MUHAMMADIYAH ABAD KEDUA DAN ANOMALI GERAKAN TAJDID Zakiyuddin Baidhawy (STAIN Salatiga, Majelis Pendidikan Kader PWM Jawa Tengah) Pendahuluan Sejalan dengan peringatan satu abad Muhammadiyah yang akan disambut dengan gebyar muktamar di kota kelahirannya Yogyakarta, penting kiranya sebuah refleksi dilakukan untuk meneropong lika-liku perjalanan gerakan tajdid Muhammadiyah. Karena abad kedua merupakan batu ujian apakah Muhammadiyah mampu merevitalisasi gerakan tajdidnya yang mulai terhuyung oleh hempasan zaman, atau justru ia makin memfosil dan lapuk dimakan ganasnya pergulatan ideologi dan pemikiran. Meski Rasulullah Muhammad pernah memprediksi bahwa setiap seratus tahun akan muncul mujadid baru yang gigih memperbarui agamanya (man yujaddidu laha dinaha), boleh jadi apa yang dimaksud oleh beliau bukanlah Muhammadiyah, namun individu atau kelompok dan organisasi Islam lainnya. Fakta-fakta parsial tampaknya menunjukan bahwa Muhammadiyah mulai menikmati zona nyaman, dan kejumudan terlihat makin menggerogoti memori kolektif warganya. Spirit tajdid sepertinya menemukan jalan buntu. Sekian lama mereka berkubang dalam problem kontinuitas tanpa perubahan. Yaitu, rutinitas amal usaha minus kreativitas dan inovasi wacana dan gerakan praksis alternatif yang menjanjikan. Dalam rangka refleksi ini, menarik untuk merespon tulisan M. Dawam Rahardjo berjudul “Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan”. Dalam refleksi kritisnya ini Dawam mencatat beberapa hal penting untuk ditelaah secara seksama, apakah Muhammadiyah masih layak menyandang label “gerakan pembaruan”, sementara organisasi ini mengalami kemandegan dalam tiga ranah sekaligus. Pertama, Muhammadiyah tidak lagi melahirkan terobosan dalam pemikiran teologis sebagai akibat kurang nyali untuk menyambangi percikan-percikan pemikiran kontemporer berkenaan dengan epistemologi keilmuan yang sangat urgen bagi pertumbuhan wacana keislaman. Kedua, organisasi yang sudah berumur satu abad ini mulai kehilangan élan vitalnya dalam mengembangkan pemikiran praksis sosial yang dilandaskan pada semangat al-Maun yang mencerminkan keberpihakan dan pembelaan kepada kaum dhuafa dan mustadh’afin, sementara kemiskinan kontemporer semakin fenomenal dan multidimensional. Ketiga, Islam berkemajuan yang mengandaikan progresivitas dan etos kemodernan makin luntur dan karenanya Muhammadiyah tidak dapat diharapkan menjadi gerakan ilmu. Tulisan ini merupakan upaya penulis untuk bergayung sambut atas gagasan-gagasan penting dari M. Dawam Rahardjo itu. Penulis mencoba memperdalam kritisisme konstruktif itu dengan penekanan khusus pada beberapa anomali utama yang mudah dijumpai dan kini sedang bercokol dalam tubuh Muhammadiyah antara lain: mengenai etos kaum puritan yang makin kehilangan daya dorongnya; fondasionalisme skripturalistik al-ruju` ila al-Qur’an; falsafah amal dan etos kerja yang susut ikhlas; dan prediksi tentang gerakan ilmu. Etos Keilmuan Kaum Puritan
Mailing list di kalangan muda-mudi Muhammadiyah pernah ramai memperdebatkan suatu tawaran perlunya Muhammadiyah merevitalisasi peran dan fungsinya sebagai “gerakan puritan-reformis”. Kita bisa memperdebatkan lebih jauh tawaran ini, terutama bila dikaitkan dengan identitas Muhammadiyah sebagai “gerakan tajdid”, sebuah identitas yang menengarai perlunya etos keilmuan untuk membangkitkan wacana keislaman pada level pertama, dan gerakan praksis baru pada level berikutnya. Muktamar Muhammadiyah ke 46 (2005) di Malang mengangkat tema “Tajdid Gerakan untuk Pencerahan Bangsa”. Sebuah perhelatan akbar yang boleh jadi pada awalnya diniati sebagai cermin diri tentang perlunya "gerakan tajdid" untuk "ditajdid" kembali. Dalam konteks ini relevan kiranya kita bicara tentang beberapa hal penting antara lain: hubungan antara puritanisme dan etos keilmuan; beberapa anomali dalam Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid; beberapa pertimbangan perlunya perubahan paradigma tajdid dan alternatifnya. Modernisasi telah melahirkan perubahan-perubahan institusional yang luas yang membiarkan definisi tentang realitas terbuka terhadap berbagai penafsiran (Berger, 1978; 1979). Banyak bentuk-bentuk tatanan sosial yang menerima kepercayaan-kepercayaan lama kemudian memperoleh tantangan dari modernitas. Akibatnya, modernisasi menantang pandangan dunia keagamaan dalam bentuk pluralisasi masyarakat di mana terjadi kompetisi nilai dan kepercayaan; rasionalisasi masyarakat di mana realitas dipahami dan dimanipulasi sebagai unit-unit atomistik; perubahan dalam kesadaran manusia; dan perubahan-perubahan fundamental dalam dunia keilmuan dan pandangan tentang realitas. Puritanisme menunjukkan perubahan besar dalam pandangan dunia sejak abad 17. Gerakan ini membangun jembatan antara yang transendental dan tindakan manusia, yang mendorong kekuatan motif bagi keilmuan baru. Kaum puritan berkiblat pada tradisi keimuan baru untuk memperluas kekuasaan dan merangsang program yang konsisten dengan perkembangan ekonomi baru. Kekuatan besar di balik perubahan-perubahan ini adalah motif keagamaan puritanisme yang menjadi faktor dominan dalam nilai-nilai kultural. Bagi kaum puritan, aktivitas-aktivitas duniawi dan capaian-capaian keilmuan merupakan manifestasi dari Kemuliaan Tuhan dan memperluas kebajikan manusia (Merton, 1970: 85). Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai keagamaan dipergunakan kaum puritan untuk membenarkan keterlibatan mereka dalam praktik riset ilmiah. Agama memelihara aura perlunya menerima perilaku-perilaku baru. Juga benar bahwa nilai-nilai agama dapat bertindak sebagai alasan untuk tindakan-tindakan sekaligus pembenaran tertentu. Robert Merton (1970: 91) menyatakan: “Sebuah hipotesis yang juga dapat diterima bahwa ideologi jarang mendorong suatu tindakan dan bahwa ideologi dan tindakan lebih merupakan produk dari sentimen dan nilai bersama yang juga melahirkan reaksi.” Sistem gagasan yang memberikan motivasi ini disebut sebagai “etos puritan”, yang terdiri dari tiga kepercayaan utama: Pertama, kaum puritan menerima “pemuliaan Tuhan” sebagai tujuan dari semua eksistensi. Meskipun bukan suatu paham baru, prinsip ini diberikan pemaknaan baru oleh mereka yang mencari saluran pemuliaan ini dalam tujuan-tujuan yang spesifik dan institusional. Kedua, ketekunan seseorang dalam memenuhi panggilan Tuhan adalah suatu keniscyaan. Ketekunan bukan hanya menjadi sarana memuliakan Tuhan bahkan juga berkontribusi kepada kesejahteraan publik. Ketiga, pilihan atas panggilan Tuhan harus dibatasi untuk mereka yang melayani Tuhan dan keuntungannya untuk publik. Dari semua ini,
seorang profesional yang terpelajar dipandang sebagai memiliki nilai yang tinggi. Akhir dari semua ide ini adalah suatu keunikan kolaborasi antara akal dan iman, prinsip kemaslahatan dan doktrin anugerah. Etos kaum puritan melahirkan banyak pemikiran baru dan menyediakan jembatan penghubung bagi perkembangan progresif di dunia modern. Di satu sisi, puritanisme menghancurkan batasan-batasan yang dikedepankan oleh ajaran-ajaran keagamaan terhadap dunia keilmuan. Di sisi lain, ia membuka jalan bagi disiplin keagamaan baru dalam perilaku. Dunia baru ditemukan melalui kontrol tindakan keagamaan. Dalam dunia keilmuan, ini dilakukan melalui studi tentang alam yang membolehkan apresiasi penuh atas karya Tuhan dan membawa pada puja-puji kekuasaan dan kebaikan-Nya yang termanifestasi dalam berbagai ciptaan. Beberapa Anomali dan Kegelisahan Karakteristik penting dari kaum Puritan adalah skripturalistik. Muhammadiyah sering disejajarkan dengan Calvinis karena organisasi Islam modernis ini memiliki semboyan al-ruju` ila al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam dan siapapun berhak untuk membaca, memahami, dan menafsir secara langsung tanpa melalui perantara “orang suci” yang dipandang otoritatif. Setiap orang memperoleh peluang yang sama untuk memaknai al-Qur’an melalui instrumen rasional (akal) yang disebut “ijtihad”. Salah atau benar hasil ijtihad, Allah menjamin dengan pahala. Ironinya, perkembangan mutakhir di sebagian kalangan Muhammadiyah menunjukkan semakin menguatnya kelompok “puritan ghullat” (puritan berlebih). Mereka mengedepankan sikap anti terhadap ijtihad model baru yang memanfaatkan perkembangan mutakhir dalam dunia ilmu pengetahuan dan filsafat. Padahal KH. Dahlan dalam khutbah wada’nya menyampaikan perlunya Muslim beragama dengan akal dan hati nurani. Namun sayangnya, ketika ada sebagian warga Muhammadiyah cenderung menggunakan akalnya untuk pengembangan pemikiran dan wacana dalam koridor tajdid, kelompok puritan ghullat itu menuduhnya dengan sebutan “liberal, sekular”, “agen barat”. Terhadap warga lain yang condong mengasah ketajaman hati nurani, mereka melabelinya dengan gelar “klenik” dan “dukun”. Kecenderungan baru semacam ini tidak tepat untuk ditengarai sebagai skripturalisme yang pro ijtihad. Alih-alih kembali kepada al-Qur’an, kelangkaan jtihad menjebak mereka jatuh pada fondasionalisme. Fondasionalisme adalah suatu pandangan bahwa pengetahuan dapat dimulai atau memulai kembali dari ketiadaan (nothing) dengan menemukan kepingan-kepingan pengetahuan yang pasti (certainity) dan tidak dapat salah (infallible). Fondasionalisme dalam sejarah filsafat ilmu pengetahuan sudah dimulai sejak Rene Descartes (1596-1650). Ia yakin bahwa manusia dapat memahami apapun secara jelas dan terang, dan memandangnya sebagai sesuatu yang benar dan membangun pengetahuan atas dasar pemahaman tersebut. Keyakinan ini disebut rasionalisme. Proyek ini telah menjebak diri pada klaim subjektif tentang kepastian. Empirisme sebagai antitesis rasionalisme, memandang pengalaman telah menyediakan kepingan-kepingan pengetahuan yang fondasional. Karenanya kebenaran hanya diperoleh dari pengalaman tersebut. Hal serupa terjadi pada intuisionisme yang percaya bahwa kebenaran
