MEMBEDAH KERINDUAN DAN KEGELISAHAN TIM PENYUSUN BUKU ‘’SIWARATRI: WACANA PERBURUAN SPRITUAL (DULU DAN KINI)’’ AKAN PARADOKSAL ANTARA TEKS DAN KONTEKS *) Oleh: I Ketut Suda **) e-mail:
[email protected] Fakultas Ilmu Agama UNHI Denpasar I. PENGANTAR
Suatu ketika saya ditelpon oleh ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Hindu Indonesia Denpasar (Kadek Satria), dan melalui pembicaraan itu, dia memohon dan bertanya kepada saya apakah saya bersedia menjadi nara sumber dalam acara bedah buku yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Unhi pada hari Rabu, 13 Januari 2010? Kemudian dengan sikap sedikit ragu saya iyakan saja tawaran tersebut. Kenapa saya ragu, karena sebagai ilmuan sosial yang nota bene bukan seorang penikmat dan penekun sastra, diminta mebedah sebuah karya sastra yang memiliki nilai-nilai kebenaran, kekeindahan, dan kebajikan yang cukup tinggi, bukanlah pekerjaan gampang. Apalagi karya sastra seorang punjangga setingkat Empu Tanakung yang menurut penekun sastra Jawa Kuno karya sastra ini memiliki pesona dan makna berlapis. Artinya, semakin dalam semakin halus, dan menurut tradisi bagi yang sehati teksnya dapat mengantarkan pembacanya untuk memperoleh pengalaman estetikreligius. Namun, sikap pantang menyerah adalah sebuah ikon yang selalu dilekatkan pada sosok ilmuan yang kemudian ini menjadi tantangan bagi saya untuk self confiden menerima tawaran dari Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa, tersebut. Terkait dengan hal itu, sebenarnya ada beberapa kendala yang saya alami dalam rangka membedah buku ini antara lain: -------------------------------------------------*Kertas kerja ini disampaikan dalam acara bedah buku tentang Siwaratri: Wacana Perburuan Spiritual (Dulu dan Kini) diselenggarakan BEM Universitas Hindu Indonesia, 13 Januari 2010, di Aula Widya Saba UNHI, Denpasar. ** Penulis adalah dosen dpk pada Fakultas Ilmu Agama Universitas hindu Indonesia Denpasar
1
Pertama, tanpa ada maksud bersembunyi di balik keterbatasan waktu, saya baru diberitahukan acara ini pada hari Sabtu tanggal, 9 januari 2010, dan itu pun buku dan surat undangannya baru saya terima pada hari Minggu, 10 Januarai 2010 sore. Jadi, hanya ada waktu kurang lebih 3 hari untuk membaca sekaligus merefleksikan isi buku yang tebalnya tidak kurang dari 203 halaman. Kedua, untuk memahami bahkan membedah sebuah hasil karya sastra, yang mempunyai daya pesona dan makna berlapis memang diperlukan kemampuan analisis dan daya imajinasi yang tinggi. Sebab karya sastra pada hakikatnya adalah membangun dunia melalui kata-kata, oleh karena itulah sastra disebut sebagai ‘’dunia dalam kata’’ dan bukan dunia manusia. Artinya, kejadian-kejadian yang sudah dilegitimasikan dalam teks sastra tidak bisa diterjemahkan kembali ke dalam kejadian semula, sebab sesudah direka
karya
sastra
tidak
memiliki
relevansi
objektif.
