PENGKAJIAN PUISI MELALUI PEMAHAMAN NILAI-NILAI ESTETIKA DAN ETIKA UNTUK MEMBANGUN KARAKTER SISWA Yusida Gloriani Universitas Kuningan Pos-el:
[email protected] Abstrak Melalui eksplorasi bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Selain nilai-nilai estetika, di dalam puisi pun terdapat pula pemikiran, ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Dengan demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingin disampaikan pengarang melalui keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan dengan aturan-aturan yang harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilaku sesuai norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Di sekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra, diantaranya puisi. Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesan moral atau nilai-nilai etik pada puisi akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalani kehidupan dengan baik, lurus, dan benar. Kata-kata kunci : nilai-nilai estetika, nilai-nilai etika, puisi, pendidikan karakter. Abstract Through exploration distinct language in the poem, the author will show it optimally. Aesthetic value is a value based on beauty. In addition to aesthetic values, in any poem there are also thoughts, ideas , emotions, shapes, sounds and the message. Thus, we can find ethical values to be conveyed through the beauty of the language of the author of the poem. Ethical values relating to the rules that must be followed by man in his life. Humans must have the appropriate behavioral norms, both religious norms and norms in society. At school, Indonesian language and literature teachers can take advantage of literary works, including poetry. By inviting students to frequently read and examine the aesthetic values and ethical values in poetry, it will be touched with the feeling of delicate beauty or aesthetic value. Messages moral or ethical values in poetry will have an impact on students' critical thinking in life with a good, straight, and true. Key words: aesthetic values, ethical values, poetry, character education.
1|
PENDAHULUAN Puisi adalah karya sastra yang merupakan pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan. Perasaan dan pikiran penyair yang masih abstrak dikonkretkan melalui kata-kata. Puisi merupakan sarana untuk mengonkretkan peristiwaperistiwa yang telah direkam dalam pikiran dan perasaan penyair. Pengonkretan intuisi dilahirkan melalui kata-kata indah dan bermakna yang dilakukan dengan prinsip efektif dan efisien. Penyair memilih dan mengolah kata sedemikian rupa, sehingga menjadi rangkaian kata-kata yang indah dan menarik. Penyair pun memilih kata setepat-tepatnya dengan memperhatikan unsur bunyi, melakukan penyeimbangan antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya, agar tercipta suatu keharuan yang menimbulkan sebuah kontemplasi dalam diri pembaca puisi. Seorang pembaca puisi harus mampu menikmati dan memaknai puisi yang dibacanya. Pembaca puisi harus dapat menghubungkan imajinasinya dengan intuisi penyair. Pembaca puisi harus memahami hal-hal khusus yang dipergunakan untuk membantu dirinya dalam memahami makna puisi. Puisi adalah karya sastra yang memiliki unsur-unsur keindahan atau estetis. Puisi adalah fenomena yang bernilai keindahan sehingga pembaca diharapkan dapat memahami dan mengungkap keindahan itu didalamnya. Keindahan adalah ciptaan pengarang atau penyair dengan seperangkat bahasa yang digunakannya. Keindahan yang diciptakan pengarang adalah keindahan yang penuh dengan imajinasi. Melalui eksplorasi bahasa yang khas dalam puisi, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Karya sastra, dalam hal ini puisi merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai media dan memiliki nilai estetika yang dominan. Estetika karya sastra dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan. Eksplorasi bahasa khas yang ditampilkan pengarang pada puisi diantaranya dapat dilihat pada pemilihan dan pembentukan kata serta penggunaan variasi gaya bahasa. Nilai-nilai estetika dalam puisi dapat kita amati dari beberapa hal, diantaranya unsur bahasa dan bentuk atau penampilan. Jika diklasifikasikan nilai-nilai estetika itu meliputi keindahan literer yang membentuk satu keutuhan, keselarasan, dan membentuk kepaduan makna. Nilai estetik adalah nilai yang berdasar pada keindahan. Ilmu yang mempelajari nilai estetik disebut estetika. Nilai estetika ini sangat penting bagi manusia karena dengan 2|
keindahan akan memberikan warna dalam kehidupan manusia. Dengan demikian manusia akan merasakan kedamaian dan kenyamanan dalam warna-warni kehidupan. Sudah menjadi kodrat bagi manusia bahwa manusia itu menyukai hal-hal yang indah, bagus, tertata rapih. Manusia pada umumnya tidak suka dengan hal-hal yang kotor, berantakan, tidak indah dipandang mata, estetika dirasakan dan dinikmati dengan viasualisasi manusia. Selain nilai-nilai estetika, di dalam puisi pun terdapat pula pemikiran, ide/gagasan, emosi, bentuk, kesan, dan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Dengan demikian, dapat kita temukan nilai-nilai etika yang ingin disampaikan pengarang melalui keindahan bahasa pada puisinya. Nilai-nilai etika berkaitan dengan aturan-aturan yang harus dijalani manusia dalam kehidupannya. Manusia harus memiliki perilaku sesuai norma-norma, baik norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakatnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian nilai etik adalah nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan dengan akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat. Ilmu yang mempelajari nilai etik disebut dengan etika. Nilai etika ini sangat penting bagi manusia karena disitulah letak kemanusiaan seorang manusia. Binatang tidak akan pernah memiliki atau mempertimbangkan nilai etik. Nilai kejujuran, nilai keberanian atas kebenaran, dan kesungguhan di dalam menjalani kehidupan ini hanya akan dimiliki oleh manusia. Sedangkan binatang hanya menjalani segala kodratnya tanpa pernah berpikir untuk melakukan perubahan atau memperbaiki dirinya, karena binatang tidak dibekali dengan akal dan pikiran. Peserta didik sebagian besar waktunya berada dalam lingkungan sekolah, maka proses pembelajaran dapat dilakukan melalui lingkungan sekolah. Pembinaan etika dapat dilakukan dan diaplikasikan pula dalam pembelajaran sastra di sekolah. Cara yang dapat dilakukan misalnya dengan melihat secara jujur kehidupan masyarakat di lingkungannya masing-masing, dan membuat laporan atau pernyataan secara jujur mengenai pandangannya tentang kehidupan masyarakat di lingkungannya dikaitkan dengan etika, lalu dikomentari pada saat pembelajaran apresiasi sastra berlangsung. Pada saat pembelajaran, guru dapat berdiskusi dengan peserta didik tentang budaya sekolah, bagaimana menanamkan kesederhanaan, kejujuran, keberanian, percaya diri, dan integritas. Kegiatan membaca puisi indah pun dapat menyentuh hati nurani mereka. Ini semua merupakan pembelajaran penanaman nilai-nilai karakter. Hal ini mungkin tidak bisa dirasakan dampaknya saat ini tapi mempunyai dampak dan pengaruh di masa depan. 3|
NILAI-NILAI ESTETIKA PADA PUISI Nilai-nilai estetika dalam tulisan ini lebih difokuskan pada aspek yang menyebabkan karya sastra (puisi) menjadi indah dan menarik. Menurut Endraswara (2003, hlm.69) kajian estetik hanya memfokuskan pada aspek yang menyebabkan karya sastra menjadi indah dan menarik. Menurut Wellek & Warren, pendekatan estetik dalam penelitian adalah kajian sastra yang memfokuskan bidang kajiannya pada unsur intrinsik yang menarik dan menyenangkan. Asumsinya bahwa karya sastra dipandang sebagai karya seni yang memiliki unsur keindahan. Berdasarkan hal itu bahwa nilai-nilai estetik pada sebuah puisi adalah nilai-nilai yang tampak berdasarkan hasil pengkajian pada unsur-unsur intrinsik karya sastra puisi yang menyebabkan puisi memiliki keindahan. Keindahan atau estetika dalam karya sastra begitu penting keberadaannya, karena pada hakikatnya karya sastra merupakan karya imajinatif yang menggunakan bahasa sebagai medianya dan memiliki nilai estetik yang dominan. Estetika karya sastra dapat kita lihat dari struktur bahasa yang digunakan seperti bentuknya, penyusunan alur, konflik-konflik, humor, dan sebagainya. Shanon Ahmad menyatakan bahwa di dalam puisi terdapat pemikiran, ide, emosi, bentuk, dan kesan. Dengan demikian dapat dimungkinkan bahwa melalui unsur-unsur tersebut sebuah karya sastra dapat diidentifikasi konsep estetisnya. Dalam puisi, seorang apresiator atau pembaca puisi dapat memanfaatkan bantuan stilistika yaitu ilmu tentang gaya jika ingin memahami nilai-nilai estetika pada puisi. Puisi sebagai bagian dari sastra sering mengalami perkembangan, dari segi bentuk maupun isi atau tema-temanya. Pada sastra Indonesia lama kita mengenal bentuk-bentuk seperti mantra, bidal, pantun, syair dan yang lainnya. Kemudian muncul bentuk-bentuk puisi baru yang dipengaruhi puisi-puisi barat sekitar tahun 1930-an, misalnya soneta, kwatrain, terzina, stanza, dan sebagainya. Setelah itu, pada tahun 1945, Chairil Anwar sebagai penyair garda depan saat itu memproklamasikan bentuk puisi yang lebih baru yang sering kita kenal dengan bentuk puisi bebas. Lalu pada tahun 1973 kita dikagetkan dengan munculnya puisi-puisi dengan bentuknya yang aneh dan ganjil menurut ukuran Indonesia yakni puisi kontemporer. Puisi Kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri (Waluyo, 1987, hlm.19). Puisi kontemporer terbagi atas beberapa jenis seperti puisi puisi konkret, puisi mbeling, dan puisi mantra. Puisi konkret (poems for the eye) diartikan sebagai puisi yang bersifat visual, yang dapat dihayati keindahannya dari sudut penglihatan. 4|
Seiring dengan perkembangan bentuk-bentuk puisi Indonesia tersebut, nilai-nilai estetika dalam puisi pun mengalami perubahan. Misalnya, puisi-puisi tahun 1920-an dan 1930-an, keindahan puisi dapat kita nikmati dari pilihan kata dan rimanya yang sangat rapi serta penggunaan gaya bahasa perbandingan dan perumpaan yang begitu mendominasi. Puisi tahun 1945-an atau puisi-puisi Chairil Anwar dan kawan-kawan sangat bebas mengekspresikan gagasannya melalui pilihan kata yang mudah dipahami serta penggunaan gaya bahasa yang simbolis dan hiperbol. Kemudian puisi tahun 1960an adalah puisi yang kritis dengan kondisi zaman sehingga muncullah puisi-puisi demonstrasi atau puisi-puisi kritik sosial sehingga banyak menggunaan kata-kata kritikan sosial dan kata-kata yang bermakna politik. Demikian juga gaya bahasa yang banyak digunakan adalah gaya bahasa sindiran dan perumpamaan. Tahun 1970-an puisi kontemporer menggebrak perpuisian Indonesia dengan hadirnya puisi-puisi yang sangat berani, baik dalam penggunaan bahasa maupun bentuk, seperti muncul jenis puisi konkret, puisi mbeling, puisi prosais dan jenis-jenis puisi lainnya. Agar pemahaman tentang nilai-nilai estetika pada puisi lebih dapat dimengerti, mari kita coba perhatikan nilai-nilai estetika pada beberapa contoh puisi di bawah ini. 1. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada rima dan pilihan kata a. Pantun Muda ... Piring putih piring bersabun Disabun anak orang Cina Memutih bunga dalam kebun Setangkai saja yang menggila ... b. Bahasa, Bangsa (Muh.Yamin) ... Selagi kecil berusia muda, Tidur si anak di pangkuan bunda, Ibu bernyanyi, lagu dan dendang, Memuji si anak banyaknya sedang, ... c. Padamu Jua (Amir Hamzah) ... Engkaulah kandil kemerlap 5|
Pelita jendela di malam gelap Melambai pulang perlahan Sabar, setia selalu ... d. Doa (Amir Hamzah)
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku? Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik, ... Kutipan puisi-puisi di atas memiliki rima yang sangat rapih dan indah. Pada contoh pantun muda, kita dapat melihat keindahannya dari rima akhir yang berpola ab-a-b. Pada puisi Bahasa, Bangsakita temukan pula rima akhir yang rapi berpola a-a-bb. Pada puisi Padamu jua,kita temukan keindahannya dalam menggunakan rima aliterasi konsonan k,l dan p (kaulah, kandil, kemerlap, pelita, gelap, pulang, perlahan, selalu). Pada puisi Doa,kata-kata yang dipilih Amir Hamzah begitu menyentuh perasaan, dia memanggil Tuhannya dengan kata kekasihku. Rima aliterasi s pada senja samar sepoi dan bunyi ppada panas payah memberikan keindahan bunyi yang khas.
2. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada pilihan kata dan gaya bahasa Aku (Chairil Anwar) Kalau sampai waktuku kumau tak seorang kan merayu tidak juga kau
tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang ...
Gadis Peminta-minta (Toto Sudarto Bachtiar)
Setiap kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil 6|
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka Tengadah padaku, pada bulan merah jambu Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa. ... Perempuan (Upita Agustine) Yang membentang sajadah di belakang suaminya Yang memberi air hidup darah dagingnya Yang mengalunkan dendang dalam tangis anak-anaknya Yang membisikkan dongeng sebelum tidur Yang melafaskan doa bagi turunannya Perhiasan suaminya ... Tuhan Telah Menegurmu (Apip Mustopa)
Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan lewat perut anak-anak yang kelaparan Tuhan telah menegurmu dengan cukup sopan lewat semayup suara adzan Tuhan telah menegurmu dengan cukup menahan kesabaran lewat gempa bumi yang berguncang deru angin yang meraung-raung kencang hujan dan banjir yang melintang pukang
adakah kaudengar? Chairil Anwar pada puisi Akubanyak menggunakan pilihan kata yang spontan, ekspresif, tetapi tetap menampilkan keindahan bunyi misalnya: kalausampai waktuku, kumau tak seorang kan merayu, tidak juga kau (rima asonansi a,u dan aliterasi k)mendominasi barisan puisi tersebut. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang, selain bunyi-bunyi indah sengau m,n,dan ng, penggunaan gaya bahasa hiperbola pun turut memberikan aspek estetika pada puisi tersebut. Pada puisi Gadis Peminta-minta, Toto Sudarto dengan gaya bahasa eufeumismenya menggambarkan sosok seorang pengemis muda. Gadis kecil 7|
berkaleng kecil, Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka sangat menyentuh perasaan. Berbeda
pada
puisi
Perempuan,untuk
menambah
nilai
estetikanya
Upita
menggunakan gaya bahasa pengulangan pada setiap awal baris puisinya itu dengan mengulang-ulang kata Yang... . Sebaiknya Apip Mustopa, dalam puisi Tuhan Telah Menegurmu, dia menggunakan gaya bahasa pengulangannya di awal yaitu pada kata Tuhan telah menegurmu... .
3. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada permainan kata dan bunyi bahasa a. Shang Hai (Sutardji Calzoum bachri) Ping di atas pong Pong di atas ping Ping ping bilang pong Pong pong bilang ping Mau pong?bilang ping Mau-mau bilang pong Ya pong ya ping Ya ping ya pong ... dst.
b.
O
(Sutardji Calzoum Bachri)
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siariasu siakalian siasiasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O..... Kedua puisi Sutardji di atas memiliki karakter yang sama, yaitu kedua-duanya menampilkan keindahan/estetika puisi dari permainan kata dan permainan bunyi bahasa. Pada puisi Shang Hai,kata ping dan pong dijadikan kata penting dalam permainan bunyi bahasanya, seolah-olah bunyi ping dan pong mewakili kosakata Cina yang ada hubungannya dengan judul puisi diatas yaitu Shang Hai. Pada puisi O, 8|
Sutardji mempermainkan kata duka, resah, ragu, mau, siasia, waswas, duhai, dan o, menggabungkannya dengan kata-kata lain sehingga ketika kedua puisi diatas dibacakan, seperti orang membacakan mantra. Itulah diantaranya kekuatan puisi-puis Sutardji
4. Nilai estetika atau keindahan yang terdapat pada bentuk/tata wajah/ tipografi a. Tragedi Winka dan Sihka (Sutardji Calzoum B.) kawin kawin kawin kawin kawin ka win ka win ka win ka win ka winka winka winka sihka sihka sihka sih ka sih ka sih ka sih ka sih sih sih sih sih sih ka Ku
b.
Di 9|
Betul kau pasti sedang menghitung berapa nasib lagi tinggal sebelum fajar terakhir kau tutup tanpa seorangpun tahu siapa kau dan di Kau Maka kini lengkaplah sudah perhitungan di luar akal tentang sesuatu yang tak bisa siapapun menerangkan kata pada saat itu kau mungkin sedang di Betul Kan ? 74 (Noorca Marendra)
Pada puisi Tragedi Winka dan Sihka, Sutardji Calzoum Bachri ingin menggambarkan secara grafis tentang peristiwa yang menyedihkan, menyakitkan, memilukan dalam sebuah biduk perkawinan (pernikahan). Melalui tipografinya, dia memberikan efek indah, bercerita tragedi perkawinan dengan bentuk puisi yang zigzag atau berliku. Demikian juga Norrca Marendra dengan puisinya di atas menampilkan nilai estetikanya melalui tipografi yang membentuk pohon cemara (pohon natal). Dia berupaya memilih kata dengan cermat sehingga mampu menuangkan gagasannya melalui kata-kata yang disusun sehingga membentuk sebuah pohon. Kedua puisi di atas termasuk puisi konkret, yaitu puisi yang mementingkan keindahan visualisasi dibandingkan makna.
NILAI-NILAI ETIKA PADA PUISI 10|
Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa nilai-nilai etika yaitu nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran; nilai yang berhubungan dengan akhlak; nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat atau nilai baik dan buruk. Nilai etika ini sangat penting bagi manusia karena disitulah letak kemanusiaannya. Manusia dapat dikatakan berperikemanusiaan jika manusia tersebut beretika, berakhlak, mampu membedakan benar atau salah sesuai dengan norma-norma, baik norma agama maupun norma masyarakat. Pada umumnya penyair menyampaikan pesan yang berupa nilai-nilai etika dalam puisinya. Nilai-nilai etika itu yang berkaitan dengan nilai-nilai luhur, moral atau akhlak, perilaku baik dalam kehidupan. Penyair dalam menyampaikan nilai-nilai etis itu bisa berupa cerita, penggambaran, ajakan, larangan, peringatan, permohonan, bahkan kritikan. Nilai-nilai itu untuk dipahami kemudian direnungkan (kontemplasi) sehingga menemukan keharuan yang mendalam, dan merupakan cerminan dari nilai-nilai kehidupan yang dianut. Nilai-nilai yang diyakini oleh individu tersebutlah yang mendasarinya untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan/perilaku. Untuk mengetahui lebih jelas tentang nilai-nilai etika dalam puisi, mari kita coba pahami puisi-puisi berikut. 1. Tuhan, Mabukkanlah Aku (Anshary, terj. Abdul Hadi WM) Tuhan, mabuklah aku Dengan anggur cinta-Mu Rantai kaki erat-erat Dengan belenggu perhambaan
Kuraslah seluruh isi diriku Kecuali cinta-Mu Lalu cerai daku Hidupkan lagi diriku Laparku yang Maha pada-Mu Telah membuatku Berlimpah karunia Untuk memahami puisi di atas, kita mulai dari judul. Kita akan tahu bahwa penyair sedang berkomunikasi dengan Tuhannya. Bait pertama si aku menginginkan Tuhannnya untuk mengikatnya erat-erat dalam belenggu perhambaan, artinya si aku 11|
benar-benar ingin melakukan semua perintah Tuhannya. Bait kedua merupakan alasan mengapa si aku benar-benar ingin melakukan perintah Tuhannya, karena si aku sadar jika dia benar-benar melaksanakan perintah Tuhannya, maka si aku akan memperoleh karunia yang berlimpah. Jika kita renungkan makna puisi tersebut, kita akan menemukan beberapa pesan penyair yang berupa nilai-nilai luhur, yaitu: (1) si aku sadar sebagai seorang hamba Tuhan memiliki kewajiban untuk beribadah pada Tuhannya; (2) si aku sadar bahwa ketika seorang hamba selalu ingat perintah Tuhan, maka Tuhan pun akan selalu mengingatnya; (3) si aku sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan pasti akan ada balasannya, contohnya jika si aku selalu beribadah maka Tuhan akan selalu memberikan karunianya yang tak terhingga. 2. Kucari Jawab
(J.E.Tatengkeng)
Di mata air, di dasar kolam, kucari jawab teka-teki alam
Di kawan awan kian kemari, di situ juga jawabnya kucari Di warna bunga yang kembang‟ kucari jawab, penghilang bimbang
Kepada gunung penjaga waktu, Kutanya jawab kebenaran tentu
Pada bintang lahir semula, Kutangis jawab teka teki Allah
Ke dalam hati, jiwa sendiri, Kuselam jawab! Tiada tercerai Ya, Allah yang Maha – dalam, Berikan jawab teka-teki alam
12|
O, Tuhan Yang maha – tinggi, Kunanti jawab petang dan pagi Hatiku haus „kan kebenaran, Berikan jawab di hatiku sekarang Untuk mengkaji nilai-nilai etika pada puisi Kucari jawab di atas, maka kita coba pahami dulu makna yang terkandung dalam puisi tersebut dengan menjawab pertanyaan “jawaban atas pertanyaan apa yang dicari penyair?” Ternyata penyair mencari jawaban atas sebuah „kebenaran‟. Hal tersebut terdapat pada bait terakhir hatiku haus „kan kebenaran. Untuk mencari „kebenaran‟ itu, penyair mencoba membaca beberapa kejadian atau peristiwa alam, yaitu mata air yang ada di dasar kolam, sekawanan awan yang kian kemari, bunga yang berkembang, gunung, bintang, sampai bertanya ke kedalaman hati. Akhirnya karena belum juga memperoleh jawaban yang memuaskan dari alam, maka penyair pun menyeru Allah, Tuhan Yang Maha. Nilai-nilai luhur yang dapat kita renungkan dari puisi di atas diantaranya yaitu: (1) alam semesta ini tidak berdiri dengan sendirinya, tetapi ada yang menciptakan dan menjaganya; (2) dengan membaca dan mengkaji beberapa peristiwa alam, maka kita akan semakin yakin bahwa ada yang mengatur di balik semua peristiwa itu; (3) untuk mencari sebuah kebenaran tentang sebuah keyakinan, maka perlu upaya untuk mendapatkan jawabannya. 3. Ada Kau dan Aku tanpa Mereka (Yudhistira adinugraha) ada daun membisikkan keresahan ada ranting merapuhkan harapan ada dahan menggoyahkan ketabahan ada bunga mengembangkan nestapa ada angin meniupkan kesunyian ada unggas mengepakkan napas kita
ada cuaca dan mega ada dingin dan gerimis ada debu dan matahari 13|
ada nyanyian atau isak tangis ada kata-kata atau kebisuan ada rasa cinta atau kebencian ada hama atau kesuburan ada rumah-rumah atau reruntuhan ada kau dan aku, tanpa mereka
ada jarak yang lebar ada batas yang tegas ada luka ada luka yang luka
ada yang tersentuh tak bisa menyentuh ada yang mendengar tak terdengar ada yang tak tahu semua itu ada Untuk memahami makna yang terkandung pada puisi Ada Kau dan Aku tanpa Mereka, kita telusuri kata-kata konkret atau kata-kata kunci pada puisi tersebut. Jika pada sebuah paragraf ada kalimat utama, maka pada baris-baris puisi kita akan menemukan kata-kata konkret. Jika pada paragraf kita mengenal paragaraf induktif dan deduktif, maka pada puisi pun kita dapat mengkajinya dengan mencari kata kuncinya apakah berada di awal baris atau di akhir baris. Yudhistira memulai puisi di atas dengan menyuguhkan baris-baris penjelas, ada daun membisikkan keresahan/ ada ranting merapuhkan harapan/ ada dahan menggoyahkan ketabahan/ ada bunga mengembangkan nestapa, dst., demikian dari mulai bait pertama sampai bait ke-tiga. Pada bait ke-empat baru kita menemukan makna yang berbeda dibandingkan bait satu sampai tiga yaitu ada jarak yang lebar/ada batas yang tegas/ada luka/ada luka yang luka// ada yang tersentuh tak bisa menyentuh/ada yang mendengar tak terdengar/ada yang tak tahu semua itu ada. Ada Kau dan Aku tanpa Mereka, menimbulkan pertanyaan siapa kau, siapa mereka pada puisi itu? Kata-kata itu kita temukan pada akhir baris ketiga setelah penyair memaparkan kata-kata penjelas mulai bait satu sampai tiga. Kita bisa mengatakan bahwa kau adalah orang terdekat dengan aku, sedangkan mereka adalah semua objek yang ada pada bait-bait di atas misalnya, daun, ranting, dahan, bunga, angin, unggas, 14|
cuaca,dsb. Mengapa tanpa mereka? Karena ada luka, ada luka yang luka, yang mengakibatkan „ada yang tersentuh (tapi) tak bisa menyentuh/ada yang mendengar (tapi) tak terdengar/ada yang tak tahu (bahwa) semua itu ada‟. Nilai-nilai etik yang bisa kita renungkan dari puisi di atas diantaranya yaitu: (1) makhluk hidup yang diciptakan Tuhan bukan hanya manusia, tetapi ada makhluk lain, artinya kita harus saling menjaga keseimbangan sesama makhluk; (2) Tuhan menciptakan makhluk selalu berpasangan; (3) hidup adalah pilihan, ada baik ada buruk, ada positif ada negatif; (4) apa yang kita inginkan belum tentu semuanya dapat terwujud, karena Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan makhluknya bukan apa yang diinginkan makhluknya.
MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK Tujuan pengajaran sastra adalah agar: (1) siswa/peserta didik dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;(2) siswa/peserta didik dapat menghargai dan membanggakan karya sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Berdasarkan tujuan pengajaran sastra di atas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa akhir dari pengajaran sastra selain peserta didik memperoleh pengetahuan/wawasan tentang sastra, maka sastra pun harus dapat digunakan sebagai media untuk memperhalus budi pekerti, sehingga mereka pun mampu menghargai dan bangga dengan hasil karya sastra dan budaya Indonesia. Pengertian budi
pekerti
sangat
luas, mencakup apa
yang disebut
dengan
perilaku/perbuatan yang baik atau akhlakul karimah, atau karakter. Karakter adalah sifat-sifat manusiawi yang harus selalu dijaga, dipupuk, jangan sampai dirusak dengan hal-hal yang tidak berguna. Untuk menjaga, memupuk dan menumbuhkan karakter diperlukan sebuah upaya. Pelaksanaan pendidikan karakter merupakan misi yang sangat penting dalam mengembangkan moral dan intelektual peserta didik. Menurut Yoyo Mulyana “pendidikan karakter bukanlah hanya sekedar menumbuhkan seperangkat perilaku, tetapi juga mengaitkan antara mengembangkan kebiasaan berpikir, bersikap, dan bertindak” (2011, hlm.1). Melalui pendidikan karakter akan terpola cara berpikir, cara bersikap dan cara bertindak atau berperilaku peserta didik. Untuk menumbuhkan atau membangun karakter peserta didik yang berani, jujur, bertanggung jawab, dapat dipercaya, pantang menyerah, rajin, percaya diri, tidak mudah 15|
putus asa, maka dibutuhkan kerjasama yang baik antara orang tua di rumah dengan guru di sekolah serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Di sekolah, guru bahasa dan sastra Indonesia dapat memanfaatkan karya sastra, diantaranya puisi. Dengan mengajak siswa untuk sering membaca dan mengkaji nilainilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi, maka perasaan halusnya akan tersentuh dengan keindahan atau nilai estetika. Pesan-pesan moral atau nilai-nilai etik pada puisi akan berdampak pada pikiran kritis siswa dalam menjalani kehidupan dengan baik, lurus, dan benar.
SIMPULAN Pengkajian dan pemahaman nilai-nilai estetika dan nilai-nilai etika pada puisi merupakan salah satu upaya yang bisa dilakukan guru dalam pembelajaran apresiasi sastra untuk menumbuhkan atau membangun karakter peserta didiknya. Sifat dan perilaku baik yang telah ada dalam diri manusia pada umumnya harus selalu dijaga dan dipupuk agar dapat selalu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap berani karena benar, percaya diri, jujur, bijaksana, bertanggung jawab, menghargai orang lain adalah sikap baik yang harus selalu ditumbuhkembangkan dalam diri individu peserta didik. Puisi merupakan salah satu media yang baik untuk menumbuhkembangkan perilaku dan sikap-sikap tersebut karena puisi merupakan karya seni yang imajinatif dan sarat dengan pesan-pesan moral. Pesan-pesan moral itulah merupakan nilai-nilai etis yang dapat direnungkan dan diimplementasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Daftar Pustaka Aminudin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press. Hasanuddin WS. 2002. Membaca dan Menilai Sajak (Pengantar Pengkajian dan Interpretasi). Bandung:Angkasa Mulyana. Yoyo. 2011. Pembelajaran bahasa dan Sastra Indonesia dalam Paradigma Membangun Karakter Pribadi dan Bangsa (Prosiding Seminar Nasional). Padang: Sukabina Press. Prodopo, Rachmat Djoko. 1993. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress. Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
16|
Silaswati, Diana. 2011. Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Melalui Kegiatan Pembelajaran Apresiasi Puisi (Prosiding Seminar Nasional). Padang: Sukabina Press. Teeuw, A. 1984. Karya Sastra sebagai Struktur: Strukturalisme dalam Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Waluyo, Herman J..1991. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:Erlangga
17|
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI’’ KARYA A.A NAVIS Nofiyanti STKIP Siliwangi Pos-el:
[email protected] Abstrak Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya, karena karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik dan mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma atau sering juga dinamakan “amanat”. Dengan demikian sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral. Pesan moral tersebut merupakan petunjuk tentang berbagai masalah kehidupan seperti, tingkah laku, sopan santun dalam pergaulan, dan sebagainya. Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A Navis ini adalah sebuah karya sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik pembangunnya, selain itu dalam cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran khususnya dalam pembentukan pendidikan karakter. Karena dalam cerpen tersebut mengandung nilai-nilai moral. Kata kunci : Pendidikan karakter, Cerpen, Robohnya Surau kami Abstract Short stories as one type of literary works can provide benefits ideas to the reader, because good literary works always give the message to the reader to do well and invites them to uphold norms or often also called "Amanat". Thus literature is considered as a means of moral education. The moral message is an indication of the variety of life issues such as, behavior, manners, and so on. Based on the analysis of existing intrinsic element in the short story "Robohnya Surau Kami" by AA Navis is a literary work (short stories) are attractive and interactive. Inthe intrinsic elements the reader can recognize the moral value of the story which is related with learning materials, especially in the formation of character education. Keywords: character education, Short Story, Robohnya Surau Kami
PENDAHULUAN Karya sastra merupakan hasil dari daya cipta, karsa manusia yang dimana mengandung nilai seni yang tinggi. Dalam penciptaan karya sastra, seorang seniman/ penyair tidak menciptakannya hanya asal-asalan. Melainkan membutuhkan usaha yang keras baru bisa menghasilkan sebuah karya yang bermutu. Selain itu, banyak aspek yang dipertimbangkan dalam pembuatan karya sastra. Misalnya aspek keindahan, nilai guna/manfaat. Karya sastra berfungsi sebagai gambaran kehidupan manusia dari generasi ke generasi lain dan dari satu zaman ke zaman berikutnya. Seorang penulis yang baik akan berusaha mendekati kehidupan dengan menghasilkan karya sastra yang bermakna. Dengan karya sastra pembaca akan memperoleh pemikiran dan pengalaman-pengalaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupannya. Oleh sebab itu banyak sekali karya sastra yang mencerminkan kehidupan masyarakat di sekitar kita 18|
Melalui karya sastra dapat diketahui eksistensi kehidupan suatu masyarakat di suatu tempat pada suatu waktu meskipun hanya pada sisi-sisi tertentu. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, bahwa sastra merupakan cerminan dan ekspresi tentang kehidupan dan pengarang mengekspresikan pengalaman dan pandangan tentang hidup, walaupun pada sisi lain harus diakui sastra bersifat otonom yang tidak mesti dihubungkan dengan realitas. Karya sastra terlahir dari pandangan hidup suatu masyarakat. Karena pengarang bagian dari masyarakat di dalam karya sastra yang dihasilkan terkandung pula nilai-nilai yang dianut oleh masyarakt tertentu. Dengan demikian, terdapat hubungan yang tidak langsung antara pengarang dan pembaca. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud menyampaikan informasi, gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca. Sesuatu yang disampaikan itu biasanya merupakan gagasan tentang kehidupan yang ada disekitar pengarang. Cerpen adalah salah satu contoh diantara sekian banyak karya sastra saat ini. Cerita pendek (cerpen) sebagai salah satu jenis karya sastra ternyata dapat memberikan manfaat kepada pembacanya. Di antaranya dapat memberikan pengalaman pengganti, kenikmatan, mengembangkan imajinasi, mengembangkan pengertian tentang perilaku manusia, dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Pengalaman yang universal itu tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia bisa berupa masalah perkawinan, percintaan, tradisi, agama, persahabatan, sosial, politik, pendidikan, dan sebagainya. Menurut Suryadi (2007, hlm.54), cerita pendek adalah sebuah narasi fiksi yang panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus daripada novelet, apalagi novel. Karena
cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini
tergolong singkat, biasanya cerita pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan karakter yang tunggal, atau hanya beberapa. Berangkat dari realitas imajinatif, suatu cerita pendek merupakan penceritaan yang dilakukan pengarang terhadap sesuatu hal. Di dalam cerita pendek ini terkandung permasalahan yang muncul, perkembangan dari permasalahan yang terjadi dan biasanya disertai pengakhiran terhadap permasalahan itu. Kekreatifan seorang pengarang cerita pendek
dengan sendirinya terletak pada kepekaan terhadap
permasalahan, cara yang dipakai untuk mengangkat dan merangkai permasalahan itu ke dalam cerita, keahlian dalam menjaga runtutan cerita tentang permasalahan itu serta kecerdikan dalam mengakhiri cerita yang dihadirkannya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengembangkan, menyuburkan, dan mengakarkan pendidikan karakter adalah mengoptimalkan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Melalui pembelajaran apresiasi sastra yang optimal, siswa didik akan dibawa pada situasi pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan, menilai, menemukan, 19|
dan mengkonstruksi materi ajar yang mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar yang mereka temukan. Salah satu materi pembelajaran apresiasi sastra yang penting dan strategis untuk menumbuhkembangkan pendidikan karakter adalah cerpen. Melalui pembelajaran apresiasi cerpen yang optimal, siswa didik secara tidak langsung akan mendapatkan nutrisi dan gizi batin yang akan mampu memberikan imbas positif terhadap perkembangan kepribadian dan karakter mereka. Dengan cerpen, hati dan perasaan anak-anak akan terlibat secara intens dan emosional ke dalam teks cerpen yang mereka pelajari, sehingga kepekaan nurani mereka menjadi lebih tersentuh dan terasah. Dengan cara demikian, tanpa melalui pola instruksional dan indoktrinasi yang monoton dan membosankan, anak-anak secara tidak langsung akan belajar mengenal, memahami, dan menghayati berbagai macam nilai kehidupan, untuk selanjutnya mereka aplikasikan dalam ranah kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis cerpen karya A.A Navis ini dengan menggunakan pendekatan struktural. Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur karya satra dari dalam. Pendekatan struktural bertujuan memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan, mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Membaca cerpen berupa nilai-nilai dalam hal ini adalah nilai pendidikan karakter yang digunakan sebagai cermin atau perbandingan dalam kehidupan. Sedangkan dipilihnya cerpen karya A.A. Navis karena cerpen robohnya surau kami memiliki keistimewaan yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A.Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Sang Maha Pencipta. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA A.A NAVIS Pendidikan karakter, cerpen, cerpen robohnya surau kami, pendekatan struktural merupakan dasar dalam kajian teori ini. Oleh karena itulah, untuk memperjelas dasar-dasar tersebut, berikut ini diuraikan mengenai teori keempat hal tersebut. 1. Cerpen Berangkat dari realitas imajinatif, suatu cerita pendek merupakan penceritaan yang dilakukan pengarang terhadap sesuatu hal. Di dalam cerita pendek ini terkandung permasalahan yang muncul, perkembangan dari permasalahan yang terjadi dan biasanya 20|
disertai pengakhiran terhadap permasalahan itu. Kekreatifan seorang pengarang cerita pendek dengan sendirinya terletak pada kepekaan terhadap permasalahan, cara yang dipakai untuk mengangkat dan merangkai permasalahan itu ke dalam cerita, keahlian dalam menjaga runtutan cerita tentang permasalahan itu serta kecerdikan dalam mengakhiri cerita yang dihadirkannya. Menurut Suryadi (2007, hlm.54), cerita pendek adalah sebuah narasi fiksi yang panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus daripada novelet, apalagi novel. Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini tergolong singkat, biasanya cerita pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan karakter yang tunggal, atau hanya beberapa. Begitu pun Nurgiyantoro (1994, hlm.10), menurutnya sesuai dengan namanya, cerita pendek merupakan cerita yang pendek. Pendek dalam arti, cerita ini dapat dibaca dalam sekali duduk, dalam waktu antara setengah sampai dua jam.Selanjutnya berkenaan pengertian cerita pendek di atas, dapat diketahui unsur-unsur yang membangun cerpen. Adapun unsur intrinsik yang membangun cerpen adalah tema, alur, tokoh/ penokohan, latar, gaya, sudut pandang dan amanat.
2. Pendidikan karakter Cerpen sebagai sebuah karya sastra di dalamnya mengandung nilai-nilai sastra seperti digambarkan menurut Darma (1981, hlm.6) bahwa karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini dinamakan “moral”. Sering juga dinamakan “amanat”. Maksudnya sama, yaitu sastra yang baik selalu mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian sastra dianggap sebagai sarana pendidikan moral. Pesan moral tersebut merupakan petunjuk tentang berbagai masalah kehidupan seperti, tingkah laku, sopan santun dalam pergaulan, dan sebagainya. Pesan moral yang bersifat praktis merupakan petunjuk yang dapat ditampilkan atau ditemukan modelnya dalam kehidupan nyata. Hikmah yang diperoleh pembaca dalam karya sastra selalu dalam pengertian baik. Jika karya sastra menampilkan isi dari tokoh yang kurang terpuji, tidak berarti pengarang atau penulis menyarankan pembacanya untuk bersikap dan bertindak demikian, tetapi ditampilkan agar tidak diikuti dan ditiru oleh pembaca. Berkaitan dengan nilai moral di atas, Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan panduan dalam mengidentifikasi nilai moral. Menurut Miskawaih (1994, hlm.46-50) menyatakan bahwa indikator moral dimaksud dalam kajian ini adalah prinsip-prinsip moral yang menentukan kriteria benar salahnya sesuatu teori. Standar nilai moral seperti yang dikemukakan adalah sebagai berikut ini. 21|
No. 1.
Kategori moral Kearifan
Bentuk a. Pandai
Karakteristik Cepat mengambil kesimpulan
b. Ingat
Menetapkan gambaran tentang apa yang diserap oleh jiwa
c. Berpikir
Upaya mencocokan objek-objek yang dijajaki oleh jiwa untuk menyimpulkan
d. Kejernihan
apa
yang
dikehendaki. Kesiapan jiwa untuk berpikir
e. Ketajaman/
dan menyimpulkan apa yang
kekuatan otak
dikehendaki Kemampuan
jiwa
untuk
merenungkan pengalaman yang telah lewat 2.
Kesederhanaan
a. Rasa malu
Tindakan menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak senonoh Kehati-hatian
b. Tenang
menghindari
celaan dan hinaan Kemampuan untuk menguasai
c. Sabar
diri ketika dilanda gejolak nafsu Tegarnya
diri
terhadap
gempuran hawa nafsu, tidak d. Dermawan
terjebak
oleh
kenikmatan
Menyedekahkan
harta
duniawi. e. Integritas
seperlunya kepada yang berhak. f. Puas
Kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta dijalan
g. Loyal
yang benar. Tidak berlebihan dalam makan, minum dan berhias 22|
h. Berdisiplin
Sikap jiwa yang tunduk kepada hal-hal terpuji Bersemangat dalam mencapai kebaikan
i. Optimis
Kondisi
jiwa
yang
menilai
segalanya dengan benar dan j. Kelembutan
mentaatinya dengan benar Keinginan
melengkapi
jiwa
dengan moral mulia k. Anggun l. Berwibawa
Lembut hati sampai ke jiwa dari watak
yang
bebas
dari
kegelisahan m. Wara Ketegaran
jiwa
dalam
menghadapi tuntutan duniawi Pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik untuk mencapai kesempurnaan jiwa 3.
Keberanian
a. Kebesaran jiwa
Meninggalkan
persoalan-
persoalan yang penting dan yang tak penting serta mampu menanggung
b. Tegar
kehormatan/
kehinaan Kepercayaan
c. Ulet
menghadapi
d. Tenang
menakutkan
diri
dalam
hal-hal
yang
Bersungguh-sungguh Kesiapan
jiwa
dalam
menghadapi nasib baik dan nasib e. Tabah
buruk,
sekalipun
kesulitanya menyertai kematian Kebajikan
jiwa
membuat 23|
seseorang mencapai ketenangan f. Menguasai diri
jiwa Tidak mudah dirasuki bisikanbisikan
yang
mendorongnya
melakuakan kejahatan g. Perkasa
Tidak mudah dilanda marah Kemampuan mengendalikan diri dalam
menghadapi
situasi-
situasi gawat Kemampuan
melakukan
pekerjaan-pekerjaan dengan
harapan
besar memperoleh
reputasi baik. 4.
Keadilan
a. Bersahabat
b. Bersemangat c. Sosial
Cinta
yang
tulus,
memperhatikan
orang,
memperhatikan
masalah-
masalah sahabatnya Berupaya
seragam
dalam
pendapat dan keyakinan Bergotong royong d. Silahturahmi Berbagi
kebaikan
duniawi
kepada kerabat dekat e. Memberi imbalan
Membalas
kebaikan
dengan
kebaikan yang sama atau lebih f. Baik dalam bekerjasama
Mengambil dan memberi dalam berbisnis dengan adil, sesuai
g. Kejelian dalam
kepentingan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
memutuskan persoalan
Tepat
dan
adil
dalam 24|
h. Cinta
memutuskan persoalan diringi
rasa
tanpa
menyesal
dan
mengungkit-ungkit Mengharapkan
cinta
dari
mereka yang dianggap puas dengan i. Beribadah /taqwa
cara
hidup
yang
dicapainya, juga dari mereka yang
dianggap
orang-orang
mulia dengan cara bermanis muka
serta
melakukan
perbuatan-perbuatan
yang
mengundang simpati mereka Mengagungkan
asma
Ilahi
Taala, memuji-Nya, patuh dan tunduk pembela-Nya. Standar nilai moral yang dikemukakan oleh Miskawaih selaras dengan nilai-nilai moral pancasila sebagai acuan kehidupan bangsa Indonesia. Sesungguhnya nilai moral itu berakar dalam sifat manusia itu sendiri. Kosasih (1999, hlm.130-131) menemukan beberapa nilai moral yaitu (a) keberanian, (b) Ketaqwaan, (c) kesatriaan, (d) kesetiaan, (e) persahabatan, (f) hormat pada orang tua, (g), kasih sayang orang tua terhadap anak, (h) kesabaran, (i) kemanusiaan, (j) kedermawanan, (k) kesederhanaan, (l0 kepemimpinan. Selanjutnya berkenaan dengan standar nilai moral diatas, menurut Rahmanto (1988, hlm.24) menjelaskan bahwa dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukan karakter siswa. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam dibandingkan dengan pelajaranpelajaran lainnya. Sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti misalnya: kebahagiaan, kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri sampai pada kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjukkan hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Kedua, pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan
25|
bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang anatara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian dan penciptaan.
3. Pendekatan struktural dalam menganalisis cerpen Analisis struktural karya sastra, yang dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar unsur intrinsik fiksi yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, penokohan dan tokoh, latar, sudut pandang, dengan demikian, pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Selanjutnya berkaitan dengan pendekatan struktural di atas, menurut Nurgiyantoro (2010, hlm.37), adapun langkah-langkahdalam menerapkan teori strukturalisme adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasikan unsur-unsur instrinsik yang membangun karya sastra secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar dan alur; 2) Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 3) Mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 4) Menghubungkan masing-masing unsure sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur dalam sebuah karya sastra; 5) Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam analisis karya sastra, dalam hal ini cerpen, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan kemudian menghubungkan antar unsur instrinsik yang bersangkutan. 4. Telaah cerpen “ Robohnya SurauKami” karya A.A Navis dengan menggunakan pendekatan struktural Unsur intrinsik pada cerpen “Robohnya Surau Kami‟ karya A.A Navis 1) Tema adalah makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita. Dalam karyanya pengarang bukan hanya ingin bercerita, namun ada sesuatu yang ingin disampaikan kepada pembaca. Sesuatu yang ingin dikatakannya ini bisa masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau kornentar tentang kehidupan ini. Tema cerpen Robohnya Surau Kami terletak pada persoalan batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Dibuktikan pada kutipan berikut: “Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wata‟ala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka…. Tak ku 26|
pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya. Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. “Alahamdulillah” kataku bila aku menerima karuniaNya. “Astaghfirullah” kataku bila aku terkejut. ” Masa Allah bila aku kagum.” Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.” Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai berikut. “Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri, melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.” 2) Alur adalah struktur naratif bagi sebuah cerita dan harus dapat menjalankan tugasnya dalam menyelaraskan gagasan hingga menjadi kesatuan yang bulat dan jelas didalam aspek pengisahan suatu cerita. Sebuah cerita akan berhasil apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa yang disusun dalam rangkaian sebab akibat, karena kewajarannya, kejadian-kejadian dalam cerita itu menjadi hidup dan dapat diterima akal.
