MEMBINGKAI PERTANIAN DENGAN EKONOMI KREATIF: SUATU TELAAHAN EKSPLORATIF1 D. S. Priyarsono Staf Pengajar, Departemen Ilmu Ekonomi, FEM IPB, Bogor Korepondensi:
[email protected] Tantan Hermansah Dosen UIN Jakarta dan staf peneliti Brighten Institute, Bogor Doktor Sosiologi Ekonomi Kreatif, Universitas Indonesia, Depok Korepondensi:
[email protected]
PENDAHULUAN
"Pertanian" dan "Ekonomi Kreatif" adalah dua istilah yang secara konotatif tidak mudah untuk saling dipertautkan. Pertanian mengandung konotasi bagian dari sejarah peradaban, sedangkan ekonomi kreatif berkonotasi modern futuristik. Tengoklah bahan kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi yang wajib dipelajari mahasiswa tahun pertama di IPB. Pada sesi pertama perkuliahan itu didiskusikan adanya tahaptahap kemajuan peradaban manusia yang ditandai dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Secara sederhana tahap-tahap itu berturut-turut dapat digambarkan sebagai masyarakat dengan kegiatan ekonomi utama sebagai pemburu, peramu, petani, pekerja industri, masyarakat era teknologi informasi dan komunikasi, dan berpuncak pada masyarakat ekonomi kreatif. Tampaklah senjang waktu yang jauh antara era pertanian dan era ekonomi kreatif. Kepada para mahasiswa juga disodorkan model-model transformasi struktur ekonomi (Rostow, 1964; Toffler, 1970; Brown, 2006; dan sebagainya) berikut data historis perkembangan ekonomi negara-negara maju. Pada awalnya perekonomian didominasi (baik dalam hal nilai produk maupun kesempatan kerja) oleh sektor pertanian. Seiring dengan kemajuan teknologi industri, lambat laun dominasi struktur perekonomian bergeser ke sektor manufaktur. Kemudian dewasa ini di banyak perekonomian negara maju dominasi diambil alih oleh sektor jasa yang padat dengan teknologi berbasis ekonomi kreatif. Mudah dipahami bila para mahasiswa 1
Tulisan ini terbit dalam Orange Book, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
1
akan sampai pada simpulan bahwa pertanian adalah bagian dari masa lalu, sedangkan ekonomi kreatif adalah wakil sosok masa depan. Jadi, bagaimana mungkin pertanian dipertautkan dengan ekonomi kreatif? Makalah singkat ini hendak mencoba menawarkan cara pandang lain. Pada pendekatan pertama, akan ditunjukkan dengan contoh-contoh kasus bahwa semua aspek ekonomi kreatif dapat dan layak diterapkan dalam sektor pertanian. Pada pendekatan kedua, akan dipaparkan hasil identifikasi faktor-faktor penghambat dan faktor-faktor pendukung upaya memajukan pertanian sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif.
Dengan demikian diskusi tentang pertanian sebagai kegiatan
ekonomi kreatif tidak berhenti hanya pada rumusan-rumusan teoretis, melainkan bisa bermuara pada rumusan kebijakan yang lebih konkret. Namun sebelum itu akan diuraikan dulu tinjauan pustaka yang menyangkut konsep-konsep dasar ekonomi kreatif.
APA ITU EKONOMI KREATIF? Istilah ekonomi kreatif menjadi semakin sering diperbincangkan publik semenjak Presiden membentuk Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada tahun 2009.
Agaknya gagasan pembentukan ini bukan sesuatu yang tiba-tiba
melainkan telah cukup lama dipersiapkan. Perdagangan
menerbitkan
buku
laporan
Pada tahun 2008 Departemen studi
yang
berjudul
Rencana
Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025 (Departemen Perdagangan, 2008). Buku itu melaporkan bahwa peranan industri kreatif dalam perekonomian negara-negara maju semakin signifikan. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto berkisar antara 2.8% (Singapura) hingga 7.9% (Inggris). Pertumbuhan nilai kegiatan ekonomi kreatif juga sangat tinggi, misalnya di Australia mencapai 5.7% per tahun dan di Inggris mencapai 16.0% per tahun. Industri kreatif mampu menyerap tenaga kerja hingga 3.4% dari total angkatan kerja di Singapura dan 5.9% di Amerika Serikat. Di Indonesia, jumlah perusahaan yang bergerak dalam industri kreatif mencapai 2.2 juta unit atau setara dengan 5.17% jumlah total perusahaan yang ada. Nilai ekspornya mencapai Rp 81.5 triliun atau setara dengan 9.13% nilai ekspor total Indonesia. Industri kreatif menciptakan kesempatan kerja bagi 5.4 juta pekerja atau 2
sekitar 5.8% total angkatan kerja di Indonesia.
