Supriyono Koes H / Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika
1
Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika Supriyono Koes H. Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang
Abstrak - Pendidikan fisika dapat berperan dalam membangun (sebagian) karakter pelajar. Tiga aspek dalam pendidikan fisika yang memuat unsur-unsur karakter, yakni: fisika dan kegiatan fisikawan, kurikulum matapelajaran fisika, dan pembelajaran fisika. Ketiga aspek ini memuat sebagian dari unsur-unsur karakter. Pengebangan karakter dilakukan melalui tiga tahap, yakni: pengetahuan, pelaksanaan, dan pembiasaan. Pengembangan ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan sekolah dengan pelaksana yang berkarakter pula. Pelaksana harus mampu menjadi teladan dengan melaksanakan karakter yang baik. Kata kunci: pendidikan fisika, karakter I. PENDAHULUAN Dewasa ini banyak kejadian yang menimpa sebagian pelajar mengindikasikan adanya penurunan kualitas karakter mereka. Tawuran antar pelajar dan antar mahasiswa, terjadi di berbagai tempat. Tawuran tersebut kadang dipicu oleh masalah-masalah yang sepele. Kejadian lain yang masih segar di ingatan kita, yaitu contek masal. Kejadian ini tidak hanya melibatkan para siswa tetapi juga guru kelas yang seharusnya membimbing mereka untuk menjadikan siswa berkarakter yang baik. Tidaklah mengherankan apabila banyak pihak menuntut peningkatan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada gejala sosial yang berkembang seperti dikemukakan di atas. Bahkan di kota-kota besar tertentu, kejadian tersebut telah sampai pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah pembinaan pelajar diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam peningkatan kualitas pendidikan karakter. Karakter pelajar perlu dibina agar tetap baik dan mengarah pada perilaku positif. Pembinaan karakter pelajar menjadi tanggung jawab kita semua, pendidik, pemerintah, masyarakat, dan lebih-lebih orang tua. Karakter pelajar yang baik akan menjadi salah satu modal yang sangat baik bagi yang bersangkutan dan masyarakat luas untuk menjadi tenaga kerja yang handal. Karakter pelajar yang baik akan mengarahkan pelajar untuk berperilaku yang baik pula. Berbagai upaya untuk menjaga dan mebina kualitas karakter yang baik telah dilakukan oleh berbagai pihak. Pemerintah melalui Kemendikbud telah memasukkan pembinaan karakter melalui semua mata pelajaran dengan memasukkan unsur-unsur karakter ke dalam rencana pembelajaran guru-guru. Orang tua dengan penuh kesadaran membina karakter putra-putrinya dan menjaga mereka dari pengaruh yang kurang baik terhadap karakter mereka. Masyarakat melalui berbagai komponen seperti komite sekolah, organisasi kepemudaan, dan organisasi lainnya ikut pula berperan serta dalam membina karakter pelajar.
Seperti telah dikemukakan di atas, upaya menjaga kualitas karakter yang baik dapat dilakukan melalui pendidikan formal. Jika semua mata pelajaran mengintegrasikan unsur-unsur karakter yang baik ke dalam kurikulumnya maka secara keseluruhan pembinaan semua unsur karakter dapat dilakukan. Dengan demikian, pendidikan fisika juga memiliki andil dalam upaya menjaga dan mengarahkan karakter pelajar. Tentu saja hanya unsur-unsur karakter tertentu saja yang bisa diintegrasikan ke dalam pendidikan fisika. Hal ini dapat dilakukan agar pendidikan fisika tidak tercerabut dari hakikatnya. Jadi, unsur-unsur karakter yang sesuai dengan hakikat pendidikan fisika lah yang dapat dikembangkan dan dibina melalui pendidikan fisika. Walaupun tidak semua unsur karakter bisa dibina melalui pendidikan fisika, pendidikan fisika tentu saja masih memiliki sumbangan yang berarti dalam upaya menjaga kualitas karakter yang baik. A. Apa itu Karakter? Banyak definisi berkenaan dengan karakter ditemukan dalam pustaka. Stevenson (2006) menyatakan bahwa karakter berkenaan dengan pilihan-pilihan baik dan aksiaksi positif. Karakter berkenaan dengan mengerjakan sesuatu dengan benar dan tercermin dari perilaku seseorang. Karakter