Alur yang dipakai dalam cerpen Robohnya Surau Kami yaitu alur maju dan mundur, dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah tersebut diceritakan, dan juga menceritakan tentang sebab meninggalkan seorang kakek penjaga surau dan kemudian menceritakan kembali lanjutan kisah tersebut. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.… Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua…. Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang Tua…. Orang-orang memanggilnya kakek… Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal…. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahny. Dan besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk. “Siapa yang meninggal?” Tanyaku kaget. “Kakek. “Kakek?” 3) Tokoh/ penokohan adalah tokoh dapat dijelaskan sebagai pelaku yang bertindak tau beraksi yang berfungsi sebagai penggerak tema dan persoalan dalam sebuah karya sastra. tokohlah yang berfungsi sebagai pengembang tema dan persoalan yang menjadi pemikiran atau renungan pengarang. Selain manusia, tokoh juga boleh diisi oleh binatang atau apa saja yang dapat menggerakkan suatu cerita. Sedangkan penokohan 27|
merupakan sifat-sifat atau keadaan yang digambarkan oleh pengarang melalui tokoh ciptaannya. Penokohan ini boleh bersifat lahiriah seperti melukiskan bentuk badan ataupun batiniah seperti menggambarkan sikap dan emosi. a. Tokoh aku Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya “tokoh aku” ini, kita bisa mengetahui bahwa kisah si Kakek yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur. Pengarang menggambarkan tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya pada kakek lagi: “Apa ceritanya, kek ?” Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi kakek : “Bagaimana katanya, kek ?” “Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia. b. Tokoh kakek Tokoh ini merupakan tokoh sentral. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang lain, pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cerita/bualan Ajo Sidi. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia mudah termakan omongan Ajo Sidi, sehingga dia bisa membenahi kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia lebih mengambil jalan pintas yaitu memilih untuk bunuh diri.Gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri melalui ucapanya sendiri, dibuktikan pada kutipan seperti berikut: “ Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupku… c. Tokoh Ajo sidi Tokoh ini sangat istimewa dan sangat berpengaruh. Tokoh ini tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini. Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena 28|
Ajo sidi mampu mengikat orang-orang dengan bualanya yang aneh sepanjang hari, siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Dibuktikan pada kutipan berikut ini: ….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari”.
d. Tokoh Haji Saleh Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Secara jelas terlihat watak tokoh ini digambarkan sebagai orang terlalu mementingkan diri sendiri. 4) Latar adalah landas tumpu menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang yang diceritakan. a. Latar tempat : Latar tempat yang ada dalam cerpen ini adalah: di kota, dekat pasar, di surau, di akhirat, kolam, dan sebagainya. Dibuktikan pada kutipan: “Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi. b. Latar waktu Latar waktu yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti tergambarkan pada kutipan sebagai berikut. “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang ….” Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kebencian yang bakal roboh ……… Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek “Sedari mudaku aku di sini, bukan ?….” 5) Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuangkan makna dan suasanadapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Pada cerpen ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan dalam cerpen ini agama Islam, seperti kata garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Neraka, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba29|
Mu, kitab-Mu, Malaikat, dan sebagainya. Majas yang digunakan dalam cerpen ini diantaranya majas alegori, parabola, dan sinisme. 6) Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita, hal ini tergambarkan pada kutipan berikut ini: Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar…. Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang…. 7) Amanat adalah suatu saran yang berhubungan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis yang dapat diambil lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis adalah: a)
Jangan cepat marah kalau ada orang yang mengejek atau menasehati kita karena
ada perbuatan kita yang kurang baik di hadapan orang lain. Amanat ini dibuktikan pada kutipan: “Marah ? Ya, kalau aku masih muda, tetapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadahku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadah bertawakkal kepada Tuhan .…” b)
Jangan cepat bangga akan perbuatan baik yang kita lakukan karena hal ini bisa saja
baik dihadapan manusia tetapi belum tentu baik di hadapan Tuhan itu. Dibuktikan pada: “Alangkah tercengangnya Haji Saleh, karena di Neraka itu banyak teman-temannya didunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan tambah tak mengerti lagi dengan keadaan dirinya, karena semua orang-orang yang dilihatnya di Neraka itu tak kurang ibadahnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai 14 kali ke Mekkah…. c) Jangan menyia-nyiakan apa yang kamu miliki, dibuktikan pada kutipan: “…, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua, sedang harta bendamu kau biarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas, kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. … d) Jangan mementingkan diri sendiri, karena hidup perlu bersosialisasi/ menjaga silahturahmi dengan sesamanya. Dibuktikan pada bagian: ”…. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. 30|
Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang, tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. 5. Nilai – Nilai Pendidikan Karakter yang terdapat pada cerpen “Robohnya Surau Kami‟ karya A.A Navis 1. Taat beribadah/ taqwa, hal ini tergambarkan dalam ketaatan tokoh kakek dalam beribadah, 2. Loyal, sikap jiwa yang tunduk kepada hal-hal terpuji, hal ini tergambarkan pada ketakutan tokoh kakek melakukan sesuatu yang dapat merusak ibadahnya 3. Sabar, hal ini tergambarkan sifat sabar dan tawakal dari tokoh kakek 4. Ikhlas, tergambar dalam sifat ikhlas yang dimiliki tokoh kakek terlihat dalam keredhoannya membantu mengasah pisau tanpa mengharapkan upah, 5. Wara, hal ini terlihat dalam tokoh haji Soleh yang selalu menghentikan larangan Allah dengan tidak pernah berbuat jahat, 6. Larangan menyombongkan diri 7. Ulet, bersungguh-sungguh untuk berusaha di dunia dan di akhirat 8. Silahturahmi, Berbagi kebaikan duniawi kepada kerabat/ sesama, hidup harus bersosialisasi jangan mementingkan diri sendiri/ persaudaraan dengan sesama/ saling peduli dengan sesama 9. Tabah dan tenang, bisa menguasai diri, jangan cepat marah, kita harus tenang dalam menghadapi masalah, sehingga tidak boleh untuk melakukan bunuh diri. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah sebagai berikut: a) Tema: tema dalam cerpen ini adalah persoalan batin kakek setelah mendengar bualan Ajo Sidi; b) latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat dan latar waktu; c) alur yang ada dalam cerpen ini adalah alur maju dan mundur; d) tokoh yang ada dalam cerpen ini adalah tokoh Aku, tokoh Kakek, tokoh Ajo sidi dan tokoh Haji Saleh; e) gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bidang keagamaan (Islam) seperti kata garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah, Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Neraka, Tuhan, beribadat menyembah-Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, dan sebagainya; f) sudut pandang yang digunakan cerpen Robohnya Surau Kami pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagai tokoh utama sebab secara langsung pengarang terlibat di 31|
dalam cerita; dan g) amanat yang ada dalam cerpen ini adalah jangan cepat marah, jangan menyi-nyiakan apa yang kamu miliki, jangan sombong/ berbangga hati, dan jangan mementingkan diri sendiri. Cerpen “Robohnya Surau Kami karya A.A Navis” ini adalah sebuah karya sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik pembangunnya, selain itu dalam cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran khususnya dalam pembentukan pendidikan karakter. Karena dalam cerpen tersebut mengandung nilai-nilai moral.
Daftar Pustaka Aminudin. (2004). Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Badudu, J.S. (1984). Sari Kesustraan Indonesia 1. Bandung: CV Pustaka Prima. Darma, Budi. (1981). Moral dalam sastra, Pidato Ilmiah. Surabaya. IKIP. Djahiri, A. Kosasih. (1989). Teknik Pengembangan Program Pengajaran Pendidikan Nilai Moral. Bandung: Lab. PMPKn. FPIPS IKIP Bandung. Miskawaih, Ibn. (1994). Menuju Kesempurnaan Akhlak (terjemahan). Bandung: Mizan Navis, A.A. (2010). Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Noor, Redyanto. (2004). Pengantar Pengkajian Sastra. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Nurgiyantoro, Burhan. (1998). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Rahmanto, B.(1988). Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
32|
BUDAYA KONTEKS TINGGI: STUDI KASUS BUDAYA INDONESIA DAN CHINA Meli Universitas Sun Yat-Sen, Guangzhou, Provinsi Guangdong, China Pos-el:
[email protected] Abstrak Diberlakukannya pasar bebas menyebabkan peran komunikasi lintas-budaya sangat penting. Dunia sebagai pasar global membuat transaksi perekonomian menjadi tanpa batas ruang dan waktu. Untuk itu dibutuhkan keterampilan komunikasi lintas-budaya yang efektif untuk dapat berhasil dalam persaingan global. Perbedaan budaya memberikan tantangan yang unik dan sering mengakibatkan kesalahpahaman. Komunikasi lintas-budaya ini penting karena dalam interaksi sosial sehari-hari, paparan budaya yang berbeda tidak bisa dihindari. Di dalam komunikasi biasa antara dua orang, adalah 35% komponen verbal, sedangkan 65% terjadi secara non-verbal (Ray L. Birdwhistell, 1969) 1). Negara Indonesia dan China termasuk negara yang berbudaya konteks tinggi, namun masih saja ada beberapa faktor budaya di antara keduanya yang berbeda, yang juga menjadi ciri khas masingmasing. Dalam artikel ini akan dijelaskan beberapa budaya khas, khususnya yang berkaitan dengan komunikasi lintas budaya di antara keduanya yang memiliki persamaan ataupun perbedaan, baik verbal maupun non-verbal. Kata kunci: budaya konteks tinggi, China, Indonesia, komunikasi, lintas-budaya.
Abstract Enactment of the free market lead role of cross-cultural communication is very important. The world as a global market makes economic transactions become infinite space and time. That requires crosscultural communication skills effective to be able to succeed in global competition. Cultural differences present unique challenges and often lead to misunderstandings. Cross-cultural communication is important because in everyday social interaction, exposure to different cultures can not be avoided. In the normal communication between two people, the verbal component is 35%, while 65% occurred in non-verbal (Ray L. Birdwhistell, 1969) 1). Indonesia and China is State, including the cultural context of the high country, but still there are some cultural factors between the two are different, which is also a characteristic of each. In this article will explain some typical culture, particularly with regard to cross-cultural communication between the two which have similarities or differences, both verbal and non-verbal.
Keywords: high-context culture, China, Indonesia, communication, cross-cultural. PENDAHULUAN Kerja sama di berbagai bidang antara negara Indonesia dan China makin hari makin erat. Dalam hal penanaman modal asing, nilai investasi negara China di Indonesia semakin meningkat, pada tahun 2011 bernilai 128,2 juta dolar AS, tahun 2012 bernilai 141 juta dolar AS dan pada triwulan pertama tahun 2013 bernilai 60, 2 juta dolar AS. 1 Dalam bidang pendidikan, kian banyak orang Indonesia yang ingin belajar bahasa Mandarin (lihat pertumbuhan jumlah pelajar Indonesia yang menempuh pendidikan pada tabel 1) dan 1
Sumber: http://www.kemendag.go.id/ko/news/2013/05/03/-nilai-perdagangan-ri-china-ditargetkan-usd80-miliar, diakses 16 Juni 2013. 33|
sebaliknya makin banyak orang China ingin mempelajari bahasa Indonesia. Dalam hubungan interaksi tersebut akan terjadi proses komunikasi baik verbal maupun non-verbal. Untuk dapat memahami lawan bicara, ada baiknya kita juga mempelajari budaya dari lawan bicara kita. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi atau menghindari kesalahpahaman. Tahun
Jumlah
Peringkat negara 2010 9.539 7 2011 10.957 7 2012 13.144 6 Tabel 1: Jumlah pertumbuhan pelajar Indonesia di China Tahun 2010-20122 Yang dimaksud dengan k orang China dalam tulisan di sini adalah orang China asli yang lahir dan dibesarkan di negara China, yang sebagian besar penduduknya bersuku bangsa Han. Yang dimaksud dengan kebudayaan China adalah kebudayaan China yang kebudayaannya juga terus berkembang sejalan waktu dan karena politik pintu terbukanya telah membuat sebagian kecil dari kebudayaannya mengadopsi budaya asing terutama dari barat. (tidak termasuk orang dan kebudayaan China peranakan yang sudah mengasimilisasi kebudayaan lokal Indonesia). PEMBAHASAN Budaya "Budaya" dalam bahasa inggris “culture” berasal dari kata Latin “cultura”, yang dalam arti luasnya adalah aktivitas interaksi manusia. Untuk mempelajari komunikasi lintas-budaya kita harus mempelajari pengetahuan tentang budaya, lalu menggunakannya untuk menafsirkan pengalaman perilaku sosial yang terjadi dalam masyarakat. Pengetahuan ini berbentuk nilai, perilaku yang tercipta serta pengaruh bersikap. Kebanyakan sarjana setuju dengan karakteristik budaya yang disimpulkan oleh Richard M Hodgetts dan Fred Luthans di bawah ini3: 1. Pelajaran. Budaya tidak diwariskan secara fisiologis, didapatkan dari proses belajar dan pengalaman. 2. Berbagi. Manusia adalah bagian dari suatu kelompok, organisasi atau komunitas, bukan individu tunggal tertentu. 3. Akumulasi lintas-budaya, dari generasi ke generasi. 2
Sumber : China Association for International Education (CAFSA). http://www.cafsa.org.cn, diakses 16 Juni 2013. Hodgetts Richard M , Fred Luthans, " International Management: Culture Strategy and Behavior ", New York: Mc. Graw Hill, th 2003- 5 ed, hal:108. 34| 3
4. Simbolis. Dasar dari budaya adalah kemampuan manusia menggunakan simbol atau sesuatu mewakili hal lainnya. 5. Ada pola. Berstruktur dan terpadu: perubahan pada satu bagian akan membawa perubahan lainnya. 6. Adaptif. Budaya didasarkan pada kemampuan manusia untuk mengubah atau menyesuaikan diri, tidak seperti proses adaptif hewan yang didorong sifat genetiknya. Pola budaya Pola budaya atau orientasi budaya pertama kali diperkenalkan Ruth Bennedict (1934), ia mencatat bahwa budaya ditampilkan sesuai dengan cara hidup manusia, melalui identitas budaya yang unik. Dia mengatakan bahwa sekelompok orang akan menciptakan konfigurasi khusus dari budaya mereka dan membuat atribut budaya yang unik. Pola budaya tidak bisa dilihat atau dialami, karena termasuk didalamnya adalah pikiran, gagasan, dan bahkan filsafat kebijaksanaan manusia. Pola budaya biasanya terbentuk dari nilai-nilai, keyakinan atau kepercayaan dan norma (aturan). Ada enam dasar perbedaan budaya menurut DuPraw (2001)4, yaitu: 1. corak komunikasi yang berbeda; 2. sikap yang berbeda terhadap konflik; 3. pendekatan yang berbeda dalam menyempurnakan tugas; 4. corak pengambilan keputusan yang berbeda; 5. sikap yang berbeda dalam menyingkap sesuatu; 6. pendekatan yang berbeda dalam mengetahui sesuatu. Keragaman budaya Ada banyak perbedaan budaya pada komunikasi budaya. Mungkin yang paling penting adalah budaya mempengaruhi pemikiran dan perilaku masyarakat. Berikut adalah beberapa contoh cara berjabat tangan di beberapa negara (Richard M Hodgetts dan Fred Luthans, hlm. 109) Amerika Serikat Asia
Inggris
kuat lembut (bagi sebagian orang, jabat tangan bukan kebiasaan yang akrab dan nyaman, pengecualian adalah negara Korea Selatan, yang biasanya memiliki jabat tangan erat) lembut
4
Liliweri, Alo, Prasangka & konflik: Komunikasi Lintas sektor masyarakat multikultur "prasangka dan konflik: masyarakat multi-budaya, komunikasi antar budaya", Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara penerbitan, 2005. Hal:376. 35|
Perancis
ringan dan cepat (tetapi tidak untuk atasan mereka), diulang pada saat kedatangan dan keberangkatan Jerman cepat dan tegas, diulang pada saat kedatangan dan keberangkatan. Amerika latin sedang; sering diulang Timur Tengah lembut; sering diulang Sekarang kita bandingkan salah satu dimensi dalam orientasi hubungan budaya “Trompenaars” yang membedakan budaya Indonesia dan China di bawah ini5: Gambar 1
Dalam dimensi budaya hubungan netral dan emosional, dipetakan bahwa orang China mempunyai orientasi yang emosional sedangkan orang Indonesia berorientasi netral. Orang yang berorientasi budaya emosional akan mengekpresikan emosinya secara terbuka dan alami, misal apabila sukses akan banyak tersenyum, berbicara keras ketika bersemangat. Seperti yang dikemukan Bo Yang (Allen & Unwin, 1992, hlm. 44-45), orang-orang China emosional, terlalu subyektif dan sering terpengaruh oleh suasana hati mereka. Orang China membuat penilaian hanya berdasarkan kesan dan pengalaman mereka sendiri. Walaupun China adalah negara besar, tapi masih banyak orang-orang China berpikiran sempit Ketika orang yang berasal dari negara berlatar belakang budaya emosional berhubungan dengan budaya netral, maka orang yang berbudaya emosional harus menyadari bahwa kurangnya ekspresi dari orang berbudaya netral tidak berarti bahwa mereka tidak tertarik atau bosan, sebaliknya yang berbudaya netral harus mencoba untuk dapat menanggapi lebih hangat ekspresi emosional dari rekan berbudaya emosional. Contoh kasus ketika di negara China dalam beberapa tahun ini mencuat kasus perebutan hak atas Pulau Diaoyu dengan Jepang, seluruh masyarakat China menunjukkan emosinya dengan sikap antipati terhadap orang Jepang, bahkan di beberapa kota terjadi penolakan dan pemukulan terhadap orang Jepang. kebencian orang China terhadap orang Jepang dipicu pula dengan peristiwa sejarah di masa lalu, di mana pada masa pendudukan Jepang tahun 1940-an terjadi pembantaian terhadap orang China. Sebaliknya jika hal ini terjadi di Indonesia,
5
th
Hodgetts Richard M , Fred Luthans, " International Management: Culture Strategy and Behavior ", Mc. Graw Hill, 2003- 5 ed, hal:126,128,132. 36|
meskipun sebagian kecil masih terlibat konflik (missal dengan negara Malaysia), akan tetapi sebagian besar masih memegang prinsip “diam adalah emas”. Komunikasi Komunikasi adalah salah satu disiplin ilmu tertua, baru berkembang akhir-akhir ini. Orang Yunani Kuno menempatkan teori dan praktek komunikasi sebagai sesuatu yang evaluatif. Sedangkan sekarang, arti komunikasi sudah bercampur aduk menjadi sesuatu yang aktif, berkaitan dengan ilmu sosial, seni bebas dan karir. Sesuai dengan ilmu etimologi, kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communicatus, communis” yang berarti 'berbagi' atau 'menjadi milik umum' yang berarti, tujuan komunikasi adalah kesatuan dan kesamaan. Terminologi untuk mengekspresikan komunikasi mengacu pada seseorang yang menyampaikan informasi kepada orang lain dalam suatu proses. Jadi dalam pengertian ini, komunikasi melibatkan manusia. Menurut Ruben dan Steward (1998, hlm. 16) interpretasi komunikasi interpersonal adalah "proses yang melibatkan individu-individu baik secara pribadi, dalam kelompok, organisasi, dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dan pembentukan informasi dalam rangka beradaptasi satu sama lain." Untuk memahami makna komunikasi, sarjana komunikasi sering mengutip paradigma Harold Lasswell (1948). Dalam karyanya "The structure and function of communication in society". Lasswell mengatakan, proses komunikasi sederhana adalah komunikator membuat pesan, dan melalui media, komunikan menerima pesan tersebut yang kemudian menyebabkan efek tertentu. Perkembangan teknologi informasi dan navigasi turut mendorong kemajuan pasar global modern. Zaman sekarang manusia dimungkinkan untuk melakukan segalanya tanpa batas ruang antar negara dengan cepat dan efisien. Dunia telah menjadi pasar global dengan berbagai budaya yang berbeda, Namun, budaya yang berbeda biasanya dapat menjadi penghalang. Sehingga pada era globalisasi ini, keterampilan dan pemahaman komunikasi lintas-budaya sangat penting. Komunikasi lintas-budaya adalah proses komunikasi antara manusia dalam budaya yang berbeda (baik ras, etnis, atau sosial ekonomi), SEPINTAS MENGENAI BUDAYA KONTEKS TINGKAT TINGGI DAN RENDAH HCC DAN LCC Antropolog Edward T. Hall (1976) mengusulkan sebuah teori tentang budaya konteks tinggi dan rendah. Teori ini membantu kita untuk lebih memahami pengaruh kuat dari budaya terhadap komunikasi. Menurut cara orang berkomunikasi, Hall telah membaginya menjadi budaya konteks tinggi dan budaya konteks rendah. Budaya konteks tinggi (HCC ) memiliki 37|
tingkat kesulitan yang lebih tinggi dalam menyampaikan pesan, termasuk di dalamnya adalah kebanyakan negara di Timur Tengah, Asia, Afrika, dan beberapa negara Amerika Selatan. Pada budaya konteks tinggi pesan-pesan nonverbal memainkan peranan yang penting dan kebanyakan makna sebuah pesan diinternalisasi oleh pendengar atau tergantung pada konteks. Budaya ini menganggap penting ketidaklangsungan dalam pembicaraan karena pendengar diharapkan untuk lebih tidak memerhatikan kode eksplisit dibandingkan makna yang dipahami melalui petunjuk nonverbal dan konteks. Sebaliknya, budaya konteks rendah, termasuk didalamnya sebagian besar negara-negara di Amerika Utara dan Eropa Barat, makna ditemukan dalam kode atau pesan yang eksplisit. Berbicara secara langsung dan apa adanya dianggap bernilai. Pendengar diharapkan memahami makna berdasarkan hanya pada kata-kata yang digunakan pembicara. Berikut ini adalah perbedaan latar belakang budaya yang mendasari budaya konteks tinggi dan rendah: a. Struktur masyarakat Budaya tinggi cenderung berstruktur feodal tinggi, budaya rendah mempunyai hubungan yang lebih intim dan kesetaraan. b. Penyampaian informasi Budaya tinggi biasanya menggunakan ekspresi non-verbal, seperti alegori dan metafora, memutar gaya bahasa sering tidak pada tujuannya langsung, tidak jelas. Gaya komunikasi konteks tinggi mencerminkan hirarki sosial dan gaya hidup. Berbicara yang sopan dianjurkan untuk menjaga keharmonisan masyarakat. dibandingkan budaya konteks rendah, orang dari konteks budaya tinggi jarang berbicara, seperti pepatah filsuf China Laozi ”zhizhe bu yan, yanzhe bu zhi”6 yang artinya kurang lebih adalah orang yang bijaksana tidak akan sembarangan berbicara, karena orang yang sembarangan bicara adalah orang yang tidak berwawasan. Orang-orang dari budaya konteks rendah menggunakan nilai logika, fakta, benar-benar jelas, pasti, dan hubungan kausal yang langsung sehingga mudah dimengerti, tidak menggunakan kondisi yang kompleks dan sulit dimengerti. Informasi yang disampaikan secara garis besar sudah cukup. Diam dipandang sebagai hal yang negatif, dan harus dihindari. c. Membangun hubungan antar personal Budaya tinggi bersandar pada aspek hubungan, kolektivisme, intuitif dan kontemplasi. Orang dalam budaya konteks tinggi diatur oleh intuisi dan perasaan. Kata-kata dianggap tidak begitu penting sebagai konteks, yang termasuk didalamnya adalah nada bicara, ekspresi
6
Sumber: Kitab Dao De, Bab 56 (道德经,第五十六章:知者不言,言者不知) 38|
wajah, gerak tubuh, postur tubuh bahkan sejarah dan status keluarga. Bahasa yang beretorika dan rendah hati serta sering meminta maaf adalah tipe orang dari budaya ini. Ini berarti bahwa orang dalam budaya ini menekankan hubungan interpersonal. Mengembangkan kepercayaan merupakan langkah penting yang pertama dalam setiap komunikasi dan hubungan. Budaya konteks rendah lebih logis, linier, individualis, dan berorientasi pada tindakan. d. Masalah legal dan etika yang berbeda Budaya tinggi lebih menitikberatkan perhatian pada perjanjian lisan, sedangkan budaya rendah pada kesepakatan tertulis. Dalam budaya konteks tinggi orang dinyatakan bersalah sejak dari penangkapan oleh polisi sampai proses di pengadilan, sementara dalam budaya rendah sebelum hakim di pengadilan menyatakan bersalah maka status hukum orang tersebut tidak diumumkan. e. Perbedaan dalam aspek-aspek sosial Berdasarkan aspek sosial, dibagi menjadi empat bagian, yaitu: konsep materi, peran dan status, kesopanan, serta konsep waktu, seperti di bawah ini: a) Konsep materi. Budaya konteks tinggi: mendapat pekerjaan lebih penting daripada bekerja secara efektif. Budaya konteks rendah: berorientasi tujuan, materi berasal dari kemampuan individu. b) Karakter dan status Pada budaya konteks tinggi, menyapa atasan atau orang yang berkedudukan lebih tinggi harus dengan hormat. Status sosial sangat penting, bahkan dalam hubungan di dalam dan di luar pekerjaan. Hubungan antara atasan dan bawahan harus jelas, sering kali ada jarak. Pada budaya konteks rendah, menyapa atasan tidak perlu dengan hormat, hubungan antara atasan dan bawahan terbuka, tidak ada perbedaan. Di luar jam kerja, atasan dan bawahan tidak membawa status pekerjaan mereka, bahkan bisa menjadi teman baik. c) Kesopanan Budaya konteks tinggi, mengirim hadiah kepada istri teman dianggap tidak pantas, tidak sopan, apalagi bila mencium istri teman, akan dianggap sebagai hal yang buruk. Budaya konteks rendah, hadiah kepada istri teman dianggap normal, beradab. mencium istri teman dianggap sebagai ekspresi dari semangat dan persahabatan, adalah sesuatu yang wajar dan normal. d) Konsep waktu Budaya konteks tinggi, sering tidak memandang pentingnya waktu, sehingga terlambat adalah hal yang biasa.
