Jurnal Kinerja Volume 9 No 2 Nopember 2012
HUBUNGAN KARAKTER PERUSAHAAN DAN PROFITABILITAS DENGAN PRAKTEK PENGUNGKAPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN; (SUATU TELAAHAN EMPIRIS DAN TEORITIS) Muhammad Ikbal Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman ABSTRACT Investor as a principal and management as an agent, could not avoid the truth from the impact from compactivity, which are not only generating profit and increasing share price but also bring about social impact such as ecological destruction, pollution and social diseases such discrimination and crime and all of these are company social responsibility. Corporate social responsibility or CSR is the issue which gets great attention, especially in Indonesia. CSR is responsibility of corporation widely. The research on CSR finds different results. Some researches relate financial performance with CSR disclosure. The others relate it with corporate governance. Thus, the research on CSR disclosure in Indonesia is still interesting to conduct. This paper aims to explain some relation between company characteristic and profit by level disclosure social and environment in Indonesia. This relation Pattern useful upon whom input to all capital market researcher in Indonesia hits financial accounting theory and disclosure social and environment. This article for practitioner can become consideration in company decision making. Empirical and theoretical analysis shows ever greater company size, information that available to investor in decision making referring to share investment more and more. One of way to lessen agency cost is by improve institutional ownership that to observe agent. Main and secondary Industrial company expresses more related to information environment and energy are compared with company in area of tertiary industry. Profitability is conducive factor free and flexible by management to conduct and state at extensive stockholder of social responsibility programs. Keywords : Industrial Type; Ownership, Profitability; Environment and Social Disclousure.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Maraknya pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) belakangan ini, patut untuk dibanggakan. Betapa tidak, korporasi yang dulu hanya peduli pada keuntungan (profit), kini juga memperhatikan kesejahteraan masyarakat (people) disamping keseimbangan lingkungan (planet). Melalui CSR, korporasi kini lebih manusiawi. Jika kegiatan sosial dilakukan oleh lembaga sosial, tentu telah menjadi hal yang wajar. Namun, perusahaan yang lazimnya hanya bertugas mengumpulkan keuntungan, kini justru akrab dengan kegiatan- kegiatan sosial yang mulia. Tanggung jawab perusahaan merupakan hal penting yang menjadi peratian berbagai pihak, masyarakat, pemerintah bahkan perusahaan itu sendiri. Pertumbuhan
- 25 -
Muhammad Ikbal
kesadaran tanggung jawab sosial perusahaan mengakibatkan adanya kritik terhadap penggunaan laba sebagai satu-satunya alat ukur kinerja perusahaan. Sebagai respon, beberapa institusi akuntansi utama (AICPA, NAA, ICAEW) mulai memikirkan akuntansi sosial perusahaan pada pertengahan tahun 1970 (Ramanathan, 1976 dalam Hackston dan Milne, 1996)). Peneliti akuntansi telah mulai mengartikulasikan perspektif teori yang berbeda untuk mendukung akuntansi sosial perusahaan yang terdiri dari teori legitimasi, teori ekonomi politik akuntansi dan teori stakeholder (Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray et al., 1987, 1988,1995a; Guthrie dan Parker, 1990; Pattern, 1991, 1992; Roberts, 1992). Meskipun demikian, sampai saat ini masih belum ada kerangka teoritis dan akuntansi sosial perusahaan yang bisa diterima secara universal (Belkaoui dan Karpik, 1989; Gray et al., 1995a; Guthrie dan Mathews, 1985). Meskipun terdapat kekurangan konsensus pada profesi akuntansi dan literatur akuntansi teoritis tentang mengapa perusahaan mengungkapkan akuntansi pertanggungjawaban sosial, tetapi terdapat peningkatan jumlah perusahaan yang secara sukarela mengungkapkan aktivitas pertanggungjawaban sosial pada laporan tahunan mereka. Guthrie dan Mathews (1985) menyatakan pengungkapan sosial perusahaan sebagai ketentuan dari informasi keuangan dan non keuangan yang berhubungan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan