Membaca dan seperti Kartini
Menulislah
UNAIR NEWS – Mahasiswa Program Studi S-1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga menyelenggarakan seminar “Perjuangan Kartini dan Emansipasi Pendidikan Kaum Perempuan”, Rabu (10/5). Seminar yang diselenggarakan di Aula Soetandyo tersebut dihadiri lebih dari seratus peserta yang terdiri dari mahasiswa dan dosen. Sebelum seminar tersebut dimulai, tiga mahasiswa Antropologi tahun angkatan 2015 memaparkan mini riset. Mereka adalah Treesya, Dian Firda, dan Afiarta. Mereka menyampaikan hasil riset tentang pendidikan perempuan mahasiswa di antaranya nilai indeks prestasi kumulatif, dan keaktifan organisasi. Narasumber seminar, Dr. Pinky Saptandari, menjelaskan kepiawaian pahlawan nasional Raden Ajeng Kartini dalam menulis dan berkorespondensi tak mungkin dimiliki tanpa pengalaman membaca yang luas. “Jadi, para mahasiswa tidak akan bisa menulis kalau kalian tidak membaca terlebih dahulu,” ujarnya. Selain Pinky, ada Iva Hasanah pegiat sekolah perempuan pada Kelompok Perempuan dan Sumber-sumber Kehidupan Jawa Timur, yang menjadi narasumber dalam seminar tersebut. Iva mengatakan, kajian-kajian tentang perempuan berbeda dengan isu-isu umum. “Sehingga untuk memgkaji isu perempuan diperlukan kacamata perspektif gender,” ujar Iva. Dalam kesempatan tersebut, Koordinator Prodi S-1 Antropologi Tri Joko Sri Haryono, M.Si juga memberikan sambutan. “Dari Kartini, ada banyak hal yang bisa kita dapat, misalnya tentang menulis. Maka, jadilah pena karena kekuatan pena sungguh luar biasa, seperti apa yang dilakukan oleh Kartini,” ungkapnya.
Penulis: Akhmad Janni Editor: Defrina Sukma S
Pakar Antropologi Belanda Menyarankan Agar Masyarakat Cintai Lingkungan UNAIR NEWS – Era globalisasi memberi kesempatan mobilitas yang tinggi bagi seluruh manusia tanpa batas. Namun, paradigma mobilitas memiliki dampak terhadap lingkungan. Berangkat dari hal tersebut, Departemen Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga mengadakan kuliah umum bertema “New Mobility Paradigm Applied to Surabaya Particular Kali Brantas, Jumat (3/3). Pakar antropologi Dr. Freek Colombijn, Associate Professor, Faculty of Social Cultural Anthrophology, Vrije Universieit Amsterdam, memberikan kuliah umum tentang globalisasi. Kuliah umum bertempat di Ruang Siti Parwati FIB ini mengulas makna globalisasi. “Globalisasi bukan hanya tentang McDonalds, KFC, CocaCola, atau kepadatan penduduk di wilayah urban (perkotaan). Tetapi, tentang bagaimana dampaknya terhadap masyarakat,” tutur Freek. Sedangkan aspek globalisasi meliputi berbagai lingkup, yaitu etnoscapes, landscapes, technoscapes, mediascapes, dan ideoscapes. Lingkup etnoscapes meliputi proses perpindahan manusia dari wilayah satu ke wilayah lainnya, misalnya perjalanan wisata yang saat ini didukung infrastuktur yang
memadai. Di sisi lain, landscapes ialah apa yang terlihat bergantung pada posisi. Sebagaimana studi lingkungan erat kaitannya dengan gaya hidup atau perilaku seseorang dalam lingkungannya. Misalnya, seorang petani memiliki selera pakaian kaos oblong dan celana pendek. Berbeda dengan petani, artis lebih berselera mengenakan gaun dan baju-baju mahal. Technoscape dan mediascape mengarah pada perkembangan teknologi yang mutakhir dewasa ini. Kecanggihan teknologi mampu mempermudah komunikasi dan distribusi atar wilayah, bahkan antar negara sehingga mobilitas tidak terhambat akses biaya. Sedangkan, ideoscape merujuk pada ideologi dan pahampaham setiap bangsa yang mulai bergerak menyesuaikan tuntunan zaman. “Menurut Cresswell terdapat tiga pergerakan, yaitu mobilitas fisik, representasi mobilitas atau bagaimana kita memperlihatkan sebuah mobilitas kepada orang lain, dan praktik mobilitas atau ketika kita mengalami perpindahan itu sendiri.’ imbunya. Perpindahan atau mobilitas memiliki batasan dan hambatan. Contohnya, hambatan karena kebijakan pemerintah seperti kebijakan proteksionisme Donald Trump. Pelarangan imigran dan muslim dari Meksiko dan beberapa wilayah membatasi mobilitas ke Amerika Serikat. Konflik jalur Gaza pun menjadi salah satu fenomena hambatan mobilitas. Masyarakat terpaksa melewati lubang bawah tanah untuk mobilitas antar wilayah. Selain mobilitas, Freek juga membahas studi lingkungan. Cakupan penelitiannya adalah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Ia melakukan penelitian di Surabaya. Freek mencoba menelusuri aliran sampah dari rumah tangga hingga tempat pembuangan air. Ia menemukan pola menyerupai kaktus sebagai direction of waste (arah sampah). Arah tersebut berawal dari petugas pengambilan sampah di tiap rumah dan dipilah sesuai dengan jenisnya. Sampah dipilah
antara bernilai jual dengan tidak. Sampah yang tak bernilai jual, akan dialirkan ke tempat pembuangan sementara (TPS). Beberapa sampah masih dipilah lagi kemudian dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA). “Awalnya saya menilai kota-kota di Indonesia termasuk dalam jenis kota kotor. Namun, setelah saya dalami situasinya ternyata hanya pada tempat-tempat tertentu saja yang kotor salah satunya, yaitu sungai. Oleh karena itu, penting bagi individu untuk mengontrol jumlah sampah di rumah masing-masing sehingga tidak menyumbang sampah semakin banyak,” jelas Freek.
Penulis: Siti Nur Umami Editor: Defrina Sukma S
Tak Hanya Fosil dan Candi, Antropologi UNAIR Miliki Cakupan Lebih Luas UNAIR NEWS – Menggambarkan manusia dari kehidupan masa lalu dan sekarang dengan landasan teori ilmu sosial dan ilmu hayati adalah tugas para antropolog. Melalui pijakan antropologi, seorang antropolog bisa menjejaki karir di bidang apapun yang berhubungan dengan manusia dan kebudayaan. Seperti misalnya, musibah kecelakaan yang merenggut korban pesawat Air Asia akhir 2014, atau tenggelamnya para imigran gelap tahun 2011 di perairan Trenggalek, membutuhkan tangan para antropolog ragawi dalam melakukan identifikasi para korban.
Selain dalam hal ragawi, antropolog juga terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. pengkajian mengenai sekolah khusus perempuan Para antropolog mengkaji latar belakang pendirian sekolah perempuan.
melakukan kajian Seperti misalnya, di suatu wilayah. budaya mengenai
Itulah sebagian kecil kiprah para antropolog Universitas Airlangga yang dituturkan oleh Koordinator Program Studi S-1 Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Drs. Yusuf Ernawan, M.Hum. “UNAIR benar-benar mencetak seorang antropolog yang handal dan berintegritas,” tutur Yusuf. Seiring berkembangnya zaman, prodi Antropologi UNAIR kian berkembang. Yusuf mengungkapkan, saat ini, Antropologi UNAIR memiliki dua cabang peminatan, yaitu Antropologi Sosial Budaya dan Antropologi Ragawi. Di dalam Antropologi Ragawi, salah satu hal yang dipelajari adalah Antropologi Forensik. “Di tempat lain, Antropologi dikembangkan,” jelasnya.
