Volume XVI
JANUARI 2017
Volume XVI JANUARI 2017
daftaR isi
18
PROFIL
Sukses Dalam Empat Pilkada Hingga menduduki jabatan Wali Kota Samarinda, Kalimantan Timur, untuk kedua kali, Syaharie Jaang sudah tercatat empat kali sukses mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada).
5
Membangun di Tengah Keterbatasan Pemerintah Pusat menunda penyaluran dana transfer ke daerah. Realisasi program pembangunan daerah berantakan. Ke depan, perlu dicari sumbersumber pendanaan alternatif agar daerah tidak terlalu bergantung pada kucuran dana dari pusat.
Laporan KHUSUS 13
Mengawal Agenda Baru Pengembangan Perkotaan
16
JEJAK
Bitung, Kota Bahari Berseri Dari sebuah desa nelayan yang jauh dari keramaian, Bitung menjadi kota bahari yang berkembang demikian pesat.
INFO APEKSI
28
Pengembangan perkotaan memulai babak baru. Berdasarkan kesepakatan global, sejak 2016 pengembangan wilayah dan perkotaan mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs). Sejauhmana kota-kota di Indonesia sudah mengadopsi agenda baru tersebut?
w
Kontroversi Panjang UU Pemda Vs Otonomi Daerah
25
w
Inovasi Membangun Kota Cerdas
30
w
Kota Padang, Membangun Kota Sehat
31
w
Dicari, Agenda Baru Perkotaan
32
w
Lamban Penyerapan Dana Hibah Sanitasi
34
Diterbitkan oleh: Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi)
Majalah Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
Alamat: Rasuna Office Park III WO. 06-09, Komplek Rasuna Epicentrum Jl. Taman Rasuna Selatan, Kuningan, DKI Jakarta, 12960, Indonesia Telpon: +62-21 8370 4703 Fax: +62-21 8370 4733 http://www.apeksi.or.id
Menyiasati Pendanaan Infrastruktur Perkotaan Kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia masih tertinggal. Di tengah keterbatasan anggaran dari pemerintah.
Penanggung Jawab: Ketua Dewan Pengurus Apeksi, Airin Rachmi Diany Pemimpin Redaksi: Dr. Sarimun Hadisaputra, MSi Wakil Pemimpin Redaksi: H. Soeyanto, Sri Indah Wibi Nastiti Dewan Redaksi: Dzulmi Eldin (Wali Kota Medan), Syarif Fasha (Wali Kota Jambi), Jonas Salean (Wali Kota Kupang) Burhan Abdurahman (Wali Kota Ternate), Rizal Efendi (Wali Kota Balikpapan), Mohamad Muraz (Wali Kota Sukabumi), Illiza Sa’aduddin Djamal (Wali Kota Banda Aceh), M. Abdurahman, Tri Utari dan Sukarno, Suharto, Mukhlisin Iklan: Imam Yulianto Administrasi & Distribusi: Teguh Ardhiwiratno
Volume XVI
JANUARI 2017
dari REDAKsi
T Tahun Baru, Agenda Baru
Volume XVI JANUARI 2017
ahun telah berganti. 2017 adalah tahun pilkada. Untuk kedua kalinya, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada Februari 2017. Tentu, banyak energi tersita untuk menyukseskan pilkada di berbagai daerah. Meskipun begitu, roda pemerintah tak boleh mengendur. Pelayanan publik harus tetap optimal. Pembangunan harus tetap berjalan. Pergantian tahun harus kita rayakan dengan bijak dan arif. Introspeksi diperlukan untuk menilai dan mengukur kekurangankekurangan sepanjang tahun yang telah lewat. Kemudian, dari sana, kita bisa menyusun kembali agenda-agenda untuk pencapaian yang lebih baik lagi. Begitu juga dalam konteks pembangunan dan pengembangan perkotaan di Indonesia. Banyak masalah yang dihadapi stakeholder perkotaan sepanjang 2016. Yang paling terasa, mungkin, adalah penundaan pencairan dana alokasi umum (DAU) oleh pemerintah pusat. Akibat penundaan itu, banyak program pemerintah kota yang harus dikaji ulang dan bahkan ditunda. Isu itulah yang kami turunkan dalam Rubrik Laporan Utama edisi pergantian tahun ini. Disertai dengan ulasan mendalam, ke depan diharapkan pemerintah kota mampu menyusun agendaagenda baru lengkap dengan solusi alternatif jika sewaktu-waktu ada peristiwa seperti penundaan DAU tersebut. Kemudian, dalam Laporan Khusus, kami menurunkan topik tentang implementasi pada Sustainable Development Goals (SDGs). Laporan ini bermaksud mengukur sejauhmana pencapaian implementasi SDGs pada tahun pertama pelaksanaannya. Sekaligus, bisa menjadi referensi untuk menyusun rencanarencana aksi pada tahun-tahun berikutnya agar implementasi SDGs semakin optimal dan hasilnya sesuai target. Pada rubrik-rubrik lain, kami juga menurunkan berbagai laporan menarik berkaitan dengan dinamika perkotaan. Profil Bitung, salah satu kota di Pulau Sulawesi yang sedang berkembang pesat, kami turunkan dalam Rubrik Jejak. Pada Rubrik Profil, kami menurunkan laporan tentang ketokohan dan berbagai terobosan Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang dalam membangun kotanya. Berita-berita penting dari berbagai kota kami turunkan dalam Berita Kota. Dan, seperti biasa, agenda-agenda Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) untuk mendorong kemajuan kota selalu kami tampilkan rekamannya. Semua sajian Kota Kita ini diharapkan menjadi referensi penting bagi pengembangan kota di Indonesia. Selamat tahun baru 2017, semoga sukses dengan agendaagenda baru.
Laporan Utama
Membangun
di Tengah Keterbatasan Pemerintah Pusat menunda penyaluran dana transfer ke daerah. Realisasi program pembangunan daerah berantakan. Ke depan, perlu dicari sumber-sumber pendanaan alternatif agar daerah tidak terlalu bergantung pada kucuran dana dari pusat.
Volume XVI
JANUARI 2017
Laporan Utama
K
abar buruk itu datang dalam suasana perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.07/2016 bertanggal 16 Agustus 2016, pemerintah memutuskan untuk menunda penyaluran sebagian Transfer ke Daerah (TD), yang dalam hal ini adalah Dana Alokasi Umum. Tidak tanggung-tanggung, total nilainya hampir mencapai Rp 20 triliun. Persisnya Rp 19,42 triliun. Penundaan dilakukan karena ada kondisi kurang bayar untuk yang telah dianggarkan, dengan catatan dana masih akan disalurkan pada anggaran berikutnya sesuai kemampuan keuangan negara. Meskipun begitu, pemerintah punya rumus tersendiri dalam melakukan penundaan. Tidak pukul rata. Perihal penentuan daerah mana saja dan besaran penundaan DAU, didasarkan pada beberapa perhitungan yang dilakukan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Indikator yang dijadikan dasar perhitungan adalah perkiraan kapasitas fiskal, kebutuhan belanja, dan posisi saldo kas di daerah. Kemudian, posisi saldo kas dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu sangat tinggi, tinggi, cukup tinggi, dan sedang. Berdasar kriteria itu, Menkeu menetapkan penundaan DAU untuk 169 daerah senilai Rp 19.418.975.064.500,00. Itu penundaan untuk bulan September, Oktober, November, dan Desember 2016. Berdasarkan PMK tersebut, sedikitnya ada 11 daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yang mengalami penundaan anggaran terbesar, seperti tampak dalam tabel. Namun, harus diingat, ada 169 dari 500-an daerah yang mengalami penundaan pencairan anggaran dalam besaran yang berbedabeda. Pencairan DAU yang tertunda ini akan disalurkan melalui anggaran tahun berikut, atau setidaknya dimulai pada akhir Desember 2016. Dampak ke Daerah Tak perlu waktu lama, penundaan t r a n s fe r DAU t e r s e b u t l a n g s u n g berdampak ke daerah. Banyak gubernur, bupati, dan wali kota yang dibuat kelabakan. Sebab, yang ditunda bukanlah
Volume XVI JANUARI 2017
Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya anggaran yang kecil. Di saat bersamaan, tingkat ketergantungan daerah terhadap kucuran dana dari pusat memang masih sangat tinggi. Belum lagi, program kerja sudah disusun dalam setahun dan sumber anggarannya sudah dipastikan. Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, misalnya, langsung bereaksi. Menurut Wakil Wali Kota Bogor Usmar Hariman, penundaan tersebut sangat tidak logis. “Logikanya, DAU itu tidak akan ditahan apalagi dipotong, karena peruntukan DAU itu, kan, sebesar-besarnya untuk kepentingan PNS. Nah, PNS, kan, yang menentukan keseluruhan urusan pusat,” ungkap Usmar, seperti dikutip Radar Bogor, tak lama setelah penundaan tersebut diumumkan. Dampak langsung dan nyata dari penundaan tersebut memang pada masalah gaji PNS di daerah. Sebab, di daerah, DAU memang lebih banyak dialokasikan untuk membayar gaji PNS. Dengan penundaan tersebut, jika tidak ada sumber anggaran alternatif, bisa jadi jutaan PNS tidak bisa menerima gaji tepat waktu. Di Kota Bogor terdapat sekitar 20 ribu PNS yang gajinya juga berasal dari DAU. Di Surabaya, Jawa Timur, misalnya, sebanyak 16 ribu PNS terancam tidak gajian selama empat bulan akibat kebijakan tersebut. Apalagi, menurut Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, seratus persen dana dari DAU memang dialokasikan untuk membayar gaji PNS. “Seratus persen kita pakai untuk gaji. Itu pun biasanya kurang. Saya tak bisa
membayangkan kalau ditunda, masak gajinya kita kurangi,” ungkap Risma. Tentu, ratusan daerah lain yang mengalami penundaan DAU juga bernasib sama. Tak hanya itu, banyak kewajiban lain tak bisa terpenuhi sesuai dengan jadwal dan perencanaan. Misalnya, pelaksanaan program, pengerjaan proyek pembangunan, atau bahkan pembayaran ke pihak ketiga menjadi berantakan. Dengan demikian, sangat mungkin beberapa program pembangunan yang telah disusun pemerintah daerah ditunda. Yang sudah berjalan pun, pembayarannya kepada pihak ketiga bisa jadi dijadwal ulang. Dan, hal yang terakhir ini rawan gugatan. Mencoba Bersiasat Hal tersebut, misalnya, dialami Pemkot Balikpapan, Kalimantan Timur. Dengan adanya penundaan pencairan DAU, menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Balikpapan Nining Surtiningsih, Kota Balikpapan mengalami defisit anggaran. “Tentu berdampak pada belanja dan realisasi kegiatan,” ujar Nining. Untuk menyiasati hal tersebut, imbuh Nining, Pemkot Balikpapan menunda atau menghentikan beberapa kegiatan. Bahkan, pembayaran kepada pihak ketiga yang telah menjalankan berbagai kegiatan atau proyek terpaksa dijadwal ulang, dan direncanakan baru akan dibayarkan pada tahun anggaran 2017. Selain itu, Nining menduga, pada 2017
Laporan Utama
Malam syukuran HUT ke-119 Kota Balikpapan tahun 2016. kemungkinan kondisinya masih tidak jauh berbeda dengan 2016. Karena itu, Pemkot Balikpapan melakukan review terhadap berbagai kegiatan pembangunan yang sudah direncanakan. Hal itu dilakukan dalam rangka efisiensi anggaran.“Sehingga kegiatan-kegiatan akan lebih dititik beratkan pada pemeliharaan,” ujarnya. Pemkot Bekasi, Jawa Barat, juga harus berhitung ulang dalam merealisasikan program-program daerah. Diakui Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bekasi Widodo Irijanto, penundaan DAU berdampak pada kondisi keuangan Kota Bekasi. Namun begitu, menurut Widodo Irijanto, Pemkot Bekasi berusaha menjamin agar penundaan tersebut tidak berdampak pada penurunan kualitas pelayanan dasar kepada masyarakat, terutama untuk pelayanan kesehatan, pendidikan, dan gaji pegawai. Salah satu caranya dengan mengevaluasi uang perjalanan dinas. Total penundaan DAU Kota Bekasi mencapai Rp 178 miliar. “Kami akan evaluasi uang perjalanan dinas,”ujar Widodo Irijanto seperti dikutip ibek.com. Ia menjelaskan, uang perjalanan dinas yang berada di masing-masing satuan
kerja perangkat daerah (SKPD) akan dievaluasi. Artinya, kata dia, akan ada penyesuaian dengan kondisi kinerja. Jadi, bilamana kegiatan itu tidak penting, maka akan dilakukan evaluasi anggaran. “Termasuk rapat-rapat yang harus memilih lokasi yang lebih sederhana,” imbuhnya. Pemkot Bekasi juga memastikan, penundaan pencairan DAU ini tidak
mempengaruhi honor seluruh Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebab, alokasi anggaran untuk honor PNS sudah diposkan melalui anggaran yang berbeda. ”Kalau untuk honor PNS udah aman, tidak ada penundaan,” katanya. Pendanaan Alternatif Jauh-jauh hari, terk ait dengan penundaan DAU, Menteri Dalam Negeri
Daerah dengan Penundaan Anggaran Terbesar 1.
Kabupaten Bogor (Jabar)
Rp 86,810 miliar/bulan
2.
Provinsi Jawa Tengah
Rp 84,190 miliar/bulan
3.
Kab. Garut (Jabar)
Rp 81,873 miliar/bulan
4.
Provinsi Jawa Timur
Rp 75,724 miliar/bulan
5.
Kota Bandung
Rp 75,704 miliar/bulan
6.
Provinsi Kalimantan Barat
Rp 67,604 miliar
7.
Kabupaten Tasikmalaya (Jabar)
Rp 66,449 miliar/bulan
8.
Kabupaten Banyumas (Jateng)
Rp 63,306 miliar/bulan
9.
Kabupaten Cilacap (Jateng)
Rp 62,679 miliar/bulan
10.
Kabupaten Jember (Jatim)
Rp 61,920 miliar
11.
Provinsi Nusa Tenggara Timur
Rp 60,524 miliar/bulan (*)
Volume XVI
JANUARI 2017
Laporan Utama Tjahjo Kumolo sudah meminta pemerintah daerah berhemat. Bahkan, ia meminta kepada semua kepala daerah untuk melakukan restrukturisasi anggaran. “Kepala daerah harus pandai-pandai mengatur manajemen k as daerah dengan adanya penundaan DAU. Harus melakukan restrukturisasi anggaran dan efisiensi dengan DPRD, dan harus mengendalikan belanja yang tidak perlu,” Menteri Tjahjo Kumolo menegaskan. “Intinya penghematan dan melakukan penjadwalan proyek yang belum dilelang,” imbuhnya. Meskipun begitu, Tjahjo Kumolo mengingatkan agar masalah gaji pegawai dan tunjangan menjadi prioritas utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Tjahjo juga mendorong agar pemerintah daerah lebih mengefisienkan penggunaan anggaran yang ada. “Saya yakin daerah mensikapi masalah i n i d e n g a n a r i e f d a n b i j a k s a n a ,” tambahnya. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Budiarso Teguh Widodo tidak yakin jika gara-gara penundaan ini ada daerah yang sampai tidak bisa membayar gaji pegawai. “Ah, bohong itu, enggak mungkin,” tegas Budiarso. Sebab, menurutnya, daerah yang ditunda pencairannya adalah yang proyeksi saldo kas akhir tahunnya masuk kategori sangat tinggi, cukup tinggi, dan sedang. Sehingga, tetap tersedia anggaran untuk membayar gaji pegawai. “Jadi, meskipun ditunda, mereka tetap
Wismanto Bimam Kusumaedi, Kepala Divisi Pembayaran Pemda dan Instansi Pemerintah bisa bayar gaji pegawai,” tandasnya. Belajar dari penundaan DAU ini, memang sudah waktunya dicari solusi alternatif sumber pendanaan bagi daerah untuk secara bertahap mengurangi ketergantungan keuangan daerah kepada pusat. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Bekasi Widodo Irijanto, misalnya, sudah merancang sejumlah skenario. Salah satunya, dengan meningkatkan potensi daerah yang sekarang ini berpeluang mendongk rak pendapatan. “K ami melakukan beberapa skenario untuk mengatasi penundaan pencairan DAU. Sejumlah potensi PAD kini ditingkatkan,” ujarnya. Untuk itu, pihaknya mulai melakukan pembahasan bersama dengan
Job Fair Kota Bekasi
Volume XVI JANUARI 2017
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi. Sebenarnya, banyak alternatif sumber pendanaan bagi daerah. Menurut Kepala Divisi Pembayaran Pemda dan Instansi Pemerintah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI/Persero) Wismanto Bimam Kusumaedi, selain bersumber dari APBD, termasuk di dalamnya transfer daerah, sumber pendanaan bisa diperoleh dari luar APBD, seperti pinjaman daerah kepada lembaga-lembaga pembiayaan. PT SMI adalah salah satu BUMN bergerak di bidang pembiayaan yang bisa dimanfaatkan daerah. “Sayangnya, belum banyak pemda yang memanfaatkan jasa PT SMI ini,” kata Wismanto. Dijelaskan Wismanto, berdasarkan penugasan dari Kemenkeu, PT SMI dapat memberikan pinjaman kepada daerah untuk berbagai proyek infrastruktur, misalnya pembangunan pasar, jalan dan jembatan, air minum, rumah sakit, irigasi, sekolah, manajemen persampahan, kepariwisataan, dan sebagainya. Hingga Oktober 2016, menurut Wismanto, baru 20 pemda yang telah memanfaatkan keberadaan PT SMI dengan total pinjaman Rp 2,44 triliun. Hanya, diakui Wismanto, mekanisme pinjaman daerah ini memang harus melalui persetujuan DPRD. “Biasanya, yang jadi masalah memang pada persetujuan DPRD ini. Tapi, mekamisme ini bisa menjadi solusi alternatif sumber pendanaan bagi pemda,” Wismanto menegaskan.