menyertai pemikiran dan keputusan seseorang. Berkowitz (2002) mendefiniskan karakter sebagai sekumpulan karakteristik psikologis individu yang mempengaruhi kemampuan dan kecenderungan seseorang untuk berfungsi secara moral. Dengan kata lain, karakter terdiri atas karakteristik tersebut yang mengarahkan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang benar. Dengan demikian, karakter berkaitan erat dengan watak, kepribadian, sifat, tabiat, dan perilaku. Karakter mencerminkan serangkaian sikap, motivasi, keterampilan, dan perilaku. Banyak unsur-unsur karakter yang baik terkait dengan sikap atau perilaku seseorang. Stevenson (2006) mengemukakan puluhan unsur karakter yang baik. Unsur-unsur karakter tersebut adalah: tanggung jawab, dapat menyesuaikan diri, rendah hati, ambisius, berani, peduli, hati-hati, berbelas kasih, tenggang rasa, kooperatif, kreatif, tegas, berdedikasi, handal, mantap,
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY, Purworejo 14 April 2012 ISSN : 0853-0823
2
Supriyono Koes H / Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika
terpuji, adil, terfokus, pemaaf, dermawan, lembut, warga negara yang baik, bekerja keras, suka menolong, jujur, sederhana, inovatif, ingin tahu, gembira, kepemimpinan, setia, tak berprasangka, sabar, sopan, positif, banyak akal, hormat, percaya diri, disiplin diri, terpercaya, menepati janji, gigih, rasa humor, peka, pemain tim, seksama, toleran, pandangan ke depan, dan bijaksana. Berdasarkan unsur-unsur karakter di atas dapat dikatakan bahwa individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan halhal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan kemampuan dirinya. B.Unsur Karakter dalam Pendidikan Fisika Apakah unsur-unsur karakter terdapat dalam pendidikan fisika? Jika memang unsur karakter terdapat dalam pendidikan fisika, pada bagian mana saja unsur karakter tersebut tercantum? Jika kita memandang pendidikan fisika sebagai suatu disiplin ilmu yang merupakan simbiosis antara ilmu pendidikan dan fisika maka tampak jelas bahwa pendidikan fisika mengandung ranah afektif yang merupakan bagian dari karakter. Jika pendidikan fisika membelajarkan siswa untuk berperilaku seperti layaknya fisikawan, maka jelas bahwa pendidikan fisika juga mengarahkan siswa untuk berperilaku baik seperti layaknya fisikawan. Dengan demikian, jelas bahwa unsur-unsur karakter secara eksplisit maupun implisit tercantum dalam pendidikan fisika. Pada bagian apa saja unsur karakter tercantum dalam pendidikan fisika? Setidak-tidaknya terdapat tiga bagian penting dari pendidikan fisika yang memuat karakter. Pertama, sesuai dengan namanya, unsur-unsur karakter termuat dalam bidang fisika beserta proses fisikawan dalam mengerjakan atau melakukan kegiatan di bidang fisika. Kedua, unsur karakter tercermin dalam kurikulum fisika dari tingkat SD/MI sampai SMA/MA/SMK, atau bahkan sampai perguruan tinggi. Ketiga, unsur karakter tercermin pula dari interaksi proses pembelajaran fisika di sekolah-sekolah tersebut. Berikut diuraikan ketiga bagian tersebut secara berturut-turut. Unsur Karakter dalam Fisika dan Kegiatan Fisikawan Fisika mempengaruhi manusia dalam beberapa cara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Fisika mempengaruhi manusia secara langsung terhadap perubahan yang luar biasa dalam memandang dunia. Feynman melihat fisika sebagai upaya untuk memahami dunia (Koes-H, 2003; Hassard, 2005). Fisika memiliki dampak tak langsung melalui teknologi terkait dengan penemuan fisika. Baik dampak langsung maupun dampak tidak langsung dari fisika, memiliki implikasi yang signifikan terhadap nilai-nilai dan etika. Hubungan antara fisika dan nilai-nilai tidaklah sederhana (Derry,1999). Di satu sisi banyak ahli berpendapat bahwa fisika dan nilai-nilai tidak