sosial dan fisiknya sebagaimana yang dinyatakan dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan sosial yang terpisah Pengungkapan sosial mencakup detail tentang lingkungan fisik, energi, sumber daya manusia, produk dan masalah keterlibatan masyarakat. Secara umum, laporan tahunan perusahaan terdiri dari pengungkapan wajib (mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure). Pengungkapan sukarela muncul karena adanya kesadaran masyarakat akan lingkungan sekitar, keberhasilan perusahaan tidak pada laba semata tetapi juga ditentukan dengan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat di sekitar perusahaan. Pengungkapan sukarela sebenarnya juga di atur dalam PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), yang menyatakan bahwa “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup, laporan nilai tambah, khususnya bagi industri dimana faktorfaktor lingkungan hidup memegang peranan penting bagi industri”. Pernyataan di atas secara jelas menyebutkan bahwa perusahaan bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitarnya, terutama perusahaan industri yang menghasilkan limbah yang apabila tidak diolah secara benar akan mencemari lingkungan sekitar. Sampai saat ini kebanyakan penelitian empiris menyajikan gambaran dasar dari mana pola pengungkapan itu muncul. Penelitian lebih lanjut juga menemukan hubungan antara beberapa karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial perusahaan. Beberapa penelitian empiris tentang praktek pengungkapan sosial perusahaan banyak berfokus di Amerika Serikat, Inggris, Australia dan sedikit penelitian telah dilakukan di negara-negara lain seperti Kanada, Jerman, Jepang, New Zealand, Malaysia, dan Singapura. Kebanyakan penelitian empiris tentang praktek Amerika Serikat cenderung untuk menggunakan hasil penelitian empiris Ernst & Ernst (1978). Guthrie dan Parker (1990) yang memberikan hasil penelitian empiris yang lebih baru. Gray et al. (1987, 1995a) memberikan hasil penelitian empiris di Inggris, kemudian penelitian selanjutnya yang mencakup tiap tahun mulai dari 1979 sampai dengan 1991. Penelitian di Australia mencakup Trotman (1979) dan Guthrie (1983).
- 26 -
Jurnal Kinerja Volume 9 No 2 Nopember 2012
Penelitian yang dilakukan oleh Davey (1982), Ng (1985) serta Hackston dan Milne (1996) telah memberikan beberapa gambaran bahwa ukuran perusahaan (company size) mempengaruhi pengungkapan sosial perusahaan di New Zealand. Penelitian Guthrie dan Parker (1990) dan Gray et al. (1995a) menggambarkan suatu perbedaan penting antara pengungkapan sukarela dan pengungkapan yang diwajibkan undang-undang. Di Indonesia, tidak ada pengungkapan sosial yang diwajibkan o1eh undang-undang, sehingga tidak ada ketentuan untuk membuat perbedaan antara sukarela dan wajib dalam instrumen interogasi. Semua pengungkapan yang diklasifikasikan dianggap sebagai pengungkapan sukarela. 1.2.
Tujuan dan Manfaat Secara khusus tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan secara faktual beberapa hubungan antar karakteritis perusahaan dan perolehan laba atau profit dengan tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan di Indonesia. Pola hubungan ini bermanfaat sebagai bahan masukan bagi para peneliti pasar modal di Indonesia mengenai teori akuntansi keuangan dan pengungkapan sosial dan lingkungan. Bagi praktisi tulisan ini bisa menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan perusahaan. KERANGKA TEORETIS Pengungkapan Sosial dan Lingkungan Pengungkapan mengandung arti bahwa laporan keuangan harus memberikan informasi dan penjelasan yang cukup mengenai hasil aktivitas suatu unit usaha (Ghozali dan Chariri, 2007). Secara konseptual, pengungkapan merupakan bagian integral dari pelaporan keuangan. Secara teknis, pengungkapan merupakan langkah akhir dalam proses akuntansi yaitu penyajian informasi dalam bentuk seperangkat penuh laporan keuangan (Suwardjono, 2005). Securities Exchange Comitee (SEC) menuntut lebih banyak pengungkapan karena pelaporan keuangan mempunyai aspek sosial dan publik (public interest). Oleh karena itu, pengungkapan dituntut lebih dari sekedar pelaporan keuangan, tetapi meliputi pula penyampaian informasi kualitatif dan kuantitatif, baik yang mandatory maupun voluntary disclosure (Chrismawati, 2007). Tujuan pengungkapan