PENGARUH STAKEHOLDERS POWER DAN KARAKTERISTIK PERUSAHAAN TERHADAP PENGUNGKAPAN SOSIAL DAN LINGKUNGAN Adrianus Henri Hartanto, Purwatiningsih Departemen Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kekuatan stakeholder dan karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan lewat penilaian menggunakan GRI G3.1 Guidelines pada perusahaan yang terdaftar di indeks SRI-KEHATI yang dirilis oleh Bursa Efek Indonesia tahun 2009 s/d tahun 2012. Terdapat 44 observasi (11 perusahaan sampel per tahun) yang digunakan dalam penelitian ini yang berdasarkan metode purposive sampling. Hasil uji statistik dengan metode Fixed Effect menunjukan bahwa kepemilikan pemegang saham mayoritas, ukuran perusahaan, dan profitabilitas perusahaan memiliki pengaruh positif terhadap GRI G3.1 Guidelines Scoring. Komponen lainnya, yakni kepemilikan pemerintah, kekuatan kreditur, reputasi auditor, dan jenis industri tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.
The impact of Stakeholders Power and Corporate Characteristics towards Social and Environmental Disclosure Abstract The objective of this study is to analyze the impact of stakeholders power and corporate characteristic towards social and environmental disclosure by scoring method using GRI G3.1 Guidelines of firms listed in SRI-KEHATI index released by Indonesia Stock Exchange from 2009 to 2012. There are 44 observations (11 sample companies per year) used in this study based on purposive sampling method. Statistical test, based on Fixed Effect method, shows that shareholders power, firm size, and profitability are positively related to GRI G3.1 Guidelines Scoring. Other components such as government power, creditor power, audit quality, and industry type have no significant effect on social and environmental disclosure. Keywords: Stakeholder, Stakeholder Power, Disclosure, Global Reporting Initiative, Corporate Governance.
1
Pendahuluan Pada abad ke 20, ekonomi dunia yang sebelumnya terus berkembang karena
kapitalisme menghadapi permasalahan global dalam bentuk krisis finansial (Morck dan Steier, 2003). Tanpa terkecuali, Asia juga terkena dampaknya sejak tahun 1997 (Sutthirak dan Gonanjar, 2012). Mitton (2002) menyatakan bahwa krisis finansial, khususnya di Asia timur, muncul karena tatakelola perusahaan yang relatif buruk, meskipun sebenarnya konsep tatakelola perusahaan sendiri sudah jauh diperkenalkan sebelumnya. Akibat krisis dunia yang terjadi, pelaku bisnis tersadar untuk melakukan corporate governance dengan baik demi mencapai keberlangsungan usaha (Mitton, 2002). Hadirnya corporate governance kemudian
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
menurunkan beberapa teori tentang shareholder dan manajemen perusahaan, misalnya entity theory (Alijoyo, 2004), stewardship theory (Donaldson dan Davis, 1991), dan agency theory (Jensen dan Meckling, 1976). Munculnya stakeholder theory membuat perusahaan tidak lagi hanya memperhatikan shareholder namun juga konsumen, kreditur, supplier, hingga karyawannya sendiri karena tergolong sebagai kelompok pemangku kepentingan (Freeman, 1984; Donaldson dan Preston, 1995). Konsep Corporate Social Responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) muncul dan berkembang pesat selama satu dekade terakhir yang menekankan bahwa perusahaan wajib memberikan timbal balik kepada masyarakat sebagai kompensasi segala keuntungannya yang didapatkan tidak lain dari masyarakat sendiri (Katsoulakos, 2004). CSR juga muncul bersama isu-isu lain yang mulai memikirkan masa depan dan seringkali mengecam perusahaan agar tidak terjadi eksploitasi alam secara besar-besaran demi kelangsungan generasi masa depan. Sustainability Reporting beserta praktik yang mengedepankan keberlanjutan muncul sebagai pedoman utama bagi perusahaan untuk memberikan pelaporan terkait pelaksanaan kegiatan yang
mendukung
sustainable
development
oleh
perusahaan
agar
dapat
mempertanggungjawabkan praktik bisnis yang selain menguntungkan juga ramah lingkungan kepada para pemegang saham dan publik (Ernst & Young, 2013). Global Reporting Initiatives menjadi pionir dalam tumbuhnya gerakan pelaporan keberlanjutan di seluruh dunia. Pada tahun 2006, muncul G3 Guidelines yang banyak diadaptasi oleh para pelaku bisnis untuk menjadi dasar acuan pelaporan keberlanjutan di negara masing-masing. G3 kemudian direvisi menjadi G3.1 Guidelines yang banyak memasukkan isu-isu sensitif seperti gender, hak asasi, dan community development. Terdapat dua tipe pengungkapan yang dikenal luas, yakni pengungkapan wajib dan pengungkapan sukarela (Darrough, 1993). Pengungkapan wajib adalah kegiatan pelaporan yang diwajibkan oleh regulator di suatu negara sementara pengungkapan sukarela adalah praktik pelaporan yang dilakukan oleh perusahaan tanpa keharusan (Choi dan Meek, 2008). Pelaporan publik di Indonesia diatur oleh Badan Pengawas Pasar Modal (kini bernama Otoritas Jasa Keuangan, 2012) lewat peraturan XK-6 yang intinya mensyaratkan seluruh perusahaan publik untuk menyampaikan laporan tahunan. Pelaporan keberlanjutan merupakan suatu bentuk pengungkapan sukarela yang dibuat oleh sebuah entitas untuk melengkapi laporan tahunan wajib yang isinya mayoritas membahas tentang kinerja ekonomi, profitabilitas, serta bukti-bukti pendukung kewajaran (GRI, 2009). Di Indonesia sudah ada 40 perusahaan yang telah menerbitkan laporan keberlanjutan (Meryani, 2013) meskipun belum konsisten periode dan aksesibilitasnya. Jumlah ini dikatakan cukup baik karena di merupakan