Langer
(1957:28,83)
menganalogikannya dengan istilah lukisan bukanlah cat atau kanvas, melainkan sudah berubah menjadi struktur ruang. Demikian pula sastra bukanlah rangkaian kata dan kalimat, melainkan telah berubah menjadi wacana, atau teks. Oleh sebab itulah karya seni atau karya sastra sering disebut sebagai sistem model yang kedua (Lotman, 1977:7—31), menyebutnya sebagai rekonstruksi dan harus dipahami secara tak langsung yakni dengan memanfaatkan mediasi. Ketiga, kebiasaan saya bermain di ranah kecerdasan intelektual yang sangat rasional (berkiblat pada model pendidikan Barat), sementara membedah hasil karya sastra yang mengandung kecerdasan emosioal, dan terkadang bersifat irasional, penuh intuisi, dan bahkan tidak jarang bergerak ke arah metafisik (baca: juga karya-karya Capra), bukanlah pekerjaan gampang. Berangkat dari beberapa kendala di atas, saya mencoba akan menginterpretasi dan merefleksikan apa yang telah ditulis oleh pengarang buku ini, yakni Bapak Drs. I Wayan Suka Yasa,M.Si. Bapak Drs. I Wayan Budi Utama,M.Si. dan Bapak Drs. I Wayan Sukarma,M.Si. Pertama-tama kata salut dan apresiasi yang tinggi saya sampaikan kepada ketiga penulis buku ini, karena di tengah-tengah kesibukannya sebagai tenaga educative, perneliti, dan juga sebagai mahasiswa Program Doktor (S-3), baik pada Program Studi
2
Lingusitik maupun Program Studi Kajian Budaya, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, masih sempat menulis buku yang sarat dengan makna. Tidak mudah menyusun buku berkualitas dalam kondisi sedang berkonsentrasi menyelesaikan program pendidikan Doktor. Namun, Bapak Wayan Suka Yasa, dkk. mampu membuktikan diri sebagai tenaga educative yang produktif, kreatif, dan ‘’haus’’ akan ilmu pengetahuan dan temuan baru dalam kasanah keilmuan. Buku Siwaratri: Wacana Perburuan Spiritual (Dulu dan Kini) merupakan wujud nyata Bapak Wayan Suka Yasa, dkk. untuk memberikan kontribusi pemikiran dan kajian ilmiahnya kepada para pemerhati kehidupan keagamaan termasuk policy maker dalam bidang spiritual (baca:keagamaan). Bagi kalangan penekun dan penikmat sastra karya yang dihasilkan oleh Bapak Wayan Suka Yasa, dkk. ini mungkin bisa menjadi tantangan dan sekaligus sebagai sumber insiparasi untuk menghsailkan karya-karya baru dalam bidang sastra, terutama yang terkait dengan sastra Agama Hindu. Tulisan ini, tidak bermaksud untuk membongkar, mendekonstruktruksi, ataupun mengacak-acak, baik struktur, maupun isi dan makna yang terkandung dalam Buku Siwaratri : Wacana Perburuan Spiritual (Dulu dan Kini) yang disusun oleh Bapak Wayan Suka Yasa ,dkk. Karena memang penulis tidak memiliki kapasitas untuk itu. Akan tetapi hanya merupakan sebuah interpretasi dan refleksi dari hasil pemikiran seorang yang bukan penikmat dan penekun sastra. Oleh karena itu, tidak ada kata lain yang tepat disampaikan melalui tulisan ini, kecuali kata maaf, jika dalam pembahasannya nanti, banyak terdapat perbedaan pandangan yang tentu disebabkan karena perbedaan paradigma berpikir.
II. PEMBAHASAN 2.1 Teks Siwaratri sebagai Karya Sastra Pada mulanya naskah Siwaratri hasil gubahan Empu Tanakung adalah berbentuk teks Kakawin yang diberi nama Siwaratrikalpa. Karya sastra Kakawin Siwaratri ini rupanya mengambil babon dari Padma Purana yang menggambarkan bahwa Empu
3
Tanakung hidup pada masa Majapahit akhir. Kesimpulan ini didapat setelah dilakukan pengkajian terhadap dua prasasti, yakni Waringin Pitu yang berangka tahun 1447 M dan prasasti Pamintihan yang berangka tahun 1473 M. Sementara itu, Teeuw (dalam Sudharta, 1991:13) menyatakan bahwa Kakawin tersebut ditulis antara tahun 1466— 1478 M. Sebuah karya sastra, sebagaimana halnya dengan budaya menurut Hall (dalam Barker, 2000:10) adalah medan nyata tempat praktik-praktik, refrensentasi-refresentasi bahasa dan kebiasaan-kebiasaan tempat suatu masyarakat berpijak. Artinya, budaya dan karya sastra juga merupakan bentuk-bentuk kontradiktif akal sehat yang sudah mengakar pada dan ikut membentuk kehidupan sehari-hari. Budaya berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang makna-makna social, yaitu beragam cara yang kita gunakan untuk memahami dunia. Dengan demikian, makna–makna itu tidak ‘’menarimenari di luar sana’’, melainkan muncul lewat tanda-tanda, terutama tanda-tanda bahasa (Barker, 2000:10). Kemudian pada bagian pertama, yakni Bab Pendahulun Buku ini