Riptek Vol.6, No.I, Tahun 2012, Hal.: 49 - 53
HUKUM MEDIA, DULU, KINI, DAN ESOK Sinung Utami Hasri Hapsari *) Abstract Mass media is the instrument for looking out our surrounding, it reflects the society culture wherein the media presents. The media must be influenced by the political system, it could be seen on the reportage of social reality. The development of technology brings a new era in human life especially in media activities. New media activities like citizen journalism, blog journalism, was not regulated in the media law. The Indonesian media law should anticipate and facilitate the technology development to make the life of media become more democratic. Keywords : mass media, social reality, technology, media law Pendahuluan Media massa merupakan komponen penting dalam proses komunikasi massa. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1990 : 135) media massa adalah media yang digunakan untuk menyalurkan komunikasi kepada masyarakat seperti pers, radio, televisi, film dan sebagainya. Sebagai sarana komunikasi untuk penyebaran informasi dan gagasan kepada publik, media massa mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia di berbagai bidang seperti bidang politik, ekonomi, budaya sosial dan sebagainya. Media senantiasa menjadi pusat perhatian dalam membahas komunikasi massa. Dennis Mc Quail (2000)misalnya, menyebutkan bahwa media merupakan jendela yang memungkinkan kita dapat melihat apa yang ada diluar lingkungan langsung kita, sebagai penterjemah yang dapat membantu kita memahami pengalaman baik langsung maupun secara simbolik , sebagai landasan atau pembawa informasi bagi para audiens dalam menentukan sikap, sebagai rambu-rambu yang yang memberikan instruksi dan arahan, penyaring bagian-bagian dari pengalaman, sekaligus menitikberatkan pada bagian yang lain, sebagai cermin yang memantulkan bayangan kita kembali pada kita sendiri dan sebagai penghalang yang merintangi kebenaran itu sendiri. Melalui media, pesanpesan dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru, dapat mempengaruhi, sekaligus mencerminkan budaya masyarakat dimana media tersebut hadir. Cara pandang media dalam menyajikan realitas sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang berlaku pada masanya. Hal ini dapat terlihat dari hasil liputan media dalam mengangkat suatu realitas sosial. Pembahasan mengenai media massa selalu dikaitkan dengan pers. Media massa merupakan bagian dari pers itu sendiri. Mengutip pendapat Oemar Seno Adji, pers dalam arti luas memasukkan di dalamnya semua media komunikasi massa yang memancarkan fikiran dan perasaan seseorang baik secara tertulis maupun lisan. Hal ini merupakan manifestasi dari freedom of speech dan freedom of expression. *)
Mahasiswa Magister Pascasarjana Ilmu Komunikasi Undip Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pandanaran Telp. 024 70283468,
[email protected]
Adanya media massa dalam kehidupan manusia tentunya mempunyai maksud dan tujuan yang dibutuhkan oleh manusia. Montesquieu dalam Mc. Quail (2000) menggambarkan fungsi media massa sebagai pilar keempat dalam suatu negara demokrasi di mana dengan perumpamaan sebuah meja, media massa sebagai kaki meja bersama-sama tiga kaki meja yang lain harus menopang meja demokrasi agar tidak runtuh. Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dikemukakan fungsi pers nasional ( di mana media massa menjadi bagian di dalamnya) yaitu 1. Sebagai media informasi, Memberi dan menyediakan informasi tentang peristiwa yang terjadi di masyarakat 2. Sebagai media pendidikan Memberi pengetahuan untuk menambah wawasan masyarakat 3. Sebagai media hiburan Memuat hal-hal yang bersifat hiburan untu mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. 4. Sebagai media kontrol sosial, di mana di dalamnya meliputi Social participation yaitu keikutsertaan masyarakat dalam pemerintahan Social responsibility yaitu pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat Social support yaitu dukungan rakyat terhadap pemerintah Social control yaitu kontrol masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah 5. Sebagai lembaga ekonomi Suatu perusahaan yang bergerak di bidang pers dapat memanfaatkan keadaan sekitarnya sebagai nilai jual sehingga pers sebagai lembaga sosial dapat memperoleh keuntungan maksimal dari hasil produksinya untuk kelangsungan hidup lembaga pers itu sendiri. Bila dilihat dari posisinya sebagai lembaga sosial, media massa berinteraksi dengan lembaga sosial yang lainnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga yang lainnya. Maka
