Membaca dan seperti Kartini
Menulislah
UNAIR NEWS – Mahasiswa Program Studi S-1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga menyelenggarakan seminar “Perjuangan Kartini dan Emansipasi Pendidikan Kaum Perempuan”, Rabu (10/5). Seminar yang diselenggarakan di Aula Soetandyo tersebut dihadiri lebih dari seratus peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen. Sebelum seminar tersebut dimulai, tiga mahasiswa Antropologi tahun angkatan 2015 memaparkan mini riset. Mereka adalah Treesya, Dian Firda, dan Afiarta. Mereka menyampaikan hasil riset tentang pendidikan perempuan mahasiswa di antaranya nilai indeks prestasi kumulatif, dan keaktifan organisasi. Narasumber seminar, Dr. Pinky Saptandari, menjelaskan kepiawaian pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini dalam menulis dan berkorespondensi tak mungkin dimiliki tanpa pengalaman membaca yang luas. “Jadi, para mahasiswa tidak akan bisa menulis kalau kalian tidak membaca terlebih dahulu,” ujarnya. Selain Pinky, ada Iva Hasanah pegiat sekolah perempuan pada Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan Jawa Timur, yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut. Iva mengatakan, kajian-kajian tentang perempuan berbeda dengan isu-isu umum. “Sehingga untuk memgkaji isu perempuan diperlukan kacamata perspektif gender,” ujar Iva. Dalam kesempatan tersebut, Koordinator Prodi S-1 Antropologi Tri Joko Sri Haryono, M.Si juga memberikan sambutan. “Dari Kartini, ada banyak hal yang bisa kita dapat, misalnya tentang menulis. Maka, jadilah pena karena kekuatan pena sungguh luar biasa, seperti apa yang dilakukan oleh Kartini,” ungkapnya.
Penulis: Akhmad Janni Editor: Defrina Sukma S
Cara Mahasiswa FK Suarakan Keberanian ‘Kartini’ Masa Kini UNAIR NEWS – Mewarnai Hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, puluhan mahasiswa dari Program Studi Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD Dr. Soetomo berduyun-duyun turun ke jalan. Dengan mengenakan busana adat warna-warni, mereka kompak menyuarakan anti kekerasan pada perempuan. Sembari mengusung spanduk panjang dan poster yang bertuliskan “Stop Kekerasan pada Perempuan”, rombongan mahasiswa ini berkonvoi di sepanjang Jalan Prof. Dr. Moestopo Surabaya, Jumat (21/4). Berteman teriknya matahari, rombongan mahasiswa ini bersemangat berorasi sambil membagi-bagikan leaflet ‘Stop Kekerasan Pada Perempuan’ kepada para pengguna jalan. Ketua Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa Nalini Muhdi, dr., SpKJ(K) bersama Wakil Dekan II FK UNAIR Prof. Dr. Budi Santoso, dr., SpOG(K) pun turut mendampingi acara tersebut. Ditemui di sela-sela acara, dr Nalini mengungkapkan, setiap tahun pihaknya selalu memperingati hari Kartini dengan menggelar berbagai macam kegiatan. Namun di tahun ini, pihaknya menyelenggarakan acara dengan sedikit berbeda. Jika sebelumnya acara peringatan hari Kartini lebih sering
‘indoor’, kali ini Nalini mengajak mahasiswanya pawai turun ke jalan. “Setiap tahun kami selalu peringati hari Kartini dengan tema pemberdayaan perempuan. Tidak lupa kami juga selalu kenakan baju daerah, baik yang laki-laki maupun perempuan. Bahkan ada murid kami dari Aceh yang pesan baju adat langsung dari Aceh. Mereka niat sekali,” ujarnya sumringah. Acara ini makin meriah, karena setiap tahun pawai baju adat ini juga dilombakan. Bagi peserta yang mengenakan kostum daerah paling keren, akan menerima bingkisan menarik dari panitia. “Tahun lalu tema kostumnya adalah profesi di luar profesi dokter. Menarik sekali, dari peserta ada yang pakai kostum pilot karena om nya ada yang pilot, ada yang dandan jadi ojek. Ada juga yang dandan jadi dukun pakai menyan dan ada yang jadi setan-nya, seru sekali,” ungkapnya. Korban Harus Berani Speak Up Kegiatan turun ke jalan kali ini bukan sekedar acara pawai baju daerah saja, ada misi yang mereka usung. Yaitu menyosialisasikan kepada masyarakat untuk menghindari aksi