Jurnal At-Tajdid
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA MELALUI PENDIDIKAN ISLAM Hamam Burhanddin * Abstract: Character education is an education that emphasizes the formation of character values in students. The goal of character edocation is: (1)to develop student sosially, ethically and academically by infusing character development into every aspect of the school culture and curriculum, (2) to help students develop good character which includes knowing, caring about and acting upon core ethical values such as: respect, responsibility, honest, fairness, compassion. Character education is responsiblility goverments, society, formal education and parents. So, habitation of character must integrate on fourth unsure. an-Nahlawiformuled strategies to inculcating of knowledge and value, there are: (a) education with dialog Qur’ani and Nabawi (b) education with story Qur’ani and Nabawi, (c) education with parable(d) education with rule of model (Uswah hasanah), (e) education with deed and practice (f ) education with ibrah and mau’idhah (g) education with targhib and tarhib.
Keywords: Islam and Character Nation, Islamic Education
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan interaksi antara manusia dengan lingkungannya termasuk lingkungan alam dan lingkungan manusia.1 Di dalam interaksi tersebut manusia bukan hanya mengusahakan interaksi dengan sesama manusia, namun dengan alamnya sehingga dapat megembangkan potensi manusia secara optimal, Munculnya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa dimaklumi. Sebab, selama ini dirasakan, proses pendidikan dirasakan belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter.2 * Dosen Tetap STIT Islamiyah Karya Pembangunan Paron Ngawi, Email:
[email protected] 1
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem Pendidikan, tidak dipungkiri memiliki kontribusi yang cukup mapan untuk menyokong pembentukan karakter bangsa dengan berbagai strategi dan metode yang cukup dalam. Tengok saja, sistem pengajaran yang diwajibkan bagi setiap anak sebagai peserta didik yang harus dicetak secara integrasif sehingga calon anak cerdas dalam keimanan Islam bukan dibentuk ketika sudah aqil baligh (baca: dewasa), namun jauh sebelum ibunya mengandung proses transformasi itu sudah harus ditanamkan oleh sifat pembawaan orang tua.3 Kondisi ini membutuhkan respon yang aktif-kreatif untuk memberdayakan pendidikan Islam untuk meresponnya. Sejalan dengan gencarnya kampanye pendidikan karakter yang harus kembali menjadi spirit dan motivasi setiap pribadi pembelajar baik guru dan siswa dalam lingkungan pendidikan, dalam setiap interaksi pengayaan bahkan pendalaman pendidikian karakter Islami bisa dimulai dari guru dan siswa itu berada yang menjadikan karakterisitk lokal dari setiap pribadi pembelajar yang akan turut menentukan tumbuh kembangnya pengetahuan dan kecerdasan berwawasan kebangsaan dan berkarakter Islami. Inilah yang akan disajikan sebagai solusi dari merosotnya moralitas bangsa. Pentingnya membangun karakter bangsa yang otentik karena dilatarbelakangi oleh: 1. Budaya gotong royong di kalangan masyarakat melemah (menghilangnya komitmen sepi ing pamrih rame ing gawe). 2. Kepribadian masyarakat lokal (adat) tergerus oleh arus modernisasi. 3. Etika pergaulan di kalangan masyarakat memudar disertai melemahnya pendidikan etika untuk generasi muda khususnya di daerah-daerah perkotaan. 4. Sekelompok masyarakat cenderung menggunakan cara-cara anarkis (tidak beradab) dalam menyampaikan aspirasi. 5. Pendidikan budi pekerti dalam pendidikan formal, non formal, dan informal kurang terakomodasi.
2
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
6. Toleransi terhadap “kebhinekaan” melemah sebagai akibat kesenjangan ekonomi dan rendahnya keadilan bagi kalangan masyarakat tertentu. 7. Munculnya sejumlah peristiwa yang mengindikasikan melemahnya komitmen untuk mempertahankan kepentingan umum oleh sebagian pelaku bisnis, perumus Undang-Undang dan pemerintah atau pihak terkait demi keuntungan jangka pendek/pribadi. Dari latar belakang itulah pendidikan karakter menjadi terobosan yang perlu ditempuh untuk membentuk karakter bangsa yang otentik.
