dan sangat lusuh. Sesaat sebelum minum,” katanya, “orang yang di-tuakan dalam keluarga selalu memercikkan air pada patung itu. Ketika kami menganut agama Islam, patung itu hilang, tetapi tradisi memercikkan air tetap lestari.” Tanpa menghiraukan keributan di desa akibat kehadirannya, Ahmed menempati gua kecil di hutan sebelah utara desa yang dapat dicapai dalam dua jam berjalan kaki. Tahir sekilas melihatnya sewaktu dia mengumpulkan kayu kering. Lelaki itu memberi isyarat tidak mau diganggu. Di lain hari, Tahir melihatnya sedang bersujud di depan gua. Ketika dia menceritakannya, para wanita itu setuju bahwa keberadaan orang suci di dekat desa mereka adalah suatu pertanda baik. Sang Imam dimintai pendapat, “Apakah sebaiknya kami menyediakan makanan baginya?” Sang Imam menyetujui dan mereka mengantarkan sekeranjang sayuran dan buah-buahan ke tempat Ahmed. Kemudian, mereka meninggalkan keranjang itu di mulut gua. Pater Chrisostom, yang mengunjungi desa itu setiap empat bulan sekali, juga pernah ditanyai mengenai Ahmed. “Bagaimana pendapat Pater mengenai jalan hidup yang ditempuh orang bernama Ahmed itu? Apakah jalan itu jalan yang benar?” Jawaban dia sangat hati-hati. “Tergantung. Hidup dalam kesendirian tidak diperuntukkan bagi se mua orang. Sangat sedikit yang bisa menempuh cara hidup seperti itu.” Jemaat Pater Chrisostom tersebar di dua belas desa yang tersebar di berbagai lembah dan puncak Pegunungan Taurus.“Kita memerlukan kaki yang kuat bila hendak menjadi seorang pastor pedesaan.” Dia biasanya berkata sambil tersenyum lebar, membuat kerutan di sekitar matanya semakin dalam. Pada saat itulah dia menyembunyikan rasa lelah dan pegal-pegal yang perlahan menjalar ke seluruh persendiannya.Suatu hari nanti aku menjadi terlalu tua untuk pekerjaan ini, begitulah pikirannya akhir-akhir ini. Lantas, apa yang akan terjadi pada jemaatku? Dia khawatir. Mereka masih membaptis anak mereka, tetapi mereka membangun masjid dan membiarkan gereja bobrok tak terpelihara. Agama baru itu berkembang pesat hingga ke pelosok, hal itu tak bisa dimungkiri. Di Konstantinopel, para uskup telah berkumpul dan membicarakannya, tapi tidak sedikit pun menghasilkan keputusan konkret. Pater Chrisostom mendesah. Pekerjaan ini telah merenggut seluruh kehidupannya. Pada akhirnya, apakah akan berhasil? “Kuberi tahu, ya, sungguh sebuah kesalahan jika a-nak muda seperti dirinya menjauhkan diri dari dunia dan tidak memiliki anak-anak.” Begitulah isi percakapan mereka saat mengisi kendi-kendi di mata air. Sekali lagi, mereka menggunjingkan Ahmed. “Tidak ada salahnya berusaha menjadi orang suci,” si tua A-nya menggerutu,“tapi apakah tak bisa menjadi keduanya, suci sekaligus menjadi seorang ayah? Contohnya sang Imam.” “Lihat saja Pater Chrisostom,” sela Evdokia tak mau kalah. “Memang. Tetapi, Pater Chrisostom berkata bahwa Tuhan menginginkan anak-anakNya berkembang biak,” seru Safia penuh kemenangan. Evdokia tak kuasa menahan tawa. “Ah, Safia. Kamu tentu saja menjalankan perintah Tuhan. Kamu sudah punya anak lima dan sebentar lagi bertambah satu, sedangkan kamu baru berumur dua puluh tahun!” Safia dengan bangga mengelus perutnya yang membuncit. “Anak adalah benih-benih masa depan,” ujarnya singkat, mengutip kata-kata Pater Chrisostom. Agak menggelikan, pikir Evdokia, hampir seisi desa memperbincangkan pernikahan dan anak karena kehadiran seorang pertapa muda yang jelas-je las tak mau ambil pusing dengan kedua masalah itu. Setelah beberapa lama, orang-orang menjadi bosan. Tetapi, mereka tidak melupakan Ahmed. Bukan. Agaknya dia sekarang menjadi bagian lingkungan di sekitar desa. Kehadirannya tak bisa dinafikan, seperti halnya hutan atau sungai kecil di kaki
desa. Daratan membutuhkan air dan rerumputan. Ahmed pun di guanya membutuhkan makanan. Tetapi, dia bukan lagi barang aneh yang mengundang rasa ingin tahu. Setiap minggu, seorang anak meletakkan sekeranjang makanan di mulut gua dan ada kalanya Ahmed menyerahkan seekor burung atau kelinci sebagai penukar.Setiap kali Ahmed bertemu orang, dia memberi isyarat bahwa dia tak ingin bertukar sapa dan hal tersebut diterima sebagai kelaziman, seperti halnya matahari terbit dari timur atau sungai kecil yang mengalir menuruni lereng bukit. Yang menjadi perbincangan hari ini bukanlah Ahmed, melainkan kedatangan Pater Chrisostom setelah lebih dari tiga bulan tidak menampakkan diri di desa itu.Penghuni desa itu tidak selalu menunjukkan kesetiaannya pada gereja, tetapi mereka jelas-jelas menyayangi Pater, yang pada setiap kunjungannya selalu membawa keceriaan di desa itu. Malam ini, para wanita akan menyalakan lilin di gereja. Bayi-bayi yang baru lahir akan mengenakan pakaian terbaiknya. Mereka akan mengadakan misa. Sesudah itu,Pater Chrisostom akan diundang makan malam di beranda atas oleh beberapa keluarga. Api akan dinyalakan dan, seperti biasanya,dia akan mengundang sahabatnya, yakni sang Imam, yang juga menyempatkan diri untuk hadir. Kedua orang itu memang berbeda dalam keyakinan. Tetapi, setelah bertahun-tahun bahu-memba hu dalam meningkatkan kesejahteraan desa itu,perbedaan itu terkikis. Mereka berdua toh menaruh minat yang sama. Tetapi, kedudukan keagamaan mereka memang berbeda. Sang Imam hanya merupakan pemimpin shalat Jumat. Sedangkan, Pater Chrisostom menurut hukum gereja adalah wakil Tuhan, sebuah kedudukan yang sering dirasakannya membebani pundaknya. Namun, perbedaan itu tidaklah mengganggu kehangatan persahabatan mereka berdua. Sekarang, sambil duduk mengitari perapian yang berkobar, diteduhi percakapan seru di sekelilingnya, Pater Chrisostom diam-diam hanyut dalam perasaannya. Dia merenung, pada akhirnya, perbedaan kami, dalam kedudukan maupun keyakinan, bukan merupakan masalah di mata Tuhan. Pendapat ini, bagaimanapun, hanya disimpannya untuk dirinya sendiri. Dia menutupinya rapat-rapat dari orang lain. Uskupnya, dia tahu pasti, tidak akan menghargai pendapatnya ini. Tahu apa sang uskup mengenai kehidupan orang-orang ini? Para uskup terlalu sibuk dengan perselisihan mereka sendiri, memperebutkan Konstantinopel apakah pantas diperintah Gereja Latin ataukah Gereja Timur. Tahu apa mereka tentang kerasnya penderitaan penghuni desa: musim yang tak bisa diramalkan, dan yang lebih buruk lagi invasi terus-menerus, penjarahan pasukan, perbudakan, dan pembantaian massal? Saat aku menatap mereka, mendengarkan keluhan mereka, aku tahu bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan, dan setahuku hanya inilah yang penting. Tetapi, Pater Chrisostom merasa pedih, pastor macam apa aku?Dan, Kau Tuhan Yesus, apakah aku melupakan tugasku sebagai saksi-Mu? Sudah bertahun-tahun dia merasakan per kembangan Islam membebani pundaknya dan menjadi beban yang tak tertahankan. “Pater jangan sedih,” suara itu membuyarkan lamunannya, suara bocah tak berdosa. “Kami senang sekali kalau Pater ada di sini bersama kami.” Ah, ini pasti Kirnya. Anak ini jeli melihat segala sesuatu, pikirnya. Ada hal yang cukup mengganggu pada anak ini yang sulit untuk dijelaskan. Namun, anak ini sangat memikat. Kirnya menatap sang pastor dengan tenangnya. “Aku sudah selesai menyalin semuanya,” katanya dengan bangga, “seluruh halaman. Maukah Pater melihatnya?” “Tentu saja. Sini.” Dalam setiap kunjungannya, Pater Chrisostom selalu menyempatkan diri mengajari anak-anak baca tulis. Mereka semakin banyak menggunakan bahasa yang disebarkan suku-suku nomad Turkoman. Dia merasa berkewajiban untuk melestarikan bahasa Yu nani, lebih-lebih wilayah ini telah menggunakan bahasa itu selama berabad-abad.
