MEMAKNAI KEMBALI RELIGIUSITAS KADER UNTUK PRAKSIS LIBERATIF Zakiyuddin Baidhawy
Pendahuluan Tahun ini, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) genap berumur 43 tahun. Suatu tahap perkembangan yang sangat krusial karena fase ini merupakan batu pijak dan ujian “kenabian”. Maksudnya ada keniscayaan IMM membawa kabar dan kebangkitan baru bagi bangsa yang sedang jumud dan masih bergelut dengan “kemiskinan murakab” –miskin mental, faqir moral, dhuafa sosial-ekonomi, dan mustad`afin struktural. Ragamnya merentang dari korupsi yang membudaya, kolusi yang menggurita, fatsoen politik yang tumpul dan lumpuh, rasa malu yang sirna, hutang menumpuk, pengangguran melonjak, angka kemiskinan menggelembung, dan berbagai penindasan struktural yang memperoleh legitimasi kekuasaan dan hukum. Intinya, situasi kini berhadapan dengan kehadiran orang-orang geladangan, membludaknya angka pengangguran, dan kaum tertindas ditengah-tengah gelombang tekanan globalisasi yang tidak bersahabat bagi kebanyakan orang kecil. Ini semua tidak hanya menunjukkan krisis politik dan ekonomi, namun juga krisis spiritual yang tak terbantahkan. Dalam sebuah masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan, dan imperatif kesuksesan material, kaum tertindas (miksin, faqir, dhuafa, mustad`afin) telah terstigma sebagai manusia yang secara moral mengalami degenerasi, tidak berdaya dan penuh kegagalan. Suatu kenyataan yang bertolak belakang dengan religiusitas dan spiritualitas pandangan dunia Islam sesuai dengan doa Nabi saw., hidupkanlah aku
bersama orang-orang miskin, matikanlah aku bersama mereka dan bahagiakan aku di surga bersama mereka. Doa nabi ini adalah sebentuk manifesto yang menegaskan posisi untuk “berpihak kepada orang-orang miskin” secara serius. Karena kebanyakan orangorang melarat di tengah-tengah masyarakat luas perlu dibangkitkan kesadarannya untuk menjadi agen-agen transformasi atas nama Allah kini dan esok. Di sinilah signifikansi kehadiran kader-kader IMM dengan religiusitas dan spiritualitas baru yang lebih berpihak dan membebaskan.
Konteks Penindasan dan Ketidakadilan Kontemporer Populasi kaum tertindas baru yang merupakan produk dari kecenderungan politik dan ekonomi struktural selama tiga dekade terakhir, akan terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi yang meluas. Keadaan semacam ini membuat populasi kaum tertindas akan menjadi subkultur yang menyebar mulai dari krisis perumahan dan pekerjaan, penyusutan besar dalam belanja sosial, perubahan-perubahan pada level makro ekonomi, strategi pembangunan kembali potensi lokal, dan sejumlah sebab-sebab lain. Bahkan banyak teorisi kontemporer yakin bahwa ledakan kemiskinan yang telah mulai adalah intrinsik dalam kemajuan kapitalisme dan neo-liberalisme itu sendiri yang bermakna kebalikan bagi kelompok-kelompok marjinal. Kapitalisme
dan neo-liberalisme adalah sumber utama penindasan dan
ketidakadilan yang makin kasat mata. Meminjam ungkapan simbolik al-Qu’ran, setidaknya bisa disebutkan empat wujud penindasan dan ketidakadilan sebagai berikut: Pertama, Qarun sebagai manifestasi hegemoni dan dominasi ideologi arus utama globalisme pasar bebas dan politik liberal, IMF, World Bank, ADB, G7, Paris Club, dan
WTO. Kaki tangan Qarun ini berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan banyak penduduk di negara-negara dunia ketiga dan maju. Mereka pula yang menjerumuskan negara-negara miskin dan berkembang dalam jeratan dan hisapan hutang dan pinjaman, dan merampas sekaligus menghancurkan sumber daya alam dan lingkungan untuk memenuhi konsumerisme tanpa batas dan keuntungan. Kedua, Hamman adalah nama bagi kaum teknokrat, rejim hak paten, dan hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Yang pertama bersemangat membela keinginan-keinginan penguasa dan melegitimasi status quo demi kepentingan diri sendiri baik secara finansial maupun kedudukan. Yang kedua sering digunakan sebagai alat untuk melakukan manipulasi dan pencurian atas keanekaragaman hayati (biodiversity) di dunia ketiga dan berkembang oleh negaranegara maju.. Dan yang terakhir menjadi perampok sistematik dan dilegalkan atas hakhak komunal atas sumber daya yang telah diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ketiga,
Fir`aun adalah penguasa tiran, politik hegemonik, dan good
governance yang sering melucuti peran negara dalam melakukan redistribusi sumber daya dan pendapatan. Keempat, Samiri merupakan kaum agamawan candu, pendeta korup, pastur status quo, bikhu culas, dan da’i dusta, yang tidak segan memanipulasi ajaran-ajaran suci untuk menjustifikasi praktik-praktik politik, ekonomi, dan sosialkultural yang kotor dan menjijikan. Basis Religiusitas Pengalaman keseharian kita bergelut dengan kaum tertindas memperluas kesadaran akan pemaknaan kembali religiusitas berkaitan dengan kesengsaraan mereka, dan signifikansi ketidakberdayaan, ketidakpastian serta kelangkaan sebagai batu pijak membangun fondasi teologis untuk dan bersama orang-orang tertindas dan miskin.