Secara rata-rata produktivitas
pekerja di sektor ini Rp 19.5 juta per tahun yang berarti lebih tinggi daripada ratarata produktivitas nasional yang mencapai Rp 18 juta per tahun (Departemen Perdagangan, 2008). Buku itu mengutip definisi industri kreatif yang diusulkan oleh Department of Culture, Media, and Sport (Inggris) sebagai “those industries which have their origin in individual creativity, skill and talent and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property.” Dengan berbagai landasan hasil analisis, buku itu menyarankan penggolongan industriindustri kreatif yang terdiri atas empat belas kelompok, yakni (1) periklanan, (2) arsitektur, (3) pasar seni dan barang antik, (4) kerajinan, (5) desain, (6) fesyen, (7) video, film, dan fotografi, (8) permainan interaktif, (9) musik, (10) seni pertunjukan, (11) penerbitan dan percetakan, (12) layanan komputer dan piranti lunak, (13) televisi dan radio, dan (14) riset dan pengembangan.
Belum banyak pustaka
berkonteks Indonesia yang menelaah industri kreatif. Satu di antara yang sedikit itu, yakni Setiawan (2012), merintis studi industri kreatif, khususnya agribisnis, dalam konteks Indonesia.
PERTANIAN SEBAGAI KEGIATAN EKONOMI KREATIF Secara menarik Setiawan (2012) merinci contoh-contoh kegiatan ekonomi kreatif yang berkaitan dengan agribisnis baik pada level internasional maupun domestik.
Pada level internasional, buku itu menguraikan contoh-contoh karya
agribisnis kreatif seperti crop circle (di Irlandia, Inggris, Jepang, Kanada, dan Amerika Serikat), hidrogel (di Jepang), melon dan semangka kotak (di Jepang), anggrek mungil dalam botol (di Cina dan Jepang), museum pertanian (di banyak negara maju maupun sedang berkembang), kota hijau (San Francisco, Tianjin), hidroponik (antara lain di Jepang, Korea Selatan dan Cina), tanaman bonsai (terutama di Cina dan Jepang), musik agro (sebagian besar masih dalam taraf eksperimen), pemasaran agro, input agro, dan lain sebagainya. Intinya, ada banyak contoh kegiatan berbasis pertanian yang dapat digolongkan ke dalam industri atau ekonomi kreatif. Secara lebih spesifik dapat diuraikan juga contoh-contoh kegiatan ekonomi kreatif pada level domestik seperti misalnya tanaman hias, kerajinan rotan, kerajinan mendong, kerajinan bambu, kerajinan pandan, kerajinan akar wangi, kerajinan 3
eceng gondok, kuliner, kerajinan kelapa, kerajinan kayu, kerajinan hasil perairan, dan lain sebagainya. Dapat ditambahkan pula berbagai kegiatan pertanian yang berkaitan dengan wisata. Praktik-praktik budaya berbagai suku bangsa di Indonesia yang oleh dunia wisata dianggap eksotik - dan oleh karena itu punya daya tarik umumnya berkaitan dengan dunia pertanian. Banyaknya contoh-contoh kegiatan pertanian yang dapat digolongkan sebagai kegiatan ekonomi kreatif tampaknya tidak berimplikasi pada perlunya menciptakan kategori ke-15 pada daftar golongan-golongan industri kreatif yang dihasilkan dalam studi oleh Departemen Perdagangan (2008). Oleh karena itu, alihalih mencari pembenaran (justification) untuk pengusulan kategori ke-15 sebagai kelompok kegiatan ekonomi kreatif pertanian, agaknya akan lebih bermanfaat dan lebih operasional bila yang dilakukan adalah menyenaraikan berbagai jenis kegiatan pertanian ke dalam ke-14 kategori-kategori yang telah dibakukan oleh Departemen Perdagangan tersebut di atas. Hasilnya, bila disajikan dalam bentuk matriks, dapat ditampilkan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Keterpautan Pertanian dalam Industri-industri Kreatif No
Sektor Kreatif 1 Periklanan
Bentuk Keterpautan dengan Pertanian 1 Kampanye sistem pertanian high quality 2 Pembuatan iklan edukatif pertanian 3 Iklan/kampanye konten produk hasil petani
2 Arsitektur
1 Lanskap area pertanian 2 Desain yang terintegrasi dengan kehidupan pertanian/ petani 3 Area belajar pertanian
3 Pasar Barang Seni
1 Hasil-hasil pertanian yang berasal dari bahan pertanian 2 Hasil-hasil kesenian yang berhubungan dengan kultur petani, seperti upacara adat
4 Kerajinan
1 Produk non pertanian yang dihasilkan masyarakat tani 2 Pengemasan produk hasil tani sehingga lebih eye catching
5 Desain
