ISSN : 2337-3253 Memaknai Visi Surabaya sebagai Barometer Pendidikan di Indonesia (Prof. Tatang Suratno, M.Pd) Abstrak Surabaya saat ini merupakan salah kota metropolitan di Indone sia. Kenaekaragaman sosial budaya mewarnai setiap dinamika perkembangan kota Surabaya menjadi kota yang terus berkembang di semua sektor. Pendidikan merupakan salah satu hal yang terpenting yang tidak boleh diabaikan dalam memjukan sebuah kota. Dalam rangka memajukan pendidikan di kota Surabaya. Dinas Pendidikan Kota Surabaya yang dipimpin oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya Dr. Ikhsan, S.Psi, MM terus berupaya memajukan pendidikan di kota Surabaya. Hal ini diwujudkan sesuai dengan moto pendidikan di Surabaya, yakni “Menuju Surabaya sebagai Barometer Pendidikan di Indonesia ”. Ada beberapa hal yang dikembangkan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya dalam mewujudkan Surabaya sebagai “Barometer Pendidikan Nasional”. Pertama, pengembangan kompetensi para guru di Surabaya yang dimana para guru Surabaya mendapatkan pembekalan strategi mengajar, sehingga diharapakan proses pembelajaran di kelas menjadi menyenangkan dan siswa merasa nyaman di Sekolah. Kedua, pengembangan bakat dan minat siswa yang dimana para siswa dapat mengembangkan bakat dan kreatifitas melalui program-program pengembangan bakat dan kreatifitas siswa yang telah difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Ketiga, pengembangan sekolah yang dimana pengembangannya berupa kegiatankegiatan di sekolah yang dapat menciptakan suasana sekolah menjadi nyaman dan anak lebih betah belajar di sekolah, serta mempersiapkan siswa untuk menhadapi ujian nasional melalui try out online yang telah disediakan oleh Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Kata kunci : Menuju Surabaya Sebagai Barometer Pendidikan
Pendahuluan Visi menjadikan „Surabaya sebagai Barometer Pendidikan Nasional‟ dirancang secara komprehensif yang dimulai dengan pengembangan kompetensi guru sebagai simpul utama yang terhubung dengan pengembangan minat dan bakat siswa dan pengembangan sekolah. Keterhubungan antara dimensi guru-siswa-sekolah mendasari skema besar sistem pendidikan di Kota Surabaya yang mencakup: standar pelayanan minimal, evaluasi diri sekolah, program kerja, anggaran berbasis kinerja dan kinerja kepala sekolah (Ikhsan, 2012). E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
Saya merasa beruntung berkesempatan bertemu, berbincang dan mendengarkan „grand design‟ pembangunan pendidikan di Kota Surabaya secara langsung dari Dr. Ikhsan, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya di „Seminar Guru Pemimpin, Guru Reflektif‟ (15 Desember 2012). Temanteman guru di Surabaya menyebutnya sebagai program „Surabaya Belajar‟. Di dalamnya terdapat beberapa agenda penting terutama bagi guru. Saya mengklasifikasikannya ke dalam tiga area penting: 1) perubahan mindset/paradigma
Hal. 1
guru; 2) perubahan praktik mengajar; dan 3) pembentukan komunitas belajar. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan perspektif tentang pentingnya berinvestasi dalam pengembangan professional guru dengan melihatnya dari kerangka guru sebagai profesi pembelajar sepanjang hayat dan peran guru sebagai ujung tombak pelaksana kebijakan pendidikan. Saya menganalisisnya dari logika kebijakan „Surabaya sebagai Barometer Pendidikan Nasional‟ atau secara singkat sebagai „Surabaya Belajar‟. Paradigma guru sepanjang hayat
sebagai
pembelajar
Gary Sykes (1999) menjelaskan makna dari „teaching as the learning profession‟ dengan premis dan hipotesis sederhana: peningkatan kualitas pendidikan sangat bergantung pada kualitas guru yang daripadanya memerlukan kualitas profesional learning sepanjang karirnya. Sykes menegaskan bahwa “teaching par excellent must become the learning profession in order to stimulate greater learning among students” (p. xv). Sederhananya, tugas utama guru bukan hanya mengajar, tetapi juga belajar bagaimana membelajarkan siswanya. Secara luas, gagasan mengenai guru sebagai profesi pembelajar melibatkan hubungan antara „teacher education and development‟ dan „teacher professionalism‟ serta kaitannya dengan isu „social justice‟ dan „demokratisasi pendidikan‟ yang mendasari konseptualisasi hakikat „teacher as the lifelong learner‟.
