DRAFT PAPER Membangkitkan Bangsa, Menata Reformasi: Transformasi Indonesia Baru Melalui Pendidikan1 Muhammad Najib Azca Universiteit van Amsterdam/Universitas Gadjah Mada INTRO Sebagai bangsa (nation), jika berpancang pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai tonggak, kini Indonesia telah berumur satu abad. Sebagai negara (state), jika berpijak pada Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai titik tolak, kini kita telah menginjak usia 53 tahun. Namun jika kita menatap babak baru perjalanan negara-bangsa (nation-state) sejak runtuhnya rezim otoritarian Orde Baru dan dimulainya era Reformasi pada tahun 1998, maka usia Indonesia Baru baru menginjak satu dasawarsa. Pengalaman sejarah Indonesia mengajarkan bahwa: gerak Negara tak selalu seiring dan menopang kelestarian sebuah bangsa. Buktinya: bangsa Indonesia koyak-moyak lantaran perilaku dan tabiat buruk negara, seperti terlihat dalam sejumlah peristiwa kekerasan berdarah di Aceh, Papua, Maluku dan Poso. Proses reformasi di Indonesia juga bisa dibaca sebagai upaya sebuah bangsa untuk melakukan koreksi dan perbaikan terhadap ‘bangun-negara’yang berwatak represif, otoriter, koruptif, dan sentralistis. Ketika melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman tersebut, yakni “bagaimana membangun bangsa untuk mensejahterakan warganya”, maka sebagian orang mencari obatnya pada dua sisi sekaligus: memperkuat masyarakat warga (civil society) dan memperkokoh negara. Keduanya tidak niscaya dilihat sebagai entitas yang bersifat antagonis secara diametral, namun bisa juga dilihat sebagai kekuatan yang bersifat komplementer. Sembari melakukan refleksi 100 tahun perjalanan bangsa dan sekaligus 10 tahun reformasi kita perlu menyusun pemikiran strategis bagaimana merangkai Negara dan masyarakat warga, dua pilar penting kehidupan bersama, sehingga menjadi kekuatan sinergis: memberi kemaslahatan terbesar bagi kepentingan setiap warga bangsa Indonesia. Isu pendidikan akan dijadikan sebagai ‘arena’ dimana rancang bangun pembaruan itu seharusnya dilakukan. Agar lebih komprehensif, makalah ini akan menggunakan kerangka transformasi segi empat: negara (state)-masyarakat warga (civil society)-masyarakat politik (political society)-pasar (market). MASYARAKAT WARGA, BANGSA, NEGARA: TRILOGI ”MENJADI INDONESIA” Perjalanan ”menjadi Indonesia”2 pada dasarnya adalah sebuah proses yang tak pernah selesai. ”Indonesia” merupakan sebuah kata benda yang sekaligus juga kata kerja: ia sebuah entitas dan sekaligus sebuah proses. Ada berbagai anasir yang berbaku-tumbuk dan berbaku-sapa: puakpuak, suku-suku bangsa, sejarah dan politik penyebaran agama-agama, hasrat dan syahwat kuasa yang dibawa kolonialisme, rezim dan politik hubungan internasional, juga ide dan imajinasi tentang ’komunitas-komunitas yang terbayangkan’ (imagined communities) (Ben Anderson, 1983). Proses ”menjadi Indonesia” diawali oleh keping-keping kecil warga yang bersekutu membentuk ikatan-ikatan sederhana, berbasiskan atas persamaan identitas, keyakinan, kesenangan, keinginan atau kepentingan. Keping-keping kecil asosiasi warga ini bersifat relatif otonom 1
Disampaikan dalam Konferensi Pemuda dan Pelajar Indonesia di Luar Negeri yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda di Den Haag, 25-26 Oktober 2008. 2 Menjadi Indonesia merupakan judul sebuah buku sejarah perjalanan terbentuknya kebangsaan Indonesia yang ditulis oleh Parakitri T. Simbolon (Gramedia, 2006). Dalam buku setebal 884 halaman tersebut Parakitri melakukan rekonstruksi terbentuknya bangsa dan negara Indonesia sejak sejarah Nusantara hingga perang Pasifik.