kekerasan pada perempuan. “Dari dulu saya ingin menyosialisasikan hal ini. Karena beberapa tahun terakhir kasus kekerasan publik berupa pemerkosaan, bullying, hingga kasus KDRT menyita perhatian masyarakat,” ungkapnya. Di Indonesia, kekerasan seksual menempati peringkat pertama di ranah komunitas sebanyak 74 persen. Jenis kekerasan yang paling mendominasi adalah pemerkosaan sebanyak 1.036 kasus. Artinya dalam sehari ada 12 orang perempuan Indonesia yang mengalami kasus pemerkosaan. Parahnya, 93 persen kasus pemerkosaan di Indonesia tidak pernah dilaporkan. Ini terjadi karena seringkali korban enggan melapor, dengan alasan takut
disalahkan. “Ini fenoma di Indonesia, dimana kebanyakan korban pemerkosaan selalu diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Korban tidak dibela, malah dipojokkan. Ini mindset yang perlu diluruskan. Karena yang terjadi, kebanyakan korban pemerkosaan yaitu perempuan selalu disalahkan dengan alasan karena cara berpakaian atau perperilaku ‘mengundang’ sehingga memicu pemerkosaan,” pungkasnya. Penulis: Sefya Hayu Editor: Nuri Hermawan
Kartini, Spirit dan Simbol Hari bersejarah untuk bangsa kita, bahwa pada Tanggal 21 April 1879, di kota Jepara, Jawa Tengah, lahir perempuan keturunan bangsawan, yaitu Bupati Jepara. Nama perempuan ini adalah Kartini. Karena tidak bisa diam, dia di juluki Trinil. Di masa gadis kecil, dia sempat bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Namun, terpaksa harus dihentikan saat usia 12 tahun karena datang haid pertama yang artinya sudah saatnya untuk dipingit. Dikurung dalam rumah, menunggu ada pria meminangannya. Saat itu, di kepala para wanita Jawa, hanya pinangan pria yang akan membawanya keluar menuju derajat yang lebih tinggi. Kartini sesungguhnya berkecukupan akan materi, namun kekecewaannya yang amat mendalam akibat dilarang melanjutkan pendidikan, membuatnya menderita batin yang berat. Surat-suratnya kepada kawannya bernama Stella di Belanda menyiratkan itu. Kumpulan surat ini dibukukan menjadi sebuah
buku dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang sudah begitu tersohor. Buku itu diterbitkan ketika masa politik etik di Eropa menyeruak atas banyaknya perilaku kolonial yang melanggar kemanusiaan. Terlepas dari motif tertentu pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan nama harum dengan menerbitkan buku Kartini, buku tersebut cukup mengguncang bumi nusantara untuk menoleh akan keberadaan perempuan Indonesia yang terpuruk. Bahkan, hingga saat ini! Atas informasi yang lengkap tentang Kartini dari Buku tersebut, serta jasa jasanya, diangkatlah Kartini sebagai salah satu pahlawan nasional oleh pemerintah Indonesia. Buku Kartini mungkin sudah dibaca jutaan perempuan Indonesia. Namun sejumlah pertanyaan menyeruak: Sudahkah kita mewarisi spirit perjuangan Kartini? Atau, benarkah kita mampu menangkap pemikiran transformatif Kartini yang sesungguhnya? Atau lebih jauh dari itu, dapatkah kita melanjutkan cita-cita luhurnya untuk masa sekarang dan yang akan datang? Jangan-jangan, kita masih menangkap simbol-simbol fisik Kartini belaka. Simbol fisik Jika kita mau merenungkan substansi buku Kartini, akan muncul banyak pertanyaan. Sampai sejauh ini, peringatan Hari Nasional Kartini sebatas simbol fisik. Yakni, kebaya, jarit, sanggul, masak-memasak dan seputar atribut domestik wanita Jawa di Zaman dulu. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun, jika hanya berhenti di situ, sangatlah disayangkan. Kita sepakat, bahwa hari Kartini diperingati sebagai hari kebangkitan bagi perempuan Indonesia. Tanpa mengurangi rasa hormat pada Ibu Kartini, janganlah dilupakan pahlawan perempuan yang lain yang tidak kecil pula jasanya untuk memperjuangkan kemajuan. Sebut saja, Cut Nyak Dhien, Martina Martha Tyahohu, Dewi Sartika, Malahayati, Rasuna Said dan Maria Maramis. Mereka banyak yang tidak bersanggul, mungkin
berkerudung, atau bercelana panjang, budaya lokal.