E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
Menter et al., (2010) mengidentifikasi beberapa bentuk profesionalisme guru di abad 21, yaitu the effective teacher, reflective teacher, enquiring teacher and transformative teacher. Jauh sebelumnya telah muncul istilah practitioner researcher, practitioner inquirer, action researcher dan reflective practitioner (Kansanen, 1999; Cochran-Smith & Lytle, 2004) serta teacher as adaptive expert (Darling-Hammond & Bransford, 2005). Inti dari berbagai istilah profesionalisme guru tersebut meletakkan guru sebagai profesi yang mengkaji dan mengembangkan praktik pengajarannya secara sistematis dan bermakna. Istilah „teacher as adaptive expert‟ (guru sebagai ahli yang adaptif) meletakkan kapasitas guru sebagai sumber utama penciptaan dan pemutakhiran pengetahuan dan keterampilan guru sebagai profesional. Di dalamnya terkandung hubungan antara „expert knowledge and teaching ability‟. Lebih dari itu, setiap keputusan guru kebanyakan bersifat intuitif dimana tingkatannya dapat membedakan antara „routine experts‟ (berorientasi efisiensi) dengan „adaptive experts‟ (berorientasi inovasi). Dalam ekologi komunitas pendidikan secara luas, misalnya satu kabupaten/kota, makna „teacher as adaptive experts‟ sangat penting karena merupakan perwujudan dari „lifelong learner‟ yang memiliki sikap saling belajar dan terus belajar agar memperoleh wawasan yang memperkaya pengambilan keputusan yang tepat bagi siswanya. Kiranya, pada tataran tertentu, program Surabaya Belajar itu mencoba membangun Hal. 2
kapasitas guru sebagai ahli yang adaptif dengan cara mewadahi proses saling belajar diantara guru untuk meningkatkan pengetahuan (expert knowledge) dan kemampuannya (teaching ability) yang tentunya sangat variatif tingkatan dan keterjangkauannya. Ada banyak hal yang diketahui secara umum (explicit knowledge) oleh guru, tetapi banyak juga keahlian yang tak terungkapkan (tacit knowledge) yang dimiliki oleh beberapa guru berpengalaman. Tantangannya adalah bagaimana berbagi dan mengelolanya karena perkembangan pengetahuan dan kemampuan guru dipengaruhi oleh berbagai factor, dimana lamanya pengalaman mengajar guru belum tentu berkorelasi dengan tingkat pengetahuan dan kemampuannya. Hal ini juga berkaitan dengan aspek tata nilai serta antar-hubungan aspek kognitif-afektifkonatif guru sebagai profesional yang pembelajar. Garis singgung diantara ketiga ranah tersebut adalah sistem keyakinan guru (Thompson, 1992; Philips, 2007) yang mendasari paradigma atau mindset guru dalam menyikapi, memahami dan mempraktikkan tindakan-tindakan pedagogis baik sebelum, ketika maupun setelah kegiatan pengajaran dan pembelajaran berlangsung. Secara umum, terdapat dua paradigma utama pengajaran jika dilihat dari bagaimana pengetahuan itu dibangun di kelas: 1) berpusat pada guru (teachercentered); dan 2) berpusat pada siswa (student-centered). Paradigma pertama dianggap sebagai pendekatan tradisional dimana dominasi guru lebih besar daripada siswa: guru lebih berperan memberikan E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
