DIRGAHAYU 64 FILM INDONESIA
SEMINAR SEHARI FILM INDONESIA “KINI dan ESOK” Rabu, 30 Maret 2014 (Hotel Balairung, Jakarta)
08.00 – 09.00
Registrasi Peserta
09.00 – 09.05
Ucapan Selamat datang oleh MC
09.05 – 09.10
Menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya
09.10 – 09.20
Tarian Selamat Datang oleh Sanggar Lenggang Nusantara
Laporan Kegiatan oleh Direktur Pembinaan Kesenian dan Perfilman Kemendikbud Prof. Dr. Endang Caturwati Assalamualaikum.. Yth. Dir Jend kebudayaan, dan Yth Kemenparekraf dan seluruh peserta. Pada hari ini pendidikan kebudayaan melalui kemenparekraf menyelenggarakan seminar dengan topik Film Indonesia kini dan nanti dalam menyongsong peringatan hari film Nasional. Dengan rangkaian acara pameran poster dan film Soekarno yang produksi kemendikbud. Kegiatan tersebut masih berlangsung hingga hari ini di komplek kemendikbud. Pemilihan topik ini tidak berkonotasi mengecilkan film indonesia di masa lalu, tetapi mengingatkan kita akan sejarahnya. Sejarah ditandai oleh produksi film darah dan doa dengan sutradara usmar ismail. Pengambilan pengambilan gambar pertamanya diambil pada tanggal 30 Maret 1930. Sehingga tiap tanggal tersebut dijadikan sebagai hari film nasional. Pada seminar ini kita akan berdiskusi membedah sampai sejauh mana perfilman indonesia serta tantangannya. Yang akan di paparkan oleh Prof. Dr. Kacung Marijan dan Prof. Dr. HM Ahman Sya. Pada kesempatan ini juga telah hadir 2 orang cineas dari hollywood.
1
Topik ini dimaknai oleh beberapa film indonesia yang cukup sukses antara lain Habibie dan Ainun dan Tenggelamnya kapal Van der wick, semoga seminar ini dapat memberikan angin segar untuk kemajuan film Indonesia. Dan pemerintah bisa melaksanakan fisi dan misi untuk UU perfilman Nasional.
Moderator (Panji Wibawa) : Pada hari ini kita akan memulai satu seminar untuk membahas film Indonesia yang temanya adalah Film Indonesia : Kini dan Esok. Dimana Film Darah dan Doa pertama kali dibuat sehingga melahirkan hari film Nasional. Selama itulah perfilman Indonesia mengalami pasang surut yang berulang ulang. Pak Marijan dan Pak Ahman akan memaparkan mengenai perfilman Indonesia.
Prof Dr. Kacung Marijan : Asslamualaikum wr. Film kita itu, saya lebih suka mengartikan dinamika daripada pasang surut. Dinamika itu tidak lepas dari konteks industri film global. Maupun industri dari ekonomi politik. Saya ingin masuk ke ranah global, bahwa industri film ditunjang faktanya lebih banyak terkonsentrasi di sejumlah negara. Ada 4 negara yang sangat berpengaruh pada Industri film global, Amerika, India, Cina dan Nigeria. Dengan karakteristik masing-masing, pada dasarnya dipengaruhi oleh cultur masing-masing. Amerika, melalui culturnya. Cina dan India mempunyai karakteristik unik, yang dari dulu hingga sekarang tidak berubah. Indonesia lebih banyak sebagai follower. Indonesia melalui karakternya. Terlepas dari kritik orang tentang film pocong, tapi pocong adalah karakter bangsa Indonesia. Tapi bagaimana caranya agar pocong itu bisa menarik itulah yang harus dikemas ke dalam film. Sejak akhir 80an ada konsentrasi distribusi perfilman, ini berimplikasi pada menurunnya tempattempat pemutaran film di daerah. Saat ini di kota-kota hampir tidak ada tempat pemutaran film menengah kebawah. Ini jelas berpengaruh. Di lain pihak, berkembangnya televisi juga
2
berpengaruh. Mulai tahun 90an mulai berkembang TV-TV swasta, menjadikan orang menunggu film-film yang diputar di TV. Hal tersebut berpengaruh pada dinamika ini. Faktanya juga tidak semua kota besar tidak memiliki gedung film. Tidak semua kabupaten kota itu memiliki gedung bioskop. Bagaimana keinginan insan film ini memproduksi film semakin besar sehingga mendapat apresiasi di masyarakat. Disini kita menempatkan dalam konteks SDM nya baik pelaku perfilman maupun para pengapresiasi. Saya beberapa waktu yang lalu mengundang rektor pendidikan perfilman untuk membahas masalah tersebut. Justru banyak tenaga-tenaga terampil itu dihasilkan oleh lembaga non formal. Saya kira hal ini perlu bersama-sama dikembangkan. Di tingkat sekolah saya berpendapat bahwa industri film akan berkembang lebih besar ketika masyarakat tidak mencintai film. Dalam produksi ada masalah mengenai pembajakan dan lainlain, para anak-anak kita mengapresiasi film sehingga bisa menghargai. Dalam dunia pendidikan pada Kurikulum 2013 memberi bobot yang besar pada perfilman ini. Karena itu harus di masukkan di seni media di sekolah-sekolah di level SD sampai SMA, yang masuk lebih banyak kesenian tradisional. Lab seni budaya akan kita rintis tahun ini, itu wujudnya semacam seni theater, sebagai tempat bagi adik-adik kita untuk belajar kesenian, yang salah satunya belajar film dan nonton film. Kalau setiap kabupaten minimal ada 5 lab budaya, berarti akan ada 2500 mini theater di Indonesia. Itu akan menjadi tempat bagi apresiasi film di Indonesia. Gedung film kita jumlahnya tidak sampai ribuan, hanya ratusan. Ini membutuhkan kerja keras bagi pemerintah pusat dan daerah. Saya sudah mengungkapkan hal ini yang kemudian akan dikembangkan. Dengan adanya lab itu, nanti bibit-bibit akan semakin tumbuh, termaksud SDM nya. Kami juga sedang menyiapkan semacam buku cetak biru untuk pembangunan film Indonesia. Kami akan mengajak insan film untuk duduk bareng bersama BPI dan Kemenparekraf untuk bersama-sama membuat Rencana Induk Perfilman Indonesia. Peranan pemerintah dalam film belum maksimal. Kita harapkan bersama-sama, insan film, produser dan pecinta film untuk melaksanakan rencana induk ini. Karena kita tidak hanya akan menerbitkan buku yang kemudian akan dimasukkan ke dalam lemari. Siapapun, nanti yang akan menjadi presiden, dirjen akan memiliki komitmen. Sehingga masuk ke situ dan lock in. sehingga hal ini akan menjadi penting. Industri film itu dibutuhkan dan dalam hal tertentu tidak akan lepas dari pemerintah, contohnya saja dari pajak. Karena itu kita akan duduk bareng-bareng. Jujur saya memang agak kesulitan,
3
karena disisi lain pemerintah membutuhkan pajak. Kita akan merintis intensif non pajak. Kita akan memberikan intensif tanpa melanggar aturan. Saya mengundang nanti untuk ramai-ramai membahas buku rencana induk untuk membahas film nya ke depan. Sekian dan Terima Kasih.
Moderator (Panji Wibowo) : Ada beberapa hal yang menarik, yaitu memasukkan kurikulm Film ke dalam Kurikulum sekolah. Memasukkan lab Film ke dalam sekoleh. Komitmen bersama parekraf tentang pajak. Sehingga kita bisa bersama-sama duduk bareng untuk membicarakannya. Sesi berikutnya bisa memberikan gambar selanjutnya tentang BPI.