Hukum Media : Dulu, Kini dan Esok dalam keadaan seperti ini media mempunyai regulasi. Regulasi yang dimaksud terhadap media massa dapat berbentuk peraturan pemerintah , keputusan pemerintah,dan undang-undang), inilah yang kemudian disebut hukum media massa. Hukum media adalah hukum yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan media massa sebagai alat komunikasi massa. Hukum media meliputi hukum media cetak, hukum media penyiaran, film, hukum cyber, dan hukum pers. Ketentuan yang diatur adalah tentang masalah isi media, prosedur penggunaan media, kepemilikan media dan sebagainya. Hukum media massa mempunyai tujuan yang dapat dikelompokkan yakni 1. Untuk mengendalikan media massa. Dalam konteks ini peranan hukum media massa yakni merupakan instrumen untuk membatasi media massa agar tidak melenceng dari keinginan,misalnya pemerintah. Pada titik inilah hukum media massa disebut memiliki karakter politik. 2. Untuk mengatur media massa agar perperilaku wajar sesuai dengan keinginan masyarakat ,agar tidak merugikan masyaraka.Dalam konteks ini berarti media massa memiliki karakter sosial. Regulasi media massa juga melibatkan kebijakan media massa, dimana kebijakan ini merupakan upaya untuk mengatur keberadaan media massa dan industrinya. Kebijakan media massa merupakan kebijakan komunikasi. Ini berarti kebijakan media massa merupakan kebijakan publik. Kebijakan media massa merupakan kumpulan prinsip dan norma yang mengatur sistem media massa Indonesia. Oleh karena itu kebijakan media massa ini tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sosial, politik dan ekonomi sebuah negara. Kedudukan media massa dalam politik menempati posisi yang penting. Keberadaan media massa menjadi barometer suatu sistem politik. Pembahasan Perjalanan Hukum Media Massa di Indonesia Sejarah perjalanan media massa di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut peran media massa Secara umum, sejarah hukum media di Indonesia dalam kurun waktu sekitar 1,5 abad sejak zaman Hindia Belanda hingga era reformasi di abad ke-21 diwarnai dengan ketentuan hukum yang mengekang kebebasan media, khususnya kebebasan pers. Meskipun terdapat pasang surut, namun secara umum pengekangan lebih menonjol daripada kebebasannya. Isi atau materi hukum media yang pernah berlaku di Indonesia bisa dibedakan dalam beberapa materi sebagai berikut (http://gudangilmu50
(Sinung) blooddy.blogspot.com/2010/04/sejarah-mediadan-sejarah-hukum-media.html) : 1. Hukum yang member kewenangan penguasa untuk melakukan sensor preventif. Sensor preventif adalah sensor yang dilakukan sebelum sebuah media diterbitkan. 2. Hukum media yang memberi kewenangan kepada penguasa untuk menutup dan membredel sebuah media. 3. Hukum media yang member kewenangan kepada penguasa untuk mengeluarkan dan mencabut izin dan sebaliknya juga mewajibkan media untuk mendapatkan izin sebelum menerbitakan medianya. 4. Hukum media yang berisi jaminan kebebasan pers atau kebebasan media Dilihat dari sifat peraturannya, sejarah hukum media dapat dibagi dalam tiga periode (Wiryawan :2007) Pertama, Periode Sensor Preventif Masa Penjajahan Belanda Sejarah hukum media di Indonesia dimulai sejak keluarnya peraturan hukum yang bersifat sensor preventif media yang pertama di Indonesia pada zaman Hindia Belanda, yaitu berlakunya Reglement op de Drukwerken in NederlandschIndie tahun 1856 yang mewajibkan semua karya cetak sebelum diterbitkan harus dikirim lebih dahulu kepada Algemeene Secretarie, bila aturan ini tidak dipatuhi maka karya cetak akan disita bahkan bisa disertai penyegelan. Masa Penjajahan Jepang Sensor preventif pada masa pendudukan Jepang tercermin pada undang-Undang No. 16 yang menyatakan semua jenis barang cetakan harus mempunyai surat ijin terbit. Pelanggaran diancam dengan hukuman satu tahun penjara. Kedua, Periode Perizinan/Pemberedelan Pada periode ini, hukum yang yang berlaku adalah hukum yang mewajibkan media untuk memperoleh izin terlebih dahulu sebelum menerbitkan medianya. Bila tidak memiliki izin atau melanggar ketentuan hukum (misalnya melanggar ketertiban umum, menghina pejabat negara, dan sebagainya) penguasa berwenang menutup media. Masa Penjajahan Belanda Sensor represif dengan nama hukum Presbreidel Ordonnantie, pertama kali diberlakukan pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 7 September 1931. Masa Demokrasi Liberal (1957-1966) Pada akhir masa Demokrasi Liberal dan Orde Lama (1957-1966) Kepala Staf Angkatan darat selaku Penguasa Militer mengeluarkan Peraturan KSAD No.PKM/001/0/1956 berisi larangan kecaman-kecaman terhadap presiden,