itu semua hanya simbol
Keperkasaan pemikiran-pemikiran mereka tak bisa dibilang pemikiran perempuan biasa, itu yang terpenting. Pemikiran mereka telah melampaui zamannya. Namun, masih sering kita mendengar kata: surga perempuan adalah bersama suaminya, sehingga harus bungkam meski teraniaya, tanpa kritis mempertanyakan nasibnya. Simbol dan slogan Jawa yang dapat disalahartikan masih banyak membelit pikiran para perempuan. Misalnya, suami adalah “pengeran katon ( tuhan yang kelihatan)”, tugas wanita adalah bakti pada suami, dan lainlain. Tanpa memiliki pretensi negatif terhadap siapapun, marilah kita berpikir lebih dalam dan lebih luas. Kartini adalah sosok yang inspiratif, seorang nasionalis sekaligus feminis. Kartini menolak primodialisme (penghambaan manusia atas manusia). Fokus perjuangan kartini jauh ke depan dan luas. Yaitu, kaumnya, bangsanya, pendidikan, kemiskinan, kebodohan, kesehatan, perekonomian, dan sebagainya. Pemikirannya transformatif ratusan tahun di depannya. Otokritik Cibiran terkadang masih terlontar, mengapa Kartini memilih untuk melepas beasiswanya untuk studi ke Belanda? Mengapa Kartini tetap menerima dipoligami oleh Bupati Rembang? Mengapa dia diam dengan kondisi ibu kandungnya yang jelas tersubordinasi dan terdiskriminasi secara telak oleh ayahnya sendiri? Masih banyak kritikan tertuju pada Kartini atas semua pilihannya yang dianggap bumerang untuk dirinya sendiri. Terlepas dari semua yang dipandang kelemahan oleh banyak pihak itu, yang jelas Kartini telah menabur benih percik kemajuan. Pendidikan adalah substansi kemajuan. Kartini telah merintisnya untuk perempuan miskin saat itu.
Bagaikan lilin yang memecah gelapnya kebodohan. Kartini tidak sekadar mengutuk kegelapan, lebih dari itu, Kartini telah membuka mata para petinggi di zaman itu dan zaman sekarang, bahwa perempuan belumlah mendapatkan haknya yang setara dalam berbagai kesempatan. Kalaulah ada, hanya bisa dihitung dengan jari. Perempuan sebagai korban budaya patriarki telah disadarinya sejak dia kecil. Begitu kuatnya kungkungan budaya saat itu, hingga dia pun terpaksa menerima posisi subordinasi dan diskriminasi (dipingit), serta tidak berdaya dipoligami walau hatinya menolak dan memberontak. Sekarang, kita hidup di zaman jauh setelah kartini wafat. Namun, masih banyak pikiran kita terbelenggu dan berkutat pada atribut fisik dan terbelit hegemoni materi. Jika kita tidak memiliki materi, kita seolah bukan siapa-siapa. Jika kita memiliki materi, kita seolah bisa menjadi siapapun dan apapun. Materi dapat meninggikan derajat seseorang, namun jika salah “menggaulinya” materi dapat menghinakan manusia. Penutup Kartini sudah memiliki pemikiran besar di usia masih belasan tahun. Di zaman kini, rintangan jauh berkurang untuk berpemikiran besar dan transformatif seperti Kartini. Namun, masih banyak fakta kondisi subordinasi (posisi tidak setara) terhadap perempuan. Semua itu masih bisa kita jumpai di semua level kehidupan. Kondisi menempatkan perempuan di level kelas 2, menjadikan perempuan sasaran target kekerasan fisik, verbal, ekonomi, sosial, politik, apalagi budaya. Lalu, dari mana kita dapat memulai perubahan? Dari diri sendiri. Perempuan sendiri harus membetulkan mindset tentang kesetaraan. Masih sering kita jumpai perempuan lebih berperilaku bias terhadap kaumnya sendiri. Untuk itu, mindset harus diluruskan terlebih dahulu. Menolak segala bentuk
penindasan fisik maupun mental sebagai hasil dari sebuah kesadaran akan pentingnya pendidikan. Sudahkan kita membenahi mindset? Sekarang saatnya!
Menyaksikan Semangat Kartini di FKG UNAIR NEWS – FKG UNAIR terkenal sebagai salah satu fakultas yang populasi perempuannya lebih besar dari kaum Adam. Tak Heran , peringatan Hari Kartini di sini selalu berlangsung meriah. Darma wanita FKG menggelar acara tersebut pada 20 Mei 2016 dengan mengusung tema Peran Perempuan Dalam Melestarikan Budaya Bangsa. Dalam sambutannya, Ketua Darma Wanita FKG Dr. Nyoman Anita Damayanti, drg., MS., mengajak seluruh civitas akademika untuk memperkuat kekompakan di lingkup keluarga besar fakultas. Karena, hanya dengan sinergitas, kesuksesan akan semakin mudah diraih. Muaranya, kemajuan suatu bangsa dapat dicapai dengan optimal. Sejalan dengan tema acara, diadakan pula berbagai macam lomba dan bazar. Lomba yang diadakan antara lain, memakai kain tradisional (jarid), melipat kain batik (mewiru) dan fashion show. “Peran Kartini zaman sekarang mesti lebih maju dan moderat. Dan memang, kenyataannya, para Kartini modern di bidang akademik semakin banyak dan berkembang,” ujar Prof. Dr. Diah Savitri Ernawati, drg., Msi., Sp.PM., yang keluar sebagai salah satu pemenang lomba fashion show. Savitri
menambahkan,
kegiatan
ini
bagus
dan
positif.