menurut SEC dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1) Protective disclosure yang dimaksudkan sebagai upaya perlindungan terhadap investor, dan (2) Informative disclosure yang bertujuan memberikan informasi yang layak kepada pengguna laporan ( Wolk, Francis, dan Tearney, dalam Dyah, 2009). Beberapa teori menurut Gray et al., (1996) yang digunakan untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan sosial yaitu: a) Teori stakeholder Organisasi atau perusahaan tentunya tidak berdiri sendiri, pasti berhubungan dengan banyak pihak, yang disebut sebagai stakeholder. Organisasi memiliki banyak stakeholder seperti karyawan, masyarakat, negara, supplier, pasar modal, pesaing, badan industri, pemerintah asing dan lain-lain. Stakeholder merupakan pihak-pihak yang berkepentingan pada perusahaan yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh aktivitas perusahaan. Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa stakeholder adalah sistem yang secara eksplisit berbasis pada pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling
- 27 -
Muhammad Ikbal
mempengaruhi antara keduanya yang kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk kedua varian teori stakeholder, varian pertama berhubungan langsung dengan model akuntabilitas. Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi, hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya yang berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu organisasi memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan hubungan antara stakeholder dan organisasi. Varian dari kedua teori stakeholder berhubungan dengan pandangan Trekers (1983) mengenai empirical accountability. Teori stakeholder mungkin digunakan dengan ketat dalam suatu organisasi arah terpusat (centered-way organization). Robert (1992) menyatakan bahwa pengungkapan sosial perusahaan merupakan sarana yang sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya. b) Teori Legimitasi Ada istilah “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”, perusahaan sebaiknya sebisa mungkin dapat berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Teori legitimasi menyatakan bahwa suatu organisasi hanya bisa bertahan jika masyarakat dimana dia berada merasa bahwa organisasi beroperasi berdasarkan sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai yang dimiliki oleh masyarakat. Organisasi mungkin menghadapi ancaman terhadap legitimasinya. Lindblom (1994) menyatakan bahwa suatu organisasi mungkin menerapkan empat strategi legitimasi ketika menghadapi berbagai ancaman legimitasi. Oleh karena itu untuk menghadapi kegagalan kinerja perusahaan (seperti kecelakaan yang serius atau skandal keuangan), organisasi mungkin: 1) Mencoba untuk mendidik stakeholdernya tentang tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya. 2) Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu kejadian (tetapi tidak merubah kinerja aktual organisasi). 3) Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah yang menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif yang tidak berhubungan dengan kegagalan - kegagalan). 4) Mencoba untuk merubah ekspektasi eksternal tentang kinerjanya. Teori legitimasi memberikan dampak peningkatan citra positif bagi perusahaan. Teori legitimasi dalam bentuk umum memberikan pandangan yang penting terhadap praktek pengungkapan sosial perusahaan. Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial perusahaan bisa ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi yang disarankan oleh Lindblom. Sebagai misal kecenderungan umum bagi pengungkapan sosial perusahaan untuk menekankan pada poin positif bagi perilaku organisasi dibandingkan dengan elemen yang negatif. Pemikiran tentang legitimasi merupakan sebuah penemuan dalam pemikiran modern, yang terwakili dengan baik pada janji Rousseau dalam Social Contract, yang memperlihatkan bagaimana sebuah otoritas politik dapat disebut sah . Pemikiran tentang legitimasi selanjutnya dikembangkan oleh Weber dalam perpektif teori modern menyatakan terdapat asumsi bahwa legitimasi harus memiliki hubungan ciri-ciri otoritatif, hukum, perasaan, mengikat, atau kebenaran yang melekat pada sebuah tatanan; sebuah pemerintah atau negara dianggap sah, jika memiliki hak-hak untuk memerintah. Menurut pandangan ini hak dapat diterima sebagai keyakinan dalam kesesuaian dengan tatanan yang ada dan hak untuk