pengetahuan sementara siswa menerimanya secara pasif. Sementara pandangan kedua lebih dianggap sebagai pendekatan konstruktif dimana siswa yang berperan aktif dalam membangun pengetahuannya melalui fasilitasi belajar dari guru. Saya mencermati bahwa pada dasarnya banyak guru yang mengetahui perbedaan paradigma tersebut. Namun demikian, pengamatan kelas menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara apa yang dipahami guru sebagai paradigma student-centered dengan apa yang dipraktikkan guru yang cenderung menampilkan pola teacher-centered. Sebagai contoh, agar pembelajaran aktif berlangsung, guru membuat serangkaian tugas yang akan dibahas siswa di kelompoknya. Namun demikian, masalah yang tersaji dalam tugas tersebut jawabannya ada di buku teks dan siswa menyalinnya. Sepintas terlihat siswa mengerjakan tugas secara aktif, tetapi secara substansial siswa hanyalah meniru saja. Contoh lainnya, di awal pelajaran, guru mengajak anak untuk berdiskusi dan langsung bertanya tentang, misalnya, “apa yang kamu ketahui tentang „gaya‟?”. Bagi anak, istilah gaya itu beragam tafsir dan guru kurang mengantisipasi keragaman kemungkinan jawaban siswa. Anak mungkin akan lebih mudah melihat „konteks‟ gaya dalam kehidupan sehari- hari ketimbang „istilah‟ gaya itu sendiri. Akibatnya, pada akhirnya, guru menjelaskan gaya, beserta rumus turunannya, karena siswa mengalami kesulitan. Padahal, awal pelajaran merupakan momentum yang baik bagi guru untuk menggali pola pikir anak. Namun, terutama untuk MIPA, guru memandang Hal. 3
bahwa pembelajaran aktif itu memiliki pola model teoretis (definisi, rumus), dilanjutkan dengan contoh soal dan diakhiri dengan latihan soal. Memang tidak ada yang salah dengan pola tersebut, akan tetapi saya mencermati kesempatan siswa untuk berpikir tentang masalah atau konteks yang diajarkan sejak pelajaran dimulai masih belum terapresiasi di dalam kelas. Contoh tersebut menunjukkan bahwa apa yang diketahui guru berbeda dengan apa yang diyakini guru yang tercermin dari apa yang nyata terjadi di kelas. Perbedaan ini menghambat peningkatan praktik pengajaran dan pembelajaran. Sayangnya, merubah keyakinan itu tidak semudah membalikkan tangan. Prosesnya berlangsung perlahan dan melalui berbagai hal yang mungkin sifatnya kecil dan sederhana tetapi penting sehingga tidak banyak orang dapat merasakannya secara jelas. Ibarat cermin, perkembangan keyakinan guru terlihat dari perkembangan belajar siswa. Perkembangan belajar siswa itu sangat halus dan memerlukan kepekaan substansial guru dalam mengindera apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran dan hati anak. Tidak mengherankan jika banyak guru yang kurang menyadari apa yang sesungguhnya menjadi filosofi mengajarnya. Kiranya tidak mengherankan jika langkah awal yang diambil dalam visi Surabaya Belajar adalah perubahan paradigma mengajar. Secara spesifik, fokus dari kegiatan ini adalah mengubah cara pandang guru terhadap siswa agar sekolah dapat memahami dan mengembangkan potensi dan bakat siswa, baik akademik E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
maupun non-akademik. Secara eksplisit, desain besar dari perubahan paradigma ini mengacu pada tulisan Munif Chatib (Gurunya Manusia (2011); Sekolahnya Manusia (2009)). Sejauh yang saya pahami, rujukan tersebut menyampaikan pesan penting bahwa guru perlu memahami beragam kemampuan dan potensi siswanya. Setiap harinya guru dihadapkan pada tantangan pengambilan keputusan dan judgement terbaik untuk siswanya yang didasarkan pada beragam pengetahuan yang kompleks (Darling-Hammond & Bransford, 2005). Apalagi pertumbuhan dan perkembangan anak di era informasi ini berlangsung begitu pesat, tidak terduga dan berbeda sekali dengan era sebelumnya. Kenyataan ini menyiratkan tantangan guru sebagai profesi pembelajar sepanjang hayat. Bagaimana guru mempelajari tantangan tersebut mencerminkan tingkat kepakarannya (teacher’s expertise). Secara umum, kepakaran tersebut berkembang sejalan dengan bertambahnya pengalaman praktis dalam menangani kerumitan permasalahan pengajaran-pembelajaran di konteksnya masing- masing (the problem of complexity, multidimensionality and simultaneity of teaching). Bagaimana guru mampu menganalisis dan mencari solusi terhadap permasalahan praktis tersebut bergantung pada ketersediaan kesempatan bagi guru untuk mempelajarinya. Merujuk pada kajian How People Learn (Bransford et al., 1999), Bransford et al. (2005) mengembangkan kerangka pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mendasari proses belajar guru. Pertama, Hal. 4
