MEMBANGUN KESERASIAN PERAN GANDA IBU RUMAH TANGGA MUSLIMAH DALAM ERA MASYARAKAT MODERN Suraya Attamimi* Abstract Women’s issues have been a topic of conversation until these days. In the past, the role of women is limited only in the household. Women are still dominated by traditional values rooted in the society that working outside is assumed as violating nature. In this era of development, In today's era of development, a spirit of emancipation has driven women to appear in the tendency not only to accept a limited position and role within the family, but also to reach out to a new broader position and role within the family and society in accordance with the demands of modernity. However, women are required not to forget their role in the households. Whatever women do in the community either in the household or career should go hand in hand. In line with this fact above, Islam always give values of motivation to people to actualize themselves actively. Kata kunci: muslimah, fungsi, peran ganda rumah tangga, Pendahuluan Lima belas abad yang lalu, Rasulullah saw hadir membawa kebebasan bagi manusia dari cengkraman budaya jahiliyah yang menyelimuti kawasan Arabia saat itu. Kemenangan itu pun dapat dirasakan oleh kaum perempuan saat itu, setelah sekian lama hidup dalam penindasan karena dianggap sebagai makhluk yang membawa petaka. Diskusi menyangkut perempuan merupakan salah satu topik yang selalu hangat dibicarakan. Banyak aspek menyangkut mitra lelaki ini yang didiskusikan dan beraneka ragam pula pendapat para pakar, filosof, pemikir, dan ulama, sejak dahulu hingga kini, aneka
200 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
pendapat yang tidak jarang bertolak belakang. Bermula dari yang melecehkan dan meminggirkan mereka sampai yang memberi peranan yang begitu besar sehingga membiarkan lelaki berjalan sendiri bagaikan tidak membutuhkan perempuan dan perempuan pun tidak membutuhkan pria.1 Tidak dapat dipungkiri bahwa mengabaikan perempuan berarti mengabaikan setengah potensi masyarakat, dan melecehkan mereka berarti melecehkan seluruh manusia, karena tidak seorang manusia pun, kecuali Adam dan Hawa, yang tidak lahir melalui seorang perempuan.2 Sebenarnya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan pemikir kontemporer menyangkut perlunya mendudukan perempuan dalam kedudukan yang sebenarnya serta memberi mereka peranan, bukan saja dalam kehidupan rumah tangga, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini semua pihak mengakui perlunya keadilan, kebebasan, kemajuan, dan kekuatan bagi perempuan. Namun yang mereka perselisihkan adalah batas-batas dari hal-hal tersebut.3 Salah satu prinsip pokok ajaran Islam adalah persamaan antar manusia baik antar pria maupun wanita, bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan di antara mereka di hadapan Allah swt hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya.4 Dalam Islam, perempuan mendapatkan semua hak sebagai pribadi mandiri, tidak hanya karena mereka menjadi ibu atau istri, dan bukan secara kebetulan karena kodratnya mengandung, melahirkan dan menyusui, tetapi karena ia adalah manusia yang sempurna.5 Islam telah mengangkat kedudukan seorang perempuan sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad di jalan Allah swt. Oleh karena itu, di dalam Islam, seorang istri tidak bisa hanya disebut dengan konco wikking atau swargo nunut neroko katut, tetapi seorang istri juga 1
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Jilid 2, (Cet. ke-1; Jakarta; Lentera Hati, 2010), 299. 2 Ibid., 300. 3 Ibid. 4 M. Quraish Shihab, “Konsep Wanita Menurut al- Qur’an, Hadis dan Sumber Ajaran Islam” dalam Lies M. Marcoes, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual (Jakarta: INS, 1993), 3. 5 Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian, (Cet. ke-1; Yogyakarta: LkiS, 1999), 72.