DEFINISI KARAKTER Menurut Simon Philips, karakter merupakan kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.4 Sedangkan Doni Koesoema A, menyatakan karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai "ciri, atau karakteristik, atau gaya, atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan".5 Menurut Imam Ghozali karakter lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia. Menurut Ki Hajar Dewantara karakter bisa dibangun lewat pendidikan, karena pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak.6 Menurut Howard, pada abad 18 dan 19 pendidikan karakter mulai dipandang sebagai tujuan utama pendidikan, namun timbul tenggelam berkaitan dengan masalah-masalah politik dan kejadian-kejadian bersejarah. Begitu pula di Indonesia, corak pendidikan karakter bersesuaian dengan era politik yang berkuasa. Misalnya pada era demokrasi terpimpin, pendidikan karakter dikenal dengan istilah national and character building, Pada era orde baru pendidikan karakter digulirkan dalam pe-
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
3
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
nataran P4, dan pada era reformasi pendidikan karakter dimasukkan dalam kurikulum berbasis kompetensi. Pada Rancangan Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Dikti, 2011), pendidikan karakter ditempatkan sebagai visi pertama dari 8 visi pembangunan nasional. Dalam berbagai kesempatan presiden RI juga mengungkapkan pentingnya pembangunan watak (character building), karena Negara Indonesia ingin membangun manusia yang berakhlak, berbudi pekerti dan berperilaku baik. Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa ini disusun sebagai pelaksanaan amanat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dan sekaligus pelaksanaan arahan Bapak Presiden Republik Indonesia. Setelah mengetahui bahwa pendidikan karakter pada saat ini menjadi kebutuhan yang krusial bagi pendidikan nasional, muncul pertanyaan mendasar tentang pengertian pendidikan karakter itu sendiri. Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Ada empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh FW Foerster, pertama, pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman ter hadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut. Kedua, adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru. Ketiga, adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih. Menurut Fakhry Gaffar, pendidikan karakter adalah sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan
4
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu. Dalam definisi tersebut ada tiga ide pikiran penting, yaitu: (1) proses transformasi nilai-nilai, (2) ditumbuhkembangkan dalam kepribadian, (3) menjadi satu dalam perilaku.7 Menurut Majid, pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku. Fokus pendidikan karakter adalah pada tujuan-tujuan etika, tetapi prakteknya meliputi penguatan kecakapan-kecakapan yang penting yang mencakup perkembangan sosial siswa.8 Menurut Lickona, tujuan dari pendidikan karakter adalah: (1) mengembangkan kemampuan sosial anak didik, baik secara etika dan akademis dengan memasukkan pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan, (2) membantu anak didik mengembangkan karakter baik yang meliputi aspek mengetahui (knowing), peduli (caring), hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), kejujuran (honesty), keadilan (fairness), dan kasih sayang (compassion). Sedangkan menurut Kusuma, tujuan pendidikan karakter adalah: (1) menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang baik sehingga menjadi kepribadian yang khas, (2) mengoreksi perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dikembangkan, (3) membangun koneksi yang harmonis antara keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan ka rakter.9 Menurut Kidder, ada ciri yang menjadikan kualitas pendidikan karakter yaitu: (1) Empowered, pendidik harus mampu memberdayakan dirinya untuk mengajarkan pendidikan karakter dengan dimulai dari dirinya sendiri, (2) Effective, proses pendidikan harus dilaksanakan secara efektif, (3) Extended into community, komunitas harus membantu dan mendukung sekolah dalam menanamkan nilai-nilai, (4) Embedded, integrasikan seluruh nilai ke dalam kurikulum dan seluruh rangkaian proses pembelajaran, (5) Engaged, melibatkan komunitas dan menampilkan topik-topik yang cukup esensial, (6) Epistemological, harus ada koherensi antara berpikir makna etik dengan upaya yang dilakukan untuk membantu siswa menerapkannya secara benar, (7) Evaluative, peJurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
5
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
nilaian yang meliputi kesadaran etik, kepercayaan diri untuk membuat keputusan, kapasitas menampilkan kepercayaan diri secara praktis, kapasitas menggunakan pengalaman praktis dalam komunitas, dan kapasitas untuk menjadi agen perubahan.10 Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan, pembiasaan untuk berbuat baik; pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu berbuat curang, malu bersikap malas; malu membiarkan lingkungannya kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.11 Dalam praktik pendidikan dengan karakter peserta didik dalam dunia Pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter, sebagaimana tujuan pendidikan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional.12 Banyak pendidik percaya, karakter suatu bangsa terkait dengan prestasi yang diraih oleh bangsa itu dalam berbagai bidang kehidupan. Ratna Megawangi13 mencontohkan, bagaimana kesuksesan Cina dalam menerapkan pendidikan karakter sejak awal tahun 1980-an. Menurutnya, pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands.14 Pendidikan karakter adalah proses internalisasi nilai-nilai, sikap perilaku serta budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Proses Pendidikan Karakter bukan hanya upaya transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai proses pendidikan dan pembudayaan. Pendidikan Karakter menjadi suatu sistem di satuan pendidikan, yang terintegrasi di dalam proses pembelajaran, kegiatan keseharian di sekolah, termasuk kegiatan co-curiculer dan/atau ekstra kurikuler.