pengetahuan tentang siswa dan bagaimana mereka belajar dan berkembang dalam konteks sosial tertentu. Kedua, pengetahuan tentang isi dan tujuan kurikulum, yaitu pemahaman tentang materi dan kompetensi yang diajarkan dalam kaitannya dengan tujuan sosial- moral pendidikan. Ketiga, pemahaman tentang praktik pengajaran dan penilaian serta penciptaan lingkungan belajar yang bermakna (p. 10). Lebih lanjut mereka mengkonseptualisasikan visi praktik profesional yang menekankan guru sebagai profesi yang menjunjung tinggi tujuan demokrasi (p. 11). Ide Brandsford dan koleganya tersebut sebenarnya menekankan pada pentingnya pemahaman mengenai proses belajar siswa dan dampaknya terhadap perkembangan pengetahuan dan keterampilan guru. Hal ini berarti bahwa sebenarnya guru seharusnya melakukan tanggungjawabnya dalam membimbing proses belajar siswa. Tidak sebatas itu saja, pemahaman dan keyakinan seperti itu berhubungan erat dengan makna „social justice‟ dan „demokrasi pendidikan‟ sebagaimana dijelaskan lebih lanjut di bagian selanjutnya. Keterkaitan secara utuh dari keseluruhan aspek tersebut mendasari konsepsi guru sebagai pembelajar sepanjang hayat: Dari tahun ke tahun guru membimbing siswa yang berbeda-beda, dan dari tahun ke tahun mereka terus mempelajari mereka. Kiranya inilah perubahan paradigma yang diharapkan dari Surabaya Belajar: Guru sebagai pembelajar. Memahami logika Surabaya Belajar E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
Mengembangkan proses belajar guru memerlukan cara pandang yang komprehensif terutama dalam menyambungkan tiga aspek penting: teoripraktik-kebijakan. Ball & Cohen (1999) mengungkapkan ide revolusioner mengenai „practice-based professional education‟ untuk mengukuhkan guru yang tidak hanya belajar dari praktik pengajaran, tetapi juga belajar untuk meningkatkan praktik pengajaran. Oleh karena itu, proses belajar guru mencakup belajar dalam situasi praktis (refleksi praktik pengajaran) dan belajar dari situasi praktis (penyelidikan praktik pengajaran). Gagasan Ball & Cohen (1999) tersebut mendasari perspektif situated learning, proses belajar itu erat kaitannya dengan situasi praktis (Borko, 2004). Perspektif ini memandang penting perpaduan antara ‘teaching context and professional context’ melalui beberapa pendekatan perkembangan pengetahuan (Hammerness et al., 2005). Pertama, knowledge for practice yang berkaitan dengan pengetahuan dasar mengajar seperti materi mata pelajaran, cara mengajarkan materi, teori belajar dan perkembangan, serta strategi mengajar. Kedua, knowledge in practice yang berkenaan dengan pengalaman dan tindakan guru yang bersifat situasional, kontekstual dan unik yang tereksperesikan dalam praktik, refleksi dan narasi pengajaran. Pengetahuan ini diperoleh melalui kegiatan pengembangan kurikulum, pengamatan dan penilaian siswa dan hal lainnya yang terkait dengan praktik mengajar. Ketiga, knowledge of practice yang mengintegrasikan antara aspek teori dan praktik melalui penyelidikan Hal. 5