Laporan Utama
Yang Selamat dari Penundaan
Alun-Alun Kota Malang.
Sejumlah kota selamat dari penundaan pencairan dana transfer daerah atau Dana Alokasi Umum (DAU). Kota Malang dan Cimahi, contohnya.
J
ika banyak wali kota kelabakan akibat penundaan pencairan DAU, tidak demikian dengan Wali Kota Malang, Jawa Timur, Mochamad Anton. Sebab, kota yang dipimpinnya merupakan salah satu daerah yang “selamat” dari penundaan pencairan DAU. Kota Malang bisa selamat, konon, karena terbilang tertib administrasi dan serapan anggarannya tergolong tinggi. Setidaknya, hal tersebut d i u n g k a p k a n Wa l i K o t a M a l a n g Mochamad Anton. Menurutnya, selain serapan anggaran tinggi, Kota Malang ter tib administrasi dengan selalu membu at lap oran sesuai dengan jadwal. Di samping itu, Pemkot Malang memang tidak mendepositokan dana APBD meski hal itu dibolehkan karena perolehan bunga bank disebut sebagai
Mochamad Anton, Wali Kota Malang penerimaan pendapatan lain-lain. “Pemkot Malang memang mendesain belanja pembangunan sudah langsung digeber pada awal-awal tahun anggaran,
sehingga penyerapan anggarannya sudah bisa tinggi pada semester I/2016. “Laporan kami juga tertib. Sesuai jadwal,” ujarnya. Mochamad Anton mengaku bersyukur Kota Malang tidak mengalami penundaan pencairan DAU. Meskipun begitu, ia berjanji akan terus berbenah untuk menertibkan administrasi serta memaksimalkan penyerapan dana yang telah dianggarkan. Jika hal tersebut juga menimpa Kota Malang, yakni ada penundaan DAU, maka kami akan tetap terus berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat utamanya dalam rangka suksesnya pembangunan di Kota Malang,” dia menegaskan. Selain Kota Malang, Kota Cimahi di Jawa Barat termasuk daerah yang selamat dari penundaan pencairan DAU. Sama, Pemkot Cimahi juga tergolong tertib administrasi dengan serapan anggaran cukup tinggi. Kepada wartawan, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Cimahi Hella Haerani, menjelaskan, selama ini pihaknya selalu melakukan laporan secara berkala terhadap penggunaan anggaran, termasuk sisa kas yang ada dan rencana kegiatan ke depan. “Dengan begitu, maka sisa anggaran habis terserap hingga akhir tahun anggaran. Mungkin kas keuangan Cimahi dinilai wajar dan bagus, hingga tidak masuk dalam penundaan penyaluran sebagian DAU,” Hella Haerani menjelaskan. Karena itu, seluruh kegiatan Pemkot Cimahi tidak ada yang terganggu. Dijelaskan Hella, DAU Kota Cimahi mencapai Rp 586,5 miliar. Menjelang pergantian tahun, daerahdaerah yang mengalami penundaan pencairan DAU mulai bisa bernapas lega. Secara bertahap, Kementerian Keuangan akan mencairkan DAU yang tertunda, pada akhir Desember dan Januari 2017. Volume XVI
JANUARI 2017
Wawancara
Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR Endra S Atmawidjaja:
Masyarakat Belum Siap Berbudaya Kota
M
Endra S Atmawidjaja, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR.
Kota-kota di dunia, termasuk di Indonesia, sedang menghadapi tantangan yang sangat serius, terutama disebabkan laju urbanisasi yang terus meningkat signifikan. Sehingga, wilayah perkotaan tumbuh dan berkembang nyaris di luar kontrol. Diperkirakan, lebih dari separo populasi di Indonesia tinggal di perkotaan. Sementara, di saat yang sama, pemerintah belum siap, termasuk di bidang penyediaan infrastruktur dasar. 10
Volume XVI JANUARI 2017
ajalah Kota Kita m e l a k u k a n w a w a n c a r a dengan Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Endra S Atmawidjaja guna mengetahui rencana pemerintah dalam membangun infrastruktur perkotaan. Berikut petikannya: Seperti apa sebenarnya agenda baru pembangunan perkotaan di dunia saat ini? Melalui berbagai forum global, saat ini memang sedang dirumuskan agenda baru perkotaan untuk 20 tahun ke depan. Banyak isu yang dibahas di situ yang bermuara pada kesepakatan dunia. Yang dirumuskan PBB lebih ke panduan kebijakan, belum pada teknis standar kota baru. Intinya, isu-isu dalam agenda baru tersebut meliputi, di antaranya, urbanisasi. Seperti apa bahaya dan dampaknya, dan bagaimana cara mengelolanya. Kemarin kita banyak mendiskusikan kota sebagai wadah hunian, berproduksi secara sosial dan ekonomi, dikaitkan dengan keberadaan manusia. Urbanisasi sesuatu tidak bisa dihindari. Ini sebuah proses yang harus dilalui. Masyarakat terus tumbuh dan berkembang, terjadi modernisasi, peningkatan peradaban, ya lewat urbanisasi. Ini lintasan wajib. Kalau bicara kota modern, kota ideal, kota menjadi cita-cita masa depan, ya jalurnya lewat situ. Bagaimana kota-kota di dunia merespons perkembangan yang terjadi? Prosesnya sama, menuju kota modern. Yang membedakan laju kecepatannya. Ada yang tinggi sekali. Jadi, prosesnya
Wawancara
Suasana Kota Surabaya sama, kecepatan berbeda k arena dalam kuantitas besar. Di negara maju, masyarakat berjumlah 10-50-100 ribu sudah bisa jadi kota otonom dan modern. Kalau di kita, itu masih kota kecil. Kita lebih kompleks. Laju penduduk kita cepat. Dalam beberapa dekade bisa mencapai enam kali lipat. Dalam 40 tahun bisa menjadi 150 juta. Apakah mesti berbeda cara penanganannya? Pertama jumlah besar, tumbuh cepat, kapasitas orang yang mengelola kota tidak mencukupi. Pemerintah daerah dan termasuk pemerintah pusat tidak bisa respons. Urbanisasi tidak bisa dihindari, menuntut penyediaan fasilitas kota, dan layanan publiknya lebih tinggi. Ternyata banyak hal merusak lingkungan, mereka mendegradasi kualitas lingkungan. Masalahnya bukan hanya soal orang dan dana, tetapi kapasitas pengelola kota. Bukan hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Mereka yang mendiami
kota belum sadar hak dan kewajibannya. Belum siap berbudaya kota. Diperlukan waktu berapa lama mencapai perkembangan kota yang ideal? Tida ada rumus. Prinsipnya, ketika kota tumbuh, tidak chaos, harus dikelola dengan baik. Bukan hanya fisiknya, tapi juga attitude orang di dalamnya. Sama-sama dalam satu wadah kota, terjadi semacam hubungan saling membutuhkan, saling tergantung, saling mendukung. Itu hubungan diikat dalam bentuk formal, misalnya tata kelembagaan atau tata laksana. Yang diikat dalam bentuk perda institusi formal dan nonformal. Ini yang saya bilang kapasitas pengelolaan belum sampai ke sana. Masyarakat kota harus tahu hak dan kewajiban. Mereka mendiami kota, harus ada citizenship-nya. Kita mendiami rumah, ada tanggung jawab ke lingkungan, ada aturan yang tertulis dan tidak tertulisnya, misalnya. Cuma di kota lebih kompleks. Ada norma,
kultur, aturan, dan lainnya. Bagaimana peran Kementerian PUPR dalam pembangunan perkotaan ke depan? Fokusnya di infrastruktur, tapi kita tidak hanya bicara fisik. Kementerian PUPR mendukung pertumbuhan ekonomi, bukan hanya permukiman. Infrastuktur yang dibangun bersifat produktif, seperti pelabuhan, pariwisata, bandara, dan infrastrukturnya industri juga. Jadi, kita mendukung sinergi faktor produksi sehingga masyarakat kota perekonomiannya lebih cepat tumbuh lagi. Contohnya seperti apa? Dalam kontek sekarang, misalnya, negara sulit, ekspor menurun. Artinya, kita belum memiliki nilai tambah. Komoditas turun karena kita kena dampak minyak, sawit turun, otomatis PNBP turun. Praktis, kita butuh investasi. Kalau basisnya konsumsi tidak bisa. Harus investasi, dan yang paling menyentuh adalah Volume XVI
JANUARI 2017
11
Wawancara infrastruktur, seperti jalan tol, bandara, dan pelabuhan supaya rantai pasokan bergulir. Semen, tukang, dari hulu sampai hilir kena. Semua pendukung, termasuk tenaga konstruksi, manufaktur, baja besi, dalan lain-lain. Intinya, investasi harus masuk. Infrastruktur penting, di situ Kementerian PUPR berperan. Ekonomi lesu, harus disuntik melalui investasi, belanja modal diperbesar. Capital exspenditure akan merangsang faktor ikutan yang mendukung, ada pembangunan, ada warung. Ini yang dimaksud investasi. Bagaimana dengan kriteria kota layak huni, apakah kota-kota di Indonesia sudah mengarah ke sana? Prinsipnya, standar layak huni ditanyakan ke masyarakat dengan pelayanan yang ada. Secara umum, kondisi kota kita cukup memprihatinkan dari banyak hal. Terutama quality of live. Ke kantor susah, berobat susah. Semua ini soal kualitas hidup, termasuk kesehatan, pendidikan, dan pelayanan infrastruktur. Kalau itu semakin sulit, tanda-tanda mengalami penurunan kehidupan di perkotaan. Apakah kondisinya memang masih begitu memprihatinkan? Ada beberapa sinyal positif, seperti kita lihat di kota menengah. Di kota
m e t ro p o l i t a n te r l a l u s u l i t u n t u k meningkatkan quality of live. Kalau di kota menengah, dengan penduduk 200 sampai 300 ribu, banyak kondisinya masih nyaman, asal tidak over urbanisasinya. Kota harus spesial untuk pelayanan, terapi manula, misalnya. Ada kota yang memiliki fungsi khusus, kota pendidikan, misalnya, tidak usah ditambah dengan industri. Bagaimana dengan faktor
kepemimpinan? Apakah sosok kepala daerah juga berperan penting dalam hal ini? Kalau wali kotanya tidak memiliki pengalaman dan pengetahun, ya mengikuti Jakarta jadinya. Apa yang ada di Jakarta, dipakai di daerah. Ada sinyal positif, kalau kepemimpinannya baik, kita mampu. Contoh di Surabaya, semua takjub. Dengan 4 juta penduduk, Surabaya tidak crowded. Kita lihat, Surabaya bisa ditata lebih bagus. Ini peran wali kota bagus. Kota di Indonesia punya harapan jika pemimpinnya kreatif. Perkembangan kota bisa dikembalikan ke jalur yang benar. Lihat gambarannya ya Surabaya. Artinya, ada harapan kota-kota di Indonesia tumbuh dan berkembang ke arah yang benar? Jangan bicara yang tidak bisa dikendalikan dan dikelola. Kota menengah punya potensi bila pemimpinnya kapabel. Banyak bupati dan wali kota kapabel. Dengan pemilihan langsung mendidik masyarakat memilih urban manager. Wali kota adalah city leader dan urban manager, mereka harus punya visi dan kapasitas mengelola, memanajemeni, dan sampai aksi lapangan. Wali kota bukan simbol dari kekuatan politik, tetapi simbol kota.
12
Volume XVI JANUARI 2017
Laporan khUsus
Mengawal Agenda Baru Pengembangan Perkotaan
Pengembangan perkotaan memulai babak baru. Berdasarkan kesepakatan global, sejak 2016 pengembangan wilayah dan perkotaan mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs). Sejauhmana kota-kota di Indonesia sudah mengadopsi agenda baru tersebut?
M
e m a s u k i 2017, setahun sudah negaranegara di dunia mengimplementasi k an Sustainable Development Goals (SDGs), termasuk Indonesia. SDGs merupakan agenda global pembangunan, melanjutkan Milenium Depelopment Goals (MDGs) yang berakhir 2015. Masa berlaku SDGs sampai 2030. Sebagai negara yang juga menandatangani, bahkan menjadi leader penyusunannya, sejak awal 2016 Indonesia juga mulai mengimplementasikan SDGs dalam program pengembangan wilayah dan perkotaan. Namun, dalam tahun pertama, gaung SDGs belum begitu terasa. Gaung SDGs belum begitu terasa, mungkin, menurut pekerja dan aktifis
pengembangan perkotaan Wicaksono Sarosa, karena dukungan dari pemerintah juga belum optimal. “Sudah disusun sejak 2015, Peraturan Presiden (Perpres) tentang implementasi SGDs ini belum juga diteken Presiden,” ujarnya. Seperti terlihat pada tabel perbedaan antara MDGs dan SDGs, jika MDGs hanya memiliki 8 sasaran (goals), maka agenda baru dalam SDGs memiliki 17 sasaran dengan 169 target. Isu sentral dari SGDs adalah pembangunan berkelanjutan (sustainable development), di mana kota secara khusus disebut memiliki peran yang sangat strategis. Dalam acara “Diseminasi Implementasi Agenda Baru Global dan Nasional dalam Pengembangan Wilayah dan Perkotaan di Indonesia” yang diselenggarakan di Bali, 4 November 2016, mantan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto yang membawakan materi berjudul Volume XVI
JANUARI 2017
13
Laporan khUsus “Implementasi SDGs dalam Mewujudkan Keterpaduan Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan”, menegaskan, pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pemenuhan kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. “Untuk itu dibutuhkan paradigma perencanaan pembangunan yang berorientasi market driven (ekonomi), sosial, dan lingkungan hidup sebagai prinsip keadilan saat ini dan masa depan.” katanya. Hal tersebut, menurutnya, merupakan ruh dari SDGs yang menjadi agenda baru pembangunan global. Dibandingkan dengan MDGs, menurut Joko Kirmanto, SDGs memang lebih holistik dan terstruktur, yang masing-masing goal memiliki keterkaitan atau benang merah. Ia menyebut beberapa contoh, agenda dalam SDGs ini lebih inklusif dengan didukung dengan dasar-dasar HAM. SDGs dinilai juga lebih mendorong partisipasi masyarakat dan stakeholder terkait, memberi peran swasta lebih besar, dan mengutamakan adanya keterpaduan dan kemitraan dari stakeholder. Implementasi SDGs dalam konteks pengembangan wilayah dan perkotaan di Indonesia, menurutnya, ada beberapa poin. Pertama, memberi akses semua orang terhadap tempat tinggal dan pelayanan dasar yang layak, aman, terjangkau, serta peningkatan kualitas kumuh. Kedua, memberi penyediaan sistem transportasi yang aman, murah,
14
Volume XVI JANUARI 2017
Wicaksono Sarosa, Pekerja dan Aktifis Pengembangan Perkotaan terjangkau, dan berkelanjutan. Ketiga, mendorong urbanisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Keempat, mengurangi angka kematian dan orang yang terkena dampak akibat bencana dengan fokus pada melindungi masyarakat miskin dan masyarakat dalam kondisi rentan. Kelima, mengurangi bahaya dari dampak lingkungan terhadap perkotaan, termasuk kualitas udara, pengelolaan limbah. “Dalam impelementasi SDGs, harus dirancang bagaimana peningkatan jumlah permukiman dan perkotaan mengadopsi dan menerapkan kebijakan dan perencanaan yang terintegrasi,” ujarnya. Diakui D joko K irmanto, untuk mencapai apa yang dirumuskan dalam SDGs, diperlukan kesungguhan dan kemauan keras dari seluruh stakeholder. Ap a ya n g te r t u a n g d a l a m S D G s,
misalnya, harus diadopsi ke dalam perencanaan pembangunan baik di tingkat nasional dan lokal (daerah). Juga diperlukan adanya kerangka regulasi, kelembagaan, pembiayaan yang inklusif dan partisipatif. “Keterlibatan semua pihak dalam pelaksanaan SDGs memang menjadi kunci utamanya,” tandasnya. “Sangat diperlukan adanya inisiatif dari pemerintah dalam menyusun kerangka hukum, kerangka kelembagaan, serta mekanisme akuntabilitas untuk mencapai target SDGs tersebut,” ujarnya. Aksi Bersama Hal yang sama juga diungkapkan Wicaksono Sarosa. Menurut lelaki kelahiran Bandung, Jawa Barat, 11 Oktober 1959, yang pernah menjabat Direktur Eksekutif Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform) ini, SDGs memang secara eksplisit mengakui pentingnya peran perkotaan. “Namun, kota tidak pernah bisa berdiri sendiri. Karena itu, pembangunan ke depan tidak dapat terfokus hanya pada perkotaan itu sendiri. Harus melibatkan semua pemangku kepentingan terkait,” ujarnya. Karena itu, menurutnya, harus ada penggalangan untuk membangun kesadaran bersama dari seluruh stakeholder guna melakukan aksi bersama dalam kerangka mengimplementasikan SDGs. “Perlu ada kesadaran untuk aksi bersama membangun kepedulian semua pihak terhadap pembangunan yang transformatif dan berkelanjutan ini,” papar Wicaksono.