Ada kalanya dia ber tanya-tanya, mungkinkah ini pertanda kekalahan-nya lagi? Tampaknya, tak seorang pun yang memedulikan bahasa; bahasa hanyalah alat komunikasi semata. Di kota-kota, bahasa Arab dan Persia berdampingan dengan bahasa Yunani. Di sini sangat berbeda. Islam dan bahasa Turkoman perlahan menggantikan budaya Kristen dan bahasa Yunani. Ka dang-kadang, alangkah resah rasanya hidup di daratan Anatolia dan Taurus,terombang-ambing di antara dua imperium besar, Bizantium dan Persia! Dan, lebih meresahkan lagi, kedua imperium itu sama-sama terancam di daerahdaerah perbatasan oleh serangan kaum barbar yang sama kejinya, dari mana pun asal mereka kaum Turkoman di timur atau kaum Frank dan sekutunya di barat. Dan sekarang, datang kaum Mongol. Pater Chrisostom tepekur. Bukan hanya jiwa manusia yang terancam, melainkan juga seluruh kehidupan ini lengkap dengan adat kebiasaan yang unik dan penuh pesona. Dia pernah mendengar kaum Mongol membakar perpustakaan yang mereka temui dalam invasi yang mereka lakukan. Manuskrip dan naskah-naskah berharga yang langka musnah menjadi sobekan-sobekan kecil. Karya seni hancur berkeping-keping.Dunia ini dilanda kekacauan, desah sang pastor,tetapi kehidupan terus berjalan.Kaum tua asyik dengan kenangan masa lalunya,sementara yang muda-muda membangun du nia. Pater Chrisostom sudah lama tidak mengunjungi Konya, tapi dia mendengar kabar bahwa di bawah pemerintahan sang Sultan yang arif bijaksana, telah tumbuh budaya baru yang banyak menerima pengaruh Persia, meski tidak terputus sama sekali dari ak-ar budaya Yunani. Seni, gaya, dan keindahannya tampil dengan coraknya sendiri. “Mengapa aku harus cemas?” pikirnya. “Tuhan memiliki rencanaNya sendiri dan apakah hakku mempertanyakannya?” Dia terhenyak. Lamunannya buyar oleh alunan lagu penuh gairah yang entah dari kegelapan mana berasal. Suara itu serak dan keras, didominasi suara tenggorokan. Pastor itu tidak dapat memahami syairnya, tapi lagu itu seakan penghayatan seekor kuda yang berlari bebas di gurun panas di bawah cakrawala yang maha luas. Dia bertanya-tanya apakah lagu itu berasal dari tradisi zaman dulu atau milik peradaban baru. Lagu itu mengalun memanggil Dia yang tak terhingga. Lagu itu dinyanyikan oleh Faroukh. Inilah setulus-tulusnya doa, sebuah doa sejati, pikirnya. Dan, sekali lagi, Pater Chrisostom dibekap keraguan. Setiap insan memiliki keyakinannya masi ngmasing dan Tuhan tentu mendengarkan doa-doa mereka. Memangnya siapakah kita sehingga berani mengajari mereka bagaimana cara berdoa yang benar? Tak pernah Faroukh bernyanyi setulus ini, begitu penuh kerinduan. Lelaki ini sepertinya menderita, tapi penderitaan seperti itu adalah doa, pikir Pater Chrisostom. Dan doa seperti itu selalu akan dijawab. Namun, terkadang butuh waktu yang sangatsangat lama hingga kita bisa mendengar jawaban itu. “Pater, maukah Pater memeriksa tulisan yang kusalin?” nadanya memohon. Seketika dia melepaskan tangan dari keningnya dan kembali menatap Kirnya yang masih berdiri di sisinya. Aku sudah pikun. Entah berapa lama dia mengabaikan Kirnya. Dia menyadari nyanyian Faroukh sudah menghilang. “Maafkan aku, Kirnya. Mari kuperiksa.” Kirnya menyerahkan selembar kertas yang dulu dibawa sang Pater, hampir empat bulan yang lalu, berikut contoh tulisan yang harus disalin Kirnya. Hu ruf-huruf itu Pater tulis secara saksama dengan pena bulu, sedangkan tulisan Kirnya, yang memakai ar ang, tampak tebal tapi sangat tepat seperti contoh yang dia berikan. “Bagus sekali, Kirnya,” kata Pater Chrisostom sambil tersenyum. Dia sangat senang. Dia tahu betul bahwa, bagi orang-orang desa, pelajaran menulis hanyalah pemuas rasa ingin tahu, kegiatan pengisi waktu agar anak-anak mereka tidak rewel. Kehidupan di desa begitu berat dan begitu banyak pekerjaan yang lebih penting dibandingkan menulis, seperti memanen gandum, memberi makan ternak, menyiram tanaman, memetik buah-buahan, ditambah memperbaiki atap sebelum musim dingin tiba. Menulis adalah hak istimewa orang yang mampu menggaji pelayan, bukan untuk orang-orang seperti mereka.
“Apa yang harus kami lakukan terhadap anak ini?” Pater mengalihkan perhatiannya. Faroukh sekarang berdiri di hadapannya, ikut memerhatikan tulisan Kirnya yang baginya tidak ada artinya. Faroukh menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan terlihat bingung. “Dia tidak seperti anak-anak lainnya,” katanya. “Ibunya, dan tentu saja aku, khawatir sekali.” Pater mengembalikan kertas itu kepada Kirnya. “Kirnya, aku dan ayahmu akan bicara. Aku akan memberimu tulisan yang harus kau salin sebelum aku pergi.” Setengah berlari, Kirnya menghampiri ibunya. “Mama, lihat! Pater mengatakan tulisanku sangat bagus.” Pater Chrisostom berpaling kepada Faroukh. “Kau seharusnya tak perlu cemas, Faroukh. Tuhan punya cara tersendiri yang tidak kita ketahui.” Faroukh mengempaskan diri, duduk di samping Pater. Pater Chrisostom mengamati rambut Faroukh yang tampak beruban. “Berapa usiamu, Faroukh?” “Usiaku?” ulang Faroukh. Dia ragu-ragu. “Hampir empat puluh, mungkin. Bangsa kami tidak pernah mengingat dengan baik kapan kelahiran anak mereka sehingga tak ada yang tahu pasti.” “Hmm, ketika aku menikahkanmu, itu sudah delapan belas tahun yang lalu, mungkin,” kata sang Pater. “Saat itu usiamu sekitar dua puluhan. Jadi, kalau tidak salah, usiamu sekarang mungkin 38 atau 39 tahun.” Keheningan menyeruak di antara mereka. Mereka hanyut dalam pikiran masingmasing. Di hadapan mereka, lidah api berkobar. Dari waktu ke waktu, bunga api berloncatan seakan hendak berlari. “Usia puncak,” kata sang Pater setelah beberapa saat. Malam makin larut dan di atas mereka langit tampak pekat bertabur bintang yang berkilau laksana berlian. Pater Chrisostom kembali ke pokok bahasan yang merisaukan Faroukh. “Kau benar,” katanya menyetujui. “Kirnya memang sangat berbeda.” Dan, agak kaget juga dengan sarannya sendiri, dia menambahkan, “Barangkali dia seharusnya pergi ke Konya untuk belajar di sana.” Kedengarannya seperti ide yang bagus. Orang-orang ini tak punya uang, tapi tak jarang ada yang mau mengadopsi anak sekecil itu dan menyekolahkannya. Di sana ada biara dan dia tahu bahwa anak itu, melalui rekomendasinya, pasti akan diterima. Dia masih berpikir dan tak menyadari Faroukh sekarang berdiri tegak di hadapannya. Wajahnya memerah karena marah. “Mengirim Kirnya pergi?” dia berteriak. “Tak akan!” “Aku hanya menyarankan, tidak mengharuskan,” Pater Chrisostom berkata dengan nada menenangkan. “Mungkin saran ini layak kau pertimbangkan.” “Aku tak akan mempertimbangkannya,” jawab Faroukh dan dia pergi meninggalkan Pater begitu saja. Tetapi, Pater Chrisostom cukup mengenal lelaki ini. Faroukh akan mendatangi istrinya, berbagi rasa, dan Evdokia adalah wanita yang bijak. Evdokia akan mendengarkan gerutuan suaminya dengan sabar dan akan menyarankan Faroukh supaya berkonsultasi dengan sang Imam, dan pada akhirnya saran itu akan diketahui seluruh desa dan akan dipertimbangkan berdasarkan kesepakatan bersama. Jika perkiraannya benar, Tuhan akan memudahkan jalan sehingga sarannya itu terlaksana. Untuk sementara, Faroukh akan memendam amarah, dan Pater Chrisostom
mengerti bahwa selama waktu itu, Faroukh akan memusuhinya. Pikiran itu membuatnya tersenyum dan dia merasakan ada kehangatan tangan menggamit tangannya. Dia tidak begitu kaget melihat Kirnya duduk di sisinya, menghibur dan tersenyum kepadanya. []
7 *di Perayaan telah berakhir dan desa itu kembali seperti biasanya. Pater Chrisostom telah pergi subuh tadi. Pater ditemani Tahir, yang berharap akan mendapatkan mata pisau baru untuk bajaknya di desa tetangga. Di beranda atas, Aishel menggunakan seikat alang-alang untuk membersihkan kulit biji bunga matahari sisa-sisa perayaan tadi malam. “Kirnya, bisa ke pinggir sedikit? Tahu tidak, kamu menghalangiku?” Kirnya berdiri di salah satu sudut beranda, me nghalang-halangi Aishel yang hendak membersihkan tempat yang tadi malam diduduki Pater Chrisostom. “Jangan sentuh huruf-hurufku, Aishel.” “Huruf-hurufmu! Itu cuma tulisan di atas debu! Sebaiknya kamu menolongku membersihkannya daripada mengajakku berteng-kar!” “Pater Chrisostom menyuruhku untuk menyalin tulisan yang dia buatkan untukku. Ayolah Aishel, biarkan aku, kumohon.” Aishel menggelengkan kepalanya, jengkel sekali. “Kamu sinting, Kirnya! Tulisan ini omong kosong. Apa gunanya? Apakah dengan menulis kamu bisa mendapatkan roti atau kamu jadi mahir memerah susu kambing?” Kini, Kirnya menatap wajah kakaknya dengan putus asa. Aishel menarik napas panjang. Tak ada gunanya mengajaknya berdebat. Hasilnya selalu sama; pada akhirnya Kirnya entah akan menangis tersedu atau akan tersenyum-senyum melupakan dunia ini dan seisinya. Betapa menjengkelkan! “Kamu membuat kami semua gila, Kirnya,” seru Aishel. Bibir Kirnya bergetar. Matanya berkaca-kaca. Air mata segera turun membasahi pipinya. “Aku tak bisa menjelaskannya kepadamu, aku tak bisa,” katanya tergagap. Tangannya menutupi mulutnya, menahan sedu sedan. “Aku ingin belajar membaca. Aku sangat ingin. Bagiku ini sangat penting.” “Apa yang sangat penting?” tanya Aishel yang sudah agak melunak biarpun masih sedikit jengkel. Kirnya menggelengkan kepalanya, tak berdaya. “Aku tak bisa menjelaskannya, aku tak bisa,” dia mengulanginya lagi. “Aku tak bisa.” Aishel menyerah dan menjatuhkan seikat ala ng-alang itu. “Yuk, kita siapkan makanan.” Di beranda, Evdokia baru saja selesai menggelar selembar kain saat Faroukh datang. Faroukh duduk membelakangi tembok. Evdokia menata penyangga yang akan menahan nampan bundar dari tembaga yang dibawa Aishel. Di atasnya tersaji hidangan yang biasa mereka makan: yogurt, madu, buah zaitun, dan tak lupa gelas untuk minum teh. Di belakangnya ada Kirnya yang membawa piring tanah liat berisi roti
