APRESIASI ISLAM TERHADAP SENI DAN AKTIVITAS BERKESENIAN* Zakiyuddin Baidhawy
Tidak dimungkiri bahwa interaksi antara Islam dengan seni dan komunitasnya telah melahirkan sejumlah ketegangan. Ketegangan ini bersumber antara lain: Pertama, keyakinan bahwa pemahaman agama tidak termasuk bagian dari budaya. Kedua,
arus besar pemikiran tunggal, yakni standarisasi yang berujung pada
ortodoksi paham ahl al-sunnah wa al-jama'ah. Ketiga, justifikasi maupun falsifikasi atas nilai-nilai seni lewat jendela otoritas keagamaan formal dan mapan yang menekankan pada hukum syariah yang bersifat hitam-putih. Semua ini dapat membawa pada sikap Muslim yang kurang apresiatif terhadap seni dan komunitasnya – pencipta, pegiat, pencinta dan penikmat – dan sebaliknya. Tidak hanya paham agama yang puritan dan pendekatan hukum hitamputih yang bertanggung jawab dalam masalah ini, bahkan problem birokrasi juga memberi penguatan atas ketegangan ini. Birokratisasi cenderung menyeragamkan dan menyamakan (uniformity and sameness) derap kehidupan masyarakatnya, suatu kecenderungan untuk mengubah kebudayaan ke arah kebalikan dari emansipasi yang lahir dari pertemuan interaktif antara sesama warga. Ini dapat mengarah pada pembekuan daya cipta (kreasi dan inovasi). Dengan demikian, ada kebutuhan agar perlunya memperhatikan diferensiasi dalam aspek-aspek kehidupan warga dan seni adalah aspek kehidupan yang paling "different". Demikian pula dari segi wacana dan fatwa, aspek keragaman itu sendiri pada akhirnya menuntut desentralisasi pemikiran keagamaan dalam Islam. Spektrum pluralitas budaya/seni yang sangat kaya dengan keunikan masing-masing tidak dapat diapreasiasi melalui pendekatan sentralistik. Ketegangan mungkin relatif dapat memudar bila pada tingkat empirik Muslim melihat secara wajar eksistensi seni dan komunitasnya. Karena fakta dan pengalaman pergumulan komunitas seni itu sendiri dengan nilai-nilai agama *
Disampaikan dalam TOT Pendidikan Apresiasi Seni, oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS dan STSI Surakarta, 26-27 Januari 2005.
1
sesungguhnya perlu diapresiasi secara jujur. Sebagai akibat dari pluralitas pemahaman mereka terhadap agama yang menghasilkan berbagai “cara keberagamaan”,
komunitas
seni
juga
telah
melakukan
upaya
untuk
mengintegrasikan Islam kedalam seni. Berbagai pengalaman pergumulan itu dapat dikonseptualisasi sebagai berikut: 1. Islamisasi obyek, yakni upaya untuk memodifikasi atau menciptakan seni agar sesuai dengan batasan-batasan ajaran Islam baik dari sisi muatan maupun ekspresinya; 2. Islamisasi subyek, yakni mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam pikiran dan jiwa si pelaku seni (pencipta, pegiat maupun penikmatnya), dan bukan dengan memodifikasi obyek seni itu sendiri; 3. Rasionalisasi, yakni memanfaatkan seni sebagai sarana untuk sampai pada kebaikan dan kebenaran, misalnya merasionalisasi "alat permainan" (االت [ )المالهىseni sebagai instrumen yang dapat membuat manusia lupa dan alpa berzikir pada Allah], menjadi sarana untuk mengekspresikan pengalaman intuisi manusia dan menghantarkannya pada pengalaman
spiritualitas
tertinggi (religious experience); 4. Profanisasi, sebagai ekses purifikasi teologis upaya ini dimaksudkan untuk menghilangkan kesan "sakral" dari seni tertentu dan menampilkannya kembali secara profan sebagai hiburan semata; 5. Spiritualisasi dan mutual understanding; upaya untuk memberikan warna
religious dan spiritual terhadap kandungan
dan ekspresi seni, dan seni
dimanfaatkan untuk memperhalus bahasa agama (dakwah) serta memelihara integrasi sosial dan mencairkan ketegangan sosial; dan 6. Pluralisasi, karena seni lahir dari pengembaraan imajinasi yang tidak hitamputih, seni dapat dipergunakan untuk "memperhalus kategori ekstrem" yang seringkali melahirkan konflik, seni adalah cermin pluralitas, bukan dunia dikotomik. Dengan berkesenian, kita belajar memahami bahwa "perbedaan bukan hantu" dan "persamaan bukan tujuan".