apapun tidak dapat dengan sendirinya terbukti melainkan jika pengetahuan itu didasarkan pada intuisi. Pandangan fondasional semacam ini sedang dialami kaum puritan ghullat yang yakin bahwa kebenaran hanya dapat dicapai melalui al-ruju` ila al-Qur’an. Mereka abai bahwa kembali kepada al-Qur’an (baca: teks), tidak terlepas dari tindakan menerjemah dan menafsir. Persoalan seriusnya terletak pada sikap mereka yang setiap kali menjumpai ada perbedaan dan keragaman penafsiran atas kitab suci dipandang sebagai bentuk bid`ah, heretik, dan skisma. Berbagai tafsir atas al-Qur’an sangat dimungkinkan karena setiap teks memang harus diinterpretasi. Tafsir pada hakikinya tidak dapat dibatasi. Satu-satunya yang membatasi tafsir adalah realitas. Realitas hanya dapat diakses oleh kita dalam arti bagaimana kita memahami dan menafsirkannya. Hubungan penafsir dengan realitas menentukan penafsiran, belum lagi bagasi pengetahuan terdahulu (previous knowledge) sang penafsir. Oleh karena itu, seorang penafsir harus sadar akan “keterbatasan-keterbatasan” hasil penafsirannya. Dengan demikian, tidak ada kepastian mutlak dalam tafsir dan penafsiran tidak dapat berawal dari ketiadaan (baca: pengetahuan yang sama sekali baru). Melalui kerangka ini, penulis melihat bahwa semangat al-ruju` ila al-Qur’an yang terlanjur diagungkan kaum puritan itu lebih cocok disebut fondasionalisme-literal dengan tafsir tunggal daripada menerima ragam tafsir. Sebagaimana kebingungan rasionalis, empirisis dan intuisionis, mereka memandang al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar. Kecenderungan ini bisa dibaca pada Munas Tarjih di Padang (2003) ketika pembahasan manhaj Tarjih yang baru dimauqufkan. Kaum puritan yang menolak manhaj baru ini berkutat pada fondasionalisme bayani (teks), bingung menerima burhani (empiri), dan menolak sama sekali `irfani (intuisi, imajinasi), meski secara naqli ketiganya memperoleh dukungan epistemologis dari al-Qur’an (al-A`raf 7:179). Inilah kejumudan logika positivistik kaum puritan yang menempatkan “Islam Murni” sebagai kebenaran tunggal. Dan praktis hampir tidak ada ijtihad setelah penolakan itu karena manhajnya saja dalam keadaan vakum. Berangkat dari klaim ortodoksi-fondasionalistik kembali kepada Kitab Suci al-Qur’an, mereka merasa memiliki legitimasi untuk menghegemoni yang berbeda (the different) dan yang lain (the other). Slogan TBC (takhayul, bid`ah dan churafat) yang berlaku di kalangan mereka telah bermetamorfosis menjadi klaim kebenaran dan keselamatan (truth and salvation claim). Dalam kondisi semacam ini, Muhammadiyah hanya dapat kembali kepada ruh tajdid dan ijtihad, memecahkan kebekuan taqlid dan kejumudan fondasionalisme, bilamana narasi besar Islam Murni mulai dikesampingkan. Pembongkaran atas otoritas kanon literal tafsir Islam Murni dan kekuasaannya untuk menghegemoni dan mengontrol tafsir-tafsir Islam (Muhammadiyah) lainnya dikembangkan di dalam maupun di luar Muhammadiyah. Konsep tunggal dan tafsir Islam status quo mulai diruntuhkan. Hiper-realitas tafsir Islam Murni yang mengabaikan ragam tafsir Islam di dunia senyatanya dieliminir. Perlu didukung lahirnya komunitas-komunitas penafsir yang multisuara dan poli-vokal di kalangan internal Muhammadiyah. Dan tidak ada pembedaan antara tafsir Islam Murni sebagai “high culture” dan tafsir lain sebagai “low culture”, dalam mana tafsir ideal merupakan hasil partisipasi, dialog, harmonisasi, dan hibrida multi-tafsir dan multi-penafsir. Anomali sekaligus kegelisahan lain dapat disaksikan pada Muktamar Muhammadiyah di Malang yang beritikad melakukan "tajdid gerakan" justru menampilkan fenomena kebalikannya, baik selama muktamar berlangsung maupun sesudahnya. Ada beberapa gejala