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
yang tertinggi di Asia Tenggara, dengan Malaysia memiliki 10 perusahaan yang menerbitkan sustainability report, Singapura memiliki 15 dan jumlah yang masih sedikit namun terus berkembang di Filipina dan Thailand (Jalal, 2013). Diyakini cukup banyak faktor yang membuat pelaporan keberlanjutan belum dilakukan. Perusahaan pembuat sustainability report seringkali tidak mendapatkan dampak ekonomi signifikan, meskipun telah membayar biaya cukup mahal untuk mengungkapkan informasi lingkungannya (Jalal, 2013). Namun, ditengah zaman yang sangat menjunjung tinggi brand image sebagai sumber kepercayaan konsumen, diyakini bahwa dengan menerapkan pelaporan sukarela, perusahaan dapat menjauhkan citra negatif dan memberikan assurance bagi para pemangku kepentingannya bahwa mereka melakukan bisnis sepenuhnya dengan etika dan tanggung jawab sosial (Kaur dan Agrawal, 2011). Abeysekera dan Lu (2014) melakukan penelitian mengenai salah satu bentuk pengungkapan sukarela yaitu pengungkapan sosial dan lingkungan. Dalam penelitiannya, Abeysekera dan Lu (2014) mengkaji pengaruh dari kekuatan para pemangku kepentingan terhadap karakteristik pengungkapan sosial dan lingkungan melalui G3 Guidelines terhadap 100 perusahaan di China yang termasuk dalam Chinese Stock-listed Firms Social Responsibility Ranking List(2008). Kekuatan pemangku kepentingan dibagi menjadi 4 menurut Abeysekera dan Lu (2014) yakni kekuatan pemerintah, kekuatan pemegang saham, kekuatan kreditur, serta reputasi auditor. Karateristik perusahaan dinyatakan dalam 4 variabel yakni ukuran perusahaan, profitabilitas, jenis industri perusahaan sampel, dan overseas listing. Untuk menunjang penelitiannya, Abeysekera dan Lu (2014) menggunakan beberapa teori dasar dalam mekanisme tatakelola perusahaan, teori pengungkapan, pelaporan keberlanjutan, profitabilitas, dan juga banyak membahas tentang pemangku kepentingan. Dalam penelitiannya, Abeysekera dan Lu (2014) menggunakan dua komponen penilaian lagi selain G3 Guidelines yakni memberikan kuesioner kepada enam jenis pemangku kepentingan dari seluruh sampel dan mengatur pertemuan diskusi panel dengan 12 jenis pemangku kepentingan dari seluruh sampel. Dua metode tersebut (kuesioner dan diskusi panel) tidak digunakan dalam penelitian ini karena keterbatasan peneliti dalam waktu dan kesulitan mendapatkan akses untuk melakukan kuesioner dan diskusi panel dari para pemangku kepentingan perusahaan. Agar konsisten dengan sampel yang dipilih oleh Abeysekera dan Lu (2014), peneliti mengambil indeks yang relevan terkait dengan pelaporan keberlanjutan di Bursa Efek Indonesia yakni indeks Sustainability Reporting Initiatives – Keanekaragaman Hayati atau lebih sering akan disebut indeks SRI-KEHATI. Indeks SRI-KEHATI ini merupakan indeks
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
yang dirilis setiap 6 bulan sekali yang berisi 25 ranking perusahaan terbaik dalam hal pelaporan keberlanjutan. 2
Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah dan landasan teori terkait dengan pengaruh variabel
independen dan variabel kontrol terhadap variabel dependen terdapat 3 hipotesis yang digunakan untuk menjawab tujuan dari penelitian, hipotesisnya adalah sebagai berikut :
2.1
Hubungan
Kekuatan
Pemerintah
terhadap
Pengungkapan
Sosial
dan
Lingkungan.
Roberts (1992) dalam penelitiannya memberikan bukti empiris untuk mendukung
argument Freeman (1984) mengenai perspektif stakeholder, yang menyatakan bahwa kepemilikan pemerintah memberikan pengaruh kepada strategi perusahaan dan performa lewat peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Liu dan Anbumozhi (2009) dalam penelitiannya di China menemukan bahwa pemerintah China memiliki pengaruh yang positif dan signifikan dalam pengungkapan lingkungan pada perusahaan China yang terdaftar di bursa. Abeysekera dan Lu (2014) menyatakan bahwa pemerintah menggunakan kewajiban sosial dan lingkungan sebagai alat strategis untuk memenuhi permintaan dari stakeholder dan pihak lain yang terkait. Variabel ini berupa dummy yang memberikan nilai 1 pada perusahaan yang dimiliki oleh pemerintah dan 0 jika tidak dimiliki oleh pemerintah. H1:
Kekuatan Pemerintah memiliki hubungan yang positif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.