2
Masukan dari komunitas seni dan kritik dari kalangan Muslim sendiri cukup memperoleh respon. Sebagai misal, Muhammadiyah melalui Munas Tarjih XXII di Aceh (1995), memutuskan beberapa pandangan penting yakni: 1.
Seni adalah fitrah manusia, dan karenanya apapun yang berkaitan dengan kesenian sebagai wilayah muamalah pada hakekatnya adalah “boleh” (mubah), kecuali yang dilarang.
2.
Keputusan hukum bahwa seni itu boleh diberi pembatasan antara lain: selama tidak menyebabkan kerusakan, bahaya, durhaka dan jauh dari Allah
3.
Seni untuk mempertinggi kualitas spiritualitas adalah ibadah. Dengan memperhatikan perkembangan mutakhir kehidupan umat Islam,
negara dan bangsa pada umumnya, Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir di Bali pada 24-27 Januari 2002 mencanangkan "Dakwah Kultural". Ini merupakan ijtihad untuk memangkas cara beragama yang puritan, mengeliminir citra bahwa Muhammadiyah anti-seni,
dan menguatkan visi baru bahwa seni tidak saja
mubah, bahkan juga ma'ruf dan merupakan rahmat Allah.
Hakekat Seni adalah Ma'ruf dan Rahmat Sebagai bagian dari kebudayaan, seni sebagai proses maupun produk pada hakekatnya berpijak pada inti ajaran tauhid. Seni dalam Islam berdasarkan pada konsep "tunggal tapi manifestasinya banyak". Tuhan Allah itu esa tetapi memiliki banyak nama, tunggal zat-Nya namun plural sebutanNya, sebagaimana 99 nama terpuji untuk Allah yang tersebut dalam al-Qur'an (al-asma` al-husna). Meski esensi seni dalam Islam itu satu namun manifestasinya bersifat plural dan dinamis. Sejak zaman Nabi Muhammad sudah muncul rasa ingin tahu apakah Islam mengizinkan hal-hal yang indah (estetika). Jawaban atas rasa ingin tahu itu tersurat dalam hadis Nabi: Allah itu indah dan menyukai keindahan" (HR. Muslim) dan Allah sendiri menyebut diriNya sebagai seindah-indah Pencipta (alMu'minun (23):14) Dalam surat as-Sajdah (32):7 dinyatakan: "Dialah yang membuat semua yang diciptakan itu indah." Oleh karena itu, apapun yang dipandang baik dan indah di mata manusia dan Muslim khususnya, niscaya Allah memandangnya juga sebagai kebaikan dan keindahan. 3
Seni merupakan salah satu sarana kehidupan dalam rangka membentuk manusia menjadi insan kamil (manusia paripurna), suatu tingkatan kemanusiaan tertinggi yang merupakan cermin kebenaran, kebaikan (etika)
sekaligus
keindahan (estetika). Insan kamil adalah hamba Allah yang mampu menjalankan kebenaran dengan cara yang benar dan menyampaikan kebenaran secara etis melalui pesona kelembutan tutur kata (QS. Al-Baqarah (2): 263) dan kehalusan budi pekerti (QS. Ali 'Imran (3): 159). Etika yang hadir bersama estetika, menjadi daya tarik Ilahi. Keindahan itu menarik karena keindahan itu juga benar, keindahan adalah kebenaran yang pada akhirnya dihubungkan dengan Yang Maha Benar. Dengan demikian, seni dalam Islam merangkum hubungan sinergis dimensi-dimensi estetika-etika-kebenaran. Budaya termasuk seni adalah ekspresi dari "feeling of the people" sehingga ia merupakan ungkapan yang sesungguhnya dari hidup dan kehidupan masyarakat. Karena itu, kehadiran agama di tengah-tengah masyarakat selalu bergerak dan tumbuh melalui wadah kultural yang pada gilirannya melahirkan kultur yang bercirikan keagamaan, atau simbol-simbol kultural yang digunakan untuk mengekspresikan nilai keagamaan. Mengingat masyarakat tumbuh dalam kultur yang beragam, maka ekspresi agama secara kultural dan simbolik bisa juga beragam, meskipun pesan yang ingin disampaikan sama. Seni adalah kebutuhan hidup dan dalam banyak hal mengandung manfaat baik dari segi muatan maupun fungsinya. Dari segi muatan seni menyampaikan
piwulang, nasehat, kritik, cerita tentang kebenaran dan kebaikan; dan dari fungsi sosialnya ia dapat menciptakan kedamaian serta wahana menuju rekonsiliasi, sekaligus
merupakan kendaraan paling efektif untuk mencairkan
kebekuan,
kekakuan yang lahir dari suasana penuh ketegangan dan konflik sosial, politik dan etnik yang menjurus
pada disintegrasi bangsa sebagai akibat kurangnya
memahami kebhinekaan dalam konteks keindonesiaan. Seni juga merupakan manifestasi perasaan keindahan yang dibawa sejak lahir oleh setiap manusia. Ia adalah karunia dan anugerah ilahi, fitrah yang harus dijaga dan disalurkan dalam kehidupan. Ketinggian estetika dan keindahan yang dimiliki suatu bangsa merupakan tanda dari puncak peradaban manusia. 4
Sebagai Khalifah di muka bumi, manusia adalah makhluk terindah ( ahsan
taqwim) yang dianugerahi kemampuan dasar berimaginasi, dengannya ia mampu mengembangkan estetika yang wujud konkretnya adalah seni, baik yang sifatnya imanen
maupun
transenden.