Laporan khUsus Di Indonesia, sepanjang pengetahuan Wicaksono, baru ada dua kota yang sudah terlihat melakukan banyak hal untuk pengimplementasian SDGs, yaitu Kota Surabaya di Jawa Timur dan Kota Bandung di Jawa Barat. Namun, secara umum, Wicaksono mengaku belum bisa diukur sejauhmana pencapaian implementasi SDGs di seluruh Indonesia. “Sampai sekarang belum pernah diukur, baru mau diukur, tapi belum ada Perpresnya,” Wicaksono menjelaskan. Meskipun begitu, Wicaksono meminta
semua kepala daerah, terutama bupati dan wali kota, bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan agendaagenda yang tertuang dalam SDGs. Caranya, misalnya, daerah membuat rencana aksi yang dimasukkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Impelementasi SDGs sampai 2030, sehingga masih ada waktu 15 tahun. “Jika dimasukkan ke dalam RPJM, maka pencapaian sasaran-sasaran SDGs akan mudah diukur dan dikontrol,” ujarnya.
Jika daerah memiliki keterbatasan sumber daya, lanjutnya, masih banyak sumber daya lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya dengan menggandeng swasta. Wicaksono mengingatkan, keberhasilan implementasi SDGs juga banyak bergantung kepada kepala daerah. Ia melihat masih banyak kepala daerah yang belum memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap implementasi SDGs ini. Karena itu, ia meminta kepala daerah punya kesadaran dan kepedulian tinggi terhadap implementasi SDGs ini.
Tabel: Perbandingan MDGS-SDGS 8 Sasaran MDEGs 1. 2. 3. 4.
Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan Menciptakan pendidikan dasar untuk semua. Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Menurunkan angka kematian anak
5. 6. 7. 8.
Meningkatkan kesehatan ibu Memerangi HIV/AIDS, Malaria, dan penyakit menular lainnya Memastikan kelestarian hidup Membangun kemitraan global untuk pembangunan
17 Sasaran SDGs (169 Target) 1. 2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
Mengakhiri segala bentuk kemiskinan di manapun [7 target] Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan [8 target] Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia [13 target] Menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang [10 target] Menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan seluruh wanita dan perempuan [9 target] Menjamin ketersediaan dan pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang [8 target] Menjamin akses energi yang terjangkau, terjamin, berkelanjutan dan modern bagi semua orang [5 target] Mendorong pertumbuhan ekonomi yang terusmenerus, inklusif, dan berkelanjutan, serta kesempatan kerja penuh dan produktif dan pekerjaan yang layak bagi semua orang [11 target] Membangun infrastruktur yang berketahanan, mendorong industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan serta membina inovasi [8 target]
10. 11. 12. 13. 14.
15.
16.
17.
Mengurangi kesenjangan di dalam dan antar negara [10 target] Menjadikan kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan [10 target] Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan [11 target] Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya [5 target] Melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan [10 target] Melindungi, memperbarui, serta mendorong penggunaan ekosistem daratan yang berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan kerugian keanekaragaman hayati [12 target] Mendorong masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses keadilan bagi semua orang, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh tingkatan [12 target]. Memperkuat perangkat-perangkat implementasi (means of implementation) dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan [19 target]
Volume XVI
JANUARI 2017
15
JEJAK
Bitung, Kota Bahari Berseri
Dari sebuah desa nelayan yang jauh dari keramaian, Bitung menjadi kota bahari yang berkembang demikian pesat, dan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan timur Indonesia.
16
Volume XVI JANUARI 2017
P
Salah satu ikon Kota Bitung, replika Menara Eiffel dan Gereja Centrum.
ada mulanya nama sebuah pohon: witung. Ia banyak tumbuh di daerah utara Pulau Sulawesi. Konon, Dotu Hermanus Sompotan yang kemudian mengambil nama pohon itu untuk menyebut huma yang berada di kaki Gunung Dua Saudara ini. Padal abad ke-19, daratan ini dikuasai pemerintah kolonial Belanda. Namun, Sompotan bersama istrinya, Sabina Lontoh, dipercaya untuk menjaga dan mengelola daerah tersebut. Pada 1921, anak pertama Sompotan, yaitu Elias Lontoh Sompotan, ditetapkan menjadi Hukum Tua pertama Desa Bitung. Jabatan ini kemudian dialihkan secara turuntemurun. Rumah tinggal Elias Lontoh Sompotan itu saat ini dikenal sebagai Taman Kesatuan Bangsa Bitung. Pada 1926, secara resmi pemerintah
Belanda mengakui Bitung sebagai negeri atau desa. Pascakemerdekaan, pada 1 Juli 1947 Bitung ditetapkan sebagai distrik dengan luas wilayah 19.870 hektare, terdiri dari 13.428 jiwa yang tersebar pada 11 desa. Selanjutnya, pada 1964 Bitung ditetapkan menjadi satu kecamatan dengan jumlah penduduk waktu itu sekitar 32.000 jiwa tersebar pada 28 desa dengan luas wilayah 29,79 km². Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1975, maka pada 10 April 1975 Kecamatan Bitung diresmikan sebagai Kota Administratif yang pertama di Indonesia, dengan luas wilayah 304 km², terdiri dari 3 kecamatan dan 35 desa. Selanjutnya, pada 1990, Kota Administratif Bitung meningkat statusnya menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990. Sejak 2001, statusnya
JEJAK menjadi Kota Bitung yang berada di Provinsi Sulawesi Utara. Surga Para Nelayan Selain Bitung, kota ini juga sering dijuluki Balisung, yang berarti tempat pengobatan mujarab. Dengan nama Bitung atau pun Balisung, kota ini dimaknai sebagai tempat yang damai dan sejahtera. Penduduknya cukup beragam, yang mayoritas berasal dari Suku Minahasa dan Suku Sangihe. Banyak juga etis Tionghoa dan Jawa. Kota pelabuhan di Sulawesi Utara ini mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Sebagai kota pelabuhan dengan potensi sumber daya ikan, Bitung menjadi surganya para nelayan. Tak hanya datang dari daerah-daerah lain di Indonesia, para nelayan dari berbagai negara pun hilir mudik di kota ini untuk berburu ikan, seperti nelayan dari Filipina, Vietnam, Tiongkok, atau lainnya. Potensi terbesar hasil laut dari kota pelabuhan ini adalah ikan cakalang. Bitung tercatat sebagai penghasil ikan cakalang terbesar di Indonesia. Karena itu, Bitung juga dijuluki sebagai Kota Cakalang, dan ikonnya pun menggunakan ikan cakalang. Sebagai kota pelabuhan, potensi Bitung ternyata bukan cuma hasil laut. Misalnya, potensi ekowisata dan wisata kulinernya luar biasa. Di kota dengan pemandangan alam yang asri ini, ada tempat diving yang sangat memikat, yaitu di Selat Lembeh yang merupakan salah satu situs menyelam terkemuka di Sulawesi Utara. Selain itu, ada Cagar Alam Tangkoko dan Taman Margasatwa Tandurusa. Berbagai hewan endemik di hutan rimbanya, menjadi ekowisata yang menarik di kota ini. Kota ini juga memiliki obyek wisata belanja dan kuliner yang impresif. KEK Dengan potensi yang begitu besar dan posisinya yang strategis, pemerintah daerah dan pemerintah pusat merancang strategi percepatan pembangunan di Kota Bitung, salah satunya melalui pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kota Bitung ditetapkan sebagai KEK melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2014. Dengan begitu, sejak 2014,
Maxmilliaan Jonas Lomban, Wali Kota Bitung Bitung menjadi kota yang dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geo-ekonomi dan geo-strategi serta berfungsi menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. KEK dibentuk untuk membuat lingkungan kondusif bagi aktivitas investasi, ekspor, dan perdagangan guna mendorong laju pertumbuhan ekonomi, serta sebagai katalis reformasi ekonomi. Meskipun sudah dimulai sejak 2015, Wali Kota Bitung Maxmilliaan Jonas Lomban terus membuat terobosan guna mempercepat realisasi pengembangan KEK Bitung. Selama ini, realisasinya terkendala masalah ketersediaan lahan. Upaya Jonas Lomban membuahkan hasil, pemerintah pusat bersedia membantu penyelesaian masalah lahan. Sesuai rencana, KEK Kota Bitung ini nantinya berfungsi sebagai pusat perdagangan dunia di wilayah Asia Timur, Australia, dan Amerika. Untuk mendukung KEK, sejumlah mega proyek mulai dirancang untuk dibangung di Kota Bitung yang masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Utara Periode 2016-2021. Beberapa mega proyek tersebut meliputi pembangunan International Hub Port, Tol Manado-Bitung, dan Rel Kereta Api
Manado-Bitung. Selain itu, di Bitung juga akan dibangun SPAM strategis industri kota Bitung, pembangunan pengaman pantai di Pulau Lembeh, peningkatan kualitas permukiman kumuh Kampung Sari Kelapa, dan pembangunan TPS 3R Bitung. Juga dibangun Bitung Industrial City guna meningkatkan kapasitas tenaga kerja di sektor industri, pariwisata, dan jasa yang berwawasan global. Selain pembangunan infrastruktur, Pemerintah Kota Bitung juga terus m e l a k u k a n p e n a t a a n k o t a . Pa d a September 2016, misalnya Wali Kota Bitung Maxmillaan Jonas Lomban menetapkan program “Bitung Kota Bahari Berseri”. Program ini dimaksudkan untuk menggerakkan potensi-potensi perekonomian dengan fokus pada program “Lima Pesona”, masing-masing Bahari, Flora, Fauna, Indsutri, Religi Sejarah, dan Budaya. Artinya, secara bersamaan, Bitung juga dikembangkan sebagai kota wisata. Guna mendorong pengembangan kota wisata, Pemkot Bitung pun menjalin kerja sama dengan pihak swasta, salah satunya dengan Kenos Group. Dengan berbagai pembangunan infrastruktur yang demikian pesat, Bitung kini bukan lagi kampung nelayan yang kecil di kejauhan, melainkan kota yang sedang tumbuh pesat, menjadi kota pelabuhan yang sangat modern. Volume XVI
JANUARI 2017
17
PROFIL
Sukses dalam Empat Pilkada
Hingga menduduki jabatan Wali Kota Samarinda, Kalimantan Timur, untuk kedua kali, Syaharie Jaang sudah tercatat empat kali sukses mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Mimpinya membangun Samarinda sebagai kota metropolitan berbasis industri. 18
Volume XVI JANUARI 2017
L
a h i r d i Lo n g Pa h a n g a i , Kalimantan Timur, pada 10 September 1964, Syaharie Jaang adalah peraih gelar master hukum dari Universitas Mulawarman dan master di bidang perencanaan ekonomi dari Universitas Hasanuddin Makassar. Namun, sebelum terjun ke dunia politik, Syaharie Jaang lebih dulu dikenal sebagai seorang pengusaha, khususnya bergerak di bidang industri pertambangan. Lelaki yang memperistri perempuan Jawa, Puji Setyowati, ini tercatat pernah bekerja di berbagai perusahaan. Terakhir, pada 2000, Syaharie Jaang tercatat sebagai pemegang saham dan menduduki jabatan direktur pada PT Anugerah Bumi Etam, perusahaan tambang batu bara. Ia juga
tercatat sebagai penasihat dan anggota pada Koperasi Sungai Mas, pemegang Hak Pengelola Hasil Hutan. Setelah sukses di dunia usaha, Syaharie Jaang mulai aktif di dunia politik. Pada 1990-an ia mulai bergabung dengan PDI Perjuangan. Pada 19982002, misalnya, Syaharie Jaang tercatat sebagai Ketua Pengurus Anak Cabang PDI Perjuangan. Pada tahun yang sama juga menjabat sebagai Ketua Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan Kota Samarinda. Namun, setelah itu, ia pindah partai, dan pada 2002 menjadi Ketua DPD Partai Pelopor Provinsi Kaltim. Belakangan, Syaharie Jaang bergabung dengan Partai Demokrat. Tak hanya aktif di partai politik, Syaharie Jaang juga menjadi aktifis sejumlah
PROFIL organisasi kemasyarakatan (ormas). Sampai dengan 2002, misalnya, Syaharie Jaang menjadi salah satu Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur. Di saat yang sama, tercatat sebagai Ketua Banteng Muda Indonesia. Pada periode 2004-2007, Syaharie Jaang menjadi Ketua Umum Persekutuan Dayak Kaltim Cabang Kota Samarinda. Di saat yang sama, ia juga menjadi anggota Dewan Penasihat Pemuda Pancasila Kota Samarinda, Dewan Pembina Trikora Kota Samarinda, dan Penasihat GEPAK Kaltim. Di bidang keagamaan, ia juga tercatat sebagai pendidik dan Pembina Yayasan Pondok Pesantren Sultan Muhammad Al-Falah (Pendidikan dan Dakwah) serta Penasihat Mushola AlFirdaus dan aktif di Majelis Ta’lim. Empat Pilkada Buah dari aktivitasnya di dunia politik, pada Agustus 1999, Syaharie Jaang terpilih menjadi anggota DPRD Kota Samarinda. Namun, hanya setahun menjadi wakil rakyat. Pada November 2000, ia dilantik menjadi Wakil Wali Kota Samarinda. Saat itu, ia mengikuti pilkada berpasangan dengan Achmad Amins sebagai calon wali kota. Sukses periode 2000-2005, pasangan
Syaharie Jaang, Wali Kota Samarinda. ini kembali menang dalam pilkada Kota Samarinda periode 2005-2010. Setelah dua periode menjadi wakil wali kota, periode berikutnya Syaharie Jaang bertarung lagi dalam pilkada, namun kali ini sebagai wali kota. Berpasangan dengan calon wakil wali kota Nusyirwan Ismail, Syaharie Jaang memenangi pilkada yang digelar pada 12 Oktober 2010.
Akhirnya, untuk kali pertama, Syaharie Jaang menduduki jabatan wali kota (20102015). Kini, sejak dilantik pada 17 Februari 2016, untuk kedua kalinya Syaharie Jaang menduduki jabatan yang sama. Dengan demikian, empat kali sudah Syaharie Jaang mengikuti pilkada, dan semuanya sukses. Karena itu, nama Syaharie Jaang pun mulai dihubunghubungkan dengan pilkada kelima yang mungkin bakal diikutinya, kali ini untuk jabatan Gubernur Kalimantan Timur. Namun, Syaharie Jaang mengaku lebih memilih fokus untuk memimpin Kota Samarinda, yang masa bhaktinya baru berakhir pada 2021. “Fokus saya menyelesaikan periode kedua saya memimpin Kota Samarinda, dan ini, kan, baru berjalan setahun,” ujarnya. Wali Kota Berprestasi Pada periode kedua kepemimpinannya, Syaharie Jaang bertekad untuk membangun Samarinda menjadi kota metropolitan maju, bersih, dan religius berbasis industri. Syaharie Jaang menegaskan, Kota Samarinda telah melampaui beberapa tahap pembangunan penataan kota. Pada periode pertama kepemimpinannya sebagai wali kota, misalnya, jalan lingkungan yang sudah 80 persen mulus. Jalan-jalan gang sudah dicor, tidak ada lagi jalan yang becek. Di saat yang sama, taman-taman kota Volume XVI
JANUARI 2017
19
PROFIL mulai dibangun dan ditata, pusat-pusat perbelanjaan juga terus dikembangkan. Semua lampu kota pun menyala di malam hari. Bidang pendidikan dan kesehatan juga memperoleh prioritas. Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, misalnya, menjamin kesehatan warganya, dengan melibatkan puskesmas, rumah sakit pemerintah, bahkan RS swasta. Bahkan, kalau ada warganya yang harus dirawat di luar Kalimantan, Pemkot Samarinda bertindak sebagai fasilitatornya. “Saya berjuang untuk pembangunan Samarinda yang lebih maju. Saya selalu menerapkan pelayanan kesehatan yang mendekat ke masyarakat,” tandasnya. Tidak hanya itu, perhatian terhadap penyandang disabilitas juga menjadi prioritas bagi Syaharie Jaang. Sebagai contoh, banyak anak-anak penderita autis diberi program pendidikan khusus. Banyak anak-anak penyandang disabilitas diberi kesempatan untuk tetap bisa bekerja di perusahaan pribadinya, di antaranya usaha cuci motor dan laundry. Selain itu, ada 40 orang penyandang disabilitas diangkat menjadi pegawai di ruang lingkup Pemkot Samarinda. Bahkan, Pemkot Samarinda sampai memberikan beasiswa dan bantuan pendidikan kepada penyandang disabilitas hingga ke tingkat perguruan tinggi. Perhatian Syaharie Jaang pada bidang pendidikan juga diwujudkan melalui dukungannya terhadap kegiatan Gerakan Indonesia Membaca (GIM). Di Kota Samarinda, GIM diresmikan pada medio September 2016 ditandai dengan peresmian Kampung Literasi di Jalan Pramuka. Pada kesempatan tersebut, diluncurkan juga aksi PAKKALIS yang merupakan akronim dari Pembentukan Karakter dan Kemampuan Literasi Sekolah. Syaharie Jaang juga dikenal sebagai wali kota yang sangat peduli pada kebersihan lingkungan. Ia, misalnya, mendukung dan terlibat langsung pada kegiatan komunitas Gerakan Memungut Sehelai Sampah Sungai Karang Mumus atau GMSS-SKM. Bersama warga, Syaharie Jaang terlibat langsung dalam hampir setiap kegiatan kebersihan lingkungan. Terobosan lain yang dilakukan Syaharie Jaang adalah peluncuran layanan baru 20
Volume XVI JANUARI 2017
yang disebut “Syaharie Jaang”, singkatan dari “Smart Card Sistem Pelayanan Perizinan Satu Hari Selesai Dapat Langsung Dibawa Pulang”. Dengan inovasi baru ini, pembuat usaha dapat melakukan pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) hanya dalam waktu singkat. Dengan layanan baru ini, Penyelesaian TDP yang biasanya memakan waktu sampai satu minggu, kini bisa diselesaikan hanya dalam waktu 4-5 jam. Dengan beragam keberhasilannya dalam memimpin Kota Samarinda, wajar jika Syaharie Jaang banyak memperoleh perhargaan, termasuk dari pemerintah pusat. Di antaranya, penghargaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial (UPKS) Penyandang Disabilitas dari Menteri Sosial RI. Ia juga diberi penghargaan Upakarti Bidang UKM dari Presiden RI. Bersama 53 kepala daerah lainnya, Syaharie Jaang juga meraih Award Pendidikan dari Lembaga
Pengembangan dan Pemberdayaan Kepala Sekolah (LPPKS) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Pada Oktober 2016, Wali Kota Syaharie Jaang kembali mendapatkan penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Jaang diganjar Anugerah Kawastara Pawitra oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, sebagai kepala daerah berintegritas. Ia dinilai memiliki peran serta dan kinerja yang bagus dalam program penyiapan calon kepala sekolah tahun 2016. Kawastara Pawitra merupakan penghargaan yang diberikan kepada pemerintah daerah yang dianggap peduli terhadap program pelatihan kepala sekolah. D e n g a n b e r b a g a i p re s t a s i ny a tersebut, wajar jika kemudian masyarakat mendorong Syaharie Jaang terus mengabdikan dirinya untuk kemajuan masyarakat luas.
