidak hanya dalam upaya pelestarian Tetapi dari sisi biaya persiapan benih, penggunakaan benih salek relatif lebih murah dibandingkan dengan benih IR dan sejenisnya. Untuk penanaman 1 ha sawah yang menggunkan benih salek hanya mengeluarkan biaya sebesar 60.000 rupiah (3 kaleng benih), hal ini jauh lebih murah jika dibandingkan dengan penggunaan benih IR dan sejenisnya yang mengeluarkan
Pembaruan Tani - Agustus 2007
biaya sebesar 480.000 rupiah (15 kampil, @ 32.000) per hektar. Tahapan penyimpanan benih !Padi yang akan dijadikan benih untuk musim tanam selanjutnya, dipanen secara khusus dengan menggunakan anai-anai agar tidak hancur !setelah itu padi diirik atau dipisahkan dari tangkai dengan cara diinjak-injak secara beraturan dengan menggunakan kaki !kemudian benih yang sudah dipisahkan dikering dengan cara dijemur selama lebih kurang satu hari !setelah itu dianginkan untuk memisahkan bulir padi yang berisi dan yang kosong !kemudian benih dimasukan kedalam karung !benih yang telah dimasukan didalam karung tersebut kemudian disimpan rapat ke dalam kotak yang terbuat dari papan kemudian diletakkan didalam rumah ditempat yang kering !benih disimpan selama lebih kurang 6 bulan. Peran Petani Perempuan dalam Pelestarian Benih Lokal Petani sejati itu tidak bisa lepas dari keluarga tani yang melibatkan ibu sebagai petani perempuan dan anak-anak yang sudah bisa bekerja,dalam hal ini peran petani perempuan lebih komplek dimana mulai dari penyiapan lahan sampai penanaman dan pemanenan semuanya sudah melibatkan petani
perempuan belum lagi penyiapan benih yang semuanya dilakukan oleh petani perempuan. Dulu para petani perempuan setelah habis panen mulai disibukkan dengan memilih dan memproses benih-benih lokal untuk disimpan dan ditanam kembali pada penanaman berikutnya,peran-peran ini semuanya dilakukan oleh petani perempuan. Dalam upaya pelestarian benih lokal ini sebagai kaum petani perempuan menjadi faktor yang utama. Hal ini disebabkan dalam setiap rangkaian pekerjaan penyimpanan padi yang akan dijadikan benih pada musim tanam berikutnya lebih dominan dilakukan oleh petani perempuan. Pembagian peran ini terjadi secara alamiah, mengingat dalam mengelolah sawah misalnya membajak sawah lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki secara umum. Mengingat begitu pentingnya peran petani perempuan dalam upaya pelestarian benih lokal ini, jika tidak diperhatikan secara baik maka bukan saja akan menjadikan ketergantungan secara ekonomi bagi petani terhadap benih "bibit unggul" tetapi juga menghilangkan peran petani perempuan sebagai tenaga produktif dalam sektor pertanian. Marda Ellius