Prof Dr HM Ahman Sya : Asslamualaikum wr Saya akan menyampaikan materi terkait dengan film dalam kacamata industri. Karena film terkait dengan ranah industri. Kalau bicara tentang industri yaitu kualitas, daya saing dan banyak hal yang berlangsung dalam kualitas kehidupan kita. Dasar daripada perfilman ini kita punya UU 33 thn 2009, di pasal 8 ayat 2 yang terkait dengan usaha di bidang perfilman yaitu tentang usaha perfilman. Sektor film, video dan photografi itu merupakan bagian dari ekonomi kreatif disamping 14 sektor lainnya. Oleh karena itu pembinaan di kementrian kami pada ranah industri kreatifnya. Kami kementrian parekraf sudah menandatangani MOU agar pembinaan perfilman itu lebih komprehensif. Dengan terbentuknya BPI itu merupakan satu energi baru dalam mendorong perfilman ini untuk industri perfilman. Kalau Industri parameternya bisa memberikan kontribusi, bagaimana menambah pendapatan, mendorong pertumbuhan ekonomi, dll.
4
Di dalam usaha perfilman ada yang menarik. Usaha Perfilman 2007-2014 (secara umum):
NO JENIS USAHA
AKUMULASI TOTAL TIAP TAHUN 2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013 2014 *)
AKTIF
1 Pembuatan 784 1,072 1,237 1,433 1,632 1,661 1,661 1,661 122 2 Jasa Teknik 17 17 19 19 22 22 22 22 3 3 Pengedaran 38 49 58 65 67 196 362 382 7 4 Pertunjukan 10 22 24 25 25 25 25 25 14 Penjualan & Penyewaan
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
6 Pengarsipan
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
n.a
5
7 Ekspor
1 1 1 1 1 1 1 1 -‐
8 Impor
50 56 57 59 69 77 77 77 7
a.
Data s.d.17 Februari 2014
b. Perbedaan nyata antara yang terdaftar dan yang aktif beroperasi c. Data penjualan dan penyewaan terkendala masukan data dari usaha yang ada di daerah d. Diperkirakan hanya ada satu usaha pengarsipan film dan perlu campur tangan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk lebih memerhatikan hal ini. e. Regulasi untuk pengedaran, pertunjukan, ekspor, dan impor film dibutuhkan Dilihat dari mata rantainya, ini menunjukkan gambaran yang kurang menggembirakan. Perkembangan teknologi yang demikian pesat yang memungkinkan bidang usaha ini tidak mampu melawan perkembangan teknologi.
5
Film Nasional dan Film Import : Tahun
Film Nasional
Film Impor
Perbandingan
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 *) JUMLAH
10 6 4 9 12 21 33 33 53 87 78 77 82 90 105 20 720
210 214 214 269 227 201 201 165 296 185 204 188 168 182 287 20 3231
1 : 21 1 : 36 1 : 53 1 : 29 1 : 19 1 : 10 1:6 1:5 1:5 1:2 1:2 1:2 1:2 1:2 1:3 1:1 1:4
a. Data s.d.17 Februari 2014 b. Upaya memperkecil perbandingan antara film impor dan film nasional mulai terlihat sejak 2008, meskipun pada tahun 2013 sedikit berubah. c. Perlu upaya strategis untuk mencapai ketersedian film nasional à ada peluang yang terbuka untuk meningkatkan produksi film hingga ketersediaan tercukupi d. Fasilitasi Pemerintah dan pemerintah daerah diperlukan (sarana, prasarana, sentra film)
Fungsi film itu bukan hanya fungsi informasi dan ekonomi, tetapi ada fungsi pendidikan, fungsi diplomasi dan promosi. Bagaimana membuat co production di Indonesia ini, ada banyak keuntungan. Kita masuk ke dunia demokrasi yang paling baik. Peran pemerintah ditanggung dari sekian banyak dari peran masyarakat dan usaha. Film indonesia akan maju dan berkembang bila ditangani dengan baik oleh masyarakat, pemerintah dan insan perfilman tersebut.
6
Produksi Film Nasional dan Film Televisi (Lepas dan Serial ):
TAHUN
FILM LEPAS
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 *) TOTAL
1,893 1,038 1,082 738 896 1,098 1,804 157 8,706
FILM SERI (SINETRON) JUDUL EPISODE 234 3,554 441 6,969 458 7,482 265 6,697 273 7,173 477 8,677 358 9,382 22 1,276 2,528 51,210
a. Data s.d.17 Februari 2014 b. Upaya memperkecil perbandingan antara film impor dan film nasional mulai terlihat sejak 2008, meskipun pada tahun 2013 sedikit berubah. c. Perlu upaya strategis untuk mencapai ketersedian film nasional à ada peluang yang terbuka untuk meningkatkan produksi film hingga ketersediaan tercukupi d. Fasilitasi Pemerintah dan pemerintah daerah diperlukan (sarana, prasarana, sentra film)
Kalau misalnya di dalam UU, film dokumenter di bawah kemendikbud, karena film dokumenter sekarang bukan sekedar untuk disimpan saja. Kita tidak bisa memisahkan lagi dimana dokumenter dan komersil. Persoalan jumlah produksi film ini cukup menggembirakan. Kalau sudah masuk ke pasar, yang mempunyai kekuasaan adalah pengusaha bioskop. Kami sedang merancang peraturan menteri mengenai pengaturan penayangan film nasional. Agar supaya hal
7
ini bisa memberikan peluang film nasional menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Kalau film yang begitu banyak dibuat ini, modalnya aja kadang tidak kembali. Contohnya sang kyai, ketika dilempar ke pasar nggal laku. Ada sesuatu yang harus disiasati. Yang pertama masih film laskar pelangi yang masih di atas, kedua baru habibie dan ainun. Upaya-upaya untuk mengkampanyekan film ini, diupayakan tanggal 30 maret ini semua film di bioskop adalah film Indonesia dan masyarakat Indonesia menonton film indonesia. Potensi penonton film Indonesia ini sangat besar. Tapi tidak 50% orang Indonesia menonton film Indonesia. Masalah tata edar juga harus terkontrol dengan baik. Kalau masuk industri parameternya bisnis. Maka dari itu perlu diatur mekanismenya. Produksi Film di Indonesia oleh Tim Asing :
a. Data s.d.17 Februari 2014 b. Upaya untuk membuat Indonesia sebagai lokasi syuting film berkembang positif c. Hal ini menjadi peluang bagi insan film nasional untuk terlibat, belajar, dan sekaligus menunjukkan keandalan atau kompetensinya. d. Promosi Indonesia sebagai lokasi syuting dilakukan melalui keikutsertaan Indonesia dalam berbagai festival film dan kegiatan pemasaran film internasional
8
Seperti film the act of killing, mereka masuk ke Indonesia sebagai wartawan, di tahun 2005. Saya ditanya mengenai arsipnya, kapan mereka membuat film tersebut. Dicari arsipnya tidak ada, karena mereka masuk ke Indonesia sebagai wartawan bukan dalam rangka membuat film. Pertunjukan Film (Bioskop dan Layar) :
a. Data s.d.17 Februari 2014 b. Jumlah layar menurut Cineplex 21 hanya 843 buah. Perlu verifikasi lebih lanjut. c. Mayoritas berada di ibukota provinsi dan kota-kota besar. Artinya, akses masyarakat untuk menonton film belum merata di seluruh Indonesia. d. Prediksi untuk lebih meningkatkan akses masyarakat Indonesia untuk menonton film diperkirakan 5 triliun rupiah melalui usaha perbanyakan bioskop dan film keliling Bagaimana hubungan masyarakat dan Film : FILM :
•
Produksi
•
Distribusi
•
Eksibisi
•
Apresiasi
•
Kelembagaan
9
PENGEMBANGAN INDUSTRI : •
Pemerintah
•
Pemerintah daerah
•
Insan film
MASYARAKAT : •
Perhatian
•
Keinginan
•
Keterlibatan
Kemarin saya mengikuti festival film pendek, pemenangnya adalah pelajar SMA dari Jawa Timur. Dimana ada lembaga perfilman yang mumpuni diluar IKJ. Program studi perfilman banyak, tetapi daya dukungnya tidak disertai perkembangan teknologi saat ini. Oleh karena itu saya menyambut baik oleh Kemendikbud kurikulum film di sekolah-sekolah. Kalau membangun bioskop di daerah lebih baik kan pemerintah daerah dan masyarakatnya. Ada baiknya dibangun dulu percontohan di kabupaten. Karena itu film indonesia ini akan bisa menjadi tuan rumah di Indonesia, apabila melibatkan masyarakat dan pemerintah lebih mendalam. Beberapa upaya yang dilakukan adalah : • • • • •
Pengenalan, pendidikan dan pelatihan film semenjak usia dini Kampanye “Aku Cinta Film Indonesia” Membentuk dan memantapkan keberadaan komunitas film di sekolah dan di Masyarakat. Merevitalisasi Festival Film Indonesia Membentuk dan memaksimalkan keberadaan Badan Perfilman Indonesia
Terima kasih atas Perhatiannya, mohon maaf jika ada yang kurang berkenan.