Riptek Vol.6, No.I, Tahun 2012, Hal.: 49 - 53 wakil presiden, pejabat pemerintah, pegawai negeri dan penghinaan terhadap golongan masyarakat yang dapat menerbitkan keonaran. Pada bulan September 1957, sepuluh surat kabar dan tiga kantor berita serentak ditutup karena dianggap menyiarkan berita yang tidak berasal dari juru bicara resmi sebuah musyawarah nasional. Peraturan PEPERTI No.10 Tahun 1960 tentang Ijin Penerbitan Surat Kabar dan Majalah ditandatangani Presiden Soekarno selaku Penguasa Perang Tertinggi menyatakan larangan menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa ijin. Bagi yang melanggar, dapat dirampas atau dimusnahkan. Ketika Manifesto Politik menjadi haluan negara muncul Tap MPR No II/MPR/1960 tentang Penerangan Massa merupakan Landasan Pelaksanaan Manipolisasi Pers Nasional dalam Sistem Demokrasi Terpimpin. Ketentuan ini mengharuskan setiap perusahaan media massa cetak menjadi alat kepentingan pemerintah dan ketentuan mengatur kewajiban untuk memiliki Surat Ijin Terbit (SIT) Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru, sensor represif dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978 menggambarkan pergeseran sistem politik Orde Baru yang demokratis ke sistem otoriter. Munculnya UU No 21/1982 sebagai penegasan TAP MPR tersebut bersifat mengekang media massa dengan diharuskannya setiap penerbitan pers mempunyai SIUPP ( Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers) menggantikan SIT. Permenpen No 1/1984 yang merupakan peraturan pelaksana UU No 21/1982 mempertegas SIUPP. Secara praktis, pers kita selama Orde Baru mengambil posisi sebagai slave, budak pemerintah. Kemitraan hanya tumbuh di antara yang setingkat, yang equal. Dalam hubungan yang supra dan subordinasi, pers hanya menjadi kuda tunggangan pemerintah. Apalagi Pedang Damocles siap memancung leher pers Indonesia, kapan saja dan karena apa saja. Ketiga, Periode Kebebasan Pers Awal pemerintahan Orde Baru, pers mengalami masa kebebasan dengan dikeluarkannya TAP MPRS RI No XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers, yang memberi pengakuan kebebasan hak setiap warga negara untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran melalui pers. Tap MPRS ini menjadi dasar perumusan UU No 11/1966 yang menyatakan bahwa kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menyatakan serta menegakan kebenaran daan keadilan, bukan kebebasan dalam arti liberalisme. Akan tetapi akibat peristiwa Malari, sistem politik Orde
Baru yang demokratis bergeser ke sistem otoriter yang berimbas juga pada hukum media massa. Masa Reformasi (1998- Sekarang) Perubahan gambaran politik yang tajam pada tahun 1998, yang tercermin dalam TAP MPR RI No. XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia mengatur jaminan dan perlindungan dalam hal berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi melalui media massa. Penyebab terjadinya perubahan gambaran politik terkait dengan krisis moneter yang melanda indonesia sejak tahun 1997 yang berdampak serius dalam segala aspek kehidupan masyarakat di tanah air. Runtuhnya pemerintahan Rezim Soeharto dan digantikan dengan pemerintahan B.J. Habibie membawa dampak yang positif di dalam perkembangan hukum media massa di Indonesia Peran pers pasca reformasi 1998 makin menguat. Pers tidak lagi terkungkung oleh SIUPP sehingga mampu menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan dan kontrol sosial, juga sebagai kekuatan keempat dala demokrasi. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyak diterbitkannya suratkabar atau media,serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena euforia kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang (Hamad,2004:65). Terbitnya Undang-Undang Pers pada tanggal 23 September 1999 dirasakan membawa dampak positif bagi perusahaan pers. Dalam ketentuan ini dengan tegas diatur mengenai penghapusan penyensoran, pelarangan penyiaran dan masalah pembreidelan Dr.Ibnu Hamad (2004: 66),pengamat media, mengidentifikasi fenomena pertumbuhan industri media dalam era reformasi di Indonesia dalam 3 pemikiran: pertama, memberi basis yang kuat bagi lahirnya pers industri dengan menggeser gejala pers idealis; kedua, mengundang para pemodal untuk masuk ke dunia pers yang belum tentu menjadi bisnis utama mereka; ketiga, memunculkan kelompokkelompok usaha penerbitan pers. Fenomena media pada era Reformasi adalah pers yang telah menjadi industri ditengah kebebasan politik yang baru diperolehnya.Keterbukaan yang sangat luar biasa dalam bidang politik saat itu hanyalah menguatkan kecenderungan kapitalisasi pers. Andi Muis menilai masalah pokok sistem pers Indonesia saat ini adalah masalah keseimbangan antara kebebasan dan pembatasannya atau tanggungjawabnya (1999:75). Bagaimana keseimbangan itu dapat 51