- 28 -
Jurnal Kinerja Volume 9 No 2 Nopember 2012
memerintah. Adanya standar obyektif bersifat eksternal atau universal untuk menilai kebenaran yang didasarkan pada hukum alamiah, penalaran, atau sebuah prinsip transhistoris nampaknya selalu ditolak dengan alasan tidak masuk akal atau naif. Di sinilah Weber sebagai ahli sosiologi membentangkan empat alasan untuk memperoleh legitimasi bagi setiap tatanan sosial, yakni; (1) tradisi; (2) pengaruh; (3) rasionalitas nilai dan (4) legalitas. (Scaff, 2000: 563). c) Teori Ekonomi Politik Pandangan yang diberikan oleh teori legitimasi sebenarnya dibangun berdasarkan teori lain yaitu, teori ekonomi politik. Teori ekonomi politik secara eksplisit mengakui kekuatan konflik yang terdapat dalam masyarakat serta berbagai perebutan yang terjadi dalam berbagai kelompok dalam masyarakat. Teori ekonomi politik dibagi menjadi dua yaitu teori ekonomi politik klasik dan teori ekonomi politik burjois. Teori ekonomi klasik berkaitan dengan filsafat Karl Marx yang secara eksplisit menyatakan adanya kepentingan kelompok, konflik struktural, ketidakadilan, dan peran negara sebagai pusat pengendali. Ini berbeda dengan teori ekonomi politik burjois yang mengabaikan elemen-elemen tsb, isinya memandang dunia sebagai keadaan yang plural. Teori ekonomi klasik memandang pelaporan akuntansi dan pengungkapan sebagai alat penjaga posisi pihak yang berkuasa terhadap sumber daya (kapital), dan sebaliknya sebagai alat untuk merongrong pihak yang tidak punya sumber daya. Fokusnya pada konflik struktural dalam masyarakat. Teori ekonomi politik memberi penekanan pada hubungan fundamental antara dorongan ekonomi dan politik dalam masyarakat (Miller 1994) dan mengakui pengaruh laporan akuntansi terhadap distribusi pendapatan, kekuasaan dan kekayaan (Cooper dan Shereer, 1984). Sesuai dengan Cooper dan Sherer (1984), studi akuntansi seharusnya memasukan power dan konflik dalam masyarakat, sehingga studi akuntansi harus fokus pada dampak pelaporan akuntansi khususnya pada distribusi income, kesejahteraan dan power di masyarakat. Ini konsisten dengan Lowe dan Tinker (1977) yang berargumentasi bahwa mayoritas riset akuntansi harus berbasis pada konsep masyarakat yang plural. Pandangan pluralistik ini mengasumsikan bahwa power tersebar secara luas dan masyarakat terdiri dari individu-individu yang memiliki preferensi pilihan-pilhan sosial, dengan tidak ada seorang individupun yang dapat mempengaruhi masyarakat (atau fungsi akuntansi yang ada didalamnya). Pandangan pluralis mengabaikan bukti bahwa di dalam masyarkat ada segelintir elit yang mengontrol yang menggunakan akuntansi untuk menjaga posisi dominasinya. Sebaliknya, teori ekonomi politik burjuois tidak memperhatikan adanya konflik struktural dan pertentangan klas tapi lebih cenderung melihat adanya interaksi antar kelompok dalam dunia yang plural (misal, negosiasi antara perusahaan dengan penduduk setempat). Menurut Deegan (2002) perspektif yang dicakup dalam teori legitimasi dan juga teori politik ekonomi adalah bahwa masyarakat, politik dan ekonomi tidak dapat dipisahkan dan isu-isu ekonomi tidak dapat diinvestigasi secara bermakna dalam kondisi ketiadaan pandangan mengenai kerangka institusi politik dan ekonomi dimana kegiatan ekonomi itu dijalankan. Dengan mempertimbangkan ekonomi politik, seseorang akan lebih mampu untuk mempertimbangkan isu yang memberi pengaruh atas kegiatan organisasi dan informasi apa yang dipilih untuk diungkapkan. Menurut Guthrie dan Parker (1990), perspektif ekonomi politik memandang laporan akuntansi sebagai dokumen ekonomi, politik dan sosial. Semua ini dianggap sebagai
- 29 -
Muhammad Ikbal