Moderator (Panji Wibawa) : Terima kasih Pak Ahman dan Pak Kacung. Ternyata film yang menang festival tidak identik dengan film yang laku. Ada yang lebih ditekankan di industri dan di pendidikannya. Rencana Induk Perfilman
10
Nasional itu akan sangat baik jika kita bisa bekerja sama. Kita bisa bertanya tentang apa sesungguhnya tentang pemaparan itu. Beberapa data dari produksi, penonton dan jumlah layar yang sangat mengesankan. Ternyata box office kita kayak Laskar Pelangi itu hanya 5 juta dengan penduduk 250 juta. Ini kita memang butuh satu strategi yang terpadu untuk bisa mendorong dan membuka layar. Kita bisa buka sesi tanya jawab sekarang.
SESI TANYA JAWAB :
1. Efi, Universitas Negri Malang Pak Kacung, presentasinya pak Kacung membaca pikiran saya. Pembangunan film tidak hanya dari pembuatnya saja. Terkait dengan strategi untuk membuka mini theater di beberapa daerah. Saya agak khawatir dengan maintenance nya, apakah diserahkan ke pemerintah daerah atau apa ? kok ada problematik, adanya asumsi tidak ada film indonesia yang bagus, asumsinya bahwa film hollywood lebih baik. Mendatangkan pembuat film dari luar, sehingga pembuat film lokal hanya sebagai asistennya aja. Sehingga asumsi nya juga akan berubah. 2. Dedi, Patriot Film Mencoba mencari penegasan dari Pak kacung. Perfilman di dunia pendidikan hanya sebagai ekstra kulikuler. Di jabodetabek, telang mengumpulkan beberapa kepala sekolah. Pemuliaan perfilman, ada efek negatif, banyak hal yang berkonotasi negatif. Sampai dimana perkembangan pembicaraan tahun lalu itu. Apakah perfilman bisa masuk ke dalam kurikulum ? di buku ada tentang cinematografi dan film. Contohnya, kalau ingin cewek Indonesia ingin punya rambut pendek atau bondol, hanya tinggal di suruh nonton film Ghost. Sejauh mana upaya yang sudah ada ? 3. Dana, Kompas Di Taiwan disana mereka menanyakan tentang bioskop frenchise. Mereka punya bioskop khusus menanyangkan bioskop film lama. Bioskop ini tidak kecil, ada 9 studio. Disini mereka bisa menanggulangi pembajakan. Bisakah hal ini diterapkan di Indonesia.
11
Moderator (Panji Wibawa) : Dari Mbak Efi mengenai maintenance nya, dari Mas Dedi adalah film hanya ekskul, dalam dampak tersebut bagaimana kelanjutannya. Kalau Mbak Dana dari Kompas mengenai studio film yang bisa menanyakan film lawas.
Prof Dr. Kacung Marijan : Yang dimaksud lab film itu bukan hanya untuk film, tetapi juga sebagai instrumen bagaimana mereka belajar tari dan instrumen. Pengalaman kecil, kalau mau latihan tari itu di dalam kelas dengan ruang yang sempit dan kelas sebelah menjadi terganggu karena berisik. Tapi kalau dengan adanya lab itu tidak akan mengganggu aktifitas sebelahnya. Ada 3 fenomena yang menjadi sumber pembelajaran. Pertama adaalah fenomena alam, kedua fenomena sosial belajar geografi, ekonomi, sosiologi dan kewarganegaraan. Fenomena sosial, sejarah dan budaya. Selama ini pendukung pelajaran ini tidak kuat. Yang kuat adalah fenomena alam dan sosial. Yang berkaitan hanya lab bahasa. Kita akan masuk ke sana, karena tanpa ini semua tidak akan lengkap. Sekolah itu mulai dasar samapi SMA domainnya hanya sekolah. Inisiatif pemerintah daerah akan diserahkan ke pemerintah daerah. Kita akan gunakan beberapa perguruan tinggi untuk ikut membina. Termaksud universitas yang mempunyai dosen kesenian. Kita akan bekerja sama dengan mereka untuk melakukan pembinaan. Anggaran selanjutnya kita harap dibantu oleh pemerintah daerah. Kalau assesmen itu, tidak usah terlalu jauh lah. Sekolah-sekolah mau merintis boleh. Akan terlalu jauh kalau berkaitan dengan assemen, kalau takut duluan tidak akan pernah mencoba. Harus berani. Soal tehnikal asisten. Sutradara kita banyak yang bagus-bagus, ini sharing. 2 orang ini bukan kemudian akan jadi guru kita. Kita bisa aja kerjasama. Apa salahnya kalau emang orang lain lebih baik dan kita belajar dari mereka. Yaaa tidak apa-apa. Saling belajar tidak apa-apa. Soal orang asing dan lain-lain tidak usah takut. Itu semua tergantung kita, kita lah yang menempatkan posisi kita.
12
Lab seni budaya itu tidak berarti menempatkan semua anak menjadi seniman. Bukan begitu. Itu adalah apresiasi. Saya tidak bisa main film dan musik. Walaaupun anak saya belajar main musik, atleast anak saya bisa main alat musik. Bagaimana kita menanamkan apresiasi pada anak anak sehingga mereka bisa menghargai. Salah satu kurikulum adalah belum masuknya kurikulum film. Adanya revisi kedepan sehingga seni kita konfrehensif. Jangan sampai kita konsentrasi pada masa lalu tapi masa depannya tidak terpikir. Untuk kurikulum ada jurusan yang berkaitan dengan seni media. Ekstrakulikuler sudah masuk kan alhamdulilah, daripada tidak masuk. Tujuan kita bukan untuk membuat anak-anak itu menjadi pemain dan pembuat film. Tapi bagaimana anak-anak bisa mengapresiasi film dengan baik. Saya pernah ke beberapa negara, memang ada gedung khusus film lama. Dulu sebetulnya begitu. Di daerah-daerah sudah masuk. Di kota belum masuk. Di beberapa kota lebih mengedepankan film-film baru. Saya kira itu ide yang menarik bagi pengusaha bisa masuk ke sana. Ketika mahasiswa ada gradasi film. Kalau lagi ada duit masuk ke bioskop ke film-film baru. Kalau lagi gak ada duit masuk ke gedung bioskop film lama. Kita itu memproduksi mobil film keliling. Pengelolaannya kita serahkan ke pemerintah daerah. Mobil itu dibiayai atas dana rakyat. Itu bisa kerjasama termaksud untuk pemutaran film-film lama. Ada juga taman budaya, dimana kedepan nya bisa menjadi tempat pemutaran film. Kalau kita bersama sama dan optimis kita akan bisa mengapresiasikannya. Urusan kebudayaan itu kadang-kadang jangka pendek. Batik saja untuk bisa diapresiasi oleh Unesco membutuhkan biaya 5M, yang kemudian usaha batik jadi berkembang. Prof Dr Ahman Sya : Ada 2 pertanyaan yang menyinggung, yaitu dari Pak Dedi terkait dengan konten film yang ditayangkan di TV dan lain-lain. Secara formal pintu terakhir itu ada di lembaga sensor film. Walaupun LSF itu sebagai lembaga yang independen. Masyarakat tidak mempunyai kewenangan untuk menyensor. Kemarin waktu wawancara di RRI dengan Pak Kacung. Mengapa sekarang banyak film-film yang murahan, walaupun begitu ternyata banyak ibu-ibu yang menyukai. Kalau sudah masuk dunia usaha melihatnya ada keuntungan atau tidak. Pengelola agar punya komitmen yang sama dengan kita, karena kita tidak bisa berdiri secara sepihak. Hal semcam itu
13
yang menjadi pertimbangan kita, agar kita tidak bisa mengarahkan ke hal-hal yang kita yakini tidak sesuai dengan kultur kita. Pemerintah dengan masyarakat dan insan perfilman punya hak yang sama. Film ini bisa mengubah mindset, sehingga kita bisa merubah semua itu sesuai dengan apa yang kita tuju. Pertanyaan Mbak Dina. Saya mengusulkan agar di kantor kami untuk membikin bioskop mini. Saya menyampaikan pesan agar diusulkan membikin bioskop mini, agar teman-teman yang ingin menonton film lawas bisa menonton disini. Kalau film yang sudah lawas, jangankan film lawas, film yang sudah turun dari bioskop itu bisa ditonton. Kalau ada masyarakt atau pengusaha yang berminat seperti itu bisa menonton. Akan lebih baik jika di museum-museum kita juga disediakan film-film dokumenter. Harusnya dimanapun orang dimungkinkan untuk menonton film dokumenter sersebut. Itu bisa menjadi semacam perintis untuk membangun gerakan Aku Cinta Film Indonesia. Konten nya tidak bertentangan dengan apa yang ada sekarang ini. Kalau kita bicara film pertama yang dibuat di Indonesia pertama itu adalah sebenarnya lutung kasarung. Tapi itu era sebelum merdeka. Hal-hal seperti ini patut di sosialisasikan. Kalau mau nonton film darah dan doa bisa di lihat di youtube. Kalau media nya sudah ada, ini memungkinkan untuk dilakukan. Ada program mobil film keliling. Itu yang kami harapkan gerakan-gerakan seperti itu. Dengan begitu akan terjadi ketahanan budaya indonesia. Mudahmudahan di tahun depan bisa terwujud ketika kami ingin membangun sentra-sentra budaya. Kami masuk dari sentra kreatifnya.