Religiusitas ini
memiliki dua macam basis: basis teoritik dan aksi. Basis
teoritiknya adalah Iqra’, yakni suatu pembacaan rasional yang berbasis realitas dan ilmu pengetahuan. Karena itu seorang kader dituntut
untuk “melek huruf”, dalam arti
kapasitas dan kapabilitas ilmiah sesuai dengan bidang dan kebutuhan masing-masing sesuai konteks ruang dan waktu; juga sensibilitas dan sensitivitas atas realitas hidup dan kehidupan yang dihadapi dan diperlukan pemecahannya. Bersamaan dengan melek huruf, kader juga dituntut untuk berpikir dan bersikap rasional, bebas dari mitologi dan mukjizat. Basis gerakannya adalah Nur, yaitu kesadaran transformatif untuk bergelut dalam dan melakukan perubahan
dari kegelapan ke kejayaan, dari kezaliman ke
keadilan, dari kebodohan ke kemajuan, dari ketertindasan ke kemerdekaan, dan seterusnya. Dengan demikian, kader IMM sebagai intelektual muda adalah komunitas yang menyadari akan peran yang harus dimainkannya dalam konteks perjuangan global dan lokal; berperan sebagai minoritas kreatif dengan rumus religiusitas yang berpihak pada keadilan, membangkitkan kegairahan melawan ketertindasan.
Operasionalisasi Religiusitas dalam Praksis Adalah penting untuk menegakkan organisasi-organisasi sosial pioner, seperti halnya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, yang menyediakan diri untuk memobilisasi orang-orang miskin agar mereka mampu melompati gerbang harapan yang membawa mereka lepas dari jurang penindasan. Mobilisasi ini harus dipandu oleh sejumlah konsep
gerakan yang viable berorientasi pada aksi langsung, bahkan juga memiliki analisis yang efektif tentang Sistem Dominasi dan Hegemoni, dan berakar pada etika profetik qur’anik, transformasi nirkekerasan dan cinta kemanusiaan. Disamping
kombinasi teori dan
praksis itu adalah refleksi kritis dan kesadaran kritis yang membimbing organisasi sosial ini (baca: IMM) dan memberi kesempatan mereka untuk perubahan dengan memperluas kesadaran yang dilahirkan melalui proses tersebut. Dengan kesadaran yang diperluas ini perubahan struktural dapat diraih. Beberapa model operasionalisasi dari religiusitas untuk praksis dapat ditawarkan di sini antara lain: 1. Model Advokasi Politik Harun: yakni upaya sistematis untuk mempengaruhi regulasi negara untuk redistribusi sosial-politik; 2. Model Pendidikan Kritis Musa: “exodus” sebagai pendidikan politik untuk masyarakat madani vis a vis negara/pemerintahan tiran; 3. Model Partisipatoris Muhammad: kesediaan untuk hidup bersama orang miskin dan tertindas, meminjam ajaran Ki Hajar Dewantara ing madyo mangun karsa, sambil membangun kesadaran mereka untuk merdeka dan mandiri; 4. Model Propaganda Ibrahim: yakni gerakan-gerakan sosial unuk penghancuran berhala ideologi hegemonik-dominatif, seperti Neo-liberalisme (the end of Neo-liberalism); dan 5. Model Masjid al-Maun untuk orang Miskin (al-Maun Mosque for the Poor): mewujudkan rumah Tuhan di muka bumi. Rumah tinggal atau masjid sebagai tanda menghendaki gerakan dan intervensi Allah di dunia dan bahwa gerakan ini dapat
dijelaskan oleh kita. Allah mempertemukan orang-orang dimana mereka hidup dan berjuang. Komunitas dipersatukan dalam perjuangan dan solidaritas dengan dan untuk orang-orang miskin dan tertindas. Masjid untuk orang-orang miskin tidak hanya mengidentifikasi diri dengan orang-orang miskin dan tertindas, namun juga termasuk partisipasi mereka, pembebasan dan humanisasi, yang dengan cara ini ia dapat menjadi tanda dan benih Rumah Allah di muka bumi. Missi masjid harus mempertimbangkan tantangan-tantangan konkret yang dipaparkan oleh sejarah panjang penderitaan dan penindasan, sembari tidak meniadakan kebutuhan akan keselamatan. Pada hakekatnya ini berarti bahwa kehidupan Muslim berpusat pada komitmen konkret dan kreatif untuk pelayanan bagi orang lain dan refleksi atas makna transformasi dunia. Penyelamatan semacam ini
tidak dapat bersifat
individualistik dan eksklusif perhatian pada kehidupan setelah mati, bahkan ia harus muncul dari solidaritas dan “terealisasi dalam bentuk pembebasan dan humanisasi” (amr ma`ruf nahy munkar) dalam ruang dan waktu konkret. Efektifitas organisasi semacam itu membutuhkan partisipasi besar dan kepemimpinan dari kaum tertindas itu sendiri. Melalui integrasi kaum intelektual, kaum tertindas, para aktivis dan agamawan, organisasi memperoleh kekuatannya dari keragaman partisipan dan ketaatannya pada aksi langsung nirkekerasan. Ini semua akan menghasilkan konsesi signifikan bagi kaum tertindas melalui gerakan sosial baru yang visibel. Pada saat yang sama, organisasi IMM yang memiliki hubungan mendalam dengan organisasi-organisasi lain ini tidak semata mendramatisir kesengsaraan orang-orang