berhubungan karena fisika merupakan hal yang objektif dan bebas nilai. Sebaliknya, terdapat pendapat bahwa fisika adalah setan karena fisika tak berperasaan dan mekanistik (dan/atau fisika menghasilkan teknologi maha dahsyat dan merusak). Di lain pihak, ahli lain menyatakan bahwa fisika merupakan studi yang mengarah pada kebenaran dan menghasilkan kemakmuran material. Nilai-nilai yang melekat pada fisika dan kerja fisikawan Fisika bebas nilai? Anda sering mendengar atau membaca pernyataan bahwa fisika itu objektif dan/atau bebas nilai. Tetapi makna dari pernyataan ini tidak terlalu jelas. Jika pernyataan itu mengacu pada isi fisika (misal prinsip, teori dan hukum), maka pernyataan tersebut bermasalah karena fisika bukan sekedar isi fisika (Derry, 1999). Namun jika pernyataan “fisika bebas nilai” mengacu pada seluruh konteks dimana fisika dikerjakan, maka pernyataan tersebut menjadi tidak masuk akal sama sekali. Jika fisika merupakan aktivitas yang melibatkan fisikawan maka fisika benar-benar terikat dengan sekumpulan nilai-nilai, yakni nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat ilmiah. Masyarakat fisikawan sebagai sebuah kelompok profesi, berbagi nilai-nilai tertentu. Mereka berbagi berbagai kebaikan, seperti kejujuran dan rasa ingin tahu. Kejujuran biasa dikatakan sebagai kebaikan oleh semua orang, tidak hanya masyarakat fisika. Namun rasa ingin tahu tidak selalu dikatakan sebagai kebaikan oleh semua kelompok dalam budaya kita. Kedua nilai ini merupakan hal yang sangat dihormati dalam fisika. Aliran informasi yang bebas Pada umumnya masyarakat fisikawan berlawanan dengan kerahasiaan dan isolasi. Kemajuan fisika bergantung pada aliran informasi bebas tak terhalangi dari satu fisikawan ke fisikawan lainnya. Jika fisikawan tidak mempublikasikan hasil karyanya dan berbagi hasil itu dengan komunitasnya, maka hasil tersebut tidak dapat menyumbangkan pemahaman yang lebih baik dan maju terhadap alam. Sebuah komitmen untuk membuka komunikasi terhadap hasil karya tersebut merupakan satu landasan nilai-nilai fisika. Namun, fisikawan yang bekerja di militer dan industri sering harus menjaga kerahasiaan informasi ilmiah. Nilai-nilai mereka sebagai fisikawan berada dalam konflik dengan nilai-nilai mereka sebagai anggota dari lembaga sosial lainnya. Masyarakat fisikawan sendiri bersepakat untuk berbagi pengetahuan mereka satu dengan lainnya. Kejujuran Jelas, kejujuran dipegang sebagai kebajikan secara umum, tidak hanya dalam fisika. Tetapi kejujuran memiliki tempat khusus sebagai nilai utama dalam fisika, yang tidak selalu menjadi utama untuk urusan lainnya. Kita tidak begitu terkejut ketika politikus, penasihat hukum, dan pengusaha menceritakan kebohongan. Namun, ketidak-jujuran dalam fisika akan disambut
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY, Purworejo 14 April 2012 ISSN : 0853-0823
Supriyono Koes H / Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika
3
dengan kekecewaan luar biasa. Alasannya adalah bukan karena fisikawan merupakan profesi yang lebih bijaksana daripada profesi lainnya, tetapi karena kejujuran lebih penting dalam bekerja di bidang fisika. Kita dapat terlibat dalam transaksi perumahan atau membuat kesepakatan politis tanpa berasumsi bahwa kelompok lain menceritakan kebenaran; namun kita tidak dapat mengerjakan fisika tanpa berasumsi bahwa orang lain yang terlibat dalam pekerjaan sejenis memberi informasi yang jujur. Jika ketidak-jujuran terjadi dalam fisika maka hal itu benar-benar merupakan penipuan. Mengapa? Karena dalam fisika kejujuran dipertimbangkan sebagai nilai ilmiah yang penting.
Nilai-nilai dalam pemilihan teori Dalam menentukan apakah satu teori lebih baik dari lainnya, fisikawan menerapkan kriteria yang dari sudut pandang filosofis dapat dipertimbangkan sebagai nilainilai. Sebagai contoh, fisikawan umumnya menyukai teori-teori yang memiliki tingkat ketepatan yang lebih tinggi, lebih konsisten dengan teori lainnya, memiliki lingkup penerapan yang lebih luas, memiliki tingkat kesederhanaan lebih tinggi, dan mengarah pada kemajuan. Jika ditelaah secara mendalam maka dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya kriteria-kriteria tersebut merupakan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh fisikawan.