dan pengkajian secara sistematis dan berkelanjutan terkait dengan aspek pengajaran, siswa dan pembelajarannya, kurikulum, dan praktik pendidikan sekolah. Pengetahuan ini dikonstruksi secara kolektif di dalam suatu community of practice (Cochran-Smith & Lytle, 1999) yang berperan sebagai wahana pengembangan dan penyelarasan antara praktik dengan teori. Oleh karena itu, Hammerness et al. (2005) mengembangkan kerangka proses belajar guru dalam suatu komunitas belajar yang mengembangkan visi praktik mengajar guru, pemahaman tentang pengajaran dan pembelajaran, penyikapan tentang pengelolaan dan pemanfaatan pengetahuan, pelaksanaan praktik yang dilandaskan pada hubungan antara pengetahuan dan keyakinan yang kuat, dan pengembangan perangkat yang mendukung proses belajar guru (p. 385). Program Surabaya Belajar berupaya untuk mengukuhkan keterkaiatan antara konteks mengajar dengan konteks profesional. Selain didasarkan para perubahan paradigma penting berupa guru sebagai pembelajar, dua upaya lainnya mencoba membuka jalan bagi pengkajian praktik pengajaran dan pembentukan komunitas belajar sebagai strategi pengembangan pengetahuan guru. Dengan mengadopsi dari konsep kunci „Gurunya Manusia‟ (Chatib, 2011), kegiatan yang dikembangkan meliputi pengkajian sekira 20 strategi mengajar yang terkait dengan keragaman gaya belajar siswa, termasuk di dalamnya strategi pengkajian dan pengembangannya, misalnya melalui action research. Selain itu, strategi yang dikaji E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
berorientasi pada keutuhan proses belajar siswa yang seimbang antara otak dengan hati, pikiran dengan rasa, misalnya melalui mind-map, sosio-drama dan service learning. Pengkajian itu sendiri ditindaklanjuti dengan kegiatan pendampingan perancangan dan pelaksanaan strategi pengajaran yang melibatkan komunitas guru (MGMP-KKG) dan pakar serta calon guru (universitas mitra). Kemitraan tersebut turut mendukung upaya pembuatan bahan ajar multimedia dimana guru memerlukan bantuan pakar terkait untuk menunjang proses belajarnya. Proses belajar guru tersebut tidak terbatas pada pembahasan dan pendampingan strategi pengajaran yang berpusat pada siswa. Pada saat yang bersamaan, guru difasilitasi untuk membuat karya tulis terkait pengalaman belajar mereka. Prosesnya pun melalui kemitraan dimana guru bekerjasama dengan sesama guru dan pakar terkait untuk meneliti apa yang telah mereka kembangkan. Selain itu, dinas pendidikan pun menyediakan wahana untuk berbagi pengalaman dimana guru beserta mitranya serta praktisi lainnya dapat mempublikasikan hasil kajiannya secara online (e-jurnal dan multimedia online dapat diaksses di http//dispendik.surabaya.go.id). Kiranya kegiatan yang dikembangkan dalam Surabaya Belajar mencoba mengintegrasikan tiga hal penting: perubahan paradigma-peningkatan praktikpemberdayaan komunitas belajar. Hal tersebut memperlihatkan upaya pengembangan dan pengelolaan pengetahuan mengajar yang Hal. 6
menghubungkan secara erat antara konteks mengajar dengan konteks profesional. Konteks mengajar terlihat dari pengkajian strategi dan praktik pengajaran berorientasi siswa, sementara konteks profesional tercermin dari kemitraan dan kolegalitas dalam proses pengkajian tersebut. Kita dapat melihatnya sebagai upaya membangun profesi mengajar yang tidak hanya sebagai pembelajar, tetapi juga sebagai peneliti. Selain itu, kemitraan yang dibangun dalam proses belajar dan meneliti guru tersebut berorientasi pada pembentukan collaborative learning dalam suatu komunitas belajar. Pada tataran tertentu, upaya Surabaya Belajar tersebut menyediakan model pengembangan profesional guru berskala luas di tingkat kabupaten/kota. Namun demikian, program seperti itu selalu dihadapkan pada tantangan keberlanjutan dan kebermaknaan. Hal ini yang perlu terus