terhadap negara, bergerak hidup memenuhi keinginan dan kebutuhannya sendiri. Pada mulanya berwujud menyerupai paguyuban, gemeinschaft, yang bersifat cair dan lentur, nyaris tak mengenal mekanisme dan struktur pengelolaan yang rumit. Belakangan bersalin wujud menjadi semacam patembayan, gesselschaft, yang mulai mengenal kerangka aturan main berdasarkan atas rasionalitas dan fungsionalitas tertentu (Ferdinand Tonnies, ???). Begitulah: maka mulai terbentuk organisasi-organisasi sederhana semacam Syarikat Dagang Islam, Boedi Oetomo, dan seterusnya. Juga asosiasi yang lebih besar dan kekar semacam Moehammadiyah dan Nahdhatoel Oelama. Pada waktu itu bangsa Indonesia belum ada. Namun benih, cikal-bakal, bagi kehadirannya telah disemai oleh asosiasi-asosiasi warga ini. Mungkin kita bisa merujuk asosiasi-asosiasi warga ini sebagai bagian dari civil society, sebuah konsep yang popular di bidang ilmu social, namun sekaligus penuh ambiguitas. Ia bisa dipahami dari berbagai jurusan secara berbeda: sebagai aktor atau sebagai arena; sebagai konsep empirik atau sebagai konsep normatif.3 Mengadaptasi pendekatan Gramscian yang dikembangkan oleh Cohen and Arato (1992; ix-xi), tulisan ini selanjutnya akan menggunakan kerangka analisis segi empat: negara (state)masyarakat warga (civil society)-pasar (economic society)-masyarakat politik (political society). Masyarakat warga, seperti dirumuskan oleh Cohen dan Arato (ibid), adalah sebuah ruang interaksi sosial antara ekonomi dan negara yang terbentuk atas ruang ‘intim’ seperti keluarga, ruang bagi asosiasi-asosiasi (khususnya yang bersifat sukarela), gerakan-gerakan sosial dan ruang-ruang komunikasi publik. Masyarakat warga berbeda dengan masyarakat politik (seperti organisasi dan partai politik serta parlemen) dan masyarakat ekonomi (yang terdiri dari organisasi produksi dan distribusi, seperti perusahaan, koperasi, dll). Meski berbeda namun mereka saling terkait, dimana masyarakat politik dan masyarakat ekonomi dapat berfungsi sebagai kekuatan penyambung-penghubung (mediation) terhadap arena politik dan ekonomi. Kembali ke konsep bangsa sebagai komunitas politik yang terbayangkan, kita merujuk ke Ben Anderson (1983: 6-7) yang menulis: “is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear of them, yet in the minds of each lives the image of their communion". Ide bangsa dan kebangsaan (nationalism) memang merupakan salah satu gagasan terpenting dan berpengaruh dalam sejarah dunia modern. Gagasan tentang bangsa dan kebangsaan (nationalism) merupakan sebuah produk modernitas yang berjalan seiring dengan perkembangan modernisasi. Sebuah sebuah produk modernitas, ide ini memiliki kemampuan dan kekuatan mempersatukan dan merekatkan yang luar biasa hingga mampu menggerakkan jutaan manusia meregang nyawa untuk mempertaruhkan (atau menaklukan): bangsa! Peranan bahasa dalam pembentukan identitas bangsa. Ide kebangsaan Indonesia berjalan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai ”bahasa persatuan”(seperti tercantum dalam Sumpah Pemuda 1928) di antara kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ihwal kekuatan bahasa dalam pertumbuhan gagasan kebangsaan, Yudi 3
Sebuah kerangka menarik, misalnya, dirumuskan oleh Centre for Civil Society, London School of Economics, sebagai berikut: Civil society refers to the arena of uncoerced collective action around shared interests, purposes and values. In theory, its institutional forms are distinct from those of the state, family and market, though in practice, the boundaries between state, civil society, family and market are often complex, blurred and negotiated. Civil society commonly embraces a diversity of spaces, actors and institutional forms, varying in their degree of formality, autonomy and power. Civil societies are often populated by organisations such as registered charities, development non-governmental organisations, community groups, women's organisations, faith-based organisations, professional associations, trades unions, self-help groups, social movements, business associations, coalitions and advocacy group. (http://www.lse.ac.uk/collections/CCS/what_is_civil_society.htm)