Forensik
nyaris
belum
Namun, untuk saat ini, Antropologi Forensik dianggap lebih menonjol karena banyaknya kasus kecelakaan dan kriminalitas. “Jadi kecelakaan pesawat atau kapal tenggelam itu kita bekerja sama dengan kepolisian. Jadi nama kita nyaris sering terdengar di masyarakat,” ungkap Yusuf. Selain itu, Antropologi juga berkembang dari sisi ruang lingkupnya. Yusuf mengungkapkan bahwa kajian antropologi tidak hanya terkait kecelakaan, fosil, dan candi. “Kita mau ngomong apapun itu bisa, mulai kesenian, agama, seksualitas, pendidikan, perubahan sosial, bahkan pariwisata itu ruang lingkup kita semua, ada mata kuliahnya. Jadi, luas sekali,” tandasnya. Dalam kurikulumnya, antropologi dilengkapi dengan berbagai fasilitas untuk menunjang kegiatan mahasiswa. Salah satunya adalah museum antropologi atas kerja sama dengan Dirjen Kebudayaan. Selain itu, para mahasiswa juga akan
menyelenggarakan PKL (Praktik Kuliah Lapangan), sehingga terjun langsung pada masyarakat. “Karena idealnya itu harus sering ke lapangan, jadi ilmu antropologi itu untuk memahami masyarakat,” terang Yusuf. “Sebenarnya bukan sekedar mengetahui atau mendeskripsikan, tapi juga bisa memahami, masyarakat yang diteliti itu seperti apa, setelah paham dia menjadi mediator untuk menjelaskan pemahaman itu kepada pihak lain atau masyarakat luas,” imbuhnya. Ke depan, Yusuf berharap agar Antropologi UNAIR terus berkembang dan mencetak antropolog yang mumpuni. Bahkan, Yusuf mengaku mendapatkan dorongan dari para mahasiswa agar segera membentuk Program Magister untuk Ilmu Antropologi. “Banyak juga mahasiswa yang mendorong kita untuk mendirikan SII. Lah, nanti akan kita planning dan diskusikan,” ujarnya positif. (*) Penulis : Dilan Salsabila. Editor : Defrina Sukma S
Prof. H.J. Glinka, Sang Filantropi Ilmu Antropologi UNAIR ASRAMA Biara Soverdi di Jl. Polisi Istimewa Kota Surabaya, suatu sore. Seorang laki-laki berkebangsaan Polandia duduk di kursi putar sambil menatap layar komputernya. Disampingnya tergeletak sebungkos rokok filter kesukaannya. Ia ambil sebatang demi sebatang, lalu dinyalakan dan dihisapnya, habis.
Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD sangat menikmati sekali suasana sore hari itu. Pria kelahiran Chorzow, Polandia, 7 Juni 1932 yang akrab disapa Pater Glinka itu, bersemangat sekali ketika mengisahkan pergulatannya dalam mengembangkan ilmu antropologi ragawi di Indonesia, khususnya di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya. Kepada UNAIRNEWS yang menemani di sore itu, Romo Glinka agak keberatan disebut “Bapak Antropologi”, walau saat ini tokoh senior Antropolog yang ada adalah dia. ”Bukan saya. Yang tepat sahabat saya, Lie Gwan Liong. Dia yang merintis jurusan Antropologi di FISIP UNAIR. Karena Gwan Liong juga akhirnya saya sampai di sini,” katanya. Lie Gwan Liong yang dimaksudkan adalah yang kemudian lebih kita kenal dengan Adi Sukadana. Sepeninggal Prof. Dr. Teuku Jacob (UGM, yang wafat tahun 2007 dalam usia 77 tahun), kini di usia 84 tahun Prof. Glinka adalah Guru Besar Antropologi Ragawi paling senior di Indonesia. Hanya saja, Prof. Teuku Jacob sudah “melahirkan” Professor baru yaitu Prof. Etty Indriati, sedangkan Prof. Glinka dalam 27 tahun mengabdi sebagai Guru Besar Antropologi FISIP UNAIR belum menghasilkan professor, tetapi sudah melahirkan 13 orang Doktor bidang Ilmu Antropologi. ”Mudah-mudahan dalam waktu dekat, diantara 13 Doktor itu segera ada yang menjadi Professor Antropologi di UNAIR,” ujar Prof. Glinka sangat berharap. 