MEMBANGUN NILAI MULTIKULTURAL SISWA MELALUI KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN WANITA DI TINGKAT LOKAL Rikza Fauzan, M.Pd.2 Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Jln. Raya Ciwaru No. 25 Serang Banten. Hp. +628568338707
[email protected]
2
Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan penerapan pembelajaran sejarah melalui kajian sejarah wanita di tingkat lokal dalam membangun nilai-nilai multikultural siswa pada pembelajaran sejarah di sekolah. Penulisan ini dilatarbelakangi permasalahan yang terjadi di lapangan mengenai masalah toleransi dalam keragaman etnik-budaya. Kemudian peran wanita di tingkat nasional bahkan lokal yang masih minim dalam penulisan sejarah. Melalui Penggunaan model pembelajaran sejarah perjuangan wanita yang dekat dengan lingkungan siswa dapat dijadikan sebagai teladan dan contoh sebagai usaha untuk menumbuhkan nilai-nilai multikultural siswa untuk menjawab tantangan yang dihadapi. Aspek yang diambil dalam konsep multikultural adalah mengubah mind set siswa bahwa belajar sejarah bisa dengan memanfaatkan lingkungan termasuk peristiwa sejarah tokoh lokal. Kata kunci : Multikultural, Sejarah lokal, Perlawanan Nyimas Gamparan kekerasan, separatisme, perusakan lingkungan
1. PENDAHULUAN Bangsa Indonesia sebagai masyarakat
dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu
yang majemuk dipandang dari latar belakang
menghormati hak-hak orang lain adalah
suku bangsa, sosial-budaya, dan agama adalah
bentuk nyata sebagai bagian dari realitas
kenyataan
multikulturalisme (Yaqin, 2005).
yang
tidak
bisa
dielakkan.
Mengamati fenomena kemajemukan ini, salah
Supardi (2005) mengemukakan Negara
seorang antropolog Amerika Serikat, Clifford
multikultural
seperti
Indonesia
harus
Geertz (2002) secara tepat melukiskan bahwa
antisipatif dan responsif terhadap fenomena
terdapat lebih dari 300 kelompok etnis di
heterogenitas kebudayaan dengan sikap arif
Indonesia, masing-masing dengan identitas
dan bijak. Perbedaan yang selama ini ada telah
budayanya sendiri, dan lebih dari 250 bahasa
menimbulkan sisi negatif berupa konflik yang
daerah dipakai oleh berbagai etnis tersebut, di
melanda negeri ini, yang salah satunya
samping itu hampir semua agama penting
disebabkan heterogenitas atau deferensiasi
dunia diwakili, selain agama-agama asli yang
sosial dalam masyarakat, seperti yang terjadi
banyak jumlahnya.
dalam kasus konflik antar suku di Sambas
Keragaman tersebut di atas, diakui atau
Kalimantan Tengah, konflik dengan isu agama
tidak, akan dapat menimbulkan berbagai
di Poso dan Maluku, gerakan separatisme
persoalan seperti yang sekarang dihadapi oleh
Aceh dan Papua yang salah satunya dipicu
bangsa Indonesia. Korupsi, kolusi, nepotisme,
oleh pengelolaan perbedaan yang kurang adil.
premanisme, perseteruan politik, kemiskinan,
Kita harus mengakui adanya perbedaan yang
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
ada dalam masyarakat negeri ini, bukan
keterampilan menjadi warga dari masyarakat
sekedar perbedaan deskriptif tetapi perbedaan
demokratis yang di antaranya mampu bersikap
normatif. Maksudnya adalah bahwa perbedaan
toleran dan mengakomodasi berbagai jenis
yang ada bukan sekedar kita ketahui, tetapi
perbedaan untuk kesejahteraan bersama.
harus kita sadari dalam kehidupan yang egaliter
dan
kesadaran
demokratis.