Hukum Media : Dulu, Kini dan Esok terjadi? Daniel Dhakidae menilai, tanggungjawab adalah garis batas kebebasan.Dan yang sebaliknya tidak kurang benarnya, yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab.Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab,dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan. Keduanya tidak bisa dipisahkan (Akhmadi,1997:29) Praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati pers dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat melalui kebebasan menyampaikan informasi tersebut. Praktik kebebasan pers pada akhirnya harus dapat dikelola sendiri oleh masyarakat pers sehingga tidak menjerumuskan media itu dan tidak merugikan masyarakat luas. Tidak ada kebebasan pers yang tanpa bata.s Bagaimana Hukum Media di Indonesia Esok ? Perkembangan di dalam bidang teknologi informasi tak pelak menimbulkan berbagai perubahan dalam segenap aspek kehidupan umat manusia termasuk dalam media. Internet memungkinkan terciptanya interaksi yang lebih intens antara media berita dan pembaca. Hal ini membuat para pembaca tidak hanya mampu memberikan feedback atas suatu pemberitaan secara realtime, para pembaca juga dapat terlibat dalam proses pembuatan berita. Inilah yang disebut sebagai citizen journalism, dimana setiap warga dunia, ketika ia terhubung dengan piranti komputer dan terhubung dengan jaringan internet akan mampu menjalankan fungsi sebagai penulis berita. Bukan perusahaan pers atau wartawan pengisi berita saja yang menentukan konten suatu media, melainkan pula para user yang terdiri dari pengguna dari belahan negara manapun tanpa memandang asal-usul. Kira-kira satu dasawarsa ini, dunia media terutama media berita ada teknologi cetak jarak jauh. Dengan teknologi ini, media massa mendistribusi tugas cetak penerbitan ke titik-titik yang tersebar jauh dari kantor pusat media hingga surat kabar bisa sampai ke tangan pembaca dengan lebih awal. Sementara itu teknologi satelit membuat orang mampu mendengar dan atau menyaksikan suatu peristiwa yang terjadi di tempat lain yang berjauhan degan secara real time. Kini, internet memberikan tawaran yang lebih dari dua teknologi di atas: kebaharuan informasi bahkan partisipasi dalam pembuatan serta penyampaian berita dan informasi, menciptakan tipe tersendiri dalam jurnalisme, apa yang disebut sebagai online journalism. Undang-undang Pers sebagai regulasi utama bidang media berita dengan sendirinya tercabar relevansinya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Definisi pers dalam UU Pers meliputi segala hal yang mencakup kegiatan mencari, 52
(Sinung) memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Definisi ini sekaligus menjadi titik mula untuk mempertanyakan, apakah kegiatan media berita yang terbaru sebagai akibat dampak dari perkembangan teknologi informasi sekaligus pula terakomodasi dalam berbagai klausul UU No 40 Tahun 1999? UU Pers mendefiniskan wartawan sebagai orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik,namun demikian, definisi yang seperti itu bukannya tanpa masalah. Pada era pra internet, memang demikianlah adanya seorang pencari berita yang dikenal dengan sebutan wartawan itu. Ia melakukan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi. Namun inovasi teknologi membuat definisi tersebut dapat dipertanyakan relevansinya. Sebagaimana telah disebutkan di atas, teknologi informasi memungkinkan setiap orang untuk melakukan kerja sebagaimana didefiniskan sebagai kerja wartawan sekaligus menjalankan bisnis media. Seorang yang mempunyai situs internet yang dikelolanya sendiri, yang mencari, mengolah dan menyampaikan informasi melaluinya adalah juga melakukan kerja jurnalistik. Fenomena seperti ini tidak lagi berada di alam ide dan wacana belaka, melainkan telah dipraktikkan secara masif. Dengan sebuah blog, orang maupun sekelompok