1 Desain area pertanian yang "ramah" dengan usaha lain seperti wisata, pendidikan, dll 2 Desain kemasan produk pertanian 4
3 Desain media iklan / sarana kampanye lain 6 Fesyen
1 Hasil pertanian yang terkait dengan industri tekstil
7 Video, Film, Fotografi
1 Visualisasi dunia pertanian yang lebih menarik, tidak kumuh, dll 2 Fotografi pertanian 1 Game pertanian
8 Permainan Interaktif
2 Permainan tradisional seperti di Kampung Budaya 9 Musik
1 Menghidupkan atau revitalisasi seni musik petani
10 Seni Pertunjukan
1 Teater, atau seni pertunjukan yang terkait dengan petani dan pertanian
11 Penerbitan, Percetakan
1 Buku-buku ilmiah atau non ilmiah yang mengangkat isu pertanian
12 Layanan Komputer dan Piranti Lunak
1 Software untuk UKM milik petani 2 Pengembangan Data Base Pertanian yang terintegrasi
13 Radio dan TV
1 Radio dan TV tentang pertanian, perikanan, dll.
14 Riset dan Pengembangan
2 RPC, MGS, dll. 1 Riset dan pengembangan pertanian dalam konteks ekonomi kreatif.
PENGEMBANGAN PERTANIAN SEBAGAI KEGIATAN EKONOMI KREATIF: BEBERAPA FAKTOR PENGHAMBAT Kebijakan publik untuk pembangunan pertanian selama ini masih terfokus pada aspek peningkatan kuantitas produksi. Hal ini tampak misalnya dari ukuranukuran kinerja yang tampil dalam statistik pertanian. Walaupun kuantitas produksi sebagai sesuatu yang perlu diprioritaskan dapat dipahami, pendekatan ini menutup peluang pengembangan aspek-aspek kreatif yang lebih terkait dengan sisi kualitas produk. Padahal peningkatan kualitas produk secara netto berpotensi meningkatkan nilai rupiah produk. Dalam banyak kasus produksi pertanian adalah hasil kali antara luasan lahan dan produktivitas. Persoalan yang dihadapi saat ini adalah sulitnya meningkatkan luasan lahan pertanian (lihat table 2). 5
Tabel 2. Dinamika Luas Lahan Sawah di Jawa dan Luar Jawa 1994-2009 AR EA
199 199 199 199 200 200 200 200 200 200 200 200 200 4 5 6 9 0 1 3 4 5 6 7 8 9 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.3 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 3.2 Jaw 42. 62. 42. 75. 44. 39. 34. 93. 26. 40. 47. 70. 51. a 040 807 099 381 391 168 627 029 134 884 502 221 060 Lua 5.0 5.1 5.1 4.6 4.4 4.4 4.1 4.5 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 r 43. 21. 77. 70. 42. 40. 21. 51. 99. 50. 08. 20. 10. Jaw 006 880 011 975 948 565 649 263 630 406 439 988 727 a Ind 8.3 8.4 8.5 8.0 7.7 7.7 7.4 7.8 7.7 7.7 7.8 7.9 8.0 one 85. 84. 19. 46. 87. 79. 56. 44. 25. 91. 55. 91. 61. sia 046 687 110 356 339 733 276 292 764 290 941 209 787 (Diolah berdasarkan data yang diunduh dari www.bps.go.id pada tanggal 8 Juni 2012)
Tabel 2 melaporkan data dinamika peruntukan lahan di Jawa dan Luar Jawa. Data dari Badan Pertanahan Nasional, menyebutkan bahwa selama 1994-2004, luas sawah di Jawa berkurang 36 798 hektar atau rata-rata 3 679 hektar per tahun. Artinya, setiap hari 10 hektar sawah berubah fungsi. Sementara data Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air Kementerian Pertanian menyebutkan, 6
pengurangan luas panen di Jawa pada 2009-2010 mencapai 60 652 hektar. Dengan demikian upaya peningkatan kuantitas produksi pertanian lebih efektif dilakukan melalui peningkatan produktivitas yang dalam banyak kasus berarti penerapan teknologi yang tidak jarang menimbulkan risiko permasalahan lingkungan hidup. Beberapa kegiatan ekonomi kreatif berbasis pertanian justru mengandalkan modal alam yang berkualitas lingkungan hidup prima. Contoh menarik tentang kegiatan ekonomi kreatif tersebut adalah agrowisata atau wisata berbasis pertanian. Cukup jelas bahwa perkembangan kegiatan ini mengandaikan ketersediaan kualitas prima dari lingkungan hidup berbasis pertanian. Merujuk data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, sampai tahun 2012 ada 978 desa wisata di Indonesia yang menjadi tujuan wisata (Suara Merdeka, 10 Februari 2012). Jumlah ini meningkat dari 144 desa wisata pada tahun 2009, 60 di antaranya bertaraf internasional. Studi Adnyana (2012) menyimpulkan bahwa di Bali hasil sinergi antara sektor pertanian dengan sektor-sektor yang terkait pariwisata secara ukuran makroekonomi belum bisa dikatakan signifikan positif.
