Melodi Cinta di Taman Sari Risky Wulandari
K
embali ke kota ini seperti membuka kembali pintu kenangan yang terkunci. Pesawat mendarat tepat pukul 10.00 WIB di Bandara Adi Sucipto. Aku meraih tas ransel berwarna hitam. Menggendongnya di punggung. Tangan kananku menyeret koper berwarna hitam dengan ukuran sedang. Kaki ini melangkah menyusuri bandara menuju pintu ke luar. Gadis berkacamata dengan rambut panjang terurai sebahu melambaikan tangan begitu melihatku. Langkahku terhenti, bukan karena berpikir ragu. Melainkan membetulkan ikatan tali sepatu yang terlepas. Bukan lagi layak disebut sepatu. Sepatu keds bernomor 38, telah kupo-
tong bagian belakangnya. Sepatu keds yang kini lebih layak disebut sandal. Sebuah kekonyolan yang hanya Aku dan Andre pelakunya. Aku melambaikan tangan,“Hai Fa!” menyapa menebar senyum merekah. “Halo Drea!” ucap Kafa sambil memelukku. Aku membalas pelukannya, “Kamu bawa si belalang tempur?” tanyaku melepas pelukannya. Kafa mengangguk, “Tapi, aku lupa membawa dua helm,” dengan rona muka datar. Aku mengerutkan dahi, “Terus apa gunanya kamu menjemputku jika tak membawa dua helm?” memprotesnya.
“Itulah Drea, penyakit pikunku masih belum sembuh. Kamu naik taksi saja ya?” Kafa menawarkan,”Biar nanti taksi mengikuti si belalang tempur dari belakang.” Aku berpikir sejenak, kemudian mengangguk, “Memang kamu pindah rumah Fa?” Kafa mengangguk tanpa berkata apa pun. Sudah kuduga, ucapku dalam hati. “Biar kubantu bawakan kopermu!” Kafa langsung mengambil alih koper milikku. Kami berdua melangkah ke luar bandara dengan berjalan beriringan. “Nah, itu ada taksi!” Kafa menunjuk taksi berwarna biru, “Kamu tunggu di sini! sebentar aku akan mengambil si belalang tempur di parkiran.” Aku melambaikan tangan mengisyaratkan agar sopir taksi mendekatkan mobilnya. Taksi mendekat. Sopir taksi membuka pintu mobil, mempersilakanku masuk dan membantu meletakkan barang bawaan di bagasi. Aku segera masuk dan duduk di belakang sopir. “Tunggu sebentar ya, Pak!” Sopir taksi mengangguk. Setelah Kafa berhasil mengeluarkan si belalang tempur, barulah taksi melaju mengikutinya dari belakang. Taksi menyusuri Jalan Laksda Adi Sucipto. Kemacetan panjang terjadi tepat di Lippo Mall, dekat daerah Demangan. “Pak, setelah di perempatan nanti lurus saja ya. Kita ke daerah Malioboro,” pintaku. “Baik, Mbak. Tapi, bagaimana dengan teman mbak yang di depan kita?” “Hmm, biarkan saja,” jawabku. Setalah lampu menyala hijau, Kafa berbelok ke kanan menuju Jalan Gejayan. Sementara taksi lurus melaju menuju Jalan Sudirman. Aku ingin menghubungi Kafa, sekadar berpamitan kalau ingin jalan-jalan sebentar, tapi sayang ponselku kehabisan baterai. “Mau langsung belanja, Mba?” tanya sopir taksi penasaran. “Ke Taman Sari, Pak!” jawabku. “Sudah pernah ke Jogja sebelumnya?” Aku mengangguk, “Delapan tahun aku pernah hidup di kota ini.” Delapan tahun bukan waktu yang sebentar. Kota ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Hingga akhirnya, aku terpaksa memutuskan kem-
bali ke Pekanbaru. Taksi melintas di Jalan Abu Bakar Ali hingga berbelok menuju kawasan Malioboro. Kawasan yang kini ramah pejalan kaki. Dari perempatan 0 KM, taksi masih lurus mengikuti jalan menuju area Taman Sari. Taman Sari merupakan kawasan wisata, yang dahulu dijadikan area pemandian istri-istri sultan. “Nah sudah sampai, pintu masuk ada di sebelah sana mbak!” “Ini!” aku menyodorkan selembar uang setelah melihat angka yang tertera di argo taksi, “Ambil saja kembaliannya,” kataku menambahkan. Aku ke luar dari taksi, mengeluarkan barangbarang di bagasi. Mata ini langsung tertuju pada pedagang bakso. Bukan karena perut terasa lapar, tetapi memang dulu pernah menjadi pelanggan setianya. “Ibu!” sapaku. Wanita separuh baya menatapku. Dia berpikir lama sampai akhirnya,”Lho Mbak Drea?” Aku mengangguk kemudian menjabat tangan si ibu. “Apa kabar?” Dia seperti mencari-cari sosok selain aku. “Baik, Bu. Masih jualan juga ternyata.” “Oh ya jelas. Sendiri saja?” “Iya, Drea