30 Tahun di Surabaya H.J. Glinka muda datang ke Indonesia pada 27 Agustus 1965. Ia datang karena informasi dari seorang diplomat Polandia di Jakarta bahwa ada seorang antropolog yang menikah dengan wanita Polandia saat studi di Moskow. Dialah Prof. Ave, ahli antropologi budaya. Lalu ia mereferensikan kepada Glinka untuk datang ke Universitas Indonesia menemui dr. Munandar di Bagian Anatomi. Munandar bukan ahli antropologi tetapi pernah
melakukan penelitian di Kalimantan, dan ia merasa terkejut dengan kedatangan Glinka. Setelah berdialog, Munandar berkisah bahwa di Surabaya ada temannya, yaitu Lie Gwan Liong di Bagian Anatomi FK UNAIR. Gwan Liong mengundang Glinka ke Surabaya. Suatu hari di ruang Anatomi FK UNAIR tiba-tiba para staf ”kaget”: “Kok ada Londo baru” (karena sebelumnya pernah ada “Londo” yang lain yaitu Prof. Snell). Gwan Liong yang kemudian dikenal dengan nama Adi Sukadana, mengaku senang dengan kehadiran Glinka dan langsung mengajaknya makan siang di rumahnya. ”Adi merupakan keluarga Indonesia pertama yang saya datangi. Dia seorang dokter yang rajin belajar antropologi dari Prof. Snell (sebelum pulang dari Indonesia),” kenang Prof. Glinka. Kemudian Pastor lulusan Seminari Tinggi SVD di Pieniezno (Polandia) tahun 1957 ini pergi ke Flores untuk memenuhi Romo Yosef Diaz Viera yang merekrut banyak Pastor untuk ditugaskan di sana, sekaligus melanjutkan jejak pamannya untuk mengajar di Seminari Tinggi Ledalero, Flores (1966-1985). Selama di Flores, setiap tahun Glinka mengunjungi Adi Sukadana di Surabaya. Karena Glinka adalah Antropolog lulusan Universitas Mickiewicz, Poznan, Polandia, yang kebetulan disertasi doktoralnya mengenai Indonesia, maka dirayulah dia untuk bergabung dalam organisasi Anatomi Indonesia yang didalamnya antara lain ada Adi Sukadana dan Teuku Yacob. Supaya lebih integral, lalu Adi mengajak untuk menggabungkan antara antropologi budaya yang ia kuasai dengan bioantropology yang dikuasai Glinka. Setelah cukup lama menunggu “proses”, peraih Profesor dari Uniwersytet Jagiellonski, Krakow tahun 1977 ini diajak bergabung di Bagian Anatomi UNAIR. Maka tahun 1984 Prof. Glinka datang ke UNAIR, dan ternyata SK pembentukan Departemen Antropologi UNAIR sudah turun, kemudian tahun 1985 Jurusan Antropologi FISIP UNAIR resmi dibuka.
“Selanjutnya bulan Juli 1985 saya pindah ke Surabaya sampai saat ini. Jadi saya tinggal di Surabaya sudah 30 tahun lebih,” tuturnya seraya menunjukkan raut gembiranya karena 50 tahun kehadirannya di Indonesia baru saja dipestakan di Flores, walau ia tidak bisa datang kesana. Setelah menjalani peran rutin sebagai Guru Besar asing dan pengembangan ilmu antropologi di Indonesia, khususnya selama 27 tahun di UNAIR, tahun 2012 Prof. Glinka minta pensiun karena fisik yang sudah tidak kuat untuk naik-turun tangga. Kendati demikian, Prof. Glinka masih sering dimintai konsutasi, sharing keilmuan, penguji eksternal dalam ujian doktor, seminar, dsb.
Prof. H.J. Glinka bersama kader-kader dibimbingnya. (Foto: Istimewa)
Antropolog
yang
PERCAKAPAN dengan Prof. Glinka: Apa motivasi Anda sampai betah di UNAIR? Motivasi saya karena Adi yang minta, dan saya bisa membantu.