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
201
mempunyai kedudukan yang sangat besar di hadapan keluarga, baik di hadapan suami ataupun anak-anak.6 Islam tidak pernah menghilangkan kepribadian seorang perempuan sebagai istri hanya karena telah melangsungkan perkawinan. Islam juga tidak meleburnya di dalam kepribadian sang suami, meski tidak memberikan kebebasan mutlak sebagaimana yang terdapat dalam kebiasaan Barat yang menjadikan perempuan bebas kemana melangkahkan kaki, tidak dapat dikenal nasab, gelar keluarga bahkan tidak dikenal juga bahwa dia adalah istri seseorang.7 Perempuan dalam Islam memiliki tanggung jawab yang dibebankan padanya, bahwa seorang perempuan adalah sosok makhluk Tuhan yang dikodratkan menjadi seorang ibu. Tanggung jawab tersebut kemudian mentradisi dan membudaya dalam masyarakat hingga yang tidak melaksanakannya paling tidak akan mendapat celaan. Terlebih lagi, pada era modern hal tersebut di atas merupakan suatu tantangan bagi perempuan, apalagi jika berperan ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai perempuan yang aktif di luar rumah. Kalau diadakan survei mengenai sikap suami sebagai kepala keluarga terhadap peran ganda istrinya sebagai ibu rumah tangga, mungkin sekali sebagian besar kepala keluarga akan menyatakan, bahwa mereka lebih senang apabila istrinya menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, tanpa bekerja di luar rumah. Akan tetapi, mungkin penghasilan kepala keluarga tidak cukup untuk mendukung status sosialnya seperti yang lazim menurut ukuran sosial dalam masyarakat sekelilingnya. Atau mungkin istriya berpendidikan cukup tinggi, berkemampuan cukup produktif, lagi pula mempunyai kebebasan jiwa yang tidak tahan dikurung. Dalam keadaan yang demikian sudah sewajarnya apabila suami menyetujui istrinya merangkap tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaan di luar rumah.8 6
Ibid. Ibid. 8 Selo Sumardjan, “Interaksi Antara Keluarga dan Rumah Tangga”, disampaikan dalam Seminar Keluarga Menyongsong Abad ke XXI dan Peranannya Dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia Indonesia, Kampus IPB Darmaga Bogor (21-22 September 1993). 7
202 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
Pada kenyataannya, sebuah penelitian menunjukkan bahwa hampir 90% pekerjaan domestik dilakukan oleh kaum perempuan. Lebih memprihatinkan lagi, pekerjaan itu dilakukan oleh perempuan yang bekerja, sehingga mereka memiliki beban ganda di rumah dan di luar rumah.9 Hal tersebut membuat perempuan sebagai ibu rumah tangga mengalami dilema dan terkadang memaksa mereka untuk memilih antara keduanya. Peran dan fungsi Ibu Rumah Tangga Sejak awal, perempuan yang akan masuk dalam suatu jenjang perkawinan memahami fungsi dan perannya yang harus ia lakukan dalam rumah tangganya. Sebagai seorang istri dan ibu tentu seorang perempuan menyadari tanggung jawabnya kepada anak dan suaminya. Kuatnya peran seorang perempuan dengan tugas pertama dan utamanya di sektor domestik, membuat orang percaya sepenuhnya, itulah memang garis takdir atau kodrat yang telah diciptakan dan ditentukan Tuhan. Peran dan kedudukannya menjadi ibu rumah tangga terkesan mutlak semutlak ia memiliki rahim. Karena persepsi semacam ini, peran domestik sering dipertentangkan dengan kebutuhan kemandirian seorang perempuan.10 Menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai kodrat perempuan, bahkan merupakan suatu kewajiban yang sudah berlangsung ribuan tahun, karena dianggap sebagai aturan agama. Sebutan ibu rumah tangga menjadi melekat pada kaum perempuan, khususnya yang telah berkeluarga menjadi ibu rumah tangga merupakan sebagian peran perempuan. Kebanyakan orang percaya bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Karena itu ia disebut “ibu rumah tangga” sebagai suatu kehormatan. Tugas yang sebenarnya peran ini adalah tugas yang diberikan alam (sunnatullahkodrat perempuan) kepada mereka.11 Karena perbedaan utama perempuan adalah kemampuannya melahirkan anak, maka kemampuan ini dianggap sebagai fungsinya yang utama. Penggunaan kata utama lebih condong mempunyai 9
Subhan, Tafsir Kebencian, 85. Ibid., 65. 11 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender, (Cet. ke-1; Bandung; Penerbit Mizan, 1999), 40. 10