Tanpa
multikulturalisme,
Namun
dalam
menyikapi
upaya
multikulturalisme haruslah hati-hati, sebab
niscaya
multikulturaslisme dapat berkembang negatif
nasionalisme yang selama ini dibangun, akan
ke
arah
hiper-multikulturalisme,
tercabik-cabik oleh konflik dan gerakan
chauvinisme
separatisme.
sendiri yang paling baik, pertentangan antara
seperti
menganggap
dan budaya
Isu RAS (Rasial, Agama dan Suku) saat
budaya Barat dengan sisa barat, upaya
ini menjadi masalah nasional yang cukup
mencari-cari nilai-nilai asli atau “indegenous
memprihatinkan.
(2000)
culture” seperti misalnya penguasa orde baru
mengemukakan bahwa kenyataan kehidupan
yang banyak menggunakan bahasa Kawi
bermasyarakat
terganggu
dalam memberikan nama-nama gedung DPR
dengan adanya konflik yang berbau SARA
yang sulit dimengerti oleh orang biasa. Hiper-
(Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan).
multikulturaslisme
Nilai-nilai yang berkaitan dengan kebudayaan
munculnya anggapan bahwa hanya penduduk
bangsa
asli yang dapat berbicara mengenai budayanya
H.A.R.
Tilaar
akhir-akhir
sendiri
mulai
ini
tergerus
pengaruh
kebudayaan luar yang sebenarnya bukan jati
yang
lain
adalah
sendiri (Tilaar, 2004: 89-91).
diri bangsa. Dalam menyikapi hal tersebut,
Dalam pendidikan multikultural, seorang
perlu di kembangkannya pendidikan yang
guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk
bertujuan
mampu secara profesional mengajarkan mata
untuk
mengembangkan
dan
mempertahankan budaya dan tradisi bangsa.
pelajaran yang diajarkannya. Akan tetapi juga
James A. Bank (2001) menjelaskan
mampu menanamkan nilai-nilai keragaman
bahwa pendidikan multikultural adalah konsep
yang inklusif kepada para siswa. Pada
atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan
akhirnya, dengan langkah-langkah demikian,
(set of believe) dan penjelasan yang mengakui
output yang diharapkan dari sebuah proses
dan menilai pentingnya keragaman budaya dan
belajar mengajar nantinya adalah para lulusan
etnis
hidup,
sekolah atau universitas yang tidak hanya
pengalaman sosial, identitas pribadi dan
pandai sesuai dengan disiplin ilmu yang
kesempatan-kesempatan
dari
ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan
negara.
nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan
Pendidikan itu sangat diperlukan terutama oleh
menghargai keberadaan para pemeluk agama
negara demokrasi baru seperti Indonesia,
dan kepercayaan yang lain.
dalam
individu,
membentuk
kelompok
gaya
pendidikan maupun
untuk melakukan rekontruksi sosial dengan mengembangkan
civic
skill,
yakni
Salah
satu
cara
mengembangkan
pendidikan multikultural di Indonesia adalah
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
dengan
mengintegrasikan
pendidikan
multikultural sangat menentukan keberhasilan
multikultural dalam pembelajaran sejarah di
proses pembelajaran sejarah dengan perspektif
sekolah. Hasan (2012: 108) mengemukakan
multikultural.
pendekatan multikultural harus membantu para pengembang
kurikulum
menetapkan
prinsip-prinsip
pengembangan
sejarah
kurikulum,
Hasan (2012: 114) mengemukakan bahwa
dalam
cara belajar peserta didik dalam melakukan
kurikulum,
kajian peristiwa sejarah sangat individual dan
dan
proses
sangat
dipengaruhi
oleh
latar
belakang
pembelajaran sejarah yang dapat “maximize
budayanya. Guru pendidikan sejarah tentu saja
the potentials of student and their cultural
hanya dapat mengembangkan materi sejarah
environtment so that the students can learn
lokal berdasarkan budaya mayoritas peserta
better”.
didik. Pendekatan tersebut dapat dilakukan
Dalam
mempertahankan
kepribadian
sebagai cara guru untuk mengembangkan
bangsa, kurikulum pendidikan sejarah harus
pembelajaran dengan konteks keragaman yang
mampu menggunakan karakteristik materi
dimiliki oleh peserta didiknya.