Bereksistensi
di
hadapan
Allah
berarti
mendayagunakan potensi estetika kediriannya untuk membangun peradaban dan memakmurkan dunia. Pengalaman estetik yang personal dan privat (`irfan) adalah kendaraan yang menghantarkan pada pencarian makna
dan menguak kebenaran dari
penampakkan sesuatu yang banyak tersembunyi di balik simbol-simbol. Sebab makna dan kebenaran dari suatu ajaran seringkali tidak secara eksplisit tertampakkan. Dengan laku estetik, makna dan kebenaran yang tersembunyi akan semakin mudah tersingkap.
Tujuan Seni Seni untuk
menciptakan harmoni vertikal
dan horizontal. Seni merupakan
refleksi langsung dari spiritualitas tertinggi, meskipun dimensi ekspresinya bersifat material -- seperti kanvas lukisan, pahatan, gerakan, bunyi-bunyian, suara, lantunan musik dan lain-lain. Seni menjadi tempat Kehadiran Ilahi. Lukisan yang indah sebagai wajah duniawi adalah cermin dari Wajah Tuhan Yang Maha Indah. Lewat
seni
dimensi
esoterik
dapat
mewujudkan
diri
untuk
membuat
keseimbangan hidup manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama makhluk. Karena keindahan dunia adalah cermin keindahan Allah. Oleh karena itu, keindahan adalah penyebab utama dari keberadaan apa saja dalam harmoni (consonantia), dan seni merupakan bagian dari cara beragama manusia untuk selalu mengingat Yang Maha Indah. Seni bermanfaat untuk menanamkan kesadaran multikultural
dalam
masyarakat plural; membantu masyarakat memahami keragaman (diversity) sebagai kenyataan yang tak dapat ditolak sehingga membawa pengaruh lahirnya sikap toleran. Ia menjadi sarana kritik sosial dan parodi melalui art happening terhadap situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya untuk transformasi yang lebih besar. Seni juga memelihara masyarakat pendukungnya 5
sehingga proses transmisi seni dapat terus berlangsung; menciptakan semacam filter dari pengaruh negatif budaya populer yang dibawa arus globalisasi; serta membuka peluang terciptanya aktivitas dan kreativitas yang orisinal. Pendayagunaan dan pendidikan estetika untuk kehalusan budi (akhlak mulia). Pendidikan estetika bukan sekedar menyampaikan ajaran atau konsep tentang keindahan, lebih dari itu adalah proses penerimaan yang mengedepankan arti, makna (meaning) dan kualitas sebuah obyek, yang meliputi unsur-unsur inderawi baik penglihatan maupun pendengaran, cita rasa maupun getaran sebuah obyek penerimaan. Mendengarkan al-Qur'an sebagai bacaan terbaik melalui suara yang indah, dapat menentramkan hati dan membawa pada hidayah Allah (azZumar (39):23). Seni adalah alat intuisi intelektual untuk
mencerdaskan emosi dan
menyampaikan pesan “sapiensial” yang mentransendensikan individu dan jiwa kolektif dunia kepada Tuhan. Kecerdasan sebagai alat dan perhatian utama jalan sapiensial tidak dapat dpisahkan
dari keindahan. Kecerdasan manusia yang
tercerahkan terjalin dengan keindahan, yang bergerak dari imajinasi transparan dan refleksi yang meneruskan Intelek Ilahi yang merupakan sumber kecerdasan manusia, menjadi tatanan
misteri dan Keindahan Tuhan. Itulah mengapa
keindahan memuaskan kecerdasan manusia dan melengkapinya dengan kepastian dan perlindungan dari keraguan. "Tidak ada keraguan dalam keindahan". Seni juga terbukti dapat menciptakan equilibrium atau kesimbangan pada instrumen kecerdasan manusia, tidak semata mengandalkan aspek intelektual, namun juga aspek emosional. Kecerdasan emosional membuat kecerdasan intelektual menjadi lebih bermakna dan memberikan kekuatan inspiratif menuju kematangan moralspiritual dan empathi sosial yang altruistik.
6
1