yang seminggu sebelumnya dipanggang Evdokia di oven milik umum. Aishel kembali ke dalam rumah dan membawa sekendi teh panas dan tak lama kemudian mereka menyantap sarapan pagi. “Aishel, tolong isi gelasku. Dan Kirnya, berhentilah bermimpi, lanjutkan makanmu.” Evdokia menggelengkan kepalanya, mencela, meskipun sebenarnya dia juga menunjukkan ekspresi seorang ibu yang bangga. Seperti induk ayam dikelilingi anak-anaknya, Faroukh menerawang. Pemandangan itu membuat senyum terkembang di wajahnya. “Aku lega melihat suasana hatimu agak cerah,” kata Evdokia dengan nada ironis. “Aku tak mengerti apa yang terjadi semalam. Sudah lama aku tak melihat wajah muram cemberutmu sejak gandum kita membusuk.” Panen yang gagal itu terjadi pada musim panas beberapa tahun yang lalu. Saat itu, hujan yang turun berhari-hari menggagalkan panen dan selama beberapa minggu Faroukh tertunduk lesu. Dia berjalan ke sana-kemari sambil menggele nggelengkan kepala dalam keputusasaan. Senyum di wajah Faroukh mendadak lenyap. “Benar,” katanya, “perasaanku tadi malam begitu buruk.” Dia tidak mengatakan apa-apa lagi dan Evdokia tidak memaksanya bicara. Mereka menghabiskan hidangan dalam diam. Aishel kemudian pergi. Kirnya dengan saksama membersihkan kulit biji bunga matahari dari tulisan di atas debu di pojok beranda. Tinggal Evdokia dan Faroukh berduaan. “Tadi malam tidurku tak nyenyak,” kata Faroukh memberengut. Kata-kata Pater Chrisostom masih terngiang di telinganya. “Kau tahu tidak apa sarannya?” dia tiba-tiba meluapkan kekesalannya. “Tahu tidak omong kosong yang dia utarakan?” “Siapa? Apanya yang omong kosong? Tahir kan masih kecil, dia ….” “Aku bukan membicarakan Tahir,” jawab Faroukh marah. “Yang kumaksud adalah Pater Chrisostom.” “Pater Chrisostom! Apa kau sudah gila? Mimpi buruk apa semalam?” “Memang, bisa dibilang, ini tidak ada bedanya dengan mimpi buruk,” jawab Faroukh. “Tadi malam kami berbincang-bincang. Kami membicarakan …” Faroukh memberi isyarat ke arah Kimya-“dia,” lanjutnya, memperkecil volume suaranya. “Pater Chrisostom mengatakan …” Faroukh berhenti. Kata-katanya tersekat di tenggorokan. “Apa yang dia katakan? Lanjutkan. Kau membuatku gugup.” “Kirnya sebaiknya dikirim ke Konya.” Faroukh menghentikan kalimatnya, kemudian dengan cepat menambahkan, “Supaya dia bisa belajar. Bagaimana menurutmu? Ke Konya! Belajar!” Serunya naik pitam. “Tenanglah! Jika marah-marah begitu, kau bisa sakit. Kirnya kan tidak akan pergi sekarang juga ke Konya. Iya, kan?” kata Evdokia kalem. Bicaranya seperti meninabobokan anak kecil. Faroukh menatap istrinya, menginginkan lebih banyak lagi kata-kata yang dapat menenangkan hatinya. “Jangan khawatir,” kata Evdokia sambil tersenyum. “Kita tak usah memikirkan hal itu, tidak sekarang.” Dia bangkit. “Kirnya, kemari. Yuk, kita ke kebun. Kita harus memanen kacang. Mana kakakmu?” Ketika sudah dekat dengan daun pintu, dia menoleh ke arah Faroukh dan berkata, “Jangan khawatir. Pater Chrisostom tidak akan ke sini sebelum musim gugur tiba. Dan, selama itu, kita berdoa mu dah-mudahan Tuhan menunjukkan jalan.” Faroukh tidak akan pernah mengakui bahwa kapan pun dia kesal, bahkan marah, Evdokia selalu punya cara untuk menenteramkan kegusaran hatinya. Tapi memang itu
kenyataannya. Beban berat yang menggelayuti hatinya terasa menghilang. Betul juga, Pater Chrisostom tidak akan kemari sebelum musim gugur. Apa pun bisa terjadi selama empat bulan itu. “Aku akan memeriksa kebun anggur,” begitulah dia memutuskan. Anggur-anggur itu tentu sudah matang dan siap dipetik. Matahari sudah semakin tinggi. Evdokia mengusap peluh dari keningnya. Dia berdiri di antara dua baris tanaman kacang, sementara Aishel dan Kirnya berada di setiap baris itu. Keranjang-keranjang mereka semakin berat dimuati bawang dan kacang yang sedari tadi mereka petik. “Berhenti, Anak-Anak. Kita sudahi pekerjaan ini. Rasanya sudah cukup banyak yang kita kumpulkan.” Kedua gadis kecil itu berlari dan duduk di pinggir parit yang membatasi jalan kecil menuju kebun buah. Aishel memetik bunga matahari dan mengumpulkan bijibijinya. Kemudian, dia meletakkannya di gamis Kirnya. Evdokia ikut bergabung dan duduk di samping kedua anaknya. Dia masih memikirkan percakapannya dengan Faroukh dan bertanya-tanya apakah saran Pater Chrisostom itu benar? Haruskah Kirnya pergi ke Konya? Susah sekali membayangkan Kirnya suatu saat akan meninggalkan desa ini. Dan nanti … barangkali inilah jawaban kekhawatiran mereka. Evdokia tahu betapa Pater sangat menyayangi Kirnya dan dia memercayai kebijaksanaannya. Tetapi, hingga hari ini, dia hanya berpikir bahwa tulisan di atas debu itu adalah permainan. Sekarang, dia bisa melihat betapa perkiraannya salah. Dia menatap Kirnya dan Aishel, kakaknya. Mereka berdua sangat bertolak belakang! Dia ingat sudah lebih dari lima bulan sejak Kirnya dilarang berjalan sendirian. Dia tampaknya tidak keberatan. Anehnya, dia mungkin akan pergi dari sisi kita! Bisa jadi ternyata Kim ya pun tak keberatan pergi ke Konya. Inikah kehendak Tuhan? Mata Evdokia menatap keranjang-keran jang yang dimuati kacang dan bawang. Angannya mengembara ke tempat Ahmed. Dia tentu menyukai sayursayuran dan juga buah-buahan. “Buah aprikot tentunya sudah matang,” katanya sambil berdiri dan melemaskan otot. Dia meletakkan tangan pada pinggulnya. Punggungnya terasa sakit. “Yuk, kita petik aprikotnya. Nanti kalian berdua tolong bawakan keranjang ini ke tempat Ahmed.“Dia menatap lekat mata Kirnya.Tangannya di pundak an ak itu. “Aku mengizinkanmu untuk pergi bersama kakakmu, tapi kamu tidak boleh jalan sendirian. Mengerti? Aku tak ingin ayahmu memarahiku sebab membiarkanmu keluyuran.” Kirnya melompat kegirangan dan menjerit senang. “Kirnya, dengarkan aku, jangan berisik begitu!” Kirnya menatap biji-biji bunga matahari yang sekarang berceceran di sekitar kakinya. “Aku lupa,” katanya, terkejut. “Bisakah dia memerhatikan sesuatu dengan sak sama?” “Aishel, jangan menyulut pertengkaran. Itu hanyalah biji-bijian. Pikirkanlah buah aprikot yang harus kau petik.” Mereka kemudian berjalan menuju kebun buah. Gemercik aliran sungai menemani perjalanan mereka. Kirnya berlari-lari di depan mereka berdua. Ahmed duduk di atas batu yang halus di mulut gua itu, menghangatkan diri dalam guyuran sinar matahari sore. Dia tetap bergeming saat dua gadis kecil muncul dari balik pepohonan. Aishel menghentikan langkahnya dan meletakkan keranjang yang dia bawa. Semua orang sudah tahu bahwa Ahmed tidak ingin ditemani dan bahkan lebih suka menghindar dan bersembunyi daripada beramah-tamah dengan orang lain. Namun, sekarang dia seolah-olah telah mengharapkan kedatangan mereka berdua. Kirnya maju ke hadapannya membawa keranjang yang juga dipenuhi aprikot dan bawang. Ahmed tersenyum. “Kau Kirnya, ya,” katanya. “Sudah lama aku bertanya-tanya kapan
bisa bertemu lagi.” Kemudian, dia berpaling pada Aishel, “Kau pasti kakaknya. Kulihat kau mirip adikmu.” Aishel tetap menjaga jarak darinya. Terlihat sekali dia ingin segera angkat kaki. “Kalian tak usah takut,” kata Ahmed. “Hari ini kan hari istimewa. Hari yang disucikan,” tegasnya seakan menjelaskan mengapa dia tidak seperti biasanya.Dia melanggar kesunyian dan kesendirian yang dia jalani. “Hari ini,” lanjutnya, “adalah hari saat pertama kali aku mendengarkan kata-katanya. Tepatnya tiga bulan yang lalu.” Kirnya segera duduk di batu yang lebih besar di sisi Ahmed, mengayun-ayunkan kakinya. Aishel mengikutinya. Dia kini mendekat. “Kata-kata siapa yang Anda dengarkan?” tanya Kirnya. Ahmed memejamkan matanya. Senyum di wajahnya kini lenyap. “Kata-kata Maulana, guru kami,” katanya perlahan. “Siapakah dia?” “Kirnya, ssst!” sela Aishel. Tetapi, Ahmed rupanya tidak keberatan ditanyai seperti itu. Sebaliknya! Nadanada yang dia dengarkan barangkali telah memudar. Tetapi, hari ini dia ingin membagi kebahagiaannya dengan kedua gadis desa itu. “Dia manusia bijak,” kata Ahmed. “Dia adalah seorang yang terpilih. Lelaki pilihan Tuhan dan katakatanya mengandung kekuatan.” Kedua matanya kini terbuka lebar. Ahmed tiba-tiba tertawa, “Lihatlah aku. Aku dulu adalah tembikar yang kosong, hanya diisi angin, dan sekarang …” kata-kata nya terhenti. “Dan sekarang?” tanya Kirnya ingin tahu. “Sekarang aku lebih kosong daripada sebelumnya. Tetapi, kekosongan ini menjadi sebuah harapan.” Kirnya terdiam selama beberapa saat, “Apa yang dia katakan?” Akhirnya, dia bertanya, “Maulana mengatakan apa?” “Dia berkata bahwa segala sesuatu dan setiap insan mencintai Sang Pencipta dan kita selalu berada dalam naungan-Nya.” “Benar sekali,” seru Kirnya. “Dan, kepadaNya segala sesuatu kembali.” Ahmed terhenyak, “Apa yang barusan kau bilang? Bisakah kau ulangi lagi?” Kirnya tampaknya tak mengerti. Aishel ikut campur, “Jangan ambil pusing.Kirnya tidak selalu mengetahui apa yang dia katakan. Bahkan, dia juga kadang tidak tahu di mana gerangan dia berada.” Tetapi, Ahmed tak mendengarkannya. Dia menatap Kirnya lekat-lekat. “Tolong, Kirnya. Bisakah kau mengulangi apa yang baru saja kau katakan?” tanyanya lebih lembut, seakan sedang menenangkan binatang yang ketakutan. “Aku tak tahu. Aku tak bisa,” katanya hampir menangis. “Aku hanya tahu kalau aku katanya ragu. “Apa?” “Aku sedang menunggu untuk ….” Sekali lagi dia menghentikan kalimatnya, “Untuk