IKLIM
EDISI
Desember
INDONESIA HEADLINE
2016
[email protected]
Samakan Langkah Hadapi
Ancaman Perubahan Iklim
B
encana akibat perubahan iklim masih menjadi ancaman nyata bagi Indonesia. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam sebuah diskusi mengatakan bahwa sebanyak 97,1 persen bencana tahun 2016 selalu terkait cuaca atau meteorologi. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) bahwa bencana hidrometeorologi di Indonesia berpotensi meningkat pada 2017. Dalam seminar di Universitas Indonesia medio November, BMKG menyebutkan bahwa karena anomali cuaca dan kemarau basah hingga 2017, bencana banjir dan longsor diprediksi meningkat. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman dan kepemimpinan yang tegas dari pusat dan daerah dalam upaya peningkatan ketahanan terhadap dampak dan bencana perubahan iklim ini. Koordinasi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah juga harus ditingkatkan, terutama dari sisi kelengkapan, kehandalan dan aksesibilitas data dan informasi iklim. “Perubahan iklim merupakan isu lintas sektoral yang seharusnya mempengaruhi arah kebijakan,” ujar Selamet Daroyni, Koordinator Pengurus Indonesia Climate Alliance (ICA). Menurutnya lembaga-lembaga di tingkat pusat yang menjadi komando untuk isu perubahan iklim dan bencana serta dampak yang disebabkan olehnya harus memiliki satu suara. Hal ini kemudian diturunkan ke daerah dalam tataran teknis. Adanya satu komando yang jelas akan memperjelas arah kebijakan dan alokasi pendanaan yang efektif dan efisien. “Rencana pembangunan untuk pengendalian perubahan iklim akhirnya dapat meningkatkan ketangguhan masyarakat,” tambahnya. Guna mengarusutamakan isu perubahan iklim yang sudah memberikan dampak nyata bagi masyarakat, ICA bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempertemukan berbagai pemangku (Bersambung ke Hal. 4)
Nur Masripatin, Direktur Jenderal Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberikan kata sambutan dalam acara Pekan Perubahan Iklim 2016.
Volume XVI
JANUARI 2017
21
PEKAN PERUBAHAN IKLIM 2016
Lokakarya Gender dan Perubahan Iklim “Upaya Pengintegrasian Gender Dalam Membangun Ketangguhan Terhadap Perubahan Iklim” Jakarta, 28 November 2016
B
erbagai kajian tentang gender dan perubahan iklim menunjukkan bahwa perubahan iklim telah menimbulkan dampak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Women’s Environment and Development Organization (WEDO) mencatat bahwa terjadi perubahan dalam kerja produktif dan reproduktif perempuan akibat dampak perubahan iklim. Peningkatan pekerjaan produktif, potensi kehilangan mata pencaharian, akses air bersih yang semakin jauh, meningkatnya beban merawat anak-anak dan orang tua yang sakit, merupakan persoalan-persoalan yang cenderung dihadapi perempuan sebagai akibat dampak perubahan iklim. Sementara itu, risiko meninggalkan kampung halaman untuk mencari penghidupan yang lebih baik, umum terjadi pada laki-laki sebagai akibat dampak perubahan iklim. Lokakarya yang merupakan suatu rangkaian dari kegiatan Pekan Perubahan Iklim ini, diadakan pada tanggal 28 November 2016 di Menara Peninsula Hotel Jakarta. Beberapa narasumber yang ikut meramaikan lokakarya ini adalah: a) Ciput Purwianti (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak); b) Nila Ardhyarini H. Pratiwi (Urban Regional and Development Institute/URDI); c) Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan); d) Maya Rostanty (Pattiro). e) Irmia Fitryah (APIK). Kegiatan dimulai dengan pidato pembukaan oleh Selamet Daroyni (Ketua ICA) untuk menyambut para peserta dan menyampaikan tujuan dari lokakarya. Agus Hendardi (Wakil Ketua APIK) memperkenalkan program APIK dan kaitannya dengan peran gender dan perubahan iklim untuk mencapai Indonesia yang tangguh terhadap perubahan iklim. Lokakarya yang dihadiri oleh sekitar 45 orang peserta ini, menghasilkan beberapa poin kunci, di antaranya adalah: 1. KPPPA bekerjasama dengan APEKSI, PATTIRO, dan Mercy Corps Indonesia telah membuat Pedoman Teknis (modul) tentang Pengarusutamaan Gender terhadap Perubahan Iklim, yang salah satunya adalah Integrasi
22
2
Volume XVI JANUARI 2017
2.
3.
4.
5.
Gender dalam Penilaian Perencanaan untuk Perubahan Iklim. Pengarusutamaan gender ter hadap adaptasi perubahan iklim di Kota Cirebon lebih mudah untuk dilakukan ketimbang di Kabupaten Cirebon. Hal ini dipengaruhi dengan kemampuan individu, perilaku, kesadaran, dan budaya masyarakat untuk menentukan seberapa besar respon dari dampak perubahan iklim. Teritorialisasi tanah telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan iklim, karena penggunaan lahan yang berubah. Keseimbangan peran terhadap pengelolaan tanah dan lahan yang pro terhadap perempuan, akan menjamin ketahanan pemerataan pembangunan gender. Berdasarkan hasil penilaian di tiga provinsi: Jawa Timur, Sulawesi Tenggara dan Maluku, ditemukan bahwa ada yang belum memiliki peraturan tentang Pengarusutamaan Gender (PUG), di mana perempuan yang bekerja di sektor informal, sering tidak dicatat sebagai buruh/ tenaga kerja dan masih rendahnya akses perempuan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian adaptasi, termasuk akses ke proses perumusan kebijakan dan pendanaan. Mengintegrasikan adaptasi perubahan iklim yang responsif gender pada model perencanaan anggaran yang ada, sangat penting untuk dilakukan melalui identifikasi jenis kelamin, kegiatan-kegiatan gender yang bisa dilakukan dalam memenuhi kebutuhan praktis gender, tetapi juga untuk mengembangkan adaptasi perubahan iklim yang responsif gender.
Narasumber Lokakarya Gender: KPPPA, PATTIRO, URDI, Jurnal Perempuan dan APIK
PEKAN PERUBAHAN IKLIM 2016
Dialog Nasional “Membangun Ketangguhan Kota dan Adaptif Perubahan Iklim”
K
ebijakan dalam menghadapi perubahan iklim belum dipahami sepenuhnya oleh daerah. Kebijakan rendah emisi lebih baik dari aksi adaptasi dikarenakan sudah adanya Peraturan Presiden tentang Gas Rumah Kaca. Namun faktanya, pemerintah menghadapi banyak permasalahan dalam menghadapi fenomena dan dampak perubahan iklim, sehingga perlu diambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasinya. Tanpa kebijakan yang kuat, akan terus terjadi berbagai kendala yang dihadapi pemerintah daerah sebagai upaya untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim termasuk persoalan lainnya seperti koordinasi antar lembaga, lemahnya sumber daya dan lemahnya pemahaman masyarakat. Sebagai upaya untuk menghadapi persoalan ini, sejak tahun 2012, APEKSI telah menginisiasi dialog nasional yang merupakan dialog antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terkait pelaksanaan kebijakan dalam menghadapi dampak perubahan iklim di daerah. Namun dalam perjalanannya dialog nasional yang dibangun tersebut, belum menghasilkan kesepakatan yang konkrit dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi maupun tidak ada tindak lanjut dari rekomendasi yang disampaikan. Sangat disadari bahwa mekanisme dialog yang dibangun saat itu juga belum dibangun secara baik hingga ada mekanisme monitoring yang baik. Tahun ini dengan pelaksanaan Pekan Perubahan Iklim, maka dialog nasional direncanakan menjadi bagian dari kegiatan tersebut.
Jakarta, 30 November 2016 Kegiatan Dialog Nasional yang merupakan salah satu kegiatan dari rangkaian Pekan Perubahan Iklim ini diselenggarakan di Hotel Menara Peninsula Jakarta, dengan dihadiri lebih dari 30 orang peserta dari perwakilan pemerintah kota, perwakilan pemerintah pusat, lembaga pemerhati lingkungan, dan praktisi. Kegiatan yang mengusung tema “Membangun Ketangguhan Kota dan Adaptif Perubahan Iklim” ini, dihadiri oleh narasumber dari perwakilan pemerintah kota, di antaranya, Walikota Jambi, Kepala BLH Kota Balikpapan (mewakili Walikota), Kepala Dinas Persampahan Kota Sukabumi (mewakili Walikota), Ketua Pokja Perubahan Iklim APEKSI dan perwakilan kota lainnya. Di samping narasumber dari pemerintah kota, kegiatan Dialog Nasional ini juga menghadirkan narasumber dari pemerintah pusat, yang diwakili oleh Direktur Adaptasi Perubahan Iklim mewakili Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, dan Kepala Pusat Bidang Metropolitan, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah, mewakili Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pembahasan yang dilakukan antara lain tentang upayaupaya yang dilakukan pemerintah kota dalam membangun kebijakan mengenai ketangguhan kota dan upaya adaptif terhadap perubahan iklim, keberhasilan atau praktik yang telah dilakukan, faktor sukses dari keberhasilan tersebut, kendala dan tantangan yang dihadapi, dan rencana tindak lanjut atau rekomendasi untuk pelaksanaan upaya yang lebih baik. Sedangkan dari pemerintah pusat, pembahasan lebih terkait pada kebijakan pemerintah dalam pencapaian tujuan penurunan emisi, pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim agar bisa lebih efektif, sikap pemerintah terhadap langkah-langkah pemerintah daerah dalam pelaksanaan aksi penurunan emisi dan adaptasi perubahan iklim dalam koridor kebijakan yang jelas dan tepat, tentang tip dan trik dalam mensiasati kendala pendanaan program terkait dengan pencapaian ketangguhan kota dan adaptif perubahan iklim bagi pemerintah daerah, dan rencana tindak lanjut dalam pencapaian ketangguhan kota dan adaptasi yang lebih efektif. n
Narasumber Dialog Nasional: Walikota Jambi dan Direktur Adaptasi Perubahan Iklim – KLHK
Volume XVI
3
JANUARI 2017
23
Sesi Dialog Interaktif Kepala Daerah tentang “Konvergensi API-PRB”, dengan narasumber: Kepala Bappeda Kota Blitar, Walikota Balikpapan, dan Bupati Gorontalo.
Sesi Dialog Interaktif tentang “Kerangka Loss and Damage”, dengan narasumber: PKSPL-IPB, Kementerian Perikanan dan Kelautan, CCROM-IPB, dan Mercy Corps Indonesia.
(Lanjutan Hal. 1 - Samakan Langkah Hadapi...)
kepentingan, baik dari pemerintah, akademisi, pakar, dan publik. Selama dua hari, 1 sampai 2 Desember 2016, mereka akan berdiskusi dan berkoordinasi untuk mencari jalan keluar dalam peningkatan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Kegiatan ini merupakan acara puncak dari Pekan Perubahan Iklim 2016 yang dijalankan dari 21 November 2016 hingga 9 Desember 2016. Beberapa isu penting yang dibahas pada acara puncak itu adalah upaya pendekatan secara komprehensif antara pengurangan risiko bencana dengan adaptasi perubahan iklim, yang selama ini masih dijalankan dengan pendekatan yang belum cukup bersinergi satu sama lainnya. Penggunaan media alternatif untuk mengarusutamakan isu perubahan iklim di masyarakat. Upaya pemanfaatan teknologi buatan Indonesia untuk menghadapi krisis ekologi akibat perubahan iklim. “Rangkaian diskusi pada tanggal 1 dan 2 Desember ini juga membahas tentang banyaknya inisiatif adaptasi perubahan iklim dan penanggulangan risiko bencana yang dilakukan oleh banyak pihak, namun aksesibilitas modalitas dan pengetahuanserta kebermanfaatannyalebih lanjut masih terbatas karena belum terintegrasi,” kata Selamet. Untuk mengatasi hal tersebut, pengelolaan pengetahuan dapat membantu pertukaran dan terintegrasinya pembelajaran serta mempercepat proses pembangunan menuju masyarakat berketahanan iklim. Diharapkan melalui rangkaian kegiatan Pekan Perubahan Iklim 2016, masyarakat menjadi lebih mengerti tentang apa dan bagaimana dampak perubahan iklim sehingga muncul kesadaran untuk mempersiapkan diri. Selain itu, dari sisi pemangku kebijakan, kegiatan ini diharapkan bisa menjadi ruang koordinasi untuk menyamakan langkah dan membuat persiapan serta aksi yang lebih solid, terintegrasi dan terarah. n (Sumber: Tim Komunikasi ICA)
Budi Krisyanto, Ketua Pokja Perubahan Iklim APEKSI memberikan tanggapan terhadap paparan para narasumber.
24
Volume XVI JANUARI 2017
Selamat Daroyni, Koordinator Pengurus Indonesia Climate Alliance memberikan penjelasan singkat terkait dengan kegiatan Pekan Perubahan Iklim 2016
KOlom
Kontroversi Panjang UU Pemda Vs Otonomi Daerah
L
Oleh: H Mohamad Muraz, SH, MM
ahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kini menimbulkan polemik panjang. UU tersebut digugat para kepala daerah, baik bupati maupun wali kota, dan saat ini sedang diajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Kenapa? Karena, pasal-pasal yang tercantum dalam UU tersebut sangat bertentangan dengan UUD 1945. UU ini juga mencederai semangat reformasi untuk menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi atau otonomi seluasnya bagi daerah kabupaten dan kota. Kehadiran UU ini sangat kontradiktif. UU ini sangat bernuansa sentralistik dengan menarik-narik kembali kewenangan daerah, khususnya kabupaten/kota. Hal ini merupakan kemunduran jauh bagi langkah kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara di Bumi Pertiwi ini. Dan, sangat merugikan akan hadirnya layanan di tengah masyarakat yang sudah terbangun. Pakar otonomi daerah, Prof. Ryaas Rasyid, menyebut UU itu dinilai telah merenggut otonomi daerah serta mengingkari cita-cita reformasi. Karena, dengan hadirnya UU tersebut, otonomi daerah seluas-luasnya yang telah ditetapkan sejak era reformasi, kini justru kembali diatur oleh Pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak dapat bergerak mengembangkan pembangunan wilayahnya. Mereka jadi mati rasa dan ide, karena adanya pembatasan kewenangan dalam pengelolaan anggaran belanja daerah. Penerapan UU tersebut membatasi pemerintah daerah saat ini. Dampak selanjutnya, beragam permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat tidak dapat diselesaikan secara mandiri. Padahal, maksud dari otonomi daerah yang diusulkannya pada zaman reformasi dulu adalah untuk memeratakan pembangunan, membangun kemandirian daerah, dan mendekatkan layanan kepada masyarakat. UU Nomor 23 Tahun 2014 merupakan perubahan dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang sebelumnya daerah dapat mengambil keputusan langsung, kini diklasifikasi masuk sebagai urusan pemerintahan pusat.