Latif (2007) membuat tulisan menarik tentang Daya Kata, Darah Kebangkitan. Dalam prakteknya, seperti disebut Anderson (1983),perkembangan ide kebangsaan berjalan seiring dan bertautan dengan pertumbuhan ”kapitalisme cetak (print capitalism). Melalui perkembangan kapitalismecetak inilah bahasa Indonesia mengalami pertumbuhan dan pemekaran yang luar biasa dan sekaligus memekarkan ide dan imajinasi kebangsaan Indonesia. Perkembangan ide dan imajinasi bangsa Indonesia akhirnya menubuh menjadi sebuah bangun Negara yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun sejarah kemudian menunjukkan bahwa Negara Indonesia yang dibangun pasca proklamasi jauh dari berhasil menjalankan fungsi dan tugasnya seperti tertera dalam Mukadimah UUD 1945 yakni untuk “mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” serta “untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.” Akibatnya, yang terjadi justru berkecamuknya sejumlah konflik dan kekerasan berdarah di sejumlah wilayah Indonesia.4 Kekerasan bercorak politis-ideologis di masa peralihan rezim dari Soekarno ke Soeharto di tahun 1965 merupakan salah satu yang terbesar. Bersambung dengan sejumlah kekerasan dramatis berkepanjangan di Aceh, Papua, Maluku, dan Poso—juga di Timortimur sebelum Referendum di tahun 1999, serta drama kekerasan beraroma rasial di Jakarta dan Solo di tahun 1998. Belum lagi sejumlah kerusuhan berskala lebih kecil seperti terjadi di Tasikmalaya, Situbondo, Pekalongan, Kerawang, Kupang. Juga kemiskinan dan ketimpangan social-ekonomi yang lebar menganga di antara sesama warga bangsa, baik berdasarkan atas kelas maupun wilayah. REFORMASI: IKHTIAR KOREKSI DAN MENATA ULANG NEGARA-BANGSA Kegagalan rezim Orde Baru adalah kegagalan negara menata bangsa. Buahnya: alih-alih warga bangsa menjadi sejahtera, yang terjadi adalah bangsa yang retak, suku-bangsa yang koyak, dan warga bangsa yang merana. Keping-keping mozaik bangsa Indonesia yang bopeng lantaran konflik social sebagai akibat praktek bernegara yang tak beradab selama Orde Baru tersajikan dalam Potret Retak Nusantara (CSPS Books, 2005). Yang terjadi dengan proses reformasi adalah ikhtiar masyarakat warga untuk melakukan koreksi terhadap Negara melalui tekanan bertubi-tubi ke arah masyarakat politik. Sementara itu masyarakat ekonomi yang gonjang-ganjing lantaran krisis regional memaksa negara untuk melakukan kontraksi, mengendurkan diri: terjadilah reformasi. Jenderal Soeharto pun lengser keprabon. Rumit dan ruwetnya proses reformasi digambarkan dengan menarik oleh Kevin O’Rourke (2003) dalam bukunya The Strugle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Apa yang terjadi setelah reformasi berlangsung satu dasawarsa? Tentu, sejumlah sukses dan keberhasilan patut dicatat. Di antaranya: kekebasan berserikat dan berkumpul, juga kebebasan mendirikan organisasi dan partai politik serta kekebasan pers. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk ‘otonomi daerah’ juga merupakan prestasi yang patut diapresiasi. Reformasi sector keamanan dalam bentuk pemisahan Polri dari TNI juga merupakan langkah positif dalam perkembangan politik Indonesia. Namun, seperti ditulis oleh Vedi Hadiz dalam Indonesia A Decade After Reformasi: Continuity or Change? (2008), sepuluh tahun reformasi ditandai dengan banyaknya kontinyuitas rezim lama di panggung baru. Sejumlah elemen rezim lama masih bertahan dan bahkan menguasai sejumlah posisi dan institusi kunci pemerintahan dan memastikan bahwa proses reformasi tidak 4
Baca tulisan Henk Schulte Nordholt A Geneology of Violence (2002) untuk aka-akar kekerasan sejak masa kolonial, tulisan Robert Cribb (1990, 2001) dan Asvi Warman Adam (2008) untuk kekerasan 1965 dan buku yang diedit oleh Ben Anderson (2001) berjudul Violence and the State in Suharto’s Indonesia mengenai kekerasan negara di masa Orde Baru.