SESI PERTANYAAN KE-2 4. Nasgian, Malang Sentralisasi masalah perfilman ini belum dirasakan. Contohnya di banten saja baru ada satu bioskop. Diramu oleh pemerintah bagaimana membuat sebuah terobosan. Kita harapkan bahwa sebenarnya ada peran aktif yang harus dilakukan. Kebutuhan primer bagaimana di dua kementrian ini bagaimana bisa menjadi kebutuhan premier. Untuk visioner dan menatap kedepan. Menyatukan kembali semua bidang kesenian dalam satu kementerian. Contoh film soekarno, kalau memang ada pelanggaran hak cipta tapi jangan
14
pidana. Harus dibuat budaya hukum kepada semua steak holder ini. Perlunya katalog bersama agar semua orang bisa langsung mencari film apa dan bisa ketemu. 5. Nina Kirana, Forum Melingkar Pena dan komunitas penulis film Mata pelajaran Bahasa Indonesia termasuk yang kurang diminati oleh anak-anak. Mungkin dari kementrian bisa merubah hal tersebut. Film tidak bisa lepas dari skenario filmnya. Bagaimana kementerian dalam menghadapi persoalan ini. 6. Joko Raharjo, KPSSI Film adalah media yang dapat dilihat dan dirasakan oleh banyak masyarakat. Semoga film Indonesia selalu memegang erat tentang budaya Indonesia, dengan tidak pernah bisa menggoyangkan generasi kita lupa untuk budaya kita sendiri.
Prof Dr. Ahman Sya : Dari 3 penanya ini semuanya bersifat umum. Saya sepakat bahwa film ini dianggap sebagai kebutuhan. Film ini kebutuhannya tingkat berapa, walaupun kebutuhan juga. Derajat kebutuhannya tidak bisa disamakan dengan makan dan minum. Harus ada strategi dan fasilitasi agar bisa sampai pada tahap tersebut. Jadi programnya secara bertahap. Kalau masalah kementerian kebudayaan nanti bisa dibilangin aja pada presiden terpilih, Disampaikan saja pada beliau. Mengenai tax intensif dalam suatu film. Tidak menempatkan pemerintah dalam menentukan segala-galanya. Para praktisi dalam perfilman yang berperan, sedangkan pemerintah hanya sebagai fasilitator saja, jangan menempatkan pemerintahan itu sebagai tong sampah. Pemerintah sekarang kan demokratis bukan otoriter. Inilah kemudian yang kita bangun bersama yang ketika ada persoalan bisa di diskusikan bersama. Misalnya di perpustakaan disiapkan studio mini. Upaya dilakukan oleh kita secara fisik dan internal, tapi harus ada upaya lain. Bagimana para pembuat film, seperti pemenang anak SMA tadi. Film anak Makasar di apresiasi di dunia. Mereka akan menjadi cineas yang handal. Produk kreatif. Kita belum sampai ke menghargai produk kreatif seperti itu. Karya kreatif itu harus bisa mendukung ekonomi, kreatif dan budaya bangsa.
15
Untuk Mas Joko, bahwa yang disebut kebudayaan itu tidak pernah statis. Tidak berarti jika mewariskan budaya penerus kita tidak bisa mencetak seperti itu. Kita harus reinventarisasi, kedua reinventasi dan ketiga adalah regenerasi. Pola pewarisan tidak seperti yang digambarkan Mas Joko tadi. Basis kultural itu harus hati-hati, karena budaya itu bersifat dinamis. Prof Dr. Kacung Marijan: Disentralisasi, konsepnya pemerintah. Padalah pemerintah tidak sampai 30%. Disentralisasi sudah. Urusan kebudayaan itu sudah diserahkan ke daerah. Bagaimana bisa komitmen, Misalnya jawa tengah, dengan beberapa kabupaten sudah membangun theater daerah. Di level komunitas masyarakat. Dari pekalongan itu kan jauh, naik mobil 9 jam. Beberapa festival film kan banyak dari daerah yang menyelenggarakan. Soal film soekarno. Saya mendapat surat yang berbeda. Disatu sisi harus dicabut peredarannya. Tapi surat yang lain memberikan rekomendasi untuk ditonton oleh masyarakat. Faktanya seperti itu. Kalau dari aspek hukum bisa bermacam-macam. Soal pelajaran bahasa indonesia. Nilai pelajaran bahasa Indonesia itu kalah dengan bahasa Inggris. Apakah karena kita nggak bisa bahasa Indonesia. Untuk kurikulum 2013 itu beda. Banyak anak didik kita diajarkan, bahwa sesuatu yang belum diajarkan sudah diajarkan. Pelajaran bahasa indonesia diajarkan agar anak itu mempunyai kepercayaan diri. Pertama berkenalan, karena perkenalan itu adalah kunci sukses. Agar bisa membangun karakter yang baik untuk bergaul dengan orang lain. Kita merubah mindset mengenai Ibu Budi dan Bapak Budi. Kita ingin mainset kebudayaan kita kuat dan dinamis. Inspirasi film berproduk budaya itu sangat kuat. Saya mengajak nanti untuk bersama-sama merumuskan rencana induk pembangunan Film Indonesia. Ini terbuka, bukan hanya BPI saja, tapi komunitasnya juga. Soal kementerian, UU kementerian negara itu mewajibkan menteri-menteri yang ada, soal kementerian itu bisa menjadi urusan bisa pak Jokowi atau pak Prabowo nanti. Kita serahkan saja, yang penting kita doakan saja, mudah-mudahan kedepannya ada kementrian khusus.
16
Moderator (Panji Wibowo): Kita sudah mendengar satu komitmen dari pemerintah terhadap perfilman. Kita sebagai masyarakat film harus merespon, bahwa setelah ini kita bisa duduk bareng. Dari hasi percakapan ini kita sudah bisa mengambil kesimpulan. Sesi pertama ini kita akhiri. ISHOMA Kemala Atmojo : Saya akan berbicara bagaimana high light dari problem-problem yang ada. Usulan bagaimana kita kedepan. Kesimpulan beberapa problem yang ada: •
Pertama, masih maraknya pembajakan yang sangat merugikan pemiliki hak cipta. Karena itu, insan film Indonesia harus mendukung usaha untuk memberantas pembajakan.