2.2
Hubungan Kekuatan Pemegang Saham Mayoritas terhadap Pengungkapan Sosial dan Lingkungan.
Beberapa studi sebelumnya (Choi, 1999; Liu dan Anbumozhi, 2009; Roberts,
1992) dalam Abeysekera dan Lu (2014) telah menguji hubungan dari kepemilikan pemegang saham mayoritas dalam mempengaruhi pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekuatan pemegang saham mayoritas memiliki hubungan negatif insignifikan. Keim (1978) dalam penelitiannya menemukan hasil bahwa semakin tidak terkonsentrasi kepemilikan dalam sebuah perusahaan, maka akan semakin banyak juga tuntutan permintaan dari berbagai
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
pemegang saham. Selain itu ditemukan juga bahwa semakin tidak terkonsentrasi kepemilikan dalam suatu perusahaan, manajemen semakin memiliki dorongan untuk mengungkapkan informasi-‐informasi yang relevan untuk memenuhi keinginan pemegang saham. Ullman (1985) selanjutnya menyatakan bahwa kepemilikan yang semakin tidak terkonsentrasi akan memberikan tekanan pada manajemen untuk memberikan informasi pengungkapan kewajiban sosial. Variabel ini dapat diukur lewat persentase kepemilikan pemegang saham terbesar yang terdapat di perusahaan. H2:
Kekuatan Pemegang Saham Mayoritas memiliki hubungan yang positif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.
2.3
Hubungan
Kekuatan
Kreditur
terhadap
Pengungkapan
Sosial
dan
Lingkungan.
Dalam praktiknya, kreditur sebagai penyedia pinjaman modal adalah stakeholder
yang cukup dominan dalam perusahaan karena sangat mempengaruhi kegiatan perusahaan dan pengungkapan. Roberts (1992) menyatakan bahwa semakin besar ketergantungan perusahaan terhadap pembiayaan lewat hutang, maka perusahaan akan semakin dihadapkan pada tekanan bahwa manajemen diharapkan untuk memenuhi permintaan kreditur terkait kegiatan sosial dan lingkungan perusahaan. Meskipun begitu, hasil studi Cornier dan Magnan (2003) menyatakan hal yang sebaliknya bahwa terdapat hubungan negative dari hutang finansial terhadap pengungkapan. Menurut mereka, hanya perusahaan yang memiliki rasio hutang yang rendah yang dapat mengatasi tradeoff yang dihasilkan dari biaya pengungkapan informasi dan manfaat yang mereka dapatkan. Dengan dua hasil yang berbeda ini, penelitian ini melakukan pengujian ulang mengenai pengaruh kreditur terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan, yang dapat diukur variabelnya lewat rasio total hutang/total asset di akhir tahun. H3:
Kekuatan Kreditur memiliki hubungan yang negatif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.
2.4
Hubungan
Ukuran
Perusahaan
terhadap
Pengungkapan
Lingkungan.
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
Sosial
dan
Perusahaan yang lebih besar akan lebih memperhatikan tanggapan publik lewat
informasi yang mereka berikan sehingga akan lebih memberikan informasi yang relevan untuk mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat (Cormier and Gordon, 2001). Perusahaan yang lebih besar cenderung lebih memiliki pemegang saham yang memiliki minat lebih tinggi terhadap kegiatan sosial perusahaan dan lebih memberikan informasi kegiatan sosial perusahaan (Cowen et al, 1987). Ukuran perusahaan telah ditemukan sebagai indikator kuat dalam mempengaruhi kegiatan sosial perusahaan dan pengungkapan lingkungan (Choi, 1999; Cormier dan Gordon, 2001; Hackston dan Milne, 1996; Liu dan Anbumozhi, 2009). H4:
Ukuran Perusahaan memiliki hubungan yang positif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.
2.5
Hubungan Profitabilitas Perusahaan terhadap Pengungkapan Sosial dan Lingkungan.
Ullman (1985) menyatakan bahwa performa ekonomi perusahaan dapat
mempengaruhi kapabilitas finansial perusahaan untuk mengeluarkan biaya aktivitas sosial perusahaan. Perusahaan yang memiliki keuntungan sangat besar lebih kredibel terhadap opini publik yang meningkatkan ekpektasi sosial terhadap akuntabilitas sehingga mereka cenderung lebih cepat dalam menyelesaikan isu sosial dan lingkungan. Beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa terhadap hubungan positif dari profitabilitas perusahaan dan pengungkapan sosial-‐lingkungan perusahaan (Cormier dan Magnan, 1999, 2003; Roberts, 1992). Variabel ini dapat diukur dari rasio profit margin perusahaan di tahun yang bersangkutan. H5:
Profitabilitas Perusahaan memiliki hubungan yang positif terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan.