Misi yang lain tidak ada. Pertimbangan utama saya adalah pengembangan antropologi. Karena itu tahun 1984 saya minta Adi menulis surat ke bos saya di Roma. Ternyata beliau menyetujui, maka Februari 1984 saya pindah ke Surabaya. Bagaimana proses awal dalam adaptasi mengajar di UNAIR? Akomodasi di UNAIR pada awalnya tidaklah enteng. Bayangkan, saya mengajar di seminari di lingkungan Katolik, siswanya laki-laki. Kemudian saya datang disini tetapi tidak tahu siapa mahasiswa yang Muslim, Kristen, Katolik, juga ada cewek dan laki-laki. Ritmenya beda dari yang di Flores. Lalu saya dengan Adi membagi kuliah. Tentu saja jatah mengajar saya banyak, sebab dosen yang lain muda-muda, belum lulus, dan kebanyakan bukan dari antropologi. Praktis kami berdua saja. Tetapi bersyukur pelan-pelan Jurusan Antropologi berkembang. Bagaimana liku-liku dalam berjuang untuk Antropologi UNAIR? Dalam minggu-minggu awal kami mengajar 14 jam/minggu. Saya juga menulis hand out sendiri untuk mahasiswa. Onny Joeliana, Totok (Toetik Kusbardiati), Myta (Myrtati Dyah Artaria) antara lain mahasiswa angkatan pertama. Pada suatu waktu tahun 1990 ada tragedi; Adi Sukadana sakit ketika sedang di lapangan dalam penelitian di Banyuwangi. Sempat mendapat perawatan di RS tetapi dalam beberapa hari kemudian Adi meninggalkan kita untuk selamanya. Setelah itu situasi berubah total. Saya terpaksa mengambilalih semua mata kuliah yang diajarkan Adi, baik yang di FK, di FKG dan di FISIP. Jadi berat sekali. Akhirnya saya pergi ke Rektor, saat Rektor UNAIR Prof. Dr. Soedarso Djojonegoro. Kepada Rektor saya bertanya: ”Apakah Antropologi UNAIR akan mati bersama saya?” Dijawab “Oh tidak, Antro harus terus berkembang”. “Kalau begitu beri saya asisten”. Waktu itu Myta dan Onny sudah selesai skripsi. Saya maunya keduanya, tetapi dibilang jatahnya hanya satu, maka Myta yang masuk. Itu mungkin karena Jakarta melihat bahwa Antropologi masih
merupakan jurusan baru. Setelah ada asisten maka beban saya sedikit lebih ringan. Siapa kira-kira kader Prof. Glinka untuk Antropologi UNAIR kedepan? Setelah 1,5 tahun kemudian, saya dapatkan Totok (Toetik Kusbardiati). Kemudian Myta sekolah ke Amerika, dan Totok bersama saya meneruskan mengajar. Setelah saya dorong terus, akhirnya Totok juga mau belajar. Ia memilih ke Hamburg, Jerman, dan lulus dengan predikat summa cumlaude. Peran Totok dalam pengembangan dan pengabdian di bidang antropologi juga bagus, terutama sepulang dari Jepang dan Kualalumpur serta membawa Sertifikat Internasional Antropologi Forensik. Ketika di Indonesia ada musibah besar dimana-mana Totok sering diminta membantu bersama Tim DVI (Disaster Victim Investigation), karena yang ahli dibidang itu di Indonesia hanya dua; dua-duanya perempuan. Karena itu sepeninggal Prof. Teuku Yacob, maka pusat antropologi di Indonesia saya kira bukan lagi di Yogyakarta tetapi di Surabaya (UNAIR). Harapan Anda terhadap masa depan Jurusan Antropologi UNAIR? Sejak beberapa tahun lalu saya sudah bilang ke Dekan dan Rektor, yaitu peremajaan! Karena orang yang mau menggantikan saya ini perlu sepuluh tahun, perlu doktoral, spesialisasi, dsb. Itu yang saya rasa kurang. Saya berharap yang masih bertahan menekuni antropologi hendaknya tetap bertahan dan berkembang. Saya optimis Antropologi UNAIR akan segera melahirkan Professor baru, sekarang pun sudah kelihatan siapa kandidat-kandidatnya. Bagaimana rasanya bisa ikut antropologi di Indonesia?
mewarnai
pengembangan
ilmu
Makin lama makin puas, sebab melihat perkembangannya yang baik sekali, serta dikerjakan secara betul-betul. Cuma saya agak kecewa bahwa para kader antropologi kok juga disibukkan dengan
hal-hal birokrasi manajemen, tentu penelitiannya menjadi tersita.