yang terdapat dalam peristiwa sejarah dalam
Dengan pendekatan multikultural dalam
mengembangkan kepribadian peserta didik
pembelajaran sejarah, akan membawa peserta
yang mengakui keragaman budaya dan hidup
didik kepada perkembangan dirinya dalam
penuh kontribusi positif dan kreatif dalam
“berbagi kemanusiaan” (Shared humanity),
masyarakat yang beragam budaya tersebut.
mencoba memahami diri sendiri dan orang
Hasan
:
lain, mempelajari perbedaan dan persamaan
“Kurikulum pendidikan sejarah masa depan
dari zaman ke zaman serta menghormatinya
harus
(Wiriaatmadja, 2002: 152).
(2012:
111)
mengakomodasi
mengemukakan
berbagai
peristiwa
sejarah yang terjadi di suatu lokal yang paling kecil sekali pun, oleh sebab itu kurikulum
2. METODE PENELITIAN
pendidikan sejarah tidak boleh membatasi
Metode
yang
digunakan
untuk
dirinya kepada peristiwa sejarah tingkat
melaksanakan penelitian ini adalah kualitatif
nasional saja tetapi juga peristiwa sejarah yang
naturalistisk. Penelitian Kualitatif Naturalistik
terjadi di lingkungan budaya peserta didik,
memiliki karakteristik tersendiri sehingga
lingkungan budaya lain dan nasional.”
dapat membedakan dengan jenis penelitian
Pembelajaran
sejarah
dalam
konteks
yang lain. Beberapa karakteristik tersebut
multikultural sangat ditentukan guru. Baik
menurut Bogdan dan Biklen (1990: 33-36)
dalam konteks sentralisasi maupun dalam
adalah:
otonomi, peran guru tetap sama, mereka
1.
Penelitian
kualitatif
memiliki
setting
adalah pengembang proses pembelajaran yang
(latar) alamiah sebagai sumber data
langsung
langsung
berkaitan
dengan
siswa.
Pengetahuan, pemahaman, dan sikap serta kemauan
guru
mengenai
kurikulum
dan
peneliti
merupakan
instrumen kunci. 2.
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
Penelitian kualitatif bersifat deskriptif.
3.
Peneliti
kualitatif
lebih
memberikan
perhatian pada proses daripada hasil. 4.
Peneliti kualitatif cenderung menganalisis datanya secara induktif.
5.
“Makna” merupakan perhatian utama bagi pendekatan kualitatif Subjek
penelitian
(1958:201), peristiwa,
Subjek
menurut penelitian
manusia
dan
atau
responden
diobservasi diwawancara.
Subjek
situasi yang
penelitian
Guba berupa yang dapat dalam
Gambar 1. Triangulasi “sumber” pengumpulan data. (satu teknik pengumpulan data pada bermacam-macam sumber data A, B, C). (Sumber : Sugiyono 2006:331).
penelitian ini adalah: 1) Guru sejarah 2)siswa Teknik analisis data yang digunakan
3) Materi Sejarah Lokal. Adapun Lokasi Penelitian yakni SMA Negeri 2 Kota Serang. Sugiyono triangulasi
(2006:330)
menjadi
dua
membedakan macam
yaitu
triangulasi teknik dan triangulasi sumber. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
triangulasi
Sugiyono teknik
(2006:330)
berarti
tahap orientasi lapangan, seperti dikatakan Miles dan Huberman (1992) bahwa”… the ideal model for data collection and analysis is one
that
interweaves
them
from
the
beginning”. Yang artinya, model ideal dari
kedua macam triangulasi tersebut. Menurut
adalah bersifat kualitatif yang dilakukan sejak
peneliti
pengumpulan data dan analisis adalah yang secara bergantian berlangsung sejak awal.
menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber data yang sama. Adapun trianggulasi
3.
A. Sejarah Perjuangan Wanita di tingkat Lokal (Nyimas Gamparan)
teknik ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut: Peneliti
serta dokumentasi untuk sumber data yang sama.