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
203
berbagai konotasi negatif sehingga dari kata ini tersirat anggapan bahwa perempuan hanya bisa menjadi ibu. Karena itu seluruh pendidikan perempuan pasti untuk membentuk istri yang taat dan ibu yang ideal guna mempersiapkan fungsi ini.12 Bahkan pernah ada pernyataan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi tinggi karena pada akhirnya akan kembali urusan domestik juga. Anggapan ini mendeskriditkan perempuan. Hasil survei The Economic Planning Agency di Jepang menunjukkan bahwa lebih dari 70% perempuan mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas utamanya. Sedangkan di Indonesia kondisinya sedikit berbeda, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan yang dilakukan BKKBN di Jawa Timur dan Manado ternyata hanya 50% istri yang mengatakan bahwa pengasuhan anak adalah tugas istri, dan sekitar 40% mengatakan bahwa tugas pengasuhan anak adalah tanggung jawab suami istri. Namun demikian, ini masih menunjukkan bahwa peran pengasuhan anak lebih condong dikaitkan dengan peran keibuan.13 Seorang feminis, Alice Rossi, berpendapat bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang dapat menggantikan figur ibu sebagai figur pengasuh, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi dimana ada perempuan tertentu yang terdeviasi dari kecondongan sifat normalnya. Kalau sebuah masyarakat ingin menciptakan pembagian peran reproduksi antara pria dan perempuan, maka masyarakat tersebut harus siap untuk menerima adanya kemungkinan besar hubungan ibu dan anak akan terus mempunyai aliran emosional yang lebih besar dari pada hubungan ayah dan anak. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa perempuan mendapatkan pengalaman psikologis yang intens dalam proses kehamilan, kelahiran dan menyusui.14 Di Jepang, peran perempuan sebagai ibu sangat dijunjung tinggi, sehingga ada istilah umum yang menggambarkan ibu sebagai Kyoiku Mama atau sebagai ibu pendidik.15 Seorang ibu merupakan 12
Aminah Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir, Terj. Abdullah Ali, (Cet. ke-1; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta; 2001), 120. 13 Megawangi, Membiarkan Berbeda, 40. 14 Ibid. 15 Ibid., 42
204 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
jiwa dari keluarga. Dengan segala suasana kehidupan keluarga, ibu berkewajiban mengasuh, mendidik dan mengarahkan anak-anaknya bersama suaminya, untuk menjadi manusia yang baik. 16 Seorang pujangga Mesir, Ahmad Syauqi berkata “Ibu laksana sebuah sekolah, apabila kamu mendidiknya dengan baik, berarti kamu telah mendidik suatu bangsa yang baik”. Dengan demikian maka dalam pembinaan watak dan kwalitas anak-anak tidak sedikit peran yang bisa dimainkan oleh seorang ibu.17 Bukankah dari keluarga akan lahir cikal bakal manusia-manusia yang berkualitas, sehingga jika dalam setiap keluarga dapat terbina dengan baik, maka bukan suatu hal yang mustahil suatu bangsa dapat dibangun dengan pondasi yang demikian kuat. Parsons dan Bales membagi dua peran orang tua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasa dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran emosional ekspresif adalah pemberi cinta, kelembutan, dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Ketidakseimbangan antara peran instrumental dan ekspresif dalam keluarga akan membuat keluarga tidak seimbang.18 Berkaitan dengan hal tersebut, Parsons dengan teori strukturalfungsionalnya menyadari akan adanya kecenderungan berpindahnya beberapa fungsi keluarga ke luar rumah, namun mereka justru berargumen bahwa institusi keluarga pada zaman modern akan semakin vital fungsinya. Keluarga akan menjadi satu-satunya tempat dimana setiap anggota keluarga akan terspekulasi pada fungsi emosional dan tempat menyiapkan individu untuk dapat berpartisipasi dalam proses modernisasi. Sehingga keluarga dianggap akan menjadi agen utama dan terpenting dalam menghadapi perubahan sosial ke arah modernisasi masyarakat, terutama melalui
16
Huzaemah T. Yanggo, Fiqh Perempuan Kontemporer (Cet. ke-1; Jakarta: Mawardi Prima, 2001), 122. 17 Ibid. 18 Ibid., 66.