saja
waktu
untuk
Adakah kenangan secara khusus saat bersama di UNAIR? Tentu ada. Tahun 1998 saya mau diusir oleh ICMI karena dituduh mengkristenkan anak-anak Islam. Tetapi waktu mereka mendengar isu itu dan saya akan diusir, mahasiswa demonstrasi ke Rektorat membela saya. Onny dan Nanang Krisdinanto juga berjasa dengan menuliskan di Surabaya Post. Sampai pada saat hari libur, Prof. Soedarso (Rektor) datang ke saya untuk memastikan status saya tidak ada pengusiran. Anehnya, ketika berita itu tersebar, sampai-sampai UI dan beberapa universitas lain mengontak saya untuk merekrutnya. Saya tidak mau. Dari perjuangan seperti itu, masih keberatan disebut “Bapak Antropologi” atau “Duet Bapak Antropologi”? Adi Sukadana. Bukan saya. Karena dia perintisnya. Ia juga mengumpulkan buku dan benda antropologi lain dan dijadikan museum. Tapi diantara kami berdua sudah ada persetujuan: saya di bidang bio-antropologi (antropologi ragawi) dan Adi yang prasejarah atau Antropologi Budaya. Duet? Ya kami memang berjuang bersama.
Ratusan koleksi buku-buku milik Prof. Glinka siap dihibahkan kepada perpustakaan FISIP UNAIR. (Foto: Bambang Bes) Ratusan buku Ilmu Antropologi di rumah Prof. Glinka ini, kelak akan dikemanakan? Saya sudah menulis surat wasiat, untuk buku-buku antropologi semua akan saya serahkan ke UNAIR, sedangkan yang lain terserah. Selain buku antropologi (ragawi dan budaya – letaknya disendirikan) juga ada majalah, ensiklopedi, dan buku-buku teologi. Diantara buku-buku itu ada yang usianya sudah puluhan tahun, tapi kebanyakan berbahasa Jerman, Rusia, Inggris, dan Belanda, dan kebanyakan tentang anatomi. Karena itu ketika dulu saya membimbing kandidat Doktor, banyak mereka baca-baca disini. Konon Prof. Glinka menguasai enam bahasa (poliglot)? Apa saja itu? Bahasa yang saya mengerti ada sembilan, tetapi hanya empat yang benar-benar saya kuasai. Bahasa Jerman dan Polandia saya dapat sejak bayi, karena mama saya asli Jerman dan ayah
Polandia, dan saya lahir di Polandia. Jadi itu sebagai bahasa ibu. Yang lain bahasa Indonesia, Inggris, Ibrani, Yunani, dan Perancis. Bahasa Perancis pernah sempat lupa (hilang), anehnya setelah di Perancis 2-3 hari, saya ingat dan mengerti lagi. Menguasai banyak bahasa memang membahagiakan karena memungkinkan banyak pengetahuan bisa dipelajari. Jadi di rak ini ada buku dalam sembilan bahasa. Adakah niatan untuk pulang ke Polandia?. Tidak. Di Polandia saya kenal siapa? Teman-teman sudah banyak yang mati. Sebab disana itu daerah industri pertambangan, mereka bekerja keras sehingga usia 40-50 sudah payah. Di kampung saya paling tinggal dua atau tiga teman tersisa, sedang disini banyak. Itu saya buktikan ketika pergi ke Soverdi (SWD) dan Ordo, bahwa pastor yang ada disana baru lahir setelah saya pergi ke Indonesia. Seorang teman baru saja dari Polandia dan separo dari misionaris yang ada, ia tidak kenal. Prof Glinka mencintai Kota Surabaya? Benar. Karena di kota ini saya mendapat kebanggaan. Saya sudah memproduksi 13 Doktor di UNAIR baik sebagai promotor dan copromotor. Saya sudah menulis oto-biografi berbahasa Polandia, ketika kawan-kawan saya membaca, mereka takjub dan merasa masih seperti “anak kecil”. Itu karena mereka baru mencetak 2–3 Doktor, sedang saya sudah 13. Dari biografi itu kawan saya melihat semua peristiwa hidup saya. Kata mereka: sepertinya Tuhan menyiapkan saya untuk UNAIR. Saya tidak mau studi, disuruh studi. Lalu biara memerintahkan dan saya studi sosiologi dan antropologi. Lalu saya mengembangkannya di UNAIR bersama Adi Sukadana. Kenangan bersama Adi dan kebersamaan selama 27 tahun yang saya tanam di UNAIR sungguh sangat indah. Ini yang saya banggakan. (*) Pewawancara: BAMBANG BES