alat untuk mengkonstruksi, mempertahankan dan melegitimasi rencana, institusi dan ideology yang mana akan memberikan kontribusi bagi kepentingan perusahaan. Pengungkapan dalam hal ini memiliki kapasitas untuk menyampaikan makna ekonomi, sosial dan politik kepada para penerima laporan. Gray, Kouhy dan Lavers (1994) berpendapat bahwa teori legitimasi merupakan perspektif teori yang berada dalam kerangka teori ekonomi politik. Oleh karena pengaruh masyarakat luas dapat menentukan alokasi sumber keuangan dan sumber ekonomi lainnya, perusahaan cenderung menggunakan kinerja berbasis lingkungan dan pengungkapan informasi lingkungan untuk membenarkan atau melegitimasi aktivitas perusahaan di mata perusahaan. PEMBAHASAN: HUBUNGAN ANTAR KONSEP PRAKTEK PENGUNGKAPAN SOSIAL 3.1. Hubungan Ukuran Perusahaan dengan Pengungkapan Sosial dan Lingkungan Hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian empiris (sebagai misal, Belkaoui dan Karpik, 1989; Cowen et. al., 1987; Kelly, 1981; Ng, 1981; Patten 1991, 1992; Trotman dan Bradley, 1981). Teori legitimasi memiliki alasan tentang hubungan ukuran dan pengungkapan. Perusahaan yang lebih besar melakukan aktivitas yang lebih banyak sehingga memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap masyarakat, memilik lebih banyak pemegang saham yang punya perhatian terhadap program sosial yang dilakukan perusahaan dan laporan tahunan merupakan alat yang efisien untuk mengkomunikasikan informasi ini (Cowen et. Al., 1987). Meskipun demikian, tidak semua penelitian mendukung hubungan ukuran-pengungkapan. Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan. Menurut Siregar dan Utama dalam Nofandrilla (2008), semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham semakin banyak. Sembiring (2005) dan Nofandrilla (2008) menemukan pengaruh yang signifikan ukuran perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Namun, hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2006) dan Roberts (1992) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan Penelitian Robert (1992) di Amerika Serikat menemukan tidak ada hubungan antara ukuran perusahaan dengan pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian Davey (1982) dan Ng (1985) di New Zeland gagal untuk mendukung hubungan ukuran perusahaan dan praktek pengungkapan social perusahaan yang telah dihipotesiskan. Guthrie dan Mathews menyatakan bahwa hasil Davey (1982) dan Ng (1985) yang demikian itu disebabkan oleh kecilnya sampel yang digunakan. Penelitian Hackston dan Milne (1996) di New Zealand berhasil untuk mendukung pengaruh ukuran perusahaan dan praktek pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan di New Zealand. 3.2.
Hubungan Struktur Kepemilikan dengan Pengungkapan Sosial dan Lingkungan
- 30 -
Jurnal Kinerja Volume 9 No 2 Nopember 2012
3.2.1. Kepemilikan Institusional Struktur kepemilikan (ownership structure) adalah struktur kepemilikan saham, yaitu perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (insiders) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor. Atau dengan kata lain struktur kepemilikan saham adalah proporsi kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen,dan kepemilikan asing dalam kepemilikan saham perusahaan. Dalam menjalankan kegiatannya, suatu perusahaan diwakili oleh direksi ( agents) yang ditunjuk oleh pemegang saham (principals). Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi (badan). Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer (Arif 2006 dalam Machmud & Djaman 2008). Machmud & Djaman (2008) menyatakan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, namun Nofandrilla (2008) menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (1976), salah satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan institusional yang berfungsi untuk mengawasi agen. Degan kata lain, akan mendorong pengawasan yang optimal terhadap kinerja manajemen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan oresentase kepemilikan institusional dapat menurunkan presentase kepemilikan manajerial karena kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional bersifat saling menggantikan sebagai fungsi monitoring ( Suranta dan Machfoedz 2003: 215). Peningkatan kepemilikan institusional menyebabkan pengawasan yang ketat terhadap kinerja manajemen sehingga secara otomatis manajemen akan menghindari perilaku yang merugikan prinsipal. Semakin besar institusional ownership maka semakin kuat kendali yang dilakukan pihak eksternal terhadap perusahaan. 