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
205
perannya dalam menyiapkan individu agar menjadi pribadi yang siap dan matang, baik secara emosional maupun instrumental.19 Namun teori ini dengan diferensiasi perannya kemudian mendapat kritikan yaitu bahwa dengan meningkatnya pendidikan para perempuan, maka peran ekspresif perempuan yang dikaitkan dengan wilayah domestik,dianggap tidak sesuai lagi. Perempuan yang oleh teori ini dianggap lebih cocok untuk memerankan peran ekspresif dan emosional, telah dikritik sebagai upaya untuk mengecilkan kemampuan perempuan dalam berbagai aspek instrumental, seperti yang dikerjakan oleh pria. Mereka menganggap bahwa teori struktural-fungsional tidak sesuai dengan adanya perubahan sosial karena berubahnya kondisi perempuan.20 Dari kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh mereka yang tidak sependapat dengan teori struktural-fungsional dari Parsons ataupun syarat yang dikemukakan Levy yaitu untuk dapat membentuk, membangun suatu sistem keseimbangan , ada satu kritikan yang melahirkan proklamasi kematian keluarga. Kritikan ini lahir oleh karena menganggap bahwa keluarga bukan satu-satunya institusi yang mempunyai fungsi untuk tempat timbul dan berkembangnya individu. Banyak fungsi yang dilakukan dalam keluarga dapat digantikan oleh institusi lainnya di luar keluarga, misalnya sekolah, tempat penitipan anak, dan sebagainya.21 Walaupun institusi keluarga sudah banyak mengalami perubahan fungsi ternyata keluarga tetap hidup dan keberadaan keluarga inti tidak pernah berkurang. Hal ini bertolak belakang dari prediksi yang mengatakan bahwa institusi keluarga pada zaman modern akan mati dan hilang. Peran Ganda Ibu Rumah Tangga “Perempuan harus tinggal di rumah, memasak, merawat anak, dan mengatur rumah tangga, kodratkah ini?. Tidak, ini tradisi !!”. demikian kutipan Ratna Megawangi dari ungkapan Free Hearty M. Hum dalam seminar sastra HISKI.22 Pada masa lalu, ruang lingkup peran perempuan hanya pada sektor rumah tangga saja. Perempuan 19
Megawangi, Membiarkan Berbeda, 74. Ibid., 73. 21 Ibid., 74. 22 Ibid., 102. 20
206 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
masih terikat dengan nilai tradisional yang mengakar di tengahtengah masyarakat. Kalau ada yang melanggar nilai-nilai tersebut, maka nilai kepribadiannya dianggap luntur, bahkan kadang-kadang ia dikucilkan dari pergaulan masyarakat sekitarnya,23 karena menganggap bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah atau perempuan karier itu pada dasarnya menyalahi kodratnya. Menurut Zaitunah Subhan, anjuran memperbolehkan perempuan –sebagai istri dan ibu rumah tangga serta pendidikbekerja di luar rumah, merupakan faktor yang melahirkan konsep peran ganda perempuan.24 Oleh karena itu, di era modern ini, perempuan menghadapi dua tantangan, pertama dirinya sendiri yaitu berkaitan dengan fungsinya dalam keluarga. Kedua, ilmu dan tekhnologi terutama bagi perempuan yang berperan ganda (sebagai istri atau ibu dan bekerja). Tentang hal tersebut, ada dua pandangan dalam teori ilmu sosial yang berpengaruh saat ini