menerus dipelajari oleh pemangku kebijakan, terutama oleh pimpinan dinas pendidikan dan sekolah. Jika guru sedang berusaha belajar tentang bagaimana siswanya belajar secara bermakna, hal serupa berlaku juga bagi kepala sekolah, pengawas dan pimpinan dinas pendidikan. Mereka juga perlu bersama-sama belajar bagaimana menciptakan situasi dimana guru dapat belajar tentang proses belajar siswanya secara bermakna. Knapp et al. (2003) melihatnya sebagai kesatuan utuh antara student learning, teacher learning and system learning. Logika inilah yang melandasi Surabaya Belajar. Mengawal imple mentasi E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
Pembahasan mengenai prinsip dan contoh kegiatan tersebut mendasari pemikiran tentang strategi dan kebijakan berinvestasi bagi proses belajar guru yang berorientasi pada peningkatan kualitas instruksional dalam skala besar (Elmore & Burney, 1999; Hawley & Valli, 1999). Terkait dengan isu ini, Darling- Hammond & McLaughlin (1999) memetakan beberapa perangkat kebijakan bagi terciptanya keunggulan guru, yaitu standard-based strategies (berorientasi kinerja profesional), school-based reform strategies (berbasis sekolah), dan teacher development strategies (berorientasi peningkatan kapasitas guru). Para pengambil kebijakan dapat memulainya dari berbagai jalur tersebut. Namun demikian, tantangannya terkait dengan aspek keterpaduan dan keutuhan dalam mencapai keseimbangan antara visi kebijakan dengan realita di lapangan. Hal ini menyangkut isu bagaimana mendukung penguatan „implementasi kebijakan‟ oleh guru dalam pengambilan keputusan di tataran praktik. Guru sebagai „implementing agent’ dihadapkan pada berbagai faktor agar dapat mencapai tujuan yang terkandung di dalam setiap kebijakan (Spillane et al., 2002). Salah satu contoh kebijakan yang memerlukan peran implementasi oleh guru adalah perubahan kurikulum. Sebagus apapun dokumen kurikulum, kualitas ketercapaiannya sangat bergantung pada kemampuan guru dalam mengimplementasikannya. Kemampuan guru tersebut berkembang melalui proses penafsiran terbaik guru terhadap tujuan kebijakan dengan realita di kelas, terutama tentang perkembangan siswanya. Kebijakan Hal. 7
Surabaya Belajar berusaha membangun kapasitas guru seperti itu melalui pesan yang dirujuk dari ide Munif Chatib tentang mendidik manusia. Sykes (1999b) meyakini bahwa kemampuan penafsiran guru terhadap berbagai kebijakan berkembang dari fondasi yang menghubungkan proses belajar guru dengan proses belajar siswa. Hubungan yang bermakna tersebut akan membangun daya mampu guru (teacher efficacy) dalam menerapkan praktik yang sesuai dengan perubahan kurikulum yang diharapkan. Oleh karena itu, Hiebert et al. (2007) memandang guru perlu mempelajari hakikat proses belajar siswa agar dapat memahami hakikat praktik mengajar. Bahkan, D‟Souza et al. (2007) menegaskan agar guru dapat bersikap terbuka untuk memahami bagaimana pikiran dan perasaan siswa. Metafora tersebut disebut oleh Chatib (2011) sebagai „Gurunya Manusia‟, suatu pesan kuat yang mendasari visi Surabaya Belajar. CochranSmith (2008) melihat upaya tersebut sebagai „teaching for social justice‟ (mengajar untuk keadilan sosial) yang didasarkan pada „equity of learning opportunity‟ (kesetaraan kesempatan belajar), „respect for social groups‟ (menghargai keragaman sosial) dan „acknowledging and dealing with tensions‟ (memahami dan menangani berbagai tekanan). Prinsip tersebut mencerminkan demokratisasi pendidikan yang berorientasi kesetaraan kesempatan dan keberhasilan belajar untuk semua siswa. Sementara itu, terkait dengan strategi proses belajar guru dalam konteks reformasi pendidikan, Hoekstra & Korthagen (2011) E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