miskin dan tunawisma, namun juga memberdayakan mereka dalam proses tersebut – yakni tantangan membangun komunitas sosial (agama) peduli orang miskin. Sejalan dengan semakin bertambahnya saudara-saudara kita jatuh dalam kemiskinan dan pengangguran, kita sebagai penganut dan pemilik iman harus merengkuh mereka. Hanya dengan mencelupkan diri (sibghah) dalam perjuangan atas kemiskinan bahwa kita benar-benar dapat memahaminya dari dalam. Ditengah-tengah kegalauan dan krisis, komunitas dan perlawanan dapat terlahirkan. Agama dan komunitas iman harus secara aktif menjelaskan “tanda-tanda zaman” dalam pengertian religiusitas dan menerjemahkan tanda-tanda itu secara konkret dalam dakwah agama dan komunitas. Jadi, religiusitas unuk orang-orang miskin harus mencoba secara aktif merespon panggilan Allah melalui proses menjadi tanda Allah di muka bumi. Kita tidak dapat mengabaikan struktur kekuasaan kapan dan di manapun kita “melakukan” religiusitas. Religiusitas menawarkan pandangan tentang dosa dan kejahatan yang memandang dosa sebagai “fakta sosial dan historis” (al-dhunub alijtima`iyah) yang merupakan cermin ketiadaan cinta dalam hubungan antarmanusia dan juga dalam hubungan manusia dengan Allah. Menurut religiusitas ini, dosa menuntut pembebasan radikal dan pada akhirnya pembebasan politik. Dari perspektif ini, struktur kekuasaan yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan sosio-ekonomi adalah inti kejahatan di muka bumi. Menghadapi skenario pertumbuhan kesenjangan yang semakin lebar, religiusitas berada pada titik kritis waktu. Untuk kepentingan itu, diskusi-diskusi yang fokus pada religiusitas serta implikasi-implikasi sosio-ekonomi dan politik dari pesan-pesan qur’anik
itu menjadi batu tumpuan sebagai kabar baik dan spirit bagi orang-orang miskin baru. Hanya dengan cara ini, IMM meneguhkan identitasnya bukan semata sebagai akademisi, bahkan melampauinya menjadi intelektual Muslim. Wallahu a`lam.
BIODATA PENULIS Zakiyuddin Baidhawy lahir di Indramayu, Jawa Barat. Kini tinggal di Solo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam (Perbandingan Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah nyatri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). Studi S-2 pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada Universitas yang sama (2007). Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, Staf Edukatif STAIN Salatiga, dan Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Aktivitas dan pengalaman internasional beberapa diantaranya adalah partisipan dan presenter pada The 19th World Congress of the International Association for the History of Religions, Tokyo, 23-30 March 2005; partisipan pada The Ohio University Dialogue Project and Exchange Program, Chicago, Illinois; Athens, Ohio; Washington D.C; Lancaster, Pennsylvania; Manhattan, New York, diselenggarakan oleh Center for International Studies, Ohio University, Athens, bekerjasama dengan US State Department, 22 September-13 Oktober 2004; partisipan dan presenter pada the Global Meeting of Expert on Teaching For Tolerance, Respect, and Recognition, diselenggarakan oleh The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief bekerjasama dengan UNESCO, Oslo, 2-5 September 2004; dan partisipan dan presenter pada International Interfaith Peace Forum and Asian Muslim Action Network (AMAN) Assembly, Bangkok, 9-14 Desember 2003. Aktif menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karya-karya yang sudah diterbitkan antara lain: Etika dalam Islam (1996); Wacana Teologi Feminis (1997); Menapak Jalan Revolusi (2000); Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (2001); Dialog Global dan Masa Depan Agama (2001); dan Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002); dan Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (2002), Reinvensi Islam Multikultural (2005), Menyulam Ragam Merajut Harmoni: Kisah-kisah tentang Toleransi untuk Siswa dan Pendidik (2005), Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (2005), dan Kredo Kebebasan Beragama (2006).