Dalam studi gender, multikulturalisme
menggunakan
observasi partisipatif, wawancara mendalam,
HASIL DAN PEMBAHASAN
disejajarkan dengan kesetaraan gender para tokohnya. Berbeda dengan pengertian jenis kelamin, gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Konsep gender adalah pembedaan sifat, sikap dan peran yang melekat pada laki-laki dan perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2002).
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
Sebagai salah satu model yang bisa
Kompeni Belanda pada waktu itu telah banyak
dikembangkan dalam mengajarkan sejarah
mengalami
kerugian
dan
kebangkrutan
lokal kepada siswa ialah dengan membawa
(http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/06/du
perserta didik untuk melakukan pembelajaran
a-pahlawan-wanita-mampir-di-balaraja-
sejarah lokal di lingkungan sekitarnya. Salah
506841. html)
satu sejarah perjuangan wanita di tingkat lokal
Pasukan Nyimas Gamparan tidak mudah
Banten mengenai Nyimas Gamparan dan
ditumpas oleh pasukan Kompeni Belanda.
Nyimas Melati di daerah Tangerang.
Kenyataannya, pasukan wanita ini mampu
Pasca perang Banten dan gerilyanya
bertahan
menghadapi
serangan
pasukan
Sultan Ageng Tirtayasa di daerah hutan
pengalaman perang. Adapun keunggulannya
pinggiran Bogor, Sajera (1683) hingga tertipu
antara lain: Pertama, Pasukan wanita ini
oleh utusan keluarga keraton Surosowan atas
tangguh di medan perang (salah satu kaol
permintaan anaknya, Sultan Haji. Sekenario
menyebutkan sakti-sakti mandraguna). Yang
selanjutnya, ditangkap dan meninggal dalam
kedua, pasukan Nyimas Gamparan menguasai
penjara Kompeni Belanda, Benteng Batavia
medan perang gerilya di teritorialnya.
(1692). Perjuangan menghadapi penjajah di Bumi
Banten
begitu
daerah
yang
menjadi
persembunyian orang-orang Balaraja ketika
Diantaranya, perang dengan milisi pimpinan
zaman ngeli (hijrah) yakni di Desa Kubang
Nyimas Gumparo (1829-1830).
Kec. Sukamulya (Pemekaran Kec. Balaraja).
Gumparo
saja
satu
pupus.
Nyimas
tidak
Ada
alias
Nyimas
Banyak diyakini oleh orang Balaraja bahwa
Gamparan bersama 30 milisi wanita dan
jika ngeli ke daerah tersebut susah dilacak oleh
saudara-saudaranya
tentara
menyerang
kompeni
penjajah.
Diperkirakan
belanda yang waktu itu sedang gencar-
penyumputan
gencarnya
Gamparan di daerah tersebut. Sebab daerah ini
melaksanakan
program
Cultuurstelsel (1830) dengan membangun jalan
Anyer-Panarukan.
Nyimas
letaknya berada jauh di pedalaman.
Cikande,
Serangan demi serangan yang dilakukan
Rangkas, Serang hingga ke Pandeglang pun
oleh pasukan Nyimas Gamparan membuat
tak terelakan. Serangan-serangan dilakukan
Belanda sangat kerepotan. Berbagai cara pun
Nyimas
pasukannya.
dilakukan untuk menumpas pasukan Srikandi
Korban dari kedua belah pihak pun tak
pimpinan Nyimas Gamparan. Belanda lalu
terelakan.
menggunakan politik devide et impera. Raden
Gamparan
Pasukan
Srikandi
Perang
(persembunyian)
tempat
beserta
ini
bermarkas
di
Tumenggung Kartanata Nagara yang menjadi
Balaraja. Tempat singgah para raja (Asal Kata
Demang di wilayah Jasinga, Bogor diminta
Balai Raja) atau ada yang menyebutkan tempat
bantuan untuk menumpas milisi Srikandi ini.
berkumpulnya BALA tentara RAJA. Serangan
Tumenggung Kartanata iming-imingi bakal
sporadis pasukan Nyimas Gamparan ternyata
dijadikan penguasa di daerah Rangkasbitung.
membuat repot kaum penjajah. Disebutkan Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
Pasukan
Ki
Demang
inilah
yang
pahlawan
lokal
tersebut.