Dengan kata lain, perkembangan sektor
pertanian tidak berdampak positif (justru negatif atau netral) terhadap pariwisata, dan demikian juga sebaliknya.
Bentuk ekstremnya adalah terjadinya kompetisi
antara sektor pertanian dengan pariwisata. Rezim ekonomi di Indonesia saat ini belum berhasil menempatkan sektor pertanian sebagai sektor primadona. secara signifikan.
Kesejahteraan petani pun sulit diperbaiki
Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menelaah
kesejahteraan petani adalah nilai tukar petani (NTP). NTP merupakan rasio indeks harga-harga yang diterima petani terhadap indeks harga-harga yang dibayar oleh petani. NTP di atas 100 mengindikasikan kesejahteraan, sebaliknya yang di bawah 100 mengidikasikan ketidaksejahteraan. Dengan ukuran ini secara umum ternyata kesejahteraan petani
belum menggembirakan (Winoto dan Siregar, 2007),
khususnya petani tanaman pangan (periksa Gambar 1). Gambar 1. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan (NTPP) dan Gabungan 2008-2011
7
(Diolah berdasarkan data yang diunduh dari www.bps.go.id pada tanggal 8 Juni 2012) Implikasinya, secara konsisten proporsi masyarakat miskin selalu dominan di sektor pertanian dan atau di wilayah perdesaan.
Akibat berikutnya, sulit
mengharapkan hadirnya sumberdaya manusia berkualitas prima yang kreatif di dalam sektor ini. Tentu ini adalah pandangan pesimistis. Pandangan optimistis mungkin justru memprediksikan lahirnya kreativitas dalam situasi serba sulit. Namun kebenaran pandangan-pandangan ini masih memerlukan bukti empirik.
PENGEMBANGAN PERTANIAN SEBAGAI KEGIATAN EKONOMI KREATIF: BEBERAPA REKOMENDASI
Beberapa studi ekonomi dan sosiologi menyimpulkan adanya keterkaitan antara kegiatan ekonomi kreatif dengan peran individu, kewirausahaan, dan jejaring sosial (Acsa & Moeran, 2006).
Megyesi, 2009; Granovetter & Ferrary, 2009; Kawamura, 2006; Dengan demikian, pengembangan kegiatan ekonomi kreatif,
termasuk juga yang berbasis pertanian, sangat bergantung pada kualitas sumberdaya manusia.
Di sinilah dibutuhkan kebijakan publik, khususnya bidang
pendidikan, untuk menghasilkan sumberdaya manusia kreatif dan berkualitas tinggi. Sinergi antara lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) dengan komunitas 8
kreatif dan masyarakat umum, sudah banyak tercatat sebagai kesuksesan dalam sejarah di berbagai tempat. Belajar dari pengalaman negara-negara yang dikenal maju dalam kegiatankegiatan ekonomi kreatif, tampaknya berbagai kebijakan publik tertentu dapat menjadi faktor pendorong yang efektif bagi perkembangan sektor tersebut. Hal ini barangkali terkait dengan prasyarat adanya infrastruktur berskala besar bagi pengembangan ekonomi kreatif.