39|
Budaya konteks rendah, waktu direncanakan sedemikian rupa agar bekerja secara efektif. Waktu adalah hal yang sangat berharga. KOMUNIKASI LINTAS-BUDAYA ANTARA INDONESIA DAN CHINA Berdasarkan uraian di atas, maka sangatlah jelas bahwa konteks budaya Indonesia dan China termasuk dalam negara yang berbudaya konteks tinggi, ada banyak komunikasi nonverbal menjadi karakteristik kedua negara ini. Selain itu, ada efek yang berbeda pada budaya dan kebiasaan masing-masing negara. Kita diharapkan menyadari kesamaan dan perbedaan budaya dan adat istiadat dari kedua negara, sehingga hubungan komunikasi budaya antara keduanya tidak akan menyebabkan benturan-benturan. Berikut ini akan dibahas beberapa persamaan dan perbedaan tersebut: a. Hubungan antara manusia Ada banyak persamaan dalam aspek hubungan antar manusia dalam kebudayaan China dan Indonesia. Ajaran Konfusiusme atau konghucu berasal dari Cina, adalah Konfusius (551479 SM) yang menyebarkannya. Konfusius mengajarkan sistem moral dan etika dalam membangun hubungan yang ideal dengan keluarga dan negara. Sifat hubungan adalah hubungan antara: a. b. c. d. e.
orang tua dan anak; yang tua dan yang muda; suami dan istri; teman; pemerintah dan warga. Ajaran Konghucu berfokus pada kesetiaan kepada raja dan negara, moral dan berbakti
kepada orang tua. Selain itu, menekankan pada perilaku apa yang harus dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti pembentukan masyarakat dan bagaimana metode pendidikan yang baik. Indonesia adalah negara yang bersahabat. Masyarakat Indonesia (pernah mendapatkan ajaran Budha dan Hindu kuno) bertutur kata lembut dan berbicara dengan sopan. Dalam nilai-nilai tata kontrol ada banyak kesamaan, status manusia berdasarkan usia, status/kelas sosial, dengan kata lain hubungan komunikasi manusia adalah vertikal. Selain itu masyarakat Konghucu China dan tradisi budaya Indonesia sangat menganggap penting keluarga. Meskipun dalam kondisi yang sulit, mereka tidak akan lupa berbakti pada orang tua. Ada ungkapan bahasa Jawa yang mengatakan: mangan ora mangan ngumpul, yang berarti bahwa beban kebahagiaan dan kesulitan ditanggung bersama-sama. Intinya di sini adalah kebersamaan untuk menghadapi semua masalah kehidupan.
40|
Dalam hubungan pertemanan juga ada kesamaan, orang China dan Indonesia memandang hubungan pertemanan lebih tinggi daripada negara-negara barat, ada pepatah mengatakan “Di rumah Anda bersandar pada orang tua, dalam masyarakat Anda bersandar pada teman-teman” Selain itu ada kesamaan dalam hal cara pandang terhadap posisi perempuan. Dalam masyarakat Konfusius China, istri atau perempuan masih dianggap orang luar. Di Indonesia juga, peran istri berada setelah teman. Dalam pekerjaan, masih banyak perusahaan yang lebih mementingkan mencari pegawai pria daripada perempuan. Dalam hal keturunan juga demikian, banyak pasangan lebih menginginkan anak laki-laki daripada perempuan. Perbedaannya, hal ini di China diperburuk lagi dengan kebijakan satu anak dari pemerintah. Hal ini menimbulkan banyaknya praktek aborsi. Mengetahui dan memberitahukan jenis kelamin janin yang dikandung adalah hal yang ilegal dan melanggar hukum di China. Ada perbedaan dalam membangun hubungan pertemanan yang baru. seperti yang dikatakan Bo Yang (Allen & Unwin, 1992, hlm. 55), orang-orang China bersikap cemas, mudah terpancing emosi, dan paranoid bahwa orang lain akan mengambil keuntungan dari mereka. Hal ini membuat orang-orang China terlalu berhati-hati, defensive, dan waspada terhadap orang lain. Berbeda dengan orang Indonesia yang bersifat terbuka terhadap orang baru. b. Etiket di tempat umum Dalam hal ini, ada banyak perbedaan di antara keduanya. Di Indonesia, meludah di depan umum, kentut, bahkan menguap adalah perilaku yang dinilai tidak tepat dan tidak sopan. Di China hal ini dianggap biasa dan pemandangan ini sering terlihat. Ada fenomena di China, jika ada pria dan wanita dewasa saling memegang tangan, berpelukan bahkan berciuman, itu adalah wajar dan normal. Di Indonesia, sepasang kekasih yang berangkulan atau berciuman di tempat umum akan dianggap masyarakat tidak sopan, bertentangan dengan aturan umum. Di China, di banyak tempat ramai saling mendorong biasa terjadi. Namun, jika ini terjadi di Indonesia, bisa menyebabkan kerusuhan. Orang China terkenal paling berisik sedunia, adakalanya kita berpikir mereka sedang bertengkar. Orang China berbicara dengan keras termasuk di tempat umum, hal ini dikarenakan orang China secara alami merasa tidak aman, sehingga berprinsip makin keras berbicara menunjukkan eksistensi dan kebenaran. Berbeda halnya dengan orang Batak Indonesia, orang Batak berbicara keras dikarenakan sejarah faktor geografi tempat tinggalnya di daerah pegunungan dan perumahan yang jauh satu sama lainnya, mengharuskan mereka berbicara keras supaya terdengar, dan ini menjadi kebiasaan sampai sekarang. 41|
c. Cara makan Pada umumnya, cara makan di keluarga Indonesia dan China dapat dikatakan hampir sama. Saat makan, kita tidak boleh terlalu banyak bercakap-cakap, saat mengunyah tidak mengeluarkan suara, berusaha untuk tidak membuat makanan di piring atau mangkuk menjadi berantakan. Di China, setiap orang menggunakan sumpit untuk makan, bisa menggunakan sumpit mereka sendiri untuk mengambil lauk pauk ke piring makannya. Setelah selesai makan, sendok dan sumpit ditaruh rapi di sisi mangkuk, jika sendok dan sumpit masih pada mangkuk nasi atau sup, maka dianggap belum selesai. Orang Cina tidak akan mengubur sumpit atau sendok ke dalam nasi, karena hal ini seperti memberikan hidangan kepada orang mati (dalam keluarga Tionghoa Indonesia yang masih memasang dan menyembayangi leluhurnya, kita dapat melihat adanya hidangan yang ditusukkan dupa). Jika tamu melakukan hal ini maka akan dianggap tidak menghormati tuan rumah. Di Indonesia, cara makan ada dua, pertama menggunakan sendok dan garpu, kedua menggunakan tangan. Di Indonesia, orang menggunakan sendok untuk makan, di setiap piring hidangan akan tersedia sendok khusus untuk mengambil hidangan ke piring makan, kurang lebih sama dengan aturan makan kebiasaan negara barat, akan tetapi bila sudah selesai makan, sendok dan garpu diletakkan terbalik menyilang di piring. Kebiasaan undangan makan di China, pengundang akan datang dan duduk terlebih dahulu untuk menunggu. Tamu penting akan dipersilakan duduk di tempat yang menghadap pintu masuk. Tuan rumah biasanya akan mempersilakan tamu untuk memulai, seringkali pengundang atau orang yang kedudukannya lebih rendah mengambilkan makanan untuk tamunya. Di Indonesia, ada kebiasaan istri melayani suaminya sewaktu makan, seperti mengambilkan nasi dan lauk. Jamuan makan diselingi acara bincang-bincang sehingga biasanya memakan waktu yang sangat lama. Saling mengundang makan sering dilakukan, sebagai bentuk untuk mempererat persahabatan bahkan hubungan kerja. Tuan rumah berusaha semaksimalnya menjamu dan menemani tamu makan. Makanan yang disediakan selalu berlebih, misal jumlah tamu lima orang, maka tuan rumah akan menyediakan enam macam masakan ditambah sejenis sup (sebagai pembuka atau penutup). Walaupun tuan rumah sudah merasa kenyang, tapi akan tetap menemani bersantap dan tidak akan menaruh sumpitnya terlebih dahulu. Bila jamuan berakhir maka sebaiknya salah seorang tamu mengakhirinya dengan mengangkat gelas minuman dan mengajak bersama-sama semua
42|
yang hadir untuk bersulang sambil mengucapkan sepatah dua kata ucapan terima kasih atau harapan. d. Undangan bertamu Di China, jika orang diundang untuk mengunjungi rumah seseorang, maka orang tersebut akan membawa bingkisan untuk dihadiahkan kepada tuan rumah, dan pada akhir kunjungan tuan rumah juga akan memberikan sesuatu sebagai jawaban atas hadiah tersebut. Di Indonesia, para tamu tidak ada keharusan membawa bingkisan, kalaupun membawa, tuan rumah tidak perlu untuk memberi bingkisan balasan. Lain halnya, Ketika pesta ulang tahun atau pernikahan ada kebiasaan pada orang Indonesia untuk memberikan kenang-kenangan atau souvenir. Ketika bertamu, orang Indonesia memiliki kebiasaan melepas alas kaki, terutama jika Anda mengunjungi rumah yang terlihat sangat bersih, melepas alas sepatu berarti kita menghormati perjuangan tuan rumah membuat rumahnya bersih. Di China, pemilik akan memberikan alas kaki khusus untuk digunakan di dalam rumah, sehingga kaki tidak kotor. e. Kebiasaan dengan orang yang kedudukannya lebih tua atau lebih tinggi Hubungan kekeluargaan di antara rakyat Indonesia dan China memiliki konsep yang sama, hubungan vertikal. Dalam hubungan kakak beradik, yang muda harus memanggil yang lebih tua dengan sebutan kak, mas, mbak, kang, atau jie, ge7. Selain itu, saudara kembar mempunyai kedudukan yang tidak sama, yang lahir pertama adalah kakak, mempunyai status yang lebih tinggi daripada adik. Hubungan orang-orang dalam masyarakat dipandang sebagai hubungan keluarga. Kita bisa melihat bahwa orang akan dipanggil kak, dik, kakek, nenek, paman, bibi, atau yeye, popo, shushu, a yi8. Baik orang Indonesia maupun orang-orang China sangat menghormati orang tua atau orang yang kedudukannya lebih tinggi. Kita tidak bisa bicara sambil menatap langsung mata orang tua kita, karena hal tersebut tidak sopan, dianggap sebagai suatu perlawanan atau tantangan. Ketika kita ingin memberikan orang yang dituakan sesuatu atau hadiah, kita harus menggunakan kedua tangan kita. Di China, dalam hal menjabat tangan, orang-orang muda harus menunggu dulu undangan jabat tangan dari orang yang lebih tua atau yang berkedudukan lebih tinggi. Sementara di Indonesia, yang jauh lebih muda menjulurkan tangan terlebih dahulu. Kemudian, ketika orang-orang Indonesia berjalan mendahului orang yang
7 8
jie (Bahasa Mandarin): panggilan untuk yang dianggap sebagai kakak perempuan, ge: kakak laki-laki. yeye (Bahasa Mandarin): kakek, popo: nenek , shushu: paman, a yi: bibi 43|
lebih tua maka biasanya orang yang lebih muda akan mengungkapkan rasa hormat tersebut dengan membungkukkan badan. f. Kebiasaaan dalam perilaku non-verbal 1) mengungkapkan perasaan Ada kesamaan dalam pendekatan hubungan sosial orang Indonesia dan China, orang akan berpura-pura menyukai hal-hal yang sebenarnya tidak disukainya. Dalam menanggapi pembicaraan, orang Indonesia dan orang China sering mengatakan "ya" atau “‟em”, namun itu tidak selalu berarti persetujuan, tetapi hanya mengacu pada "Saya mengerti situasi Anda, saya mengerti apa yang Anda katakan, silakan lanjutkan ..." . Dalam hal pola atau cara bepikir dan bercerita, terdapat perbedaan antara orang Indonesia dan orang China. Orang Indonesia dalam bercerita atau menjelaskan sesuatu hal cenderung menyukai beranjak dari hal-hal yang kecil berlanjut ke hal-hal yang lebih luas dan umum, berawal dari masalah individu masing-masing kemudian berkembang pada isu-isu negara dan nasional. Namun, orang-orang China tidak sama, kebalikannya yaitu dari hal-hal yang umum menuju ke hal-hal yang khusus. Hal ini dapat terlihat pula dari kebiasaaan orang di kedua negara ini dalam menuliskan alamat. Orang China menulis alamat, didahului nama negara, provinsi, kabupaten/kota, nama jalan, nomor rumah, namun, di Indonesia, kita akan menulis terlebih dahulu nama jalan, nomor rumah, kota, provinsi dan nama negara. Kita mengakui bahwa warna merah mempunyai arti kekuasaan dan keberanian, tapi bagi orang China selain arti di atas, warna merah mempunyai makna kehangatan, keuletan, kekuatan, keberuntungan, cinta dan sebagainya. Untuk ini dalam berbagai acara formal maupun non formal orang China suka menggunakan warna tersebut, contoh dalam acara seminar atau jamuan pernikahan, orang China akan menaplaki meja dengan warna merah, dalam menyambut tamu, akan dipasang banner/spanduk dengan warna dasar merah. Penyambut tamu menggunakan baju nasional qipao yang berwarna merah juga. Bagi orang China nama keluarga atau marga menjadi lebih penting, ini dapat terlihat dari penulisan nama lengkapnya, diawali dengan nama marga, lalu nama khusus. Sedangkan bagi kebanyakan orang Indonesa nama khusus lebih dikedepankan, dan ada kalanya hanya mencantumkan nama saja sudah cukup, nama khusus ini bisa terdiri dari satu kata, dua bahkan lebih dari tiga. Ketika pertama kali bertemu, orang China akan bertanya: Nin gui xing? Mingzi zenme chenghu? (Marga Anda apa? Bagaimana cara saya memanggil Anda?) Biasanya kita cukup mengetahui nama marga dari lawan bicara kita lalu menambahkan kata 44|
panggilan internasional Mr./Mrs. atau panggilan pak/ibu, misal Mr. Li, Pak Wang dan lainlain. Masih ada kaitannya dengan nama, yaitu tanda tangan. Di Indonesia, hal resmi terutama yang berkaitan dengan masalah bisnis dan hukum, tanda tangan mempunyai kekuatan hukum untuk digunakan. Tanda tangan ini harus sama. Banyak orang yang membuat tanda tangan berasal dari akronim nama mereka atau menggunakan gaya penulisan yang unik dan dapat membedakannya dengan kepunyaan orang lain. Tanda tangan ini juga tercantum dalam paspor. Namun, setelah tiba di China, tanda tangan ini tidak penting. Di China tanda tangan tidak memiliki kekuatan formal, kita hanya perlu menuliskan nama lengkap kita. Jika ingin lebih mempunyai kekuatan hukum, orang-orang China yang berbisnis biasanya mempunyai stempel nama. Dalam bertegur sapa, orang china mempunyai kebiasaan ketika bertemu akan bertanya chifan le ma? (Sudah makan?) Ini bukan berarti mereka ingin tahu kegiatan Anda atau meremehkan keadaan ekonomi lawan bicara. Negara China sejak dulu merupakan negara agrikultur,
namun
sering
tertimpa
bencana
dan
masalah
panen
sulit
terjamin
berkesinambungan. Oleh karena itu, sejak dulu masalah “perut” bagi orang China merupakan masalah besar sehingga bila bertegur sapa, masalah “perut” ini menjadi hal penting untuk ditanyakan, ini berarti menunjukkan perhatian. Sedangkan kebanyakan orang Indonesia khususnya kaum muslim mengadopsi kebudayaan Arab. Padang pasir yang sulit air sebagai tempat tinggal orang Arab, serta keluarga dan suku menjadi hal yang utama, namun sering terjadi perang untuk memperebutkan sumber air tersebut. Jadi yang menjadi perhatian adalah lingkungan yang aman dan damai. Oleh karena itu, kita sering mendengar kalimat sapaan Assalam mualaikum salam damai dan dijawab wa‟alaykum salam damai besertamu juga. b) dalam bentuk perilaku non-verbal menggunakan tangan Perilaku nonverbal orang Indonesia dan China memiliki persamaan dan perbedaan adalah sebagai berikut: 1) Di Indonesia dan di China, jari jempol yang menunjuk ke atas berarti 'baik' atau 'sudah terlaksana' dan jempol yang menunjuk ke bawah, bila di China berarti 'menuju ke bawah' atau „ada di bawah‟ sedangkan di Indonesia berarti “gagal”. 2) Di Indonesia dan China dalam penggunaan jari tengah berkonotasi seksual dan hal yang tabu. 3) Di Indonesia penggunaan tangan kiri dalam segala hal berkonotasi tidak sopan, tidak demikian halnya di China. 45|
4) Orang Indonesia menggunakan keseluruhan jari dan dua tangan dalam merepresentasikan angka satu sampai sepuluh, sedangkan orang China hanya menggunakan satu tangan saja (ada banyak versi, tapi tetap menggunakan satu tangan). Berikut ini adalah salah satu versi gambar ilustrasi angka 1 sampai 10 dengan menggunakan satu tangan (gambar 2), perhatikan terutama untuk angka 6 sampai 10. Gambar 2
5) Jari telunjuk ke atas, di China berarti “satu”, juga bisa berarti “satunya” sepuluh, seratus, seribu, dan seterusnya, Di Indonesia hanya berarti satu. 6) Jari kelingking, di China berarti “kecil”, “terburuk”, sedangkan di Indonesia selain berarti „keci”l, jika dua orang mengulurkan jari kelingking, ini berarti undangan “perdamaian” atau “pertemanan” bahkan “perjanjian” 7) Jari yang melambangkan angka 9 di China ketika di Indonesia mempunyai arti “hati orang yang bengkok” atau “pelit” 8) Jari yang melambangkan angka 3 atau nol di China, ketika di Indonesia mempunyai arti“OK”,”baik”,”setuju” (ini mendapat pengaruh dari kebudayaaan barat) 9) Di China memanggil orang adalah dengan menggunakan tangan dengan sisi telapak kanan menghadap ke bawah lalu jari-jari tangan digerakkan ke depan dan ke belakang ini sama dengan cara orang Indonesia memanggil. Akan tetapi jika telapak kanan menghadap ke atas maka ini adalah cara untuk memanggil hewan atau anak kecil. 10) Di Indonesia, secara umum menunjuk sesuatu biasanya dengan menggunakan jari telunjuk. Khususnya suku jawa, orang akan menunjuk dengan menggunakan ibu jari yang sisi telapak tangannya menghadap ke atas, ke empat jari lainnya dilipat, suku betawi menggunakan mulut yang agak dimonyongkan dan gerakan mata yang menuju arah yang di maksud, sedangkan di China menggunakan jari telunjuk. 46|
11) Di Indonesia, jari telunjuk yang diletakkan di dahi menunjukkan “gila", tidak ada simbol ini di China 12) Orang Indonesia akan menunjuk dirinya dengan meletakkan tangan di dada atau telunjuk menunjuk ke dada, sedangkan orang-orang China akan menunjukkan jari telunjuk ke hidung 13) Orang China jika ingin mengekpresikan tidak ada cukup uang maka akan menempatkan jari telunjuk dan atau jari tengah dan ibu jari yang digesek-gesekan, sementara orang Indonesia akan berpikir bahwa perilaku seperti ini adalah suatu penghinaan, memanggil hewan seperti burung atau ayam. atau hal-hal yang dirasakan sangat sederhana. 14) Dalam hal berjabat tangan di Indonesia dan China mengandung arti keramahan dan antusiasme. Selain berjabat tangan, di Indonesia kadang-kadang akan disertai mencium atau menempelkan pipi. Ada kalanya di Indonesia, karena mayoritas penduduknya Muslim, tidak diijinkan jika dua orang yang berbeda jenis kelamin saling bersentuhan termasuk jabat tangan; mengangukkan kepala sudah cukup. Kadang-kadang setelah berjabat tangan, beberapa orang menaruh tangannya di dada, atau di dahinya, ini sebagai ungkapan rasa tulus, tidak hanya dari luar tapi juga dari hati. 15) Dalam berpamitan, pada umumnya orang China dan Indonesia akan melambaikan tangan ke atas. Sering terlihat anak-anak di Indonesia berpamitan dengan orang tua, guru dengan mencium punggung tangan orang tua dan gurunya.
SIMPULAN Komunikasi antar manusia, dalam banyak hal, menekankan atau meniadakan kata-kata cukup untuk mengungkapkan apa yang dimaksudkan. Kita belajar mengerti informasi yang berbeda tersebut berdasarkan pengalaman. Yang kita bahas di atas adalah budaya Indonesia dan China, walaupun sebagai negara-negara yang dikategorikan budaya konteks tinggi, kedua negara memiliki kebiasaan dan adat istiadat yang sama dan berbeda. Juga dipaparkan adalah mungkin terjadi jika kedua negara memiliki kebiasaan yang sama namun mengandung perbedaan makna yang sangat jauh. Setiap orang mungkin merasa kebiasaan dan kebiasaan negara lain lebih rendah atau aneh. Namun, di dunia ini tidak ada standar budaya, juga tidak ada standar ras, atau standar bahasa. Nilai-nilai dasar kehidupan di mana pun adalah sama. Mengapa kebiasaan dan adat istiadat bisa berbeda? Ini dikarenakan cara manusia mengekspresikan dan mengungkapkan ide-idenya menggunakan metode yang berbeda-beda. Jadi jika dalam berkomunikasi terjadi kesalahpengertian, tidaklah penting untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang salah, 47|
tetapi cobalah untuk mengerti satu sama lain, karena sebagian besar kesalahpahaman itu timbul dari perbedaan budaya, atau karena kurangnya pemahaman budaya negara lain, dan bukan karena unsur kesengajaan. Pepatah dalam bahasa Indonesia mengingatkan kita akan hal ini: “Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikan”. Dengan tulisan ini diharapkan dalam hubungan personal antara orang Indonesia dan orang China, melalui pemahaman akan budaya kedua belah pihak, kerja sama di antara keduanya dapat lebih dipererat dan lebih harmonis. DAFTAR PUSTAKA Birdwhistell, R. (1970). Kinesics in context. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Bo Yang. (1992). The ugly chinaman and the crisis of chinese culture. In Renditions : A Chinese English Translation Magazine, NO. 23 Spring 1985 published by the Chinese Universityof Hong Kong. North Sydney : Allen & Unwin. Hodgetts Richard M. & Fred Luthans. (2003). International management: culture Strategy and behavior. New York: Mc. Graw Hill:. Liliweri, Alo. (2005). Prasangka & konflik: komunikasi lintas sektor masyarakat multikultur "prasangka dan konflik: masyarakat multi-budaya, komunikasi antar budaya. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara penerbitan. Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu komunikasi suatu pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. West, Richard & Lynn H. Turner. (2008). Pengantar teori komunikasi analisis dan aplikasi (introducing communication theory: analysis and application). Edisi 3, Jakarta: Penerbit Salemba Humanika. Zhu, Licai. (1999). Aspect of intercultural communication – proceeding of china‟s 2nd conference on intercultural communication (Beijing languange and culture university)”. expressions of social interaction in Chinese and Arabic - A comparative approach edited by Hu Wenzhong. Beijing: Foreign Language Teaching and Research Press. 胡文仲著《跨文化交际学概论》,北京:北京外语教学与呀牛出版社,2008。 http://zh.scribd.com/doc/32240065/Communicating-Across-Cultures, (Communicating Across Cultures oleh I Gede Putu Anggara Diva, Bakrie School of Management) diakses 16 Juni 2013. http://www.027art.com/fanwen/gonguanliyi/438788_2.html (中国与外国手势含义有哪些不同) diakses 2 Juni 2013.
48|
http://www.cnblogs.com/mymma/archive/2013/02/11/2910125.html (指尖上的数学) diakses 2 Juni 2013.
