MEMBANGUN TRADISI PENGAWASAN KOLABORATIF UNTUK MENDORONG TERWUJUDNYA MEDIA PENYIARAN YANG SEHAT Suhadah1
Abstrak Eksistensi media massa dalam konteks kehidupan sosial tidak diragukan lagi manfaatnya. Namun tidak semua produk media massa berdimensi positif. Tuntutan ekonomi dan politik sering kali memaksa media massa untuk menampilkan dirinya sebagai corong politisi atau pemiliknya, dan acap kali menjadi sales bagi pemilik modal. Nafsu ekonomi dan politik media massa yang berlebihan akan selalu mengorbankan kepentingan masyarakat yang nota bene menjadi intentitas yang harus diakomodirnya, sesuai dengan tuntutan undang-undang pers dan undang-undang penyiaran. Media penyiaran seperti radio dan televisi adalah dua jenis media massa yang menggunakan frekuensi terbatas milik publik. Posisi inilah yang membuat publik memiliki hak sah untuk mengontrol dan mengawasi kedua jenis media tersebut agar tidak melenceng dari amanah undang-undang atau supaya mereka bisa diarahkan untuk memberi kontribusi bagi kehidupan masyarakat. Mengontrol dan mengawasi media penyiaran bukan hal yang mudah. Oleh karena itu dibutuhkan upaya serius dengan melibatkan semua kalangan. Secara struktural, Komisi Penyiaran Indonesia Indonesia, termasuk yang ada di daerah (KPID) bisa menjalankan peran pengawasan dengan tugas dan wewenang yang telah diatur dalam undang-undang penyiaran. Tugas KPID tersebut harus didukung oleh pengawasan masyarakat secara kultural dengan menjadikan masyarakat sebagai konsumen media kritis yang bisa mengawal media penyiaran ke arah yang lebih baik. Dua kekuatan pengawas media tersebut di atas akan lebih maksimal dan kontributif bila dikolaborasikan saat melakukan pengawasan media penyiaran. Kolaborasi dalam arti saling memperkuat dan saling berkoordinasi, agar media penyiaran dapat diarahkan menjadi media yang kontributif bagi kehidupan publik.
Kata Kunci: media massa, media penyiaran, pengawasan kolaboratif, KPID, masyarakat
1
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah NTB
51
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014 : 51-63
A. Pendahuluan Posisi media massa yang begitu strategis memaksa setiap pihak terkait untuk memikirkan sekaligus memanfaatkannya. Beberapa julukan klasik dan sakti yang selalu dialamatkan ke media, seperti pilar demokrasi keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif makin memantapkan ekspektasi mayoritas publik akan kontribusi maksimal media massa. Media massa mampu mempengaruhi pemikiran khalayak, sekaligus dapat mengubah sikap dan perilaku mereka. Beberapa kasus yang telah terjadi di Indonesia menunjukkan begitu kontributifnya media dalam membangun opini publik. Kasus kriminalisasi KPK dan kasus Prita misalnya, telah menunjukkan betapa media massa telah mampu “membius” dan “memprovokasi” publik. Wacana dan gerakan yang publik lakukan telah berujung dengan “kemenangan” KPK ‘Bibit dan Chandara’ dan ‘Prita’. Kemenangan ini sekaligus merupakan representasi kemenangan publik yang terus menerus menyuarakan dukungannya lewat media massa dan dunia maya. Secara sederhana dapat dimaknai bahwa media massa telah memerankan fungsi informatif dan kontrol sosial yang benar dalam dua kasus di atas. Sebaliknya dapat kita bayangkan bagaimana efeknya bila media yang notabene begitu strategis mempraktikkan jurnalisme yang tidak baik dengan pemberitaan yang kurang standar serta minus kontrol sosial? Tentu saja efek negatifnya akan banyak dan berimbas pada kerugian yang tidak sedikit bagi publik. Dalam konteks inilah eksisitensi media massa perlu dikontrol. Memang terdapat perbedaan antara media cetak (surat kabar) dengan media elektronik (radio dan televisi) dalam hal penggunaan ruang publik sebagai wilayah aktivitas/operasinya. Televisi dan radio merupakan dua jenis media massa yang menggunakan frekuensi udara terbatas milik publik, sedangkan surat kabar sama sekali tidak menggunakan frekwensi tersebut. Oleh karena itu, publik punya hak sah untuk mengontrol dan keberatan terhadap suatu acara dari kedua media tersebut yang dianggap tidak mendidik atau yang ditengarai membawa efek negatif bagi konsumennya. Meskipun media cetak seperti surat kabar tidak menggunakan frekuensi publik tetapi sebagai pilar demokrasi yang diberi fungsi sebagai pendidik dan pengontrol sosial, perlu juga untuk diawasi. Apalagi tidak jarang berita surat kabar dijadikan sebagai referensi publik yang berefek ganda; baik dan tidak baik. Tanpa dikontrol media massa akan sering kelewat batas. Tanpa diawasi media bisa melenceng dari ekspektasi rakyat. Dan tanpa dikritisi, media massa selalu merasa benar.