yang menjadi ironi atau bahkan sarkasme bagi "tajdid gerakan". Dalam berbagai sidang dan forum muktamar, suara perempuan "dilecehkan", tidak jarang pandangan-pandangan peserta perempuan mendapat sambutan "huuuuuu" dari peserta lelaki. Dalam muktamar ini pula suara keras dan menghakimi terhadap perbedaan pemikiran dalam Muhammadiyah sangat mudah dijumpai. Sebelum muktamar berlangsung, beredar sejumlah nama tokoh Muhammadiyah dari berbagai kalangan yang "dituduh" sebagai liberal-sekular. Pembunuhan karakter (baca: fitnah al-kubra) semacam ini juga ditemukan dengan beredarnya selebaran-selebaran gelap mengatasnamakan Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Yogyakarta yang berisi memojokkan tokoh tertentu. Suara-suara konservatif yang sebenarnya bukan representasi cara pandang dan cara bertindak Muhammadiyah, menyusup dan menjadi penumpang gelap muktamar. Sering ditemukan peserta muktamar berideologi Hizbut Tahrir, Tarbiyah, Ikhwanul Muslimin, dan PKS, dan semisalnya. Beberapa indikasi terakhir ini menunjukkan sayap kanan Muhammadiyah makin ke tengah. Wajah “kolonial” sayap kanan ini menjadi kekuatan imperatif yang tabu atas perkembangan pemikiran Islam vis a vis akselerasi tantangan kontemporer. Muhammadiyah menjadi terkesan tampil seperti kekuatan dominatif-hegemonik yang mempunyai legitimasi untuk melakukan ”penindasan” demi menjaga Islam Kaffah. Baru kali ini terjadi dalam tubuh Muhammadiyah klaim kebenaran (truth-claim) sedemikian kerasnya. Klaim ini pada akhirnya diiringi dengan penilaian bahwa mereka yang sesat itu distempel sebagai penghuni neraka. Hanya Islam Kaffah satu-satunya jalan menjamin keselamatan. Karena itu, para pendukungnya yang fanatik merasa bertanggung jawab untuk menegakkan dan menjunjung tinggi Islam Kaffah, dan memandang perlu untuk mengislamkan kembali dan atau memurtadkan mereka yang tersangka tidak islami, amoral, atau dalam kesesatan. Inilah yang secara istilahi dapat disebut sebagai Islam Kaffah’s burden, tanggung jawab “memperadabkan” individu maupun kelompok yang menyimpang dari jalan lurus mereka. Dari sini tampak bahwa ada kegairahan yang terus menyala pada kelompok Islam Kaffah untuk tetap dominan dan memegang supremasi terhadap mereka yang marginal dan pinggiran. Adalah faktual bahwa para penganjur Islam Kaffah melakukan diskriminasi atas nama paham dan praktek keagamaan. Islam populer, Islam tradisi, Islam liberal, dan sebagainya, diposisikan pada level bawah cara beragama, atau bahkan bid’ah yang merusak tatanan (kosmos) agama, menurut kacamata Islam Kaffah. Dengan demikian, Islam Kaffah adalah satu-satunya cara beragama yang benar dan karenanya lebih superior dibanding cara dan ”jalan lain ke sana” (baca: menuju keselamatan). Sebagaimana layaknya rezim kolonial, Islam Kaffah menarik garis batas tegas antara “mereka” dan “kami”. Inilah segregasi yang sengaja diciptakan melalui istilah yang cukup populer di kalangan mereka, yakni “minna wa minhum”. “Minna” adalah representasi golongan kanan, kelompok dengan klaim kebenaran absolut; dan “minhum” sebagai wakil golongan kiri, kelompok sekte/sempalan dan penuh kesesatan (ahl al-bid’ah wa al-dhalalah). Beban teologis semacam ini membawa pembenaran bagi mereka untuk “membabat secara arif” kelompok-kelompok semacam itu di luar Islam Kaffah. Etos kerja dan kebajikan dalam kewirausahaan tak dapat dipungkiri sebagai penggerak falsafah amal Muhammadiyah dengan semboyan sedikit bicara banyak bekerja. Keduanya mendorong pendirian berbagai amal sosial di bawah panji Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Setidaknya ada tiga ranah utama bidang sosial yang dikembangkan Muhammadiyah.
Yakni, bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah modern (schooling). Bidang layanan kesehatan dengan mendirikan banyak rumah sakit, rumah bersalin, poliklinik, dan semacamnya (healing). Dan bidang santunan sosial seperti panti asuhan, panti jompo, dan bantuan karitatif lainya (feeding). Pemilihan nama majelis Penolong Kesengsaraan “Oemoem” memiliki maksud tesendiri bagi Muhammadiyah. Istilah “Oemoem” dipilih dengan visi bahwa seluruh kerja dan amal usaha atas nama Muhammadiyah ditujukan untuk memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi semua manusia tanpa memandang agama, etnik, kultur, ras, kaya, miskin, dan sebagainya. Falsafah lain yang sangat penting sebagai landasan amal adalah ruh al-Ma`un yang secara berulang-ulang disampaikan KH. Ahmad Dahlan kepada santri-santrinya. Pendusta agama adalah orang-orang yang shalat namun tidak berpihak dan peduli kepada orang miskin dan menelantarkan anak yatim. Falsafah al-Ma`un ini sangat sentral dalam teologi Muhammadiyah. Falsafah yang terakhir ini memiliki kaitan erat dengan etos kerja dan kewirausahaan. Artinya, kerja keras warga Muhammadiyah dimaksudkan untuk menghasilkan surplus pendapatan dan kekayaan. Surplus itu ditujukan untuk melahirkan kebajikan berupa pemihakan, pelayanan dan pemberdayaan atas orang-orang