Kemudian, dia menggelengkan kepalanya, tak berdaya. “Aku tak tahu.” Kemudian, seolah tak terjadi apa-apa, dia melompat. “Kami membawakan sekeranjang buah-bu ahan, roti, juga keju, dan zaitun, dan dia diam. “Bolehkah kuperlihatkan tulisanku?” Sambil mengambil ranting kecil, dia menulis huruf-huruf Yunani yang telah dia pelajari dari Pater Chrisostom. “Aha, jadi kau bisa menulis ya!” Ahmed terkejut. Hanya sedikit sekali orang desa yang bisa menulis dan membaca, gadis-gadisnya hampir tidak ada yang bisa. Dia masih penasaran dengan kata-kata Kim ya yang seakan mengutip Maulana. Tentu saja, ka ta-kata itu berasal dari Al-Quran. Ada sedemikian banyak kalimat dalam Kitab tersebut, tetapi bagaimana mungkin dia bisa memilih kata-kata itu sedemikian mengenanya? “Maukah kau mempelajari hu ruf-huruf lainnya?” Kirnya menatapnya, “Maukah Anda mengajari saya?” matanya berbinar penuh semangat. Aishel menjadi tak sabar. “Kami harus pulang,” katanya. “Ya,” kata Ahmed. “Benar. Kalian berdua harus pulang sekarang.” Kirnya tidak juga beranjak, “Anda bisa mengajari saya?” tanya Kirnya sekali lagi. “Tentu saja aku bisa,” katanya. “Lain waktu aku akan mengajarimu beberapa kata.” Dia mengosongkan keranjang dan menaruh isinya ke sebuah tas kain yang besar. “Semoga Allah memberkahi keluarga kalian juga desa kalian.” Dia menyaksikan kedua gadis kecil itu berlalu dari hadapannya. Kemudian, dia sendiri berbalik dan menghilang ke dalam gua. Begitulah. Evdokia setuju jika setiap minggu Kirnya yang membawa sekeranjang buah-buahan dan sayuran ke tempat Ahmed sehingga dia bisa belajar menulis pada Ahmed. “Jika ini membuatmu bahagia, mengapa tidak?” Faroukh mengomel, tapi akhirnya mengalah. “Dengan begini,” katanya, “dia tak akan pergi jauh hanya untuk belajar.” Kadang Aishel menemani Kirnya. Dia duduk dan merajut tanpa henti sementara Ahmed dan Kirnya berlutut di tanah dan tangan mereka memegang ranting kecil. Kemudian, mereka menulisi tanah dengan tanda-tanda yang asing bagi Aishel. Suatu hari Ahmed melukis rangkaian garis-garis kecil melengkung. “Oh, indah sekali,” seru Kirnya. “Huruf apa ini?” “Yang ini huruf Persia,” jawab Ahmed. “Bahasa yang digunakan sang Sultan dan tentu saja Maulana.” “Apakah Anda juga bisa berbicara bahasa Persia?” “Tentu. Aku diajari ibuku. Orangtuanya berasal dari timur.” Kirnya terdiam untuk beberapa saat. “Ada berapa bahasa yang digunakan orang Konya?” tanyanya. “Ada banyak. Misalnya, bahasa Yunani yang sedang kita pakai saat ini, dan Persia, juga bahasa Arab” dia berpikir sejenak” dan baru-baru ini tersebar juga bahasa Turkoman, dan kadang kala kau a-kan mendengarkan orang yang berbicara dalam bahasa yang datangnya jauh dari barat sana: Venesia, Saxon, dan Frank.” Kirnya bertanya dengan nada yang tinggi, “Mengapa orang berbicara dengan bahasa yang begitu banyak?”
“Kadang aku juga menanyakan hal yang sama,” kata Ahmed. Kemudian, dia mengangkat bahunya. “Apa yang kita ketahui akan kehendakNya?” wajahnya melembut dan dia tersenyum. “Pertanyaanmu mengingatkanku pada perkataan Maulana pada hari saat kuputuskan untuk meninggalkan Konya.” “Apa yang dia katakan?” “Aku tidak mengingatnya secara pasti. Tetapi, dia mengatakan banyak jalan menuju Tuhan. Dia mengatakan jalan-jalan itu tak terbatas. Tetapi, sekali saja kau bisa melaluinya, setiap orang akan menyadari bahwa tujuannya selalu sama.” “Jadi, barangkali nanti semua manusia akan berbicara dalam bahasa yang sama,” seru Kirnya.” Tetapi, kemudian,” dia menambahkan,agak bingung, “bahasa apa yang akan dipakai?” Ahmed menatapnya, ragu-ragu. Kemudian, wajahnya berseri-seri. “Kau tahu, kupikir saat itu kita tak perlu lagi bercakap-cakap.Kesunyian adalah bahasa kita bersama.” “Oh, tapi itu menyedihkan sekali!” Dan, dia kembali mengamati huruf-huruf aneh yang dilukis Ahmed. Dia bertanya, “Tolong bacakan untuk saya.” “Doost,” suara Ahmed lantang, “Doost,” ulangnya lebih lembut sambil memejamkan mata. Kata itu seperti sebuah cumbuan. “Apa artinya?” “Artinya ‘Kekasih’, Yang Kucintai’, ‘Yang Kurindukan’.” Malamnya, Kirnya tak bisa tidur. Ada kesedihan menyelusup di hatinya. Kepedihan yang tidak dia mengerti. Pada saat yang sama, dia merasa mendekat, begitu dekat, dengan “itu”, apa pun “itu” yang selama ini dia nantikan. “Doost,” dia mengulangi kata itu, dan kata itu menggetarkan hatinya. “Doost,” kata itu rasanya seperti sebuah jawaban, tapi jawaban untuk pertanyaan apa, dia sendiri tak tahu. Di sebelahnya, Aishel menggeliat dan menggumam dalam tidurnya. Cahaya bulan menyelusup di antara celah sempit jendela dan membentuk pola satin putih yang segera menjelma menjadi jalan yang mendaki menuju ketinggian langit malam. Dia mulai menapaki jalan kecil yang putih bersih itu. Jalan itu membawanya pergi jauh dari desa, melewati pegunungan. Di kejauhan sana, di antara kelamnya malam,terpampang lengkungan-lengkungan kubah dan menara-menara. Benda-benda itu mulai berputar-pu tar dan tiba-tiba berubah menjadi lengkungan dan kurva-kurva seperti huruf Persia. “Doost,” gumamnya, seiring perasaan bahwa dirinya terjatuh dalam kelembutan yang paling dalam. “Mengapa hari ini semua orang bangun kesiangan?” suara Evdokia di dinding sebelah membangunkannya. “Aishel, tolong bawakan poci teh ke beranda atas. Oh ya, di mana adikmu?” Kirnya menggeliat. Dia merasakan kebahagiaan yang aneh. Sinar matahari menerobos jendela dan kamarnya menjadi benderang penuh kehangatan. Barangkali, jika dia menutup matanya lebih lama lagi, dia dapat mengingat mimpinya; dengan siapa sebenarnya dia berjalan. “Kirnya, sudah bangun belum?” suara Aishel yang dongkol membuyarkan lamunannya. “Doost,” bisiknya pada diri sendiri. “Doost,” dan dia melompat dari tempat tidurnya.[]
8
Ceritakan tentang Maulana. Pernahkah Anda berca kap-cakap dengannya? Sambil memegang lutut dengan gamis cokelat berjuntai menutupi kakinya, Kim ya berhadaphadapan dengan Ahmed yang duduk di atas batu ceper yang cukup lapang. Batu itu senantiasa dia duduki. Warnanya kelabu dan berbagai unsur alam telah menggosoknya menjadi halus. Su dut-sudutnya lembut sehingga nyaman diduduki. Ah med menemukan batu itu pada suatu hari di pinggir hutan. Dia kemudian membawa batu itu ke guanya. Sungguh perabot yang tepat bagi siapa pun yang ingin hidup bersahaja, begitulah pikirnya. Mereka belajar menulis di atas tanah, segera saja tanah berdebu itu dipenuhi coretan huruf-huruf Yunani yang terlihat seperti jejak kaki burung. Kim ya menanti jawaban Ahmed. Aku tidak pernah berbicara dengan Maulana jawab Ahmed. Kau kan tahu, aku baru sekali saja bertemu dengannya. D.E Tanya sekali? Tetapi, Anda pernah bilang bahwa dia berkata kepada Anda . …D-E Yang kukatakan adalah bahwa aku pernah mendengar perkataannya, ralat Ahmed. Saat itu, dia berada di madrasah menghadapi kerumunan orang yang begitu banyak dan … jedanya, kemudian menambahkan, Sepertinya dia hanya berbicara kepadaku, itu yang kurasakan. Kirnya mengangguk. Madrasah itu apa?oE “Sebuah sekolah. Sebuah tempat yang digunakan seorang guru untuk mengajar orangorang.” “Apakah dia memakai jubah berwarna biru dan memakai serban berwarna kelabu?” Ahmad terhenyak. Gadis kecil ini tak henti-hentinya membuat dia takjub. Memang, saat Ahmed mendatangi madrasah untuk mendengarkan wejangan Maulana, dia ingat betul Maulana memakai jubah Arab biru dan kepalanya ditutupi serban berwarna kelabu. “Dari mana kau tahu?” “Saya melihatnya tadi malam. Dia memakai jubah biru dan serbannya berwarna kelabu. Matanya hijau kebiruan. Dia tersenyum kepada saya dan menjabat tangan saya.” Mereka hanyut dalam keheningan. “Kau sungguh beruntung,” kata Ahmed setelah beberapa saat.” Barangkali,suatu hari kau akan bertemu dengannya. Siapa tahu?” Dia menatap Ahmed dengan keseriusan yang sama seperti yang dia perlihatkan saat Ahmed pertama kali tiba di mata air desa. “Ya, tentu saja, saya akan bertemu dengannya.” Dia terhenyak oleh ketenangan Kirnya saat mengatakan hal itu kepadanya. Pagi hari yang dingin. Saat membuka pintu, Evdokia merasakan hawa baru. Untuk pertama kalinya, setelah berminggu-minggu lamanya, matahari belum juga mencapai puncak tertinggi gunung paling timur. Pater Chrisostom akan segera berkunjung, pikirnya. Musim gugur sudah di depan mata. Dia mengambil beberapa ikat kayu kering dari samping rumah. Kemudian, dia masuk lagi ke dalam untuk menyiapkan sarapan pagi hari ini. Setelah teringat akan