Tetapi, kini permasalahan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena anggaran hingga perizinan dibatasi oleh pemerintah pusat. Padahal, hakikat otonomi itu menjadikan masyarakat yang sadar demokrasi sehingga menciptakan civil society. Tapi kenapa sekarang justru membatasi daerah untuk mengembangkan diri. Dr. Indra Per wira, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran, menyebut kehadiran UU 23 Tahun 2014 ini sangat tidak logis dan merupakan kemunduran bangsa ini dalam kehidupan berdemokrasi. Ibaratnya menghidupkan kembali sosok zombi yang menyeramkan. Bagaimana tidak? S etelah k ita meninggalkan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang bernuansa sentralistik, dengan menerbitkan UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 yang bernuansa otonomi daerah, kemudian kita kembali lagi ke “semangat” UU Nomor 5/1974 yang telah kita kubur lama tersebut. Dengan pemberlakuan UU 23 Tahun 2014, jika dipaksakan, tak sedikit rakyat, aparat pemerintah di daerah, bahkan beberapa wali kota dan bupati, sudah mulai berteriak lantaran sangat merugikan masyarakat secara umum di daerah. Salah satu contoh adalah pengusaha galian pasir di sejumlah kabupaten. Para pengelola galian pasir berteriak karena merasa dipingpong saat mengurus perizinan. Lantaran UU itu, izin tersebut di kabupaten tidak bisa diberikan dan harus ke provinsi. Sementara, dinas di provinsi belum siap dan melempar pengusaha kecil tersebut ke kabupaten lagi. Kasihan pengusaha kecil yang modal dan keuntungannya tak seberapa dipingpong seperti itu. Hal serupa, juga terjadi di Kota Sukabumi. Namun, akibat negatif UU 23 tahun 2014 ini terjadi di sektor pendidikan. Lantaran UU tersebut mengamanatkan bahwa sektor pendidikan untuk Sekolah Menengah Umum dan sederajat kini diambil alih ke tingkat provinsi, maka dampak sekolah gratis dan berbagai fasilitas gratis yang selama ini telah diberikan otomatis tidak ada lagi. Sebab, semua fasilitas gratis yang bersumber dari APBD Kota Sukabumi tidak dapat diberikan lagi. Akibatnya lagi, beberapa orang tua murid banyak yang protes dan mengeluh kepada Volume XVI
JANUARI 2017
25
KOlom Pemkot Sukabumi. Bandul otonomi daerah yang selalu bergeser dari desentralisasi ke arah sentralisasi, kemudian kembali ke desentralisasi seolah tak pernah berhenti untuk trail and error. Dalam ilmu hukum tata negara, secara umum selalu dikatakan bahwa perbedaan utama antara negara federal dengan unitarian bahwa dalam negara federal, seluruh urusan pemerintahan awalnya merupakan kewenangan negara bagian. Kemudian, berdasarkan kesepakatan, maka beberapa urusan pemerintahan diserahkan kepada dan untuk menjadi kewenangan negara federal. Sedangkan, pada negara unitarian/kesatuan adalah sebaliknya, bahwa semua urusan pemerintahan awalnya kewenangan pemerintah pusat kemudian sebagian urusan diserahkan kepada dan untuk menjadi kewenangan pemerintah daerah. Dengan kata lain, urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah adalah tergantung kebijakan dan kebaikan pemerintah pusat. Apakah demikian halnya dengan NKRI? Ternyata para pendiri negara kita sangat paham tentang keragaman budaya dan bentuk pemerintahan yang telah ada sebelum terbentuk NKRI. Hal ini terbukti dengan bijaksana ditetapkanlah Pasal 18 UUD 1945 sebagai landasan otonomi daerah berdasarkan pembagian kewenangan urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Otonomi daerah yang dimaksud dalam Pasal 18 UU 1945 adalah desentralisasi, sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Bagir Manan di dalam Risalah Tim Perumus Perubahan UUD 45 sebagai berikut: “…. Mengenai desentralisasi saya selalu mengartikan
26
Volume XVI JANUARI 2017
desentralisasi adalah otonomi Pak, jadi saya agak berbeda dengan pandangan misalnya beberapa buku yang menyatakan desentralisasi itu mengenai dekonsentrasi. Bagi saya dekonsentrasi itu ya sentralisasi yang dilunakkan istilah saya, dalam disertasi saya 10 tahun yang lalu saya katakan dekonsentrasi adalah sentralisasi yang dilunakkan. Jadi dia bagian dari sentralisasi, gitu ya.... Jadi, kalau orang akan bicara otonomi tapi bukan negara kesatuan, itu suatu hal yang bertentangan dengan sistemnya sendiri, sebab otonomi itu subsistem dari negara kesatuan, merupakan salah satu mekanisme dari negara kesatuan. Jadi, menurut paham saya …” (dikutip dari naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Latar belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku IV, Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid II, Edisi Revisi, Sekjen dan Kepaniteraan MK, halaman 1127). Pasal 18 (5) UUD 45 menyebutkan, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal tersebut dikenal juga sebagai teori residu dalam prinsip otonomi daerah, yaitu pemerintah daerah melaksanakan semua urusan pemerintahan kecuali yang telah ditetapkan oleh UU. Teori residu atau teori sisa sebenarnya telah dimuat dalam UU tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Pasal & ayat (1) UU No.22 Tahun 1999 juga dalam Pasal 10 ayat (1), (2), dan (3) UU No.32 Tahun 2004. Menurut pandangan penulis, UU Nomor 23 Tahun 2014
KOlom cassing-nya masih menyebut prinsip-prinsip otonomi daerah, namun isinya sudah bergeser lebih ke sentralisasi. Dalam UU ini, kekuasaan pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu, pertama, urusan pemerintahan absolut merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kedua, urusan pemerintahan pusat merupakan kewenangan pemerintah pusat, yaitu kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Dan, ketiga, urusan pemerintahan konkuren di mana pemerintah pusat membagi kewenangannya dengan provinsi, kota, dan kabupaten. Jadi, pada dasarnya seluruh urusan pemerintahan merupakan kewenangan pemerintah pusat, dan daerah melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan pemberian/kebaikan pemerintah pusat, yang berasal dari sebagian urusan pemerintahan konkuren yang diberikan. UUD 45 Pasal 18 ayat (1) dan (2) secara tegas menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan kabupaten/kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal 18 ayat (5) UUD 45 juga menyebutkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Dari uraian tersebut, nampak jelas bahwa UU Nomor 23 Tahun 2014 telah bertentangan dengan Pasal 18 UUD 45, bahkan telah membalikkan prinsip Pasal 18 ayat (5) UUD 45. Dari kalimat “Pemerintah daerah melaksanakan otonomi seluasluasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat” menjadi “pemerintah pusat menjalankan semua urusan pemerintahan seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang atas kebaikan pemerintah pusat diberikan kewenangannya kepada pemerintah daerah.” Pengaturan pada Pasal 9, 11, 12, 13, 15, 16, 17, dan 21 UU Nomor 23 Tahun 2014 telah mengubah otonomi seluas-luasnya sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 UUD 45 menjadi otonomi yang terbatas. Selain bertentangan dengan UUD 1945, menurut pendapat penulis, UU Nomor 23 Tahun 2014 ini juga telah mengkhianati kesepakatan pergerakan reformasi yang meminta dilaksanakannya pemerintahan yang baik, transparan, demokratis, dan akuntabel serta titik berat otonomi daerah pada kota dan kabupaten. Selain itu, selalu terungkap bahwa bergesernya desentralisasi ke arah sentralisasi, salah satunya dikarenakan isu para wali kota/bupati sudah menjadi raja-raja kecil di daerah. Isu ini sangat tidak beralasan. Justru raja-raja kecil di daerah itu muncul pada era Orde Baru saat berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1974. Saat itu, bupati dan wali kota adalah penguasa tunggal di daerah, selain sebagai kepala daerah juga sebagai kepala wilayah, yaitu sebagai wakil pemerintah pusat (Presiden) di daerah. Dengan kedudukan seperti itu, jangankan rakyat biasa, bahkan instansi vertikal yang ada di daerah, termasuk Muspida, segan terhadap bupati/wali kota. Di era otonomi daerah sekarang ini justru sebaliknya, kepala daerah menjadi sorotan semua pihak. Mungkin saja terjadi para bupati/wali kota kurang
memperhatikan undangan dari aparat pemerintah yang lebih tinggi karena mereka lebih memperhatikan pelayanan kepada masyarakat dan konstituennya. Apakah karena hal seperti ini dapat disebutkan sebagai rajaraja kecil di daerah? Banyaknya kepala daerah yang tersandung tindak pidana korupsi menunjukkan fungsi pembinaan dan pengawasan dari pemerintah yang lebih tinggi kurang berjalan sebagaimana mestinya. Bahkan, aturan-aturan yang terus berubah kadang saling bertentangan dan kurangnya sosialisasi seringkali menjebak aparat di daerah dan para kepala daerah. Apabila judicial review ini pemerintah daerah dinyatakan kalah, maka urusan-urusan pemerintah daerah ini akan beralih: 1. Pengelolaan SMA dan SMK termasuk P3D-nya beralih ke pemerintah provinsi. 2. Izin pendidikan menengah dan khusus ke pemerintah provinsi. 3. Izin usaha kecil obat tradisional ke pemerintah provinsi. 4. Penyelenggaraan pemetaan rawan kebakaran ke pemerintah provinsi. 5. Penyelenggaraan pengawasan ketenagakerjaan ke pemerintah provinsi. 6. Pengelolaan terminal penumpang tipe A oleh pemerintah pusat, tipe B oleh pemerintah provinsi, tipe C (Angkot) oleh pemerintah kota/kabupaten. 7. Pengelolaan ruang laut sampai dengan 12 mil dan izin pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi ke pemerintah provinsi. 8. Pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil ke pemerintah provinsi. 9. Pengelolaan hutan hanya ke pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. 10. Izin usaha pertambangan termasuk izin pertambangan rakyat hanya oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Penulis: Wali Kota Sukabumi Volume XVI
JANUARI 2017
27
INFO APEKSI
Menyiasati Pendanaan Infrastruktur Perkotaan
Kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia masih tertinggal. Di tengah keterbatasan anggaran dari pemerintah, diperlukan adanya terobosan untuk mencari pendanaan bagi pembangunan infrastruktur perkotaan.
28
Volume XVI JANUARI 2017
B
ertempat di Hotel Santika Premiere Slipi Jakarta, 29 November 2016, Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) menggelar Rapat Kerja Teknis (Rakernis) dengan tema “Menyiasati Pendanaan Infrastruktur Perkotaan”. Penyelanggaraan Rakernis dilatarbelakangi kondisi infrastruktur perkotaan di Indonesia yang masih tertinggal, terutama jika dibandingkan dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk perkotaan yang demikian tinggi. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur perkotaan menjadi keniscayaan. Sayangnya, pemerintah pusat dan daerah sangat terbatas anggarannya. Anggaran daerah, baik yang berasal dari sumber daerah maupun dana transfer dari pemerintah pusat, tidak mencukupi kebutuhan pembiayaan anggaran pembangunan infrastruktur perkotaan. Melalui Rakernis ini, diharapkan ada terobosan baru untuk mencari sumber-
sumber alternatif pendanaan bagi pembangunan infrastruktur perkotaan di daerah. Rakernis diikuti perwakilan dari beberapa perwakilan pemerintah kota. Ada empat nara sumber diundang untuk mengikuti diskusi panel dalam Rakernis ini. Mereka adalah Direktur Evaluasi Pengelolaan dan Informasi Keuangan Daerah Kementerian Keuangan Ria Sartika Azahari; Direktur Fasilitasi KDH dan DPRD Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik; Wismanto Bimam Kusumaedi, Kepala Divisi Pembayaran Pemda dan Instansi Pemerintah PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI); dan pakar smart city Suhono Supangkat. Rakernis dibuka oleh Direktur Eksekutif/Sekretaris APEKSI Sarimun Hadisaputra mewakili Ketua Dewan Pengurus APEKSI Airin Rachmi Diany. Public Private Partnership Dalam diskusi panel, Akmal Malik yang tampil pertama membawakan materi berjudul “Optimalisasi Pelayanan
INFO APEKSI Pemerintah Daerah dalam Menjalankan Kewenangan Infrastruktur Daerah”. Akmal Malik mengawali pemaparannya dengan menegaskan tujuan otonomi daerah. Dari sisi administrasi, menurutnya, tujuan otonomi daerah adalah untuk memperpendek rentang pelayanan dan menghadirkan pemerintahan yang lebih responsif dan akuntabel. Dari sisi politik, lanjutnya, tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kualitas dan mempercepat demokratisasi di daerah. “Di samping itu, juga untuk meningkatkan partisipasi dalam pemerintahan daerah,” ujar Akmal Malik. Dia kemudian menyoroti kondisi infrastruktur di daerah. Menurutnya, kondisi infrastruktur daerah di Indonesia memang masih berada di urutan bawah. Ad a k e t i m p a n g a n p e m b a n g u n a n infrastruktur antar kawan, yang secara umum masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Menurut Akmal Malik ada lima permasalahan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pertama, kurangnya koordinasi terkait pendistribusian kewenangan dan pengambil keputusan. Kedua, ketidaksesuaian perencanaan pendanaan dengan kebutuhan implementasi. Ketiga, sulitnya proses pengadaan dan pembebasan lahan. Keempat, kurang memadainya kapasitas Kementerian/ Lembaga dan/atau Penanggung jawab Proyek dalam penyediaan infrastruktur terutama yang dilaksanakan dengan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Dan, kelima, lambatnya proses penyusunan peraturan dan keberadaan peraturan yang tumpang tindih. Untuk mengatasi keterbatasan anggaran dalam pembangunan infrastruktur perkotaan, Akmal Malik menyarankan melalui skema kerja sama pemerintah daerah dengan swasta. Skema ini sebenarnya telah diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang telah beberapa kali diubah, dan perubahan terakhir melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2013. Yang dimaksud dalam Perpres ini adalah Kemitraan Pemerintah Swasta
(KPS) atau disebut juga Public Private Partnership (PPP). “Ini merupakan paradigma publicgovernance baru untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, juga sebagai instrumen untuk membina privatisasi fungsi pemerintah melalui delegasi dari ketentuan pelayanan publik, terutama yang berbasis infrastruktur,” ujarnya. Sementara itu, Ria Sartika Azahari yang membawakan materi berjudul “Implementasi Kebijakan Anggaran untuk Mendukung Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perkotaan”, menyoroti tiga permasalahan pokok yang dihadapi perkotaan. Yaitu, pertumbuhan penduduk tinggi, pelayanan infrastruktur rendah, dan penggunaan lahan yang tidak efisien. Karena itu, menurutnya, baik di kota metropolitan, kota besar, kota sedang, maupun kota kecil, tingkat kebutuhan pembangunan infrastruktur sangat tinggi. “Untuk itu, memang diperlukan perbaikan regulasi, terobosan kebijakan, dan pendanaan alternatif,” ujar Ria Sartika Azahari. Senada dengan Akmal Malik, mengingat anggaran pemerintah terbatas, salah satu terobosan yang disarankan Ria Sartika Azahari adalah Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP). “Bisa juga melalui skema pembiayaan pembangunan infrastruktur atau melalui bank infrastruktur,” imbuhnya. Menjadi pembicara ketiga, Wismanto Bimam Kusumaedi, menjelaskan soal
faktor utama pendorong penguatan pendanaan pembangunan infrastruktur di daerah. Ketiga faktor utama tersebut adalah kapasitas fiskal, iklim investasi, dan kesiapan sumber daya manusia (SDM). Ia kemudian menjelaskan sumbersumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur di daerah. Menurutnya, sumber pendanaan bisa diperoleh dari APBD maupun di luar APBD. Dari APBD setidaknya ada 10 pos pendanaan, mulai DAU, DBH, DAK, dana cadangan, jual aset daerah, hibah, pinjaman daerah, obligasi daerah, KPBU Availability Payment (AP), dan PAD. Sedangkan, dari non-APBD bisa ada tiga sumber pendanaan, yaitu dari BUMD, KPBU Non-AP, dan Kompensasi Pihak Ketiga. Lebih lanjut, ia menjelaskan peran PT SMI sebagai pendana alternatif pembangunan infrastruktur di daerah. S etidak nya ada skema yang bisa diperankan PT SMI dalam mendukung pembangunan infrastruktur di daerah. Yaitu, melalui skema pinjaman daerah, pembentukan BUMD, KPBU, dan Obligasi Daerah. “Sayang, belum banyak pemda yang memanfaatkan pendanaan dari PT SMI,” ujarnya. Usai diskusi panel dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Dari diskusi kelompok ini dirumuskan dua rekomendasi, yaitu Rekomendasi tentang Sumber Pendanaan Infrastruktur Daerah dan Rekomendasi tentang Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan untuk Menwujudkan Sustainable Development Goals (SGDs). Volume XVI
JANUARI 2017
29
INFO APEKSI
Inovasi Membangun Kota Cerdas
G
Suasana Focus Group Discussion (FGD) di Kota Bandung.
Konsep kota cerdas (smart city) menjadi alternatif untuk mengatasi berbagai permasalahan perkotaan yang berkembang di Indonesia. Inovasi menjadi salah satu prasyaratnya.