miskin dan tertindas. Ironinya, amal usaha Muhammadiyah kini tidak tahan godaan materialisme dan tarikan hasrat pada orientasi profit yang menjadi semangat neo-kapitalisme. Spirit al-Ma`un telah tergantikan dengan ruh al-Takathur, bermegah-megahan dan lalai akan tujuan hakiki. Amal usaha Muhammadiyah yang jumlahnya ribuan berubah menjadi rezim baru “kapitalisme” an sich, minus kebajikan. Kaum mustad`afin tidak boleh pintar karena bersekolah di Muhammadiyah sama mahalnya dengan sekolah lain. Ada banyak sekolah unggulan dan terpadu milik Muhammadiyah, namun jangan harap akses itu diperoleh semua lapisan masyarakat. Bahkan ada diantaranya yang menerapkan pendidikan inklusi, sayangnya yang diterapkan adalah pendidikan syariah. Filosofi education for all sebagai basis pendidikan inklusi bukan dimaknai terbuka untuk semua termasuk bagi mereka yang tidak sanggup bayar uang gedung dan sumbangan pendidikan. Di samping itu, orang miskin dilarang sakit dan berobat di rumah sakit PKU karena dipastikan tidak mampu membayar jasa kesehatan dan tidak ada dispensasi. Tampaknya ada perubahan fundamental baik secara simbolik maupun substantif dalam amal usaha Muhammadiyah. Perubahan simbolik dari “Penolong Kesengsaraan Oemoem” menjadi “Pembinaan Kesejahteraan Umat”. Makna “Umat” pun mengalami penyempitan luar biasa, yakni “umat berkantong tebal”. Perubahan substantif dari orientasi kebajikan menuju “keuntungan”. Panggilan (beruf) atas nama Allah untuk mengabdi pada pelayanan masyarakat sudah semakin menyusut. Dalam masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan, kekuasaan, dan imperatif kesuksesan material, sudah selayaknya Muhammadiyah menegaskan kembali khittah al-Ma`un sebagai opsi “keberpihakan kepada kaum mustad`afin” secara serius. Muhammadiyah harus menyediakan diri untuk memobilisasi orang-orang miskin agar mereka mampu melompati gerbang harapan yang membawa mereka lepas dari jurang penindasan. Mobilisasi ini harus dipandu oleh sejumlah konsep gerakan yang viable berorientasi pada aksi langsung, bahkan juga memiliki analisis yang efektif tentang Sistem Dominasi dan Hegemoni, dan berakar pada etika profetik qur’anik, transformasi nirkekerasan dan cinta kemanusiaan. Di samping
kombinasi teori dan praksis itu adalah refleksi kritis dan kesadaran kritis yang membimbing organisasi sosial ini. Efektifitas Muhammadiyah membutuhkan partisipasi dan integrasi kaum intelektual, kaum tertindas, para aktivis dan agamawan, sehingga memperoleh kekuatannya dari keragaman partisipan dan ketaatannya pada aksi langsung. Ini semua akan menghasilkan konsesi signifikan bagi kaum tertindas melalui gerakan sosial baru yang visibel. Hanya dengan mencelupkan diri (sibghah) dalam perjuangan mengentaskan kemiskinan Muhammadiyah berpartisipasi menegakkan keadilan sosial. Muhammadiyah tidak dapat mengabaikan struktur kekuasaan kapan dan di manapun “melakukan” teologi. Teologi al-Ma`un menawarkan pandangan tentang dosa dan kejahatan sebagai “fakta sosial dan historis” (al-dhunub al-ijtima`iyah) yang merupakan cermin ketiadaan cinta dalam hubungan antarmanusia dan juga dalam hubungan manusia dengan Allah. Menurut teologi al-Ma`un, dosa menuntut pembebasan radikal dan pada akhirnya pembebasan politik. Dari perspektif ini, struktur kekuasaan yang menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan sosioekonomi adalah inti kejahatan di muka bumi. Menghadapi skenario pertumbuhan kesenjangan yang semakin lebar, teologi al-Ma`un berada pada titik kritis waktu. Untuk kepentingan itu, diskusi-diskusi yang fokus pada teologi serta implikasi-implikasi sosio-ekonomi dan politik dari pesan-pesan qur’anik itu menjadi batu tumpuan sebagai kabar baik dan spirit bagi orang-orang miskin baru. Hanya dengan cara ini, Muhammadiyah dapat kembali ke khittah awal sebagai gerakan al-Ma`un dengan wajah praksis sosial baru yang lebih manusiawi. Basis Sosial Baru: Sebuah Momentum? Satu kegelisahan lain yang perlu dipertimbangkan untuk tajdid gerakan dalam kerangka pengembangan etos keilmuan adalah basis sosial pendukung riil Muhammadiyah. Memang benar bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah seorang ulama sekaligus saudagar yang berkeliling dari satu kota ke kota lain untuk berdagang sambil berdakwah. Jiwa wiraswasta ini membuatnya memiliki independensi baik secara ekonomi maupun intelektual. Ia membiayai sendiri kegiatan misinya dan keteguhan pandangannya tak tergoyahkan. Demikian pula Muhammadiyah awal hingga dekade 50-an seperti yang disebut Geertz (1960). Mereka berjiwa dagang. Nakamura (1982) juga menunjukkan hal serupa, namun dengan menghubungkan warisan