yaitu teori fungsional dan radikal. Dalam hal peran perempuan sebagai ibu rumah tangga, teori fungsional berpendapat bahwa pekerjaan perempuan sebagai istri di sektor domestik merupakan hal yang alami. Teori ini mengagungagungkan keberadaan kaum perempuan (istri atau ibu) di sektor domestik yang paling tidak ingin menyadarkan kaum pria bahwa pekerjaan di rumah itu sangat berat. Oleh karena itu, suami diharapkan bisa membantu meringankan beban yang tidak pernah selesai itu. Teori kedua yaitu radikal, yang pada dasarnya menekankan bahwa keharmonisan bukan karena kerja sama melainkan dibentuk oleh fakto-faktor kekuasaan sehingga yang lemah tidak berani melawan yang berkuasa. Teori ini dalam lingkup keluarga menjadikan suami atasan dan istri sebagai bawahan.25 Dalam hal ini, ada beberapa hal yang memotivasi perempuan terjun ke dunia karier, seperti pendidikan, keterpaksaan karena keadaan atau kebutuhan, baik secara ekonomis atau untuk mencari kekayaan, mengisi waktu lowong, mencari hiburan bagi mereka yang mengalami kemelut berkepanjangan dalam rumah tangganya ataupun
23
Yanggo, Fiqh Perempuan, 93-94. Subhan, Tafsir Kebencian, 86. 25 Ibid. 24
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
207
untuk mengembangkan bakatnya.26 Namun, beberapa dilema kemudian muncul dan harus dihadapinya antara lain: 1. Untuk tidak melupakan kodratnya, bahwa perempuan dituntut untuk tidak melupakan rumah tangganya. Apapun yang dilakukan di dalam masyarakat, keduanya –antara urusan rumah tangga dan karier- harus berjalan seimbang. 2. Rasa tidak enak, kurang pantas, seakan sudah terlanjur dikodratkan oleh masyarakat dan lingkungan, yang timbul bukan karena faktor intelegensi (kemampuan) melainkan nonintelegensi.27 Sebagai ilustrasi, ada seorang ibu yang memilih untuk berhenti bekerja ketika melahirkan anak ketiganya. Padahal ia potensial menduduki top rangking executive dengan gaji besar. Berjuta-juta perempuan di dunia pun mungkin mempunyai pengalaman yang sama dalam memilih untuk akan aktif dalam kegiatan publik, atau mengurangi aktivitas tersebut demi anak-anak. Pemilihan secara langsung dipengaruhi oleh faktor biologis perempuan, seperti hamil, melahirkan, menjalin ikatan batin dengan anaknya melalui pemberian ASI, serta segala implikasinya.28 Ilustrasi tersebut di atas secara implisit menawarkan dua asumsi yang berbeda. Asumsi pertama, bahwa perempuan dapat mempunyai kapasitas atau kemampuan yang sama dengan pria dalam melakukan pekerjaan publik. Kapasitas ini dapat menyangkut kemampuan, kepandaian, dan ketahanan fisik. Asumsi kedua adalah perempuan karena pengaruh biologisnya, tidak mempunyai keinginan atau aspirasi atau ambisi yang sama dengan pria dalam mencari kesuksesan di dunia publik atau karier. Secara de facto, mengapa lebih banyak perempuan yang mau mengorbankan kariernya demi anak-anaknya dibandingkan pria.29 Kedua asumsi di atas dapat dipakai untuk membedakan kemampuan dasar manusia, yaitu yang bersifat universal dan bersifat spesifik. Kemampuan universal adalah kemampuan di mana pria dan perempuan mempunyai kapasitas dan potensi yang sama. Sedangkan 26