•
Kedua, film Indonesia masih memiliki potensi disukai penontonnnya apabila digarap dengan bagus. Hal ini terbukti bahwa marketshare film Indonesia pernah mencapai angka yang cukup tinggi. Ekplorasi tema mesti terus dikembangkan, meski tanpa jaminan bahwa tema-tema baru itu pasti bakal laku di pasar.
•
Ketiga, perlunya meningkatkan kemampuan sumber daya manusia menghadapi globalisasi. Maka standarisasi kompetensi dirasakan keperluannya. Namun sertifikasi ini selayaknya dilakukan oleh asosiasi profesi.
•
Keempat, perlu dilakukan secara sistematis usaha untuk memperluas pasar baik di tingkat regional maupun internasional. Misalnya dengan bekerja sama dengan distributor di luar negeri atau membentuk perwakilan bersama di luar negeri.
•
Kelima, memperluas jaringan bioskop, terutama untuk menengah ke bawah. Hal ini karena bisnis bioskop di Indonesia saat ini termasuk yang high cost.
•
Keenam, bersiap diri menghadapi perkembangan teknologi digital dan satelit yang terus berkembang.
17
Apa ukurannya sebuah film dikatakan sukses ? Secara sederhana dapat kita katakan bahwa sebuah film bisa dilihat dalam dua parameter. Pertama, dari sisi industri komersial. Kedua dari sisi seni. Pada parameter pertama (komersial), ukurannya adalah laku di pasar dan produser untung. Pada parameter kedua (seni), film tersebut mendapat penghargaan di berbagai festival internasional yang berbobot. Lalu apa yang mau kita pilih? Sebagai pribadi-pribadi, apapun pilihan para pembuat film, itu sah-sah saja. Tetapi sebagai strategi perfilman nasional, sebagai sebuah gerakan yang sistematis, tampaknya kita harus berpikir secara serius tapi realistis. Pertama, apakah kita akan fokus pada pembuatan “film seni” yang sarat dengan eksperimen artisitik dan penuh muatan budaya nasional? Atau, kedua, kita arahkan pada pembuatan “film komersial” yang mampu menghasilkan nilai ekonomi tinggi dan pasar yang lebih luas? Kedua pilihan itu mempunyai risikonya sendiri. Menurut saya, dalam konteks Indonesia saat ini (2014), saya cenderung mengusulkan agar kita fokus mendorong para produser utama (mainstream) untuk membuat film yang lebih berorientasi kepada pasar. Ini bukan berarti kita harus membuat film asal-asalan. Sebab film asal-asalan juga tidak akan laku di pasar. Tetapi mereka didorong untuk membuat film dengan kaidah-kaidah seperti layaknya filmfilm komersial di dunia. Dengan cara begitu, film-film mereka diharapkan bisa mendapat sambutan penonton yang cukup besar baik di tingkat lokal maupuan regional. Jika produser untung, mereka akan bisa memproduksi lagi. Begitu seterusnya hingga suatu kali film-film mereka bisa setara dan diterima di kancah internasional. Sebab untuk apa berproduksi kalau rugi terus? Untuk apa hanya sekali membuat film bagus lalu stop? Sebagai sebuah gerakan untuk tujuan jangka panjang, hal itu tentu tidak menguntungkan. Kepada mereka yang bersedia ikut dalam gerakan ini, pemerintah dapat membantu secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya dengan mengadakan pelatihan, insentif pajak, penerbitan buku berkualitas, dan lain-lain. Di sini Kemenparekraf bisa mengambil peran lebih besar.
18
Sementara itu, kepada para pembuat film indie, kita dorong untuk terus melakukan eksplorasi estetis dan teknis yang pada saatnya juga bisa memberi kontribusi atau meningkatkan mutu film-film komersial (mainstream). Di bagian ini Kemendikbud mendapatkan porsinya. Demikian pokok-pokok masalah dan pikiran yang bisa kita jadikan bahan diskusi hari ini.
Garin Nugroho : Membangkitkan film ditengah transisi. Biasanya yang terjadi di pasca reformasi dari sistem politik. Sistem perlindungan ekonomi maupun seluruh aspek. Persoalan nya adalah, apa yang terjadi pada dunia film ? dalam era transisi, segala sesuatu yang mengandung nilai ekonomi dan transaksi ekonomi. Apa yang disebut dengan hubungan langsung kekuasaan. Apakah UU perfilman termaksud dalam 3 kategori itu. Bersangkut paut pada modal yang luar biasa. 3 pertanyaan ini, menurut saya tidak tiga-tigannya. Contohnya Masalah UU penyiaran, karena menyangkut banyak hal. Televisi berkait dengan segala hal, teknologi dan sebagainya. Transisi politik akan ditanyakan kalau ada pertanyaan tentang UU. Perubahan UU di perfilman bukan sesuatu yang sangat populer. Oleh karena itu perubahan dimasa transisi di wilayah film terlambat, karena film tidak terlalu populer sekarang ini. UU penyiaran membutuhkan waktu 2 tahun untuk mensahkan. UU perfilman mengalami keterlambatan dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Tirani ke demokrasi selalu mengalami 2 wajah. hal seperti ini tidak hanya dialamai oleh dunia film saja, tapi terjadi juga di berbagai aspek yang tidak populer lainnya. Yang menarik dari korea adalah, di dalam perubahan transisi yang sangat kompleks. Bahwa kita memerlukan seorang seperti Kim dimhoo. Orang tua yang mengerti segalanya. Pertanyaan saya kepada anda, dari seluruh insan film ini ada orang yang seperti itu gak ? ini menjadi PR dari kita semua untuk melakukan semua ini. Selalu di dalam kelompok apa yang disebut gerakan baru. ada pola yang tumbuh, mengambil dari pola demokrasi, tapi mempunyai pola kebijakan, kedua memang tumbuh dari orang film tapi tau apa yang tumbuh dari gerakan film politik. Kita mempunyai organisasi BPI, seluruh organisasi punya syarat
19
penting, pertama adalah berlakunya hukum, politis dan sebagainya. Ada 2 jalan yang kita pakai. BPI harus secara tegas berlaku hal secara hukum. BPI ini sudah punya hal secara hukum adminstratif. Sebagai kelembagaan sudah ada UU bahwa dia bagian dari departemen komunikasi sendiri. Tugas dewan pers adalah setiap tahun memberikan program yang kemudian dibawa ke DPR. Lain lagi dengan komnas HAM itu bisa dari APBN. Yang diperlukan secara praktirs memang sangat diperlukan. Tapi ada hal yang berlaku secara administratif. Harus punya timetable untuk mengesahkan itu. Status dan peranan harus bersanding dengan hal administratif itu. Yang ketiga adalah peran sosiologis. Jalan lainnya adalah untuk membangun rancangan-rancangan program misalnya dalam jangka pendek dan jangka panjang. Hal yang lain adalah, apa yang disebut perubahan di setiap institusi selalu memerlukan apa yang disebut keterampilan berpolitik. Keterampilan ini harus menjadi syarat utama. Selama keterampilan politik ini tidak ada maka akan terjadi stucknunsi. UU penyiaran bisa goal atas kerjasama 15 NGO, dengan berbagai macam bidang. Ada banyak NGO yang bergerak bersama-sama selama 2 tahun. Mereka tidak banyak yang melakukan gerakan tersebut. Pertanyaan saya, ada gak gerakan ini di dalam film kita. Pada periode ini yang terpenting ada orang-orang film yang langsung terlibat dengan film tersebut. Pertumbuhan orang-orang film yang mampu berpolitik film dalam masa transisi ini. Semua diambil untuk bersama-sama tandatangan untuk cita cita bersama ini. Di dalam teori tentang TV publik tidak boleh hanya punya TVRI. Pada waktu pertarungan politik itu harus sangat kuat. Di radio tentang soal frekwensi. Apa yang disebut kompromi yang masing masing punya kelemahan. Minimal ada UU yang cukup memadai. Jika nanti kedepan kita akan bergerak lebih lanjut, garis besar perfilman bisa menjadi panduan untuk BPI. Kalau ada UU perfilman yang baru, bisa dibawah parekraf. Semua ada kelemahannya. Politik selalu ada nogosiasi, dan ada proses kedepan beserta resikonya.