Mereka
dapat
kemudian diadu dengan Pasukan Nyimas
menanyakan sisi kehidupan sang pelaku
Gamparan. Taktik Belanda ini rupanya cukup
sejarah. Dengan tehnik tanya jawab yang baik
ampuh. Nyimas Gamparan akhirnya berhasil
peserta
dikalahkan oleh pasukan Kartanata Nagara.
mentauladani jiwa-jiwa kepemimpinan sang
Nyimas Gamparan pun disemayamkan di
pelaku
daerah
Bagaimana
Pamarayan,
Serang-Banten
didik
sejarah
dapat
secara
mereka
mengenali
arif
dan
memperjuangkan
dan
bijak. dan
(https://id.berita.yahoo.com/kisah-heroik-
mempertahankan daerahnya inilah yang perlu
pendekar-wanita-banten-nyi-mas-gamparan-
diapresiasi
dan 210200083.html).
pembelajaran sejarah lokal.
oleh
peserta
didik
dalam
Peristiwa heroik yang dilakukan oleh Nyimas gmparan dapat memberikan gambaran
B.
Implementasi
Nilai
Multikultural
bahwa perjuangan dalam melawan pemerintah
dalam Materi Sejarah Lokal
kolonial Belanda tidak selalu dilakukan oleh
Untuk mengkaji masalah ini, peneliti
pria. Beberapa pahlawan lokal wanita seperti
tertarik untuk menampilkan rekomendasi yang
Nyimas Gamparan mampu memberikan fungsi
diberikan
edukasi dan inspirasi bagi pengetahuan peserta
2010:185) bahwa pendidikan yang relevan
didik. Penulisan sejarah lokal wanita juga
dengan prisip multikutural harus memenuhi
mampu memberikan nilai-nilai toleransi dan
unsur-unsur berikut
kesetaraan gender dalam pembelajaran sejarah.
a.
Sonia
Nieto (dalam Santrock,
Kurikulum sekolah harus jelas anti rasis
Mulyana (2007: 259) mengemukakan bahwa :
dan anti diskriminasi. Murid harus bebas
“Perbedaan gender (gender difference) yang
mendiskusikan isu etnis dan diskriminasi.
pada prosesnya selanjutnya melahirkan peran
b.
Pendidikan multikultural harus menjadi
ganda (gender role) sesungguhnya tidak
bagian dari setiap pendidikan murid.
menimbulkan ketidakadilan bagi kaum laki-
Semua murid harus menjadi bilingual dan
laki dan khususnya wanita (Fakih, 1999: 12).
mempelajari perspektif kultural yang
Pemikiran mengenai dikotomi antara wanita
berbeda-beda. Pendidikan multikultural
dan laki-laki menjadikan pihak wanita sebagai
harus
kelompok yang berada dalam kedudukan
termasuk di majalah dinding sekolah,
“kelas dua” dengan ruang gerak terbatas
ruang makan siang dan pertemuan-
sekitar rumah tangga”.
pertemuan.
Dengan sejarah lokal yang diajarkan
c.
direfleksikan
di
mana
saja,
Murid harus dilatih untuk lebih sadar
dalam kelas maupun luar kelas, berarti peserta
budaya (kultur). Ini berarti mengajak
didik mengenal secara langsung bagaimana
murid
pribadi dan biografi hidup sang pelaku sejarah
menganalisis kultur dan lebih menyadari
yang terlibat dalam suatu peristiwa sejarah di
faktor historis, sosial dan politik yang
daerahnya. Terlepas dari masalah gender tokoh
membentuk pandangan mereka tentang
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
untuk
lebih
terampil
dalam
kultur dan etnis. Harapannya adalah agar
mengembangkan identitas kebanggaan masa
kajian kritis itu akan memotivasi murid
lampau Bangsa Indonesia (Hasan:2012,4)
untuk mengupayakan keadilan politik dan
dalam wajah multikultural. Posisi sejarah lokal
ekonomi.