Harapannya, dengan merayakan hari kartini, kaum perempuan menjadi lebih menghargai dan lebih menghormati betapa luhurnya cita-cita Ibu Kartini. (*) Penulis: Humas FKG Editor: Rio F. Rachman
Semarak Kartinian di Fakultas Vokasi, Berani Bercita-Cita Lewat Pohon Harapan UNAIR NEWS – Ada banyak kegiatan civitas akademika UNAIR dalam menyemarakkan Hari Kartini yang jatuh pada 21 April lalu. Salah satunya, terlihat di Fakultas Vokasi (FV). Para mahasiswa begitu antusias dan kompak untuk memeriahkan rangkaian acara bertajuk Kartini Cahaya Terkini yang ada di sana. “Motto kami: Sederhana tapi Ngena. Yang penting kebersamaan. Dari kebersamaan itu, kami ingin meneladani semangat RA Kartini yang menginspirasi perjuangan bangsa,” ungkap Ali Mustofa, ketua BEM FV saat diwawancarai UNAIR News. Dia menjelaskan, ada sejumlah aktifitas yang dilakukan pada 21 April lalu. Di antaranya, pembuatan Pohon Harapan yang dihias dengan pernak-pernik cantik. Yang menarik, pada pohon yang diletakkan di lantai 1, 2, dan 3 gedung FV tersebut, mahasiswa menyisipkan selembar kertas berisi cita-cita yang ingin diraih. Para mahasiswa dibebaskan menulis apapun yang dimimpikan. Baik di bidang akademik, prestasi, pengembangan diri, bahkan soal jodoh.
Sesuai tema acara Adakah yang Lebih Hina, Daripada Bergantung Pada Orang lain?, kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi para mahasiswa agara berani bermimpi. Untuk kemudian, hidup mandiri dan tidak menjadi benalu bagi siapapun. Mahasiswa D3 Radiologi itu menerangkan, para mahasiswa FV sudah dibekali dengan keterampilan yang unik di bidang masingmasing. Maka itu, sudah sepantasnya kalau langsung terserap di masyarakat. Artinya, mereka dapat memberi sumbangsih dan manfaat bagi sekitar. Selain warna-warni Pohon Harapan, FV juga mengadakan aktifitas lain. Yakni, lomba foto berhadiah. “Mudah-mudahan melalui momentum Hari Kartini ini, para civitas bisa semakin menjadi lebih baik dan berkualitas dari hari ke hari,” ungkap dia. (*) Penulis: Rio F. Rachman
Berkat Ejekan Sejawat, Prof. Rachmah Ida Jadi Gubes Bidang Kajian Media Pertama di Indonesia UNAIR NEWS – Pada periode tahun 1997, Kajian media atau media studies belum begitu populer di Indonesia. Dibandingkan dengan studi public relation, media studies yang termasuk kajian di bidang ilmu komunikasi tersebut kurang diminati oleh mahasiswa. Namun hal tersebut tak menyurutkan semangat seorang “Kartini” asal komunikasi UNAIR ini, Prof. Dra. Rachmah Ida, M.Comms, PhD, Dosen pengajar Sarjana (S1) dan Magister (S2) Ilmu Komunikasi UNAIR yang menempuh studi medianya hingga
doctoral di negeri kanguru, Australia. Banyak rintangan yang dihadapi oleh Rachmah Ida sebelum menentukan pilihannya untuk melanjutkan pendidikan di bidang media studies. Dia bercerita, bahwa suatu saat masih menempuh pendidikan master media studies di Edith Cowan University,Australia, dirinya sempat dijadikan bahan ejekan oleh teman sejawatnya, lantaran bidang studi yang ia pilih tidak akan laku di Indonesia. “Saya pernah di olok sama senior saya, karena ilmu saya yaitu media cultural studies dianggap tidak akan pernah laku di Indonesia, saat itu saya diam saja,” kenang wanita yang telah menempuh pendidikan doctoral di Curtin University of Technology, Australia. Namun kini, Industri media mulai berkembang dan pendidikan ilmu komunikasi di Indonesia mulai tertarik dengan media cultural studies. Ketika kajian media sedang booming, banyak orang yang beralih ke kajian media studies ini. Apa yang telah diperkirakan oleh kolega seniornya tidak terbukti. Hal ini yang kemudian menjadikan Rachmah Ida semakin mantap untuk mengajukan diri menjadi guru besar di bidang kajian media pada Desember 2014. Terlebih saat itu Rachmah Ida menjadi guru besar di bidang kajian media pertama di Indonesia. “Ketika saya mengajukan guru besar saya, maka kajian media adalah bidang studi yang selama ini saya tekuni menjadi major saya di antara dosen-dosen Ilmu Komunikasi di tanah air yang dominannya mengambil studi Ilmu Komunikasi,” ungkap wanita yang kini masih aktif dalam penelitian dan pengabdian masyarakat tersebut. Selain aktif di bidang penelitian dan pendidikan, Rachmah Ida juga merupakan Ibu bagi putrinya, Zahra Tiara Aisya,19 tahun. Walaupun terbilang sibuk oleh penelitian dan mengajar mahasiswanya, Rachmah Ida tak ingin perhatian kepada buah hatinya luput begitu saja. Dia bersama suaminya ingin