mengancam kepentingan mereka. Dalam buku berjudul Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets, Vedi dan Robisan (2004) juga mengungkapkan bertahannya politik oligarki di era pasar, antara lain melalui penguasaan kepemimpinan politik di era otonomi daerah. ”INDONESIA BARU”: SEBUAH IKHTIAR TRANSFORMASI Reformasi telah membawa harapan, namun perjalanannya sejauh ini juga juga telah membenihkan sejumlah kerisauan. Kerisauan itu secara sederhana terumuskan dalam Suara Bersama Denhaag 2007 sebagai berikut: Kami bertemu dan berkumpul disini dipicu oleh kerisauan kolektif mencermati perjalanan Republik Indonesia tercinta, yang meski telah memasuki babak baru kesejarahannya dengan dimakzulkannya rezim dan sistem politik Orde Baru pada 1998 serta dimulainya proses “reformasi”, namun hingga kini belum merumuskan arah dan pijakan baru yang nyata dan kokoh untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga bangsa. (www.indonesiamasadepan.net) Yang menarik dari rangkaian regiatan Konferensi Pelajar Indonesia: Indonesia Masa Depan: Suara dan Peran Kaum Muda di Den Haag, Juni 2007, adalah bahwa mereka bukan hanya bermaksud menghasilkan ‘kertas kerja dan rekomendasi’ untuk diserahkan pada pemerintah atau pihak pengambil kebijakan lainnya. Lebih dari itu untuk menghasilkan: “pokok-pokok pikiran yang terutama akan dijadikan sebagai bahan rujukan kaum muda bagi upaya kolektif untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik...” Dengan demikian, secara sadar kaum muda yang berkumpul dalam acara itu telah mendefinisikan diri mereka sendiri dan menempatkan diri sebagia bagian dari ”gerakan sosial” (social movements) dalam proses melakukan koreksi dan menata perjalanan negara-bangsa Indonesia. Hal itu juga tercermin pada bagan kerangka kerja yang melihat Indonesia Masa Depan sebagian bagian proses transformasi lintas bidang yang harus dikerjakan oleh rumpun lintas aktor (negara; masyarakat warga; masyarakat politik; dan masyarakat ekonomi).
BAGAN DIALEKTIKA
INDONESIA MASA DEPAN: SUARA KAUM MUDA
ANALISIS ANALISISKONDISI KONDISI ANALISIS MASALAH rumpun bahasan A
B
C
D
E
F
SW
Global Global Regional Regional Nasional Nasional
VISI VISI MASA MASA DEPAN DEPAN
STRATEGI STRATEGI TRANSFORMASI TRANSFORMASI
ANALISIS ANALISIS TREND TREND
MS
rumpun bahasan A
B
C
D
E
F
PN
aktor
aktor
PN
MS SW
ANALISIS POTENSI rumpun bahasan A
B
C
D
E
F
aktor
PN MS
JALAN ”PENDIDIKAN” UNTUK SW
Rumpun Bahasan A-F –rumpun bahasan yang akan dirumuskan e.g. kesejahteraan sosial, pendidikan, tata pemerintahan, hak ”KEBANGKITAN BANGSA” asasi, sumber daya alam, korupsi.