memiliki peranan penting bagi perkembangan
Dalam implementasi pembelajaran di
kelokalan yang dimiliki siswa, agar siswa
kelas, guru belum berhasil mengembangkan
tidak tercabut dari akar sosial budayanya.
suasana pembelajaran yang variatif. Mereka
Seperti yang diungkapkan oleh Hasan (2012:
selalu mengedepankan sistem pembelajaran
7) sebagai berikut : “Each of us grows up in a
ekspositoris yang menonjolkan pengembangan
home with a distinct history and a distinct
domain
mengherankan
perspective on the meaning of larges historical
kalau kemudian siswa apatis dan skeptis pada
events. Our parents histories shape our
mata pelajaran sejarah. Pengajaran sejarah
historical conscousness, as do the stories of
masih berorientasi pada penyajian fakta, belum
the etnic, racial, and religious groups that
berorientasi pada upaya penghayatan dan
number us as a member. We attend churches,
kesadaran
keprihatinan
clubs and neigborhood assosiations that
Soejatmoko yang dikutip I Gde Widja
further mold both our collective and our
(1989:11) sebagai berikut : “Pengajaran
individual historical sense.”
kognitif. Tidaklah
sejarah,
seperti
sejarah hendaknya diselenggarakan sebagai
Siswa harus mengenal lokalitas dimana
suatu avontuur bersama dari pengajar maupun
mereka tinggal, karena budaya setempat dapat
yang diajar. Dalam konsep ini maka bukan
membangun kepedulian sosial dan semangat
hafalan fakta, melainkan riset bersama antara
kebangsaan. Hal ini sebagai salah satu tujuan
guru dengan siswa/mahasiswa menjadi metode
pembelajaran sejarah yang ingin ditampilkan
utama. Dengan jalan ini maka si mahasiswa
dalam pembelajaran sejarah dengan materi
langsung
tantangan
pembelajaran sejarah lokal yang memuat unsur
intelektual yang memang merupakan ciri khas
lingkungan sekolah sebagai salah satu sumber
daripada sejarah sebagai ilmu... Dia menjadi
belajar siswa-siswa di sekolah.
dihadapkan
dengan
peserta, pelaku dalam usaha ‘penemuan diri’ bangsa kita sendiri.” Pembelajaran penyajian
pentingnya
sejarah
lokal
harus
mendukung pembelajaran multikultural yang sejarah
pengajaran
menghadirkan
Pembelajaran
nilai
lokal
sejarah
objektif,
kesadaran
perlu
menghargai setiap perbedaan sebagai bagian
mampu
dari kekayaan budaya bangsa Indonesia.
berdasarkan
kelokalan
sebagai
Multikulturalisme kesederajatan
mengembangkan dengan
menghadirkan
identitas lokal, namun seiring sejalan dengan
kehidupan yang lebih egaliter. Penyajian
perkembangan
yang
pengajaran
sejarah
dan
mendukung
pendekatan
mencerminkan
sejarah
nasional
tujuan-tujuan
politis
lokal
yang
dapat
multikulturalisme
ideografis dalam suatu negara sebagai salah
dengan memperhatikan kelokalan di sekitar
satu landasan filosofi perenialisme yang lebih
lingkungan siswa. Multikulturalime yang ada
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
diharapkan dapat menciptakan lingkungan
sejarah terutama pada sejarah lingkungannya,
yang
meumbuhkan sikap toleransi dan keberagaman
demokratis,
mengakomodir
sehingga setiap
dapat
perbedaan.
yang
kemudian
menjadi
pangkal
bagi
Perkembangan sejarah lokal lebih diakui oleh
timbulnya kesadaran sejarah dalam artian yang
pemerintah dengan hadirnya KTSP yang
luas (kesadaran lingkungan dalam rangka
berlaku mulai tahun 2006.