Keingintahuan Keingintahuan, dalam konteks ini, merupakan hasrat untuk mengetahui lebih baik tentang alam. Dengan kata lain, fisikawan selalu mempertimbangkan untuk belajar lebih tentang alam menjadi kebaikan yang positif. Keingintahuan semacam ini tidak hanya bagian struktur personalitas dari sebagian besar fisikawan, tetapi ia juga diambil sebagai satu nilai masyarakat ilmiah secara keseluruhan. Tidak seperti kejujuran, keingintahuan tidak selalu dipertimbangkan sebagai kebajikan oleh semua anggota masyarakat ilmiah. Walaupun keingintahuan merupakan satu dari nilai pokok fisika, fisikawan secara individual bisa jadi memiliki konflik antara nilai ini dengan nilai lain yang mereka pegang. Untuk memperjelas ungkapan ini, perhatikan contoh sederhana berikut. Seberapa tinggi tingkat ketahanan manusia menerima sengatan listrik? Dalam hal ini terjadi konflik antara keingintahuan ini dan etika eksperimen untuk menyelidikinya. Sebuah contoh lain yang lebih halus dan sulit sebagai berikut. Andaikan eksperimen yang dikendalikan oleh keingintahuan, memberi kita pengetahuan yang mengarah ke teknologi baru dan kita mengetahui itu sangat berbahaya. Haruskah kita melaksanakan penelitian ini?
Fisika dan keberanian Salah satu kualitas manusia yang penting dalam fisika adalah keberanian. Jika kita menempatkan ini dalam bentuk kemauan seseorang untuk mempertanyakan kebijakan konvensional, kita menuju pada ide penting: mempertanyakan segala sesuatu merupakan nilai dasar yang melandasi pemikiran dalam fisika. Sebagai contoh, Copernicus mempertanyakan kebijakan konvensional tentang alam yang berpusat pada bumi. Pertanyaannya tentang ide lama tersebut mengarah pada temuan baru: matahari merupakan pusat tata surya dan planet-planet mengelilingi matahari bukan bumi. Sekitar seratus tahun setelah publikasi buku Copernicus, Galileo menyatakan dukungannya untuk konsep Copernicus tentang alam semesta. Mempertanyakan ide-ide yang mapan atau mengusulkan sebuah hipotesis yang berbeda secara radikal untuk menjelaskan data merupakan tindakan yang berani. Tidak jarang orang yang mengusulkan ideide semacam itu dijauhi, dikira gila, atau ditolak oleh kemapanan. Sebagai contoh, pada tahun 1920 Wegener, mengusulkan bahwa benua bukan merupakan massa yang diam tetapi lempeng batu yang bergerak dan telah hanyut sehingga kemudian terpisah lebih dari jutaan tahun waktu geologi. Pada saat itu idenya dianggap keterlaluan dan gila. Fisikawan dan ahli geologi menunjukkan bahwa tidak ada gaya di bumi untuk memindahkan bermilyar-milyar kilogram batu. Lima puluh tahun kemudian, sebagian besar ahli geologi mendukung teori lempeng tektonik, bahwa kerak bumi terdiri atas lempeng-lempeng besar yang berpindah, bertumbukan, terpisah, dan meluncur menjauh.
Ketakberpihakan Hasil atau gagasan ilmiah pada akhirnya harus didasarkan pada bukti, yakni, pengamatan dan eksperimen. Jika sejumlah bukti bertentangan dengan keyakinan kita, tak peduli seberapa kuatnya, maka kita harus menanggalkan keyakinan tersebut. Kesediaan merubah pemikiran yang didasarkan pada bukti juga merupakan satu nilai dasar fisika. Tentu saja, ada fisikawan yang keras kepala yang sulit diyakinkan dengan data; fisikawan juga manusia. Adalah adil untuk mengatakan bahwa seseorang yang tidak berbagi nilai kesediaan untuk tak berpihak dan mengubah keyakinan berdasarkan bukti, bukan seorang fisikawan. Sekali lagi, tidak setiap orang dalam budaya kita berbagi nilai ini. Pendek kata, orang yang tidak berpihak kepada keingintahuan juga tidak tergerak untuk berbuat ketakberpihakan. Kadang-kadang politikus yang berubah posisinya berdasarkan bukti, dituduh lemah dan bimbang.