pengarang dengan plot yang cukup meledak-ledak mengemukakan sebuah paradoksal dengan kalimat ‘’Bagimana mungkin Si Lubdaka , si pemburu miskin jasmani rohani seperti yang dikisahkan dalam Kakawin Sisarartri Kalpa itu, memperoleh rakhmat Bhatara Siwa’’. Jelas tidak mungkin, karena bertentangan dengan hukum karma. Seorang pemburu adalah seorang pembunuh, membunuh binatang. Apalagi membunuh binatang yang dilindungi: Harimau, gajah, badak, babi hutan, dan yang sejenisnya. Membunuh adalah perbuatan kejam yang disebut himsa karma. Himsa karma tegas dilarang oleh ajaran Hindu. Karena membunuh adalah perbuatan menyakiti dan mengusir secara paksa jiwa mahluk yang sesungguhnya ditakdirkan dan punya hak untuk hidup. Oleh karena itu, sekali lagi para arif Hindu dengan berbagai cara tegas mengajar umatnya: ‘’Jangan membunuh.’’ Usahakanlah selalu berpikir-berkataberperilaku penuh kasih. Ahimsa adalah hidup dengan prinsip tanpa kekerasan, tidak membuhuh. ‘’Ahimsa mukhyaning dharma’’ ahimsa adalah dharma yang terutama. Demikian himbauan Bhagawan Wararuci.
4
Pada teks ini seakan pengarang mengajak pembaca menginterpretasi sebuah pemahaman konsep ahimsa karma secara leterlek, yang mengatakan bahwa membunuh adalah perbuatan kejam yang sangat berdosa menurut ajaran agama Hindu. Konsep ini tentu akan membingungkan bagi pembaca, karena jika teks ini dikontekstualkan dengan realita
dalam kehidupan sehari-hari tentu akan menjadi
sebuah dialektika. Artinya, apa yang digambarkan secara teks dalam alinia di atas ternyata kontradiktif dengan apa yang dilihat secara nyata dalam kehidupan masyarakat. Jadi, persoalannya menurut hemat saya adalah perlu ada ketegasan apakah semua aktivitas membunuh disebut himsa karma, atau ada pengecualiannya? Bagaimana pula jika hal ini dikaitkan dengan perilaku membunuh yang dilakukan di medan perang? Seperti, yang terjadi dalam perang kuruksetra tentara-tentara kedua belah pihak siap siaga untuk bertempur dan saling membunuh. Bahkan Arjuna, sebagai seorang kesatria yang perkasa, telah siap untuk bertempur dan membunuh tentara lawannya, meskipun itu semua adalah sanak keluarga, guru-guru, dan kawan-kawannya. Masih dalam alinia pertama Bab Pendahuluan buku ini, pengarang secara tegas mengatakan bahwa harimau, gajah, badak, babi hutan, dan yang sejenisnya adalah binatang langka yang dilindungi. Dengan kalimat, ‘’apalagi membunuh binatang yang dilindung: harimau, gajah, badak, babi hutan, dan sejenisnya’’. Kalimat ini menurut hemat saya kurang kontekstual, pasalnya pada jaman Lubdaka berburu belum ada apa yang disebut binatang langka, apalagi dilindungi. Dengan demikian di sini mungkin konteksnya tidak pas artinya, ada ketidaknyambungan antara teks dan konteks. 2.2 Landasan Pemaknaan Kisah Si Lubdaka
Pada bagian ini tampak penulis menggunakan teori semiotik sastra untuk membedah permasalahannya. Menurut Hoed (2008:3) semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna. Sampai di sini mungkin kita semua sepakat. Namun, saat kita harus mejawab apa yang dimaksud dengan tanda mulai ada masalah. Para strukturalis merujuk pada pandangan Saussure
5
(1916) yang melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). De Saussure menggunakan istilah signifier, Ing; penanda; Ind. untuk segi bentuk suatu tanda, dan signified; Ing, petanda; Ind. untuk segi maknanya. Jadi, De Saussure dan para pengikutnya melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur (proses pemaknaan berupa kaitan antara penanda dengan petanda) dan terstruktur (hasil proses tersebut) di dalam kognisi manusia. Kemudian ketika saya mencoba melihat keterkaitan antara penanda dengan petanda yang seharusnya dikonstruk dalam penjabaran krangka teoritik buku ini, saya belum melihat hal itu. Artinya, bagaimana penulis menstruktur (proses pemaknaan berupa kaitan antara penanda dan petanda) dalam konteks menginterpretasi ceritra Lubdaka dalam Kakawin Siwaratrikalpa belum tampak. Jadi, dalam konteks ini penulis cenderung hanya mendeskripsikan teori semiotik sastra, tanpa memcoba melakukan konstruk teori guna membedah permasalahan yang dikaji. Mungkin akan lebih mudah dipahami oleh pembaca, mohon maaf jika penulis mencoba mengkonstruk teori semiotik sastra ini, dengan melihat relevansi (keterkaitan) antara asumsi dasar teori semiotik sastra dengan pemaknaan berbagai tanda dalam ceritra Lubdaka (Siwaratrikalpa).