orang dapat mengelola sendiri suatu situs internet dan menjadikannya sebagai wahana komunikasi massa, menjadikannya sebagai media berita (news media). Singkat kata, blog pula menjalankan fungsi seperti yang diemban media tradisional pada umumnya yakni mencari dan menyampaikan informasi. Kerapkali bahkan apa yang ditulis dan disampaikan melalui blog lebih lengkap daripada media tradisional, apa yang disebut sebagai partcipatory journalism. Dalam beberapa hal, blog pula adalah journalisme. Dari paparan di atas, maka kita dapat simpulkan bahwa perubahan teknologi informasi nyatalah menjadi hal yang amat berpengaruh dalam kehidupan media berita kita. Batas-batas dan definisi sebagaimana tertuang dalam perundangan maupun peraturan hukum mengenai pers menjadi semakin tidak relevan dan tak berkesesuaian lagi dengan realita di masa kini. UU Pers masih menyibukkan diri dengan mengatur media berita dan segala aspeknya, namun dalam paradigma lama yang tak lagi sesuai dengan kebutuhan dan praktik media kekinian. Oleh karena itu, sesungguhnya perubahan dalam UU Pers menjadi sesuatu yang
Riptek Vol.6, No.I, Tahun 2012, Hal.: 49 - 53 harus dilakukan. Perubahan ini penting untuk menjangkau berbagai hal yang kini berada di dalam ranah abu-abu (grey areas). Untuk itu, perlu berbagai terobosan untuk mengatasi berbagai perubahan yang berada dalam ruang vakum tanpa pengaturan oleh hukum. Perubahan undang-undang misalnya perlu memberikan batasan yang lebih tegas lagi kepada apa yang hendak didefinisikan sebagai wartawan. Hal ini penting untuk menghindari adanya orang yang menjadi korban manakala melakukan kegiatan jurnalistik namun tak dianggap sebagai wartawan dan oleh karenanya tak dilindungi oleh hukum. Selain itu, penting pula mengadakan pelbagai perubahan lainnya dalam UU pers sekalipun tak bersangkut paut dengan dampak perkembangan teknologi terkini terhadap kelangsungan media. Perubahan dimaksud adalah langkah yang dirasakan telah mendesak dilakukan untuk mengakhiri keberpihakan UU Pers pada pengusaha daripada kepada wartawan. Posisi wartawan dalam konteks keberadaannya sebagai buruh dari perusahaan amat sangat kentara tak diuntungkan. Kesimpulan Perkembangan yang begitu pesat dalam bidang media serta aktifitas jurnalistik warga yang dipicu oleh perkembangan di bidang teknologi informasi nyatalah tidak cukup terakomodir dalam hukum pers yang kini berlaku di Indonesia. Aktivitas-aktivitas seperti citizen journalism, blog journalism yang telah nyata dijalankan oleh media berita seolah merupakan ranah abu-abu yang tak jelas pengaturannya, karena hukum pers yang ada belum disesuaikan dengan perkembangan. Adalah penting untuk menyadari bahwa perkembangan yang pesat terutama di bidang teknologi informasi telah membawa manusia kepada babak baru peradaban dimana manusia kian mampu mengolah informasi yang didapatnya. Di sini, monopoli informasi termasuk dalam mengolah, menyampaikan informasi tidak lagi dimiliki oleh perusahaan pers besar yang mensyaratkan akumulasi kapital yang besar. Semakin murahya teknologi juga membuat media berita menjadi dapat dimiliki dan dilakukan oleh semua. Perundangan pers Indonesia seharusnya mengantisipasi dan memfasilitasi perkembangan teknologi, sehingga kehidupan pers menjadi lebih demokratis. Sudah saatnya pemerintah dan DPR memahami hal ini dan untuk kemudian melakukan perubahan terhadap UU Pers. Perubahan yang dilakukan tidak ditujukan untuk membatasi namun lebih kepada memfasilitasi pers nasional agar tetap dapat berfungsi maksimal sebagai kontrol sosial di tengah perubahan teknologi. Justru di sini yang perlu ditekankan adalah bahwa perubahan ditujukan
pada perlindungan hukum yang lebih kuat terhadap insan pers. DAFTAR PUSTAKA .................2004. Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.Adji, Oemar Seno. 1973. Mass Media dan Hukum, Jakarta : Erlangga. Bachsan, Mustafa. 1999.Sistem Hukum Komunikasi Massa Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. Muis,A, 1999.Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa, Jakarta : Dharu Anutama. Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa- Sebuah Studi http://gudangilmublooddy.blogspot.com/2010/04/sejarahmedia-dan-sejarah-hukum-media.html diunduh pada 12-10-2011 Rakhmat, Jalaludin. 2000.Psikologi Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya. Wiryawan, Hari. 2007. Dasar-Dasar Hukum Media. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers
53