49|
ANALISIS KESANTUNAN BAHASA DALAM ACARA EXTRAVAGANZA Reka Yuda Mahardika STKIP Siliwangi Email:
[email protected] Abstrak Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pelanggaran terhadap maksim kesantunan yang dilakukan oleh para pelawak dalam acara Extravaganza yang ditayangkan di Trans TV. Pisau analisis yang digunakan adalah teori kesantunan yang dikemukakan oleh Geoffrey Leech. Kajian ini beroleh kesimpulan bahwa frekuensi pelanggaran terhadap maksim kesantunan sering dan efektif digunakan untuk memunculkan efek tawa. Abstract This study is aimed at analyzing the violation done by comedians towards the politeness maxim on Extravaganza event broadcasted by Trans TV. The study employs politeness maxim theory put forward by Geoffrey Leech. The result of this study reveals that the frequency of violations towards politeness maxim is often and effectively used to bring out the effects of laughter
PENDAHULUAN Mulutmu Harimaumu! Peribahasa tersebut sudah tidak asing lagi didengar. Hampir semua penutur bahasa Indonesia mafhum akan makna kebajikan yang tersirat, yaitu berhati-hatilah menggunakan bahasa, santunlah dalam berbahasa. Salah berbahasa besar resikonya. Permusuhan, perkelahian antar individu, perkelahian antar kampung, bahkan tindakan kriminal diluar nalar manusia dapat terjadi karenanya. Oleh karena menjadi begitu penting, kesantunan bahasa sering dikaji oleh para bahasawan dunia. Akibat dari kajian tersebut, muncul teori-teori ihwal kesantunan bahasa. Rambu-rambu kesantunan bahasa pun mulai banyak dijadikan pijakan penelitian dan disosialisasikan dengan harapan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar komunikasi berjalan lancar dan menenangkan. Misalnya, kaitannya dengan kalimat perintah (imperatif) yang bertendensi tidak santun, bahasawan memberikan rambu-rambu yang dapat diterapkan langsung dalam percakapan. Seperti “maaf”, “tolong”, “berkenankah”, “bilakah”, dan lainnya. Kalimat, “Ambilkan buku itu!” tentu memiliki efek tidak santun dibandingkan dengan, “Tolong ambilkan buku itu!“. Rambu-rambu lainnya adalah adalah menggunakan tuturan tidak langung (indirect speech act). Ketika akan memberikan perintah, gunakanlah kalimat berita atau tanya untuk 50|
mendapatkan implikatur yang diharapkan. Misalnya, alih-alih memberi perintah, “Ambilkan makanan, saya lapar!”, dapat menggunakan, “Din, perutku kok lapar ya?” (Wijana, 1996). Pandangan lain, diungkapkan dengan melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan dan sebagai upaya penyelamatan muka (face). Muka merupakan manifestasi penghargaan terhadap seorang individu masyarakat. Masyarakat lazimnya memiliki dua muka, yaitu muka positif dan negatif. Muka positif merujuk pada keinginan untuk disetujui, sedangkan muka negatif menunjuk pada keinginan untuk menentukan sendiri. Secara konsep interpersonal, muka seseorang selalu dalam keadaan terancam, itulah sebabnya dalam hal ini memerlukan prinsip kesantunan (Rahardi, 2005). Kaitannya dengan hal ini, Yule (1996) memaparkan sebagai berikut. “When we attempt to save another‟s face, we can pay attention to their negative face wants or their positive face wants. A person‟s negative face is the need to be independent, to have freedom of action, and not to be imposed on by others. ... A person‟s positive face is the need to be accepted, even liked, by others, to be treated as a member of the same group, and to know that his or her wants are shared by others. In simple terms, negative face is the need to be independent and positive face is the need to be connected. Selain itu pandangan mengenai kesantunan dipaparkan pula oleh bahasawan seperti Yule (1996), Brown dan Levinson, dan Leech (1993). Konsep-konsep kesantunan bahasa yang dipaparkan oleh para bahasawan tentu saja dapat digunakan dalam setiap bahasa, mengingat bahasa adalah entitas yang bersifat universal. Namun demikian, patut dipahami bahwa terdapat parameter-parameter kesantunan yang harus dikaji secara teliti serta batasan-batasan budaya yang membuat kesantunan bahasa lebih bersifat relatif ketimbang mutlak absolut. Seperti diungkapkan oleh Yule (1996). “It is possible to treat politness as a fixed concept, as in the idea of „polite social behavour‟, or etiquette, within a culture. It is also possible to specify a number of different general principles for being polite in social interaction within a particular culture. Some of these might include being tactful, generous, modest, and sympathetic towards other...” Meski diciptakan untuk diterapkan, dalam beberapa konteks, kesantunan justru sengaja dilanggar sebagai sebuah strategi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam tuturan para pemain Extravaganza yang akan dikaji, misalnya, humor terjadi justru karena kesantunan dilanggar. Dalam arti, strategi yang mereka lakukan untuk menciptakan humor adalah dengan menggunakan strategi ketidaksantunan bahasa. 51|
Makalah ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimanakah bentuk pelanggaran maksim kesantunan Leech dalam acara Extravaganza serta bagaimanakah ketidaksantunan bahasa dijadikan strategi dalam tuturan para pelawak Extravaganza. Fokus pengamatan dibatasi pada acara humor Extravaganza dalam episode “Nonton Bareng”. Adapun analisis dan pembahasan penulis batasi pada pelanggaran Prinsip Kesantunan (PS) yang dikemukakan Leech (1993).
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif, yakni penelitian yang dilakukan semata-mata berdasarkan fakta yang ada, bersifat potret atau paparan seperti apa adanya. Data-data dari yang diteliti didapat melalui teknik rekam lewat media handycam. Alasan peneliti melakukan teknik rekam karena data lisan sangat sulit didapat melalui teknik catat langsung. Setelah melakukan perekaman, data tersebut kemudian ditranskrip. Transkrip dilakukan dengan mencatat kata demi kata yang mereka tuturkan dalam lembaran khusus analisis. Untuk memperoleh bayangan tentang situasi tuturan humor, peneliti menuliskan konteks yang terjadi saat tuturan itu diutarakan.
PRINSIP KESANTUNAN Kesantunan bahasa sebagai sesuatu yang lazim diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang menjadi acuan dalam kajian ini, diambil dari teori yang dikemukakan oleh Leech (1993). Berikut adalah penjelasannya. 1. Maksim Kebijaksanaan (Kurangi kerugian orang lain). [Tambahi keuntungan orang lain] Dalam maksim kebijaksanaan, prinsip untuk mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain adalah suatu keniscayaan yang harus selalu dijalankan agar tercipta hubungan yang harmonis satu sama lain.
2. Maksim Kedermawanan (Kurangi keuntungan diri sendiri). [Tambahi pengorbanan diri sendiri]. 52|
Maksim kedermawanan mengharuskan pelaku petuturan untuk selalu senantiasa mengurangi keuntungan yang akan diperoleh dirinya, supaya orang lain mendapatkan keuntungan maksimal. 3. Maksim Penghargaan (Kurangi cacian pada orang lain ) [Tambahi pujian pada orang lain]. Yang menarik dari maksim ini, adalah model implikatur pelanggaran yang diakibatkannya. Dalam konteks situasi ragam informal khusus (humor), ketika keseriusan sangat tidak diharapkan, pelanggaran model ini menjadi jurus ampuh untuk menghasilkan tuturan yang tidak selaras/tidak lazim yang dapat menghasilkan kelucuan. Adapun substansi isi dari maksim ini adalah diharapkan pelaku petuturan dapat mengurangi kecaman terhadap orang lain. Kecaman itu sendiri sering kali lazim berupa ejekan, cacian, makian dan sebagainya. 4. Maksim Kesederhanaan (Kurangi pujian pada diri sendiri). [Tambahi cacian pada diri sendiri]. Dalam maksim ini pelaku komunikasi diharuskan untuk selalu meminimalkan pujian dan memaksimalkan cacian pada dirinya, sehingga ia akan dianggap sebagai orang yang bersifat ramah, rendah hati, dan tidak sombong. Dalam budaya Indonesia, kesombongan (besar kepala) adalah prilaku yang harus dihindari, karena dapat berakibat seseorang dijauhi dalam kehidupan sosialnya. 5. Maksim Pemufakatan (Kurangi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain). [Tingkatkan persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain]. Di dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Bila maksim ini ditaati oleh kedua belah pihak, maka baik penutur maupun petutur akan dianggap sebagai orang yang berprilaku santun. 6. Maksim Simpati (Kurangi antipati antara diri sendiri dengan orang lain). [Perbesar simpati antara diri sendiri dengan orang]. Maksimalkan rasa simpati diri dengan orang lain dan minimalkan rasa antipati antara diri dengan orang lain, adalah poin utama maksim ini. Diharapkan, dengan rasa simpati yang begitu besar, seseorang bisa menjauhi rasa sinis dan ikut berempati terhadap perasaan orang lain. 53|
PEMBAHASAN Berikut adalah analisis pelanggaran kesantunan berbahasa dalam acara Extravaganza. Judul Episode: Nonton Bareng. Konteks Umum: Indra yang berperan sebagai tuan rumah, sedang menunggu kedatangan dua orang temannya (Tora dan Ronald) untuk nonton bareng acara piala dunia. Dalam episode itu berperan juga Aming (pembantu) yang kehadirannya selalu membuat tiga orang yang sedang nonton bareng itu merasa tidak nyaman, Mieke (Pencuri) yang pintar memanfaatkan situasi dan kondisi, dan Rudi Wowor bintang tamu dalam episode itu, yang berperan sebagai Pak RT yang lugu dan polos. 1. Pelanggaran Maksim Kebijaksananaan No. Data : 01 KONTEKS
DATA
.Piala dunia sudah dimulai. Seperti Ronald:
“Camilannya
mana
biasa, agar suasana lebih asik dan camilannya?” cemilan favorit gua, menarik, Ronald berpikir pasti selalu udah disiapin belum?” ada cemilan ditengah-tengah suasana.
Indra: “Emang apaan?” Ronald: “Kambing guling.” Indra: “Busyet, emang lu kira kawinan, woey! kita nonton bola!”
Tuturan ini masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM KEBIJAKSANAAN karena bertendensi menambahi kerugian orang lain dan mengurangi keuntungan orang lain.
Ketidaksantunan sebuah tuturan yang berimplikasi humor terlihat ketika Indra berusaha sekali mengurangi keuntungan orang lain dan menambahi kerugian orang lain dengan tuturan tidak langsungnya, “Cemilannya mana cemilannya? Cemilan favorit gua, udah disiapin belum?”. Tuturan yang bertendensi memerintah dan menyusahkan tuan rumah itu bahkan semakin diperparah dengan dimasukannya tuturan yang masuk ke dalam teori kejutan (berlebih-lebihan), yang diutarakan Ronald dengan meminta cemilan berupa “kambing guling”. Bisa dibayangkan, betapa repotnya si tuan rumah itu bila memang dia seorang yang bijaksana dan dermawan, bila sekadar cemilan saja berupa “kambing guling”, bagaimana sekiranya dengan makanan pokok? Tuturan hiperbolis dan tidak santun tersebut membuat penonton di studio tertawa terbahak-bahak. 54|
No. Data : 02 KONTEKS
DATA
Konflik horizontal antara Aming dan Aming: “Ya udah, Tuan. Tuan mau tiga orang yang sedang nonton, mulai minum apa?” terjadi. Maka transaksi komunikasi Indra: “Ga mau minum, udah masuk yang tidak wajar pun terjadi.
kamar sana, tidur tidur tidur...” Aming: “Dingin...” Indra: “Heheh, dingin...gua males liat lu kaya Kuntilanak, sono sono, gua tonjok juga lu lama-lama lu.” Tora:
“Udah-udah
nyalaian
lagi.
tevenya „Ndra.” Tuturan di atas masuk ke dalam MAKSIM KEBIJAKSANAAN karena bertendensi menambahi kerugian orang lain dan mengurangi keuntungan orang lain.
Aming dengan bijaksana berusaha memaksimalkan keuntungan lawan tuturnya dengan tuturan, “Tuan mau minum apa?”. Ia rela dirinya susah dengan harapan tuannya merasa senang. Tapi dengan dingin dan angkuh Indra justru menggunkan teori tak diharapkan, membalas dengan tuturan yang merugikan lawan tuturnya. “Ga mau minum, udah masuk kamar sana, tidur tidur tidur...!”. Aming tidak marah, justru dengan manja Ia berkata dengan tuturan tidak langsung. “Dingin...!”. Karena merasa jengkel keinginannya tidak juga dipenuhi, kemudian mengalirlah tuturan dari Indra berisi pelecehan yang sarat dengan pelanggaran terhadap maksim bijaksana dan penghargaan, seperti, “...sono sono, Gua tonjok juga Lu lamalama Lu.” dan, “...lu kaya kuntilanak...”. Strategi ketidaksantunan bahasa di atas sangat lucu karena mampu membuat penonton tertawa lepas dengan durasi cukup lama. 2. Melanggar Maksim Kedermawanan Dalam konteks situasi pertuturan sesungguhnya, pelanggaran terhadap maksim kedermawanan akan membuat si pelaku dicap sebagai orang yang tidak tidak tahu caranya bagaimana menghormati orang lain, tidak tahu tahu sopan santun, dan selalu iri hati. Namun, dalam konteks humor dimana ketidakselarasan komunikasi adalah tujuan utama, pelanggaran terhadap maksim kedermawanan tidak terlalu berpengaruh terhadap citra diri atau face
55|
penutur maupun petutur. Berikut ini tuturan-tuturan dalam Extravaganza yang bisa diklasifikasikan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawan. No. Data : 03 KONTEKS
DATA
Komunikasi perihal uang jasa yang Rudi: harus dibayar Rudi kepada Ronald.
“Wey...wey...katanya
nolongin
mau saya,
bicarap....bicrap...ngobrol...ppp...” Ronald : “Iyah, iyah, oke . tapi ga murah, ada biayanya.” Rudi : “Biayanya berapa?” ANALISIS Tuturan di atas masuk ke dalamMAKSIM KEDERMAWANAN karena bertendensi menambahi keuntungan diri sendiri dan mengurangi pengorbanan diri sendiri
Tuturan yang secara tersirat berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendiri bisa dilihat dari tuturan yang dikemukakan Ronald, “Iyah, iyah, oke. Tapi ga murah ada biayanya”. Tuturan ini diklasifikasikan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawanan, karena Ronald yang sebelumnya berniat menolong Sheriff melepaskan anaknya yang diculik, malah mengajukan biaya yang menurutnya bisa dibilang tidak murah, “...tapi ga murah, ada biayanya”. 3. Melanggar Maksim Penghargaan Ketika penghinaan dan pelecehan dituturkan, maka tuturannya masuk dalam tuturan yang melanggar maksim penghargaan. Dikatakan demikian, karena maksim penghargaan menuntut peserta pertuturan untuk selalu mengurangi cacian pada orang lain dan menambahi pujian pada orang lain. Seperti tuturan-tuturan di bawah: No. Data : 04 KONTEKS
DATA
Ronald, Tora, dan Indra yang sedang Teve: “Ehm, yang nonton teve harap jangan berdebat
sambil
dikejutkan menegurnya.
oleh
nonton suara
TV
bareng ribut, terutama itu yang keriting ya!” yang Indra: “He...he...mampus lu!” Ronald: “Aku?” Teve: “Iya kamu, kamu kalau mau ngobrol 56|
diluar aja!” Indra: “Mampus lu, makanya jangan banyak bacot!” Teve: “Eh, kamu juga jangan ketawain temen kamu ituh, gua kepret juga Lu!” Ronald: “Waha..haa.ha.ha...wuuu...kepret aja pak!” Indra : “Eh, kalo bukan teve gua bantet lu!” ANALISIS Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.
Dialog segitiga yang terjadi antara TV, Ronald, dan Indra itu bisa dikatakan sangat menarik. Pertama terjadi sesuatu yang tidak biasa, yaitu ketika reporter bola TV yang biasa melakukan monolog kali ini malah terlibat dialog. Dialog pertama adalah pelanggaran terhadap maksim penghargaan yang dilakukan TV terhadap Ronald. TV menyebut Ronald “keriting”, yang secara jelas bermaksud melecehkan atau memaksimalkan cacian kepada fisik Ronald. Mendengar kawannya dihina TV, Indra malah memperparah cacian dengan berujar, “...mampus Lu!”. Kata mampus bisa dikatakan sebagai bentuk kata yang sangat kasar dan tidak sopan, karena bermakna konotasi negatif, yang biasanya kata itu ditujukan kepada penjahat atau hewan. Pelanggaran terhadap maksim penghargaan terus-menerus terjadi dari dialog ini. Terbukti dari banyaknya kata yang masuk ke dalam kata yang bernada cacian/makian yang sangat kasar, seperti bacot, jepret, bantet. Kata-kata itu sangat dilarang dikatakan pada saat situasi formal, karena bertendensi menimbulkan percikan-percikan pertikaian. Namun, dalam konteks humor tuturan semacam itu bisa jadi sebagai strategi mereka untuk melucu. Tuturan di atas mampu membuat penonton tertawa lepas terbahakbahak dengan durasi cukup lama. No. Data : 05 KONTEKS
DATA
Tuturan komentator di TV yang selalu Teve: tidak jelas,
“Sebastian
mengarahkan
umpannya
nampaknya membuat kepada Ballack. Tendangan penjuru diarahkan,
bingung dan marah pemirsanya.
melambung
diterima
oleh
Ballack
dia
mengarahkan bola kekanan, kekiri, kekanan, 57|
kekiri, kekanan, kiri, kanan, kiri, kiri, kanan kiri, kiri, kanan, kiri kanan kiri.” Tora: ”Woey ini sepakbola apa gerak jalan?” Indra: “Iya goblok, yang jelas dong!” ANALISIS Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain. Kata “goblok” sebagai kata cacian dalam konteks sehari-hari, yang bisa mengakibatkan seseorang terlukai hatinya bila kata itu dialamatkan kepadanya, bisa jadi merupakan kata “biasa” atau menurun kadar caciannya bila kata itu terjadi dalam konteks humor. Terbukti, dengan banyak ditemukannya kata jenis ini dalam tiap jenis tuturan cacian. Salah satunya adalah tuturan yang dikemukakan Indra di atas. Karena merasa kesal dipermainkan oleh tuturan reporter bola dengan kalimatnya yang tidak masuk akal, kata pemakismalan cacian itu langsung saja menyeruak keluar dari mulut Indra, “Iya goblok, yang jelas dong!”. No. Data : 06 KONTEKS Aming
DATA
yang
pembantu
haus
berperan
sebagai Aming: ”Tuan, tuan, kok ga bilang-bilang sih
laki-laki,
terkejut ada cowo disini. Ini lucu lagi.”
senang setelah melihat banyak laki-laki Tora: “Apa Nyuk? pergi pergi, pergi sana, perg tampan disekeliling tuannya.
sana!”
ANALISIS Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM PENGHARGAAN karena bertendensi menambahi cacian pada orang lain dan mengurangi pujian pada orang lain.
Aming sebenarnya telah berlaku santun dengan memaksimalkan pujian terhadap lawan tuturnya. ia menyebut lawan tuturnya sebagai cowok lucu, terbukti dari tuturan, ”...ini lucu lagi,”. Tetapi, tuturan santun yang dikemukakan Aming pada Tora malah dibalas sebaliknya. Dengan angkuh dan takut-takut karena melihat penampilan fisik Aming, Tora membalas tuturan Aming dengan tuturan langsung cacian memerintahkan Aming supaya pergi, “Apa Nyuk? pergi, pergi...” seperti kita tahu, kata “nyuk” itu dalam bahasa sunda padan dengan kata “kunyuk” atau dalam bahasa Indonesia berarti “sejenis monyet”. Sebuah tuturan yang menganalogikan manusia dengan hewan adalah mutlak sebagai tuturan yang tidak santun. 58|
4. Melanggar Maksim Kesederhanaan Pelanggaran terhadap maksim kesederhanaan secara terus-menerus akan membentuk stigma kepada si pelaku sebagai orang yang sombong, bersikap anti sosial, dan bahkan yang terburuk penutur seperti itu akan dijauhi lawan tuturnya. karena bagaimanapun bertransaksi komunikasi dengan orang yang selalu melanggar maksim kesederhanaan akan sangat tidak nyaman.
No. Data : 07 Konteks
DATA
Perdebatan
sengit
mengenai
Ronald: ”Orang Indonesia
tuh kalo liat
karakteristik mental para penonton bola pertandingan internasional bisanya ngomentarin, di Indonesia terjadi antara Ronald kalo disuruh main kaga bisa lu! pemaen kampung sok jago!”
dengan Tora.
Tora: “Eh, dia kaga tau
gini-gini dulu gua
pemimpin kesebelasan lu.” Ronald: “Pemimpin, Kapten!” ANALISIS Tuturan
di
atas
masuk
ke
dalam
PELANGGARAN
PS
dengan
MAKSIM
KESEDERHANAAN karena bertendensi menambahi pujian pada diri sendiri dan mengurangi cacian pada diri sendiri. “Eh, Dia kaga tau gini-gini dulu gua Pemimpin kesebelasan lu,” adalah tuturan yang dikemukakan Tora menjawab hinaan dan pelecehan yang dikemukakan Ronald, ” ...pemaen kampung sok jago!”. Tuturan Tora di atas bisa dimasukkan ke dalam tuturan yang melanggar maksim kesederhanaan karena tuturan itu secara tersirat bermaksud untuk memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri, bahwa hinaan yang dikemukakan Ronald itu salah alamat karena Tora waktu jaman dulu sempat menjadi pemimpin/kapten kesebelasan, suatu posisi dalam sebuah tim sepakbola yang sangat prestisius atau tidak mudah didapat oleh sembarang orang. Tuturan di atas dikategorikan lucu, karena membuat penonton tertawa.
5. Pelanggaran Maksim Mufakat Dalam konteks umum atau konvensional pelaku pelanggaran terhadap maksim ini akan mendapat cap sebagai seorang yang tidak santun dan tidak berwawasan luas. Yang terburuk, lawan tutur akan merasa enggan untuk berkomunikasi lagi dengannya. 59|
No. Data : 08 KONTEKS.
DATA
Transaksi komunikasi antara Aming Aming: “Tuan, ada yang bisa Inem Bantu?” yang bersikeras melayani dan Indra Indra: “Keliatannya sih, ga ada.” yang teguh pendirian tidak ingin Aming: “Ga apa-apa ga usah sungkan, kebetulan dilayani, berlangsung sengit.
Inem tuh sedang ngangur.” Aming: “Gimana Tuan katanya mau dipijit? apa tuan mau di creambath, di creambath Tuan! di kasih cream terus di embat. Gimana tuan?” Indra: “Gua mau, tapi engga mau sama lu. Pergi lu!” Aming: “Aduh tuan, rasanyamah sama tuan, ah.” Indra: “Rasanya sama gimana? pergi sono!”
ANALISIS Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MAKSIM MUFAKAT karena bertendensi menambahi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan mengurangi persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain.
Pelanggaran terhadap maksim pemufakatan dari dialog di atas, kali pertama terlihat dari respon dingin yang dikemukakan oleh Indra, “Keliatannya sih, ga ada,” atas pertanyaan yang dikemukakan Aming, “Tuan ada yang bisa dibantu?” Dalam tuturan itu nyata terlihat bahwa Indra berusaha memaksimalkan ketidaksesuaian dirinya dengan Aming. Pemaksimalan atas ketidaksesuaian itu semakin dipertegas lagi dengan tuturan-tuturan Indra berikutnya atas tawaran pelayanan yang dikemukakan Aming seperti, “Gimana Tuan katanya mau dipijit? apa Tuan mau di creambath? Di creambath Tuan! Di kasih cream terus di embat. Gimana tuan?” Indra kemudian menjawab, “Gua mau, tapi engga mau sama lu...”. Tuturan balasan dari Indra tersebut bermaksud memaksimalkan ketidaksesuaian dengan Aming. No. Data : 09 KONTEKS
DATA
Tora mengajak teman-temannya untuk Tora: “Woey wey ayo mulai, ayo mulai. bertaruh kesebelasan manakah yang Tarohan taruhan. Gua Jerman gua Jerman. Kartu akan
menang.
Namun
serta-merta kartu.” 60|
diinterupsi oleh Indra. Interupsi Indra Indra: “E, eh, lu berdua apaan? Judi!” kemudian diinterupsi lagi oleh Ronald.
Ronald: “Cuman dikit aja, gimana nih.” Tora: “E liat tuh, udah tendangan penjuru tuh, tendangan corner tuh corner.”
ANALISIS Tuturan di atas masuk ke dalam PELANGGARAN MUFAKAT karena bertendensi menambahi ketidaksesuaian antara diri sendiri dengan orang lain dan mengurangi persesuaian antara diri sendiri dengan orang lain. Tora mengajak taruhan kepada teman-temannya. “Taruhan taruhan. Gua Jerman gua Jerman.” Mendengar Tora mengajak taruhan, Indra merasa tidak setuju, ia kemudian mengingatkan dengan tuturan tidak langsung bahwa itu semua adalah judi, dan secara tersirat Indra mengingatkan bahwa judi adalah perbuatan terlarang. Dengan mengikuti gaya Roma Irama menyanyi, dengan kocak Indra berujar.” E, eh, lu berdua apaan? Judi...!”
dan
tertawalah penonton mendengar tuturannya itu. Mendengar Indra tidak setuju taruhan, Ronald langsung memotong dan menuturkan tuturan tidak langsung yang secara tersirat bahwa judi sedikit atau kecil-kecilan tidaklah mengapa atau dilarang, “Cuman dikit aja, gimana nih”. Dari tuturan-tuturan itu kita bisa menarik simpulan bahwa semua tuturan yang berhasil diidentifikasi masuk ke dalam klasifikasi yang melanggar terhadap maksim pemufakatan (memaksimalkan ketidaksesuaian antara diri dengan lain).