Yanggo, Fiqh Perempuan, 94. Subhan, Tafsir Kebencian, 86. 28 Megawangi, Membiarkan Berbeda, 29. 29 Ibid. 27
208 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
kemampuan spesifik adalah kemampuan yang berbeda antara pria dan perempuan karena adanya keragaman biologis, misalnya perempuan dengan sifat khas femininnya yang tentunya berpengaruh pada proses pemilihan perempuan untuk terjun dalam kegiatan publik.30 Seorang profesor ilmu jiwa yang bernama Lidz, sebagaimana dikutip oleh Ratna Megawangi, mengatakan bahwa diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai dengan determinasi biologis dan psikologis manusia. Seorang bayi memerlukan perlindungan yang cocok dengan kebutuhan alami perempuan untuk menjadi seorang ibu. Terjadinya pergeseran norma keluarga fungsional (yang dianggap sebagai sumber dari skizoprenia) adalah karena kegagalan individu untuk menjalankan perannya sesuai dengan posisi gender dan umurnya. Maka secara klinis, keluarga menurut perspektif struklturalfungsional, justru menjadi acuan sebagai keluarga normal. Keluarga yang tidak normal atau yang tidak dapat berfungsi dengan baik menurut Vogel dan Bell akan menyebabkan munculnya anak-anak yang bermasalah (problem children).31 Dari fungsi diferensiansi peranan tampak bahwa kedudukan yang ditempati para anggota keluarga menunjukkan perbedaan yang didasari atas berbagai pertimbangan seperti umur, seks, posisi ekonomi, generasi dan pembagian kekuasaan. Perbedaan kedudukan antara jenis kelamin pria dan perempuan dalam keluarga selain dicirikan oleh alasan-alasan biologis (fisik kuat atau lemah, terlibat atau tidak dalam kegiatan seperti mengandung, melahirkan serta membesarkan anak juga oleh perbedaan sosial dan budaya lingkungan keluarga. Siapa yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (meraja) dalam sistem itu (Patriarkal atau Matriakal), siapa yang mengasuh dan mendidik anak, siapa yang mencari nafkah dan siapa yang tampil dalam kegiatan ritual dan sebagainya. Dari sini pula berpangkal pembagian kerja di antara anggota keluarga yang merupakan sumber tenaga kerja bagi upaya penghidupannya. Pola pembagian tenaga kerja dalam keluarga selain dipengaruhi oleh norma-norma dalam masyarakat, juga oleh orientasi keluarga yang bersangkutan. Di zaman pembangunan dewasa ini dorongan emansipasi telah membawa perempuan tampil dengan 30 31
Ibid. Ibid., 73.
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
209
kecenderungan untuk tidak saja menerima kedudukan dan peranannya yang terbatas dalam lingkungan keluarga tetapi juga untuk menjangkau kedudukan dan peranan baru yang lebih meluas dalam lingkungan keluarga dan masyarakat sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam hal ini, faktor pengetahuan dan keterampilan merupakan pendorong terjadinya perubahan itu. Perbedaan posisi ekonomi menunjukkan kepada peranan apa yang diletakkan kepada seseorang, pria atau perempuan dalam proses atau pekerjaan mencari nafkah dan pekerjaan rumah tangga yang umumnya erat kaitannya dengan fungsi-fungsi lain. Seiring dengan