6
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
1. 2. 3. 4. 5.
Sumber nilai dari pendidikan karakter ialah: Nilai-nilai Pancasila Nilai-nilai Keagamaan Nilai-nilai Sejarah Bangsa Nilai-nilai budaya Nasional Kearifan lokal/lingkungan.15
Dari nilai yang terkandung di atas menjadi landasan ideal dalam pengembangan pendidikan karakter bangsa. Berdasarkan pada pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter tidak hanya mendidik untuk memahami saja tetapi menginternalisasikan nilai-nilai tersebut dalam diri sehingga terbentuk sebuah karakter atau kepribadian yang khas. Benar, akhirnya, kesuksesan pendidikan karakter sesorang tidak hanya berhenti pada penilaian kognitif, namun bagaimana karakter itu bisa membentuk manusia berkepribadian dan beradab, sesuai dengan pendapat Mardiatmaja yang menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia (humanis human). Seharusnya tidak sekedar formalitas atau berhenti pada pewacanaan nilai dan norma dalam penerapan pendidikan karakter di lingkungan pendidikan, karena penilaiannya sangat kompleks dan komprehensif. Jangan sampai terjebak dalam rutinitas dan pengguguran kewajiban sedangkan ruh pendidikan karakter itu sendiri justru diabaikan. Hal ini hanya akan menjadi sia-sia karena pendidikan karakter yang diterapkan tidak akan pernah bisa menghasilkan manusia-manusia berkarakter. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus disokong oleh segenap elemen bangsa, baik dari keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pada dasarnya karakter itu dibentuk dari peneladanan (modelling) dan pembiasaan (habituation). Jadi bagaimana mungkin pendidikan karakter bisa berperan secara optimal jika belum ada sinergi antara lingkungan keluarga, masyarakat, dan pemerintah sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
7
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
SEJARAH PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun 1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika” pada lambang negara Indonesia. Di masa pergerakan nasional, Soekarno muda pernah membuat sebuah konsepsi perjuangan berlabel “self-help” yang dimaknai sebagai sebuah sikap kemandirian bangsa yang tidak mudah tergantung dari bangsa-bangsa asing. Konsepsi sebagai bangsa yang mandiri ini ia ulangi lagi di tahun 1960-an ketika ia mengumandangkan sebuah jargon berlabel “berdikari”, berdiri di atas kaki sendiri, yang juga memiliki m akna yang sama dengan konsepsi sebelumnya. Lantas, Soekarno membandingkannya dengan gerakan Swadesi Gandhi yang mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri untuk melawan penindasan kolonial Inggris. Gerakan Swadesi India inilah yang menginspirasi Soekarno bahwa kemandirian bangsa harus dibangun melalui kerja keras, sebagaimana ia lukiskan sebagai kerja kerasnya bangsa Jepang yang bisa bangkit dari hancur leburnya negara mereka pasca Perang Dunia Kedua. Kemandirian dan kerja keras inilah yang nantinya menjelma menjadi sebuah martabat, yang bisa menumbuhkan kebanggan sebagai sebuah bangsa, terhormat berdiri di hadapan bangsa-bangsa