kewirausahaan dari zaman kerajaan Mataram. Intinya, basis sosial anggota Muhammadiyah saat itu adalah kaum pedagang atau saudagar. Beberapa basis Muhammadiyah jelas mempertegas itu seperti dapat dilihat di pusat-pusat pertumbuhan wirausahawan di Pekajangan, Laweyan, Kotagede, Padang dan lain-lain. Seiring dengan laju pembangunan dan modernisasi pendidikan, Muhammadiyah dengan banyak amal usaha modern di bidang ini telah banyak melahirkan kaum terpelajar. Berkembangnya diferensiasi fungsi-fungsi sosial menjadikan kehidupan terus tumbuh dan lapangan-lapangan kerja baru sesuai dengan kompartementalisasi ilmu pengetahuan meningkat pesat. Di sinilah kemudian atas dasar link and match mendorong para lulusan sekolah Muhammadiyah dan lainnya berduyun-duyun memperebutkan banyak posisi baru dalam departemen-departemen pembangunan. Perubahan cara pandang atas kehormatan sosial seseorang dilihat dari status kepegawaian dan jabatannya sebagai tenaga terampil di departemen-departemen milik pemerintah itu. Semua ini merupakan awal terjadinya
perubahan basis sosial Muhammadiyah dari kaum pedagang ke pegawai negeri dan atau swasta Muhammadiyah maupun non-Muhammadiyah. Mayoritas elite Pimpinan Pusat hingga ranting Muhammadiyah saat ini lebih banyak ditempati oleh para pegawai negeri. Orang-orang seperti Ahmad Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Dasron Hamid, A. Rosyad Sholeh, M. Amien Rais, dan lain-lain adalah pegawai negeri aktif atau pensiunan. Mengingat basis pegawai negeri dan kampus-kampus cukup kuat, mungkin usulan Kuntowijoyo mengenai pengembangan etos keilmuan perlu dipertimbangkan. Syafii Maarif menyebutnya dengan harakah al-`ilm. Artinya, sesuai dengan episteme kini dan di sini, umat perlu berupaya meng-ilmu-kan Islam sebagai lawan dari tesis Islamisasi Ilmu Pengetahuan (islamiyah al-ma`rifah). Gerakan wacana keislaman ini menjadi basis pengembangan praksis sosial baru yang lebih berkualitas (ahsan `amalan). Para eksponen Muhammadiyah di perguruan tinggi negeri/swasta dan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, merupakan sumberdaya manusia yang memungkinkan untuk menggerakkan visi tersebut menjadi kenyataan. Menyambut tawaran Kuntowijoyo, sebenarnya wacana ”Dakwah Kultural” dalam sidang Tanwir di Bali pada 24-27 Januari 2002 bisa dimaknai sebagai terobosan ide yang patut dihargai. Karena gagasan ini merupakan gejala awal lahirnya “ijtihad ketiga”. Momentum ini dapat menjadi pendulum pemecah es kejumudan, namun nasibnya tetap tergantung pada bagaimana respon dan tindak lanjut dari warga Muhammadiyah sendiri. Dakwah Kultural berpihak kepada nilai-nilai universal kemanusiaan, menerima kearifan dan kecerdasan lokal, dan mencegah kemunkaran dengan memperhatikan keunikan sifat manusia secara individual dan sosial. Cara dakwahnya “memudahkan” dan “menggembirakan” demi tegaknya nilai-nilai Islam diberbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Melampaui kebekuan dakwah purifikatif yang selama ini dipandang sebagai ciri khas (idiokrasi dan idiolatri, meminjam Kuntowijoyo) Muhammadiyah, ternyata mengalami benturan dan kebuntuan di sana sini, Dakwah Kultural merupakan visi baru agar dakwah dalam arti seluasluasnya semakin diapresiasi oleh semua kelompok dan aliran. Perubahan orientasi dakwah agar menyentuh aspek-aspek multikultural dan multireligi, melalui pendekatan kultural yang variatif dengan memandang perubahan ruang dan waktu dan level sosial yang menjadi obyeknya. Dakwah Kultural mungkin merupakan intermeso untuk mengalihkan pandangan dari gerakan struktural yang terserap oleh negara, ke gerakan kultural dengan semangat menghargai pluralitas dan kehidupan multikultural. Mempertimbangkan perubahan-perubahan itu, Dakwah Kultural sesungguhnya mempunyai kesinambungan (continuity) historis dengan perjalanan dakwah yang hampir satu abad itu. Perubahannya (change) terletak pada cara Dakwah Kultural memaknai kembali wacana dan gerakan TBC. Sesuai dengan namanya, Dakwah Kultural hendak menyentuh persoalan-persoalan kebudayaan yang menjadi kebutuhan dan tantangan kontemporer. Sejalan dengan dakwah purifikatif dan dakwah politik, Dakwah Kultural juga berpijak pada slogan TBC, namun dengan pemaknaan yang sama sekali berbeda dari dua dakwah sebelumnya. Penyandaran “kultural” menekankan distingsi yang berpijak pada makna dan cakupan kebudayaan itu sendiri yang meliputi sistem gagasan (ide), aktivitas dan fungsi, serta bentuk atau materi. Dari sini dapat dipahami, Dakwah Kultural ingin melakukan perubahan, perbaikan dan transformasi dalam cara berpikir, cara bertindak, sekaligus bentuk dan materi kebudayaan.