3.2.2. Kepemilikan Manajerial Kepemilikan manajerial adalah kondisi yang menunjukkan bahwa manajer memiliki saham dalam perusahaan atau manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan ( Rustiarini, 2008). Pihak tersebut adalah mereka yang duduk di dewan komisaris dan dewan direksi perusahaan. Keberadaan manajemen perusahaan mempunyai latar belakang yang berbeda, antara lain: pertama, mereka mewakili pemegang saham institusi, kedua, mereka adalah tenaga- tenaga professional yang diangkat oleh pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Ketiga, mereka duduk di jajaran manajemen perusahaan karena turut memiliki saham. Berdasarkan teori keagenan, “hubungan antara manajemen dengan pemegang saham, rawan untuk terjadinya masalah keagenan. Teori keagenan menyatakan bahwa salah satu mekanisme untuk memperkecil adanya konflik agensi dalam perusahaan adalah dengan memkasimalkan jumlah kepemilikan manajerial. Dengan menambah jumlah kepemilikan manajerial, maka manjemen akan merasakan dampak langsung atas setiap keputusan yang mereka ambil karena mereka menjadi pemilik perusahaan” ( Jensen dan Meckling 1976; 86). Peningkatan atas kepemilikan manajerial akan membuat kekayaan manajemen, secara pribadi, semakin terikat dengan kekayaan perusahaan sehingga manajemen akan berusaha mengurangi resiko kehilangan kekayaanya. Kepemilikan manajerial yang tinggi berakibat pada rendahnya dividen yang dibayarkan kepada
- 31 -
Muhammad Ikbal
shareholder. Hal ini disebabkan karena pembiayaan yang dilakukan oleh manajemen terhadap nilai investasi di masa yang akan datang bersumber dari biaya internal. 3.3.
Hubungan Type Industri dengan Pengungkapan Sosial dan Lingkungan Kegiatan ekonomi mempengaruhi lingkungan, seperti industri extractive akan lebih suka mengungkapkan informasi tentang pengaruh terhadap lingkungan mereka dibandingkan dengan perusahaan di industri lain. Perusahaan yang berorientasi pada konsumen diduga akan memberikan perhatian yang lebih besar dengan menunjukkan tanggungjawab sosial mereka, karena hal ini akan menambah image perusahaan dan mempengaruhi penjualan (Cowen et al., 1987). Penelitian Patten (1991), menyatakan bahwa seperti halnya ukuran perusahaan mempengaruhi pandangan politis, hal ini akan membuat pengungkapan sosial menangkal tekanan yang tak semestinya dan kritikan dari aktivitas sosial. Penelitian Cowen et al., (1987) menemukan bahwa industri mempengaruhi pengungkapan energi dan keterlibatan masyarakat. Beberapa penelitian empiris telah menemukan hubungan positif antara industri dan pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian Kelly (1981) di Australia menemukan bahwa perusahaan industri utama dan sekunder mengungkapkan lebih banyak informasi yang berhubungan dengan lingkungan dan energi dibandingkan dengan perusahaan di bidang industri tersier, sedangkan hubungan yang berkebalikan ditemukan untuk informasi yang berhubungan dengan interaksi masyarakat. Dalam penelitian pada perusahaan Amerika yang mirip dalam desain Kelly, Cowen et al., (1987) menemukan bahwa kategori industri mempengaruhi pengungkapan energi dan keterlibatan masyarakat. Namun demikian, hasil mereka secara jelas mengindikasikan bahwa kejadian dan jumlah total pengungkapan sosial perusahaan tidak berhubungan dengan indusri. Berlawanan dengan penemuan ini, Patten (1991) dan Robert (1992) telah menemukan hubungan positif antara industri high profile dan jumlah pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan. Untuk ukuran baik Davey (1982) dan Ng (1985) gagal untuk menemukan hubungan antara industri dan pengungkapan sosial perusahaan untuk perusahaan New Zealand. Sedangkan Hackston dan Milne (1996) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara tipe industri dan pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan di New Zealand. Penelitian ini menguji kembali hubungan tipe industri dan pengungkapan sosial perusahaan . 3.4.
Hubungan Profitabiltas dengan Pengungkapan Sosial dan Lingkungan Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial menurut Belkaoui dan Karpik (1989) paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Penelitian tentang hubungan profitabilitas dengan pengungkapan informasi sosial atau tanggung jawab sosial menunjukkan hasil bahwa antar keduanya tidak ditemukan adanya hubungan (Sembiring, 2003 dan 2005; Anggraini, 2006; dan Sulastini, 2007). Choi (1998) dalam Hossain dkk (2006) menyatakan bahwa hubungan profitabilitas dan pengungkapan CSR merupakan isu kontroversial untuk dipecahkan. Argumentasinya adalah bahwa akan terdapat biaya tambahan dalam rangka pengungkapan CSR. Dengan demikian, profitabilitas akan menjadi turun.