52
Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif…… (Suhadah)
Teori Norma Budaya (Cultural Norms Theory) dari Melvin DeFleur2 menjelaskan bahwa media massa berpotensi untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, yang tanpa disadari oleh konsumennya (public) sehingga lambat laun nilai tersebut akan menjadi budaya yang diterima umum oleh masyarakat. Ketika budaya yang ditanam adalah budaya kebaikan (makruf), tentu patut didukung. Tetapi sayang, kebanyakan isi media massa kita diwarnai oleh tayangan yang tidak mendidik, sehingga potensi tertanamnya nilai dan budaya kemungkaran sangat terbuka. Mengawasi media penyiaran tidak cukup dengan cara-cara parsial, di mana setiap komponen bangsa melakukan sendiri-sendiri tanpa ada koordinasi yang baik di antara mereka. Lembaga Independen seperti KPID harus berkolaborasi dengan masyarakat dalam membangun tradisi pengawasan yang baik dan kontributif agar lembaga penyiaran lebih sehat dan kontributif bagi masyarakat atau konsumennya. B. Pola Relasi Media dan Masyarakat Berkaitan dengan pola relasi media dan masyarakat, akhir-akhir ini menunjukkan adanya model relasi mutual dependensi. Media membutuhkan masyarakat sebagai sumber berita, sementara masyarakat memerlukan media sebagai referensinya. Dalam konteks relasinya dengan media massa, publik/masyarakat dapat dikategorikan menjadi beberapa jenis kelompok: Relasi media dan masyarakat tergambar oleh McQuail3 dalam modelnya yang menjelaskan betapa banyaknya kepentingan yang berada di sekeliling media massa yang akan menentukan (mempengaruhi) mekanisme operasional dalam menjalankan fungsi dan tujuannya. Masyarakat/bangsa misalnya menginginkan media massa menjadi sarana pemeliharaan integrasi bangsa dan membantu menyosialisasikan dan mewujudkan tujuan dan program bangsa. Bagi kelas dominan menginginkan media massa sebagai sarana pelanggengan kekuasaan dengan terus mempublikasikan (kebaikan dan keunggulan) kelompoknya sembari memarjinalkan kelompok-kelompok lain yang dianggap mengancam eksistensi dominasi dan kekuasaannya. Tujuan yang agak berbeda berasal dari pemilik media. Bagi pemilik media, media massa dianggap sebagai lahan bisnis yang dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. 2Esensi dari teori ini dikutip kembali oleh Onong Uchjana Effendy. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya. 2004, hlm. 279. 3McQuil, Dennis, Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Alih bahasa Agus Dharmawan dan Amiruddin, Jakarta, Erlangga. 1987, hlm. 74
53
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014 : 51-63
Sedangkan khalayak media hanya mengharapkan media dapat menjadi sumber informasi yang dapat diakses oleh mereka dengan cepat, akurat, dan terpercaya. Khusus bagi komunitas masyarakat yang lemah, media diharapkan sebagai sarana kontrol bagi setiap kebijakan dan praktik kehidupan yang menyimpang sehingga dapat terwujud perubahan. Proses interaksi yang terjadi antara media massa dengan berbagai kepentingan yang ada, pada tataran praktis tidak selalu menghasilkan sebuah kepercayaan, kerjasama atau hubungan yang harmonis. Benturan-benturan yang terjadi di antara mereka seringkali terjadi. Hal ini menandakan bahwa dalam hubungan tersebut terdapat dinamika yang akan membentuk proses “tawar-menawar”. McQuil masih secara umum mengklasifikasi masyarakat dalam hubungannya dengan media massa. Bila menggunakan pola relasi yang terkait dengan pengawasan, maka paling tidak kelompok masyarakat dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yakni; Pertama, kelompok opurtunis-pragmatis. Kelompok ini bisaanya menjadikan media massa sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan pragmatisnya seperti di bidang politik dan ekonomi. Masyarakat yang termasuk dalam kategori ini tidak terlalu peduli dengan upaya mengeritik atau mengontrol kualitas media atau jurnalis, yang penting tujuan dan target (personal maupun kelompok) dapat dipenuhi oleh media. Kedua, kelompok konsumtif. Di antara ciri masyarakat yang termasuk dalam kategori ini adalah masyarakat