20
Moderator (Panji Wibowo) : Ini agak menarik, karena agak politik. Dari Kemenparekraf dan Mendikbud intinya berdua berkomitmen terkait perfilman. Mereka akan bekerja sama untuk membuat Rencana Induk Perfilman Nasional. Mas kemala juga sudah menjelaskan tentang peta perfilman. Mas Garin perfilman terhadap politik. Tadi kita bahas tentang betapa kecilnya jumlah layar yang ada dibandingkan jumlah penduduk di Indonesia. Sementara Korea penduduk 50juta itu box officenya diatas 5juta semua. Salah satunya mengenai keterbatasan layar tersebut. Kita mau mendengar khususnya persoalan persoalan perfilman.
Ananda Siregar : Dibidang bioskop ini mau menggaris bawahi 3 hal sehubungan dengan alasan kenapa kita semua berkumpul sekarang ini : Sebelumnya saya bukan dari orang komunitas atau industri. Sebelumnya tidak ada lagi trust atau kepercayaan kepada pelaku industri. Apakah itu di pelaku industri yang satu atau dengan yang lain. Di era baru ini yang perlu dibangun adalah kepercayaan. Bahwa dalam menyikapi industri perfilman semua pelaku harus melalui perubahan dari paradigmanya sendiri. Perfilman adalah industri. Agak rancu menyikapi bahwa perfilman itu apakah kebudayaan atau perdagangan. Bahwa film bisa menjadi pemicu identitas sendiri. Perfilman itu adalah industri. Banyak komponen komponen yang menjadikan industri tersebut. Semua ini saling berkaitan. Merupakan satu kesatuan yang berkembang. Jadi ada unsur-unsur daya saing yang perlu dicermati. Tidak hanya daya saing dalam perspektif indonesia saja, tapi perspektif global pun patut dicermati. Kalau ada kebijaksanaan kita akan merubah ini, semua harus bergerak. Kalau memang sudah tumbuh kepercayaan dan perubahan paradigma bahwa kita ada dalam satu industri, mungkin diskusi-diskusi mengenai bagaimana mencermati daya saing itu sendiri. Mungkin sekian saja dari saya, terima kasih.
21
Moderator (Panji Wibowo) : Sekarang kita berharap, kalau kita lihat sedikit dari makalahnya, Mas Kus ini menyoroti tentang tradisi yang transformasi ke dalam film. Apa yang kira2 tama yang orang Indonesia sendiri akan nonton. Dr Koes Yuliadi : Ada semangat independen bahwa sebuah film itu tidak terkait dengan sebuah film. Kalau mas garin bicaranya luar biasa, kalau saya akan bicara secara ringan. Ketika melihat film indonesia saya akan tertarik pada pencarian tradisional. Ternyata drama menjadi suatu yang menarik penonton untuk datang ke bioskop. Seorang akademisi akan menikmatinya ke dalam suatu diskusi-diskusi. Ketika laskar pelangi naik, ternyata ada kenikmatan tidak bisa lepas dari artcreated yang kita terima. ada ketoprak humor, ada arza yang kemudian melakoni parodi. Kita harus memiliki suatu kontinuitas, dagang tidak hanya penawaran dagang melalui kaklus ekonomis. Ketika menonton film mainstrim bahwa segala kontinuitas di dalamnya harus kita pahami betul. Dalam hal ini ada gerakan lain dalam dunia mainstrim yang perlu kita perhitungkan. Film adalah sebuah kerangka budaya yang di dalamnya menarik untuk dikaji. Kita tidak bisa menciptakan sebuah tema tanpa masa lalu. Moderator (Panji Wibowo) : David, maybe u have oppinion as a holywood film maker. Edgar Pitts: Film indonesia bisa lebih maji bila bekerjasama dengan pemerintah. Karena film melibatkan begitu banyak profesional2, sehingga jika tidak di guidance akan sulit untuk kita bisa maju.
22
David Jetre : Seorang sutradara dan penulis kreatif. Udah 4 minggu dan sangat tertarik dengan inonesia dan tertarik ingin membuat project disini. Dia lebih banyak mendengar dan melihat apa yang kita lakukan. Lebih memperhatikan budaya dan apa-apa yang terjadi disini. Buat dia indonesia itu seperti manusia banyak hal yang sama dengan tempat lain. Kita punya bahasa sendiri, dan ada sentuhan tuhan disitu. Setiap hal tiu punya cerita, setiap kita pergi ada kisah disitu. Dia suka cara bertutur dan dia sedang mencari itu. Film itu satu media visual yang formal, semua orang ingin tahu tentang film, film yang kita buat bisa membuat orang senang dan membuat produser untung. Terima kasih sudah berada disini, dia tahu setiap negara punya dasar hukum, dia ingin berbuat agar semua bisa senang. Moderator (Panji Wibowo) : Kita bisa lanjutkan sesi pertanyaan. Kita akan buat sesi pertanyaan. 7. Feri, blogger •
Menyikapi kesimpulan dari Pak Kemala. Bapak sebagai perwakilan dari BPI apakah untuk menangkal serangan globalisasi, termaksud kapitalisme. Karena tidak hanya UU dan kekuatan normatif aja.
•
Mas Garin. Saya sepakat dengan RIPN, saya ingin tahu siapa yang nantinya bertanggung jawab, apa standarisasinya untuk rencana perfilman kita. Penilaiannya bagaimana. Semacam GBHN, mudah2an RIPM ini
•
Ananda, saat ini blits megapleks sudah punya 100an layar, apa kiat blits untuk merangkul pasar terutama masyarakat bawah. Di kota atau kabupaten itu tidak terjangkau. Apa kiatnya ?
•
Orang2 pekerja yang ingin bakul nasinya tetap terisi. Untuk mendorong para industri untuk terus berkarya. Soraya film itu sudah bagus, mereka mengeluarkan tiap bulan desember, bagaimana agar produser ini terus memberikan produksi ke pada produser.
23
8. Dedi, Patriot film Indonesia Paparan dari mas garin, bahwa perfilman bisa maju apabila ada sesuatu, bisa badan atau apa yang berlaku secara hukum. Tanggal 17 januari terbentuk BPI. Belum pernah ada untuk organisasi tentang apa yang akan dikerjakan BPI. Dalam kesempatan ini saya ingin, membahas RIPN. Bagaimana RIPM ini agar tidak menjadi RIP nasional.
JAWABAN : Kemala Atmojo : Memang kalau masalah urbanisasi kita harus ikut. Tenaga kreatif itu harus bersaing. Negara bisa ikut secara tidak langsung meningkatkan skala kompetensi tapi kita tidak bisa stop. Orang kreatif tidak perlu takut. Seorang garin nugroho itu bisa diperjual belikan diseluruh dunia. Pada dasarnya kreatifitas tidak bisa dihalang halangi. Mengenai investor asing, kalau anda maksud join production sejak jaman usmar ismail. Kita sebagai BPI kita harus mengikuti apa arul pemerintah. Bagaimana sikap BPI kalau ditanya. Investor asing masuk itu sebenarnya utnuk apa ? biasanya karena ahli teknologi dan lain sebagainya. Harus dibedakan RIPN dengan standarisasi kompetensi. Kalau RIPN itu buatan pemerintah kalau standarisasi kompetensi untuk sutradara, pemain dan lain lain itu biasanya oleh swasta. Tentang BPI. BPI itu dibentuk oleh kalian-kalian 40 organisasi, amanat UU. UU itu dibikin siapa ? oleh masyarakat film. Basisnya di UU 3 itu. Di dalam UU itu sendiri masih ada kelemahan masih ada faktor-faktor kelemahan. Itu jelas di dalam UU kementeriannya kementrian kebudayaan. Saya dengar kepres sudah ditaken bu mari pangestu, tinggal menunggu dari seknek dan tinggal menunggu diteken oleh presiden. Kita itu sedang mengajak steakholder untuk bikin rencana kerja. Di UU sudah jelas itu, menyelenggarakan festival, bukan memikirkan. Bahwa itu gak bisa semena-mena. Khusus mengenai hari film nasional seperti kecelakaan.