membesarkan dan mengasuh anaknya mulai dari kecil hingga kini sebagai mahasiswi. “Sebagai Ibu bagi seorang putri saya menjadi Ibu yang nurturing (mengasuh,-red) dan membimbing akidahnya, sekaligus “best friend” baginya,” ungkap wanita asli Surabaya tersebut. Mengartikan Kesetaraan Gender Menurutnya, kesetaraan gender adalah konsep di mana ada pengakuan atas hak-hak asasi yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Hak asasi ini meliputi hak untuk hidup, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan yang layak, hak memilih dan dipilih dalam kehidupan politik, dan pokok-pokok hak asasi lainnya. “Selama ini memang kita berjuang untuk perempuan, karena perempuan menjadi kaum yang tidak diuntungkan oleh konstruksi budaya/kultur dan konstruksi sosial politik di masyarakat,” ujarnya. Rachmah Ida menyayangkan masih banyak perempuan yang tidak mendapat gaji atau pendapatan yang sama dengan laki-laki di bidang pekerjaan publik. Juga masih banyak hal lainnya di mana hak-hak perempuan tidak terpenuhi sebagai makhluk sosial yang asasi. “Jadi kesetaraan gender itu menurut saya adalah memberikan hak-hak yang proposional dan adil baik kepada perempuan dan laki-laki,” jelasnya. Selain itu, Rachmah Ida juga mengeluhkan guyonan masyarakat yang terkadang justru mengurangi nilai dari kesetaraan gender. Cohtohnya seperti laki-laki yang bisa naik genteng memperbaiki rumah, berarti perempuan juga harus bisa naik genteng memperbaiki rumah. “Saya selalu sedih jika pengetahuan tentang harus adilnya memperlakukan perempuan dan laki-laki dijadikan bahan guyonan,
bahkan di dunia akademik,” keluhnya. Dia berharap agar kedepan, perempuan di Indonesia memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara menyeluruh melalui kelompok belajar masyarakat. Hal tersebut agar menjadikan perempuan tidak hanya pintar, namun juga lebih kreatif dan aktif sehingga suarannya dapat didengar. Perempuan juga harus mampu mengartikulasikan kepentingannya, dan tidak diwakili oleh pihak-pihak yang mengatasnamakan perempuan tapi tidak menyuarakan suara perempuan. “Saya ingin perempuan Indonesia punya dignity dan selfdeterminism untuk menentukan identitasnya sebagai perempuan, mau menjadi ibu, istri, atau apapun identitas yang ingin disandangnya secara bebas tanpa harus dilekatkan pada peranperan sosial dan cultural subjek lainnya,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Nuri Hermawan
Dr. Prihartini Widiyanti, Mendidik Tak Dapat Dinilai dengan Materi UNAIR NEWS – Citra sebagai seorang dosen dan peneliti senior telah melekat pada sosok Dr. Prihartini Widiyanti, drg., M.Kes. Berbagai prestasi dan jabatan telah disandang perempuan usia 40 tahun ini. Ia adalah seorang dokter gigi, peneliti, pengajar, pendidik. Bukan hanya untuk mahasiswa, tetapi juga untuk keluarga dan putra putrinya. Berbagai kesibukan telah Yanti tekuni. Selain sebagai Ketua
Pusat Pengembangan Jurnal dan Publikasi Ilmiah (PPJI) Universitas Airlangga, Yanti merupakan staf pengajar pada program studi Teknobiomedik, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UNAIR. Ia juga merupakan anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Perhimpunan Kesehatan Hiperbarik Indonesia (PKHI), Persatuan Osteoporosis Indonesia (PEROSI), serta International Society of Clinical Densitometry. Yanti merupakan peneliti senior di Institute of Tropical Disease (ITD) UNAIR. Di ITD UNAIR, Yanti mengabdikan dirinya sebagai peneliti senior bidang riset HIV/AIDS. “Saya melihat pasien HIV/AIDS dengan wasting syndrome, tinggal tulang dan kulit. Tubuhnya dipenuhi penyakit kulit. Keluarga mereka