3
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode regresi fixed effect model karena paling
representatif menurut pengujian statistika. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah perusahaan yang secara konsisten masuk di Indeks Sustainability Reporting InitiativeKeanekaragaman Hayati (SRI-KEHATI) pada tahun 2009-2012 dan mempublikasikan data
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
laporan tahunan serta laporan keberlanjutannya secara lengkap. Dari kriteria pemilihan sampel yang digunakan, didapatkan sampel penelitian sebanyak 11 perusahaan setiap tahunnya, sehingga selama 4 tahun, didapatkan 44 sampel untuk penelitian ini. 3.1
Model Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari stakeholders power (Kekuatan
Pemerintah, Kekuatan Pemegang Saham Mayoritas, dan Kekuatan Kreditur) dan karakteristik perusahaan (Ukuran Perusahaan dan Profitabilitas) terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan. SCOREit = β0+ β1CSOEit+ β2OWNit+β3LEVi+ β4SIZEit+ β5FINit+ε (3.1) Dimana: Variabel SCORE
Definisi Merepresentasikan
kualitas
pengungkapan
laporan
tahunan
dan
laporan
keberlanjutan sampel berdasarkan GRI G3.1 Guidelines. CSOE
Merepresentasikan kekuatan pemerintah dengan dummy variable dimana angka 1 akan diberikan ketika terdapat kepemilikan pemerintah dalam perusahaan.
OWN
Merepresentasikan kekuatan pemegang saham mayoritas, diukur lewat persentase kepemilikan saham terbesar.
LEV
Merepresentasikan kekuatan kreditur, diukur lewat Debt to Equity Ratio.
SIZE
Merepresentasikan ukuran perusahaan, diukur lewat logaritma natural total pendapatan perusahaan.
FIN
Merepresentasikan profitabilitas perusahaan, diukur lewat Profit Margin Ratio. Sumber: Olahan Peneliti (2014)
4
Analisis dan Pembahasan
4.1
Analisis Deskriptif Variabel Tabel 4.1 Analisis Deskriptif Variabel Variabel SCORE CSOE OWN LEV
MEAN 13861.65909 0.636363636 0.5685 0.389381818
MIN 4992 0 0.1017 0.0036
MAX 31948 1 0.7968 0.915
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
STDV 5887.31449 0.4866071 0.166519423 0.276532588
SIZE FIN
30.69405787 29.63577723 32.86774495 0.322395455 0.1375 0.6345 Sumber: Olahan Peneliti (2014)
0.929167981 0.137251384
Variabel SCORE memiliki rata-rata sebesar 13861,6509 yang menggambarkan bahwa kinerja pengungkapan sosial dan lingkungan di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan nilai maksimal yang dapat diperoleh perusahaan jika memenuhi seluruh indikator yang terdapat pada GRI G3.1 Guidelines yakni sebesar 222784. Nilai compliance yang relatif rendah ini terjadi karena seluruh sampel hanya menerapkan pedoman GRI pada laporan keberlanjutan saja dan belum pada laporan tahunan mereka. Variabel independen pertama (SCORE) menunjukkan nilai rata-rata sebesar 0.6363 yang berarti bahwa rata-rata kekuatan pemerintah dalam sampel penelitian adalah sebesar 63,63%. Variabel kekuatan pemegang saham mayoritas (OWN) menunjukkan bahwa dari seluruh sampel, ditemukan bahwa rata-rata kepemilikan saham mayoritas adalah sebesar 56,85%. Variabel independen berikutnya, kekuatan kreditur, menunjukkan bahwa rata-rata seluruh sampel penelitian rata-rata memiliki rasio hutang terhadap aset sebesar 38,93%. 4.2 Analisis Model Penelitian Hasil uji kelayakan model menunjukkan bahwa fixed effect model merupakan model regresi yang paling representatif dalam penelitian ini. Berikutnya hasil regresi ini akan diuji bilamana terdapat masalah uji asumsi klasik dalam model ini. Adapun hasil pengujian asumsi klasik menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah multikolinearitas namun hasil regresi mengandung masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi sehingga untuk mengeluarkan kedua masalah tersebut, digunakanlah metode generalized least square. Adapun hasil dari treatment hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Ringkasan Hasil Regresi Penelitian dengan Generalized Least Square Variabel Arah Koefisien Probabilitas CSOE + 98,15566 0,473 OWN + 7227,39 0,035* LEV 2776,42 0,2035 SIZE + 2961,174 0,000* FIN + 37593,46 0,000* Keterangan: * Signifikan pada level 5% Sumber: Olahan peneliti (2014)
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
Hasil pengujian ekonometrika menunjukkan bahwa model panel terbaik yang harus