lain. Masih menurut Soekarno, dalam bukunya “Di bawah Bendera Revolusi”, karakter bangsa yang nantinya terbentuk adalah bangsa yang tidak ngak ngik ngok, yang tidak memiliki jati diri, terombang-ambing oleh sebuah kultur dunia yang menghegemoni, tidak menjadi bangsa tempe yang lemah tak berdaya di hadapan negara-negara besar.16 Inilah sekelumit gagasan seorang Soekarno tentang model karakter bangsa Indonesia. Sayangnya, gagasan cerdas tersebut tidak memiliki 8
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
fondasi dan konstruksi yang kokoh secara sosio-kultural. Problem kultur negara pasca kolonial yang cenderung bersifat “xenophobia”, gandrung terhadap budaya luar, mungkin saja menjadi variabel penghambat terwujudnya mimpi Soekarno. Meskipun ada sisi positif dari karakter bangsa yang patut dibanggakan, semisal keramahan dan kegotongroyongan yang dianut oleh sebagian masyarakat, juga tidak bisa menafikan, ada sisi kelam karakter bangsa yang menyeruak ke permukaan. Akhir-akhir ini, gejala disorientasi nilai-nilai, semisal pragmatisme, kepentingan individualistik yang dominan, dan perilaku korup segelintir elit menjadi menu sehari-hari ditayangkan oleh media. Pergeseran nilai-nilai etika pun kian telanjang dipertontonkan melalui media massa dalam bentuk yang lebih massiv. Memudarnya jati diri bangsa karena serbuan budaya kapitalistik hedonistis yang semakin membuat kita menjadi bangsa yang tak percaya diri. Konsekuensinya, ketidakpercayaan diri inilah yang membuat bangsa yang lebih banyak tergantung dari bangsa lain, gandrung akan produk yang berlabel asing, konsumeristik, dan akhirnya menjadi bangsa yang menurut Soekarno disebut sebagai ngak ngik ngok tadi. Keterusikan publik pun semakin terakumulasi ketika nilai-nilai kerukunan yang senantiasa dideklarasikan sebagai salah satu nilai luhur bangsa Indonesia, justru mengalami degradasi ketika konflik horizontal berbasis politik atau pun yang cenderung berbau SARA menjadi menu informasi di media.17 Kementerian Agama yang disebut-disebut sebagai institusi pengawal nilai-nilai agamis pun mencoba mempertunjukkan kepeduliannya dengan pula mendesain konsep pendidikan karakter. Tak tanggung-tanggung, kementerian ini mencanangkan 34 perilaku berkarakter yang diharapkan terbentuk dari pendidikan karakter bangsa ini, misalnya agamis, jujur, amanah, terpercaya, sabar, tabah, keteladanan, ramah, santun, taat, dan sebagainya. Tak pelak, desain dan arah kebijakan ini jelas memerlukan keterpaduan yang bersifat interseksi dan konsolidasi. Dalam interseksi kebijakan, berbagai instansi tersebut perlu membuat rumusan arah dan Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
9
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
esain kebijakan yang bersinggungan satu sama lain. Perlu dibuat sed buah formula yang mengarah pada satu kata kunci tujuan dari model pembangunan karakter bangsa ini. Jika kita mengenal bangsa Jepang sebagai bangsa yang berdisiplin tinggi dengan kultur samurainya, seharusnya, kita juga perlu mendefinisikan sebuah karakter yang khas bangsa Indonesia.
MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG OTENTIK MELALUI PEN DIDIKAN ISLAM Pembelajaran nilai-nilai karakter bangsa dimulai dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini.Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa. Pendidikan karakter untuk membangun keberadaban bangsa, adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu, pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihakan yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pesan akhir tulisan ini, berikan layanan yang terbaik kepada Pendidik dan tenaga kependidikan sehingga terwujud masyarakat yang ”beradab” yang mengimplementasikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad sekali merdeka, tetap merdeka. Dalam wilayah pendidikan formal peranan guru dalam membantu proses internalisasi nilai-nilai positif ke dalam diri siswa tidak bisa digantikan oleh media pendidikan secanggih apapun. Hal ini karena pen10
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
didikan karakter membutuhkan teladan hidup (living model) yang hanya bisa ditemukan dalam pribadi para guru. Tanpa peranan guru, pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil dengan baik. Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan mau melakukannya (domain psikomotor). Proses pembiasaan itu tidak akan mungkin berjalan dengan baik tanpa bantuan guru dan juga orang tua. Dalam khazanah Islam, kita perlu menggali kembali nilai-nilai Islam. Rasulullah SAW sebagai pijakan dalam menjalankan tugas profetik dan profesionalismenya. Guru utama yang menjadi panutan adalah nabi Muhamad SAW. Beliau mengemban misi mulia dari Allah SWT yang tercermin dalam QS. al-Jumu’ah ayat 2 “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (as-Sunnah), dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” Tugas Nabi Muhammad SAW antara lain adalah membacakan ayat-ayat Allah swt, menyucikan dan mengajar manusia. Beliau sebagai pendidik bukan hanya sekedar membacakan atau menyampaikan, tetapi juga menyucikan, yakni membersihkan jiwa dan mengembangkan kepribadian. Sedangkan mengajar adalah mengisi benak peserta didik dengan pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas-tugas yang menjadi tujuan penciptaan manusia, yakni menjadi khalifah (QS. al-Baqarah: 31), dan untuk mengabdi, beribadah kepada Allah SWT (QS. adz-Dzariyat: 56).18 Atas dasar itulah, maka dalam pandangan Quraish Shihab, tujuan pendidikan Islam, yang sekaligus peranan yang diharapkan dari pendidik muslim adalah “membina manusia secara pribadi dan kelompok agar mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
11
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
guna membangun dunia ini sesuai dengan “konsep” yang ditetapkan Allah SWT.”19 Hakekat dari tujuan pendidikan menurut Islam yakni mencetak manusia yang baik, sebagaimana dirumuskan oleh Naquib al-Attas dalam bukunya “Islam and Secularism” yaitu “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a goodman ... the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab ...” Terkait dengan pendidikan karakter, al-Ghazali mengatakan: “Pendidikan harus dimulai ketika anak masih kecil. Mendidik anak-anak itu ibarat mengukir di atas batu”. Anak dalam pandangan al-Ghazali adalah masih suci yang bisa menerima rangsangan apapun yang berasal dari luar.20 Agar pendidikan karakter bisa berhasil dengan baik, an-Nahlawi telah mencoba merumuskan berbagai strategi penanaman pengetahuan dan nilai. Di antara strategi tersebut adalah: (a) mendidik melalui dialog Qur’ani dan Nabawi, (b) mendidik melalui kisah Qur’ani dan Nabawi, (c) mendidik melalui perumpamaan, (d) mendidik melalui keteladanan, (e) mendidik melalui praktek dan perbuatan, (f) mendidik melalui ibrah dan Mau’idzah, (g) mendidik melalui targhib dan tarhib.21 Melalui strategi-strategi di atas, maka sembilan pilar karakter nilai-nilai luhur universal yang ditanamkan kepada anak sejak dini usia prasekolah yang digagas oleh Ratna Megawangi bisa ditanamkan dan dibentuk dalam diri peserta didik. Kesembilan karakter tersebut adalah: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaaan-Nya. Kedua, kemandirian dan tanggungjawab. Ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis. Keempat, hormat dan santun. Kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama. Keenam, percaya diri dan pekerja keras. Ketujuh, kepemimpinan dan keadilan. Kedelapan, baik dan rendah hati. Kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