boleh menitip barang-barang di sini?” tanyaku. “Tentu saja boleh. Mbak Drea itu dari mana saja? Lama tidak kelihatan?” tanya si ibu penasaran. “Aku pulang ke Pekanbaru.” “Lha terus Mas Andre ke mana? Terakhir ke sini dia juga sendirian,” si ibu menatap penuh tanya. Aku tidak mau menjawab apa pun, “Aku masuk dulu ya!” mengalihkan pembicaraan. Tidak seperti pengunjung lain yang memilih membeli tiket di pintu masuk. Aku lebih suka menerjang aturan. Masuk lewat area perkampungan. Bukan karena tidak sanggup membayar tiket. Lebih tepat karena yang kutuju bukan area pemandian, melainkan Sumur Gumuling. Sebuah bangunan yang dulu dijadikan sebagai masjid bawah tanah. Aku pun berjalan menyusur gang-gang sempit perkampungan penduduk. Sampailah di Pulau Cemeti. Semacam reruntuhan bangu-
nan. Tempat ini sering dijadikan objek foto prewedding. Aku tidak mau berlama-lama di Pulau Cemeti. Ada seorang kakek tua yang menjajakan es lilin dengan termos di area ini. Sungguh tidak ada yang berubah dari tempat bersejarah ini. Setelah sempat membeli es lilin yang dijual kakek tua, langsung saja aku berjalan ke arah barat menuju bangunan masjid bawah tanah. Aku menyusuri banguann Sumur Gumuling. Bangunan yang dirancang seperti lorong panjang, agar suara imam dapat menggema di seluruh ruangan saat masih berfungsi sebagai masjid bawah tanah tempo dulu. Selain tertarik dengan arsitektur bangunannya.Tujuan ke sini hanya untuk menikmati sajian alunan musik. Iya, ketika berada di pintu masuk lorong Sumur Gumuling. Tepat di dekat tangga ada sejumlah anak muda memainkan alat musik melantunkan lagu-lagu yang sedang ngehits. Langkahku terhenti. Memilih untuk berdiri mendengarkan mereka bernyanyi. Entah kenapa memori dalam otakku seakan ter-instal kembali mengingat peristiwa beberapa tahun silam. Iya, aku sengaja memutuskan menuju Taman Sari,hanya untuk menikmati alunan musik di pintu masuk Sumur Gumuling. Di tempat aku berdiri inilah, untuk pertama kalinya berkenalan dengan sosok Andre. Beberapa pengunjung yang melintas memberikan sejumlah uang pada pengamen. Aku masih belum berkutik menikmati alunan demi alunan musik. Gitar, dipadukan dengan kendang. Melodi terdengar begitu indahnya. “Kalau kamu mendengar pengamen menyanyikan lagu dengan bagus, pasti kamu enggan memberikan uang dengan cepat. Kamu biarkan sampai dia menyelesaikan lagunya. Begitu pula Tuhan, jika Dia suka dengan rintihan di setiap doa-doa kita pasti Dia tak akan biarkan doa-doa itu cepat dikabulkan. Tuhan suka mendengarmu merintih pada-Nya Drea!” Kata-kata itu masih terus membekas di dalam ingatan. “Kenapa kamu hanya bengong? Gayamu saja mengalungkan kamera DSLR, tapi tak lantas membidik objek apa pun di sini?” Seorang lakilaki tampan dengan celan jins, dipadukan kaus dan kemeja tanpa dikancing mengagetkanku. “Aku sedang menikmati musiknya,” men-
jawab dengan nada sedikit sewot. Iya, aku paling tidak suka orang mencampuri urusanku. Apalagi lelaki berkemeja motif kotak-kotak warna biru muda itu. Dia sama sekali tidak mengenalku. Enak saja asal berkomentar. “Terus apa gunanya kameramu itu?” “Bukan urusanmu!” jawabku ketus. “Hei, kasar sekali kamu! Bisakah kita berkenalan dahulu, sebelum kamu membentakbentak?” candaanya ingin melumerkan ketegangan suasana. “Dasar orang aneh, bilang saja modus ingin kenalan!” Dia menyodorkan tangan,”Namaku Andre,” dengan menebar senyum manis. Aku membuang muka. “Jangan terlalu angkuh. Kau bisa sulit mendapat jodoh jika bersikap demikian pada seorang laki-laki!” Dia kembali menasihati, seakan sudah mengenalku lama. “Apa pedulimu dengan jodohku?” “Sudahlah, mungkin aku salah dengan tanpa basa-basi menegurmu. Ayolah, kita awali pertemuan ini dengan persahabatan.” Aku pun menjabat tanganya dengan sedikit ragu,” Drea.” “Drea?” tanyanya sambil membetulkan kacamata minusnya. Aku mengangguk,” Iya, Ken Ajeng Drea.” Dia manggut-manggut, “Nama yang bagus. Nama kita bisa berkebalikan ya susunan huruf-hufnya.” “Iya juga yah, kamu Andre dan aku Drea.”