yang pasif dan taklid buta dengan apapun yang ada/disampaikan oleh media. Media massa dijadikan sebagai penghibur dirinya, tapi sedikitpun memiliki naluri untuk melakukan upaya kritis terhadap isi media. Kepuasan kelompok ini terwujud ketika media dapat menyuguhkan acara/isi yang memuaskan kebutuhan informasi dan hiburan bagi-nya. Ketiga, kelompok akademis-produktif. Kelompok ini merupakan kumpulan orangorang yang menjadikan media sebagai sarana untuk menyalurkan ide dan pikiranya, baik atas permintaan media massa maupun karena inisiatif sendiri dengan secara pro-aktif menyampaikan ide dan gagasannya ke media massa. Kelompok ini berusaha untuk mewarnai media massa agar lebih berkualitas lewat tulisan dan pemikirannya. Tidak sedikit media massa yang sengaja meminta kelompok ini sebagai ‘jualan’ atau sebagai taruhan demi terbangun pencitraan sebagai media yang berkualitas. Keempat, kelompok kritis. Masyarakat yang termasuk dalam kategori ini merupakan sekumpulan orang yang secara intensif melakukan kontrol dan pengawasan terhadap setiap kinerja media dan jurnalis. Masyarakat dalam kategori ini biasanya tergabung dalam suatu wadah/lembaga tertentu, tetapi terkadang juga dilakukan secara 54
Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif…… (Suhadah)
personal. Selain melakukan upaya koreksi secara langsung lewat berbagai wadah/forum, kritik juga dilakukan lewat media-media alternatif yang secara khusus diarahkan untuk memberikan kritik konstruktif bagi kinerja media dan jurnalis yang tidak profesional. Dalam upaya kontrol dan pengawasan terhadap media massa dan jurnalis, keempat kelompok di atas mempunyai kapasitas yang berbeda. Kelompok pertama hanya melakukan kontrol yang relevan dengan kebutuhannya (tanpa berpretensi untuk menjadikan kepentingan masyarakat sebagai tujuan pengontrolannya). Kelompok kedua sama sekali tidak dapat diharapkan untuk melakukan kontrol, apalagi kritis terhadap setiap suguhan media yang mereka nikmati. Sementara kelompok ketiga tidak secara aktif melakukan kontrol, dan tidak lebih hanya sekadar melakukan upaya mewarnai media agar lebih berkualitas. Kelompok akademis produktif juga dapat melakukan proses pembinaan dan kontrol dengan caranya sendiri. Mereka terus menerus melakukan penguatan dan pewarnaan terhadap wajah media. Kelompok ini melakukan kontrol di dalam. Namun mereka biasanya lebih banyak mengeritik realitas lain (selain media) lewat media, tanpa berani menyentuh wilayah media itu sendiri (mengeritik media dan jurnalis). Pada kelompok terakhirlah (kelompok kritis) inilah yang banyak diharapkan bisa memerankan fungsi kontrol terhadap media massa. Kelompok ini banyak melakukan kontrol dan kritik di luar media, dan bahkan berpotensi untuk menggerakkan publik agar menjadi konsumen media kritis. C. Pola Pembinaan dan Pengawasan Media Penyiaran Versi KPID NTB Undang-undang penyiaran mengamanahkan bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia (Pasal 3)4. Untuk menjamin adanya penyelenggaraan siaran sesuai dengan ketentuan undangundang, maka dibentuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang bersifat independen sebagai wujud peran serta masyarakat dengan fungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Fungsi dan tugas di tingkat daerah di jalankan oleh KPI daerah (KPID). Salah satu tugas dan kewajiban KPI adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi
4Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
55
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014 : 51-63
manusia. Dalam konteks inilah, peran pemantauan dan pengawasan isi siaran lembaga penyiaran di daerah bisa dilakukan oleh KPID NTB. Kehadiran KPID adalah
amanat undang-undang no 32 tahun 2002 tentang
penyiaran dengan tugas pokoknya antara lain untuk menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak, serta untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Tugas tersebut di atas terkait dengan peran pemantauan dan pengawasan isi siaran yang harus dilakoni KPI dan KPID di tingkat daerah. Sesuai
dengan tugasnya sebagai regulator, komisioner KPID NTB diwajibkan