12
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
Model atau strategi yang ditawarkan oleh an-Nahlawi tersebut sesungguhnya sangat sejalan dengan strategi pendidikan karakter yang digagas oleh para ahlinya, yakni apa yang disebut dengan model pendidikan holistik. Model ini menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi kebiasaan. Prinsip-prinsip pembelajaran karakter berbasis nilai: 1. Sistemik 2. Sinergitas ( kompak) 3. Terukur 4. Kontinu (Pembiasaan) 5. Kejelasan kontek 6. Dipraktikan (tidak teoritis) 7. Keteladanan 8. Reward and Punishment Dalam pendidikan karakter dibagi menjadi dua fungsi yakni logika dan rasa. Logika
Rasa
Olah fikir Fathonah Thinker IQ (Bervariasi, cerdas, kreatif, terbuka)
Olah hati Siddiq Believer SQ (Jujur, Ikhlas, religius, adil)
Olah raga Amanah Doer AQ (gigih, kerja keras, disiplin, bersih, bertanggungjawab)
Olah raga/ karsa Tabligh Networker EQ (Peduli, Demokratis, gotong-royong, suka membantu)
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
13
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER Kesemua konsep dan desain kebijakan itu memang masih sangat normatif. Semuanya berorientasi pada pencapaian nilai-nilai yang masih bersifat abstrak dan ideal. Sejatinya, sebuah kebijakan harus didukung pula oleh strategi implementasi dan pembacaan serta analisis terhadap realitas sosio-kultural dan historis yang mengitarinya. Karena, bisa jadi, pembacaan yang tidak tepat terhadap realitas sosio-kultural justru akan menjadi faktor penghambat pencapaian tujuan kebijakan. Ada beberapa kondisi sosio-kultural yang perlu dibaca secara cermat. Pertama, dalam episode perjalanan sejarah bangsa ini, konsekuensi dari negara warisan kolonial tentu saja menimbulkan sisa-sisa perilaku ketidakberdayaan dan ketidakmandirian. Rekam jejak inilah yang perlu dielaborasi untuk mengeliminasi nilai-nilai yang nantinya bisa menghambat pembentukkan karakter yang diharapkan. Kedua, kultur budaya yang mendominasi juga turut berpengaruh terhadap pencapaian kesukseksan kebijakan ini. Kultur budaya feodal yang lebih mengedepankan pada hubungan patriarki-konservatif, senioritas, bapakisme, masih menggejala dalam banyak strata di masyarakat. Mungkin, di satu sisi, kultur budaya ini akan mempertahankan nilai-nilai harmonis hubungan patron-client dan penghormatan terhadap orang tua. Akan tetapi, di sisi lain, sikap konservativisme yang berlebihan justru akan berkontribusi terhadap kemandulan daya kritis dan inovasi masyarakat untuk melakukan sebuah perubahan. Konservatisme berlebihan inilah nantinya yang dapat berakibat kultural lagi (ketertinggalan budaya) karena tidak bisa beradaptasi secara tepat dalam lingkungan yang berubah. Ketiga, lingkungan geografis bangsa Indonesia yang beragam harus pula dilihat, apakah sebagai faktor yang menguntungkan atau merugikan. Secara sosiologis, lingkungan fisik suatu masyarakat akan b erpengaruh terhadap perilaku dan budaya yang beragam dan majemuk. Keragaman dan kemajemukan budaya masyarakatnya inilah yang berpotensi menimbulkan sikap primordialisme yang bisa berwujud etnosentrisme.
14
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin
Keempat, struktur sosial masyarakat yang sangat beragam dan kompleks, juga harus diperhitungkan sebagai faktor yang dapat mengeliminasi pembentukkan karakter bangsa. Stratifikasi dan diferensiasi sosial masyarakat, baik secara sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik mempengaruhi cara pandang, penerimaan, dan persepsi masyarakat terhadap esensi karakter bangsa. Misalnya, masyarakat di pedesaan yang umumnya tradisional, tentu berbeda dalam memandang sebuah tata nilai yang dianut, jika dibandingkan dengan sikap rasional masyarakat perkotaan. Di luar empat faktor yang perlu diperhatikan di atas, kebijakan ini tentu harus bersinergi pula dengan media massa sebagai salah satu unsur pembentuk dan pembangun nilai-nilai berkarakter. Karena, kita meyakini bahwa media sangat besar pengaruhnya dalam menyampaikan pesan membentuk perilaku masyarakat. Sepanjang kebijakan penayangan konten atau pesan yang disampaikan tidak bersinergi dan tidak kondusif untuk membentuk karakter bangsa, selama itu pula upaya pembangunan karakter bangsa seperti yang diharapkan tersebut, akan terus menjadi selebrasi semu yang tak berkesudahan.