24
Garin Nugroho : Organisasi selalu ingin independen. Kayak komnas HAM. Misalkan nanti kalau banyak program yang mengkritik pemerintah, nanti duitnya gak turun-turun. Itu terjadi semacam beberapa lembaga dibawah kementrian. Dewan pers, tiap anggaran akan mengadakan program. Tantangan dari BPI kedepan bagaimana suatu sistem yang independen. Dilemanya adalah lembaga BPI sudah muncul tetapi apa yang disebut organisasinya jusru stucknun. Tentang rencana strategis, tidak gampang mengenai rencana strategis. Cinema indonesia dari thn 75 sampai 80. Film satu2nya audovisual selain TVRI adalah bioskop. Film yang dijual lewat sistem akses langsung di internet. Oleh karena itu strategi BPI harus luar biasa. Sistem distribusi yang berubah sama sekali. Berapa PH kita yang hidup, karena pasti kalah dengan televisi. Iklan nya, sinetron nya juga. Peraturan pelaksanaannya harus terwujud sistem demokrasinya. Menurut saya BPI harus betul betul melindungi demokratisasi film itu, harus terjamin. BPI punya strategi pada wilayah perubahan. Pengawasan terhadap pemerintah tidak pernah detail, BPI harus ikut di dalam syarat-syarat industri. Monopoli terjadi dimana juga. Syarat industri harus dimulai pada strategi ini. Standarisasi sumber daya manusia. Kalau ditanya, enaknya adalah bekerjasama dengan negara yang sistemnya jelas. Misalnya Eropa, karena sistemnya strategi budaya, dimana nilai-nilai budaya dilindungi oleh pemerintah. Pajak-pajak hiburan dilindungi oleh pemerintah. Dana pajak itu diberikan pada saya dan pada bioskop art dan TV publik tersebut. Apa yang terjadi adalah kita membca situasi ini untuk apa yang terjadi kedepannya. Ananda Siregar : Apakah kita akan masuk ke segmen diluar mall. Investasi untuk membangun bioskop itu hampir sama dan mahal. Hal tiu sangat tergantung bagaimana kita bisa menjual tiket nya. Untuk sementara kami tidak memprioritaskan dimana harga tiketnya dibawah standar tertentu. Kita harus menyikapi semua ini sebagai industri, semua berkaitan. Sehubungan dengan produksi dari Indonesia sendiri. Paradigman bahwa ini sebagai Industri, apa kekurangan kita dibandingkan dengan pesaing kita. Pesaing kita adalah sesama pelaku pasar. Kita, dinegara sendiri bersaing dengan film film dari luar. Harus ada perubahan dan mainset bahwa bagaimana
25
kita harus menaikkan daya saingnya. Ujung-ujung nya kita lebih suka makan nasi dari pada makan burger. Kemala Atmojo : Yang khusus menangani ini, gak ada profesor dalam hal ini. Nggak ada yang bisa kasih jaminan kalau bikin film begini pasti laku, gak ada yang bisa seperti itu. Market itu meluas. Kalau begini-begini saja gak cukup. Bioskop berkembang secara ilmiah. Satu layar anda membutuhkan kira-kira 100juta cost. Untuk listrik, bioskop itu lebih tinggi dari pabrik. Celakanya buka bioskop di plaza senayan dengan di gunung kidul sama. Perlu studi yang mendalam. Kadang paradigma kita suka keliru, bioskop itu swasta. Mesti ada hitung-hitungan bisnis. Kira kira begitu, tapi bukan berarti kita menyerah begitu saja. Pengusaha disana ngotot mau dikasih, tapi listriknya gak ada. Kadang-kadang seperti ini kan gak dilihat. Memang high cost, kita bikin yang low cost. Indah tidak indah, bagus dan tidak bagus itu sudah di set oleh Amerika. Ada screen kuota di korea untuk film dalam negerinya. Profokasi, gak semua negara punya UU perfilman. Singapura nggak punya gak apa-apa. Ada faktor ekonomi. Ekonomi dia bagus. Garin Nugroho : Ada sistem dan individu. MD nanya ke saya. Film yang sukses bagaimana. Saya bilang laskar pelangi. Saya gak suka novelnya. Laskar pelangi satu syiar pendidikan yang baik. Karena kel indonesia ingin anak-anaknya nonton ada syiar nya. Dalam suatu periode bukan penonton film. Mereka mencari di masyarakat yang punya mode ahlak pendidikan. Saya bertarung dimana ? saya lebih baik membuat film atas dasar yang saya inginkan. Contohnya sugiyo pranoto. Uskup pertama. Pasar film berubah luas. Dilihat menteri yang beragama sama. Film itu bukan nilai tertinggi dari hiburan. Setiap film punya pasar. Setiap film pada akhirnya punya pasar. Kita harus belajar membuka sistem pasarnya. Tapi bahwa setiap ide punya banyak pasar, itu kiatkiat. Kita seseorang sangat tergantung dimana ruang film itu ditunjukan. Pada masa kedepan kita punya pandangan baru. kalau mau kaya lebih baik bisnis saja. Contoh saya bukan representasi dari semuanya. Tapi mari kita lihat bahwa ruang film itu luas.
26
Ananda Siregar : Sedikit menambahkan pertanyaan Feri. Jalur-jalur hasil karya film itu sangat terbatas. Ditambah lagi dengan biaya investasi yang tinggi. Perkembangan teknologi yang justru membantu dalam hal biaya. Bioskop sebenarnya tidak perlu mahal asalakan ada marketnya. Terutama adalah supplay dari film itu sendiri. Film tidak dipasarkan hanya pada weekend saja. Bagaimana membuka keran distribusi film ini. Seorang pengusaha di maluku, saya ingin anda membuat bioskop buat saya. Bpk tidak perlu saya untuk membuat film. Ada persepsi bahwa untuk mendapatkan supplay film dalam negeri itu sulit kepemilikannya. Sebagai distributor, semakin banyak layar semakin baik. Semakin banyak layar semakin banyak untuk mengapresiasi karya. Kemala Atmojo : Monopoli susah mendapatkan film holywood atau film dalam negeri itu hanya omong kosong. Khusus film non studio itu di import oleh importir. Yang punya hak itu yang punya film. Mengenai film holiwood, utk big studio harus dikasih. Mitos-motos ini juga terjadi di pemerintahan. Makin banyak importir dari mana-mana supplay lebih banyak lagi. 9. Arturo, orang film Hanya ingin share yang saya tahu. Dulu setahu saya film di daerah itu kuat sekali, fenomena ini sebenernya apa sih ? pembelajaran bagaimana masa lalau menjadi perkuatan kita di masa depan. Rancangan perfilman, yang bisa dijadikan pijakan untuk rancangan perfilman. Mungkin rancangan yang dibuat oleh orang tua kita bisa menjadi pijakan yang sedang direncanakan oleh BPI dan pemerintah. Fenomena melodi dari komunitas papua. Kita sudah di set estetikanya. Buat saya ini sangat strategis bagaimana kita mengelola daerah sesuai dengan kekuatan lokalnya. Fenomena melodi kota rusa. Ini fenomena yang menarik tentang bagaimana memanfaatkan film untuk politik dan sebagainya.