kunjungan Pater Chri—sos-tom, kekhawatirannya akan Kirnya pun bangkit kembali. Pelajaran yang diberikan Ahmed memang sangat bermanfaat. Kirnya tidak pernah lagi tersesat dan Faroukh pun menjadi lebih santai. Tetapi, anak itu masih sering hanyut dalam ekstase dan hal itu sangat menakutkan Evdokia. Kadang hal itu berlangsung hanya beberapa detik, tetapi di lain waktu anak itu seakan tidak berada di antara mereka untuk waktu yang sedemikian lama. Bila diibaratkan, tubuhnya hanyalah sebuah cangkang kosong. Pernah suatu ketika, saat mereka duduk bersama mengupas bawang di beranda atas yang bermandikan kehangatan cahaya emas kemerahan men tari sore hari, Evdokia bertanya, “Ada apa? Apa yang terjadi? Ke mana saja kamu mengembara ketika kamu sepertinya pergi jauh dari sisi kami?” Hampir seketika itu pula Evdokia menyesal karena telah melontarkan pertanyaan itu. Dalam kedamaian suasana yang menghanyutkan itu, pertanyaannya terdengar seperti gelombang yang mengganggu. Tapi, Kirnya sepertinya tak keberatan. “Aku tidak tahu,” katanya sambil meletakkan pisau kecilnya dan matanya menatap pegunungan di kejauhan sana. “Aku tak berada di mana pun saat itu. Maksudku, aku tidak berada di sini,tapi aku juga tak berada di mana pun.” Keningnya berkerut berusaha menceritakan pengalaman uniknya tadi. “Rasanya aku sudah tiba dan aku … kejadiannya sama seperti mimpi yang kualami. Aku bahagia sekali. Segalanya terasa sempurna!” “Mimpi!” Sama seperti kebanyakan temannya, Evdokia percaya bahwa Tuhan ada kalanya mengirimkan petunjuk melalui mimpi sehingga manusia bisa tertuntun. Barangkali, mimpi Kirnya merupakan sebuah petunjuk. “Mimpi apa? Katakan!” “Aku bertemu Maulana.” Kirnya seakan menceritakan kenalan lamanya, tapi Maulana hanya berarti “Guru Kami”. “Siapakah dia?” tanya Evdokia ingin tahu. “Ahmed pernah menemuinya di Konya.” Mata Kirnya berpendar-pendar. Di Konya! Evdokia kembali terhenyak. Kemudian, dia menjerit. “Lihat apa yang terjadi gara-gara kamu! Jariku teriris. Mimpimu memang bermakna, tapi tak memberikan makanan kepada kita.” Kirnya tidak menjawab. Evdokia sangat marah kepada dirinya sendiri. Dia kehilangan kesempatan untuk menggali mimpi Kirnya lebih jauh lagi. Itu kesalahannya sendiri. Anak itu sekarang kembali bersikap seperti biasanya: diam, tak peduli, dan sukar dijangkau. Mereka mengakhiri percakapan dalam keheningan, sambil mengusap mata mereka yang terasa pedih dan berair karena aroma bawang. Hujan pertama datang dan, di dekat aliran sungai, pohon poplar mulai menguning. Evdokia sedang duduk di bangku batu di luar rumahnya, mencuci sejumlah labu sisa panen musim semi. Dari waktu ke waktu, dia mengusir ayam-ayam betina yang selalu saja merecoki pekerjaannya dengan mematuki bahan makanan. Dia tetap merahasiakan percakapannya dengan Kirnya. Tak ada untungnya membuat Faroukh bertambah khawatir. Tetapi, dia penasaran dan bertanya-tanya tentang diri Maulana. Dan, haruskah dia tetap membiarkan Kirnya mengunjungi Ahmed? Lelaki itu menuturkan berbagai kisah yang tidak baik bagi anaknya, seolah dia memasok bahan impian ke kepala anaknya. Pikiran Evdokia beralih kepada Pater Chrisostom. Dia seharusnya sudah berada di desa ini. Apa yang menghalangi perjalanannya? Setelah tiga hari berlalu, akhirnya kabar itu sampai juga di telinga mereka. Tengah hari itu, Ev dokia baru saja kembali setelah memanen lobak cina bersama Kirnya. Di tengah jalan, dia bertemu Kave. Anak lelaki itu tinggal di desa sebelah yang berjarak dua jam perjalanan kaki. Dia adalah teman sepermainan Tahir dan mereka kerap berburu bersama. Apa yang membawanya kemari? Kave menghampirinya, dan setelah mengucapkan salam biasanya dia langsung menemui Tahir dia menggosok-gosok gamisnya dengan gelisah. Pandangannya tertunduk ke bawah kakinya.
Evdokia mendadak sangat gelisah dan mendesaknya. “Ada apa? Apakah kau datang kemari untuk menyampaikan kabar buruk?” Anak lelaki itu mengangguk. Pater yang sudah tua itu ditemukan tergeletak pingsan beberapa hari lalu di desanya. Ibu dan saudara perempuannya yang pertama kali menemukan Pater itu. “Kata ibu saya,” Kave mulai bercerita, “saat dia mendekatkan telinga ke dada Pater, jantung Pater terdengar berdegup sedemikian cepat. Napasnya seakan berhenti. Tetapi, sewaktu Ibu memercikkan air ke wajahnya, mata Pater mulai terbuka.” Kave kemudian terdiam. Dia tidak yakin apakah dia harus melanjutkan ceritanya. “Lalu, apa yang terjadi kemudian?” tanya Evdokia. “Saudari saya berlari ke arah desa dan meminta pertolongan.Saya kemudian datang bersama Baham dan Hassan, tetangga kami. Mereka lebih tua dan lebih kuat daripada saya.” Kave kemudian berusaha mengingat kejadian selanjutnya. “Kami menggotong Pater ke rumah saya.” Pater kemudian diberi ramuan dan ibu Kave menunggui sang Pater semalaman. “Pagi harinya,” kata Kave, “Pater Chrisostom mengembuskan napas terakhir.” Evdokia mendengarkan dengan saksama. Tenggorokannya seolah tersekat. Dia memandangi tangannya. Lengannya pernah dipegang oleh Pater untuk kemudian dipersatukan dengan lengan Faroukh. Kenangan itu terbayang kembali. Hari itu, Faroukh menikahinya, dua puluh tahun yang lalu. Air mata membasahi pipinya. Apakah Pater Chrisostom menderita? Dia bertanya-tanya. Seakan menjawab pertanyaannya, anak lelaki itu menambahkan, “Pagi hari ketika saya menengok Pater untuk yang terakhir kali … saya lihat senyum mengembang menghiasi wajahnya.” Dalam tas sang Pater, mereka menemukan beberapa iris roti keras, salib kayu tua, piala perak yang selalu dia gunakan dalam misa, dua kemeja, “Dan juga ini,” kata Kave sambil merogoh saku gamisnya dan mengeluarkan selembar kertas yang salah satu sudutnya koyak. Di kertas itu tertulis dua baris kalimat dalam bahasa Yunani. “Malam itu, ketika Pater masih sadar, dia meminta ibu saya supaya mengambil kertas ini dari tas nya sambil mewanti-wanti, ‘Ini untuk Kirnya, hanya untuk Kirnya.’ Kemudian, kata ibu saya, setelah itu matanya terpejam dan tidak pernah berkata lagi.” Mereka berjalan perlahan sambil berbicara dan kini mereka sudah berada di depan rumah. “Apakah …” tanya Evdokia, “apakah kalian melakukan upacara penguburan?” “Imam kami memimpin doa, kemudian kami menyanyikan lagu pujian Kristen. Kami menguburkannya di halaman gereja.” Evdokia terisak. Kepalanya bergoyang. Bahkan, penguburannya tak dihadiri oleh seorang pastor pun! Air matanya semakin deras. Tetapi, inilah yang terjadi. Takdir telah berkehendak. Pater sudah tahu bahwa tak ada yang akan menggantikan tempatnya dan suatu hari nanti gereja ini akan ditinggalkan jemaatnya. Bahkan, Evdokia sendiri terkadang bingung harus memilih yang mana:Yesus ataukah Muhammad. Tentu saja, dia tetap memanjatkan doa bagi Bunda Maria. Tapi, sebagaimana halnya kebanyakan lelaki dan wanita di desanya, dia juga selalu menghadiri shalat Jumat di masjid yang baru saja mereka dirikan. Ritual yang lama dan baru layaknya bena ng-benang wol aneka warna yang dia tenun, pikir Evdokia. Apakah pada akhirnya akan muncul sebuah pola yang teratur? Evdokia kembali memikirkan dirinya. Di hadapannya, Kave tampak menggigit bibir, tak tahu harus berbuat apa. Evdokia menghapus air matanya, membenahi letak kerudung di kepalanya, dan mempersilakan Kave memasuki rumahnya. “Masuklah, kau
pasti lapar. Tentunya kau lelah sehabis berjalan sejauh itu.” Ruangan dipenuhi aroma susu dan asap sisa perapian tadi malam. Mereka melihat Tahir duduk di salah satu sudut rumah. Dia tam-pak terkejut melihat kedatangan Kave. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya. Kave tidak segera menjawabnya dan Tahir jadi cemas. “Apakah ada yang tidak beres?” dia bertanya, menatap wajah ibunya. “Kita tak akan lagi berjumpa dengan Pater Chrisostom selamanya,” kata Evdokia. Kata-katanya terdengar begitu pahit. Pada saat itu, Aishel datang membawa senampan teh dilengkapi enam cangkir kecil. Evdokia menerimanya. Dia merasa senang karena punya alasan untuk menunda menyampaikan kabar yang dibawa Kave. Tahir segera bertanya mengapa mereka tidak akan lagi bisa menemui Pater? Bersamaan dengan itu, Faroukh memasuki rumah. Dia sedari tadi memperbaiki atap kandang yang terletak di bawah teras dan di gamisnya masih tampak menempel serpihan-serpihan kayu. Dia menatap ke sekeliling saat Evdokia menuangkan teh. Tak seorang pun bicara. “Ada apa?” tanya Faroukh sambil duduk. “Kalian semua tampak begitu muram.” Kemudian, dia menatap Kave. “Oh, kamu ke sini membawa kabar buruk ya?” Dia sendiri meringis karena gurauannya. “Pater Chrisostom telah pergi.” Evdokia menengahi. “Pergi? Pergi ke mana?” tanya Faroukh. “Pater Chrisostom meninggal dunia. Karena itulah dia pergi meninggalkan kita!” Kalimat terakhir ini membuat Evdokia tercekik dan dia merasakan air mata mulai deras membasahi pipinya. Mulut Faroukh ternganga lebar kemudian secara refleks dia menggaruk kepalanya.Begitulah kebiasaannya bila berhadapan dengan sesuatu yang tak terduga yang membuatnya gugup. Evdokia bisa mengira apa yang ada di benaknya. Faroukh menyesali kata-kata terakhir yang dia ucapkan kepada teman lamanya; penuh amarah, dan mungkin menyakitkan. Dan sekarang, sudah terlambat untuk menariknya kembali. Evdokia menyuguhkan secangkir teh untuk suaminya. Dia berusaha tersenyum menutupi tangisnya. “Kapan?” tanya Faroukh. “Pater meninggal Kave, di halaman dan menambahkan, Kave. “Ceritakan
seminggu yang lalu,” kata Evdokia. “Beliau dimakamkan di desa gereja.” Dia menyerahkan selembar kertas yang dibawa oleh Kave “Beliau me ninggalkan ini untuk Kirnya.” Dia berpaling kepada kepada suamiku apa yang telah menimpa Pater.”