Kata kunci “kultural” bermakna inovasi dan kreasi. Inilah yang dimaksud bid’ah (mencipta dan menemukan hal-hal baru) dalam Dakwah Kultural. Sementara itu, takhayyul yang selama ini dipahami sebagai “sesuatu yang tidak ada dalam kenyataan” (Nyai Roro Kidul misalnya), dipahami oleh Dakwah Kultural sebagai imajinasi. Suatu kekuatan dan kemampuan khas manusia yang merupakan anugerah alam dan anugerah Tuhan (a gift of nature and a gift of God). Menurut Dakwah Kultural, berimajinasi bukan cermin kemalasan dan tidak produktif karena suka “berkhayal”. Ini kekeliruan besar, karena imajinasi adalah anugerah yang membuat manusia berbeda dari makhluk lain. Imajinasi itu sendiri bertingkat-tingkat meliputi: imajinasi onerik, imajinasi estetik, imajinasi kreatif, imajinasi abstraktif, dan imajinasi intuitif. Pada sisi ini, Dakwah Kultural nampaknya merupakan penegasan pentingnya pendekatan `irfani sebagaimana Manhaj Tarjih yang diputuskan Muktamar Muhamamdiyah ke 44 di Jakarta (2000). Dakwah Kultural memperoleh dukungan metodologis dari pendekatan `irfani, karena hanya dengan pendekatan inilah realitas imajinatif dapat dipahami. Sayangnya, pendekatan ini terus dipertentangkan, dan karenanya hingga kini perdebatan manhaj dalam keadaan “koma”. Yang dimaksud dengan khurafat selama ini adalah penyimpangan dalam bidang aqidah. Bentuk nyatanya berupa mitos-mitos. Ada sebagian penulis menyandarkan khurafat pada nama orang yang memiliki keahlian bercerita, membuat legenda dan dongeng. Seperti dongeng tentang kemampuan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dapat menangkap malaikat Izrail dan meminta agar ruh manusia yang dibawanya dikembalikan ke jasad mayit atas permintaan seseorang. Dakwah Kultural, memaknai khurafat sebagai kemampuan menciptakan “mitos”. Mitos di sini diberi pemaknaan sebagai ”upaya membangun cita-cita sosial baru” tentang masyarakat utama (khayr ummah), desa sejahtera (qaryah thayyibah) dan keluarga sakinah (usrah sakinah). Semua ini lahir dari rahim pikiran Muhammadiyah namun belum memperoleh tempat yang layak untuk dipikirkan kembali (rethinking), lebih-lebih diaplikasikan. Menciptakan dan membangun cita-cita sosial dalam wilayah-wilayah kultural dan keberagamaan semacam ini memerlukan keseriusan strategi kebudayaan dan langkah-langkah konkret untuk mencapainya. Dakwah Kultural memanfaatkan dan membangkitkan “nalar profetik-transformatif” (`Aql Nubuwwah wa Taghyir) yang meliputi kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti makin beradab), dan cerdas. Dakwah Kultural mendorong, memotivasi, dan mengondisikan individu dan masyarakat untuk terus mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori), aktivitas (praksis, gerakan), dan bentukbentuk material kebudayaan (amal-amal usaha). Dan Dakwah Kultural mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keber-islam-an, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama (al-mujtama` al-madani).
Nalar Profetik-Transformatif: Instrumen Perubahan
Bid’ah: Takhayyul: Kreatif dan reflektif-Imajinatif Inovatif Imajinasi Onerik Imajinasi Estetik Imajinasi Kreatif Imajinasi Abstraktif Imajinasi Intuitif
Khurafat: Membangun Mitos (Cita-cita Sosial)
Melalui Dakwah Kultural kita berharap inovasi dan kreasi wacana dan amal usaha semakin kaya dan variatif. Karena hegemoni kapitalis-neoliberalis dan dominasi globalisasi yang melahirkan banyak bentuk pemiskinan dan penindasan struktural massif, menuntut transformasi intelektual dan falsafah amal usaha. Redefinisi atas peran-peran pelayanan sosial – dari sekolah, panti asuhan, klinik kesehatan dan sebagainya – merupakan kebutuhan mendesak. Rezim kapitalisasi amal-amal usaha Muhammadiyah sudah berkarat. Sudah saatnya Muhammadiyah mereposisi amal usaha yang karatan itu dengan cara mengoleskan kembali oli “keberpihakan” dan “pembelaan” spirit al-Ma`un terhadap kaum mustad`afin yang makin kompleks realitas dan struktur sosialnya. Melalui jalan ini, Dakwah Kultural yang imajinatif, pro kreasi dan inovasi, serta bercita-cita ke depan, menemukan kembali jati diri sebagai gerakan tajdid yang mampu mentajdid gerakannya menuju transformasi al-Ma’un jilid mutakhir. Rekomendasi Bila dapat dikiaskan dengan perkembangan keilmuan, Muhammadiyah saat ini mungkin dapat dikatakan sedang beranjak dari fase “normal science” ke fase “krisis paradigmatik”, meminjam istilah Kuhn. Lazimnya sebuah institusi yang sudah lama mapan dan normal, sementara tantangan dan peluang zaman terus berubah, Muhammadiyah mulai menunjukkan (atau ditunjukkan oleh orang luar) anomali, guncangan-guncangan episteme yang menengarai keusangan dan kebuntuan dalam banyak hal. Sejumlah anomali sebagaimana telah dijelaskan di muka, dapat dipandang sebagai optimisme baru bagi redefinisi dan revitalisasi, jika tidak dapat dikatakan sebagai revolusi, wacana dan gerakan tajdid Muhammadiyah kini dan mendatang. Optimisme ini akan terwujud dengan syarat tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang dapat memahami dan mempertunjukkan “kegelisahan” intelektual atas fenomena kevakuman (moratorium) ijtihad dan tajdid. Ada beberapa kemungkinan respon yang bisa ditunjukkan terhadap krisis pradigmatik dalam Muhammadiyah: upaya mengatasi krisis relatif berhasil sehingga meningkatkan pemahaman bahwa paradigma yang selama ini diyakini Muhammadiyah memang sudah tidak relevan dan harus diganti dengan paradigma lain; jatuh dalam kekacauan atau kebuntuan