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis pada terhadap acara humor Extravaganza produksi Trans TV dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1) Sebagian besar tuturan para pelawak Extravaganza melanggar maksim kesantunan, terutama maksim kebijaksanaan dan penghargaan. Fakta dari hasil identifikasi tersebut menunjukan bahwa Extravaganza dilihat dari strategi lawakan banyak mengandalkan ketidaksantunan bahasa, sarat dengan cacian dan makian. Fakta ini semakin menguatkan dugaan bahwa bila prinsip kesantunan dalam konteks lazim dipatuhi akan bisa memelihara muka/face penutur dan petutur, namun bila disepakati dengan cara dilanggar secara disengaja dan atau dalam kapasitas disertai dengan intensitas yang tinggi maka humorlah yang terjadi. 2) Dari observasi terhadap suara tawa penonton di studio dan pengalaman empiris pribadi penulis, dapat disimpulkan semakin tidak santun tuturan akan menghasilkan kadar 61|
kelucuan semakin lucu, semakin pedas hinaan dan cacian pula berdampak terhadap makin lucunya tuturan tersebut. Semakin santun berdampak pula terhadap makin tidak lucunya tuturan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University Press. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia. Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Wijana, Dewa Putu. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi. Yule, George. 1996. Pragmatics. New York: Oxford University Press.
62|
MEMBURU “CINTA” DENGAN MANTRA: ANALISIS PUISI MANTRA ORANG JAWA KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN MANTRA LISAN Heri Isnaini STKIP Siliwangi Bandung Pos-el:
[email protected]
Abstrak Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang lain seperti dongeng atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu. Dengan kata lain, mantra tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Sedangkan puisi adalah karya sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur batinnya. Kemiripan antara kedua teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan mantra sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya. Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi berkembang dalam tradisi tulisan. Kedua teks tersebut akan disandingkan dan dibandingkan dalam keterkaitannya satu dengan yang lain. Pembahasan kedua teks akan merujuk pada struktur teks, proses penciptaan, konteks penuturan, dan fungsinya. Kata kunci: puisi, mantra, struktur, konteks penuturan, fungsi
Abstract How to spell deployment is not the same as how the spread of oral texts such as fairy tales or legends. Inheritance spell text relating to certain “laku mistik”. In other words, the spell can not be separated with mystical elements attached to it. While poetry is imaginative literature that is connotative meanings for many uses allegory and symbolism, or in other words that poetry is a form of literature that reveals the thoughts and feelings of the poet are imaginative and prepared with the concentration of the physical structure and inner sructure. The similarities between the two texts (poems and mantra) gave the impression that both have the same functions and benefits. Despite the fact that the text of the poem and the mantra is very different. The most fundamental difference is in the tradition spread. Mantra live in the oral tradition, while developing in the tradition of writing poetry. Both of these texts will be juxtaposed and compared in relation to one another. The second discussion of the text will refer to the structure of the text, the process of creation, the narrative context, and function. Keywords : poetry, mantra, structure, narrative context, function
63|
PENDAHULUAN Tulisan ini akan dibuka dengan dua buah teks berikut: : rasaku lebih tinggi dari rasamu ruhku lebih tinggi dari ruhmu kamaku lebih unggul dari kamamu (Damono, 2009a, hlm. 17)
Cep sida edan ora edan Sida gendeng ora gendeng Sida bunyeng ora mari-mari Yen ora ingsun sing nambani (Isnaini, 2007, hlm. 149)
Teks di atas menunjukkan larik-larik puisi pada teks puisi “Mantra Pengasihan 1” dan teks pada mantra asihan Jaran Goyang. Puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan salah satu puisi pada buku kumpulan puisi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono, Larik-lariknya menggambarkan teks unik yang mempunyai kemiripan dengan teks mantra dalam tradisi lisan. Kemiripan antara kedua teks tersebut (puisi dan mantra) menimbulkan kesan bahwa keduanya memiliki fungsi dan manfaat yang sama. Walaupun pada kenyataannya antara teks puisi dan mantra sangatlah berbeda. Perbedaan yang paling mendasar adalah pada tradisi penyebarannya. Mantra hidup dalam tradisi lisan, sedangkan puisi berkembang dalam tradisi tulisan. Mantra merupakan salah satu jenis puisi lama yang disebarkan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Cara penyebaran mantra tidak sama dengan cara penyebaran teks-teks lisan yang lain seperti dongeng atau legenda. Pewarisan teks mantra berkaitan dengan laku mistik tertentu. Dengan kata lain, mantra tidak dapat dipisahkan dengan unsur mistik yang melekat padanya. Waluyo menyatakan (1987, hlm. 31) bahwa mantra selalu berhubungan dengan sikap spiritual manusia untuk memohon sesuatu dari Tuhan/kekuatan gaib. Untuk mencapainya diperlukan kata-kata pilihan yang berkekuatan gaib, yang oleh penciptanya dipandang mempermudah kontak dengan tuhan/kekuatan gaib, dengan demikian apa yang diminta (dimohon) oleh pengucap mantra itu dapat dipenuhi oleh tuhan/kekuatan gaib tersebut. Sedangkan puisi adalah karya sastra imajinatif yang bersifat konotatif karena banyak menggunakan makna kias dan makna lambang atau dengan kata lain bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan sruktur batinnya (Waluyo, 1987, hlm. 25). Perbedaan lain antara puisi dan mantra seperti yang dijelaskan oleh Junus (1983, hlm. 134) bahwa puisi dibentuk dari unsur bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses sintagmatik. Setiap kata adalah signifier yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah “penjumlahan” referent dan signified dari kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses sintagmatik. Mantra sebaliknya adalah keseluruhan yang utuh yang dirinya sendiri mempunyai signified. Tentu saja dalam hubungan ini sengaja diabaikan signified suatu bentuk puisi yang dilihat dalam hubungan dengan puisi yang 64|
mendahuluinya. Dengan kata lain, teks mantra merupakan teks dengan kesatuan pengucapan bukan kesatuan kalimat dan ada kecenderungan esoteris dalam kata-katanya, sedangkan puisi sebaliknya. Pada buku Mantra Orang Jawa terdapat 64 teks puisi yang menyerupai teks mantra. Walaupun pada penjelasan di atas terdapat perbedaan antara teks puisi dan mantra, tetapi pada buku Mantra Orang Jawa penyair selalu menuliskan kata mantra atau kata yang bersinonim dengan kata mantra seperti aji pada teks-teks puisinya. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk penelitian ini karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks mantra yang dianggap `sakral` oleh masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku ini, saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu…” (Damono, 2009, hlm. 1). Rusyana, (1970, hlm. 11) mengklasifikasi mantra berdasarkan fungsi dan manfaat yang tersirat di dalamnya. Menurutnya, mantra dapat dibagi ke dalam beberapa bagian: Asihan digunakan untuk menguasai sukma (jiwa) orang lain; Jangjawokan dibaca (diamalkan) sebelum atau sesudah melakukan sebuah pekerjaan tertentu; Ajian berfungsi untuk mendapatkan kekuatan pribadi; Singlar digunakan untuk mengusir roh halus (setan); Rajah berguna untuk menolak bala, meruat, penangkal mimpi buruk, dan sebagainya; dan Jampe untuk menyembuhkan penyakit. Di kalangan masyarakat Jawa menurut Wardhana, (2003, hlm. 2-3) wujud mantra itu pada umumnya dikenali sebagai berikut: 1) mantra dalam wujud kata-kata atau puisi lisan dan yang hanya dihafal dalam batin disebut: JapaMantra; Aji-Aji; Rapal; 2) mantra dalam wujud tulisan, misalnya yang tertulis pada kain; kertas; kulit; kuku; dan lain sebagainya disebut: Rajah; 3)mantra yang kekuatannya ditanam pada suatu benda disebut: Jimat; Aji-Aji. Misalnya pada batu akik; keris, tongkat, dan lain-lainnya. Merujuk pada pengklasifikasian teks mantra dari Yus Rusyana maka ke- 64 teks puisi pada buku Mantra Orang Jawa dapat dibagi menjadi 6 kategori berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Teks puisi yang berupa asihan adalah: (Mantra Agar Dikasihi,Masuk ke Jiwa Orang Lain, Mantra Pengasihan 1, Mantra Pengasihan 2, Mantra Pengasihan 3, Mantra Pengasihan 4, Mantra Agar Dicintai Selama-lamanya, Mantra Agar Mudah Menari Rizki dan Dicintai Orang, dan Mantra Memerintah Orang). Teks puisi yang berupa Jangawokan adalah: (Mantra Sebelum Bersenggama 1, Mantra Sebelum Bersenggama 2, Mantra Bersenggama, Mantra Duduk, Mantra Mandi 1, Mantra Mandi 2, Mantra Mandi 3, Mantra Mandi 4, Mantra Mandi Tanggal 1 Hijriah, Mantra Mandi Malam Jumat, Mantra Keselamatan Diri, Mantra Menjelang Tidur, Mantra Sebelum Bepergian, Mantra Menyapih Anak, Mantra Mendirikan Rumah, Mantra Memperbaiki Rumah, dan Mantra Waktu Makan). Teks puisi yang berupa ajian adalah: (Meredakan Api, Gosok Rasa, Aji Limunan, Mantra Menguasai Orang, Keteguhan, Menghindari Peluru, Menggenggam Kilat, Bayang-bayang, Ngelmu, Kekuatan, Mantra Agar Keinginan Kesampaian, Mantra Agar Pencarian Lancar 1, Mantra Agar Mata Pencarian Lancar 2, Mantra Minta Bantuan Malaikat, Mantra Menamah Kekuatan, Mantra Mendatangkan Kekayaan, Aji Jayabrana, Mantra Bangau Tong-tong, dan Mantra AgarUnggul Bicara. Teks puisi yang berupa rajah adalah: (Mantra Pengusir Topan, Kidung, dan Mantra 65|
Kesempurnaan Diri). Teks puisi yang berupa Jampe adalah: (Mantra Sakit Sekujur Tubuh, Mantra Sakit Encok, Mantra Sakit Bengkak, Mantra Menyembuhkan Sakit, dan Mantra Agar Dikaruniai Anak). Sedangkan teks puisi yang berupa singlar adalah: (Bismillah, Ashhaduallahillahaillallah, Asalusul Manusia, Mantra Hari Lahir, Racun Kiblat Empat, Kidung Air, Mantra Sore Hari, Makna, Air, Mantra Menghadap Gusti, dan Mantra Wewe Putih). Dari beberapa pembagian mantra tersebut, teks yang akan diteliti adalah teks mantra asihan. Hal ini dikarenakan hanya mantra asihan yang bersifat "menguasai" sukma (jiwa) orang lain untuk meraih "cinta" dari seseorang yang diharapkan. Sehingga teks ini menjadi "primadona" sebagai teks mantra yang banyak diamalkan. Dengan kata lain, mantra asihan adalah teks yang berisi permintaan (doa) kepada tuhan atau kekuatan gaib dengan tujuan menguasai jiwa orang lain supaya menjadi terpengaruh (menjadi cinta, sayang, rindu, dan lain-lain).
HASIL DAN PEMBAHASAN Larik-larik puisi “Mantra Pengasihan 1” merupakan contoh teks mantra asihan yang digunakan (diamalkan) untuk menarik "hati" dan "cinta" lawan jenis (Rusyana, 1970, hlm. 11). Hal ini menjadi sesuatu yang menarik untuk diteliti karena teks puisi yang ditulis merupakan transformasi dari teks mantra yang dianggap `sakral` oleh masyarakat yang memiliki tradisi mantra. …(mantra) dalam buku ini, saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu…” (Damono, 2009, hlm. 1). Penjelasan tersebut mengantarkan kita pada sebuah anggapan bahwa mantra adalah teks yang memiliki aspek magis tertentu meskipun teks itu sudah bertransformasi menjadi teks yang sama sekali berbeda. Aspek magis itulah yang menjadikan mantra menarik untuk diteliti. Yaitu, mantra sebagai sebuah teks puisi yang sangat eksotik, dahsyat, dan spiritual. Kita bisa mengenal bentuk-bentuk pengucapan pada teks mantra dalam hubungannya dengan kekuatan alam. Selain itu, kita bisa melihat pola sinkretisme budaya, yang tampak pada penggunaan istilah-istilah Allah, Muhammad, Bismillah, Jibril, Shang Hyang Agung, Shang Hyang Widhi, atau kekuatan gaib lain yang banyak tersebar di hampir semua teks mantra. Begitupun dengan teks mantra asihan yang ditulis oleh Damono “Mantra Pengasihan 1”.
wahai si Capung Kencana aku perintahkan kau masuk ke gua garba Nuraini (Damono, 2009a, hlm. 17) Penggunaan kata “si Capung Kencana” adalah penyebutan untuk sesuatu kekuatan “gaib” yang dipercaya dapat membantu terkabulnya keinginan yang tersirat di dalam maksud mantra tersebut. 66|
Yaitu meraih “cinta” seseorang. Penggunaan kata yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” tersebut juga terdapat pada teks mantra pada tradisi lisan.
Niat ingsun matek ajiku sang Setan Kober Gelem kang sira kongkon Ora gelem kang sira kongkon Lebonana gua garbane si…binti… (Isnaini, 2007, hlm. 63)
Pada mantra dalam tradisi lisan, penggunaan kata untuk menyebutkan sesuatu yang dianggap “gaib” adalah hal yang sangat mutlak diperlukan. Hal ini disebabkan karena mantra adalah sebuah komunikasi yang ditujukan untuk sesuatu yang dianggap dapat membantu terkabulnya permohonan si pangucap mantra. Selain penyebutan tersebut, kita dapat melihat adanya “kesamaan” antara teks puisi “Mantra Pengasihan 1” dengan teks mantra asihan Setan Kober. Penyebutan “Capung Kencana” vs “Setan Kober” adalah penyebutan yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” sebagai media komunikasi. Komunikasi yang dilakukan oleh si pangucap mantra kepada sesuatu hal yang “gaib” adalah komunikasi satu arah dengan tujuan supaya makhluk gaib itu mengabulkan permohonan si pengucap mantra. Makhluk gaib tadi berubah dari sesuatu yang berkuasa menjadi sesuatu yang melayani manusia (si pangucap mantra). Dengan begitu mantra diharapkan menjadi efektif dan mempunyai efek dan akibat seperti yang diinginkan s pengucap mantra. Menurut Junus (1983, hlm. 133) untuk menjadi efektif mantra setidaknya harus mempunyai unsur-unsur berikut: 1. Mantra harus terdiri dari rayuan dan perintah. Sesudah dirayu yang gaib itu diperintah untuk melayani. 2. Mantra dibentuk secara puitis dengan tidak menggunakan kesatuan kalimat, tetapi suatu expression unit (kesatuan pengucapan). 3. Yang dipentingkan dalam mantra adalah “keindahan bunyi” sehingga yang penting di dalamnya adalah unsur bahasa yang kongkret, bunyi. Lalu, apakah yang dituliskan oleh Damono adalah mantra asihan? Ataukah sebuah puisi yang “imajinatif” dengan judul “Mantra Pengasihan”? Dalam bukunya, Damono mengatakan bahwa yang ditulisnya adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asalusulnya tidak mungkin lagi ditelusuri (Damono, 2009a, hlm. 1). Dengan kata lain, teks yang ditulis oleh Damono adalah mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks aslinya. Kalau saya boleh meminjam istilah Damono sendiri (2009b, hlm. 114) apa yang dilakukannya adalah “alih wahana” atau mengubah dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian yang lain. Pengubahan tersebut jelas sangat terlihat, misalnya dalam penggunaan media. Mantra yang hidup dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan mantra yang awalnya milik kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula 67|
adalah ekspresi kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (oral tradition) (Hutomo, 1991, hlm. 1) diubah menjadi ekspresi individu yang disebarkan secara tertulis dan dalam bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas akan menimbulkan “pengaruh” terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri. Tapi seperti yang dikatakan Damono “…saya telah menjadikannya puisi dan harap dibaca sebagai puisi saja, tidak perlu dikait-kaitkan dengan maksud penciptaannya dulu. Namun, siapa tahu masih ada kekuatan tersembunyi yang masih tersisa dalam puisi ini. Kalau memang demikian halnya, kita manfaatkan sajalah…”(2009a, hlm. 1). Agaknya Damono sendiri masih “mempercayai” kekuatan pada teks mantra yang ditulisnya. Memang, teks mantra adalah sebuah teks yang sudah ada sejak lama dalam kebudayaan nenek moyang kita sehingga pengaruh “kekuatannya” tidak akan mudah diubah hanya dengan transformasi pada teksnya. Karena menurut saya, “kekuatan” mantra justru ada pada keyakinan masyarakat kita yang sudah memfosil selama bertahun-tahun dan dari generasi ke generasi. Kekuatan mantra tersebut akan semakin diyakini oleh si pangucap ketika proses pengamalannya disertai dengan laku mistik tertentu. Sehingga mantra yag diamalkan diharapkan dapat mempunyai efek dan manfaat. Seperti efek “menarik lawan jenis” dan meraih “cinta” seseorang.
Mantra Pengasihan 3
Asihan Si Naga Rante
ajiku sang leher, menolehlah
Asihan aing si naga rante
tolehlah hambaku
nya tali paranti ranti
kusatukan ujung bulu mataku
tunggal tali jadi-jadi
kusatukan ujung alisku
rek kentel hayang jadi hiji jeung si…
kusatukan ujung rambutku
cunduk tiruk tali angkruk
ruh dari ruhku
burung badan burung leumpang balik deui
nyawa dari nyawaku
rusras ka badan aing
sukma dari sukmaku
nangkarak mayang murag
tubuh dari tubuhku
muyukpuk kawas kapuk kaibunan
blug! Mati, belum mati
mangka welas mangka asih ka badan aing
jadi gila
(Rusyana, 1970, hlm. 36)
belum gila tapi sempoyongan :
Asihan Jaran Goyang
takkan sembuh jabang bayi si Nuraini
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
kalau bukan aku yang mengobati
Tak goyang ing tengah latar
penuh belas penuh kasih
Upet-upetku lawe benang
jabang bayi si Nuraini
Pet sabetaken gunung gugur
menatapku
Pet sabetaken lemah bengkah
tajam menatapku
Pet sabetaken segara asat 68|
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pet sabetaken ombak gede sirep Pet sabetaken atine si… binti… Cep sida edan ora edan Sida gendeng ora gendeng Sida bunyeng ora mari-mari Yen ora ingsun sing nambani (Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
Ketiga teks tersebut adalah teks mantra asihan. Pertama, adalah teks puisi “Mantra Pengasihan 3” karya Sapardi Djoko Damono, sedangkan kedua dan ketiga adalah teks transkripsi dari teks mantra dalam tradisi lisan “Asihan Si Naga Rante” transkripsi dari mantra asihan pada masyarakat Sunda dan “Asihan Jaran goyang” transkripsi dari mantra pada masyarakat Pantura, Jawa Barat. Ketiganya memiliki keunikan terutama dalam penggunaan bahasa. Perbedaan tersebut tidak dapat “mengingkari” kesamaan dari ketiganya, yaitu sama-sama mempunyai maksud yang membuat orang lain “jatuh cinta‟. Selain itu kita dapat melihat kecenderungan yang “sama” pada ketiga teks tersebut. Selanjutnya, akan saya jelaskan sebagai berikut. Pertama, terdapat unsur “gaib”. Unsur-unsur gaib tesebut biasanya terdapat pada judul atau pada larik pertama. Contoh. “ajiku sang leher, menolehlah”; “Asihan aing si naga rante”; “Sun matek ajiku si Jaran Goyang”. Unsur-unsur gaib ini memperlihatkan sesuatu yang dianggap “sakral” sehingga mantra dipercaya mampu memberikan kekuatan yang dapat membantu si penguca mantra.. Kedua, adanya bagian rayuan dan bgian teks yang berisi perintah. Seperi penjelasan Junus (1983, hlm. 133) bahwa perbedaan teks puisi dan mantra adalah ada tidakya bagian yang menyatakan rayuan dan perintah tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa mantra adalah media komunikasi yang dilakukan oleh si pengucap mantra kepada kekuatan “gaib” dengan tujuan memperoleh sesuatu yang yang diharapkan. Komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi satu arah, kekuatan “gaib” akan “menuruti” sesuatu yang diucapkan si pengucap mantra karena sudah diiming-imingi dengan “rayuan”, bentuk “rayuan” dalam mantra lisan bisanya berupa laku mistik tertentu. Namun, kita juga dapat melihat bentuk “rayuan” dalam teksnya. Perhatikan: ajiku sang leher, menolehlah tolehlah hambaku kusatukan ujung bulu mataku kusatukan ujung alisku kusatukan ujung rambutku (Damono, 2009a, hlm. 20) Pada larik-larik tersebut, kita dapat melihat sebuah “rayuan” pada makhluk „gaib‟ tertentu. “Rayuan” tersebut biasanya selalu diikuti dengan kata-kata memerintah. “//ajiku sang leher, 69|
menolehlah//tolehlah hambaku//” si pengucap mantra memberikan sebuah perintah pada nama gaib “sang leher” untuk menoleh, kalimat perintah yang disebutkan diikuti dengan “rayuan”, “tolehlah hambaku//kusatukan ujung alisku//kusatukan ujung rambutku//”. Rangkaian kata-kata tersebut adalah “rayuan” yang hiperbolis. Hal ini dilakkan dengan harapan agar si pengucap mantra dapat dibantu untuk meraih tujuan. Unsur “rayuan” juga terdapat pada teks mantra dalam tradisi lisan, seperti saya contohkan pada teks berikut. Sun matek ajiku si Jaran Goyang Tak goyang ing tengah latar Upet-upetku lawe benang (Isnaini, 2007, hlm. 148)
Sun matek ajiku si Jaran Goyang `saya niat menggunakan asihan si Jaran Goyang` Tak goyang ing tegah latar `digoyang di tengah latar/halaman` upet-upetku lawe benang `goyanganku seperti benang`. Ketiga larik tersebut menunjukkan “rayuan” yang ditujukan pada kekuatan “gaib” Jaran Goyang. Kemudian kita lihat larik-larik selanjutnya. Ada pengulangan yang hiperbolis. Pengulangan kata pet sabetaken `pet, pukulkan`. Kata-kata tersebut diulang sebanyak lima kali yang mengandung majas paralelisme anaphora karena kata-kata yang diulang berada di awal kalimat atau larik. Berikut teksnya. Pet sabetaken gunung gugur
pet dipukulkan gunung hancur
Pet sabetaken lemah bengkah
pet dipukulkan tanah membelah
Pet sabetaken segara asat
pet dipukulkan laut surut
Pet sabetaken ombak gede sirep
pet dipukulkan ombak besar hilang
Pet sabetaken atine si… binti…
pet dipukulkan hatinya si… binti…
(Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
Pengulangan kata-kata yang hiperbolis tersebut menekankan pada kata kerja sabetaken `dipukulkan`. Penekanan kata kerja tersebut merupakan sebuah penegasan bahwa teks tersebut adalah laku atau sebuah proses aktivitas, karena tidak bisa dipungkiri, pencptaan mantra asihan adalah sebagai sebuah aktivitas (laku) yang mengharuskan si pengucap melakukan aktivitas dalam konteks penuturannya yaitu sebuah laku mistik tertentu. Adapun laku mistik dalam pengamalan mantra asihan Jaran Goyang ini adalah. 1) Puasa mutih (puasa yang hanya memperkenankan si pangamal makan nasi putih dan air putih saja pada waktu berbuka) selama 6 hari. 2) Puasa pati geni (si pengamal tidak boleh makan dan tidak boleh minum serta tidak boleh tidur, yang berarti mengunci diri atau bertapa) selama sehari semalam. 70|
3) Mantra asihan Jaran goyang dibaca sebanyak 7 kali setiap malam, selama menjalankan laku mistik puasa tadi (Isnaini, 2007, hlm. 189-190) Dengan kata lain, aktivitas laku mistik yang dilakukan menandakan bahwa mantra yang diucapkan benar-benar mantra yang mempunyai kekuatan tertentu yang diharapkan dapat membantu untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Di samping adanya kata-kata yang berupa “rayuan” dan “perintah” yang hiperbolis, kita juga dapat melihat bahwa kata-kata tersebut menggambarkan sistem proyeksi (angan-angan) dari pengucap mantra serta memberikan jalan yang dibenarkan masyarakat agar dia dapat superior dari orang lain (Hutomo, 1991, hlm. 69-71). Ketiga, mementingkan “keindahan bunyi” atau terasa ada permainan bunyi. Bunyi merupakan unsur yang penting dalam mantra. Hal ini karena mantra bersifat expression unit (kesatuan pengucapan). Artinya, teks mantra hanya dapat dipahami secara utuh bukan hanya bagian-bagian terpisah dari unsur-unsurnya. Hal tersebut sesuai dengan denganciri-ciri puisi rakyat yang disebutkan Dananjaja (2002, hlm. 46) bahwa kekhususan genre ini yaitu kalimatnya yang tidak berbentuk bebas (free phase) melainkan terikat (fix phase). Maksud dari ciri tersebut adalah bentuk tertentu yang biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan matra, panjang pendek kalimat, suku kata, lemah tekanan suara, atau berdasarkan irama.