berubahnya cara pandang masyarakat terhadap peran dan posisi kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat, banyak perempuan yang berkarir, baik di Kantor pemerintahan maupun swasta bahkan ada yang berkarier di Kantor Pemerintahan Kemiliteran dan Kepolisian, sebagaimana laki-laki. Dalam kehidupan modern banyak perempuan dapat bekerja dan berkarier dimana saja selagi ada kesempatan.32 Keterangan tersebut diatas menunjukkan bahwa peran perempuan dalam masyarakat sesungguhnya sangat besar, dan kehidupan modern tidak memberi peluang untuk membatasi gerak kaum perempuan. Peran Ganda Ibu Rumah Tangga dalam Perspektif Islam Terjunnya perempuan sebagai ibu rumah tangga ke dunia karier, sejak awal hingga dewasa ini mengundang kontroversi di antara para ulama dan masyarakat pada umumnya. Hal ini pun memberikan pengaruh yang cenderung negatif, terhadap perannya sebagai ibu rumah tangga, terhadap suami atau anaknya. Hal tersebut dapat disebabkan karena perempuan tersebut lebih mengutamakan karirnya dibanding rumah tangganya. Oleh karena itu, agar kedua peran ini (ibu rumah tangga dan karier) dapat berjalan seimbang diperlukan alternatif untuk mencari sebuah solusi, bagaimana menghadapkan kedua peran tersebut dengan tidak mengorbankan salah satu diantaranya. Dalam Alquran, tidak ada ungkapan yang menunjukkan bahwa melahirkan anak adalah hal yang utama bagi seorang perempuan. Tidak ada indikasi bahwa menjadi ibu adalah peran eksklusifnya. 32
Yanggo, Fiqh Perempuan, 93.
210 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
Alquran menunjukkan fakta bahwa perempuan, meskipun tentu saja tidak semua perempuan, adalah manusia eksklusif yang berkemampuan melahirkan anak. Kemampuan ini esensial bagi kelanjutan kesinambungan ras manusia. Dengan kata lain, karena hanya perempuan yang dapat melahirkan anak, maka melahirkan anak adalah bagian dari peran utamanya.33 Dalam Alquran atau hadis juga tidak pernah di temukan statmen yang melarang kaum perempuan aktif dalam dunia politik. Dalam QS. al-Taubah (9): 71, Allah swt berfirman sebagai berikut: tböqyg÷Ztur Å$rã÷èyJø9$$Î/ crâßDù't 4 <Ù÷èt/ âä!$uÏ9÷rr& öNßgàÒ÷èt/ àM»oYÏB÷sßJø9$#ur bqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 ¼ÿ &ã s!qßuur ! © #$ c qãèÏÜã ur noq4 x.¨ 9$# cqè?s÷ ã ur no4qn=¢Á9$# c qßJÉ)ãur Ìs3ZßJ9ø $# ` Ç tã ÒOÅ3ym îÍtã ! © #$ ¨b)Î 3 ! ª $# N ã ßgçHxq÷ zy y7´Í »¯ s9r' &é
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”34 Ayat Alquran menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Bahwa keduanya sama-sama memiliki kemampuan atau potensi dan kedua jenis manusia ini saling membutuhkan. Konsepsi kemandirian perempuan berangkat dari dimensi peran perempuan yaitu sebagai istri pendamping suami, sebagai ibu pendidik anak, pengatur rumah tangga dan sebagainya, sekaligus sebagai insan pembangunan. Aktualisasi kemandirian ini dapat dilihat dari peran domestik, dimana peran domestik tersebut perempuan bertindak sebagai dirinya sendiri. Persepsi kemandirian perempuan atau perempuan sebagai pribadi yang mandiri adalah 33 34
Ibid., 94. Shihab, Al-Qur’an, 198.