digunakan untuk penelitian adalah model fixed effect. Dengan ditemukannya masalah heteroskedastisitas dan autokorelasi, maka dipilihlah model generalized least square untuk mendapatkan data hasil regresi yang bebas dari pelanggaran asumsi BLUE tersebut. Model penelitian GLS ini memiliki !! (yang seringkali disebut koefisien determinan) sebesar 0.7272 hasil dari derivasi fixed effect model. Koefisien determinan ini menyatakan bahwa variabelvariabel independen dapat menjelaskan GRI 3.1 Scoring Index sebesar 72,72%. Nilai Prob>chi2 sebesar 0,000 menunjukkan bahwa secara bersama-sama, variabel independen signifikan mempengaruhi variabel dependen dalam model penelitian. Berdasarkan hasil estimasi tabel di atas, dengan menggunakan Generalized Least Square untuk model penelitian, variabel yang signifikan mempengaruhi GRI 3.1 Scoring Index adalah kekuatan pemegang saham mayoritas, ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan. Hasil estimasi menyatakan bahwa kekuatan pemerintah, yang diukur dari hal kepemilikannya, berhubungan positif dengan koefisien 98,1556 namun tidak signifikan mempengaruhi GRI 3.1 Scoring Index pada level signifikansi 5%. Probabilita signifikansi dari pengaruh CSOE ini adalah sebesar 0,473. Hal ini tidak dapat membuktikan Hipotesis1 penelitian yang artinya kekuatan pemerintah tidak dapat meningkatkan GRI 3.1 Scoring Index sebagai praktik pengungkapan yang semakin baik sehingga tercipta kondisi pasar yang efisien. Hasil penelitian ini sejalan dengan Liu dan Anbumozhi (2009), Roberts (1992), dan Freeman (1984) yang sama-sama menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kekuatan pemerintah dengan tingkat pengungkapan sosial dan lingkungan. Pemerintah diyakini dapat meningkatkan kualitas pengungkapan karena perannya sebagai regulator yang mewajibkannya menjadi acuan dalam praktik pelaporan serta harus menjadi pihak yang paling gencar dalam menyadarkan perusahaan-perusahaan agar melakukan transparansi demi pasar modal yang lebih efisien. Tidak signifikannya kepemilikan pemerintah dalam hal ini dapat menelurkan dua kesimpulan. Pertama, pemerintah Indonesia mungkin tidak memberikan penekanan khusus pada pelaporan keberlanjutan. Pemerintah Indonesia harus memberikan perhatian lebih terhadap keberlanjutan usahanya karena perusahaan-perusahaan yang diambil sebagai sampel penelitian ini adalah tonggak utama operasional negara. Kedua, pemerintah Indonesia mungkin sudah sangat baik dalam memberikan dorongan dalam melakukan voluntary disclosure namun ternyata pihak swasta juga memberikan usaha yang sama giatnya dengan
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
pemerintah, dan hal ini berakibat pada sistem pasar modal dan investasi Indonesia berada di jalur yang tepat untuk berkembang ke arah yang lebih efisien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel kepemilikan saham mayoritas memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap GRI 3.1 Guidelines Scoring dengan koefisien 7227,39 dan probabilita sebesar 0,035. Hal ini tidak sesuai dengan Hipotesis H2 karena tidak mampu mencerminkan meningkatnya pengungkapan sosial dan lingkungan seiring dengan berkurangnya konsentrasi kepemilikan. Bagaimanapun, peneliti menemukan bahwa arah dari variabel ini terbalik dari hipotesis penelitian yakni memiliki hubungan positif. Penemuan ini menyimpulkan bahwa praktek teori agensi antara prinsipal dengan agen tidak signifikan terjadi pada sampel penelitian. Implikasi dari hubungan positif ini juga dapat disebabkan oleh sifat sampel sendiri yang mayoritas merupakan perusahaan milik pemerintah. Konsisten dengan hasil regresi variabel independen pertama, semakin tinggi kepemilikan pemerintah dalam sebuah perusahaan, maka semakin tinggi pula pengungkapan sosial dan lingkungan yang tercermin dari penilaian SCORE (Freeman, 1984). Kekuatan kreditur pada hasil penelitian dengan koefisien 2276,42 dan probabilita 0,417 menunjukkan adanya hubungan negatif namun tidak cukup signifikan mempengaruhi GRI 3.1 Scoring Index. Hal ini sesuai tidak sesuai dengan Hipotesis3 penelitian namun memiliki arah yang sejalan dengan penelitian Cormier dan Magnan (1999, 2003). Implikasi hal ini dijelaskan oleh Godfrey et al (2010) dengan signalling theory dimana perusahaan akan semakin mengungkapkan hal-hal yang menaikkan citra perusahaan mereka di mata investor ketika mereka percaya diri akan entitasnya. Hubungan negatif ini berarti perusahaan yang memiliki tingkat hutang yang relatif rendah ternyata mengungkapkan informasi sosial dan lingkungan mereka lebih banyak agar investor semakin tertarik untuk memiliki saham mereka. Ukuran perusahaan diproksikan dengan logaritma natural dari nilai pasar saham untuk mendapatkan persebaran data yang lebih terukur dan standar deviasi yang lebih kecil. Hasil regresi GLS membuktikan bahwa ukuran perusahaan memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap Global Reporting Initiatives 3.1 Scoring Index dengan koefisien sebesar 2961,174 dan probabilitas sebesar 0,000. Hal ini sejalan dengan Hipotesis4 serta hasil penelitian Cormier dan Gordon (2001), Choi (1999), Hackston dan Milne (1996), Liu dan Anbumozhi (2009), serta Cowen et al (1987). Perusahaan besar cenderung memiliki kemampuan untuk menyanggupi biaya pengungkapan informasi (Lang dan Lundholm, 1993) sehingga mekanisme tatakelola perusahaan dapat berjalan dengan lebih baik agar internal dan external stakeholder dapat dipenuhi kebutuhannya (Kim dan Nofsinger, 2004).