melihatnya sebagai keseimbangan antara formal vs. informal learning. Di satu sisi dinas pendidikan menyediakan program belajar bagi guru, di sisi lainnya guru secara sukarela dan mandiri melaksanakan proses belajarnya yang melekat dengan tugas mengajarnya. Oleh karena itu, DarlingHammond & McLaughlin (1999) memandang perlu kombinasi antara kegiatan yang didukung pemerintah dengan kegiatan yang dilakukan komunitas guru secara sukarela untuk menstimulasi perubahan proses belajar guru secara lebih demokratis dalam skala yang besar. Nampaknya, sekarang ini banyak yang menduga bahwa job-embedding learning, yaitu proses belajar guru yang melekat dengan tugas sehari- hari guru, lebih mendukung terbentuknya professional learning community (Wui et al., 2009). Kiranya Surabaya Belajar mencoba memanfaatkan MGMP dan kemitraan sebagai basis pengkajian, penerapan dan penelitian tentang praktik strategi pengajaran beserta diseminasinya. Keterkaitan peran dan kontribusi guru dari segi profesionalisme, teacher learning, social justice dan demokratisasi pendidikan mendasari hakikat belajar sepanjang hayat di dalam sistem pendidikan sekolah. Prinsip tersebut menyiratkan peran penting sekolah sebagai tempat belajar yang sesungguhnya. Little (1999) menegaskan perlunya organising schools for teacher learning untuk membangun etos seperti pengkajian berdasarkan prinsip kesejawatan, kolaborasi untuk inovasi, dan kerjasama yang didasarkan rasa saling percaya (p. 254). Prinsip tersebut menjadi fondasi bagi guru untuk melakukan penyelidikan terhadap Hal. 8
hakikat proses belajar siswa. Etos tersebut dapat membangun tanggungjawab guru yang didasarkan pada tujuan moral profesionalnya (Wui et al., 2009) dalam mengembangkan potensi, minat dan bakat siswa. Secara keseluruhan, sekolah dapat membangun budaya kerja dan budaya belajar melalui pengaturan tugas kerja guru, pemanfaatan akses terhadap informasi, sumberdaya dan teknologi, serta pengalokasian waktu yang seimbang antara tugas mengajar dengan tugas belajar (Little, 1999). Kiranya inilah hakikat dari makna Surabaya Belajar yang diimplementasikan di setiap sekolah. Referensi Ball, D., and Cohen, D. (1999). Developing practice, developing practitioners: Toward a practice-based theory of professional education. In Linda Darling-Hammond & Garry Sykes (Eds). Teaching as the learning profession. San Francisco: JosseyBass Borko, H. (2004). Professional development and teacher learning: Mapping the terrain. Educational Researcher, Vol. 33, No. 8, pp. 3-15. Bransford, J., Darling-Hammond, L., LePage, P. (2005). Introduction. In L. DarlingHammond and J. Bransford (Eds) Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco: Jossey-Bass. Chatib, M. (2009). Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Kaifa: Bandung. Chatib, M. (2011). Gurunya Manusia : Menjadikan Semua Anak Spesial dan Semua Anak Juara. Kaifa: Bandung. Cochran-Smith, M., & Lytle, S. L. (2004). Practitioner inquiry, knowledge, and university culture. In J. Loughran, M. L. Hamilton, V. Laboskey, & T. Russel (Eds), International handbook of research of self E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