mengawasi program siaran yang disiarkan oleh lembaga penyiaran yang ada di NTB sesuai dengan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS)5. Isi dari P3SPS secara garis besarnya adalah tata nilai yang ada di masyarakat yang harus juga diikuti oleh lembaga penyiaran dalam program siarannya. Apabila lembaga penyiaran melanggar tata nilai yang terkandung dalam P3SPS akan mendapatkan sanksi sesuai yang tertuang dalam uu no 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Pemantauan dan pengawasan isi siaran merupakan bagian dari cara KPID NTB untuk membangun lembaga penyiaran yang sehat. Berbagai macam cara yang sudah dilakukan oleh KPID NTB dalam rangka membangun lembaga penyiaran yang sehat. Pertama, lewat acara sarasehan, workshop, dan pelatihan-pelatihan dalam rangka untuk memberikan pembekalan-pembekalan kepada lembaga penyiaran tentang bagaimana cara bersiaran dan membuat program siaran sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran. Setelah mengikuti berbagai program seperti workshop, lembaga penyiaran diharapkan bisa membuat program-program yang sehat sesuai dengan harapan-harapan dari masyarakat. Program-program pelatihan yang pernah dilaksanakan oleh KPID NTB adalah pelatihan bagaimana menjadi penyiar yang baik, dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten di bidangnya. Hasil yang ingin diperoleh dari pelatihan tersebut adalah agar bagaimana penyiar di sebuah lembaga penyiaran bisa bersiaran seraya memberikan nilai edukasi kepada masyarakat . Kedua, KPID NTB juga menyelenggarakan sarasehan jurnalisme damai. Acara ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada lembaga penyiaran untuk menayangkan 5Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pendoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Standar Perilaku Siaran (P3SPS), 2009, hlm. 10
56
Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif…… (Suhadah)
siaran yang bisa memberikan informasi yang damai, atau agar lembaga penyiaran tidak menyiarkan berita konflik secara vulgar dan provokatif agar tidak menimbulkan konflik baru dalam masyarakat. Acara seperti ini diselenggarakan antara lain sebagai bentuk kepedulian KPID NTB terhadap fenomena konflik di NTB yang sering kali menjadi konsumsi media nasional dan daerah sehingga acapkali wajah NTB di layar kaca terlihat “buram”. Ketiga, secara proaktif KPID NTB juga sering mengadakan kunjungan ke lembagalembaga penyiaran untuk memberikan pembinaan-pembinaan menyangkut penyiaran
di
seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat. Pembinaan dan koordinasi seperti ini dilakukan dalam rangka memastikan bahwa setiap lembaga penyiaran sudah menerapkan atau mematuhi seluruh ketentuan dan strategi siaran yang telah disampaikan kepada mereka saat acara pelatihan atau sarasehan yang dilakukan KPID NTB pada waktu sebelumnya. Di samping itu, lewat kunjungan lapangan seperti ini, KPID NTB juga dapat menghimpun secara langsung persoalan-persoalan yang dihadapi oleh lembaga penyiaran. Tim KPID NTB bisa memberikan solusi langsung terhadap persoalan yang ada atau bisa membawa pulang persoalan tersebut untuk dikaji dan dibahas secara serius sebelum diambil suatu kesimpulan atau jawaban yang solutif. Dalam konteks pengawasan, KPID NTB selalu komit untuk menjadi lembaga independen dalam menjamin terciptanya dunia penyiaran yang sehat dan selalu ingin memastikan adanya kontribusi setiap lembaga penyiaran di NTB bagi kemajuan daerah dan kesuksesan pembangunan di NTB. Dalam rangka mewujudkan keinginan tersebut sekaligus untuk menjalankan amanah undang-undang penyiaran, KPID NTB menggunakan beberapa cara untuk melakukan pemantauan dan pengawasan isi siaran. Salah satu cara yang dilakukan oleh KPID NTB adalah dengan melakukan pemantauan langsung. Pemantauan langsung pada lembaga penyiaran di NTB dilakukan dengan cara memonitornya lewat alat pemantau yang ditempatkan di sekretariat KPID NTB. Cara ini dilakukan sebagai teknik lain dalam memantau isi siaran di samping merespon setiap aduan dari masyarakat.