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
211
perwujudan pembebasan ketergantungan pada pihak lain baik ayah atau suami.35 Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam ajaran Islam ditemukan bahwasannya dengan segala konsepnya yang universal, selalu memberikan motivasi-motivasi terhadap manusia baik laki-laki ataupun perempuan untuk mengaktualisasikan diri secara aktif. Antara lain disebutkan dalam al- Qur’an dalam QS an- Nahl (16): 97 ( Zpt6ÍhsÛ Zo4quym ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Ö`ÏB÷sãB uqèdur 4Ós\Ré& ÷rr& @2s `ÏiB $[sÎ=»|¹ @ÏJtã ô`tB ÇÒÐÈ tbqè=yJ÷èt (#qçR$2 $tB Ç`|¡ômr'Î/ Nèdtô_r& óOßg¨YtÌôfuZs9ur “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.36 Islam dengan ajarannya mengangkat harkat dan martabat perempuan, tidak ada satu ayat atau firman Allah swt yang merendahkan wanita, demikian Rasulullah saw. dalam lisan dan perbuatannya tidak pernah menganggap wanita sebagai makhluk yang tidak sempurna atau inferior. Kesimpulan Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa menjadi ibu rumah tangga dianggap sebagai kodrat perempuan, bahkan sebutan ibu rumah tangga menjadi melekat pada kaum perempuan, khususnya yang telah berkeluarga menjadi ibu rumah tangga merupakan sebagian peran perempuan. Sudah menjadi suatu kepercayaan di kalangan masyarakat bahwa perempuan sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Kemampuan perempuan melahirkan anak dianggap sebagai fungsinya yang utama, sehingga tersirat anggapan bahwa perempuan hanya bisa menjadi ibu. 35 36
Subhan, Tafsir Kebencian, 66. Shihab, Al-Qur’an, 278.
212 Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember 2012: 199-213
Dalam kehidupan modern banyak perempuan yang dapat bekerja dan berkarier dimana saja selagi ada kesempatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran perempuan dalam masyarakat sesungguhnya sangat besar, dan kehidupan modern tidak memberi peluang untuk membatasi gerak kaum perempuan. Ada beberapa hal yang memotivasi perempuan terjun ke dunia karier, antara lain; pendidikan, keterpaksaan karena keadaan atau kebutuhan, baik secara ekonomis atau untuk mencari kekayaan, mengisi waktu lowong, mencari hiburan bagi mereka yang mengalami kemelut berkepanjangan dalam rumah tangganya ataupun untuk mengembangkan bakatnya. Namun beberapa dilema kemudian muncul dan harus dihadapinya antara lain: Untuk tidak melupakan kodratnya, bahwa perempuan dituntut untuk tidak melupakan rumah tangganya. Apapun yang dilakukan di dalam masyarakat, keduanya – antara urusan rumah tangga dan karier- harus berjalan seimbang. Dalam Islam tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Bahwa keduanya sama-sama memiliki kemampuan atau potensi dan kedua jenis manusia ini saling membutuhkan. Islam dengan ajarannya mengangkat harkat dan martabat perempuan, tidak ada satu ayat atau firman Allah swt yang merendahkan wanita, demikian Rasulullah saw. dalam lisan dan perbuatannya tidak pernah menganggap wanita sebagai makhluk yang tidak sempurna atau inferior. Daftar Pustaka Shihab, M. Quraish. Membumikan al- Qur’an. Jilid 2. Cet. ke-1. Jakarta; Lentera Hati, 2010. Shihab, M. Quraish. “Konsep Wanita Menurut al-Qur’an, Hadis dan Sumber Ajaran Islam” dalam Lies M. Marcoes, Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: INS, 1993. Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian. Cet. ke-1. Yogyakarta: LkiS, 1999. Sumardjan, Selo. “Interaksi Antara Keluarga dan Rumah Tangga”, disampaikan dalam Seminar Keluarga Menyongsong Abad ke XXI dan Peranannya Dalam Pengembangan Sumber Daya
Suraya Attamimi: Membangun Keserasian Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Muslimah dalam Era Masyarakat Modern
213
Manusia Indonesia, Kampus IPB Darmaga Bogor (21-22 September 1993). Megawangi, Ratna. Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru Tentang Relasi Gender. Cet. ke-1. Bandung: Penerbit Mizan, 1999. Wadud, Aminah. Qur’an Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir. Terj. Abdullah Ali. Cet. ke-1. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta; 2001. Yanggo, Huzaemah T. Fiqh Perempuan Kontemporer. Jakarta: Mawardi Prima, 2001.
Cet. ke-1.