PENUTUP Pendidikan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh. Pendidikan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh. Pendidikan karakter bangsa m erupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua. Oleh karena itu pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut. Dalam upaya merevitalisasi pendidikan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan. Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem Pendidikan, tidak dipungkiri memiliki kontribusi yang cukup mapan untuk menyokong pembentukan karakter bangsa dengan berbagai strategi dan metode yang cukup dalam. Agar pendidikan karakter bangsa yang otentik bisa Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
15
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
berhasil dengan baik, an-Nahlawi telah mencoba merumuskan berbagai strategi penanaman pengetahuan dan nilai. Di antara strategi tersebut adalah: (a) mendidik melalui dialog Qur’ani dan Nabawi, (b) mendidik melalui kisah Qur’ani dan Nabawi, (c) mendidik melalui perumapamaan, (d) mendidik melalui keteladanan, (e) mendidik melalui praktek dan perbuatan, (f) mendidik melalui ibrah dan Mau’idzah, (g) pendidikan melalui targhib dan tarhib. [ ]
ENDNOTES 1
2
3
4 5
6 7
8
16
Saiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar Mengajar, (Bandung, Rineka Cipta, 1995), hlm. 8. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah. Banyak pakar bidang moral dan agama yang sehari-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras, kebersihan, dan jahatnya kecurangan. Tapi, nilai-nilai kebaikan itu diajarkan dan diujikan sebatas pengetahuan di atas kertas dan dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena diduga akan keluar dalam kertas soal ujian. Baca: Adian Husaini, Pendidikan Karakter, penting tapi tidak cukup, (ttp.: INSISTS, 2010), hlm. 2. Begitu juga di masa-masa kehamilan, bahkan sampai proses kelahiran, tumbuh dari anak sampai mencapai remaja dan dewasa..adalah sebuah proses pengkaderan karakter yang harus selalu terjaga dan terpantau oleh orang tua, (seharusnya) sampai kemudian sang anak memilih untuk berpisah dengan orang tuanya karena memilih untuk menikah, maka lepaslah tanggungjawab mendidik dari orang tuanya. Baca: Pendidikan masa anak, 2000. Simon Philips, Refleksi Karakter Bangsa , (ttp.: tnp., 2008), hlm. 235 Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, ( Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 80 Ki Hajar Dewantara, Pendidikan Budi Pekerti, (ttp.: tnp., tt.) Dharma Kesuma, Cepi Triatna dan Johar Permana, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Cet. 1 (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 5. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 5.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin 9
10 11
12
13
Thomas Lickona, Educating for Character: Mendidik untk Membentuk Karakter, terj. Juma Wadu Wamaungu dan Editor Uyu Wahyuddin dan Suryani, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. xi. Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter., hlm. 5. Menurut Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul: ”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup. Hamka, Pribadi, Cet. 10 ( Jakarta: Bulan Bintang, 1982). (Dalam Adian Husaini, Pendidikan Karakter, Penting Tapi Tidak Cukup INSISTS, 2010), hlm. 2. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.(Undang-Undang Sistem Pendikan Nasional, No. 20 Tahun 2003, Tiara Wacana, 2007). hlm. 3 Ratna Megawangi termasuk salah cendekiawan yang sangat gencar mempromosikan pendidikan karakter, melalui berbagai aktivitas dan tulisannya. Pendidikan karakter by definition adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya (Thomas Lickona, 1991). Aristoteles, kabarnya, juga berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku. Russel Williams, seperti dikutip Ratna, menggambarkan karakter laksana “otot”, yang akan menjadi lembek jika tidak dilatih. Dengan latihan demi latihan, maka “otot-otot” karakter akan menjadi kuat dan akan mewujud menjadi kebiasaan (habit). Orang yang berkarakter tidak melaksanakan suatu aktivitas karena takut akan hukuman, tetapi karena mencintai kebaikan (loving the good). Karena cinta itulah, maka muncul keinginan untuk berbuat baik (desiring the good). Ratna Megawangi, Semua Berakar Pada Karakter ( Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007). (Dalam Adian Husaini, Pendidikan Karakter, penting tapi tidak cukup INSISTS, 2010), hlm. 2.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
17
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam 14 15
16
18
Ibid. Nilai Budaya dan Karakter Bangsa yakni (1) Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. (2) Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. (3)Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (4) Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. (5) Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. (6) Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. (7) Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tuga. (8) Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. (9) Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. (10). Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (11) Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. (12). Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. (13) Bersahabat/ Komunikatif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.(14) Cinta Damai:Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.(15). Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. (16). Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi(17). Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.(18). Tanggung-jawab:Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.(Kemendiknas, 2010). Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi, ( Jakarta: tnp., 1980).