Fisika, pemecahan masalah, dan pikiran manusia Berpikir dalam fisika sering diasosiasikan dengan kreativitas dan pemecahan masalah. Keduanya merupakan aspek penting dalam fisika dan haruslah merupakan tujuan utama kurikulum fisika. Beberapa ciri orang kreatif antara lain adalah: inovatif, berani mengambil resiko, dan pemecah masalah yang liat; mereka berkemauan mengajukan pertanyaan, penjelajah yang tak kenal takut, tak dapat diramal, gigih, dan bermotivasi tinggi; mereka dapat berfikir dalam imajinasi, dan bermain-main dengan ide, dan mentoleransi kerancuan dan antisipatif. Implikasi sosial
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY, Purworejo 14 April 2012 ISSN : 0853-0823
4
Supriyono Koes H / Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika
pemikiran kreatif adalah kita hidup dalam dunia yang senantiasa berubah. Agar dapat memecahkan masalah secara kreatif, seseorang perlu menggunakan imajinasinya. Sejarah penemuan fisika menunjukkan bahwa imajinasi dan hasil imajinasi memiliki peran yang penting dalam penemuanpenemuan intelektual dan terobosan-terobosan. Perjalanan penemuan fisika sebagian besar diiringi percik-percik cahaya kreativitas dan imajinasi penemunya. Dunia imajinasi merupakan pelabuhan yang aman untuk berfikir dan berimajinasi. Dunia imajinasi merupakan tempat yang nyaman untuk partisipasi pikiran manusia dalam pemecahan masalah. Sebagai contoh, eksperimen angan-angan Einstein dan imajinasinya mengarahkannya untuk mengembangkan konsepkonsepnya tentang ruang dan waktu. Tentu saja, ia menggunakan imajinasinya untuk mengalami apa yang ia pikirkan, seperti mengendarai kendaraan berkas cahaya. Fisika dan nilai-nilai kemanusiaan Ketika masyarakat mengakui pentingnya kualitas pemikiran semacam kemandirian berpikir, keaslian ide, kebebasan berpikir, atau perbedaan pemikiran, pengakuan tersebut meningkatkan kualitas pemikiran menjadi nilai-nilai sosial. Sebagai nilai-nilai sosial kualitas pemikiran diberi perlindungan khusus lewat hukum-hukum yang mengatur perilaku masyarakat. Karena fisika merupakan aktivitas manusia yang menjungjung tinggi kualitas pemikiran, nilai-nilai tertentu harus memandu kerja fisikawan. Dengan kata lain, fisika tidak bebas nilai. Oleh sebab itu, kerja fisika didasarkan pada pencarian kebenaran. Bronowski mengupas nilai-nilai kemanusiaan: Jika kebenaran ditemukan, dan jika kebenaran harus diverifikasi dalam kegiatan, kondisi apa yang perlu dan nilai-nilai apa saja tumbuh dengan sendirinya dari kegiatan ini? (Hassard, 2005) Pertama, tentu saja, akan datang kemandirian dalam pengamatan dan kemudian dalam pemikiran. Tanda kemandirian adalah keaslian, dan salah satu dari ungkapan kemandirian adalah perbedaan. Pada saatnya, perbedaan merupakan tanda dari kebebasan. Jadi, keaslian dan kemandirian merupakan kebutuhan pribadi manusia yang jujur, dan perbedaan dan kebebasan merupakan alat masyarakat untuk melindungi keaslian dan kemandirian. Itulah sebabnya masyarakat harus memberikan perlindungan pada kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan inkuiri, dan toleransi. Semua itu merupakan kebutuhan yang mengikuti secara logis ketika manusia berkemauan untuk mengeksplorasi kebenaran. Fisika dan demokrasi Ketika fisika dikaji melalui eksplorasi yang melibatkan nilai-nilai kemandirian, kebebasan, hak untuk berbeda, dan toleransi, nampak jelas bahwa sebagai suatu aktivitas sosial, fisika tidak menumbuhkan iklim otoritas. Beberapa ahli menyatakan bahwa fisika tidak dapat dipraktekkan dalam rezim otoriter. Sebaliknya, dalam
suatu lingkungan demokratis ide-ide lama dapat dilawan dan dikritik secara tajam, meskipun perlawanan tersebut menemui berbagai kesulitan karena pencetus ide-ide lama dan penganutnya berkeinginan untuk menjaganya. Dengan demikian, penumbuhan iklim demokratis merupakan esensi dari pemikiran ilmiah untuk mengusulkan ide-ide alternatif, dan kemudian menguji ide-ide alternatif itu melawan konsep-konsep yang telah ada. Tentu saja, pengusulan ide-ide baru merupakan usaha legitimasi fisika dalam membangun pengetahuan yang sahih. Jadi, nilai-nilai yang merupakan prinsip dasar demokrasi juga merupakan prinsip-prinsip penting dalam eksplorasi ilmiah. Unsur Karakter dalam