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
Profitabilitas perusahaan (profitabilitas) terbukti signifikan dari hasil regresi generalized least square pada penelitian ini. Probabilitas 0,000 membuktikan signifikansi variabel ini karena berada di bawah nilai 5% diikuti dengan koefisien yang menunjukkan hubungan positif sebesar 37593,46. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi profitabilitas perusahaan, maka semakin tinggi juga pengungkapan sosial dan lingkungannya lewat SCORE. Hubungan positif signifikan ini terjadi karena perusahaan yang memiliki profitablilitas tinggi dari sampel juga merupakan perusahaan yang banyak melakukan voluntary disclosure (Darrough, 1993). Banyaknya pengungkapan sukarela yang dibuat perusahaan yang profitable ini merupakan aplikasi dari Disclosure of forward looking information (Godfrey et al, 2010). Perusahaan yang profitabilitasnya tinggi akan lebih percaya diri dalam memberikan informasi mengenai prospektusnya sehingga para pembaca laporan keuangan akan semakin mempercayai perusahaan tersebut dan tidak segan untuk membeli saham mereka di pasar modal. Ekspektasi dan goodwill yang banyak inilah membuat perusahaan semakin memiliki capital yang membuat kekuatan bisnis mereka bertambah. Hasil pengujian ini memberikan implikasi bahwa Hipotesis6 penelitian ini terbukti dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ullman(1985), Cormier dan Magnan (1999), dan Roberts (1992). Dua signifikansi variabel ukuran perusahaan dan profitabilitas perusahaan ini berkaitan dengan penelitian Elkington (1997) tentang triple bottom line yang mencakup people,
profit,
dan
planet.
Hal
ini
membuktikan
bahwa
perusahaan
yang
mengimplementasikan pengungkapan yang berkualitas sesuai dengan pedoman GRI adalah perusahaan yang telah memiliki kekuatan ekonomi di Indonesia atau memenuhi kriteria profit. Setelah memenuhi tuntutan dasar berusaha yakni keuntungan secara ekonomi barulah perusahaan dapat mulai memikirkan planet serta memperbaiki hubungannya dengan people. Hal ini terangkum jelas dalam penelitian karena perusahaan yang kapitalisasi pasarnya rendah tidak masuk dalam ranking indeks SRI-KEHATI ataupun menerbitkan sustainability report. Hasil penelitian ini juga berkaitan dengan teori yang dikemukakan oleh Choi dan Meek (2008) tentang Internet business reporting and disclosure. Dari seluruh sampel, analisa penilaian GRI yang dilakukan telah menggunakan laporan keuangan soft copy, begitupun dengan perusahaan-perusahaan lain yang aktif di Bursa Efek Indonesia yang telah memiliki website perusahaan yang interaktif dalam rangka membantu konsumen mendapatkan informasi. Praktik pelaporan dengan menggunakan internet telah berjalan dengan baik di Indonesia.
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
Terdapat dua variabel dari penelitian terdahulu (reputasi auditor dan jenis industri) yang dikeluarkan dari penelitian karena keseragaman data pada sampel. Jenis industri dikeluarkan dari penelitian karena seluruh sampel perusahaan yang diambil termasuk dalam jenis industri high profile yang dinyatakan oleh Abeysekera dan Lu(2014) yakni jenis industri metal, industri keuangan, ekstraktif, konstruksi, telekomunikasi, listrik, transportasi, minyak dan gas, serta pangan. Variabel ini dikeluarkan dari penelitian karena seluruh sampel memiliki keseragaman data, yakni seluruhnya merupakan perusahaan yang bergerak di industri high profile. Kesamaan data sampel ini dapat terjadi karena penulis mengambil sampel terbaik dari bursa efek Indonesia yang memenuhi kriteria pelaporan lingkungan yang baik, dimana kriteria ini biasanya memang dipenuhi oleh perusahaan bidang-bidang unggulan. Reputasi auditor (yang diukur berdasarkan reputasi kantor pemberi jasa atestasi) dikeluarkan dari penelitian karena seluruh sampel yang diteliti menggunakan jasa Kantor Akuntan Publik 4 besar untuk mengaudit laporan tahunan mereka. Penggunaan jasa Kantor Akuntan Publik 4 besar yang seragam ini menunjukkan bahwa seluruh sampel penelitian rela mengeluarkan monitoring cost yang cukup besar untuk mendapatkan kualitas audit yang terbaik (Jensen dan Meckling, 1976). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perusahaan di Indonesia rela membayar monitoring cost yang cukup tinggi demi menjaga agar prinsip transparansi dan akuntabilitas terus dijalankan secara optimal dengan menyewa audit terbaik yang bisa didapatkan (KNKG, 2006) Selain disclosure of forward looking information, masih ada beberapa bentuk pengungkapan menurut Godfrey et al (2010) yang telah terjadi di Indonesia. Acuan untuk industri khusus telah diterapkan PT Aneka Tambang dengan mengungkapkan informasi yang diminta oleh Suplemen Industri Khusus dan ISO 26000 sebagai bentuk segment disclosure. Dengan dirilisnya indeks SRI-KEHATI dan diterbitkannya laporan keberlanjutan oleh 40 perusahaan (Jalal, 2013), praktik social responsibility reporting sudah menjadi hal yang wajar di Indonesia. Terbitnya laporan keuangan dalam dua bahasa dan dua mata uang (misalnya PT Perusahaan Gas Negara) menunjukkan bahwa praktik special disclosure for domestic financial user sudah ada di Indonesia meskipun belum banyak perusahaan yang melakukan overseas listing (Choi dan Meek, 2008). Nilai SCORE yang didapatkan pada sampel masih banyak yang berasal dari poin-poin yang sifatnya kualitatif, sedangkan untuk poin kuantitatif biasanya tidak banyak dipenuhi. Tingginya proprietary cost di Indonesia dapat dilihat dari beberapa perusahaan yang hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat kualitatif pada GRI Guideline dan sama sekali tidak mengungkapkan hal-hal yang dapat menurunkan citra perusahaan. Contoh dari praktik ini