Alat pemantau tersebut berupa seperangkat alat monitoring untuk
memantau langsung setiap program siaran dari lembaga penyiaran lokal yang ada di NTB (terutama di kota Mataram). Peran KPID dalam konteks pembinaan dan pengawasan lembaga penyiaran lebih bersifat struktural, yakni mekanisme kontrol terhadap media yang dilakukan oleh lembaga terkait dan berwewenang seperti KPID. Untuk media elektronik (TV dan radio) dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atau KPI Daerah (KPID) yang ada di setiap daerah 57
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014 : 51-63
Provinsi. Meskipun selama ini lembaga-lembaga tersebut belum memberikan kontribusi maksimal bagi terciptanya media dan jurnalis profesional, tetapi ekspektasi kita terhadap lembaga tersebut harus terus kita gaungkan. Memaksimalkan lembaga yang ada jauh lebih efektif dan starategis daripada menciptakan/membentuk lembaga baru. Lahirnya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran memberi ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan KPID sebagai wadah pengaduan terhadap setiap keberatan kita atas adanya acara atau program media yang tidak mendidik. Rakyat punya hak untuk keberatan karena rakyatlah yang memiliki frekwensi yang digunakan oleh media. Upaya pro-aktif juga diharapkan dari KPID untuk menyosialisasikan keberadaannya di seluruh level masyarakat. Sebagai representasi masyarakat, upaya ini tentu sudah menjadi keharusan, karena masih banyak masyarakat yang belum tahu eksistensi lembaga yang starategis seperti KPID. D. Kontrol dan Pengawasan Publik terhadap Media Massa Menjadikan media lebih ideal dan jurnalis yang profesional bukanlah upaya mudah. Diperlukan proses panjang dan komprehensif dengan melibatkan semua kalangan untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Masyarakat dapat mengambil peran secara kultural dalam mengawasi perilaku media penyiaran. Jalur Kultural merupakan mekanisme kontrol terhadap media massa yang dilakukan oleh masyarakat atas inisiatif sendiri tanpa ada instruksi negara atau amanat undangundang dan aturan apapun. Wujud kontrol yang sederhana dari jalur ini adalah dengan melakukan gerakan cinta media profesional sekaligus gerakan anti media partisan dan media yang tidak profesional. Masyarakat perlu diajarkan untuk menjadi konsumen media yang cerdas dan kritis. Ketika gerakan ini meluas, maka akan terjadi seleksi alam terhadap media. Hanya media yang profesionallah yang dicintai dan dikonsumsi rakyat, sehingga akan terus bertahan hidup. Media yang dicintai rakyat otomatis dicintai pemodal/pengiklan. Sebaliknya media yang ditinggalkan rakyat akan perlahan-lahan ‘mati’. Dalam tradisi ratting, hukum ini masih berlaku, di mana pemilik televisi dan pemilik modal/pengiklan menjadikan angka ratting sebagai kiblatnya. Di samping gerakan kultural sederhana seperti di atas, diperlukan juga gerakan kultural yang tersistimatisasi dalam sebuah aktivitas kelompok terorganisir. Peran ini menurut Kadri6 bisa dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga independen non-pemerintah lainnya. Selain melakukan pengutan daya kritis masyarakat 6Lihat Kadri, Komunikasi Sosial Politik: Aksi, Refleksi, dan Rekomendasi untuk NTB, Mataram, Larispa, 2010, hlm. 85.