Aku pun terbahak seketika. Kami berdua berjalan meningggalkan pengamen dengan terlebih dahulu memberikan sejumlah uang. “Kamu mau ke mana?” tanyanya sambil berjalan di sebelahku. “Aku suka dengan alunan musik di sini, makanya aku selalu menyempatkan setiap bulan berkunjung ke area Taman Sari. Kamu? Suka fotografi?” aku menebak-nebak. Dari gayanya mengalungkan kamera DSLR. “Iya arsitekturnya bagus jadi objek fotografi. Aku asli sini, tapi baru kali ini hunting foto di lokasi ini.” jelasnya. “Aku dari Pekanbaru. Sejak SMA sudah bersekolah di Jogja. Hanya saja, aku tidak punya banyak teman. Introvet mungkin, lebih senang kemana-mana seorang diri.” jelasku. Andre manggut-manggut,”Sekarang semester berapa?” “Baru kelar KKN, bisa ditebak kan kalau aku mahasiswa tua?” Kami berdua terbahak. Entah kenapa aku merasakan kalau kita sudah saling mengenal lama. Dari sanalah segala kisah tentang kita bermula. * “Traveling itu berbeda dengan pergi berlibur, Drea,” ucapnya sambil mengendarai belalang tempur. Sementara aku membonceng di belakang. “Apa bedanya?” “Kalau Traveling bertujuan menikmati proses perjalananya. Banyak hal-hal tak terduga dan tak terencana,” jelasnya. Hari ini kami berdua sengaja pergi jalanjalan ke daerah Gunung Kidul. Sudah menjadi agenda jika setiap akhir pekan, kami melakukan perjalanan. Sempat bulan lalu, kami berpetualang ke Tuban. Minggu kemarin kami berjalan-jalan ke kota Solo. Belalang tempur setia menemani perjalanan kami berdua. Bahkan saat di Solo, kami sempat terjatuh saat berkendara. Kejadian itu tidak membuat kapok. Setelah kaki diurut di tukang pijat keliling, beres sudah. Semangat menjadi traveler tetap tidak padam. Akses jalan menuju Gunungkidul tidaklah mudah. Banyak kelokan yang harus kami berdua lalui di Jalan Wonosari. Ada satu perbukitan di sana yang dikenal dengan sebutan Bukit Bintang.
Dari atas sana kita bisa melihat indahnya pemandangan sekitar Jogja. Entah berapa lagi kelokan tajam yang harus kita lalui lagi. Aku sampai pusing dibuatnya. “Sebentar lagi Drea,” ucap Andre. Aku membetulkan posisi masker penutup wajah. Seketika terdengar Andre membunyikan klakson berkali-kali. Terdengar suara kakinya beradu menginjak rem diikuti suara ban sepeda motor bergesek dengan jalan. Setelah itu, aku tak lagi bisa mengingatnya. Tiba-tiba tangan kananku sudah berbalut kain kasa. Aku terbaring di atas tempat tidur. Pertama kali membuka mata, kudapati sosok bang Yudi. Iya, abangku yang juga berada di kota ini. “Andre di mana, Bang?” tanyaku “Andre baik-baik saja, sudah dibawa pulang keluarganya.” “Pulang?” Bang Yudi mengangguk. Aneh sekali, kenapa Andre pulang tanpa menungguku sadar terlebih dahulu?” aku bertanya-tanya dalam hati. “Besok kamu akan dipindah ke rumah sakit di kota Jogja, tanganmu patah perlu penanganan serius.” Bang Yudi menjelaskan. “Lantas, Andre luka di bagian mana, Bang?” Bang Yudi menggeleng, “Abang tidak tahu, kamu fokus memikirkan kesembuhanmu dulu,” tambahnya. “Kemarikan ponsel Drea Bang, Drea mau menelpon Andre.” Bang Yudi mengusap lembut kepalaku, “Sudahlah Drea, Abang kan bilang fokus pada kesembuhanmu dulu baru kamu memikirkan Andre,” nasihat Bang Yudi padaku. Keesokan harinya aku dipindahkan ke salah satu rumah sakit di daerah Jalan Sudirman kota Jogja. Baru beberapa jam berada di rumah sakit, terlihat sosok Kafa mengunjungiku. Aku sangat senang dengan kehadirannya. Berharap kalau dia datang bersama Andre. “Kamu sudah sehat Drea?” tanya Kafa dengan menebar senyum ceria. Senyum yang begitu mirip dengan senyuman Andre. Aku mengangguk, berusaha menegakkan badan dari posisi berbanring. Bang Yudi segera membantu, “Pelan-pelan, Drea,” ucapnya. Aku duduk dengan ditopang bantal sebe-