30
Volume XVI JANUARI 2017
una mencari solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan perkotaan di Indonesia, awal Desember 2016 d i g e l a r fo cus group discussion (FGD) dengan tema “Inovasi, TKDN, Standarisasi Smart City”. FGD yang berlangsung di Gedung CSCR Komplek Institut Teknologi Bandung (ITB) ini diselenggarakan pleh LKiP ITB bekerja sama dengan Smart City and Community Innovation Center (SCCIC). Dalam FDG yang diikuti para pemangku perkotaan dari seluruh Indonesia ini, tampil sebagai pembicara Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang juga Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany. FGD juga menampilkan pembicara beberapa lembaga yang berkaitan dengan pengembangan konsep kota cerdas, seperti dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, ITB, PT Telkomsel, dan PT Lintasartha. Sebagai penyelenggara, SCCIC menyajikan materi “Frameworks dan Standard Smart City di Indonesia”. Dalam
paparan awal, dijelaskan sejumlah arah kebijakan pembangunan perkotaan, di antaranya pengembangan kota cerdas yang berdaya saing berbasis teknologi dan budaya lokal. Di dalamnya ada tiga pilar, yaitu, pertama, mengembangkan perekonomian dengan membangun pencitraan kota (city branding) yang mendukung pencitraan bangsa (nation branding). Kedua, menyediakan infrastruktur dan pelayanan publik melalui penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Dan, ketiga, membangun kapasitas masyarakat yang inovatif, kreatif dan produktif. Dengan demikian, apa yang dimaksud kota cerdas bukan sekadar bagaimana mangadopsi teknologi. Kota cerdas adalah kota yang dapat mengelola berbagai sumber daya (alam, manusia, waktu dll) yang ada untuk digunakan secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya sehingga dapat hidup aman, nyaman, dan berkelanjutan. Selanjutnya disebutk an bahwa kota cerdas setidaknya memiliki tiga karakteristik, yaitu responsif, inovatif, dan kompetitif. Dengan tiga karakteristik tersebut, kota cerdas diandaik an cepat tanggap terhadap penanganan permasalahan kota. Selain itu, juga memiliki kemampuan untuk menerapkan kreativitas dalam rangka pemecahan masalah dan menemukan peluang. Dan, terakhir, berdaya saing dalam skala nasional. Airin Rachmi Diany, dalam paparannya menjelaskan, sudah banyak pemerintah kota (pemkot) di I ndonesia yang mengadopsi konsep kota cerdas. Namun, dalam implementasinya pengembangan kota cerdas di Indonesia memang masih berbeda-beda. Karena itu, Airin setuju jika ada standarisasi dalam pengembangan kota cerdas.
INFO APEKSI
Kota Padang, Membangun Kota Sehat
Kota Padang pada 2 Nopember 2016 lalu menyelenggarakan hajatan skala nasional. Kota ini kedatangan banyak tamu dari berbagai daerah, untuk mengikuti acara Healthy City Conference and Expo 2016 yang ke 4, konferensi dan pameran kota sehat se-Indonesia.
I
ni kesempatan bagi Kota Padang untuk mempromosikan d i r i nya s e b a g a i k o t a w i s at a dan perdagangan. Pesan itulah setidaknya yang ingin ditegaskan pada para tamu yang datang. Acara berlangsung selama dua hari 2-3 Nopember 2016, di Hotel Inna Muara, Kota Padang. Pameran pembangunan Kota Sehat atau Healthy City Conference and Expo (IHCC & Expo) 2016 kali ini mengusung tema besar mengintegrasikan kota sehat dan kota pintar “Integrating Healthy City To Smart City”. Menteri Kesehatan sedianya memberikan kata sambutan pembukaan acara terebut, namun karena berhalangan hadir digantikan Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Imran Agus Nurali. Dan acara itu dibuka
Wakil Gubenur Sumatera Barat. Hadiri kurang lebih 300 peserta dari pemerintah kota dan 35 stand pameran terkait indsutri kesehatan. Peserta yang hadir dari berbagai latar belakang dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Banten, Dinas Kesehatan Kota Padang, Puskesmas Kota Padang, Pemerintah Kota Malang, Semarang, Tegal. Sementara dari Pemerintah Kabupaten Bangka Barat, Rembang, Temanggung. Serta dari Bappeda, Forum Kota Sehat, Forum Kabupaten Sehat, peserta dari dokter dan rumah sakit, industri kesehatan, dan industri lingkungan. Wa l i K o t a P a d a n g , M a h y e l d i Ansharullah dalam sambutannya mengatakan acara ini bertujuan untuk
menginformasikan teknologi komunikasi dan informasi untuk layanan e-healhty, menumbuhkembangkan hidup sehat masyarakat kota, mempromosikan produkproduk kesehatan dan mewujudkan kota sehat dan pintar yang ramah lingkungan. Mahyeldi juga menyampaikan apreasiasi k e e - Pu s k e s m a s y a n g s e d a n g d i Implementasikan di Kota Padang. Tak ketinggalan event seperti itu bisa melahirkan gagasan-gagasan baru tentang upaya membangun kota sehat dan kota pintar di Indonesia. Selain konferensi, lanjutnya, juga akan diadakan pameran kota sehat sebagai sarana informasi dan penyebarluasan hasil-hasil pembangunan kota sehat. Nara sumber yang hadir anatara lain Walikota Kuching Utara Y.Bhg. Datuk Haji Abang Abdul Wahap Bin Haji Abang Julai dengan memaparkan “KuchingHealthy CityThrough CBS Plan (CBS stand for Clean, BeatifuL and Safe)”. Ini lebih memberi gambaran bagaimana pemerintah kota di Malaysia itu menata kota yang sehat dan pintar. Sementara masalah smart city tampil pembicara Suhono H. Supangkat, Guru Besar ITB dengan pemaparan materi “Ehealth, Untuk Kinerja Layanan Kesehatan Yang Lebih Baik”. Suhono menjelaskan acara ini juga bertujuan melahirkan gagasan-gagasan baru tentang upaya membangun kota sehat dan kota pintar di Indonesia, semua kota dan kabupaten menjadi kota sehat kota pintar yang saling terintegrasi. Kegiatan Konferensi dan Pameran yg menampilkan aktivitas Kota sehat di setiap Kabupaten dan Kota. Pemerintah kota Padang melalui ePuskesmas melalui PT Telkom mengambil bagian dari rangkaian kegiatan tersebut yaitu expo melalui Stand Telkom dan sebagai narasumber di Konferensi hari kedua yang disampaikan oleh team Infokes. Volume XVI
JANUARI 2017
31
INFO APEKSI
Dicari, Agenda Baru Perkotaan Kota-kota di dunia, termasuk di Indonesia, terus tumbuh dan berkembang semakin pesat. Namun, arahnya belum jelas benar. Kini, sedang dicari agenda baru pengembangan wilayah dan perkotaan dalam skala global.
32
Volume XVI JANUARI 2017
M
engambil tempat di Bali, awal November 2016, Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyelenggarakan Diseminasi Implementasi Agenda Baru Global dan Nasional dalam Pengembangan Wilayah dan Perkotaan di Indonesia. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan dari Kementerian, Lembaga, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, Akademisi, NGOs, dan Asosiasi. Kegiatan ini bertujuan mencari rumusan pendekatan baru dan rencana
aksi bersama di dalam pengembangan wilayah dan perkotaan berkelanjutan di Indonesia yang sesuai dengan perkembangan global dan regional. Ber tindak sebagai keynote speaker adalah Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian PUPR Rido Matari Ichwan. Diseminasi dilaksanakan dengan menggelar diskusi panel yang dibagi ke dalam beberapa sesi. Sesi pertama bertopik “Kondisi dan Tantangan Global di dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, dengan nara sumber, antara lain Bruno Dercon (UN Habitat) yang membawakan materi berjudul “Peran UN Habitat dalam Pengembangan
INFO APEKSI
Wilayah dan Perkotaan secara Global serta Regional; Djoko Kirmanto (Menteri PU 2004-2014) menyampaikan materi berjudul “Implementasi SDGs dalam Mewujudkan Keterpaduan Wilayah dan Kota yang Berkelanjutan”; dan Imam S Ernawi (Kemitraan Habitat) menyampaikan materi berjudul “Panduan Internasional untuk Perencanaan Wilayah dan Kota Berkelanjutan”. Kemudian, sesi kedua membahas topik “Rekomendasi Rencana Aksi Agenda Baru Pengembangan Wilayah dan Perkotaan di Indonesia”. Nara sumber sesi kedua adalah Wicaksono Sarosa (Kemitraan Habitat), yang membawakan materi berjudul “Aksi Bersama Mewujudkan Pembangunan Wilayah dan Kota Berkelanjutan melalui Kemitraan” dan George Soraya (World Bank) menyampaikan materi berjudul “Financing Alternative to Support Urban and Regional Development in Indonesia”. Dalam paparannya, Rido Matari Ichwan dari Kementerian PUPR menegaskan, setidaknya ada empat tantangan pembangunan nasional saat ini. Pertama, mengembangkan infrastruktur untuk meningkatkan kualitas hidup di perkotaan maupun perdesaan dan merespon tingginya urbanisasi. Kedua, kebutuhan untuk mengembangkan infrastruktur menuju keseimbangan antarwilayah. Ketiga, meningkatkan konektivitas antardaerah
melalui darat, laut, maupun udara untuk meningkatkan daya saing nasional. Dan, keempat, pemanfaatan sumber daya dan peningkatan nilai tambah untuk mencapai ketahanan air serta kedaulatan pangan dan energi menuju pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Ia kemudian mengaitkan keempat tantangan tersebut dengan agenda global, yaitu Sustainable Development Goals, New Urban Agenda Habitat III, International Guidelines on Urban and Territorial Planning, dan Hari Kota Dunia.
Berkaitan dengan adanya tantangan pembangunan dan agenda global tersebut, Rido Matari Ichwan menegaskan bahwa perencanaan dan pembangunan perkotaan dan wilayah harus dibuat secara inklusif. Pembangunan juga harus melibatkan seluruh stakeholders, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta, Perguruan Tinggi, dan LSM. “Selain itu, juga harus menggunakan multi sumber pendanaan, k arena anggaran dari pemerintah sendiri terbatas,” ujarnya. Volume XVI
JANUARI 2017
33
INFO APEKSI
Lamban Penyerapan Dana Hibah Sanitasi
I
Pemerintah daerah lamban menyerap dana hibah sanitasi dari Indonesia Infrastructure Initiative (IndII). Dana hibah sebesar Rp 404 miliar, baru terserap Rp 10,3 miliar. Dari total target 56 juta sambungan, baru terpakai 12.5 juta sambungan atau 27 persen. Program hibah sanitasi yang dimulai 2014 lalu lamban dimanfaatkan pemerintah daerah.
nilah yang menjadi kekhawatiran pemerintah pusat. Bagaimana mensukseskan komitmen Indonesia bebas akses sanitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Meski Komitmen itu sudah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, di sisi lain pemerintah pusat juga menghadapi 34
Volume XVI JANUARI 2017
kendala pendanaan. Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) yang bermitra dengan Pemerintah Indonesia, menyelenggarakan Dialog Tingkat Tinggi mengenai program sanitasi bersama delapan walikota dan bupati di Indonesia. Acara itu dikemas dalam HighLevel Dialogue & Workshop “Program sAIIG Mendukung Peran Pemerintah Daerah
Mewujudkan Pencapaian Target SDGs di Sektor Sanitasi”, yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta, 29/11/2016. Pemerintah daerah yang hadir seperti Pemerintah Kota Palembang, Pemerintah Kota Makassar, Pemerintah Kota Bandung, Pemerintah Kota Surakarta, Pemerintah Kota Serang, Pemerintah Kota Banjarmasin, dan Pemerintah Kota Medan. Dialog itu menghadirkan Deputi Pengembangan Regional Bappenas, Arifin Rudiyanto; Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dwityo Akoro Soeranto; serta Minister Counsellor for Economic, Infrastructure and Governance, Kedutaan Besar Australia, Steven Barraclough. Dialog itu membahas program sanitasi Kemitraan Australia – Indonesia dan rencana program sanitasi masa depan yang dapat mendukung pemerintah daerah mampu membantu pemerintah pusat meraih target universal untuk menyediakan 100% akses sanitasi kepada masyarakat. Target pemerintah pusat pada tahun 2019, Indonesia bebas akses sanitasi yang sehat, namun kenyataannya banyak pemerintah daerah yang lambat menyerap dana hibah sanitasi dari Indonesia Infrastructure Initiative (IndII). Direktur Keterpaduan Infrastruktur Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dwityo Akoro Soeranto mengungkapkan program dana hibah sanitasi yang dimulai tahun 2014 diikuti 38 kabupaten/kota, namun hingga kini hanya 23 kabupaten/ kota yang melaksanakan konstruksi pembangunan instalasi penyambungan rumah. Pendanaan Sanitasi yang dilakukan melalui Indonesia Infrastructure Initiative (IndII) memakai mekanisme hibah berbasis hasil yaitu Hibah Infrastruktur Australia-
INFO APEKSI lndonesia untuk sanitasi (sAIIG). Namun di lapangannya banyak menemui masalah. Seperti minimnya komitmen kabupaten/ kota melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), masalah sosial yang dihadapi, hingga sarana dan prasarana yang tidak memadai. Dwityo Akoro Soeranto menegaskan pelaksanaan program ini harus menjadi p e m b e l a j a r a n u n t u k p e rc e p a t a n peningkatan akses dalam mendukung 100 persen sanitasi layak pada 2019. Untuk itu, ia mengajak seluruh pihak agar berkolaborasi, baik itu bupati, wali kota dan jajaran staf di dinas terkait supaya meningkatkan program. S a l a h s at u nya a d a l a h d e n g a n meningkatkan pendanaan APBD untuk menyediakan sanitasi yang layak.“Harapan kami, dengan kegiatan ini terjadi dialog antara Indonesia-Australia dan pemda dalam melakukan evaluasi kebijakan dan implementasi program sAIIG agar dilaksanakan dengan baik dan memenuhi target yang ditetapkan,” kata Dwityo. Pemerintah Australia, telah memberikan dana hibah sebesar Rp 404 miliar. Dana tersebut dapat digunakan bagi daerah untuk program sanitasi seperti sambungan rumah, yang akan terhubung ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Sambungan ke rumahnya, jadi sistem itu mulai dari rumah masuk ke main hole, nanti dibawa ke IPAL. Setelah diolah di IPAL, dan memenuhi baru mutu badan air yang menerima, baru dibuang. Jadi sistem IPAL itu sudah ada, jadi tinggal nyambung. Tapi saat ini, misalnya IPAL itu kapasitasnya 2.000 sambungan, tapi sambungannya sekarang baru 500, kan sayang IPAL-nya. Maka itu, dengan hibah ini maka dapat dibuat sambungan. Dirinya juga menjelaskan, Pemerintah Australia yang telah memberikan bantuan sejak tahun 2014 ini masih belum digunakan secara maksimal. Tercatat, dari dana sebesar Rp 400 miliar untuk sanitasi tersebut, baru sekitar 2,5% atau sekitar Rp 65 miliar yang baru dicairkan. Metode pemberian hibahnya sendiri, adalah dengan sistem reimburse, dimana pemerintah daerah harus membuat sambungan ke rumah terlebih dahulu
sesuai standar yang ditetapkan, baru dana hibah itu bisa dicairkan. Untuk mengoptimalkan dana yang tersisa itu, dibutuhkan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengikuti program ini. Agar bisa diganti pembangunan sambungan rumah ini, Pemda harus memenuhi syarat standarnya di PU. Jadi tidak bisa sembarangan bangun. Dari dana tersebut, pemerintah daerah (Pemda) dapat membangun sanitasi berupa sambungan rumah (SR) yang terhubung pada Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang telah ada. Dalam setiap SR-nya, Pemda diberi jatah sebesar Rp 4 juta/SR. Dari pemberian dana hibah tersebut, sejumlah pemda mengaku merasa terbantu dengan dana hibah itu. Namun, mereka juga berharap supaya dana bantuan per SR itu dinaikan lebih dari Rp 4 juta. Wali Kota Banjarmasin, Ibnu Sina yang hadir dalam acara itu mengatakan program ini sangat penting bagi pemerintah kota dalam menunjang akses sanitasi, dengan APBD yang sangat terbatas. “Kami berharap program ini dapat diteruskan,” terangnya. Terkait pembangunan sambungan ke rumah, Ibnu Sina menambahkan
selama ini mendapatkan reimburse itu antara Rp 3,5 juta sampai Rp 4 juta /SR. Namun biaya yang perlukan di daerah untuk membangun, bukan hanya membangun pipa, tapi mengganti septic tank juga. “Makanya kami berharap dalam kesempatan ini ada tambahan angka sebesar Rp 12 juta,” tambahnya. Hal senada juga diungkapkan Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, yang menghadapi masalah serupa. Dana bantuan sebesar RP 4 juta per SR masih dirasa kurang. Kenyataan pembangunan di lapangan pembuatan SR, melebihi dana bantuan yang diberikan. Seper ti diungkapkan Wali Kota Banjarmasin, kondisi di lapangan biaya pembangunan melebih dana hibah yang diberikan per SR. “Jadi mohon angkanya dinaikkan. Dan untuk verifikasi, harus disepakati apa saja kriteria untuk melakukan pencairan dana,” terangnya. Melihat kondisi di atas, Deputi Bidang Pengembangan Regional Bappenas, Arifin Rudiyanto, mendorong pemerintah daerah memberikan komitmen dan strategi dalam mengembangkan sanitasi, mencari pembiayaan alternatif secara proaktif, dan menempatkan target sanitasi dalam rencana pembangunan. Volume XVI
JANUARI 2017
35
BERITA KOTA
Dorong Industri Kreatif, Yogya Pameran Animasi Untuk mendorong perkembangan industri kreatif, Pemerintah Kota Yogyakarta, DI Yogyakarta, menggelar Pameran Karya Animasi. Pameran yang dipusatkan di Griya UMKM Jalan Taman Siswa 39 Yogyakrata, akhir November 2016, ini diikuti para pegiat di bidang ekonomi kreatif Kota Yogyakarta. Melengkapi rangkaian pameran ini adalah lomba karya tulis ilmiah bidang kewirausahaan dengan kategori tingkat SMA/ SMK dan Perguruan Tinggi. Adapun, untuk tingkat SMA/SMK, pemenang lomba karya tulis ilmiah tersebut adalah SMA/SMK, SMK Negeri 1 Yogyakarta Juara I), SMA Negeri 7 Yogyakarta (Juara II dan Harapan I), dan SMA Negeri 3 Yogyakarta (Juara III dan Harapan II). Di tingkat perguruan tinggi, Juara I, Juara III, dan Harapan II direbut oleh Sekolah Teknik Pertanian Yogyakarta. Sebagai rival, dari STP Yogyakarta adalah STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta yang berhasil memperoleh Juara II dan Harapan I. Para pemenang lomba kaya tulis ilmiah mendapatkan hadiah berupa tropi dan uang pembinaan. Pameran Karya Animasi ini diinisiasi Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Pertanian (Perindagkoptan) Kota Yogyakarta. Tujuannya, untuk memenuhi kebutuhan akan karya animasi yang terus meningkat baik di tingkat nasional maupun dunia. Di Yogyakarta sendiri, menurut Kepala Perindagkoptan Kota Yogyakarta Tri Karyadi, usaha animasi belum banyak yang dikemas dalam bentuk industri. “Di sini masih sedikit usaha animasi yang sudah jadi industri. 36
Volume XVI JANUARI 2017
Karena itu perlu didorong terus, sebab kebutuhannya sangat besar,’ ujar Tri Karyadi pada pembukaan Pameran Karya Animasi tersebut. Karena secara industri strukturnya belum kuat, imbuh dia, daya tahan para pegiat di bidang animasi ini masih rendah. Selama ini, produk animasi diselesaikan oleh satu kelompok animator serabutan yang berarti semua bisa dan bisa semua. “Sehubungan dengan hal tersebut, maka Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta yang sedang mengembangkan Ekonomi Kreatif di Kota Yogyakarta. Kami memberi fasilitas tempat memperkenalkan produk bagi para pekerja animasi, seperti kegiatan pameran ini,” jelasnya. Kepala seksie Kajian Pengembangan UMKM Dinas Perindagkoptan Kota Yogyakarta Babasari Sitarini, menjelaskan, pameran ini menampilkan karya animasi dan industri penunjang lainnya. Pameran ini dimaksudkan untuk memperkenalkan Griya UMKM sebagai pusat karya animasi kepada masyarakat Yogyakarta. “Tempat ini bukan sekadar perkantoran, tetapi juga sebagai tempat aktivitas pembinaan UMKM, termasuk untuk kegiatan promosi. Griya ini bisa saja kami sebut sebagai galeri bagi mereka yang tergabung dalam UMKN maupun mereka yang berkecimpung di dalam seni animasi. Mereka boleh menggunakan Griya ini sebagai ruang untuk berkreasi,” jelasnya. Humas Pemkot Yogyakarta
BERITA KOTA
Pontianak Menuju Kota Transparan Anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak, Kalimantan Barat, tengah serius membuat terobosan di bidang transparansi anggaran. Dengan pengelolaan anggaran yang transparan, diharapkan dapat meningkatkan sekejahteraan warga kota. Untuk merealisasikan program transparansi anggaran tersebut, digelar seminar Bedah Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Tahun Anggaran 2017 di Aula Amphitheater Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, awal Nobember 2016. Dalam Bedah RAPBD bertema “Menuju Kota Pontianak Yang Lebih Sejahtera” ini, tampil sebagai pembicara adalah Wali Kota Pontianak Sutarmidji, pengamat ekonomi Untan Pontianak, pejabat dari Kementerian Dalam Negeri, dan aktifis dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan memberikan apresiasi terhadap terobosan yang dibuat Sutarmidji dengan menggelar Bedah RAPBD secara rutin setiap tahun anggaran. “Saya sudah keliling Indonesia, tetapi baru kali ini melihat ada wali kota yang transparan seperti ini, membeberkan draf RAPBD kepada publik, kemudian minta dikritisi seperti yang dilakukan saat ini,” ungkapnya saat memaparkan materi pada seminar bedah RAPBD tersebut. Adnan menilai, langkah yang digagas Wali Kota Sutarmidji sebagai hal yang positif dan merupakan wujud transparansi dari Pemkot Pontianak. Dengan adanya keterbukaan tersebut, diharapkan masyarakat memanfaatkannya dengan baik supaya pemanfaatan anggaran bisa sepenuhnya untuk kemaslahatan masyarakat Kota Pontianak.