58
Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif…… (Suhadah)
terhadap media (media literasi), gerakan kelompok ini juga diharapkan dapat melakukan pembacaan/riset yang kontinyu untuk melihat gerak kecenderungan media massa termasuk perilaku jurnalis. Ketika masyarakat terus dicerahkan (cerdas dan kritis) dan gerakan kontrol komunitas independen seperti LSM semakin diintensifkan, maka akan semakin banyak pengontrol/pengawas media, sehingga pada akhirnya akan mempersempit ruang mereka (media dan jurnalis) untuk bersikap tidak profesional. E. Pola Pengawasan Kolaboratif dalam Mengawasi Media Massa Pengawasan kolaboratif yang dimaksud adalah pola pengawasan bersama dan koordinatif antara lembaga independen seperti KPID dengan masyarakat. Paling tidak pola ini dapat terlihat dari adanya keinginan masyarakat untuk melaporkan perilaku media siaran yang mereka anggap bertentangan dengan nilai yang ada, dan adanya kemauan KPID untuk memproses aduan masyarakat tersebut. Sebagai representasi rakyat dalam membuat regulasi dan mengawasi lembaga penyiaran, komisoner KPID NTB wajib menampung, meneliti dan menindaklanjuti setiap aduan yang disampaikan masyarakat terkait dengan perilaku lembaga penyiaran. KPID NTB langsung menindaklanjuti setiap aduan dari masyarakat baik langsung maupun tidak langsung dengan segera menindaklanjuti lembaga penyiaran yang melanggar tata nilai yang ada di masyarakat seperti yang tercantum dalam pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran dan sanksi yang diberikan kepada lembaga penyiaran tersebut sesuai dengan isi UU No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran (khususnya dalam pasal 55). Adapun isi dari sanksi tersebut antara lain sanksi administratif, yang berupa teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan jumlah siaran, denda administratif, pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu, tidak diberi perpanjangan
izin
penyelenggaraan
penyiaran,
sampai
kepada
pencabutan
izin
penyelenggaraan penyiaran. Berdasarkan data yang dimiliki KPID NTB, terdapat sejumlah data pengaduan masyarakat yang disampaikan ke KPID NTB dengan jumlah yang beragam dari tahun ke tahun. Jumlah pengaduan masyarakat NTB akan perilaku lembaga penyiaran dapat dilihat dari tabel berikut:
59
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014 : 51-63
Tabel: 1 Jumlah Pengaduan Masyarakat NTB tentang Perilaku Lembaga Penyiaran7 NO TAHUN JUMLAH ADUAN
KETERANGAN
1
2009
800
Pengaduan Radio dan TV
2
2010
640
Pengaduan Radio dan TV
3
2011
535
Pengaduan Radio dan TV
4
2012
349
Pengaduan Radio dan TV
5
2013
215
Pengaduan Radio dan TV
TOTAL
2539
Berdasarkan data pengaduan masyarakat tentang perilaku lembaga penyiaran lima tahun terakhir (2009-2013) dari tabel di atas menunjukkan bahwa animo masyarakat untuk melaporkan perilaku lembaga penyiaran yang diketahuinya. Namun tren jumlah pelaporan (kasus) makin tahun semakin menurun jumlahnya. Hal ini bukan berarti bahwa minat masyarakat untuk memantau lembaga penyiaran turut menurun, karena penurunan jumlah aduan lebih terkait dengan adanya tren penurunan pelanggaran lembaga penyiaran. Pola kolaborasi juga diwujudkan dalam bentuk saling memperkuat dan mendukung. Masyarakat memberi dukungan pada KPID untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, termasuk mengontrolnya agar tidak melenceng dari amanah undang-undang penyiaran. KPID juga melakukan pembinaan dan literasi kepada masyarakat agar menjadi masyarakat yang kritis terhadap perilaku media massa. Untuk mendorong partisipasi dan kepedulian masyarakat, KPID NTB telah menginisiasi program literasi media kepada setiap level masyarakat, mulai dari usia dini hingga usia dewasa, serta pada seluruh jenis atau latar belakang pekerjaan/profesi masyarakat, seperti pelajar, pegawai negeri sipil, karyawan swasta, dan ibu rumah tangga. Program seperti ini (literasi media) selalu dilaksanakan setiap tahun oleh KPID NTB dengan sasaran yang berbeda dari tahun ke tahun dengan tujuan agar seluruh elemen masyarakat dapat tertangani dengan program literasi media yang sangat bermanfaat ini. Di samping dihajatkan untuk berpartisipasi dalam mengawasi perilaku media penyiaran, program literasi media juga dimaksudkan untuk memberikan pendidikan media kepada masyarakat agar bisa memilah dan memilih siaran yang sehat. Masyarakat yang 7Data ini merupakan hasil dokumentasi KPID NTB terhadap aduan yang disampaikan masyarakat selama lima tahun (2009-2013)