lum menyandarkan punggungku ke tembok dekat tempat tidur. “Andre kapan berkunjung?” tanyaku penasaran. Kafa tersenyum,”Sudahlah kamu memikirkan diri sendiri dulu,” jawabnya. “Aku ingin tahu kabar Andre, Fa? Dari aku masuk rumah sakit beberapa hari lalu tak sedetikpun dia berusaha menanyakan kabarku. Ke mana dia, Fa?” Kafa dan Bang Yudi berpandangan sesaat. “Drea, sudah Abang bilang fokus pada kesembuhanmu dulu,” “Apa yang terjadi pada Andre?” aku melempar tatapan sinis. “Tidak ada apa-apa. Andre baik-baik saja,” Kafa mengalihkan pandangannya. Dia mengambil ponsel dari dalam tasnya. “Kemarikan ponselmu,” aku merebut ponsel dalam genggaman Kafa dengan tangan kiriku. “Berikan padaku Drea?” Kafa berusaha merebut ponselnya. “Tidak!” teriakku “Drea tenanglah, kamu tidak harus bersikap seperti itu,” ucap Bang Yudi, “Kembalikan ponsel Kafa, Dik!” berusaha meraih ponsel dalam genggamanku. “Tidak Bang!” aku kembali berteriak dengan nada suara bergetar. Air mata mulai membanjiri pipi. Entah kenapa aku ingin menangis. Kafa dan Bang Yudi terdiam, membiarkanku mengoperasikan ponsel Kafa. Aku langsung membuka aplikasi facebook. Mengecek keberadaan akun Andre. Aku terkejut sekali melihat banyaknya pesan di dinding facebook Andre. Air mata kembali menetes membasahi pipi. “Kalian jahat! Jahaaat!” teriakku. “Sabar Drea!” Bang Yudi memelukku. Kafa ikut menenangkanku, “Kami tak bermaksud demikian Drea,” ucapnya. “Andre meninggal! Andre meninggal Bang! Kenapa Abang tega membohongi Drea Bang! Jawab!” “Abang tidak bermaksud membohongimu. Kita hanya menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan berita duka ini,” Bang Yudi semakin erat memelukku, “Percayalah Drea,” mengusap lembut kepalaku.
“Kalian jahat!” kataku sebelum semua kembali terasa gelap. * “Drea?” Aku menengok begitu terdengar suara yang memanggil namaku. Kudapati sosok sangat mirip dengan Andre ada di belakang. “Kenapa kamu tidak bilang kalau akan mampir ke sini dulu?” “Maafkan aku, Fa. Tadinya aku akan memberitahumu hanya saja ponsel kehabisan baterai,” aku menjelaskan pada Kafa. “Ayolah kita pulang,” ajak Kafa sambil merangkulku. “Dari mana kamu tahu kalau aku di sini?” “Tak perlu lagi aku jelaskan, Drea. Segala tentang saudara kembarku pastilah aku tahu. Termasuk tempat pertama kalian berdua berkenalan. Andre sudah tenang di sana, tak usah lagi kita menangisi kepergianya,” Kafa menjelaskan. Aku mengangguk, kemudian kami berjalan ke luar dari area Taman Sari. “Sebentar aku ambil koper dan ranselku.” “Sudah aku ambil,” kata Kafa. Aku menghentikan langkah, menatap Kafa, “Kau tahu segalanya?” Kafa mengangguk, “Ayo kita pulang, Mamaku akan sangat senang melihat kedatanganmu kembali ke kota ini!” Kafa tersenyum. Sungguh senyum itu telah aku rindukan selama ratusan purnama. Senyum yang tidak ada bedanya dengan senyuman Andre. Terkadang aku berpikir, Andre tidaklah meninggalkan kita. Dia hanya berpindah hidup di dimensi yang berbeda. Segala cerita tentangnya sudah seperti sebuah obrolan kaset rusak. Aku tidak henti-hentinya bercerita sepanjang perjalanan menuju rumah keluarga Andre. Perjalanan yang menyenangkan di atas belalang tempur. Belalang tempur milik Kafa sama persis dengan milik Andre. Aku menatap langit Jogja, saat belelang tempur berhenti sejenak di perempatan Gondomanan, karena terjebak lampu merah. Aku bisa merasakan senyum bahagia Andre di atas sana. Semoga Tuhan mempertemukan kita kembali di surga-Nya kelak. ***