27
10. Joko Raharjo, pekalongan Film adalah tontonan dan tuntunan. Film menjadi salah satu defisa. Di era ini dalam artian film indonesia kini dan esok. Dan esok, film indonesia itu akan bgaimana. Dampak yang akan kita ketahui dampaknya sangat luar biasa sekali. Strategi yang belum terprediksi di masa depan harus dibikin dari sekarang. 11. Edi, Kuli PH Freelance Usulan yang ditulis oleh pak Kemala yang mengusulkan agar kita fokus pada produser utama untuk membuat film yang berorientasi pada pasar. Bukan film asal asalan. Ungkapan yang diterjemahkan oleh mas panji dari mas bule tersebut. Menyimpulkan atau meneliti diantara banyak cerita yang diterima pasar dan para produser. Teman teman penulis mungkin banyak yang bingung untuk mencari ide. Kalau mau menulis cerita yang idealis tidak ada yang mau menonton. Kalau membikin yang terlalu berat tidak ada yang nonton. Jalan tengahnya apa yang bisa menghimpun atau membuat para penulis untuk tetap semangat dan keinginannya, meluangkan ide-ide yang tidak asal-asalan. Kemala Atmojo : Yang dikatakan arturo bukan mainstreen. Bahwa ada dalam sejarah kasus2 tertentu yang seperti itu. Seakahan-akan kita ini sudah diset. Tapi kalau itu bisa menjadi kebenaran dan dipatok, kita akan buat terus yang seperti itu. Tapi bukan berarti kita menolak film indie. Jadi kira-kira begitu. Nanti ada film-film yang meledak di daerah tertentu. Kita punya sejarah kemampuan sumber daya seperti yang dilihat arturo itu. Semua senior kita di IKJ lulusan luar negeri. Bisa berbahasa inggris dan belanda. Fenomena yang disebut arturo ada benarnya. Kenapa di daerah susah. Harus diakui tokoh-tokoh di bali itu hebat. Garin Nugroho : Setuju jayawijaya itu hebat. Kalau kita bandingkan apa yang disebut mall itu sangat menarik. Tiap daerah berbeda-beda. Misalkan film walisongo. Film film silat itu mereka tidak mau berebut pasar dipasar A, mereka hanya di kelas B dan C. fenomena kedepan adalah ini
28
bagaimana punya pasar yang benar-benar dipikirkan. Misalnya saya ingin bikin film generasi biru. Tidak mungkin di tayangkan di bioskop karena para slanker gak mungkin sambil mabuk bawa bendera dan tidak pakai baju nonton di mall. Bagaimana menengah bawah bisa menonton di area terbuka. Asrul sani pernah memimpin organisasi film. Syuman jaya lulusan terbaik dari moscow. Mereka mampu melakukan proteksi film indonesia melalui jalan anarkis. kasus tentang film papua adalah salah satu fenomena. Pasar itu juga memang kita bentuk. Kelokalan itu tetap menjadi primadona dalam bisnis apapun juga. Bagaimana kita mengelola distribusi menjadi tantangan kedepannya. Ananda Siregar ; Sekarang ini sudah tidak ada istilah daerah, yang ada adalah pasar. Mainset ini semua harus berubah. Dengan kata lain, prospek dari perfilman indonesia ini akan baik. Pada suatu saat itu kita hampir menjadi raja di negara sendiri. Kita hanya memikirkan yang akan menjadi highline aja. Mainset yang secara industri harus berubah. Semua harus berkesinambungan dan terkait. Untuk jawaban dari mas Edi. Sebuah cerita yang baik akan selalu baik. Kita harus juga membedakan melalui karya seni dan sosialisasinya. Dr. Koes Yuliadi : Cerita dalam film indonesia itu tidak pernah berubah dari tahun 80an. Novel novel masa lalu dan sekarang sama saja. Film indonesia tidak bisa dari satu variable. Cerita dari jawa dibawa kembali dan sangat populer, calon arang. Ternyata membuat sebuah cerita tidak bisa lepas dari masa lalunya. Saya perlu membuat dunia lain, ada sebuah langkah dimana adaptasi itu bisa sangat penting. Hari potter itu pernah tersaingi oleh jalangkung yang idenya sangat indonesia. Kita harus belajar dari dunia kita sendiri. Moderator (Panji Wibowo) : Saya kita sudah cukup lengkap. Realnya banyak hal yang harus dibenarkan. Kementrian duaduanya sangat berharap bahwa BPI bisa menjadi payung untuk perfilman indonesia.
29
12. Ang jasman (Aang Jasman) Pertanyaan terutama menyangkut bagaimana tentang tema-tema film indoneisa. Di dalam sumpah pemuda disebutkan bahwa bahasa indonesia itu bukan bahasa persatuan. Kita semua punya hak untuk menjunjung bahasanya masing-masing. Belakangan ini pelajaran bahasa daerah ditiadakan lagi. Kenapa India bisa mencapai 1000 judul. Karena di daerahnya memproduser film dengan bahasa daerahnya masing-masing. Kalau kita ambil contoh bangsa Indonesia. Kalau bikin film di jogya dengan bahasa jogja. Dari Mas Koes, alangkah indahnya kalau kita bisa mendorong komunitas nya masing masing dengan bahasanya. Mengangkat kekayaan intelektual dari kekayaan masing-masing. Tidak berputar-putar disitu aja. Ketika ada di makasar mendengar anak-anak berbicara dengan bahasa makasar. Kalau di Indonesia bisa memproduser dengan bahasa lokal seperti di India. 13. Eni, Ikafi Saya kok amaze, datang ke short festival. Saya kesini dalam rangka pingin tahu. Dalam satu seminar biasanya mengumpulkan ide, visi dan tujuan. Saya datang kesini, dengan keingin tahuan bagaimana orang film berfikir seperti apa. Apakah strategi yang akandiambil dalam kehidupan film di negeri ini. Kalau belum dibikin, siapa orang yang bikin itu ? kalau tidak ada yang bertanya, artinya semua sudah paham siapa yang bikin. RIPM nya belum juga dibikin. Ini FGD apa sudah kongres. Kita datang ke MT haryono lt. 4, tidak ada yang bisa menjelaskan. Kemala Atmojo : Boleh boleh aja kalau seperti India. Kenapa India bisa dibilang Amerika pun kalah. Kita mesti mikirkan cara-cara lain. Soal mainstreem lain perkara, dan indie juga lain perkara. Diskusi ini yang bikin bukan BPI. Yang bikin itu dikbud. Seminar ini bukan seminar BPI bukan untuk menceritakan ini loh BPI. Soal mengenai RIPM nanti akan dibikin. Program kerja BPI juga sedang dibikin oleh oleh panji dan kawan-kawan.
30
Pak Dudung, Patriot film: Hal berlakunya secara sosiologis, ada FGD 40 organisasi. Hal berlakunya secara politis. Terbentuknya BPI ini proses politik. Sampe mubes dan terpilihlah Pak Kemala. Sikap politik dari BPI ini apakah ? kalau yang tadi ke pameran poster itu yang bertanggung jawab namanya agnis. Masalah seminar itu mungkin benar pendapat mbak Eni. Tujuannya bagaimana Kemendikbud dan kemenparekraf bisa menjadi satu tujuan.
Ananda Siregar : Pandangan saya bahwa selama ini tidak ada kepercayaan lagi dalam mengarahkan perindustrian ini. Keputusan dan kebijaksanaan diambil berdasarkan kebijaksanaan sekelompok pelaku. Kalau kepercayaan sudah tidak ada orang akan apatis. Yang kami harapkan sebagai pelaku disini adalah mudah-mudahan ini menjadi suatu awal kepedulian. Agar bisa peduli lagi kepada para pelaku film. Kalau sudah ada rasa memiliki mudah2an semua mau terlibat. Kalau itu tidak terjadi, maka industri kita tidak maju-maju.
Garin Nugroho : Manager artis dari jepang datang ke indonesia. Memang dilihat dari satu perkembangan pasar luar biasa di negeri ini. Jarang sekali manager artis PH terbesar jepang dateng ke sini. Ini dibarengi juga kesuksesan film raid. Orang yang memang mampu memahami dan mewadahi muncul.
Moderator (Panji Wibawa) : Memang tujuannya, beberapa peta masalah sudah diungkapkan disini. Ada clue kecil yang bisa diangkat dari BPI. Di perbioskopan ada persoalan disitu. Karena mungkin peraturan dan tidak percaya juga pada siapa pengambil keputusan jika itu dilakukan oleh sekelompok orang. Dari seluruh persoalan taid sudah sampai pada satu kesimpulan yang tidak bisa disimpulkan. Banyak
31
sekali film lokal yang berbahasa lokal. Kita bisa mengakhiri seminar kita ini dengan satu harapan baru. sehingga hasilnya bisa memberikan satu pengaruh yang lebih baik dari pemerintah maupun para pelakunya. Terima kasih kepada para hadirin semua dan kepada kemendikbud.
-
SELESAI-
32