Lahan Penelitian Klientelisme Politik Lokal Masih Terbuka Luas UNAIR NEWS – Sivitas akademika program studi Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga kedatangan Prof. Heddy Shri Ahimsa Putra, Selasa (24/5). Guru Besar Antropologi Universitas Gadjah Mada itu memberikan kuliah umum tentang ‘Klientelisme dan Otonomi Daerah di Indonesia’ di hadapan puluhan peserta. Dalam literatur ilmu sosial, konsep klientelisme berpasangan dengan konsep patronase. Kedua konsep itu biasa dipakai untuk menunjukkan pola hubungan patron (pemilik wewenang) dan klien (pelanggan) dalam menganalisis fenomena sosial. Ilmuwan politik mulai menengok fenomena patronase karena group theory tidak selalu dapat menjelaskan fenomena politik di tingkat lokal, seperti pedesaan. “Para ahli antropologi generasi berikutnya merasa bahwa pendekatan ini kurang mampu menampilkan dinamika politik yang penuh dengan persaingan dan konflik,” tutur Prof. Heddy. Menurut Prof. Heddy, teori patronase dan jaringan sosial lebih dapat menjelaskan fenomena politik di tingkat lokal di negara berkembang. Inilah yang kemudian membuat para ilmuwan politik tertarik meneliti politik lokal. Tak hanya itu, ilmuwan politik menggunakan patronase sebagai model untuk memahami politik di tingkat nasional dan internasional. Dalam kuliah umum tersebut, ia juga menjelaskan perihal relasi klientelisme dengan otonomi daerah. Beliau mengemukakan bahwa pendekatan struktural-fungsional dapat digunakan untuk
memahami hubungan otonomi daerah dan fenomena patronase di berbagai daerah di Indonesia, atau politik di tingkat desa hingga tingkat provinsi. “Diterapkannya otonomi daerah di Indonesia sangat banyak mengubah kondisi fisik-material dan kondisi sosial-budaya masyarakat di daerah pedesaan maupun di tingkat kabupaten. Hal ini tentu berpengaruh terhadap keberlangsungan hubungan patronase di situ. Hal itu tidak berarti bahwa kita tidak perlu menggunakan paradigma-paradigma prosesual. Semua paradigma dapat digunakan untuk memahami fenomena patronase,” pungkasnya. Menurutnya, ada beberapa kemungkinan timbulnya corak patronase baru di era otonomi daerah. Salah satu di antaranya adalah kepala daerah menjadi patron tunggal karena kepala daerah dapat memanfaatkan anggaran belanja daerah untuk menampilkan citranya sebagai patron. Selain itu, patron yang muncul berasal dari kelompok kekerabatan tertentu. Hal itu disebabkan adanya dukungan kerabatan kepala daerah yang meminta untuk mempertahankan jabatan. Prof. Heddy juga menjelaskan tentang prospek penelitian klientelisme di Indonesia yang bagi beliau masih memiliki lahan penelitian luas karena belum banyak diteliti meskipun dalam beberapa tahun terakhir semakin meningkat jumlahnya. Tak hanya itu, penelitian tersebut sangat memungkinkan memberikan sumbangan teoretis, khususnya pada kajian tentang patronase yang disebabkan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya di lingkungan masyarakat. Dalam proses demokratisasi di tingkat lokal, penelitian klientilisme juga memungkinkan untuk memberikan banyak sumbangan praktis karena akan memberikan banyak pemahaman mengenai proses politik pada tataran tersebut. “Dan juga sangat mungkin memberikan banyak sumbangan untuk memahami budaya dan masyarakat lokal di Indonesia, serta
dinamika politiknya,” tutupnya. (*) Penulis: Lovita Martafabella Editor: Defrina Sukma S.