study of teaching and teacher education practices. Amsterdam: Kluwer. Cochran-Smith, M., and Lytle, S. (1999). Relationships of knowledge and practice: Teacher learning in communities. Review of Research in Education, Vol. 24, No. 1, pp. 249-305. Darling-Hammond, L., and McLaughlin, M. (1999). Investing in teaching as the learning profession: Policy problems and prospects. In L. Darling-Hammond and J. Bransford (Eds) Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco: Jossey-Bass. Darling-Hammong, L., & Bradsford, J. (2005). Preparing Teacher for a Changing World. What Teacher Should Learn and Be Able to Do. San Francisco: Jossey-Bass. Elmore, R., and Burney, D. (1999). Investing in teacher learning: Staff development and instructional improvement. In L. DarlingHammond and G. Sykes (Eds), Teaching as the learning profession. Handbook of policy and practice. San Francisco: Jossey-Bass. Hammerness, K., Darling-Hammond, L., Bransford, J., Berliner, D., Cochran-Smith, M., McDonald, M., and Zeichner, K. (2005). How teachers learn and develop. In L. Darling-Hammond and J. Bransford (Eds) Preparing teachers for a changing world: What teachers should learn and be able to do. San Francisco: Jossey-Bass. Hawley, W., and Valli, L. (1999). The essentials of effective professional development: A new concensus. In L. Darling-Hammond and G. Sykes (Eds), Teaching as the learning profession. Handbook of policy and practice. San Francisco: Jossey-Bass. Hoekstra, A., and Korthagen, F. (2011). Teacher learning in a context of educational change: Informal learning versus systematically supported learning. Journal of Teacher Education. Vol. 62, No. 1, pp. 76-92. Ikhsan. (2012). Menuju Surabaya sebagai Barometer Pendidikan Nasional. Presentasi di Seminar Guru Pemimpin-Guru Reflektif kerjasama Dinas Pendidikan Kota Hal. 9
Surabaya-Putera Sampoerna Foundation. Surabaya, 15 Desember 2012. Kansanen, P. (1999). Research-based teacher education. In J. Hytönen, C. RazdevšekPučko, & G. Smith (Eds.), Teacher Education for Changing School (pp. 135141). Ljubljana: University of Ljubljana, Faculty of Education. Knapp, M., Copland, M., Ford., B., Markholt, A., McLaughlin, M., Milliken, M., & Talbert, J. (2003). Leading for learning: Sourcebook. Concepts and Examples. Center for the Study of Teaching and Policy. University of Washington. Little, J. (1999). Organizing schools for teacher learning. In L. Darling-Hammond and G. Sykes (Eds), Teaching as the learning profession. Handbook of policy and practice. San Francisco: Jossey-Bass. Menter I., Hulme, M., Elliot, D., and Lewin, J., with Baumfield, V., Britton, A., Carrol, M., Baumfield, V., Britton, A., Carrol, M., Livingston, K., McCulloch, M., McQueen, I., Patrick, F., and Townsend, T. (2010). Literature review on teacher education in the 21st century. Edinburgh: Scottish Government Social Research. .
E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume 2
Philipp, R. (2007). Mathematics teachers‟ belief and affect. In F. K. Lester (Ed.), Second Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning (pp. 257-315). Reston, VA: NCTM. Spillane, J., Reiser, B., and Reimer, T. (2002). Policy implementation and cognition: Reframing and refocusing implementation research. Review of Educational Research. Vol. 72, No. 3, pp. 387-431. Sykes, G. (1999). Introduction: Teaching as the learning profession. In L. DarlingHammond and G. Sykes (Eds), Teaching as the learning profession. Handbook of policy and practice. San Francisco: Jossey-Bass. Thompson, A. G. (1992). Teachers‟ beliefs and conceptions: A synthesis of the research. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 127–146). New York: Macmillan. Wei, R., Darling-Hammond, L., Andree, A., Richardson, N., Orphanos, S. (2009). Professional learning in the learning profession: A status report on teacher development in the United States and abroad. Dallas, TX: National Staff Development Council
Hal. 10