Contoh. kalau matanya terbuka goyangkan tubuhnya kalau sedang tidur bangunkan dia satukan hati dan jantungnya dengan hati dan jantungku (Damono, 2009a, hlm. 16)
Pemanfaatan bunyi juga terlihat pada teks mantra dalam tradisi lisan, misalnya.
Ketemu turu tangekna
`kalau dia tidur, bangunkan`
Ketemu tangi lungguhna
`kalau dia bangun, dudukkan`
Ketemu lungguh adegna
`kalau dia duduk, berdirikan`
Ketemu ngadeg mlakukna
`kalau dia berdiri, berjalankan` (Isnaini, 2007, hlm. 99)
Sutardji dalam beberapa puisinya memanfaatkkn unsur bunyi karena puisi yang diciptakannya “mengikuti” teks mantra. Misalnya dalam puisi yang berjudul “Sepisaupi” 71|
sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya ke dalam nyanyi 1973 (Bachri, 2002, hlm. 70)
Selain dari pemanfaatan unsur bunyi dan bahasa, pada mantra juga kita akan menemukan formula-formualik. Teori mengenai formula bahasa dikemukakan oleh Lord melalui teori formulaformulaik. Lord memberikan batasan pada istilah formula dan formulaik, yaitu: Formula adalah kelompok kata yang digunakan secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra (irama) yang sama untuk mengungkapkan satu ide tertentu yang hakiki (Teeuw, 1994, hlm. 3). Formula (frasa, klausa, atau larik) dalam puisi dihasilkan dengan dua cara, yaitu dengan mengingat frasa itu dan dengan menciptakan melalui analogi frasa-frasa lain yang pernah ada (Badrun, 2003, hlm. 26). Sedangkan formulaik yaitu larik atau separuh larik yang disusun atas dasar pola formula (Teeuw, 1994, hlm. 3). Formula bahasa yang tampak dalam teks asihan Jaran Goyang di atas yaitu terdapatnya beberapa pengulangan kata. Sebuah kata yang terbentuk dalam sebuah kalimat dalam setiap lariknya. Pengulangan tersebut, dilakukan baik dengan perubahan atau secara konstan/tetap. Perubahan dengan sebuah variasi, seperti pada larik ke-4 sampai dengan larik ke-8. Variasi tersebut dinyatakan dalam bentuk frasa. Misalnya: pet sabetakan gunung gugur (larik ke-4), frasa pet sabetakan lemah bengkah (larik ke-5), dan seterusnya. Frasa gunung gugur, lemah bengkah dan seterusnya merupakan variasi. Dalam variasi larik-larik tersebut terjadi pengulangan yaitu berupa kata pet sabetaken. Kata/frasa yang diulang dalam larik-larik tersebut memiliki fungsi, kedudukan, dan peran yang sama. Jadi dengan kata lain kata/frasa tersebut merupakan formula untuk sebuah larik. Keempat, ada sesuatu yang tidak dapat dipahami oleh manusia, sesuatu yang misterius. Kemisteriusan sesuatu dalam mantra tidak lepas dari sifat `sakral`nya. Mantra mempunyai logika sendiri, seperti pada teks-teks lisan lainnya. Logika tersebut terpatri pada masyarakat pemiliknya. Sehingga apapun yang menjadi syarat untuk tercapainya maksud, maka akan dilaksanakan. Walaupun syarat tersebut tidak masuk akal. Seperti puasa mutih selama 6 hari. Sebetulya tidak ada hubungan 72|
dengan menarik perhatian lawan jenis atau mencari cinta seseorang, tetapi bagi pemilik kebudayaan tersebut apa yang dilakukan adalah sesuatu yang “logis”.
wahai si Capung Kencana aku perintahkan kau masuk ke gua garba Nuraini kalau matanya terbuka goyangkan tubuhnya kalau sedang tidur bangunkan dia satukan hati dan jantungnya dengan hati dan jantungku kalau gagal biar dia gila kalau tak gila akan ngoceh terus tak jelas juntrungnya dan hanya aku yang bisa menyembuhkan : rasaku lebih tinggi dari rasamu ruhku lebih tinggi dari ruhmu kamaku lebih unggul dari kamamu (Damono, 2009a, hlm. 16)
Teks tersebut hampir sama dengan teks mantra pada tradisi lisan seperti berikut.
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober Gelem kang sira kongkon Ora gelem kang sira kongkon Lebonana guwa garbane si… binti… Kerik-keriken sikile Lamun turu tangekna Lamun tangi jagongna 73|
Lamun jagong adegna Lamun ngadeg mlakukna Karepna maring ingsun Awan lan bengi si… binti… Welas asih karo ingsun Welas asih karna Alloh taala (Isnaini, 2007, hlm. 63)
Dari beberapa larik pada teks di atas dapat terlihat ada kata-kata yang tidak masuk akal (tidak logis) dan sesuatu yang tidak dapt dipahami oleh manusia, kata-kata tersebut sangat misterius sehingga si pengucap mantra “dipaksa” untuk memahami sesuatu yang sebetulnya tidk dipahami. Misalnya,
wahai si Capung Kencana
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
aku perintahkan kau
Gelem kang sira kongkon
masuk ke gua garba Nuraini
Ora gelem kang sira kongkon Lebonana guwa garbane si… binti…
Dari kedua contoh tersebut kita dapat melihat bahwa ada sesuatu yang misterius. Misalnya penyebutan kata /gua garba/ /guwa garba/. Menurut KKBI garba berarti tempat; perut (Pusat-Bahasa & Depdiknas, 2008, hlm. 456). Berarti hal ini tidak logis secara harfiah tetapi sesuatu yang tidak logis tersebut sebetulnya sesuatu yang menjadi inti `kesakralan` mantra itu sendiri. Kelima, ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya. Kata-katanya bersifat rahasia, terbatas, dan bersifat khusus. Misalnya, penggunaan nama-nama yang mewakili kekuatan”gaib‟ merupakan contoh kata-kata esoterik. Contoh: //Si Capung Kencana// //SangSetanKober// //Si Runcang Kembang// //Mliwis Putih// //Si Naga Rante// //Si Jaran Goyang// adalah kata-kat khusus yang sifatnya terbatas karena kata-kata tersebut tidak mudah dijumpai pada konteks kalimat yang “biasa”. Kata-kata tersebut hanya ada pada teks mantra. Teks mantra, seperti halnya juga teks-teks lisan lainnya tidak akan terlepas dari konteks, proses penciptaan dan fungsi. Konteks pada teks-teks lisan dapat berupa konteks penuturan atau konteks pertunjukkan. Menurut Malinowski dalam Badrun, (2003, hlm. 38) kata-kata dalam sebuah percakapan hanya dapat dipahami kalau dikaitkan dengan konteks. Pemahaman konteks situasi saja belum cukup untuk memahami kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi juga harus dibarengi dengan pemahaman konteks budaya. Konteks situasi adalah lingkungan atau tempat peristiwa penuturan berlangsung. Konteks situasi atau tempat berlangsungnya teks, menurut Halliday dalam Badrun, (2003, hlm. 38) mempunyai tiga unsur yaitu medan yang menunjuk pada hal yang sedang dilakukan oleh pelibat yang di dalamnya menggunakan bahasa sebagai unsur pokok. Pelibat menunjuk pada orang-orang yang terlibat, yaitu 74|
bagaimana sifat, kedudukan dan peran mereka. Sedangkan sarana merujuk pada bagian yang diperankan bahasa. Konteks budaya adalah lingkungan budaya suatu daerah termasuk “peristiwa” dan norma yang melatari penuturan. Dengan kata lain konteks yang terjadi pada teks mantra asihan adalah konteks penuturan sekaligus konteks pertunjukkan Konteks penuturan. Sehinga konteks yang terjadi adalah pembicaraan mengenai sebuah peristiwa komunikasi secara khusus yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus pula. Artinya ada hubungan antara penutur, petutur, kesempatan bertutur, tujuan bertutur, dan hubunganya dengan lingkungan serta masyarakat pendukungnya. Pada teks mantra asihan, konteks penuturan terdiri atas dua tahap, yaitu: 1. Penutur 1 (dukun) kepada pendengar (pengucap mantra) 2. Penutur 2 (penguca mantra) kepada (yang diharapkan/orang yang dituju) Pada tahap pertama, dukun merupakan penutur yang menuturkan teks asihan kepada pendengar (pasien). Peristiwa komunikasi khusus di antara keduanya ditandai dengan hubungan timbal-balik antara penutur (dukun) dengan pendengar (pasien). Pada konteks penuturan tahap pertama ini, penutur (dukun) menuturkan sekaligus menjelaskan teks mantra asihan kepada pendengar (pasien) beserta tata cara laku mistik, waktu pengamalan, dan tujuan pengamalan. Semuanya dijelaskan oleh penutur (dukun) kepada pendengar (pasien) pada saat penuturan (dukun) berlangsung. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada alur konteks penuturan tahap pertama berikut:
Dukun
-
Kesempatan
-
Bertutur
-
Tujuan Bertutur
-
Laku Mistik
Pendengar/Pasien
Konteks Penuturan Tahap Pertama Pada konteks penuturan tahap kedua, yakni penutur (pengucap mantra) menuturkan teks mantra asihan sekaligus menjalankan laku mistik tertentu dengan tujuan menguasai sukma (hati) orang lain yang dituju. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada bagan alur konteks penuturan tahap kedua berikut:
-
Menuturkan mantra
-
Menjalankan Laku
Pengamal
Mistik -
Yang diharapkan
Tujuan Bertutur
Konteks Penuturan Tahap Kedua 75|
Pada konteks penuturan tahap kedua yang dilakukan oleh si pengucap mantra adalah mengamalkan (menjalankan) laku mistik yang sudah ditentukan karena laku mistik merupakan bagian integral yang tidak bisa dipisahkan dan merupakan syarat yang dapat menentukan berhasil tidaknya mantra tersebut (Isnaini, 2007, hlm. 143-144). Sedangkan proses penciptaan antara puisi lisan dan bukan lisan terdapat perbedaan. Pada puisi tertulis terdapat perbedaan antara moment penciptaan dan moment pembacaan (pertunjukkan). Sedangkan dalam puisi lisan kedua moment itu menjadi satu. Pengarang puisi lisan adalah penyair atau penyaji. Menurut Lord dalam Badrun, (2003, hlm. 43) proses penciptaan dalam puisi lisan terjadi pada saat pertunjukan berlangsung. Dalam penciptaannya, seorang penyaji tidak menghafal rumus/formula tertentu. Melainkan terjadi mengalir begitu saja. Faktor tertentu dalam menguasai puisi rakyat adalah memahami formula dan membiasakan diri untuk mendengarkan puisi tersebut. Lord menyebutkan bahwa Dalam puisi tertulis antara penciptaan dengan pembacaan terdapat perbedaan, perbedaan itu tampak pada moment (saat) yang terjadi, namun dalam puisi lisan di antara keduanya tidak terdapat perbedaan atau dengan kata lain menjadi satu. Pada penelitian ini, proses penciptaan yang dimaksud adalah pembicaraan mengenai proses kreatif penciptaan sebuah mantra. Artinya proses mencipta sesuatu (puisi lisan/mantra) oleh masyarakat tertentu, baik dengan belajar, sistem pewarisan tunggal, atau tradisi lisan dari mulut ke mulut oleh seluruh masyarakat pada kelompok dan daerah tertentu. Pada mantra asihan terdapat dua tahap proses penciptaan. Pertama, proses penciptaan dari penutur pertama (dukun). Kedua, proses penciptaan dari penutur kedua (pengamal). Untuk lebih jelasnya perhatikan bagan proses penciptaan mantra asihan berikut: Berdasarkan bagan dan analisis yang telah dilakukan serta dari beberapa data narasumber, mantra asihan diperoleh dan diwariskan berdasarkan sistem pewarisan vertikal antara si empunya dengan si pewaris. Artinya, mantra asihan biasanya diturunkan dari orang yang lebih tua ke orang yang lebih muda (dari guru ke murid). Proses penciptaan dari penutur pertama (dukun) dilakukan dengan terstruktur. Artinya, ada proses pembelajaran dalam sistem pewarisan asihan ini. Begitu pula proses penciptaan dari dukun ke si pengamal juga dilakukan secara terstruktur. Salah satu indikasinya adalah dalam sistem pewarisan ini, ada satu istilah yang sering disebut izazah, yang berarti proses pewarisan mantra harus dilakukan dari guru ke murid (dari yang tua ke yang muda atau dari yang lebih menguasai kepada yang awam) akibat pengaruh ketatnya sistem budaya. Bila mantra tidak diperoleh berdasarkan sistem tersebut, maka mantra yang diamalkan itu tidak akan berhasil dan malah akan mencelakakan si pengamalnya. Pembicaraan fungsi dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya memperoleh “manfaat” oleh masyarakat yang terkait dengan unsur tersebut dari konteks kebudayaannya. Menurut bascom dalam Danandjaja, (2003:19) fungsi folklor meliputi sistem proyeksi, yakni sebagai alat cermin angan-angan suatu kolektif, sebagi alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, sebagai alat 76|
pendidikan anak, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Menurut Hutomo (1991:69-74), fungsi sastra lisan adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa Leluhur
Dukun
Pewarisan secara vertikal dan terstruktur
Pengamal
berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan bagi anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior dari orang lain, (6) untuk memberikan jalan kepada seseorang yang dibenarkan oleh masyarakat agar ia dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memperotes ketidakadilan dalam masyarakat, dan (8) untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain semata-mata hanya sebagai hiburan saja. Puisi lisan tentu saja memiliki fungsi masing-masing. Namun fungsi-fungsi tersebut bergantung pada masyarakat pemilik tradisi lisan yang bersangkutan. Termasuk juga pada teks mantra asihan ada fungsi yang ingin dicapai oleh si pengamal atau pengucap mantra. Misalnya, sebagai sistem proyeksi atau angan-angan yang ingin dicapai serta sebagai jalan yang dibenarkan masyarakat agar ia dapat lebih superior dari orang lain. Kedua fungsi ini sangat melekat pada teks mantra, walaupun tidak menutup kemungkinan muncul fungsi-fungsi yang lainnya. Akhirnya, kita bisa mengatakan bahwa teks mantra, khususnya mantra asihan adalah teks `sakral` yang digunakan untuk menguasai “hati” orang lain, sehingga dapat memunculkan rasa “cinta”. Transformasi pada teks mantra sepertinya tidak membuat `kesakralan` mantra dengan serta merta hilang begitu saja. Hal ini disebabkan pada teks mantra ada kata-kata yang ditujukan untuk kekuatan “gaib” tertentu yang diharapkan dapat membantu terwujudnya keinginan si pengucap mantra.
PENUTUP Seperti yang sudah dibahas di atas, Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa yang ditulisnya adalah mantra yang berasal dari berbagai sumber, lisan dan tulis, yang umur dan asal-usulnya tidak mungkin lagi ditelusuri. Dengan kata lain, teks yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono adalah mantra tapi dalam bentuk yang lain, yang sama sekali berbeda dengan teks aslinya. Mantra yang hidup dalam media tradisi lisan diubah menjadi media tertulis, dan pengubahan mantra yang awalnya milik 77|
kolektif atau komunal menjadi mantra milik individu. Mantra yang semula adalah ekspresi kesusasteraan suatu kebudayaan yang disebarkan dan dirun-temurunkan secara lisan dari mulut ke mulut (oral tradition) diubah menjadi ekspresi individu yang disebarkan secara tertulis dan dalam bentuk cetakan (buku). Pengubahan-pengubahan tersebut jelas akan menimbulkan “pengaruh” terutama dalam hal “kesakralan” mantra itu sendiri. Puisi yang dibentuk dari unsur bahasa berupa kata (yang mempunyai arti) berdasarkan proses sintagmatik. Setiap kata adalah signifier yang mempunyai referent dan signified. Sebuah puisi adalah “penjumlahan” referent dan signified dari kata-katanya yang tentu saja dipengauhi oleh proses sintagmatik menjadi semakin kontras dengan mantra. Penyandingan dan pembandingan keduanya memiliki nilai kemenarikan tersendiri. Puisi dengan kekuatan bahasa kias dan figuratifnya disandingkan dengan mantra yang kuat dengan unsur-unsur suprasegmentalnya. Pembandingan dan penyandingan kedua teks tersebut dititikberatkan pada struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, dan fungsinya. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa kedua teks memiliki kesamaan dan kemiripan pada satu sisi dan memiliki keunikan pada sisi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, S. C. (2002). O, amuk kapak. Jakarta: Horison.
Badrun, A. (2003). Patu mbojo: struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan dan fungsi. Unpublished Disertasi, Universitas Indonesia, Depok.
Damono, S. D. (2009a). Mantra orang jawa. Ciputat: Editum.
Damono, S. D. (2009b). Sastra bandingan. Ciputat: Editum.
Danandjaja, J. (2002). Folklor Indonesia: gosip, dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafitipers.
Hutomo, S. S. (1991). Mutiara yang terlupakan. Surabaya: Hiski Jawa Timur.
Isnaini, H. (2007). Mantra asihan: struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi. Unpublished Skripsi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Junus, U. (1983). Dari peristiwa ke imajinasi: wajah sastra dan budaya Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
78|
Pusat-Bahasa, & Depdiknas (Eds.). (2008). Kamus besar bahasa indonesia edisi keempat. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rusyana, Y. (1970). Bagbagan puisi mantra sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda.
Teeuw, A. (1994). Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Waluyo, H. J. (1987). Teori dan aplikasi puisi. Jakarta: Erlangga.
Wardhana, C. D. (2003). Seminar naskah nusantara. Unpublished Makalah. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
79|
LAMPIRAN TEKS
Mantra Pengasihan 2
Asihan Si Runcang Kembang
aku punya bunga
Asihan aing si runcang kembang
dari tanah seberang
mipir halis nyukang dina tarang sia
disebut kembang pulut
sidendang dina bulu mata sia
aku pulut hati
sageuy sia henteu melas henteu karunya ka
si jabang bayi Nuraini
badan aing
:
(Rusyana, 1970, hlm. 37)
kasih sayangnya pun tumbuh melihat diriku
Asihan Setan Kober
lekat pada diriku
Niat ingsun matek ajiku Sang Setan Kober
atas kehendak Allah
Gelem kang sira kongkon
(Damono, 2009a, hlm. 18)
Ora gelem kang sira kongkon Lebonana guwa garbane si… binti… Kerik-keriken sikile Lamun turu tangekna Lamun tangi jagongna Lamun jagong adegna Lamun ngadeg mlakukna Karepna maring ingsun Awan lan bengi si… binti… Welas asih karo ingsun Welas asih karna Alloh taala (Isnaini, 2007, hlm. 63)
Mantra Pengasihan 1
Asihan Si Tarik Gadung
wahai si Capung Kencana
Asihan aing si tarik gadung
aku perintahkan kau
sataruk matak lalanjung sataun
masuk ke gua garba Nuraini
salambar matak kelar sabulan
kalau matanya terbuka
sasoek matak leweh sapoe
goyangkan tubuhnya
kejo asa catang bobo
kalau sedang tidur
tiis batan birit leuwi
bangunkan dia
deuk leumpang ngarampa jungjang
satukan hati dan jantungnya
diluahkeun kuda bancana
dengan hati dan jantungku
reup angkeub jleg sorangan 80|
kalau gagal
(Rusyana, 1970, hlm. 37)
biar dia gila kalau tak gila
Asihan Mliwis Putih
akan ngoceh terus
Mlliwis Puith sira tak kongkon
tak jelas juntrungnya
Asupi jiwa ragane si jabang bayine…
dan hanya aku
Ketemu turu tangekna
yang bisa menyembuhkan:
Ketemu tangi lungguhna
rasaku lebih tinggi
Ketemu lungguh adegna
dari rasamu
Ketemu ngadeg mlakukna
ruhku lebih tinggi
Yen wis teka mene kon nyenengi jiwa
dari ruhmu
ragane ingsun
kamaku lebih unggul
(Isnaini, 2007, hlm. 99)
dari kamamu (Damono, 2009a, hlm. 16)
Mantra Pengasihan 3
Asihan Si Naga Rante
ajiku sang leher, menolehlah
Asihan aing si naga rante
tolehlah hambaku
nya tali paranti ranti
kusatukan ujung bulu mataku
tunggal tali jadi-jadi
kusatukan ujung alisku
rek kentel hayang jadi hiji jeung si…
kusatukan ujung rambutku
cunduk tiruk tali angkruk
ruh dari ruhku
burung badan burung leumpang balik deui
nyawa dari nyawaku
rusras ka badan aing
sukma dari sukmaku
nangkarak mayang murag
tubuh dari tubuhku
muyukpuk kawas kapuk kaibunan
blug! Mati, belum mati
mangka welas mangka asih ka badan aing
jadi gila
(Rusyana, 1970, hlm. 36)
belum gila tapi sempoyongan : takkan sembuh jabang bayi si Nuraini
Asihan Jaran Goyang
kalau bukan aku yang mengobati
Sun matek ajiku si Jaran Goyang
penuh belas penuh kasih
Tak goyang ing tengah latar
jabang bayi si Nuraini
Upet-upetku lawe benang
menatapku
Pet sabetaken gunung gugur
tajam menatapku
Pet sabetaken lemah bengkah 81|
(Damono, 2009a, hlm. 20)
Pet sabetaken segara asat Pet sabetaken ombak gede sirep Pet sabetaken atine si… binti… Cep sida edan ora edan Sida gendeng ora gendeng Sida bunyeng ora mari-mari Yen ora ingsun sing nambani (Isnaini, 2007, hlm. 148-149)
82|
PENERAPAN MODEL MAPPING ACTIVITY (MA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN
Yeni Rostikawati STKIP Siliwangi Bandung pos-el:
[email protected] ABSTRAK Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah proses pembelajaran membaca pemahaman dengan menerapkan model Mapping Acivity (MA)? 2) Bagaimanakah hasil pembelajaran membaca pemahaman setelah menggunakan model Mapping Acivity (MA)? 3) Apakah model Mapping Acivity (MA) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman? Penganalisisan data dilakukan dengan menggunakan rumus Chi-kuadrat untuk menguji normalitas data, rumus varian untuk menguji homogenitas data, dan rumus uji t untuk membuktikan hipotesis. Adapun hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa hipotesis kerja (Ha) diterima. Oleh karena itu, model Mapping Activity (MA) efektif dalam meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa kelas X Administrasi Perkantoran 3 SMK Negeri 3 Bandung. Penelitian tentang penggunaan model Mapping Activity dalam pembelajaran membaca pemahaman menambah variasi cara mengajar yang dilakukan oleh guru. Guru dapat lebih kreatif dalam menerapkan pembelajaran membaca yang sering dianggap membosankan oleh siswa. Selain itu, kegiatan mapping dapat melatih kemampuan otak kanan siswa sehingga ingatan akan lebih panjang. Kata kunci: pembelajaran, mapping activity, peningkatan, membaca pemahaman ABSTRACT The problems discussed in this study are: 1) What is the process of learning in reading comprehension by applying the model Mapping Acivity (MA)? 2) How do the results of learning in reading comprehension after Acivity Mapping model (MA)? 3) Does the model Mapping Acivity (MA) is effective in improving reading comprehension? Analyzing data using Chi-squared formula to test the normality of the data, the formula variants to test the homogeneity of the data, and the formula t test to prove the hypothesis. The results of hypothesis testing showed that the working hypothesis (Ha) is accepted. Therefore, the model Mapping Activity (MA) is effective in improving reading comprehension class X Administrasi Perkantoran 3 SMK Negeri 3 Bandung. Research on the use of models Mapping Activity in teaching reading comprehension add variety ways of teaching that is done by the teacher. Teachers can be more creative in applying learning to read is often considered boring by students. In addition, mapping activities can train the right brain abilities of students so that the memory will be longer.