Faroukh mendengarkannya sambil membisu, kemudian menatap Kirnya yang berdiri di depan pintu. Matanya terpaku menatap kertas itu. “Kirnya, sini duduk. Mungkin kamu bisa mengatakan arti tulisan ini?” Kirnya menggelengkan kepalanya. “Aku sudah melihatnya tadi,” katanya. “Aku tidak pernah melihat huruf-huruf yang seperti ini sebelumnya. Beberapa huruf diulangulang. Aku tidak tahu apa artinya.” “Ya sudah, tak apa-apa!” kata Faroukh. Dia menatap istrinya, malu sekaligus lega. Evdokia tahu apa yang dipikirkan suaminya, sama seperti dirinya: sekarang Kirnya tidak akan pernai ke Koa.[]
9 Setiap tahun yang datang selalu membawa keajaiban yang sama. Buah apel di perkebunan sudah tampak ranum. Setiap hari warnanya semakin merah.
“Besok kita akan pergi ke kebun buah memetik apel,” kata Evdokia pada suatu malam, beberapa hari setelah kunjungan Kave. Panen apel memang dilakukan di penghujung musim panas. Inilah saat-saat yang paling dinantikan anakanak,termasuk juga Kirnya. Sungai mengalir di sepanjang kebun buah itu menuju petak-petak kecil kebun sayur-mayur milik penduduk desa. Sekeliling kebun buah maupun kebun sayur dipagari dengan pohon-pohon poplar yang akan melindungi tanaman tersebut dari terjangan angin. Pepohonan itu juga membatasi desa dengan hutan di belakangnya. Kebun buah itu kebanyakan diisi pohon apel dan hanya sebagian kecil lahan yang ditanami buah plum maupun aprikot. Jenis-jenis buah ini cukup tangguh menghadapi iklim pegunungan yang ganas. “Pohon apel ini seperti kita,” begitu kata Evdokia suatu kali. “Pohon ini sangat kuat dan kukuh, juga tahu cara untuk tetap bertahan hidup.” Pada musim semi, kembang pohon apel akan berbunga dalam paduan warna merah muda dan putih. Pagi itu, kain-kain katun yang sangat lebar dihamparkan di bawah pohon apel. Tak lama kemudian, kebun itu menjadi ladang kain warna-warni yang cerah ceria. Anakanak segera memanjat, dan mulai memanen. Mereka menjatuhkan apel-apel itu ke dalam keranjang yang dipanggul ibu-ibu yang siap menadahnya. Semua orang tertawa dan bercakap-cakap, sementara anak-anak yang lebih kecil berlarian berusaha menangkap apel yang tidak masuk ke dalam keranjang. Kirnya masih ragu untuk memutuskan apakah akan memanjat pohon atau memungut apel yang jatuh ke tanah. Sebenarnya itu tidak terlalu penting baginya. Yang dia sukai sebenarnya hanyalah wanginya. Semerbak apel ranum itu akan menyelimuti desa selama beberapa hari hingga akhirnya buah-buahan itu disimpan di gudang. Sebagian kecil sisanya akan dimakan begitu saja atau direbus menjadi setup buah apel. Sebagian lainnya akan diiris tipis-tipis untuk selanjutnya dikeringkan dan digantung dengan benang menjadi pengharum ruangan. “Kirnya, Aishel, besok tolong kirimkan keranjang apel ini ke tempat Ahmed,” kata Evdokia malam harinya. Mereka beramai-ramai duduk di beranda atas, beristirahat melepas lelah. Malam itu langit sangat cerah dan masih hangat untuk musim seperti ini. “Aku yakin di Konya dia belum pernah makan apel semanis ini,” katanya menambahkan. “Aku akan memperlihatkan kertas dari Pater Chrisostom,” kata Kirnya. “Ahmed akan membacakannya untukku.” Faroukh menggeleng tak setuju. Tetapi, sebelum dia angkat bicara, Evdokia mendahuluinya dengan mengerutkan kening. “Biarkan saja,” matanya seolah mengatakan, “toh hanya selembar kertas.” “Huruf-huruf itu pasti mengatakan hal yang penting,” kata Kirnya. “Aku yakin Pater Chrisostom akan membantu kita.” Evdokia tak suka mendengar hal itu. Barangkali, Pater tua itu belum pergi terlalu jauh. Faroukh menatap bintang-bintang yang berkelip-kelip. Perempuan memang selalu bicara omong kosong! Kirnya berjalan perlahan, membiarkan Aishel mendahuluinya. Seperti biasa, keranjangnya diberati keju dan sekantung roti. Tetapi, hari ini ditambah buah apel, labu, dan bawang. Dia merapikan ujung-ujung rambut yang keluar dari kerudungnya dan menyimak keadaan sekitarnya. Hiruk pikuk pedesaan telah hilang. Di sekelilingnya justru kesunyian yang berbisik sayup kepadanya: senandung ranting patah yang terinjak, serangga yang berdengung, langkah kaki Aishel yang bergerak menjauh, dan seperti biasanya, kicau burung riang. Kesenyapan yang ceria ini menari dalam cahaya mentari dan bayang-bayang pepohonan. Dia memejamkan mata selama beberapa detik. Hatinya dilimpahi dengan kebahagiaan yang membuncah dan nyaris tak tertanggungkan. “Kirnya, Kirnya teriak Aishel di kejauhan,
terdengar sangat cemas. Dia membuka mata dan sekilas sempat melihat seekor tupai mengubur buah kenari di tanah. “Iya, aku datang,” balasnya kencang dan mulai berjalan. Dia sendiri merasa juga mengubur sesuatu yang sangat berharga di hutan itu. Tetapi, dia sendiri tak tahu apa itu. “Aku tak menduga kalian akan datang secepat ini.” Ahmed tampak terkejut melihat kedua gadis kecil itu. Kirnya memerhatikan baju hijau tua yang dipakai Ahmed. Baru-baru ini mereka memberinya gamis tersebut dan sekarang terlalu kecil untuk dipakai Ahmed. “Sekarang musim apel,” jelas Aishel. “Mama ingin Anda ikut mencicipinya.” Kirnya tak sabar lagi. “Aku ingin memperlihatkan sesuatu,” katanya sambil menyerahkan sehelai kertas pemberian Pater Chrisostom. “Mari sini, duduk dulu,” kata Ahmed sambil menyapu tanah dengan tangannya. Dia memegang kertas itu dan melihatnya secara saksama selama beberapa saat. Dia kemudian mengangkat kepalanya. “Kertas ini dari siapa?” dia terlihat heran atau mungkin khawatir. Ekspresi wajahnya sukar ditebak. “Ini peninggalan Pater Chrisostom untuk Kirnya,” jelas Aishel. “Dia berkata bahwa kertas ini untuk Kirnya,” jedanya. “Dia hanya mengatakan hal itu sebelum akhirnya meninggal.” “Dan, kau tidak tahu apa artinya?” Kirnya menggelengkan kepalanya. “Ini bukan seperti tulisan yang dulu harus kusalin.” “Tentu saja bukan. Ini sebuah pesan … yang ditujukan kepadamu, Kirnya.” Dialamatkan kepadanya! Dia ingat sorot mata Pater Chrisostom manakala mereka bercakap-ca kap. Dia juga ingat dengan jelas senyum lelah Pater pada saat-saat terakhirnya berkunjung ke desanya. Ahmed mengambil seiris roti dari keranjang. “Kirnya, apakah kau tahu apa yang dikatakan Pater Chrisostom dalam pesannya ini?” Dia kembali menggelengkan kepalanya. “Aku tak tahu. Kupikir Pater ingin agar aku lebih giat belajar.” “Memang benar,” kata Ahmed. “Pater ingin agar kau bisa sekolah. Karenanya, dia ingin agar kau pergi ke Konya.” Kedua gadis kecil itu terpaku. Ahmed juga heran membaca pesan Pater tua itu. “Hanya itu?” tanya Kirnya setelah beberapa saat. Ahmed kembali menyimak pesan yang tertulis di kertas itu. “Tidak, tidak juga. Dia berkata, Suster Andrea dari Biara Santo Peter akan membantumu.” Konya! Suster Andrea! Biara Santo Peter! Ka ta-kata itu berputar-putar di kepalanya. “Tetapi, aku tak ingin pergi ke Konya!” serunya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus pergi jauh dari desa. Konya itu kota seperti apa? Apakah di sana juga ada hutan tempat seseorang bisa pergi atau sembunyi? Apakah suhunya bisa dingin kala musim panas? Dan, bagaimana dengan Mama dan Baba? Bagaimana bisa aku meninggalkan mereka? Ti ba-tiba saja napasnya memburu. Dia menatap
Ahmed dengan panik. “Tak inginkah kau pergi ke Konya?” tanya Ahmed. Nada dalam suara Ahmed mengingatkannya akan sesuatu. Dia ingat kubah-kubah dan menara-me nara dalam mimpinya. Dia terkenang akan seorang lelaki berjubah biru yang menuntun tangannya. Seketika saja kekhawatirannya digantikan kegembiraan dan perasaan rindu pada sosok itu, dan Konya tentunya. “Tidakkah kau tahu?” tanya Ahmed perlahan. “Tidakkah kau tahu bahwa ada sesuatu yang sedang menantimu di Konya sana? Sesuatu yang terkait dengan Maulana,” jedanya selama beberapa saat. Wajahnya melunak. “Kau jangan takut,” tambahnya lembut.