60
Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif…… (Suhadah)
sudah tercerahkan lewat program literasi, diharapkan dapat secara langsung memantau siaran-siaran tersebut dan apabila menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran bisa melaporkan ke KPID NTB. Dengan mengadakan pendidikan media kepada masyarakat diharapkan untuk menjadi masyarakat yang berpartisipatif dalam memilah dan memilih siaran yang sehat serta melaporkannya secara proaktif kepada KPID atas pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran. Pelatihan lainnya yang dilakukan KPID NTB adalah dengan melibatkan relawan yang berasal dari berbagai unsur masyarakat. KPID NTB
telah melaksanakan acara
pelatihan relawan pemantau isi siaran. Akhir dari pelatihan ini adalah pembentukan relawan pemantau siaran yang terdiri dari tokoh agama, tokoh masyarakat, LSM dan masyarakat yang peduli penyiaran yang sehat. Relawan seperti ini dianggap sangat membantu tugas komisioner KPID NTB yang hanya berjumlah
7 (tujuh) orang. Jumlah yang sangat
terbatas ini tentu saja tidak mampu mengawasi semua program siaran, dan membutuhkan dukungan masyarakat yang mau secara sukarela untuk mengawasi isi siaran dari lembaga penyiaran yang ada di seluruh wilayah NTB. Di samping kelompok relawan isi siaran, KPID NTB juga melakukan MoU dengan instansi, Perguruan Tinggi,
dan organisasi sosial keagamaan seperti Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Provinsi NTB, Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah NTB, PW Nahdatul Ulama (NU) NTB, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) Kota Mataram, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) wilayah NTB, LBH APIK, Universitas 45 Mataram, danIAIN Mataram. Instansi-instansi yang telah disebut di atas menjadi rekanan untuk menjadi relawan isi siaran di NTB sesuai dengan isi MoU dengan setiap lembaga, yang antara lain berisi; harus adanya penukaran informasi tentang pemantau isi siaran. Untuk pemantauan isi siaran selama proses pesta demokrasi seperti Pemilu, KPID NTB melakukan MoU dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) NTB dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) NTB dalam rangka melakukan pemantauan siaran pada saat agenda pemilu baik itu pemilukada, pemilu legislatif maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. F. Penutup Upaya kontrol dalam menjadikan media sebagai kekuatan demokrasi keempat akan efektif apabila semua kalangan serius dan partisipatif. Kolaborasi antara pendekatan struktural dan kultural dalam melakukan kontrol atau pengawasan terhadap media 61
KOMUNIKE, Vol. 6. No. 1, Juni 2014 : 51-63
penyiaran akan mampu mengarahkan media massa sebagai media yang sehat dan kontributif. Namun sekuat apapun kontrol yang dilakukan oleh publik dan KPID tidak akan maksimal, bila tidak ada etiket baik dari media penyiaran untuk berkomitmen dalam membenahi diri. Oleh karena itu, mendorong upaya pengawasan kolaboratif harus sejalan dengan upaya reformasi diri dari media penyiaran.sehingga akan tumbuh kesadaran dari komunitas media massa itu sendiri untuk berbenah dalam rangka menjadi media penyiaran yang sehat dan kontributif. Semoga…
62
Membangun Tradisi Pengawasan Kolaboratif…… (Suhadah)
DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong Uchjana. “Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi”. Bandung: Aditya. 2004. Eriyanto. “Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media”. Yogyakarta: LkiS. 2001. Kadri. “Komunikasi Sosial Politik: Aksi, Refleksi, dan Rekomendasi untuk NTB”. Mataram: Larispa, 2010. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). “Pedoman Penyelenggaraan Penyiaran dan Standar Perilaku Siaran (P3SPS)”, 2009. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTB. “Potret Penyiaran NTB”. Mataram: Pena Interprise, 2014. Mulyana, Deddy. “Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori, dan Aplikasi”. Bandung: Widya Padjadjaran. 2009. McQuil, Dennis. “Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar”. Alih bahasa Agus Dharmawan dan Amiruddin. Jakarta: Erlangga, 1987. Shoemaker, Pamela dan Stephen D. Reese. “Mediating the Massage”. New York: Long Man, 1991. Prajarto, Nunung (ed.). “Komunikasi, Negara, dan Masyarakat”. Yogyakarta: Fisipol UGM, 2004. Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
63