Keywords: learning, mapping activity, improvement, reading comprehension
83|
PENDAHULUAN Pembelajaran membaca di sekolah memiliki peranan penting dalam meningkatkan kemampuan membaca siswa. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pembelajaran membaca sejak jenjang TK (Taman Kanak-kanak) sampai Perguruan Tinggi. Pembelajaran membaca di sekolah tentunya tidak hanya membuat siswa mampu mengucapkan kata-kata dalam suatu bacaan, tetapi dapat memahami pesan penting dari bacaan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan membaca inilah yang akan menjadi bekal siswa setelah keluar dari lingkungan sekolah. Kesadaran akan pentingnya menguasai keterampilan membaca ini kurang diimbangi dengan minat dan kemampuan membaca siswa. Rendahnya kemampuan membaca siswa ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya kelelahan fisik dan mental, bosan, atau isi bacaan dianggap kurang menarik. Poin terakhir tersebut yang biasanya menjadi alasan utama rendahnya minat baca siswa, sehingga berakibat pada rendahnya kemampuan membaca. Siswa cenderung lebih menggemari buku-buku komik ataupun fiksi sebagai bahan bacaan karena menarik secara visual, sehingga alur cerita yang disajikan pun mudah dicerna dan biasanya diingat dalam jangka waktu yang lama. Namun, sebaliknya dengan wacanawacana yang sifatnya nonfiksi, seperti wacana berita atau materi pelajaran di sekolah, siswa cenderung sulit mengingat dan memahami pesan yang disampaikan. Hal tersebut wajar terjadi karena wacana berita ataupun materi pelajaran di sekolah biasanya berbentuk teks yang berisi fakta dan ide yang disajikan tanpa banyak gambar-gambar menarik. Tony Buzan dalam bukunya Mind Map untuk Anak (2008, hlm. 11) menyatakan bahwa otak anak akan jauh lebih mudah mengingat gambar dan warna, sehingga akan lebih bisa mengingat fakta dan ide yang ada di dalam gambar dan warna tersebut. Melalui penggunaan gambar dan warna berarti otak kanan pun ikut dilibatkan dalam memahami teks wacana. Berkenaan dengan hal ini, peneliti akan bereksperimen dengan teknik Mind Map dalam pembelajaran membaca pemahaman di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan sekolah yang mencetak lulusan-lulusan siap kerja, sehingga proses pembelajarannya pun harus benar-benar mencetak sosok siswa yang terampil, apalagi keterampilan berbahasa merupakan keterampilan yang wajib dikuasai di setiap jenjang pendidikan, termasuk salah satunya adalah aspek membaca. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Model Mapping Activity (MA) merupakan model pembelajaran yang beracuan pada penggunaan teknik Mind Map yang dikembangkan oleh Tony Buzan. Tony Buzan (2008, 84|
hlm. 11) menyatakan bahwa mind map adalah diagram istimewa yang cara kerjanya sesuai dengan cara kerja otak dan dapat membantu berpikir, membayangkan, mengingat, dan merencanakan serta memilah informasi-singkatnya, mind map adalah alat sempurna untuk membantu belajar dan mengulang pelajaran. Intinya, mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil infomasi ke luar dari otak. Buzan (2009, hlm. 5) mengibaratkan mind map sama halnya seperti peta jalan yang akan menguntungkan dalam beberapa hal berikut. 1) Memberi pandangan menyeluruh pokok masalah atau area yang luas. 2) Memungkinkan kita merencanakan rute atau membuat pilihan-pilihan dan mengetahui ke mana kita akan pergi dan di mana kita berada. 3) Mengumpulkan sejumlah besar data di satu tempat. 4) Mendorong pemecahan masalah dengan membiarkan kita melihat jalan-jalan terobosan kreatif baru. 5) Menyenangkan untuk dilihat, dibaca, dicerna, dan diingat. Mind map juga memungkinkan kita menyusun fakta dan pikiran sedemikian rupa sehingga cara kerja alami otak dilibatkan sejak awal. Hal ini berarti bahwa mengingat informasi akan lebih mudah dan lebih bisa diandalkan daripada menggunakan teknik pencatatan tradisional. Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan model Mapping Activity ini dibagi menjadi beberapa langkah, di antaranya: memperkenalkan mind map yang baik; mengingatkan kembali rumus 5W+1H untuk menemukan gagasan pokok suatu bacaan; dan menuangkan gagasan-gagasan utama dalam wacana menjadi mind map yang baik. Sedangkan hakikat membaca pemahaman, Hodgson (dalam Tarigan, 2008, hlm. 7) memberikan definisi bahwa membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata atau bahasa tulis. Suatu proses yang menuntut agar kelompok kata yang merupakan suatu kesatuan akan terlibat dalam pandangan sekilas dan agar kata-kata secara individual akan dapat diketahui. Jika hal ini tidak terpenuhi, maka pesan yang tersurat maupun yang tersirat tidak akan dipahami dan proses membaca tidak terlaksana dengan baik. Membaca pemahaman termasuk ke dalam membaca telaah isi, karena dalam menelaah isi suatu bacaan dituntut suatu ketelitian, pemahaman, kekritisan berpikir serta keterampilan menangkap ide-ide yang tersirat dalam bacaan. Tarigan (2008, hlm. 58) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan membaca pemahaman adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami: 1) standar-standar atau norma-norma kesastraan (literary standard); 85|
2) resensi kritis (critical review); 3) drama tulis (printed drama); 4) pola-pola fiksi (patterns of fiction). Dari pernyataan-pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan membaca pemahaman ada beberapa hal yang ikut terlibat, yaitu pembaca, teks bacaan, dan isi pesan bacaan. Dengan demikian, seorang pembaca dapat dikatakan mampu memahami teks bacaan apabila mampu memahami pesan yang terkandung dalam konteks bacaan baik tersirat maupun tersurat yang berupa gagasan pokok.
METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi experiment). Penelitian eksperimen ini dilakukan untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti. Kedua faktor tersebut adalah penerapan model Mapping Activity (MA) (sebagai faktor penyebab) dan kemampuan membaca siswa (sebagai faktor akibat). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan dengan teknik random kelas melalui Tes Awal-Tes Akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (The Randomized Pretest-Posttest Control Group Design). Dalam rancangan ini peneliti melakukan teknik random kelas karena teknik penjodohan terhadap subjek seperti yang dikemukakan dalam teori Syamsuddin dan Vismaia (2007, hlm. 163), tidak memungkinkan untuk dilakukan di lapangan. Adapun teknik penelitian dilakukan beberapa tahapan penelitian, yaitu tahapan pengumpulan data dengan teknik tes dan observasi. Tahapan kedua, pengolahan data, Data kuantitatif terdiri atas data hasil pretes dan postes. Kedua data tersebut diteliti dan ditabulasikan untuk mengetahui rata-rata dan standar deviasinya. Setelah itu dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka pengolahan data dilanjutkan dengan uji-t atau t-test. Namun, apabila data tidak berdistribusi normal, maka pengolahan data dilanjutkan dengan penghitungan statistika nonparametrik. Data kualitataif hanya diperoleh dari kegiatan observasi. Data hasil observasi yang diperoleh dari hasil pengamatan observer, diakumulasikan untuk mengetahui nilai total dan nilai rata-rata yang diberikan observer. Selanjutnya, nilai tersebut diinterpretasikan dengan interval penilaian, yaitu sebagai berikut. 3,5 – 4,0 = A (Amat baik) 2,5 – 3,4 = B (Baik) 1,5 – 2,4 = C (Cukup) 86|
0,5 − 1,4 = D (Kurang) < 0,5
= E (Gagal)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Setelah instrumen tes dinyatakan valid dan reliabel oleh tim ahli, tahapan penelitian selanjutnya adalah melakukan pretes (tes awal) dan postes (tes akhir) untuk mengetahui kemampuan membaca pemahaman siswa pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Hasilnya diketahui bahwa nilai terendah yang diperoleh oleh kelas eksperimen pada saat pretes adalah 43, nilai tertinggi adalah 76, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,4. Dari hasil pretes pada kelas eksperimen tersebut ada 7 orang yang berhasil dan 23 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah 46, nilai tertinggi 88, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 71,2. Dari hasil postes diketahui sebanyak 21 orang berhasil dan 9 orang gagal berdasarkan pada KKM yang ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67. Tabel 4.1 Daftar Data Pretes-Postes Kelas Eksperimen
No.
Subjek
Nilai Pretes
Predikat
Nilai Postes
Predikat
1
Aas Rosmawati
56
kurang baik
70
cukup baik
2
Dian Ratna Sari
66
cukup baik
73
cukup baik
3
Esa Kartika Sari
62
cukup baik
70
cukup baik
4
Eva Fauziah Rozak
70
cukup baik
72
cukup baik
5
Fitria Widianingsih
70
cukup baik
86
baik
6
Gelsa Novita Rosa D.
76
baik
88
baik
7
Lia Mulyani
66
cukup baik
76
cukup baik
8
Marlya Rachmawati
63
cukup baik
66
cukup baik
9
Meilia Dewi Lestari
43
kurang baik
60
cukup baik
10
Nabila Rahmani
60
cukup baik
73
cukup baik
11
Nita Kusmayanti
50
kurang baik
66
cukup baik
12
Nita Susanti
56
kurang baik
66
cukup baik
13
Nurmalawati
66
cukup baik
70
cukup baik
14
Nurul Azizah R.
53
kurang baik
62
cukup baik 87|
15
Parti
60
cukup baik
70
cukup baik
16
Puteri Junike
70
cukup baik
72
cukup baik
17
Ratnasari
46
kurang baik
46
kurang baik
18
Reni Rahayu
66
cukup baik
76
cukup baik
19
Risca Permatasari
76
baik
80
baik
20
Riska Ratna Juwita
60
cukup baik
66
cukup baik
21
Sani Nurnissa Juliani
70
cukup baik
70
cukup baik
22
Sarah Nur Asyifa
62
cukup baik
63
cukup baik
23
Sely Riani
60
cukup baik
72
cukup baik
24
Sinta Melati
63
cukup baik
76
cukup baik
25
Siti Marwah G.
72
cukup baik
83
baik
26
Ulfa Fauzia S.
63
cukup baik
70
cukup baik
27
Yuli Yanti
52
kurang baik
76
cukup baik
28
Yuli Yulianti
66
cukup baik
82
baik
29
Yulian Sundari
63
cukup baik
66
cukup baik
30
Yuliana
66
cukup baik
70
cukup baik
Jumlah
1872
Rata-rata
62.4
∑
2136 cukup baik
71.2
cukup baik Se
Keterangan: 90 – 100 : amat baik 75 – 89 : baik 60 – 74 : cukup baik 0 – 59
: kurang baik
dangk an pada kelas kontro l
diketahui bahwa nilai terendah yang diperoleh pada saat pretes adalah 52, nilai tertinggi adalah 70, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 60,63. Dari hasil pretes pada kelas kontrol tersebut ada 2 orang yang berhasil dan 28 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah 56, nilai tertinggi 73, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 66,6. Dari hasil postes diketahui sebanyak 14 orang berhasil dan 6 orang gagal berdasarkan pada KKM yang ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67.
88|
Tabel 4.2 Daftar Data Pretes dan Postes Kelas Kontrol
No.
Subjek
Nilai Pretes
Predikat
Nilai Postes
Predikat
1 Annisa Purwani
53
kurang baik
60
cukup baik
2 Arinta Ayudya Pratami
66
cukup baik
70
cukup baik
3 Astri Siami Permana S.
56
kurang baik
66
cukup baik
4 Desi Septiani
56
kurang baik
60
cukup baik
5 Devi Andriani
62
cukup baik
66
cukup baik
6 Emmy Norita
62
cukup baik
70
cukup baik
7 Fevi Supianti
63
cukup baik
66
cukup baik
8 Fifit Fitriani
63
cukup baik
70
cukup baik
9 Fuzy Fauziyyah
66
cukup baik
70
cukup baik
10 Ghesyana Wasis
63
cukup baik
64
cukup baik
11 Ghita Mandalaswari
50
kurang baik
70
cukup baik
12 Indri Dwi Lestari
50
kurang baik
56
kurang baik
13 Intan Mustikawati
53
kurang baik
66
cukup baik
14 Irma Ratnaningsih
62
cukup baik
62
cukup baik
15 Juwita Sari
66
cukup baik
70
cukup baik
16 Mega Lela Puspa
70
cukup baik
70
cukup baik
17 Meti Suryani
53
kurang baik
60
cukup baik
18 Mia Maya Ulfah
60
cukup baik
70
cukup baik
19 Nenti Kustani
63
cukup baik
70
cukup baik
20 Putri Pratiwi Mulyadi
60
cukup baik
66
cukup baik
21 Restu Fitria Ramdhani
66
cukup baik
67
cukup baik
22 Rina Oktavia
60
cukup baik
66
cukup baik
23 Rostika
63
cukup baik
66
cukup baik
24 Sari Sri Yanti
66
cukup baik
73
cukup baik
25 Shinta Yuliani Hikmah
52
kurang baik
60
cukup baik
26 Sinta Rahayu
60
cukup baik
66
cukup baik
27 Siti Nabila Nurul Aulia
63
cukup baik
70
cukup baik
28 Yarah Surya Dini
62
cukup baik
70
cukup baik 89|
29 Yolanda A.P.
60
cukup baik
66
cukup baik
30 Yuliani Setiawati
70
cukup baik
72
cukup baik
∑
Jumlah
1819
Rata-rata
60.63
1998 cukup baik
66.6
cukup baik
Keterangan: 90 – 100 : amat baik 75 – 89 : baik 60 – 74 : cukup baik 0 – 59
: kurang baik
Pengujian persyaratan analisis data dilakukan dengan dua jenis pengujian yaitu uji normalitas dan homogenitas data. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka pengujian hipotesis penelitian dapat dilanjutkan dengan menggunakan rumus t-test. Uji normalitas data adalah uji yang dimaksudkan untuk menguji normal tidaknya sebaran data yang akan dianalisis. Uji normalitas dilakukan berdasarkan penghitungan statistika menggunakan rumus Chi-Kuadrat. Berikut adalah pemaparan mengenai perhitungan uji normalitas data pretes-postes. 2
data pretes Kelas eksperimen
: 8.50338 ≈ 8,503
2
data pretes Kelas kontrol
: 8.29678 ≈ 8,297
X hitung X hitung
Dari tabel harga kritik Chi-kuadrat diketahui bahwa dengan derajat kebebasan (dk = k-3), diperoleh (dk) Kelas eksperimen : 6-3 = 3 dan (dk) Kelas kontrol : 7-3 = 4, harga dalam interval kepercayaan 99% adalah
2
X
tabel
Kelas eksperimen adalah 11,3 dan
2
X hitung 2
X
tabel
Kelas kontrol adalah 13,3. Jika X2 hitung < X2 tabel maka data berdistribusi normal. Dari penghitungan di atas, diperoleh nilai X2 pada Kelas eksperimen dan Kelas kontrol, yaitu: X2 hitung (8,503) < 2
X hitung
(8,297) <
2
X tabel
2
(13,3). Maka diketahui X
hitung
<
2
X tabel
2
X tabel
(11,3) dan
di kedua Kelas, sehingga
dapat disimpulkan bahwa Kelas tersebut memiliki data pretes dengan distribusi normal. Hasil penelitian terhadap dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol memperlihatkan perbedaan nilai rata-rata yang signifikan. Peningkatan nilai rata-rata pretespostes pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan dengan kelas kontrol. Nilai rata-rata yang diperoleh kelas eksperimen pada hasil pretes sebesar 62,4, hasil postes sebesar 71,2.
90|
Sedangkan nilai rata-rata hasil pretes pada kelas kontrol sebesar 60,63, hasil postes sebesar 66,6. Perbedaan yang signifikan dari perolehan nilai rata-rata pretes-postes antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat terlihat dari diagram batang berikut.
Gambar 4.1 Peningkatan Nilai Rata-Rata Pretes-Postes Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas
Kontrol Berdasarkan diagram tersebut terlihat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Walaupun pada kelas kontrol terjadi peningkatan antara hasil pretes dengan postes, namun tidak sebesar peningkatan antara hasil pretes dengan postes pada kelas eksperimen. Nilai terendah yang diperoleh kelas eksperimen pada saat pretes adalah 43, nilai tertinggi adalah 76, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 62,4. Hsil pretes pada kelas eksperimen tersebut ada 7 orang yang berhasil dan 23 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah 46, nilai tertinggi 88, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 71,2. Hasil postes diketahui sebanyak 21 orang berhasil dan 9 orang gagal berdasarkan pada KKM yang ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67. Nilai terendah yang diperoleh oleh kelas kontrol pada saat pretes adalah 52, nilai tertinggi 70, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 60,63. Dari hasil pretes pada kelas kontrol tersebut ada 2 orang yang berhasil dan 28 orang gagal. Sedangkan hasil postes didapat nilai terendah 56, nilai tertinggi 73, dan diperoleh rata-rata nilai sebesar 66,6. Dari hasil postes diketahui 91|
sebanyak 14 orang berhasil dan 16 orang gagal berdasarkan pada KKM yang ditetapkan sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67. Walaupun masih ada siswa yang tidak berhasil mencapai KKM pada saat postes (eksperimen dan kontrol), namun siswa yang berhasil tetap mengalami peningkatan. Oleh karena itu, model Mapping Activity (MA) ini dapat digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman karena dapat meningkatkan kemampuan membaca pemahaman siswa. Observasi dilakukan sebanyak tiga kali pertemuan karena peneliti melakukan tiga kali perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Observer hanya mengobservasi aktivitas guru selama proses pembelajaran pada kelas eksperimen. Aspek-aspek yang dinilai meliputi kemampuan membuka pelajaran, sikap pengajar dalam proses pembelajaran, penguasaan bahan pembelajaran, proses pembelajaran, kemampuan menggunakan media, evaluasi, dan kemampuan menutup pelajaran. Berdasarkan hasil penilaian yang dilakukan oleh kedua observer, menunjukkan bahwa guru sudah mampu menguasai proses pembelajaran dengan menerapkan materi Mind Map dengan baik dan menyampaikannya kepada siswa. Observasi terhadap aktivitas siswa selama proses pembelajaran pun dilakukan untuk mengetahui ketertarikan siswa terhadap penerapan model Mapping Activity (MA) selama pembelajaran sehingga mereka dapat termotivasi untuk belajar terutama pembelajaran membaca pemahaman. Ada beberapa aspek yang dinilai dalam format aktivitas siswa ini, yaitu siswa menunjukkan sikap/rasa senang terhadap proses pembelajaran dengan menggunakan model Mapping Activity (MA), siswa menyimak dengan baik penjelasan guru, keaktifan bertanya dan menjawab selama proses pembelajaran, keantusiasan siswa mengikuti pelajaran, siswa mengerjakan tugas dengan baik dan serius. Penilaian menggunakan angka dengan kriteria yang sama seperti penilaian pada aktivitas guru. Secara keseluruhan pembelajaran membaca pemahaman dengan menerapkan model Mapping Activity (MA) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa walaupun pada awalnya sulit dimengerti oleh siswa, namun apabila guru terus menerus membimbing siswa dan menerangkan langkah-langkah dengan teliti, maka sedikit demi sedikit siswa akan paham dan menunjukkan respon yang baik.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengolahan data hasil penelitian diketahui bahwa data pretes-postes kelas eksperimen maupun kelas kontrol normal dan homogen berdasarkan taraf kepercayaan 99%. Data pretes berdistribusi normal terbukti dari hasil perhitungan chi-kuadrat yang menunjukkan bahwa
2
X hitung
< X2
tabel
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol, yaitu
2
X hitung 92|
(8,503) <
2
X
tabel
(11,3) dan
2
X
hitung
berdistribusi normal terbukti dari hasil 2
X tabel
(8,297) < 2
X hitung
2
X
(8,869) <
tabel 2
(13,3). Sedangkan data postes
X tabel
(13,3) dan
2
X hitung
(6,817) <
(11,3).
Homogenitas data pretes-postes pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol ditunjukkan oleh varian data yang tidak jauh berbeda berdasarkan taraf kepercayaan 99% yang dibuktikan oleh hasil perhitungan Fhitung ≤ Ftabel, yaitu 1,009 ≤ 3,16 pada kelas eksperimen dan Fhitung ≤ Ftabel, yaitu 1,6003 ≤ 3,16 pada kelas kontrol. Hipotesis penelitian diterima karena hasil perhitungan membuktikan bahwa t hitung ≥ ttabel. Artinya, model Mapping Activity (MA) efektif diterapkan dalam pembelajaran membaca pemahaman di kelas X SMK. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh nilai rata-rata hasil postes pada kelas eksperimen lebih besar daripada nilai rata-rata hasil postes pada kelas kontrol dengan beracuan pada parameter keberhasilan yang ditentukan oleh sekolah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia yaitu 67. Berdasarkan observasi terhadap proses pembelajaran, baik aktivitas guru maupun siswa dapat dikatakan bahwa siswa SMK dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Hal tersebut terlihat dari peningkatan keseriusan mereka saat mengikuti pembelajaran dari pertemuan pertama sampai ketiga. Kemampuan siswa dalam menggambar mind map pun terlihat ada peningkatan. Awal pertemuan mereka hanya mampu memahami langkah pembuatan mind map sampai anak cabang dan memahami cara menemukan topik utama dalam paragraf. Selanjutnya, pada pertemuan kedua dan ketiga, siswa mampu mengembangkan mind map menjadi beberapa anak cabang sampai cucu cabang walaupun masih ada beberapa siswa yang belum paham. Adapun kemampuan guru dalam menyampaikan pengajaran di kelas berdasarkan observasi tergolong baik, sehingga dapat mempengaruhi keefektifan proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan model Mapping Activity (MA). Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti memiliki beberapa saran untuk beberapa pihak yang terkait dengan pelaksanaan pembelajaran dan dunia pendidikan. Saran pertama ditujukan kepada pihak guru. Guru merupakan salah satu pihak yang memiliki peran penting dalam mencetak generasi bangsa yang cerdas dan terampil. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki wawasan luas, kemampuan yang memadai, terampil, dan kreatif dalam mengemas pembelajaran. Kedua, saran untuk siswa. Siswa dapat memanfaatkan model pembelajaran Mapping Acivity (MA) ini untuk mempermudah memahami suatu bacaan, melatih otak supaya dapat memetakan isi bacaan dalam pikiran, sehingga dapat dengan mudah memahami dan mengingat pesan-pesan penting yang disampaikan penulis dalam 93|
wacana yang dibaca. Ketiga, saran untuk peneliti maupun calon peneliti selanjutnya. Peneliti berharap model pembelajaran Mapping Acivity (MA) ini dapat diujicobakan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa yang lain, seperti keterampilan berbicara dan menyimak. Untuk keterampilan menulis, peneliti sudah sering menemukan penelitian yang menggujicobakan Mind Map untuk keterampilan menulis.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2000). Manajemen penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Buzan, Tony. (2009). Buku pintar mind map. Alih bahasa Susi Purwoko Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Buzan,.Tony. (2004). Buku pintar mind map untuk anak agar anak lulus ujian dengan nilai bagus. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurhadi. (2005). Membaca cepat dan efektif. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Nurgiyantoro, Burhan. (2009). Penilaian dalam pengajaran bahasa dan sastra. Yogyakarta: BPFE. Sudjana. (2005). Metoda statistika. Bandung: Tarsito. Tarigan, Henry Guntur. (2008). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandung: Angkasa.
94|