- 32 -
Jurnal Kinerja Volume 9 No 2 Nopember 2012
Hubungan antara pengungkapan sosial perusahaan dan profitabilitas perusahaan telah menjadi postulat untuk menggambarkan pandangan bahwa tanggapan sosial memerlukan gaya manajerial yang sama seperti apa yang perlu dilakukan untuk membuat perusahaan menghasilkan laba [Bowman & Haire, 1916 dalam Hackston dan Milne (1996)]. Pengungkapan sosial perusahaan dipercaya mencerminkan suatu pendekatan manajemen adaptif yang berhubungan dengan suatu lingkungan yang dinamik, multidemensinal, mempunyai kemampuan untuk menghadapi tekanan sosial dan tanggap terhadap kebutuhan sosial. Kemampuan manajemen seperti dianggap perlu untuk dipertahankan dalam lingkungan perusahaan sekarang ini (Cowen el al., 1987) meskipun demikian Bowman & Haire, (1976) dalam Hackston dan Milne (1996) menyatakan bahwa profitabilitas adalah faktor yang memungkinkan manajemen bebas dan fleksibel untuk melakukan dan menyatakan pada pemegang saham program-program pertanggungjawaban sosial yang ekstensif. Robert (1992) menemukan hubungan antara laba sebelumnya dan pengungkapan sosial perusahaan, Patten (1991) menggunakan ukuran berganda untuk profitabilitas termasuk laba sebelumnya dan gagal menemukan hubungan antara pengungkapan sosial perusahaan dan profitabilitas. Penelitian Davey (1982), Ng (1985) dan Hackston dan Milne (1996) tidak dapat menemukan bukti hubungan pengungkapan sosial perusahaan dan profitabilitas di perusahaan di New Zeland. Hasil beberapa penelitian terhadap hubungan pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan - profitabilitas memberikan hasil yang sangat beragam. Bowman dan Haire (1976) dan Preston (1978) menyajikan hasil yang mendukung hubungan profitabilitas pengungkapan sosial perusahaan. Penelitian Bowman dan Haire (1976) melaporkan perbedaan yang signifikan untuk rata - rata ROE selama 5 tahun antara perusahaan yang mengungkapkan dengan perusahaan yang tidak mengungkapkan. Penelitian Preston (1978) dalam Hackston dan Milne (1996) melaporkan ROE satu tahun yang lebih tinggi untuk perusahaan yang lebih mengungkapkan dibandingkan perusahaan lain yang termasuk Fortune 500. Penelitian Cowen et al., (1987) gagal untuk mendukung hubungan profitability pengungkapan sosial perusahaan. KESIMPULAN Ukuran perusahaan merupakan variabel penduga yang banyak digunakan untuk menjelaskan variasi pengungkapan dalam laporan tahunan perusahaan, semakin besar ukuran perusahaan, informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi saham semakin banyak. Struktur kepemilikan (ownership structure) adalah struktur kepemilikan saham, yaitu perbandingan jumlah saham yang dimiliki oleh orang dalam (insiders) dengan jumlah saham yang dimiliki oleh investor. Salah satu cara untuk mengurangi agency cost adalah dengan meningkatkan kepemilikan institusional yang berfungsi untuk mengawasi agen. Degan kata lain, akan mendorong pengawasan yang optimal terhadap kinerja manajemen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan oresentase kepemilikan institusional dapat menurunkan presentase kepemilikan manajerial karena kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional bersifat saling menggantikan sebagai fungsi monitoring. Perusahaan industri utama dan sekunder mengungkapkan lebih banyak informasi yang berhubungan dengan lingkungan dan energi dibandingkan dengan
- 33 -
Muhammad Ikbal