Kurikulum Kurikulum fisika (IPA), saat ini dikenal sebagai standar isi, di samping memuat materi minimal fisika yang harus diajarkan juga memuat nilai-nilai yang merupakan sebagian unsur dari karakter yang harus ditumbuh-kembangkan pada diri pelajar. Walaupun secara eksplisit tidak dikemukakan sebagai pendidikan karakter, unsur-unsur karakter tercantum dalam standar isi matapelajaran fisika (IPA). Standar isi memuat pernyataan-pernyataan yang mencirikan adanya pendidikan karakter dalam matapelajaran fisika (IPA). Pertama, untuk jenjang SD, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dimaksudkan untuk mengenal, menyikapi, dan mengapresiasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menanamkan kebiasaan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif, dan mandiri. Kedua, untuk jenjang SMP, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar dan membudayakan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Ketiga, untuk jenjang SMA, kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi, membudayakan berpikir dan berperilaku ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Tujuan pelajaran fisika di SMA yang tercantum dalam standar isi juga memuat berapa unsur karakter. Tujuan pelajaran Fisika di SMA adalah agar peserta didik memiliki kemampuan-kemampuan sebagai berikut. Pertama, membentuk sikap positif terhadap fisika dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, obyektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerjasama dengan orang lain. Ketiga, mengembangkan pengalaman untuk dapat merumuskan masalah, mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan menafsirkan data, serta mengomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Keempat, mengembangkan kemampuan bernalar dalam berpikir analisis induktif dan deduktif
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY, Purworejo 14 April 2012 ISSN : 0853-0823
Supriyono Koes H / Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika
dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kelima, menguasai konsep dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan mengembangkan pengetahuan dan sikap percaya diri sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam Permendiknas no 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), khususnya pada rumpun matapelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi juga dicantumkan unsur-unsur karakter. Dalam SKL dinyatakan bahwa lulusan SMA harus menunjukkan sejumlah kemampuan dan sikap. Pertama, siswa mampu berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif secara mandiri. Kedua, siswa mampu mengembangkan budaya belajar untuk pemberdayaan diri. Ketiga, siswa memiliki sikap kompetitif, sportif, dan etos kerja untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam bidang iptek. Keempat, siswa mampu menganalisis dan memecahkan masalah kompleks. Kelima, siswa mampu menganalisis fenomena alam dan sosial sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Keenam, siswa mampu memanfaatkan lingkungan secara produktif dan bertanggung jawab. Terakhir, siswa mampu berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun melalui berbagai cara termasuk pemanfaatan teknologi informasi. Dengan keinginan untuk memperkuat karakter siswa, unsur-unsur karakter dalam strandar isi dinyatakan secara eksplisit dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Pengungkapan secara eksplisit ini dimaksudkan agar guru secara sadar mengintegrasikan unsur-unsur karakter sebagai bagian tak terpisahkan dari tujuan pembelajaran yang merupakan sasaran dari proses pembelajaran. Unsur Karakter dalam proses pembelajaran. Hakikat fisika yang tidak hanya sekedar kumpulan fakta, prinsip, dan hukum memiliki implikasi terhadap pembelajaran fisika. Haruslah ada keajegan antara pembahasan tentang hakikat fisika dan hakikat pembelajaran fisika. Pembelajaran fisika secara tradisional memiliki fokus hanya pada membantu siswa belajar fakta-fakta dan konsep-konsep fisika tanpa tindak lanjut. Jarang sekali siswa didorong untuk menyelesaikan masalah-masalah riil, melalui penerapan konsep-konsep dan fakta-fakta yang telah mereka pelajari. Masalah yang disodorkan kepada siswa haruslah masalah-masalah yang disesuaikan dengan modal pengetahuan siswa untuk memecahkannya. Pembelajaran fisika menyajikan tidak hanya faktafakta dan informasi fisika, tetapi juga proses fisika kepada siswa. Dengan demikian, pembelajaran fisika berkewajiban untuk menciptakan lingkungan kelas yang dapat menumbuhkan nilai-nilai yang sama dengan nilainilai yang membimbing praktek fisikawan (Koes-H, 2003; Hassard, 2005). Pertanyaan-pertanyaan yang dapat dimunculkan pada kelas kita berkaitan dengan praktek