2.3 Bagian kedua tentang kisah-kisah Si Pemburu. Secara spintas sebagai pembaca awam tentang sastra saya menangkap kesan bahwa perbuatan dosa yang dilakuan oleh si Pemburu Lubdaka bertahun-tahun, seakan bisa ditebus/dihapus hanya dengan melakukan tapa berata yoga semadi satu malam, yakni pada hari catur dasing kapitu krsna, yakni hari keempat belas paro terang sasih kepitu (bulan Magha) dengan pakaian berburunya yang khas. Konsekuensinya ketika pembaca kurang mempunyai pemahaman yang lebih mendalam tentang teks Siwaratrikalpa, bukan tidak mungkin bisa terjadi pemahaman yang keliru terhadap naskah yang ditulis dalam buku ini. Betapa tidak, paradigmanya bisa jadi di balik, dalam arti tidak apa-apa dalam hidup ini kita berbuat dosa, toh pada akhirnya, kita bisa
6
menebusnya hanya dengan melakukan tapa berata yoga semadi pada malam Siwaratri itu sendiri. Pada bagian ketiga dan keempat buku ini, lebih banyak dikisahkan tentang tatalaku Siwaratri baik berdasarkan Kakawin Siwaratri maupun menurut Parisada bagi walaka dan sulinggih. Hal ini bukan soal regulasi semata, melainkan pedoman dan acuan pelaksanaan upacara persembahan. Jadi, pada bagian ketiga buku ini lebih menyoroti tentang hakikat persemabahan itu sendiri. Sedangkan pada bagian keempatnya, lebih menekankan pada perburuan terhadap makna-makna berata Siwaratri dalam aspekasapek kehidupan masyarakat masa kini. Yang sangat menarik minat saya dalam tulisan ini adalah pada bagian Kelima, yang sekaligus merupakan bagian akhir dari pemabahasan buku ini. Pada bagian ini dibahas tentang Memburu Si Pemburu Siwaratri: Refleksi dalam Masyarakat Masa Kini. Pada bagian ini penulis tampak telah menggunakan paradigma teori kritis dengan pendekatan pos strukturalis (pos modernism). Hal ini terlihat dari rujukan penulis yang banyak mengacu pada pandangan kaum posmodernis seperti; Jurgen Habermas, Berger, Alvin Toffler, Atmadja, dan lain-lain. Menariknya lagi, pada bagian inilah tampak kegelisahan penulis tentang menguatnya pengaruh modernisasi yang menurut penulis dapat memutus hubungan yang tegas dengan nilai-nilai tradisional. Jadi, ada semacam kekawatiran di benak penulis jika era modernisasi yang ditandai dengan berkembanganya sistem ekonomi kapitalis progresif, rasionalisasi administrative, difrensiasi social-budaya, dan berbagai macam turunannya, akan dapat melenyapkan nilai-nilai tradisional, dengan berbagai nilai kearifan lokanya (local genius). Selain itu, pada bagian kelima dari tulisan buku ini juga secara implisit menunjukkan adanya rasa kerinduan dari penulis akan ajegnya nilai-nilai taridisonal. Hal ini dapat dilihat dari paparan pada halaman 97 buku ini, yang kurang lebih mengatakan sebagai berikut. …Dalam rangka mengikuti kemajuan zaman orang berlomba-lomba meninggalkan kesan kuno dan kolot. Di dalamnya nafsu-selera telah memainkan peran yang sangat sublim. Akiabtnya, manusia telah kehilangan daya beda; ia tidak bisa
7
membedakan antara kebutuhan dan keinginan; dan inilah manusia rasional tanpa rasionalitas. Pada cuplikan tulisan ini kelihatan penulis berusaha menjustifikasi bahwa sikap modernisasi