paradigma; munculnya kekuatan otoritarianisme keagamaan; dan transformasi paradigmatik menuju ke paradigma yang lebih baik dan lebih dapat diadopsi untuk realitas yang baru. Yang pertama dimaknai revolusi; yang kedua dan ketiga sebagai involusi; dan yang terakhir sebagai transformasi. Transformasi paradigmatik (baca: perubahan dalam pradagima, change within paradigm) agaknya adalah pilihan yang rasional untuk menjawab tantangan di atas. Muhammadiyah perlu belajar melihat fenomena/realitas baru dengan cara yang berbeda meskipun kadang harus sedikit menentang arus. Faktor-faktor eksternal (dapat bersifat intelektual atau non-intelektual seperti sosial, politik, ekonomi, institusional, teknologi, dsb.) sesungguhnya dapat menentukan saat yang tepat bagi guncangan wacana dan praksis lama dalam Muhammadiyah (dan Islam umumnya). Sementara itu, faktor-faktor internal berupa kegelisahan dari dalam tubuh Muhammadiyah yang menghendaki alternatif dan modifikasi atas wacana dan praksis sosial yang sudah mapan. Agar transformasi paradigmatik dapat terwujud, perlu ada upaya sistemik agar sejumlah anomali diakui dan dipahami bersama oleh warga Muhammadiyah. Semua pihak memberikan perhatian untuk mencari resolusi atas krisis etos keilmuan/tajdid, dan terlibat untuk mulai bekerja menurut kapasitas masing-masing sehingga perubahan dalam pradigma menjadi mungkin. Daftar bacaan Berger, Peter. The Homeless Mind. New York: Doubleday, 1979. _______. Facing Up to Modernity. New York: Basic Books, 1978. Geertz, Clifford. Religion of Java. New York: Free Press of Glencoe, 1960. Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1979. Kuntowijoyo.Islam Paradigma untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1995. Merton, Robert K. Science, Technology and Society in Seventeenth Century England. New York: Harper & Row, 1970. Mulkhan, Abdul Munir. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang, 2000. Nakamura, Mitsuo. The Crescent Arises Over the Banyan Tree. Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1982. Peacock, James. L. Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesia Islam. California: The Benyamin/Cumming Publishing House, 1984.
Heddendorf, Russel.”Religion, Science, and the Problem of Modernity”, JASA 38 (December 1986): 226-231.
Zakiyuddin Baidhawy lahir di Indramayu, Jawa Barat. Kini tinggal di Solo. Menyelesaikan studi S-1 pada Fakultas Agama Islam (Perbandingan Agama) Universitas Muhammadiyah Surakarta (1994). Pernah nyatri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran (1990-1994). Studi S-2 pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1999), dan S-3 pada Universitas yang sama (2007). Staf Edukatif pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Peneliti pada Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial UMS, dan aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Aktivitas dan pengalaman internasional beberapa diantaranya adalah Academic Writing Course di Leiden University 1-15 Desember 2009; partisipan dan presenter pada Copenhagen Conference, 21-22 Oktober 2008; International Seminar on Religious Education and Values, Ankara-Turki 25 Juli-1 Agustus 2008; Australian-Indonesian Young Muslim Leader Exchange 21 Mei-14 Juni 2007; The 19th World Congress of the International Association for the History of Religions, Tokyo, 23-30 Maret 2005; partisipan pada The Ohio University Dialogue Project and Exchange Program, Chicago, Illinois; Athens, Ohio; Washington D.C; Lancaster, Pennsylvania; Manhattan, New York, diselenggarakan oleh Center for International Studies, Ohio University, Athens, bekerjasama dengan US State Department, 22 September-13 Oktober 2004; partisipan dan presenter pada the Global Meeting of Expert on Teaching For Tolerance, Respect, and Recognition, diselenggarakan oleh The Oslo Coalition on Freedom of Religion or Belief bekerjasama dengan UNESCO, Oslo, 2-5 September 2004; dan partisipan dan presenter pada International Interfaith Peace Forum and Asian Muslim Action Network (AMAN) Assembly, Bangkok, 9-14 Desember 2003. Aktif menulis di berbagai media dan jurnal ilmiah. Karya-karya yang sudah diterbitkan antara lain: Etika dalam Islam (1996); Wacana Teologi Feminis (1997); Menapak Jalan Revolusi (2000); Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (2001); Dialog Global dan Masa Depan Agama (2001); dan Agama dan Pluralitas Budaya Lokal (2002); dan Ambivalensi Agama, Konflik dan Nirkekerasan (2002), Reinvensi Islam Multikultural (2005), Menyulam Ragam Merajut Harmoni: Kisah-kisah tentang Toleransi untuk Siswa dan Pendidik (2005), Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (2005), dan Kredo Kebebasan Beragama (2006); Islam Melawan Kapitalisme (2007); Etika Bisnis Syariah I (2007); Etika Bisnis Syariah II (2008); Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM: Buku Panduan untuk Guru (2008); Al-Islam Berwawasan HAM: Buku Ajar Pendidikan Islam untuk SMA, MA, SMK (2008); Kemuhammadiyahan Berwawasan HAM (2008); Rekonstruksi Keadilan (2008); Teologi Neo alMaun: Manifesto Islam Menghadapi Globalisasi Kemiskinan Abad 21 (2009). .