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
misalnya pada laporan menyatakan bahwa perusahaan telah mengurangi limbah pabrik namun tidak menyebutkan kuantitas reduksi limbah tersebut hingga unit satuan volume tertentu. Hal ini terjadi karena perusahaan memiliki insentif untuk tidak mengungkapkan informasi yang mengurangi posisi kompetitif mereka di pasar (Healy dan Palepu, 2001). Level implementasi standar GRI di Indonesia sudah dilakukan dengan cukup baik oleh perusahaan yang masuk dalam sampel penelitian karena memang dalam penyusunannya telah mengikuti secara langsung format dan ketentuan yang dirilis oleh GRI. Namun, kedepannya, seiring dengan berubahnya standar terbaru menjadi G4, masih cukup banyak evaluasi yang harus dilakukan perusahaan di Indonesia. Saat ini, tingkat compliance terhadap GRI masih pada tahap berusaha untuk mengungkapkan item dengan sebanyak mungkin seperti yang diminta, namun sebenarnya kualitas dan tingkat akurasi data juga sangat penting diperhatikan (Tranggono, 2014). Kendatipun kuantitas pengungkapan yang terdiri dari banyak aspek telah dilakukan, namun pengungkapan dalam sebuah poin GRI3.1 masih banyak yang dilakukan seadanya. Hal ini terjadi karena perusahaan di Indonesia pada umunya berusaha untuk mengungkapkan sebanyak mungkin item yang kemudian akan di periksa oleh pihak ketiga demi mendapatkan status kredibilitas tertinggi. Kedepannya dalam G4, perusahaan diminta untuk menentukan topik pengungkapan yang paling dibutuhkan apa yang akan menjadi poin besar dalam menyusun laporan keberlanjutannya, sehingga di masa depan mungkin laporan keberlanjutan perusahaan tidak akan seragam formatnya. 5
Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh stakeholders power dan
karakteristik perusahaan terhadap pengungkapan sosial dan lingkungan di Indonesia. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, peneliti mengadaptasi model penelitian milik Abeysekera dan Lu (2014) yang menghubungkan variabel independen kepemilikan pemerintah, persentase kepemilikan pemegang saham mayoritas, rasio total hutang terhadap total aset, ukuran perusahaan, serta profitabilitas perusahaan dengan variabel dependen pengungkapan sosial dan lingkungan yang diukur menurut GRI G3.1 Guidelines. Hasil regresi penelitian membuktikan bahwa pengungkapan sosial dan lingkungan di Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh kekuatan pemegang saham mayoritas, ukuran perusahaan, dan profitabilitas perusahaan yang ketiganya memiliki arah hubungan positif. Hasil regresi penelitian ini konsisten dengan penelitian terdahulu (Abeysekera dan Lu, 2014) dengan perbedaan arah hipotesis terjadi pada variabel kekuatan pemegang saham mayoritas. Di Indonesia, pemerintah tidak cukup hanya sekedar hadir untuk meningkatkan kualitas
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
pengungkapan namun juga harus memiliki kekuatan mayoritas. Signifikannya pengaruh ukuran dan profitabilitas perusahaan membuktikan bahwa signalling theory lebih tepat merepresentasikan keadaan di Indonesia dibandingkan stakeholder theory karena ternyata tujuan perusahaan masih menjadi fokus utama dibandingkan kepentingan stakeholder. Rendahnya nilai SCORE para sampel membuktikan bahwa baik laporan tahunan dan laporan keberlanjutan perusahaan di Indonesia masih belum sesuai dengan apa yang dimaksud oleh GRI. Rata-rata laporan keberlanjutan perusahaan di Indonesia baru memenuhi kriteria kualitatif, dan juga isi dari pengungkapannya cenderung masih berupa hal-hal yang bersifat normatif. Pengungkapan negative statement, misalnya kuantitas emisi yang dihasilkan, sangat jarang diungkapkan perusahaan di Indonesia karena takut kehilangan kepercayaan dari para pembaca laporan. Fenomena form over substance yang terjadi pada laporan keberlanjutan yang isinya cenderung normatif ini terjadi karena dua hal. Pertama, tidak terdapat sanksi yang signifikan bagi perusahaan yang tidak menerbitkan laporan keberlanjutan, sehingga masih relatif sedikit jumlah penerbit sustainability report di Bursa Efek Indonesia jika dibandingkan dengan total perusahaan yang terdaftar. Kedua, laporan keberlanjutan juga seringkali dibuat hanya untuk memenuhi kriteria penghargaan lingkungan dan pencitraan secara tidak langsung, misalnya Indonesia Sustainability Reporting Award atau untuk mendapatkan sertifikasi nilai maksimum dari lembaga verifikator. Dengan demikian, masih banyak hal yang perlu diperbaiki untuk membuat mekanisme pelaporan sukarela di Indonesia agar lebih transparan. Daftar Referensi Abeysekera, Indra. & Lu, Yingjun. (2014). Stakeholders’ power, corporate characteristics, and social and environmental disclosure: evidence from China. Journal of Cleaner Production. Vol. 64.