itu
adalah
identik
dengan
sifat-sifat
rasionalitas,
nafsu-selera,
konsumerisme, masyarakat hura-hura, dan yang sejenisnya. Sehingga seakan menimbulakan kesan bahwa era modernisme itu lebih banyak sisi negatifnya ketimbang positifnya. Padahal jika mengacu pada pemikiran Habermas, Gadamer, Rorty, Ricoueur, dan pengikut-pengikutnya (Noris,2003:7) ingin merevisi modernisme tanpa menolaknya mentah-mentah. Akan tetapi melakukan perbaikan di sana-sini yang dianggapnya tidak perlu. Atau dengan kata lain pemikiran kelompok ini merupakan kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka mengatasi konsekuensi negatifnya. Misalnya, mereka tidak menolak sains dalam dirinya sendiri, yang ditolak adalah sains yang dijadikan ideology atau saintisme. Ringkasnya, sumbangan modernism terhadap peradaban manusia mau tidak mau, suka tidak suka harus diakui keberadaannya. Jadi, jika dicermati apa yang telah dipaparkan dalam buku ini secara sekasama menurut hemat saya, tampak ada kecenderungan bahwa penulis lebih mengkritisi sifatsifat dari era modern dan postmodern dibandingkan memetik hikmahnya. Artinya, penulis lebih banyak menampakan rasa kerinduan akan nilai-nilai tradisional dan kegelisahan akan berkembanganya era modernism dan bahkan posmodernisme dibandingkan berusaha untuk mencari manfaat yang diberikan oleh era ini.
III PENUTUP Simpulan Dari bahasan di atas dapat ditarik beberapa simpulan antara lain: 1. Dari segi perwajahan buku ini tampak cukup bagus, dengan warna dasar couver depan putih divariasi dengan warna hijau tua, dan tulisan warna merah dan kuning, serta dihiasi gambar patung Siwa, membuat tampilan buku ini menjadi tampak mewah dan elegan.
8
2.
Dalam uraian terdahulu, sudah saya ketengahkan bahwa tulisan ini tidak bermaksud untuk membongkar, mendekonstruksi, dan mengacak-acak buku Siwaratri: Wacana Perburuan Spiritual (Dulu dan kini) baik dari segi struktur, maupun isi, melainkan hanya menginterpretasi dan merefleksikan
apa yang dituangkan dalam buku
tersebut. 3.
Hal ini dilakukan selain karena penulis tidak memiliki kapasitas untuk itu, juga buku yang kita pegang semua ini sudah dicetak bagus. Namun, demikian beberapa masukan untuk penyempurnaan buku ini juga telah saya sampaikan pada bagian pembahasan di atas mudah-mudah bermanfaat untuk edisi berikutnya.
4.
Akhirnya selamat dan sukses atas diterbitkannya buku ini.
DAFTAR BACAAN Noris, Chris, 2006. Cultural Studies Teori dan Praktik. (Tim Kunci Cultural Studies penerjemah) Yogyakarta: PT Bentang Pustaka Capra Pritjof, 2004. Titik Balik Peradaban. Yogyakarta; PT Bentang Pustaka. Hoed, H. Benny, 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Langer, Susane K., 1957. Problems of Art. Charles Scribner’s Sons: New York. Lotman, Jurji, 1977. The Structure of the Artistic Text. The University of Michigan: Michigan. Norris, Christopher, 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. (Inyiak Ridwan Muzir: penerjemah). Yogyakarta: AR-RUZZ.
9
10