perusahaan di bidang industri tersier, sedangkan hubungan yang berkebalikan ditemukan untuk informasi yang berhubungan dengan interaksi masyarakat. Kegiatan ekonomi mempengaruhi lingkungan, seperti industri extractive akan lebih suka mengungkapkan informasi tentang pengaruh terhadap lingkungan mereka dibandingkan dengan perusahaan di industri lain. Perusahaan yang berorientasi pada konsumen diduga akan memberikan perhatian yang lebih besar dengan menunjukkan tanggungjawab sosial mereka, karena hal ini akan menambah image perusahaan dan mempengaruhi penjualan. Profitabilitas adalah faktor yang memungkinkan manajemen bebas dan fleksibel untuk melakukan dan menyatakan pada pemegang saham program-program pertanggungjawaban sosial yang ekstensif. Hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan informasi sosial dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengungkapan informasi sosial dalam laporan keuangan tahunan (studi empiris pada perusahaan-perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta). Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang, 23-26 Agustus 2006. Belkaoui, .A dan Karpik, P.G. 1989. Determinant of the corporate decision to disclose social information, Accounting, Auditing and Accountability Journal, vol. 2 No. l. pp. 36-51 Cooper, D.J., Sherer, M.J., 1984. The Value of Corporate Accounting Reports— Arguments for a Political Economy of Accounting, Accounting, Organizations and Society, Vol. 9, No. 3/4, pp. 207-32. Deegan, C. and Gordon B., 1996. A Study of the Environmental Disclosure Practices of Australian Corporations, Accounting and Business Research. Vol. 26, No. 3, (Summer), pp. 187-99. Deegan, C., Rankin, M., 1996. Do Australian companies report environmental news objectively? An analysis of environmental disclosures by firms prosecuted successfully by the Environmental Protection Authority, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9, No. 2, pp. 52-69. Deegan, C., Rankin, M.,Voght, P., 2000. Firms Disclosure Reactions to Major Social Incidents: Australian Evidence, Accounting Forum, Special Issue on Social and Environmental Accounting, Vol. 24, No. 1, pp. 101-30. Gray, R, Owen D., dan Adams, C. 1996., Accounting and Accountability, Prentice Hall Europe. Gray, R., Kouhy, R dan Laver, S. 1995a. Corporate social and environmental reporting: a review of the literature and a longitudinal study of UK disclosure, Accounting, Auditing and Accountubility Journal, Vol. 8 No. 2 pp. 78-101. Gray, R., Kouhy, R., Lavers, S., 1995. Corporate Social and Environmental Reporting: A Review of the Literature and a Longitudinal Study of UK
- 34 -
Jurnal Kinerja Volume 9 No 2 Nopember 2012
Disclosure, Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 8, No. 2, pp. 47- 77. Gray, R., Owen, D. dan Maunders, K. 1987. Corporate Social Reporting: Accounting and Accountability, Prentice-Hall, London. Guthrie, J. dan Parker, L.D. 1990. Corporate social disclosure practice: a comparative international analysis, Advances in Public Interest Accounting, Vol. 3. Pp. 159-75. Hackston, David. dan Markus, J Milne, 1996. Some determinants of social and environmental disclosures in New Zealand Companies, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9 No. 1, pp. 77-108. Kelly, G.J 1981. Australian social responsibility disclosure: some insights into contempory measurement, Accounting and Finance, Vol. 21 No. 2, pp. 97104. Krippendorff, K. 1980. Content Analysis: An Introduction to its Methodology, Sage, London. Lowe, E.A., Tinker, A., 1977. Sighting the Accounting Problematic: Towards an Intellectual Emancipation of Accounting, Journal of Business Finance and Accounting, Vol. 4, No. 3, pp. 263-76. Utomo, Muhammad Muslim. 1999. Praktek Pengungkapan Sosial pada Laporan Tahunan Perusahaan Di Indonesia, Makalah SNA III. Ng, L. W. 1985. Social responsibility disclosures of selected New Zealand companies for 1981, 1982, 1983, Occasional paper No. 54, Massey University, Palmerston North. Patten, D. M. 1991. Exposure, legitimacy, and social disclosure, Journal of Accounting and Public Policy, Vol. 10, pp. 297-308. Roberts, R.W. 1992. Determinants of corporate social responsibility disclosure: an application of stakeholder theory, Accounting, Organizations and Society Vol. 17 No. 6, pp. 595-612. Sembiring, Eddy Rismanda. 2003. Kinerja Keuangan, Political Visibility, Ketergantungan Pada Hutang, dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Akuntansi VI, Surabaya, 16 – 17 Oktober 2003.
- 35 -
Muhammad Ikbal
- 36 -