Alijoyo, A. & Zaini, S. (2004). Komisaris Independen, Penggerak Praktik GCG di Perusahaan. Jakarta: PT INDEKS Kelompok Gramedia.
Choi, Frederick D.S., & Meek, Garry K. (2008). International Accounting (6th ed,). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Choi, Jong-Seo. (1999). An investigation of the initial voluntary environmental disclosure Made in Korean Semiannual Reports. Pusan National University: Korea.
Cormier, D. & Gordon, I.M. (2001). An examination of social and environmental reporting strategies. Account, Audit, Account. Cormier, D. & Magnan, M. (1999). Corporate Environmental Disclosure Strategies: Determinants, costs, and benefits. Journal of Accounting, Audit, and Finance. Cowen, S., Ferreri, L., dan Parker, L. (1987). The impact of corporate characteristics on social responsibility disclosure: a typology and frequency based result. Account. Org. Soc.
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
Darrough, Masako N. (1993). Disclosure Policy and Competition: Cournot vs Bertrand. The Accounting Review: American Accounting Association.
Donaldson, Lex. & Davis, James H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns. Australian Journal of Management.
Donaldson, T. & Preston, L.E. (1995). The stakeholder theory of the corporation: Concepts, evidence, and implications. Academy of Management Review, 20(1), 65-91.
Elkington, J. (2004). Enter the Triple Bottom Line. Academy of Management Review.
Elkington, J. (1997). Cannibals with forks: the Triple Bottom Line of 21st Centrusy Business. Capstone Ernst&Young. (2013). 2013 six growing trends in corporate sustainability.
Freeman, R.E. (1984). Strategic management: A stakeholder approach. Marshfield, MA7 Pittman Publishing.
Global Reporting Initiatives. (2009). Pedoman Laporan Berkelanjutan.
Godfrey, Jayne et al. (2010). Accounting Theory (7th ed.) Australia: John Wiley& Sons, Ltd.
Hackston, D. & Milne, M.J. (1996) Some Determinants of Social and Environmental Disclosures in New Zealand Companies. Account, Audit, and Account.
Healy, Paul M., & Palepu, Krishna G. (2001). Information Asymmetry, Corporate Disclosures, and Capital Markets. A Review of Empirical Disclosure Literature. Journal of Accounting and Ecconomics. 31:405-440. Jalal. (2013, 3 Maret). Tantangan dan Peluang untuk Perkembangan CSR di Indonesia. http://www.csrindonesia.com/publikasi/pub/artikel/item/90-tantangan-dan-peluang-untuk-perkembangan-csrdi-indonesia Jensen, M., & Meckling, W. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs, and ownership structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360 Katsoulakos, P., Koutsodimou, M., Matraga, A., & Williams, L. (2004). A Historic Perspective of CSR Movement. CSRQuest. Kaur, Maneet., & Agrawal, Sudhir. (2011). Corporate Social Responsibility – a tool create a positive brand image. American Society for Business and Behavioral Science. Las Vegas. Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). (2006). Pedoman umum pelaksanaan corporate governance Indonesia. Jakarta. Liu, X. & Anbumozhi, V. (2009). Determinants factors of corporate environmental information disclosure.: an empirical study of Chinese Listed Companies. Journal of Cleaner Production. Mitton, Todd. (2002). A cross-firm analysis of the impact of corporate governance on the east Asian financial crisis. Journal of Financial Economics. Mishra, Debi P. (2013). Firm’s strategic response to service uncertainity: An empirical signaling study. Australasian Marketing Journal Morck, Randall. & Steier, Lloyd. (2005). The Global History of Corporate Governance: An Introduction. University of Chicago Press. Peraturan Bank Indonesia. (2012). Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012. Jakarta: 28 November 2012.
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014
Roberts, R.W. (1992). Determinants of Corporate Social Responsibility Disclosure: An Application of Stakeholer Theory. Account. Org. Soc. Sutthirak, Supawadee & Gonanjar, Patthanij. (2012). The effects from Asian;s financial crisis: Factors affecting on the value creation of organization. International Journal of Business and Social Science, 3(16) Tranggono, Aryo. Wawancara langsung dengan narasumber. 12 Mei 2014.
Pengaruh stakeholders…, Adrianus Henri Hartanto, FE UI, 2014