Aktor PN – Penyelenggara Negara MS –Masyarakat SW -Swasta
Jika “Indonesia yang adil dan makmur” merupakan cita-cita yang dituju dalam perjalanan Negarabangsa ini, lalu bagaimana menuju kesana? Ada berbagai jalan yang mesti ditempuh. Salah satunya adalah melalui ”jalan pendidikan”. Dalam skala global, misalnya, program education fol all menjadi salah satu pilar penting dalam upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). (lihat misalnya: http://portal.unesco.org/education, juga http://www.un.org/millenniumgoals/) Dalam melakukan transformasi Indonesia Baru melalui jalur pendidikan, mengikuti kerangka berfikir yang dibangun oleh IMD: SPKM 2007, maka yang harus dilakukan adalah orkestrasi ikhtiar baik yang dilakukan oleh negara, masyarakat warga, masyarakat politik, maupun pasar. Dalam forum diskusi yang sedang kita adakan sekarang ada baiknya kita menyepakati sejumlah agenda prioritas strategis transformasi pendidikan Indonesia dan strategi untuk mencapainya dengan mengkombinasikan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki oleh keempat pilar republik: negara, masyarakat warga, masayarakat politik, dan masyarakat ekonomi. Dalam kesempatan ini saya ingin mengusulkan setidakna tiga agenda utama yaitu: 1. Implementasi pendidikan dasar gratis berbasis komunitas 2. Mengembangkan pendidikan ketrampilan yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal berbasis komunitas 3. Mengembangan pendidikan tinggi yang bervisi ke depan berkolaborasi dengan korporasi dan intelektual independen 1. Menyediakan pendidikan dasar gratis berbasis komunitas M. Warga M. Politik M. Ekonomi Melakukan kontrol Memastikan Pengembangan sosial terhadap fungsi ketersediaan dana dan bisnis kecileksekutif & legislatif bantuan infrastruktur menengah utk dalam implementasi bagi pendidikan dasar menopang pendidikan dasar (fungsi budget & pendidikan dasar regulasi) (buku, fasilitas pengajaran, dsb.) Bekerjasama dg Melakukan kontrol Menopang korporasi dlm terhadap fungsi negara pendidikan dasar pelaksanaan bantuan dalam dengan program CSR CSR utk pendidikan mengimplementasikan dasar pendidikan gratis Membangun dan mengembangkan lembaga2 pendidikan dasar berkualitas berbasis komunitas 2. Mengembangkan pendidikan ketrampilan lokal berbasis komunitas M. Warga M. Politik Mendukung Menyokong dan pengembangan memastikan pendidikan ketersediaan dana ketrampilan sesuai dan fasilitas bagi dengan kondisi & terlaksananya kebutuhan lokal program
Negara Menyediakan dana dan bantuan finansial serta infrastruktur bagi pendidikan dasar gratis Menyediakan kurikulum pokok dan metode kontrol kualitas
yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan M. Ekonomi Menyokong secara aktif pengembangan pendidikan ketrampilan bekerjasama dengan negara dan masy. Warga
Negara Membangun & mengembangkan pendidikan ketrampilan berbasis kondisi & kebutuhan lokal
Mendirikan & mengembangkan lembaga-lembaga pendidikan ketrampilan yg sesuai dengan kondisi & kebutuhan lokal Bekerjasama secara aktif dengan masy. Ekonomi utk mengembangkan pendidikan ketrampilan
Menyokong kerjasama negaramasyarakat wargakorporasi dalam pelaksanaan pendidikan ketrampilan berbasis lokal Melakukan kontrol terhadap fungsi negara dalam mengimplementasikan program & kerjasama dg korporasi
Mengembangkan pendidikan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan usaha
Menggalang dukungan & kerjasama dg korporasi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional Menggalang dukungan dana & pelatihan dari luar negeri
1. Mengembangkan pendidikan tinggi yang bervisi ke depan berkolaborasi dengan korporasi dan intelektual independen M. Warga M. Politik M. Ekonomi Negara Mengembangkan Menyokong upaya- Menjadikan Mengembangkan pendidikan tinggi yang upaya pengembangan pengembangan pendidikan tinggi berorientasi ke depan pendidikan tinggi yang pendidikan tinggi sbg dalam rangka dengan bertolak berorientasi ke dapan bagian dari meningkatkan realitas problem dan pengembangan bisnis kapasitas dan kebutuhan di masa depan kompetensi bangsa masyarakat dalam kompetisi internasional Melakukan kajianMenyokong upaya & Membangun kajian independen utk riset-riset berorientasi kerjasama lintaspengembangan ke depan yg negara dlm gagasan visioner dikerjakan oleh pengembangan kelompok2 intelektual pendidikan tinggi independen sesuai dengan perkembangan regional Menggalang Menyokong kerjasama produktif kerjasama dengan dengan korporasi korporasi dan dengan tetap intelektual berkomitmen kpd independen dalam ketentingan hajat pengembangan masyarakat pendidikan tinggi