tidak pernah datang. Mereka hanya dirawat orang-orang dari lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saya terketuk. Kondisi pasien yang terminal itulah yang membuat saya ingin mengabdikan diri kepada mereka,” ujar dokter gigi itu. Yanti telah terbiasa multitasking sejak ia menjalani kuliah sarjana. Ketika menjalani studi S-1 pada Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNAIR, Yanti bersama teman-temannya mendirikan biro penerjemah. Ia biasa membantu dosen-dosen untuk menerjemahkan naskah dengan tema yang beraneka ragam, dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Ketika melanjutkan program magister, Yanti telah menjalani kesibukan sebagai pegawai honorer di Lembaga Kesehatan Kelautan TNI AL (LAKESLA), dan RSAL Dr. Ramelan Surabaya. Di samping itu, ia juga menjabat sebagai pengasuh rubrik kesehatan di salah satu media massa di Surabaya. Ia membantu rekan-rekan jurnalis yang kesulitan dalam mengoreksi berita dengan istilah-istilah kedokteran. Aktualisasi Diakui Yanti, disela-sela kesibukan di dunia akademik ia
selalu menyempatkan untuk menghabiskan waktu bersama anak dan keluarga. “Disela-sela waktu saya harus sangat dekat dengan anak-anak. Main monopoli, ke pasar, sambil ngasih nasihat-nasihat. Anakanak tidak lepas dari pengawasan saya,” ujar ibu dua anak itu. Yanti sadar, suatu negara yang besar akan menjadi kuat dari segala terjangan arus ketika para perempuan menempatkan edukasi dan penanaman akhlak yang baik terhadap anak didiknya. Sebagai seorang pendidik, Yanti memiliki mimpi untuk mencetak generasi emas. Mimpi itu yang telah dirintis sejak ia memutuskan menjadi seorang dosen. Emansipasi wanita dimaknai Yanti sebagai sebuah peluang bagi perempuan untuk menunjukkan aktualisasi diri, bahwa perempuan bisa mengubah dunia dengan pemikiran dan tindakannya. Namun walau bagaimanapun, baginya perempuan adalah seorang pendidik bagi anak-anak dan keluarganya. “Ketika perempuan diberi posisi hebat di luar, ketika kembali ke keluarga ia adalah seorang ibu. Yang mendidik anak, yang taat kepada suami,” kata perempuan yang sempat memiliki grup band saat SMA itu. Sebagai peneliti, ia bercita-cita memiliki karya yang memiliki kebermanfaatan sosial yang luas. Bersama Universitas Teknologi Malaysia (UTM), ia telah merintis kerjasama penelitian dan kolaborasi. Yanti menjadi co-researcher tentang penelitian stent pembuluh darah. “Akhirnya saya percaya bahwa pekerjaan kecil tidak akan terus menjadi kecil. Ia akan menggurita, kemudian akan banyak networking. Di situlah saya merasa bahwa saya berhasil memberikan banyak manfaat untuk semua orang. Itulah kebahagiaan buat saya. Tidak harus tentang uang atau reward,” kata Yanti. Yanti,
dengan
segala
kesibukannya,
ialah
pendidik
bagi
mahasiswa dan anak-anaknya. “Menjadi dosen, finansialnya memang tidak banyak. Namun, kebahagiaan yang didapat dari mendidik itu yang tidak bisa dibayar dengan apapun,” kata perempuan yang sedang berproses untuk menghafal Alquran itu. (*) Penulis : Binti Q. Masruroh Editor : Defrina Sukma S.
Diah Ariani Arimbi: Perjuangan Kartini Masih Panjang UNAIR NEWS – Menelusuri jejak-jejak Raden Ajeng Kartini hingga hari ini tidak akan ada habisnya. Begitu juga dengan hal yang diungkapkan oleh Diah Ariani Arimbi, S.S., M.A., Ph.D. Perjuangan Kartini tidak hanya berhenti ketika beliau sudah tiada, bagi Diah Ariani masih banyak hal yang harus dilakukan untuk melanjutkan perjuangan pahlawan yang jasanya selalu dikenang setiap tanggal 21 April tersebut. Ditemui di ruang kerjanya, Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNAIR tersebut menuturkan bahwa nilai-nilai yang ditanamkan oleh Kartini tidak sepenuhnya diteladani oleh generasi sekarang. “Memang sebagian langkah Kartini sudah terlihat nyata, terutama dalam pendidikan, hari ini sudah banyak perempuanperempuan yang menempuh pendidikan tinggi dan bahkan tidak sedikit yang menempati posisi strategis pada sebuah instansi,” jelas master lulusan University of Northern lowa Amerika Serikat.