Adnan berharap kebiasaan yang sudah baik ini tetap terus dipertahankan. “Jangan sampai hilang dengan bergantinya kepemimpinan Wali Kota Pontianak mendatang, sebab ini merupakan keterbukaan yang baik,” tukasnya. Wali Kota Sutarmidji menjelaskan, bedah RAPBD ini rutin digelar setiap tahun sebelum disahkan DPRD Kota Pontianak menjadi APBD. Hal ini dilakukan supaya masyarakat bisa memberikan masukan-masukan dan kritik sehingga APBD tepat sasaran. “Dengan bedah RAPBD ini, masyarakat bisa mengkritisi RAPBD sebelum disahkan sehingga APBD nantinya tepat sasaran,” tuturnya. Ia memaparkan, RAPBD Kota Pontianak 2017 sebesar Rp 1,47 triliun yang terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) Rp 412,5 miliar, kemudian disusul dana perimbangan Rp 887,3 miliar, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp 172,8 miliar. “Untuk belanja tidak langsung (belanja untuk pembangunan) sebesar Rp 667,8 miliar, dan belanja langsung (belanja pegawai) sebesar Rp 766,7 miliar,” papar Sutarmidji. Menurutnya, PAD Pemkot Pontianak terdiri dari beberapa komponen, yakni pajak daerah Rp 297,2 miliar atau sebesar 72 persen, disusul retribusi daerah Rp 37 miliar atau 8,97 persen, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 14,85 miliar atau 3,6 persen, dan lain-lain PAD yang sah Rp 63,52 miliar atau 15,40 persen. “Realisasi persentase PAD terhadap total pendapatan ratarata per tahun mengalami peningkatan, yakni mulai tahun 2012 sebesar 19,38 persen, tahun 2013 terealisasi 21,27 persen, tahun 2014 terealisasi 22,46 persen, tahun 2015 terealisasi 23,32 persen, APBD Perubahan 2016 sebesar 27,98 persen, dan tahun 2017 ditargetkan 28,02 persen,” sebutnya. Sementara itu, untuk dana perimbangan sebesar Rp 887,3 miliar, terdiri dari komponen bagi hasil pajak dan bukan pajak sebesar Rp 44,94 miliar atau 5,07 persen, dana alokasi umum Rp 662,64 miliar atau sebesar 74,68 persen, dan dana alokasi khusus Rp 179,74 miliar atau sebesar 20,26 persen. Ia menambahkan, untuk lain-lain pendapatan daerah yang sah sebesar Rp 172,8 miliar, yang terdiri dari komponen pendapatan hibah Rp 6 miliar atau sebesar 3,47 persen, dana bagi hasil pajak dari provinsi Rp 159 miliar atau 92,19 persen, dana penyesesuaian Rp 5 miliar atau 2,89 persen dan bantuan keuangan dari provinsi Rp 2,5 miliar atau sebesar 1,45 persen. Humas Pemkot Pontianak
Balikpapan Implementasikan Satu Peta Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan, Kalimantan Timur, mulai mengimplementasikan kebijakan satu peta. Hal itu ditandai dengan peluncuran Sistem Informasi Data Spasial (SITAS) pada awal November 2016. SITAS merupakan sistem informasi yang berisi kumpulan data
Volume XVI
JANUARI 2017
37
BERITA KOTA dan informasi geospasial (keruangbumian) Kota Balikpapan yang terintegrasi pada suatu peta dasar dalam suatu sistem informasi geografis (SIG). Penyusunan SITAS ini dimaksudkan sebagai wujud inovasi dari implementasi Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijkan Satu Peta dan Surat Edaran Menko Bidang Perekonomian Nomor S274/M.EKON/09/2016 Perihal Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta di Tingkat Daerah. Menurut Kepala Bidang Fisik Perkotaan Bappeda Kota Balikpapan Arfiansyah, SITAS Kota Balikpapan hadir sebagai
solusi inovasi untuk menjawab isu aktual mengenai belum integrasi data, pembaruan data, dan instrumen pengelolaan data perencanaan dan pembangunan yang selama ini belum tersedia. Dengan demikian, lanjutnya, sangat diperlukan sistem informasi satu referensi standar, basis data, dan geoportal. Dijelaskan, SITAS merupakan pengembangan Sistem Informasi Tata Ruang (SIMTARU) Kota Balikpapan yang online pada 2015 dan pada 17 Oktober 2016 lalu SIMTARU meraih Bhumandala Award dari Badan Informasi Geospasial. “SITAS berisi informasi tidak hanya RTRW Kota Balikpapan, melainkan
Pemkot Tegal Salurkan Dana UMKM Pemerintah Kota (Pemkot) Tegal, Jawa Tengah, menggulirkan program pengentasan kemiskinan. Realisasi program tersebut dilakukan melalui penyaluran dana untuk modal kerja kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Akhir November 2016, dilakukan penandatanganan nota kerja sama antara Bank Jateng dengan pendamping kelompok UMKM di Gedung Bank Jateng Cabang Kota Tegal. Acara penandatangan nota kesepahaman (MoU) dilakukan oleh Ketua Forum Silahturahmi Majlis Ta’lim Kota Tegal Endang Sutjiarti, Pimpinan Daerah Aisiyah Kota Tegal Dewi Umaroh, Pimpinan Cabang Muslimat Nahdlatul Ulama Siti Mudrikah, serta Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM (Disperindag Kota Tegal) Sri Atun dengan Pihak Bank Jateng yang diwakili Kepala Bank Jateng Kota Tegal M Ilyas selaku pihak pertama. Acara penandatanganan dilanjutkan penyerahan naskah (MoU) dari Walikota Tegal kepada Bank Jateng. Kepala Bank Jateng Kota Tegal M Ilyas, mengatakan, penandatangan nota kesepahaman (Mou) antara Bank Jateng dengan beberapa pendamping kelompok usaha ini dilakukan dalam rangka salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan di Kota Tegal. Menurutnya, para pendamping ini adalah pendamping kelompok tingkat kota yang akan mengkoordinasi dan merekomendasikan kelompok usaha masyarakat memperolah pendadanaan UMKM dari Bank Jateng. Melalui skema ini, dana akan disalurkan Bank Jateng melalui Kredit Mitra 02 bagi kelompok usaha masyarakat yang baru mempunyai dan memulai usaha. Selain itu, ada Program Kredit Mitra 25 bagi yang sudah mempunyai usaha dalam waktu lama. Penyaluran Kredit Mitra 02 dilakukan dengan sistem kelompok yang terdiri 5-50 orang. Plafonnya maksimal Rp 100 juta dengan suku bunga 2 persen. Sedangkan, Kredit Mitra Jateng 25 diperuntukkan bagi mereka yang sudah mempunyai usaha yang lama dengan suku bunga 7 persen, dan setiap orang bisa mendapatakan dana minimal Rp 25 juta. Wali Kota Tegal KMT Siti Masitha Soeparno, dalam
38
Volume XVI JANUARI 2017
sambutannya mengatakan, penandatangan kerja sama ini merupakan langkah terobosan dan inovasi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat Kota Tegal. Ia juga mengajak kepada seluruh kelompok usaha untuk dapat memprosikan produk UMKM, tidak hanya melalui cara konvensional, tetapi juga melalui media online. “Maksimalkan peluang usaha, sesuai yang dengan potensi yang dimiliki setiap kelompok di setiap kelurahan di Kota Tegal ini,” Siti Masitha menegaskan. Dalam kesempatan tersebut, Siti Masitha mengapresiasi langkah Bank Jateng yang telah memberikan kepercayaan kepada Pemerintah Kota Tegal dalam kerja sama penyaluran dana UMKM sebagai pendampingan modal. Untuk menyukseskan program ini, Siti Masitha berpesan kepada para lurah untuk ikut mendampingi proses pelaksanaanya agar berjalan baik. “Karena kelompok tersebut adalah warga di setiap kelurahan,” imbuhnya. Menurutnya, tidak semua bank mempunyai motivasi dan keberanian untuk menyalurkan program inovatif seperti ini kepada masyarakat. Karena itu, kepada kelompok usaha masyarakat yang telah menadatangani nota kesepahaman, Wali Kota berpesan agar mereka serius menjalankan program ini. “Sehingga, harapannya ke depan masyarakat Kota Tegal semakin maju, kreatif, dan sejahtera,” tegasnya. Humas Pemkot Tegal
BERITA KOTA data eksisting dan up dating pelaksanaan pembangunan dan mengakomodasi sebagian data fisik perkotaan, seperti kawasan kumuh, bank sampah, TPU, fasum/fasos, dan hutan kota. Mendatang, semua data baik bidang fisik perkotaan, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya akan diintegrasikan dalam SITAS,” imbuh Arfiansyah. Pemkot Balikpapan yakin peluncuran SITAS akan sangat bermafaat untuk meningkatkan kualitas, efektivitas, dan akuntabilitas dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian di semua bidang atau sektor, seperti investasi, pendidikan, penelitian, dan lain sebagainya. “Dengan SITAS, maka data dan informasi menjadi akurat, tertib, terukur, terintegrasi, berkesinambungan, berdaya guna, dan mudah diakses oleh semua pihak. Ini juga bagian ari upaya mewujudkan keterbukaan informasi publik sebagaimana diamanatkan adalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,” jelasnya. Kehadiran SITAS diharapkan juga bisa mendorong budaya dalam mengelola data berbentuk spasial dan menjadikan nilai tambah bagi Kota Balikpapan sebagi smart city, khususnya smart government dalam mewujudkan Balikpapan Single Window. Humas Pemkot Balikpapan
Kota Tangerang Siapkan Aplikasi “Ojek Sampah” Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kebersihan, Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Tangerang, Banten, telah menyiapkan aplikasi yang menyerupai aplikasi ojek online. Aplilasi ini diberi nama Sistem Jemput Sampah (Sijesam). Dengan aplikasi ini, penanganan sampah di permukiman dikelola secara online. Menurut Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Ivan Yudianto, aplikasi Sijesam diterapkan mulai awal 2017. Dengan adanya sistem ini, masyarakat yang menemukan adanya tumpukan sampah atau sampah yang tak terangkut, bisa melapor melalui aplikasi tersebut. Sehingga, pihak DKP bisa langsung menindaklanjuti laporan dengan mengirim petugas ke lokasi untuk mengangkut sampah. “Jika aplikasi ojek online untuk menjemput penumpang, maka Sijesam menjemput sampah yang tak terangkut,” kata Ivan Yudianto kepada wartawan, akhir November 2016. Aplikasi jemput sampah ini merupakan ide dari Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah. Ide tersebut muncul guna memenuhi keinginan adanya sistem penanganan sampah secara cepat melalui laporan masyarakat mirip ojek online. Selama ini, masih banyak keluhan yang muncul karena sampah tak terangkut. Di Pemkot Tangerang, setelah terbit Peraturan Wali Kota Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Wali Kota Kepada Kecamatan, sebagian tanggung jawab pengangkutan sampah ke tingkat kelurahan dan
pengawasannya dilakukan oleh pihak kecamatan. Dilengkapi aplikasi Sijesam, hal tersebut merupakan inovasi dan terobosan guna mengatasi masalah sampah yang menjadi pekerjaan rumah setiap kabupaten/kota di Indonesia. “Ini pun bagian dari percepatan pelayanan melalui teknologi informasi,” tutur Ivan Yudianto. Sijesam merupakan inovasi terbaru dari Pemkot Tangerang. Sebelumnya, DKP Kota Tangerang telah memiliki aplikasi online kebersihan sebagai upaya pengelolaan sampah secara terpadu, yakni Sistem Informasi Tenaga Harian Lepas (SITHL), Sistem Informasi Lacak (Silacak), Sistem Informasi Timbang (Sitimbang). Selain itu, ada juga Sistem Informasi Taman Tematik (Sitante), Sistem Pengelolaan Tugas dalam Pemeliharaan Taman (E-Man), dan aplikasi pengingat daftar aktivitas bagi petugas dan pengawas (E-Ling). Untuk mendukung pelimpahan kewenangan dan membantu kemudahan pengangkutan sampah, Pemkot Tangerang juga telah memberikan sarana berupa 104 unit bentor dan truk sampah. Tak hanya itu, dilimpahkan juga supir truk, 117 joki bentor, 456 kernet truk, dan 15 tenaga pengawas kelurahan. Humas Pemkot Tangerang
Makassar Pilot Project Aplikasi JAGA Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dijadikan pilot project penerapan aplikasi JAGA yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bersama Makassar, juga dipilih beberapa kota lainnya yang menjadi percontohan penerapan aplikasi JAGA di Indonesia. Untuk Pulau Sumatera, yang juga dijadikan pilot project adalah Kota Penkanbaru dan Banda Aceh. Sedangkan, di Pulau Kalimantan diwakili oleh Kota Pontianak, dan khusus untuk Pulau Jawa diujicobakan di seluruh kota. Aplikasi JAGA menjadi representasi kepedulian masyarakat dan pemerintah daerah terhadap sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk menyediakan layanan dan fasilitas yang bersih dan transparan. Deputi Bidang Informasi dan Data KPK Hary Budiarto, menjelaskan, sebagai langkah awal penerapan aplikasi JAGA sengaja dipilih beberapa kota, di antaranya Makassar, Pontianak, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, Banten, Pekanbaru, dan Banda Aceh. “Kita awali dari beberapa daerah, dan nantinya di 2017 diharapkan model itu sudah terbangun dan bisa diterapkan di 500 kota yang tersebar di 34 provinsi,” katanya. Dijelaskan, ada tiga bidang pelayanan publik yang menjadi sasaran aplikasi JAGA, yaitu pendidikan, kesehatan, dan perizinan. Untuk memantaunya, aplikasi JAGA memuat empat pemantauan layanan publik, yakni sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan layanan perizinan. “Di bidang pendidikan, masyarakat bisa mengecek anggaran pendidikan yang dikelola setiap sekolah, sementara di bidang
Volume XVI
JANUARI 2017
39
BERITA KOTA kesehatan dapat diketahui jumlah kamar rawat inap yang masih tersedia, dan bidang perizinan masyarakat bisa mendapatkan informasi terkait jenis perizinan, waktu pengurusan, dan lamanya waktu yang dibutuhkan penerbitan izin, serta status permohonan izin,” Hary menjelaskan. Saat ini, aplikasi JAGA bisa diunduh melalui Play Store pada telepon selular berbasis Android. Selain informasi yang dibeberkan Deputi Hary, aplikasi JAGA juga menyediakan layanan Cek Sekolah untuk mengecek profil dan fasilitas sekolah yang ada. Di samping itu, masyarakat juga bisa menyampaikan keluhan atau berdiskusi di forum yang tersedia yang terkoneksi dengan media sosial. Hal serupa juga bisa dilakukan pada Cek Rumah Sakit dan Cek Puskesmas, masyarakat bisa mengecek profil, tenaga dokter, jumlah kamar yang tersedia dan menyampaikan keluhan serta berdiskusi di forum yang tersedia. Adapun, pada layanan cek perizinan, masyarakat juga bisa mengajukan perizinan secara online. Sama seperti layanan lainnya, pada layanan cek perizinan ini, masyarakat juga bisa melakukan pengaduan terkait layanan perizinan. Di samping untuk menumbuhkan kesadaran pentingnya transparansi pada setiap layanan publik, aplikasi ini juga mengajak keterlibatan masyarakat dalam pemantauan dan pelaksanaan kegiatan layanan publik di sektor pendidikan, kesehatan, dan perizinan. Wali Kota Makasaar Danny Pomanto menegaskan kesiapan kota yang dipimpinnya menjadi pilot project pemberlakuan aplikasi JAGA ini. “Adanya program ini membuat penyelenggaraan pemerintahan semakin bersih, transparan, dan akuntabel,” katanya. Humas Pemkot Makassar