“Segalanya akan berjalan sebagaimana mestinya, sesuai kehendakNya.” Kata-kata Ahmed menenangkannya. Tatapannya begitu dalam menembus mata Kirnya. Ketakutan Kirnya lenyap, digantikan kedamaian yang dia rasakan mengalir di antara ketiganya. Barangkali memang tak ada yang harus diputuskan. Kehidupan ini akan membawamu mengalir dan kau hanya tinggal mengikuti, tanpa harus terbasahi, seperti halnya bayi Musa. “Kirnya, kau harus mengatakan hal ini kepada orangtuamu.” Kini, Ahmed tampak serius. Mereka tetap terdiam hingga akhirnya Ahmed terjaga dari angannya sendiri. “Sini. Yuk, aku akan mengajarimu supaya huruf-huruf yang tak kau mengerti ini akhirnya kau kuasai dan kau bisa membacanya sendiri.” Pada saat itulah akhirnya Aishel sadar bahwa tanda-tanda aneh yang dilukis Ahmed di atas tanah itu ternyata bisa mengatakan apa pun! Huruf-huruf itu bisa mengirimkan pesan, bahkan setelah Pater wafat! Dia menatap adiknya yang sekarang menirukan bunyi setiap huruf sebagaimana dicontohkan Ahmed. Ini mengingatkan pada kebiasaan Kirnya di rumah yang sering mengesalkannya. Kini yang dia rasakan adalah kesedihan. “Oh, Kirnya, kau tidak akan pergi ke Konya, kan?” Ahmed menatapnya. Aishel menangis dan Ahmed menggenggam tangan Aishel. “Kadang kala, AH ah berkehendak akan sesuatu yang tidak kita inginkan,” katanya. Dengan marah, Aishel merenggutkan tangannya. Kirnya menatap tangannya. Apa yang Allah kehendaki? Apakah Dia memang berkehendak supaya dirinya pergi ke Konya? Angin tiba-tiba berdesir membuat bunyi gemeresik pada pohon-pohon cemara di sekeliling mereka. “Mari kita panjatkan doa,” kata Ahmed dan dia mulai melantunkan basmallah, “Bismillahirrahmanir-rahim dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Kedua gadis kecil itu tentu saja hafal akan doa itu. Kalimat ini menjadi pembuka yang diucapkan imam ketika mengawali shalat Jumat. Mereka menengadahkan kedua tangannya, seakan hendak menerima berkah. Kemudian, mereka berusaha berserah diri dengan segenap jiwa mengucapkan, “La ilaha Ma Allah, tiada tuhan selain Allah.” Sesudah itu,mereka mengusapkan tangan pada wajah,berterima kasih atas pemberian berkah-Nya.Doa sudah usai dan Ahmed segera memindahkan isi keranjang ke tempat miliknya. “Kalian harus pulang dan ceritakan kepada orangtua kalian mengenai isi pesan ini,” katanya sekali lagi. Aishel menatapnya dengan tegang. “Baba tidak akan mengizinkan,” katanya. “Dia tidak akan membiarkan Kirnya pergi.” Nada takutnya diimbangi dengan sifat keras kepalanya. “Barangkali, suatu saat ayahmu akan mengizinkan,” kata Ahmed. “Allah tahu yang
terbaik bagi kita. Tak ada satu pun yang terjadi tanpa peranan-Nya.” % “Kirnya tidak akan pergi ke Konya! Tak akan kuizin-kan.” Faroukh mondar-mandir. Wajahnya memerah penuh amarah. Tangannya mengepal seakan siap meninju. Mereka berkumpul untuk makan malam. Mereka makan dalam diam, sementara kegelapan perlahan menyelimuti ruangan ketika sinar matahari menghilang di balik gunung. Evdokia memecahkan keheningan itu. “Kita akan berkonsultasi dengan Imam. Dia teman Pater dan ii “Aku tak akan menerima saran siapa pun,” sela Faroukh. “Tak akan pernah.” Semua isyarat tubuhnya seakan mengatakan TIDAK! Evdokia menatap suaminya sambil menarik napas panjang. “Duduklah Faroukh. Kau membuatku pusing tujuh keliling.” Faroukh berhenti mondar-mandir dan menatap istrinya. Dia menimbang-nimbang dalam benaknya apakah duduk adalah langkah yang berbahaya. Dia memutuskan tidak akan berbahaya dan dia pun akhirnya duduk di antara istri dan anaknya. “Bagaimana bisa dia melakukan itu?” tanyanya. Dia tampaknya sedang berbicara kepada dirinya sen diri sehingga tak membutuhkan jawaban. “Ini namanya pengkhianatan,” lanjutnya, kali ini ditujukan kepada istrinya. Dengan tenang Evdokia memotong-motong roti, melipatnya, dan membersihkan sisasisa buncis di dasar nampan makanan. Dia memberi isyarat dengan anggukan kepala ke arah nampan makan. “Kim ya, Aishel, bereskan perkakas makan dan bersiaplah untuk memerah susu,” perintahnya kepada kedua anak gadisnya. “Dan kau, Tahir,pergilah mencari pakan untuk kambing kita.” Evdokia menunggu hingga ketiga anaknya pergi. “Sekarang kita bisa bicara dengan leluasa, apa yang kau maksud dengan pengkhianatan?” tanya Evdokia kepada suaminya. Faroukh sedang menyeruput tehnya. Nada penolakan tergambar jelas di wajahnya. “Meninggalkan pesan dengan cara seperti itu! Wasiat terakhirnya!” Faroukh mengumpat seolah sedang melihat sesuatu yang menjijikkan. “Pater sekarang sudah meninggal,” katanya lagi dengan marah, “bagaimana mungkin kita berdebat dengannya? Berapa banyak lagi kecurangan yang bisa dilaku-kannya? Dan sekarang, Kirnya sudah tahu apa yang dikatakan Pater dalam suratnya, dan dia akan memikirkannya ….” “Ssst, bagaimanapun hal itu harus dibicarakan secara terbuka,” potong Evdokia. “Karena Pater sudah mengatakannya kepadamu pada musim panas yang lalu, kita berdua sudah memikirkannya. Sekarang, masalah ini telah diketahui oleh kita semua. Mungkin jalan keluarnya akan jadi lebih mudah.” Faroukh menggaruk-garuk kepalanya. Ya, masalah Kirnya sekarang memang telah menjadi pembicaraan masyarakat desa. Ibu-ibu akan mengatakan kepada para suaminya siapa di antara mereka yang mendukung atau menentang keberangkatan Kirnya, dan masing-masing merasa berhak untuk memberikan nasihat. Faroukh menarik napas panjang; beban yang dipikulnya terasa semakin berat. Evdokia meletakkan tangannya di atas tangan suaminya. “Kirnya mengatakan bahwa Pater Chrisostom menyebut seorang biarawati bernama Suster Andrea yang akan mengurus Kirnya di Konya.” Faroukh tampaknya tidak mendengarkan ucapan istrinya. Tiba-tiba dia menutupi
wajahnya dengan kedua tangannya dan bahunya mulai berguncang-guncang secara tak terkendali. “Aku tidak bisa mengizinkan Kirnya pergi, tidak bisa,” katanya sambil memberengut. “Kirnya adalah pelita hidupku katanya lagi yang mulai terdengar seperti erangan. Seluruh anggota tubuhnya berkelojotan seolah-olah baru tersambar petir. Evdokia belum pernah melihat suaminya dalam keadaan seperti itu. Bahkan pada waktu hujan merusak semua tanaman pangannya pun, suaminya masih bisa menguasai diri. Evdokia terpaku dan hanya bisa menunggu. Suara keledai di kejauhan menyadarkan mereka kembali. Faroukh masih sesenggukan, namun perlahan mereda. Dia sudah tidak menutupi lagi wajahnya dan menatap Evdokia dengan pandangan putus asa. Air matanya masih berlinangan di pipinya. Evdokia pun mulai menangis. Faroukh pasti belum menyadarinya, pikirnya. Tetapi, sebenarnya dalam hatinya, Faroukh sudah sampai pada satu keputusan: Kirnya diizinkan berangkat dan belajar di Konya! “Faroukh” Evdokia mengguncang-guncang tangan suaminya”kau tahu bahwa Kirnya bisa pulang setiap saat.” Faroukh menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya tertuju pada karpet di bawahnya. “Kirnya tidak akan kembali jika diizinkan berangkat. Dia bukan milik kita lagi.” Jadi, Faroukh akhirnya mengatakan apa yang mereka ketahui maupun khawatirkan, tanpa perlu membicarakannya satu sama lain. Ruangan tempat mereka bicara sekarang menjadi gelap, hanya ada sebersit cahaya kemerahan yang memancar dari bara diperapian. “Sebenarnya kita sudah mengetahuinya sejak dulu, bukan?” kata Evdokia lembut. Faroukh mengangguk, tak mampu lagi berkata-kata. Air mata masih membekas di pipinya. Sepasang suami istri itu masih larut dalam pikirannya ma sing-masing sampai Evdokia mendengar suara yang datang dari arah pintu depan. “Di luar sangat dingin.” Itu suara Aishel yang datang dengan seikat ranting kering. Kemudian dia meletakkannya di dekat perapian. Aishel menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk mendapatkan sedikit kehangatan. Sambil membungkukkan badan, dia mulai menyalakan api. “Musim dingin sebentar lagi tiba,” kata Evdokia lirih.Dan setiap kali musim dingin menjelang, pikirannya selalu teringat pada seorang pengembara delapan tahun yang lalu. Apa yang dikatakannya waktu itu benar adanya: jabang bayi yang dikandungnya memang seorang perempuan, dan diberi nama Kirnya seperti yang disarankan pengembara itu. Bagaimana keadaan pengembara itu sekarang? Evdokia berta nyatanya dalam hati. Jilatan api dari perapian meninggalkan bekas-bekasnya di tembok. Evdokia menghampiri Faroukh. “Kirnya mungkin sudah bisa berangkat pada musim semi,” kata Evdokia. Faroukh tidak menanggapinya. Kabar itu dengan cepat tersiar ke penjuru desa. Sejak kedatangan Ahmed enam bulan yang lalu, tak ada satu pun peristiwa menarik terjadi, dan Kim ya akan bersekolah di Konya atas saran Pater Chri sostom yang menuliskan pesannya di secarik kertas ini baru berita. Aishel telah menceritakan semuanya kepada sahabatnya, Muesser, yang kemudian mengatakan cerita itu kepada ibunya, yang mengabarkan hal itu kepada suaminya. Sedangkan, Evdokia memercayakan rahasianya kepada Maria, sahabatnya sejak kanak-kanak yang kini telah dikaruniai lima anak. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya Evdokia. Kedua wanita itu sedang mencuci baju, agak menjauh dari mata air yang, seperti biasanya, diselimuti kabut dingin. “Kau tahu, Kirnya memiliki takdirnya sendiri,” lanjutnya. “Tetapi, sejak Ahmed mengajarinya, dia tidak seperti biasanya. Dia bukanlah Kirnya yang dulu.” Evdokia seolah hanya berbicara dengan dirinya sendiri. “Dia sangat suka belajar, giat sekali, tak bisa diragukan lagi. Tetapi, Faroukh demikian jengkel Maria angkat bicara sambil mengelap tangan dengan gamisnya. “Pater Chrisostom