Doktoral University of New South Wales tersebut menambahkan bahwa banyak kiprah Kartini yang tidak diketahui oleh perempuan hari ini, salah satunya mental rajin membaca dan berfikir kritis yang dimiliki pahlawan asli Jepara tersebut. “Kartini selalu belajar dari membaca banyak buku, ini yang hilang dari perempuan sekarang yang terlebih suka pada yang instan, kasus di mahasiswa sendiri banyak sekali yang suka copy paste,” tegasnya. Dekan perempuan pertama FIB UNAIR tersebut kembali menegaskan bahwa perbedaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang lumrah, namun menjadi sebuah problem jika perbedaan tersebut menciptakan sebuah hierarki. “Sebenarnya perbedaan laki-laki dan perempuan adalah hal yang wajar, namun kalau ada hierarki itu yang jadi masalah,” tegasnya. “dengan pendidikanlah hierarki antara laki-laki dan perempuan bisa ditepis,” imbuhnya. Diakhir wawancara, dekan yang juga mengajar kajian gender di FIB UNAIR tersebut menekankan, bahwa momen hari Kartini memang sangat penting untuk menghidupkan kembali semangat Kartini. Pasalnya Kartini telah betul-betul memberikan makna pada perempuan, utamanya pada bidang pendidikan. “Momen hari Kartini ini penting untuk mengingatkan bahwa semangat Kartini harus ada, karena semangat Kartini adalah semangat melawan ketidakadilan dan kesetaraan,” pungkasnya. (*) Penulis : Nuri Hermawan Editor : Dilan Salsabila
Irma Josefina Savitri, Keluarga Berperan Sentral di Balik Keberhasilan Perempuan UNAIR NEWS – Bagi Irma Josefina Savitri, DDS, Sp.Perio, Ph.D, keluarga adalah tempat berlabuh yang menenangkan. Di rumah, penyuka warna merah ini mendapatkan kekuatan dan cita-cita. Maka itu, sesibuk apapun kegiatan di kampus, kedekatan dengan keluarga tetap yang utama. “Bagi saya, memasak bersama anak-anak dan membuat kerajinan tangan di rumah adalah ‘meditasi’ saat ingin keluar dari rutinitas,” kata salah satu dosen Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) yang menamatkan program doktor di Hiroshima University tersebut saat diwawancara UNAIR News Rabu lalu (20/4). Aktifitas perempuan kelahiran 16 November 1979 ini memang tergolong padat. Selain mengajar, dokter gigi yang mengenyam pendidikan postdoctoral di The Forsyth Institute Amerika Serikat ini juga tercatat sebagai anggota tim pengembang kerjasama dan Humas FKG. Di samping itu, dia dipercaya sebagai Kepala Unit Pelayanan Fungsional (UPF) Periodonsia Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM). Tak hanya itu, istri dari Udijanto Tedjosasongko ini tergabung dalam tim Program Pendidikan Internasional (PPI) di bawah Direktorat Pendidikan UNAIR. Bekerja dalam tim dan berorganisasi adalah kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mantan aktifis ini. Namun, menjadi Humas FKG sejak awal tahun 2016, adalah hal baru baginya. Humas, kata ibu dari Amanda Sachiko Tedjosasongko dan Ahmad Rizky Yukio Tedjosasongko ini, memiliki peran penting dalam kegiatan promosi dan penyalur informasi ke masyarakat. Ada empat domain dalam lalu lintas informasi yang dilakukan Humas FKG. Yaitu, mahasiswa, dosen FKG, alumni dan masyarakat
luar FKG (baik di lingkup UNAIR maupun umum). Media yang dimaksimalkan dalam menjalankan tugas kehumasan antara lain, website UNAIR, prospectus FKG UNAIR, televisi, radio dan berbagai media sosial. “Menjadi Humas adalah salah satu cara melaksanakan pengabdian pada masyarakat,” tegas perempuan yang hobi travelling, menjahit cross stitch dan beres-beres rumah tersebut. Jangan Tunda Pekerjaan Jika dilihat dari begitu banyaknya tanggung jawab yang diemban, timbul pertanyaan, bagaimana membagi waktu dan bisa tetap konsisten? Irma menjelaskan, semua tak lepas dari perkara mind set. Bila sejak awal pola pikir sudah ditata sedemikian rupa, langkah selanjutnya bakal lebih mudah. “Saya yakin, semua yang saya peroleh merupakan kesempatan untuk bermanfaat bagi orang lain. Pekerjaan sebagai pendidik, peneliti dan pelaku bidang manajerial adalah passion saya. Kuncinya, selalu terbuka dan tetap excited pada hal baru,” papar dia. Perempuan yang takut kupu-kupu ini mengatakan, keluarga (orang tua, suami, dan anak-anak) selalu memiliki peran sentral dalam keberhasilan seorang perempuan. Dukungan moral dan psikologis dari orang-orang terdekat sangat penting. Hal itu pula yang dirasakannya. Di sisi lain, komitmen untuk menjadi pribadi yang disiplin merupakan faktor penentu kesuksesan dalam bekerja. “Saya tidak pernah menunda pekerjaan. Semua pekerjaan saya usahakan selesai saat itu juga, secepat dan sebaik mungkin,” urai dia. Bantuan kecanggihan teknologi seperti komputer dan smart phone harus dioptimalkan. Kebiasaan menuliskan schedule dengan rapi dan berpikir terkonsep serta mengutamakan solusi adalah keharusan.