Banjarmasih Kerja Sama dengan Electric Co Korsel Untuk meningkatkan pelayanan di bidang kelistrikan, Pemerintah Kota (Pemkot) Banjarmasih, Sumatera Selatan, menjalin kerja sama investasi dengan perusahaan listrik asal Korea Selatan, N. Electric Co. Ltd. Penandatanganan naskah kerja sama dilakukan akhir Desember 2016 di Banjarmasin. Di Banjarmasin, rombongan N Electric Co. Ltd-Korea Selatan diterima Wali Kota Ibnu Sina dan Wakil Wali Kota Banjarmasin Hermansyah di Ruang Berintegrasi Pemko Banjarmasin. Kedatangan mereka terkait rencana investasi di bidang kelistrikan, yaitu pembangunan pembangkit tenaga surya/solar cell) dan dan penandatangan kerja sama antara Pemerintah Kota Banjarmasin dengan N Electric Co. Ltd. Dalam pertemuan tersebut terungkap, maksud dan tujuan investasi dari N Electric Co. Ltd adalah membantu PLN mengatasi kekurangan energi listrik di Kalimantan, khususnya Kota Banjarmasin. Rencana ini juga sebagai tindak lanjut dari audiensi CEO Hwang Wol Sang dengan Wali Kota Banjarmasin beberapa waktu sebelumnya dalam rangka membuat pilot project mini PLTS di Balai Kota dengan kapasitas 30 KVa. 40
Volume XVI JANUARI 2017
Kalimantan Selatan sebagai tujuan investasi N Electric Co. Ltd dengan pertimbangan, salah satunya, di wilayah masih sering terjadi pemadaman listrik. Ini menunjukkan bahwa di Kalimantan Selatan masih kekurangan pasokan daya listrik. Hal itu merupakan hasil kunjungan Owner Hwang Wol Sang yang secara langsung sudah bertemu dengan beberapa pimpinan pemerintahan di Kalimantan Selatan, termasuk khususnya Wali Kota Banjarmasin. Dalam skema kerja sama ini, investasi yang ditawarkan berupa investasi murni. Semua pembiayaan yang keluar untuk pembangunan pembangkit listri ini merupakan tanggung jawab N Electric Co Ltd. Dalam arahannya, Wali Kota Banjarmasin menyampaikan ucapan terima kasih atas dipilihnya Kota Banjarmasin sebagai percontohan (pilot project). “Semoga dalam setahun ini (2017) bisa terlaksana, dan di tahun ini juga bisa dilakukan survei terkait lokasi tempat meletakkan panel-panel surya,” ujarnya. Dia menjelaskan, dalam kerja sama ini, pada prinsipnya Pemkot Banjarmasin mengikat diri dalam sebuah kesepahaman dan telah disepakati dan bisa diperbarui setiap tahun. Ia berharap, kerja sama ini bisa memberi kemanfaatan maksimal untuk seluruh warga Kota Banjarmasin. “Dengan PLTS ini menjadi alternatif solusi terhadap permasalahan kelistrikan di Kota Banjarmasin dan Kalimantan Selatan,” ujar Ibnu Sina. Pada kesempatan yang sama, Wakil Wali Kota Banjarmasin Hermansyah, menambahkan, bahwa Kota Banjarmasin ini sudah padat dengan pemukiman penduduk, sehingga kebutuhan akan listri memang tinggi. “Pemerintah Kota Banjarmasin membantu terkait pilot project PLTS ini, berkaitan budaya masyarakat dan kota sungai, penempatan panel yang bersifat teknis agar tetap memperhatikan faktor keamanan,” ujar Hermansyah. Humas Pemkot Banjarmasin
Sampah di 7 Kota Disulap Jadi Listrik Jika diolah dengan benar, sampah akan memiliki banyak manfaat. Bahkan bisa menjadi sumber energi. Menyulap sampah menjadi tenaga listrik itulah kerja sama yang sedang digagas antara PT PLN (Persero) dengan tujuh kota di Indoneia. Kerja sama tersebut tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) atau perjanjian jual-beli listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dengan 7 pemerintah daerah dan kota, yang didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 Tahun 2016. Ketujuh kota tersebut adalah DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar. Penandatanganan kerja sama ini dilakukan di Jakarta pada awal Desember 2016. Perjanjian diteken langsung oleh Dirut PLN Sofyan Basir dan Wali Kota Tangerang Arief Rachadiono Wismansyah, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi, Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo, serta perwakilan dari pemkotpemkot lainnya di Kantor Pusat PLN. Total kapasitas pembelian listrik dari sampah di 7 kota itu mencapai 100 MW, dengan
BERITA KOTA perincian dari Jakarta 4x10 MW dan kota-kota lainnya masingmasing 10 MW. Dalam MoU disebutkan, listrik dari PLTSa ini akan dibeli dengan harga US$ 18,77 sen/kWh atau setara dengan Rp 2.496/ kWh dengan menggunakan skema Buy, Own, Operate, Transfer (BOOT). Sementara, pengembangan PLTSa menggunakan thermal process. Prosesnya meliputi gasifikasi, incinerator, dan pyrolysis. “Sesuai dengan Perpres 18/2016, dirasa perlu untuk dilakukan percepatan pembangunan PLTSa dengan memanfaatkan sampah menjadi sumber energi listrik, sekaligus juga meningkatkan kualitas lingkungan di kota-kota besar tersebut,” ujar Sofyan. Sampah kerap menjadi permasalahan di berbagai kota, seperti di Jakarta sampah yang diproduksi mencapai 7.000 ton per hari dan terus meningkat, di Bandung sekitar 480 ton sampah tidak terangkat dan terdistribusikan setiap harinya, begitu juga di kota-kota besar lain. “Ini membuat pemanfaatan sampah menjadi PLTSa sangat bermanfaat. Ini juga bukti kepedulian pemerintah serta PLN terhadap lingkungan,” imbuh Sofyan. Terobosan ini juga disebut sebagai wujud komitmen PLN untuk terus mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) di lingkungan perkotaan. PLN juga sedang berupaya meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 98% pada tahun 2019 dan mengejar target porsi EBT 23% pada 2025.
penyalahgunaan narkotika, khususnya di kalangan pemuda. Pria yang juga menjabat sebagai Dewan Penasihat DPC GRANAT Tarakan ini juga mengaku, upaya pencegahan bisa dilaukan dengan beragam cara. “Melakukan sosialisasi langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan upaya pengawasan yang melekat, itu saya kira langkah-langkah awal supaya kita bisa mencegah kasus-kasus yang baru,” imbuhnya. Khairul juga menjelaskan, untuk pengguna narkotika bisa mengambil langakah preventif terlebih dahulu, melalui rehabilitasi. “Kasus yang sudah ada kita berharap sebaiknya diberikan tempat konsultasi agar mereka mau datang untuk menyampaikan berbagai keluhan dan kita bisa bisa melakukan rehabilitasi, jangan sampai sudah tertangkap baru jadi masalah. Kalau rehab, kan, tidak ada tindakan hukumnya kalau belum tertangkap,” jelasnya. Keberadaan LSM GRANAT di Tarakan diharapkan mampu bersinergi dengan instansi terkait, baik Pemerintah Kota Tarakan maupun aparat penegak hukum, untuk mempersempit ruang gerak peredaran narkotika. “Ini, kan, lembaga swadaya masyarakat, yang didirikan oleh masyarakat, dan dioperasikan oleh masyarakat. Ini adalah bagian penting partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan narkoba. Kehaidran LSM ini tentu menjadi mitra aparat hukum, termasuk mitra pemerintah dalam melakukan upaya preventif,” tandasnya. Humas Pemkot Tarakan
Pontianak Raih Parahita Ekapraya
Pemkot Tarakan Dukung LSM Antinarkoba Pemerintah Kota (Pemkot) Tarakan, Kalimantan Timur, mendukung berbagai gerakan antinarkoba. Salah satunya, Pemkot Tarakan mendukung penuh berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Gerakan Nasional Anti-Narkotika (GRANAT) di kota tersebut. Tarakan mendapat sambutan positif oleh Pemerintah Kota Tarakan. “Intinya, kita harus melakukan upaya-upaya pencegahan, kita mulai dari rumah dan sekolah dan lingkungan kerja,” jelas Sekretaris Daerah (Sekda) Tarakan, Khairul, saat pembentukan GRANAT di Tarakan medio Desember 2016. Dijelaskan, letak strategis Kota Tarakan memang dikenal rawan menjadi target selundupan narkotika. Karena itu, kehadiran LSM GRANAT yang dikelola masyarakat ini dinilai akan sangat membantu dalam upaya pencegahan terhadap
Dinilai memiliki komitmen tinggi dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, Pemerintah Kota (Pemkot) Pontianak, Kalimantan Barat, dianugerahi Anugerah Parahita Ekapraya (APE) 2016. Penghargaan diserahkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)Yohana Yembise kepada Wakil Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono di Gedung Auditorium Ir Soejarwo, Manggala Wanabakti Jakarta, akhir Desember 2016. Pada 2016, Kota Pontianak meraih kategori Tingkat Pratama. APE diberikan kepada pemerintah daerah dan para pimpinan kementerian/lembaga yang berkomitmen dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui Strategi Pengarusutamaan Gender (PUG). Dalam kesempatan penganugerahan tersebut, Edi mengatakan, pengarustamaan gender di jajaran Pemkot Pontianak telah lama diimplementasikan dengan memberikan proporsi bagi kaum perempuan dalam menduduki jabatan birokrasi. Menurutnya, tidak sedikit jabatan eselon yang diamanahkan kepada kaum perempuan. Bahkan, beberapa posisi jabatan yang diduduki kaum perempuan itu tidak mesti di bidang yang berkaitan feminisme. Jabatan yang umumnya diemban kaum pria, justru di jajaran pemkot jabatan-jabatan itu dipimpin oleh kaum perempuan. Volume XVI
JANUARI 2017
41
BERITA KOTA “Misalnya, Kasat Pol PP, Kepala Dishubkominfo, Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, beberapa camat dan lurah, dan banyak lagi jabatan yang diisi oleh kaum perempuan,” Edi menjelaskan. Dijelaskan juga, di Kota Pontianak sudah banyak kalangan yang memahami PUG. Bahkan, untuk Ketua RT pun, banyak kaum wanita yang memegang jabatan itu. “Dan ini dibuktikan dengan tidak ada lagi profesi-profesi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, termasuk RT juga sudah banyak dari kalangan perempuan,” lanjutnya. Penghargaan ini, menurut Edi, menjadi pendorong bagi Pemkot Pontianak untuk terus meningkatkan kualitas persamaan kaum perempuan dengan langkah-langkah kegiatan konkret. Hal itu diniatkan untuk mencapai dan mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan, baik di lingkungan rumah tangga, masyarakat, maupun kehidupan bernegara. “Melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program diberbagai bidang kehidupan dan pembangunan,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri PP-PA Yohana Yembise, pada sambutannya mengatakan, pemberian penghargaan ini diharapkan dapat memotivasi pelaksana program pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di pusat dan daerah, sehingga mereka terdorong untuk meningkatkan program-program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. “Penghargaan APE yang telah diberikan ini menjadi wahana untuk mengevaluasi dan mengukur kemajuan pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia. APE memberikan gambaran nyata apa yang telah dilakukan di tingkat nasional dan daerah,” pungkasnya. Pada tahun ini, Kementerian PP-PA menetapkan penerima penghargaan adalah 12 kementerian/lembaga, 17 pemerintah provinsi, dan 84 pemerintah kabupaten/kota. Penghargaan yang diserahkan setiap dua tahun sekali ini diberikan bertepatan peringatan Hari Ibu. Ada tujuh komponen kunci penilaian APE, yakni komitmen, kebijakan, kelembagaan, sumber daya manusia dan anggaran, alat analisis gender, data gender, dan partisipasi masyarakat. Humas Pemkot Pontianak
Pemkot Kupang Kaji Mutu Pendidikan Guna mengetahui sejauh mana mutu pendidikan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), Pemerintah Kota (Pemkot) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan melakukan kajian terhadap kondisi pendidikan di kota tersebut. Kajian dilaksanakan dalam seminar yang dilaksanakan di Naka Hotel Kupang, akhir November 2016. Dalam seminar yang dibuka Asisten Pemerintahan Sekda Kota Kupang Yos Rera Beka, hadir sejumlah nara sumber pakar pendidikan dari Universitas Cendana (Undana). Peserta seminar terdiri dari kalangan pemerhati pendidikan di NTT, Pengawas SD dan SMP se-Kota Kupang, Kepala SD dan SMP se-Kota Kupang, Ketua Komite SD dan SMP se-Kota Kupang, serta masyarakat umum. Dalam seminar tersebut terungkap, mutu pendidikan itu sendiri dapat dapat dilihat dari berbagai faktor. Di antaranya, ketersediaan sarana dan prasarana sekolah, tenaga pendidik yang profesional, dan juga faktor keterlibatan orang tua serta faktor lainnya. Untuk itu, melalui seminar dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap mutu pendidikan di Kota Kupang. Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan rekomendasi kepada kepala daerah dalam rangka perumusan kebijakan di bidang pendidikan. Dalam sambutannya, Asisten Pemerintahan Sekda Kota Kupang Yos Rera Beka yang mewakili Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota, menjelaskan, dunia pendidikan memang sangat membutuhkan perhatian semua pihak. Terutama, dalam menyikapi perkembangan aktual terhadap munculnya perilaku destruktif dan radikal di tengah masyarakat.
42
Volume XVI JANUARI 2017
“Dalam hal ini, pendidikan memiliki peran dan tanggungjawab yang sangat besar,” ujarnya. Untuk itu dia mengajak para pemangku kepentingan pendidikan agar bersama-sama dengan pemerintah daerah berupaya memberikan perhatian bagi anak-anak, terlebih khusus anakanak di tingkat pendidikan dasar sebagai peserta didik. Perhatian tersebut, menurutnya dapat diberikan dalam bentuk ruang aktivitas yang positif, sehingga bisa dicegah tumbuhnya pemikiran dan perilaku destruktif, anarkis, kekerasan, dan radikalisme. Dia juga berharap kegiatan seminar memberikan pencerahan dan peningkatan pengetahuan serta wawasan tentang peran pendidikan dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, serta dapat memberikan masukan atau rekomendasi yang konkret dalam usaha memajukan pendidikan di daerah ini. Humas Pemkot Kupang
Volume XVI
JANUARI 2017
43
44
Volume XVI JANUARI 2017