Contoh infrastruktur yang sangat penting bagi
perkembangan ekonomi kreatif antara lain adalah prasarana telekomunikasi berteknologi tinggi dengan kapasitas dan keterandalan yang memadai. Pengembangan ini juga membutuhkan upaya-upaya pemasaran yang bisa menjadi jauh lebih murah bila dilakukan dalam skala besar (economies of scale dan economies of scope).
Dalam hal demikian peranan sektor publik (pemerintah)
menjadi amat diperlukan.
Sebagai contohnya adalah kampanye publik untuk
menggalang dukungan masyarakat bagi perkembangan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif. Contoh lain adalah pengembangan riset-riset dasar dan seni murni yang dapat diharapkan menjadi benih-benih kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif. Dalam hal ini tidak mungkin mengharapkan sektor swasta menjadi pelakunya dan oleh karena itu upaya-upaya tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah.
KESIMPULAN
Industri kreatif dipahami sebagai kegiatan-kegiatan ekonomi corak baru yang berpotensi sangat tinggi menyumbang pada perekonomian nasional pada tahuntahun mendatang.
Sejauh ini sangat jarang diketahui adanya kesempatan bagi
sektor pertanian untuk terlibat di dalam upaya pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif. Makalah singkat ini melaporkan adanya peluang cukup besar bagi pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif berbasis pertanian.
Makalah ini mengidentifikasi beberapa faktor penghambat bagi upaya pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif berbasis pertanian. 9
Yang
pertama adalah arah kebijakan pertanian yang berpotensi memperburuk kualitas lingkungan hidup yang dapat mengancam industri kreatif khususnya yang berkaitan dengan agrowisata. Kedua, adalah rendahnya ketersediaan sumberdaya manusia yang kreatif dan berkualitas tinggi di sektor pertanian. Yang terakhir adalah belum efektifnya kebijakan publik yang mampu mendorong tumbuh kembangnya kegiatankegiatan ekonomi kreatif berbasis pertanian.
Sehubungan dengan hal tersebut makalah ini merekomendasikan tiga hal. Pertama, pengembangan sumber daya manusia yang kreatif dan berkualitas tinggi melalui berbagai jalur pendidikan, termasuk lembaga-lembaga pendidikan tinggi. Kedua,
penyediaan infrastruktur yang
secara
pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif.
mendasar dibutuhkan
untuk
Ketiga, upaya sektor publik
memfasilitasi upaya-upaya pemasaran publik untuk mendorong pengembangan kegiatan-kegiatan tersebut.
Kesahihan simpulan makalah singkat yang semata-mata didasarkan pada hasil telaah pustaka ini tentu masih memerlukan konfirmasi yang didasarkan pada studi yang lebih mendalam dengan melibatkan analisis data empirik yang lebih luas.
10
RUJUKAN Acsa, Z.J. and M. I. Megyesi, 2009. Creativity and industrial cities: A case study of Baltimore. Entrepreneurship & Regional Development Journal. Vol. 21, No. 4, Juli 2009, Hlm. 421–439. Adnyana, I M., 2012. Pertanian dan Pariwisata dalam Perekonomian Bali: Analisis Peranan dan Keterkaitan Antarsektor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Brown, L.R., 2006. Plan B 2.0: Rescuing a Planet Under Stress and a Civilization in Trouble. Earth Policy Institute, Washington D.C. Departemen Perdagangan, 2008. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif 2025. Departemen Perdagangan, Jakarta. Granovetter, M. dan M. Ferrary. The role of venture capital firms in Silicon Valley’s complex innovation network. Economy and Society, Vol. 38, No. 2, Mei 2009, Hlm. 326-359. Kawamura, Y., 2006. Japanese teens as producers of street fashion. Current Sociology, September 2006 , Vol. 54, No. 5, Hlm. 784–801. Moeran, B., 2006. More than just a fashion magazine. September 2006, Vol. 54, No. 5, Hlm. 725-744.
Current Sociology,
Rostow, W.W., 1964. The Stages of Economic Growth. Cambridge University Press, Cambridge. Setiawan, I., 2012. Agribisnis Kreatif. Penebar Swadaya, Jakarta. Toffler, A., 1970. Future Shock. Random House, New York. Winoto, J. dan H. Siregar, 2007. Dinamika penggunaan lahan pertanian dan kaitannya dengan kesejahteraan petani dan global warming: Peran Ilmu Ekonomi Pertanian. Prosiding Konperensi Nasional XV Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Surakarta, 3-4 Augustus 2007. Brighten Press, Bogor.
11