fisikawan itu adalah sebagai berikut. Seberapa jauh siswa-siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya? Apakah aktivitas di dalam kelas dirancang untuk memunculkan metode-metode, jawaban-jawaban, dan penyelesaian-penyelesaian alternatif? Apakah siswa didorong untuk mengidentifikasi dan kemudian mencoba untuk memecahkan masalah yang relevan dengan diri mereka sendiri? Apakah dimungkinkan terjadinya perbeda pendapat di antara siswa dengan diusulkannya “ide-ide baru”? Apakah masalah-masalah yang mereka pecahkan memiliki konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan mereka? Fisika dapat dipandang sebagai kesetaraan antara apa yang dikerjakan dan bagaimana ia dikerjakan. Oleh sebab itu, untuk memahami fisika sebagai cara berpikir dan bekerja yang setara dengan kumpulan pengetahuan, diperlukan pembelajaran fisika yang menyetarakan proses berpikir dan aktivitas-aktivitas fisikawan dengan hasil-hasil aktivitas tersebut. Jadi, pembelajaran fisika mengarah pada penggalian salah satu dari proses-proses berpikir dasar dalam fisika, yaitu inkuiri. Banyak model-model pembelajaran berbasis pada inkuiri memiliki dampak pengiring yang berupa unsurunsur karakter. Model pembelajaran Learning Cycle memiliki dampak pengiring dengan tumbuhkan kemampuan berpikir kritis, tangguh, dan jujur. Model Problem Based Learning berdampak pengiring pada berkembangnya kemampuan berpikir kreatif dan tidak mudah menyerah. Pembelajaran fisika juga dapat dilaksanakan dengan menerapkan model-model pembelajaran kooperatif. Dengan model semacam ini siswa lebih banyak belajar dengan cara berdiskusi kelompok dan bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Pola pembelajaran fisika semacam ini memiliki dampak pengiring yang berupa tumbuhnya kemampuan kerjasama, toleransi, dan kesediaan menerima perbedaan pandangan (Koes-H, 2003). Setiap model pembelajaran memiliki dampak pengiring tertentu. Jika guru fisika berkeinginan mengembangkan berbagai unsur karakter pada diri siswa maka guru tersebut harus memvariasi model yang diterapkan dalam pembelajaran fisika. Makin bervariasi guru melaksanakan pembelajaran fisika makin banyak unsur karakter yang dikembangkan pada diri siswa. II. Bagaimana Membangun Karakter melalui Pendidikan Fisika? Membangun karakter melalui pendidikan fisika berarti mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pelajaran fisika. Nucci dan Narvaez (2008) menyatakan bahwa pendidikan karakter tidak sama dengan mengontrol tingkah laku, disiplin, pelatihan, atau indoktrinasi; pendidikan karakter memiliki cakupan lebih luas dan memiliki tujuan yang lebih ambisius. Karakter adalah terminologi inklusif untuk individu sebagai keutuhan. Konsekuensinya, pendidikan karakter memiliki banyak hal yang harus dikerjakan pendidik untuk pembentukan dan transformasi seseorang dengan
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY, Purworejo 14 April 2012 ISSN : 0853-0823
5
6
Supriyono Koes H / Membangun (sebagian) Karakter Pelajar Melalui Pendidikan Fisika
melibatkan pendidikan di sekolah, keluarga, dan melalui partisipasi individu dalam jaringan sosial masyarakat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter di sekolah harus melibatkan semua pemangku kepentingan sekolah. Seluruh pemangku kepentingan sekolah harus juga berkarakter dalam menyelenggarakan pendidikan karakter. Dengan kata lain, jangan hanya siswa dibina agar berkarakter tetapi penyelenggaranya dan warga sekolah lainnya tidak berkarakter. Ini berarti bahwa pembina pendidikan karakter harus menjadi orang di garis paling depan dalam memberi teladan untuk berkarakter yang baik. Dalam hal membangun karakter melalui pendidikan fisika, guru fisika (IPA) harus melakukan segala sesuatu