adalah orang bijak,” katanya. “Sudah sepatutnya kau memercayai dia … dan percayalah kepada Tuhan,” katanya menambahkan. Evdokia menyibakkan rambut yang menutupi matanya dan mulai memukuli tumpukan baju yang ada di depannya, barangkali untuk melampiaskan a-marah. Maria memang baik hati, tetapi dia tak akan mengizinkan anaknya pergi jauh Tak semua orang setuju Kirnya pergi ke Konya. “Aku tak akan membiarkannya pergi sejauh itu, seandainya dia anak kandungku,” kata Safia kepada ibunya. Dia sedang menuangkan sup sembari menyusui anak bungsunya, sedangkan si anak enggan dan hanya bisa menangis keras-keras. “Apa yang akan kulakukan pada masa tuaku nanti?” lanjutnya. “Kita pasti membutuhkan pertolongan anak perempuan kita saat kita semakin tua dan pikun.” “Benar sekali,” kata Usha, ibunya. “Untuk apa Kirnya sekolah? Apa hasilnya?” Perempuan tua itu mendengus tak senang. “Tak akan ada seorang lelaki pun yang mau menikahi dia. Perempuan itu tidak usah terlalu pintar. Terlalu banyak berpikir tidak baik untuk seorang perempuan.” “Apa yang dikatakan oleh imam kita?” suami Safia memasuki ruangan dan ikut nimbrung dalam obrolan itu. “Dia berkata bahwa Pater Chrisostom bisa jadi benar dan kita dilarang menggunjingkannya. Kita diharapkan banyak berdoa,” jawab Safia. “Seharusnya Imam tahu bahwa diam adalah hal yang paling sukar bagi kalian, kaum perempuan.” Safia tertawa dan menyerahkan bayinya kepada suaminya. Anak lelaki itu masih saja menangis. “Kim ya itu anak yang sangat aneh, hanya itu yang bisa kukatakan. Aku bersyukur anak-anak kita tumbuh 10
3fr “db Musim dingin datang tiba-tiba. Malam kemarin, mereka masih bisa menikmati makan malam dan minum teh hangat sambil duduk mengitari perapian di beranda atas. Tetapi, pagi ini, lapisan salju mulai menutupi desa dan lereng-lereng di sekelilingnya. “Ini kan masih bulan November,” keluh Evdokia. “Bagaimana jadinya tanaman kacang dan lobakku?” Faroukh juga mengkhawatirkan turunnya hujan salju. “Aku harus pergi untuk memeriksa kebun anggur. Aku belum selesai memangkas dahannya.” Aku seharusnya mengerjakannya lebih awal, gerutunya kepada diri sendiri. Aku menunda pekerjaan terlalu lama tahun ini. Dia menyeruput air teh dan bergegas membuka pintu. “Tahir, ke sini cepat! Kita punya banyak pekerjaan yang harus segera diselesaikan.” “Kau tak mungkin pergi tanpa memakai mantel tebalmu, iya kan?” teriak Evdokia mengingatkan. Faroukh segera menghentikan langkahnya padahal dia berjalan sudah agak jauh. Evdokia membawakan mantel bulu tebalnya. Dia berdiri di pintu menyaksikan anak
lelaki dan suaminya menghilang di tengah hamparan salju. Sosok mereka semakin tak jelas ditelan kabut musim dingin. “Dia pikir dirinya masih muda,” gumamnya kepada diri sendiri dan dia pun masuk rumah. Dia menggantungkan mantel yang tadi dia kenakan dan menyampirkan selendang ke bahunya. “Dingin sekali,” katanya keras, seolah tidak memercayainya.Angannya melayang kepada petak kebun sayur. “Aishel, Kirnya, mari kita pergi ke kebun. Hari ini kita akan memanen labu dan kacang sebelum tanaman itu terbuang percuma.” Hari menjelang sore saat Faroukh dan Tahir pulang ke rumah. “Kau tidak makan sejak kemarin malam,” kata Evdokia menyambut suaminya. “Itu tidak baik untuk kesehatanmu.” Faroukh terlihat letih. Evdokia melihat wajah suaminya pucat. Faroukh merebahkan diri di atas bantal dan mengusap keringat dingin dari keningnya.“Untunglah kami masih sempat menyelamatkan anggur kita,” katanya. Anggur merupakan satu-satunya sumber penghasilan dan mereka tidak bisa membayangkan apa jadinya jika panen kali ini gagal. Setiap tahun, pada akhir musim panas, setiap pemuda di desa itu akan membawa keranjang-keranjang penuh anggur ke kota terdekat. Mereka biasanya memanen anggur sejak fajar dan meninggalkan desa dengan gerobak dipenuhi keranjang anggur yang diangkut oleh bagal maupun keledai. Dan, setiap tahun selalu saja Aishel mengajukan pertanyaan yang sama ke-pada kakaknya, “Tahir, kau akan membawa oleh-oleh apa untukku?” “Untukku apa?” rajuk Kirnya. “Bawakan gelang ya?” “Jangan lupa beli pisau,” kata Evdokia. “Punya kita sudah tumpul; dan jika kau menemukan gayung yang bagus, kuat, “Iya, cukup. Aku mengerti,” seru Tahir keras. “Kalau aku tak bisa menjual anggur ini bagaimana?” “Jika anggur ini tak laku,” Faroukh berkata dengan meringis, “kau sebaiknya tidak usah pulang.” Mereka tahu bahwa Tahir pasti bisa menjual semua anggurnya. Memang, sebagian besar penduduk kota menanam buah-buahan dan sayuran sendiri, tetapi banyak juga para pengelana dan pendatang baru yang tidak punya lahan. Anggur yang tumbuh di lereng gunung mereka merupakan buah yang paling laris. Hari ini, Evdokia tak sempat memikirkan anggur dan hal sepele lainnya. Dia menatap Faroukh yang terbaring tak berdaya. Badannya menggigil. “Kau memang tua bangka keras kepala lagi bodoh,” katanya. Nada jengkelnya berubah menjadi cemas. Dia keluar dari kamar dan kembali lagi sambil membawa selimut di tangan kiri dan tangan yang satunya membawa semangkuk sup hangat. “Mendekatlah ke perapian,” katanya sambil menyampirkan selimut di pundak suaminya, “dan makanlah sup ini,” tambahnya sambil menyerahkan mangkuk sup itu ke tangan suaminya. “Tahir, uruslah dirimu sendiri.” Evdokia duduk di samping Faroukh yang sedang memakan supnya dengan membisu. “Kau tak akan jatuh sakit, kan?” tanyanya, meyakinkan diri sendiri. Faroukh segera menyerahkan mangkuk yang kini kosong kepada istrinya. Dia pun
lantas memejamkan mata. “Aku sehat walafiat. Kau jangan cemas. Aku baik-baik saja,” ulangnya.Kemudian, dia menambahkan, “Aku sangat lelah.” Beberapa menit kemudian, Faroukh pun tertidur. Keesokan paginya, badan Faroukh panas dan mulai mengigau. Dia tetap berbaring di tempat tidur. Evdokia dan Aishel duduk di tepi ranjang dan secara bergantian mengganti kompres di kening Faroukh. Menjelang sore hari, dia kembali mengigau dan menggumamkan kata-kata yang tak dimengerti Evdokia. Keesokan paginya, Evdokia memutuskan untuk meminta bantuan Serena, si dukun tua. Serena hidup sendirian di pinggir desa. Dialah satu-satunya yang selamat dari serangan pasukan tentara yang melintas di desanya. Beberapa tahun sebelumnya, beratus pasukan membantai semua penduduk desa tempat dia lahir dan menikah. Saat itu, semua orang tewas, tak terkecuali anak dan suaminya. Pada saat kedatangan pasukan itu, Serena sedang menjelajahi bukit mencari tumbuhan untuk ramuan obat. Dia sempat mendengar jerit ketakutan menyayat hati dan melihat kepulan asap tebal dari tempatnya berdiri. Tetapi, ketika kembali ke desa, dia tidak menemukan tanda-tanda kehidupan. Suasana hening mencekam dan ceceran darah tampak di mana-mana. Serena kemudian melarikan diri ke desa Evdokia yang, karena keterpencilannya, selamat dari serangan pasukan asing dan tetap bertahan bertahun-tahun lamanya. Dia kemudian diberi sebuah rumah, sebenarnya sebuah gubuk satu kamar, dan penghuni desa kerap berbagi makanan dengannya hingga dia mampu mandiri dan memiliki beberapa ayam.Dia menghabiskan waktu dengan mencari tumbuhan di pegunungan guna membuat ramuan pahit yang mampu mengobati berbagai macam penyakit. Dia tidak pernah membicarakan masa lalunya dan mereka pun tidak mau mengungkit-ungkit nya. Dia selalu membisikkan jampi-jampi pada ramuannya sehingga penduduk menjadi takut kepadanya. Inilah sebabnya mereka hanya akan berkunjung jika mereka membutuhkan pertolongannya. Sang Imam kadang mencela orang-orang yang kerap meminta bantuan Serena. Menurutnya, doa lebih mujarab daripada jampi-jampi nenek tua. “Hanya kepada Allah selayaknya kita memohon,” katanya marah menyaksikan orangorang kembali ke zaman jahiliah dan mempraktikkan kebiasaan kaum pagan tempo dulu. Evdokia pun pernah mendengar Pater Chrisostom mengatakan bahwa memanggil ruh untuk menyembuhkan penyakit, termasuk juga menyuburkan perempuan yang mandul, adalah takhayul belaka. “Memercayai keyakinan kuno kaum pagan sama saja dengan membuka pintu-pintu bagi masuknya setan,” begitu yang sering dia katakan. Serena memang tidak pernah mengunjungi gereja, apalagi masjid. Dia hanyalah orang luar yang hidup di pinggir desa selama beberapa tahun ini. Dengan menafikan ketakutannya, Evdokia dan kebanyakan temannya berprinsip bahwa semakin banyak pertolongan yang diterima seseorang adalah semakin bagus. Jika memang Allah Maha Pengasih dan Maha Pengampun, seperti yang dikatakan sang Imam maupun Pater tentu saja Dia pun tidak berkeberatan jika umat-Nya meminta bantuan dari para ruh yang baik, tak peduli apa atau siapa mereka. Di luar, butir-butir salju yang dingin membuat langkahnya semakin dipercepat. Selendang hangat yang erat membalut tubuhnya tak mampu menepis hawa dingin itu. Ketika dia membuka pintu rumah perempuan tua itu, Serena tampak sedang memegang lesung. Dia sibuk menumbuk biji-bijian. Ruang di sekelilingnya dipenuhi