kesadaran sejarah nasional). Beberapa tokoh
Dalam pembelajaran sejarah lokal yang
lokal yang bisa dijadikan sebagai sumber
berkembang saat ini, baik di SD maupun di
belajar sejarah oleh siswa karena memiliki ciri
SMP
khas
masih
berkisar
tentang
kehidupan
bahwa
peran
tokoh
sekeliling siswa, lingkungan terdekat dengan
memperjuangkan
kehidupan siswa. Pembelajaran lokal yang
kebebasan bagi daerahnya.
lokal
dalam
kemerdekaan
ataupun
disajikan diupayakan dapat menumbuhkan
Perjuangan para pahlawan lokal tidak
kebangsaan peserta didik sehingga nantinya
selalu dimotori oleh para kaum pria yang
ada kerjasama yang erat antara sejarah lokal di
berjuang dalam memperoleh kemerdekaan,
wilayah masing-masing siswa dengan sejarah
namun beberapa tokoh lokal wanita juga
nasional yang mengembangkan kehidupan
mampu
kebangsaan yang sehat, cinta damai, toleransi,
menginspirasi dan memberikan fungsi edukatif
penuh dinamika, kemampuan kompetensi dan
dalam pembelajaran sejarah lokal di sekolah.
komunikasi,
pembelajaran
Dalam konteks penulisan historiografi peran
sejarah yang ingin dicapai. Sedangkan tujuan
wanita memang telah banyak ditulis dalam
utama bagi pendidikan sejarah di SMA lebih
sejarah perjuangan kemerdekaan. Mulyana
mengarah pada pengembangan kemampuan
(2007:
berpikir, ketrampilan melakukan penelitian
historiografi
sejarah,
isu
tradisional dan modern, umumnya (masih)
kontemporer serta pengambilan keputusan.
menampilkan wanita dari keluarga bangsawan,
Hal
kerajaan,
sebagai
tujuan
kemampuan
ini
sesuai
operations
menganalisis
dengan
Piaget
yang
tingkat
formal
dicapai
siswa
(Hergenhahn dan Olson, 2010: 320)
menginspirasi
256)
siswa
agar
mengemukakan Indonesia
priyayi,
:
yang
serta
dapat
“Dalam bercorak
cendikiawan.
Didalamnya termasuk adalah wanita wanitawanita yang mejadi perhatian orang-orang
Salah satu cara yang bisa dilakukan dalam
Belanda karena mereka melakukan aktifitas
menumbuhkan nilai multikultural bagi siswa
yang
di sekolah ialah dengan memperkenalkan
melakukan
sejarah
(melawan, memusuhi) dengan Belanda”.
lokal
yang
mampu
memberikan
dianggap
terpuji,
tindakan
maupun
yang
karena
bertentangan
karakter edukatif dan inspiratif kepada siswa
Ada banyak hal yang dapat di teliti
agar mengetahui pera pahlawan di sekitar
mengenai wanita, akan tetapi tulisan tentang
lingkungan belajar mereka.
keberadaan mereka dilingkungan keluarga dan
Sejarah Lokal Edukatif Inspiratif dengan karakteristik
mengembangkan
kecintaan
masyarakat belum mendalam (kualitas) serta masih sedikit (kuantitas). Kejadian-kejadian
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
penting dalam sejarah memperlihatkan peran
DAFTAR PUSTAKA
laki-laki yang begitu dominan, meskipun
Banks, J.A & Banks, C.A.M. (Eds). 2001.
sesungguhnya membicarakan laki-laki tanpa
Handbook of Research on Multicultural
mengikutsertakan peran wanita merupakan
Education. New York : MacMillan.
suatu hal yangdianggap tidak adil dan berat
Bogdan, Robert C dan Biklen, Knopp Sari.
sebelah.