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
Hamam Burhanddin 17
18
19
20
21
Seakan tersadar akan potret buram wajah karakter bangsa akhir-akhir ini, pembuat kebijakan negeri ini pun melakukan selebrasi pencitraan dengan menggaungkan kembali perlunya membangun karakter bangsa. Tak kurang, Presiden SBY pun menempatkan pendidikan karakter untuk membangun peradaban bangsa sebagai tema dalam peringatan hari pendidikan nasional tahun 2010 lalu. Kementerian terkait, semisal Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudbar) pun ramai-ramai berusaha menterjemahkan konsepsi pendidikan karakter dari SBY tersebut dalam sebuah formula kebijakan bertajuk Pembangunan Karakter Bangsa. Kementerian Pendidikan Nasional sebagai institusi terdepan dalam mendesain pendidikan karakter ini lantas membuat desain induk kebijakan tersebut. Kemendiknas, kemudian mencirikan bangsa yang berkarakter sebagai bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, patriotik, dinamis, dan berorientasi IPTEK yang dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.bKemenbudpar pun tak ingin disebut ketinggalan dalam membuat formula kebijakan sejenis ini. Sebagai institusi penopang kebudayaan vnasional, dan dalam kerangka pembangunan karakter bangsa, Kementerian ini pun mencanangkan 7 pokok pembangunan karakter bangsa yang meliputi sikap-sikap bangga sebagai bangsa Indonesia, bersatu dan bergotong royong, menghargai kemajemukan, mencintai perdamaian, pantang menyerah dan mengejar prestasi, demokratis dan berfikir positif. Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (Terj.), diterjemahkan oleh Shihabudin, Cet. 4 ( Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 140. Quraish Shihab, “Peningkatan Peranan dan Kualitas Pendidik Muslim dalam Pembentukan Karakter Bangsa”, makalah dalam Seminar Nasional Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam di UNS Surakarta, 3 April 2008. Guru perlu menerapkan strategi pembelajaran yang berbasis “permainan” kepada peserta didik yang masih anak-anak. Menurutnya, strategi bermain bisa mendatangkan tiga manfaat, yaitu: (a) melatih dan memperkuat fisik anak, (b) membuat anak-anak merasa gembira (idkhal as-surur), dan (c) anak-anak bisa santai sejenak dari kesibukan dan kedisiplinan belajar yang ketat. Di hadapan peserta didiknya, seorang guru tidak boleh menjelek-jelekkan ilmu lain yang diajarkan oleh guru lain.Guru harus mampu membiasakan anak didiknya untuk berakhlak mulia, sehingga mereka bisa menghormati orang lain, apalagi yang lebih tua. Seorang guru tidak boleh mencela atau mempermalukan salah seorang anak didiknya di hadapan teman-temannya, karena bisa berdampak buruk bagi perkembangan psikologis anak tersebut. Abdurrahman an-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah., hlm.170-176.
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014
19
Membangun Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam
DAFTAR PUSAKA Andayani, Abdul Majid dan Dian, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011. an-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat (terj.), diterjemahkan oleh Shihabudin, Jakarta: Gema Insani Press, 2004. Dewantara, Ki Hajar, Pendidikan Budi Pekerti, ttp.: tnp., t.t. Djamarah, Saiful Bahri, Strategi Belajar Mengajar,Bandung: Rineka Cipta, 1995. Husaini, Adian, Pendidikan Karakter, Penting Tapi Tidak Cukup, INSISTS, 2010. Koesoema, Doni A., Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta: Grasindo 2007. Lickona, Thomas, Educating for Character: Mendidik untuk Membentuk Karakter (Terj.) diterjemahkan oleh Juma Wadu Wamaungu dan Uyu Wahyuddin dan Suryani (ed.), Jakarta: Bumi Aksara, 2012. Permana, Dharma Kesuma, Cepi Triatna, dan Johar, Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011. Philips, Simon, Refleksi Karakter Bangsa,ttp.: tnp., 2008. Shihab, Quraish, Peningkatan Peranan dan Kualitas Pendidik Muslim dalam Pembentukan Karakter Bangsa”, makalah dalam Seminar Nasional Pembentukan Karakter Bangsa Melalui Pendidikan Islam di UNS Surakarta, 3 April 2008. Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi, Jakarta: tnp., 1980. Undang-Undang Sistem Pendikan Nasional, No. 20 Tahun 2003, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2007
20
Jurnal Ilmu Tarbiyah "At-Tajdid", Vol. 3, No. 2, Juli 2014