agar mampu mempengaruhi karakter siswa. Dengan kata lain, guru fisika harus mampu membantu membentuk karakter siswa sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh matapelajaran fisika. Cara sederhana yang harus dilakukan guru fisika adalah memberi teladan dengan mendemontrasikan perilaku guru yang berkarakter baik dalam pembelajaran. Sebagai contoh, guru fisika menyajikan materi pelajaran dengan kreatif, menghormati pandangan siswanya walaupun berbeda, dan lain-lain. Selain itu, guru-guru fisika harus dengan sadar menerapkan berbagai model pembelajaran agar dampak sertaannya makin Membangun dan mengembangkan karakter dilakukan beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap pengetahuan. Untuk siswa yang sudah dewasa, mereka harus mengetahui karakter yang baik dan yang tidak baik beserta alasannya. Mengetahui karakter yang baik saja masih belum cukup karena banyak siswa mengetahui sesuatu baik tetapi tidak melaksanakan. Tahap kedua pengembangan karakter adalah pelaksanaan. Agar pengetahuan karakter yang baik dapat diaktualisasi maka pengetahuan tersebut perlu dilaksanakan. Tahap ketiga pengembangan karakter adalah kebiasaan. Seseorang yang memiliki pengetahuan karakter yang baik belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika ia tidak terbiasa untuk melakukan karakter tersebut. Membangun dan mengembangkan karakter melalui pendidikan fisika tidak berhenti sampai pada ranah kognitif tetapi harus dilanjutkan sampai ke penghayatan nilai-nilai karakter dalam ranah afektif. Agar terjadi keinginan sangat kuat (tekad) pada diri siswa untuk mengamalkan nilai-nilai karakter yang baik maka guru perlu membimbing mereka sampai pada pemilikan tekad tersebut.
Ada cara-cara lain untuk membangun dan mengembangkan karakter siswa. Solomon, Watson, dan Battistich (2001) telah mengumpulkan sejumlah penelitian terkait dengan praktik penerapan pendidikan karakter. Mereka menyimpulkan bahwa empat praktik yang mampu meningkatkan pengembangan karakter, yaitu: (1) meningkatkan otonomi siswa; (2) partisipasi, diskusi, dan kolaborasi siswa; (3) pelatihan keterampilan sosial; dan (4) membantu pelayanan sosial. III. PENUTUP Uraian di depan memerikan peran pendidikan fisika dalam membangun (sebagian) karakter pelajar. Peran pendidikan fisika ini merupakan bagian dari peran pendidikan karakter dalam membina karakter pelajar. Setidaknya terdapat tiga aspek dalam pendidikan fisika yang memuat unsur-unsur karakter, yakni: fisika dan kegiatan fisikawan, kurikulum matapelajaran fisika, dan pembelajaran fisika. Ketiga aspek ini memuat sebagian dari unsur-unsur karakter. Pengebangan karakter dilakukan melalui tiga tahap, yakni: pengetahuan, pelaksanaan, dan pembiasaan. Pengembangan ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan sekolah dengan pelaksana yang berkarakter pula. Pelaksana harus mampu menjadi teladan dengan melaksanakan karakter yang baik. Akhirnya, pembinaan karakter pelajar belum cukup memadai apabila hanya dilakukan melalui satu matapelajaran saja. Oleh sebab itu, pembinaan karakter pelajar perlu dilakukan bersama-sama oleh semua guru matapelajaran dan didukung semua warga sekolah. PUSTAKA [1] Stevenson, Nancy. 2006. Character Education Handbook. Indianapolis, IN: JIST Publishing Ins [2] Berkowitz, Marvin W. 2002. The Science of Character Education. Dalam W. Damon (Ed.), Bringing in New Era in Character Education (hlm. 43 – 50). Stanford, California: Hoover Institution Press. [3] Koes-H, Supriyono. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Penerbit UM [4] Hassard, Jack. 2005. The Art of Teaching Science. New York: Oxford University Press. [5] Derry, Gregory N. 1999. How Science Is and How It Works. New Jersey: Princeton University Press. [6] Nucci, L. P. dan Narvaez, D. 2008. Handbook of Moral and Character Education. New York: Routledge. [7] Solomon, D, Watson, M. S., dan Battistch, V. A., 2001. Teaching and Schooling Effects on Moral/Pro-Social Developmen. Dalam V. Richardson (Eds.). Handbook of Research on Teaching, 4th ed. Washington, D. C.: Association for Supervision and Curriculum Development.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVI HFI Jateng & DIY, Purworejo 14 April 2012 ISSN : 0853-0823