Semua itu bakal membantu seseorang untuk meringkas dan menyelesaikan pekerjaan. “Tapi yang jelas, apa yang saya kerjakan tidak akan ada artinya tanpa dukungan tim dan arahan Kepala Departemen dan seluruh jajaran pimpinan di FKG,” ungkap dia. Tetap Giat Penelitian Perempuan yang suka belajar sejarah ini juga masih giat melakukan penelitian. Bahkan, sejumlah penelitiannya sempat masuk jurnal internasional. Setidaknya, di rentang 2014 hingga 2015, ada tiga riset yang bertengger di publikasi level dunia. Antara lain berjudul, miR-584 Expressed in Human Gingival Epithelial Cells is Induced by Porphyromonas Gingivalis Stimulation and Regulates Interleukin-8 Production via Lactoferrin Receptor dan Irsogladine maleate inhibits Porphyromonas gingivalismediated expression of tolllike receptor 2 and interleukin-8 in human gingival epithelial cells. Juga, The differential expression of mgl mRNA by Porphyromonas gingivalis affects the production of methyl mercaptan. “Bidang ilmu saya adalah preventive medicine untuk penyakit periodontal. Hingga saat ini, saya masih terlibat dalam pembuatan preventive medicine bersama-sama peneliti dari Jepang,” kata dia. Lulusan pendidikan dokter gigi UNAIR pada 2004 ini berharap, FKG selalu menjadi institusi yang research-based, innovative, well-organized and positive thinking educational institution. (*) Penulis: Rio F. Rachman
dr. Purwati, Kartini Bidang Medis dari Universitas Airlangga UNAIR NEWS – Telah seabad lebih Raden Ajeng Kartini wafat. Kegigihannya dalam memperjuangkan hak perempuan untuk mengenyam pendidikan masih meninggalkan jejak di benak masyarakat Indonesia. Setelah R.A. Kartini wafat, kini muncullah kartini-kartini baru yang meneruskan tongkat perjuangan, khususnya dalam bidang pendidikan. Salah satu diantaranya adalah Dr. Purwati, dr., Sp.PD., FINASIM. Sebagai Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell UNAIR, salah satu bentuk perjuangan Purwati adalah terus mengembangkan stem cell sebagai sebuah produk obat-obatan. Penelitian dan pengembangan stem cell masih tergolong baru di Indonesia. Maka dari itu, dibutuhkan pendalaman lebih lanjut guna mengetahui berbagai manfaat yang bisa didapat dari stem cell. Menjadi peneliti sekaligus praktisi medis memiliki kebanggaan tersendiri bagi Purwati. Ia membandingkan iklim penelitian di luar negeri dengan yang ada di Indonesia. Di Indonesia, sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, dosen bukan hanya dituntut untuk mengajar dan mendidik, tapi juga melaksanakan pengabdian dan penelitian. Berbeda dibandingkan dengan yang ada di luar negeri.
jika
Meski demikian, peneliti yang juga merupakan staf pengajar pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Fakultas Kedokteran (FK) UNAIR tersebut, tetap berharap kualitas penelitian di Indonesia dapat terus berkembang, yakni dengan riset yang dapat menghasilkan produk inovatif. “Kalau di luar negeri peneliti ya hanya meneliti, pendidik ya
hanya mendidik. Di Indonesia dituntut untuk menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Walaupun pekerjaannya merangkap, produk penelitian kita tetap harus berkualitas dan inovatif supaya tidak menjadi bangsa yang terpuruk,” imbuh perempuan yang menempuh pendidikan doktoral di pascasarjana UNAIR tersebut. Sepanjang perjalanan karir yang telah dilalui, berbagai perhargaan di bidang penelitian telah Purwati genggam. Seperti The Best Presenter pada penelitian Hepatologi pada KONAS PEGI Juli 2005 di Balikpapan, serta The First Winner of Free Paper Presentation (Research Category) KONAS PETRI di Semarang pada tahun 2011. Penghargaan tersebut merupakan salah satu bukti perjuangannya dalam bidang penelitian. Mengenai bidang stem cell yang tengah digeluti Purwati saat ini, ia berharap agar penelitian stem cell dapat terus dikembangkan untuk dapat menambah inovasi bidang medis di Indonesia. “Harapannya, kedepan bisa dibuat sebuah kebijakan atau standar operasional mengenai prosedur stem cell. Mencari tau stem cell itu baik buat penyakit apa saja, dan tidak signifikan untuk penyakit apa saja,” ujar perempuan yang juga menjabat sebagai sekretaris di Surabaya Regenerative Medicine Center tersebut. Selain menjalani kesibukan sebagai seorang peneliti dan pengajar di bidang medis, Purwati juga merupakan seorang ibu rumah tangga. Diakui Purwati, menggeluti kiprah pada dunia penelitian medis membuat waktu untuk keluarga dan anak-anak banyak tersita. Namun, melalui pemahaman Purwati, keluarga dan anak-anaknya mengerti bahwa di luar keluarga ia adalah seorang wanita karir yang berjuang untuk kepentingan masyarakat luas. Sehingga dukungan dari keluarga dan anak-anak terus mengalir untuknya. “Waktu kebersamaan saya dengan anak-anak tersita banyak sekali. Seharusnya saya bisa mengajaknya bermain, kenyataannya
justru pergi ke laboratorium atau praktek,” ujar ibu dari tiga orang anak tersebut. “Seorang ibu tidak akan pernah menjadi perempuan hebat tanpa support keluarga dan anak-anak, terutama bagi saya sebagai wanita karir,” pungkasnya. (*) Penulis : Dilan Salsabila Editor : Binti Q. Masruroh