1990. Riset Kualitatif untuk Pendidikan: Pengantar ke Teori dan Metode. Jakarta: Pusat
4. KESIMPULAN Hasil-hasil
pembelajaran
telah
antar
Universitas
Peningkatan
menunjukan adanya peningkatan pemahaman
Aktivitas
sejarah lokal tentang perjuangan wanita di
terbuka.
dan
Untuk
Pengembangan
Instruksional
Universitas
tingkat lokal sebagai jati diri masyarakat
Brian Garvey dan Mary Krug. 1977. Models of
Banten, sehingga menumbuhkan perasaan
History Teaching in the Secondary
memiliki terhadap sejarah lokal yang ada di
School. Oxford : Oxford University
Banten. Pembelajaran nilai multikultural siswa
press
melalui kajian sejarah perjuangan wanita di
Geertz, Clifford. 2002. Abangan, Santri dan
tingkat lokal menjadi salah satu faktor yang
Priyayi
membuat siswa menunjukan sifat semangat
Jakarta: Pustaka Jaya, Terjemahan, edisi
kebangsaan pada saat pembelajaran dan di luar
kelima.
pembelajaran. Pada saat pembelajaran, bentuk
dalam
Masyarakat
Jawa.
Hamid, Said Hasan. 2012. Pendidikan Sejarah
semangat kepahlawanan siswa ditunjukan pada
Indonesia:
saat
Pembelajaran. Bandung: Rizqi Press.
diskusi
berlangsung,
seperti
aktif
Isu
dalam
Ide
dan
bertanya, menjawab, mengikuti pembelajaran hingga akhir, tidak mengganggu jalannya pembelajaran,
dan
datang
tepat
Hergenhahn, B. R., dan Olson, Matthew H.
pada
2010. Theories of Learning (Teori
waktunya. Di luar pembelajaran, bentuk
Belajar),
semangat kebangsaan siswa ditunjukan dengan
Kencana.
Edisi
ketujuh.
Jakarta:
menghargai antar sesama kawan, menjaga
Huberman & Miles, B.M. (1992). Analisis
toleransi dalam keberagaman, dan memelihara
Data Kualitatif. Jakarta: Universitas
silaturahmi antar sesama.
Indonesia Press. Mulyana, A. & Restu, G. 2007. Sejarah Lokal, Penulisan dan Pembelajaran di Sekolah. Bandung: Salamina Santrock,
John
W.(2010).
Psikologi
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
Sonhadji,
K.H.A.
2003.
“Pemanfaatan
Disertasi. Bandung: Pendidikan IPS-
Teknologi Informasi dalam Pendidikan Multikultural”.
Makalah
PPS-IKIP Bandung. Yaqin,
Ainul.
(2005).
Pendidikan
dipresentasikan dalam Kongres Ilmu
Multikultural:
Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VIII.
Understanding untuk Demokrasi dan
Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Keadilan. Yogyakarta: Penerbit Pilar
Indonesia
Media
bekerjasama
dengan
Cross-Cultural
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas
[Departemen
Pendidikan
Nasional]. Sugiyono.
Internet : Supie. (2012). Dua Pahlawan Wanita Mampir
(2006).
Kuantitatif
Metode
Kualitatif
Penelitian dan
di
R&D.
Balaraja.
Tersedia
[Online]
http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/
Bandung: Alfabeta
06/dua-pahlawan-wanita-mampir-di-
Supardi. 2005. Pendidikan Sejarah Lokal
balaraja-506841.html. (18
dalam konteks Multikulturalisme. UNY: Jurnal.
September
2014) ______. (2013). Kisah Heroik Pendekar
Tilaar. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Wanita Banten Nyimas Gamparan dan Melati.
______. 2004. Multikulturalisme Tantangan-
Tersedia
[Online]:
https://id.berita.yahoo.com/kisah-heroik-
tantangan Global Masa Depan dalam
pendekar-wanita-banten-nyimas-
Transformasi
gamparan-dan-210200083.html.
Pendidikan
Nasional.
Jakarta: Grassindo
September 2014)
Widja, I.G. 1989. Sejarah Lokal suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud Wiriaatmadja,
:
Rochiati.
(1992).
Peranan
Pengajaran Sejarah Nasional Indonesia Dalam Pembentukan Identitas Nasional.
Jurnal “Candrasangkala”, Volume 1 Nomor 1 November 2015
(18