DI BALIK KEINDAHAN BENTUK HIASAN SENGKALAN MEMET PADA GAPURA TAMAN SARI Aryo Sunaryo *
Abstrak Taman Sari merupakan sebuah kawasan taman kerajaan Yogyakarta yang dibangun pada abad ke-18 oleh Sultan Hamengku Buwana I. Sebagian taman sampai sekarang masih tersisa dan dapat dinikmati keagungan dan keindahan bentuknya. Titimangsa pembangunannya ditandai oleh sengkalan memet yang terdapat di gapura Panggung dan gapura Agung dalam kompleks taman. Sengkalan memet di gapura Panggung berupa hiasan patung dua ekor naga berhadapan ke arah pintu masuk gapura, seolah sedang bercakap-cakap, dan dibaca catur naga rasa tunggal (percakapan naga rasa satu). Yang di gapura Agung berupa hiasan relief bermotif tumbuh-tumbuhan dan burung yang digambarkan sedang menghisap bunga. Sengkalannya berbunyi lajering sekar sinesep peksi (pokok bunga terisap burung). Kedua sengkalan memet yang menghiasi gapura taman menunjuk angka tahun yang bertalian dengan pembangunan Taman Sari. Hiasan bentuk sengkalan memet tidak semata memperindah dan menandai titimangsa bangunan, melainkan beserta keseluruhan bangunan gapura mengandung pesan-pesan, harapan, dan makna simbolis yang dalam. Kata kunci: sengkalan memet, titimangsa, hiasan, taman, gapura. Pendahuluan Iki taman sari tinanduran wit sarwa sri, ceplok piring, mandakaki, mawar, menur, lan melathi, aja kok pethiki, aja kok undhuhi, nyuda srining taman sari
Bait di atas adalah sebuah lelagon dolanan (nyanyian untuk anak-anak) ketika penulis masih sekolah di Sekolah Rakyat (Sekolah Dasar Negeri) sekitar tahun 60-an. Penciptanya siapa, tidaklah penting. Dari syair lagunya tampak mengungkapkan keindahan sebuah taman, yakni Taman Sari. Dalam nyanyian sederhana itu, dilukiskan bahwa Taman Sari ditanami pepohonan dan bungabungaan yang serba indah. Keindahannya itu akan berkurang jika sampai ada yang memetik bunga atau buahnya. Sebuah pesan terselubung untuk mencintai lingkungan dan mengapresiasi seni.
*
Penulis adalah dosen Jurusan Seni Rupa FBS Universitas Negeri Semarang, Magister Pendidikan Seni
Taman Sari adalah sebuah taman di kompleks kraton Yogyakarta, yang dibangun atas perintah Sultan Hamengku Buwana I pendiri kasultanan Yogyakarta dan merupakan peninggalan sebuah taman di abad ke-18. Dulu, di jaman kolonial Belanda, orang menyebutnya sebagai “Puri di atas air”, Waterkasteel. Kawasan Taman Sari yang terletak di sebelah barat daya pusat kraton, memiliki beberapa gapura, yakni gerbang pintu masuk menuju sejumlah halaman dan beberapa kolam untuk pemandian. Bahkan dalam kompleks Taman Sari terdapat telaga buatan yang disebut segaran, yang di tengah-tengahnya terdapat puri yang tampak terapung (Lombard 1996, Moertiyoso dan John Miksic 2002). Gambaran keindahan puri di atas air itu sempat direkam oleh J. Jeakes pada tahun 1815 melalui karya aquatint-nya (periksa Reid 2002:104) sebelum kemudian sesudahnya tinggal bekasbekasnya. Pada abad ke-19 kawasan Taman Sari mulai rusak dan diterlantarkan. Kini kawasan itu tinggal situs dengan beberapa gapura yang tersisa dan kolam pemandian yang sudah kotor, sedangkan kolam segaran sudah tertimbun tanah. Puri di atas air yang dulu ditumbuhi oleh semerbak bunga pohon kenanga (cananga odorata) – dan karenanya disebut Pulau Kenanga – sekarang tinggal puingpuing yang dikelilingi oleh padatnya rumah-rumah penduduk yang bermukim di sana. Padahal ketika masih jaya-jayanya, raja mengantarkan tamu menaiki perahu berlapis emas melintasi telaga buatan ini. Sekalipun tinggal bekas-bekasnya, Taman Sari masih menarik sebagai bagian dari kawasan kraton Yogyakarta, dan kini dibuka untuk wisatawan. Pada jalan masuk dari arah timur, pengunjung dapat melihat gapura Panggung yang dihiasi dengan patung dua ekor naga saling berhadapan sebagai sengkalan memet. Demikian pula pada gapura Agung yang terletak paling barat kawasan taman, berhiasan sengkalan memet berbentuk relief yang memperindah dinding gapura. Sengkalan memet merupakan jenis sengkalan, yakni ungkapan kalimat atau rangkaian kata yang pada setiap kata bernilai angka tahun sebagai sebuah titimangsa, penanda waktu, yang terkait dengan peristiwa, kejadian, atau hal penting yang ditandai. Dalam sengkalan memet, kalimat sengkalannya divisualisasikan sebagai karya rupa, yang dapat berupa gambar atau lukisan, relief, patung, atau bentuk-bentuk rupa lainnya yang pada umumnya berfungsi sebagai hiasan atau tetenger yang
dikenakan pada bangunan. Dalam kaitan ini, dengan mengutip pendapat Leeuw (1965), arsitek-arsitek Jawa pastilah tidak akan menyeleksi ceritera-ceritera untuk dipahatkan di bangunan semata-mata karena pertimbangan nilai ornamentasi tetapi lebih karena pertimbangan isi dan makna simbolis teksteks yang dipahatkan (Depdikbud 1999/2000:76). Tulisan berikut akan difokuskan pada bagaimana bentuk-bentuk sengkalan memet di Taman Sari sebagai ungkapan karya rupa yang bernilai estetis serta makna simbolis yang terkandung di dalamnya. Kajian diawali dari deskripsi singkat tentang kompleks Taman Sari, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan sengkalan memet yang menghias kedua gapura.
Kompleks Taman Sari, antara Tempat Rekreasi, Meditasi, dan Pertahanan Diri Kompleks Taman Sari menempati sebuah kawasan seluas
10 hektar (Tnunay 1991:85),
sekarang mungkin hanya tinggal sepertiganya. Awal pembangunannya pada tahun 1684 Jawa atau 1758 Masehi (Ricklefs 2002:131). Pembangunan seluruh kompleks Taman Sari memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin masih dilanjutkan dan ditambahkan beberapa bagian pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II (periksa Anonim tt:88). Pembangunan taman, terlebih benteng yang mengelilingi kawasan kompleks kraton sebagai kota kerajaan, mungkin dilaksanakan dengan bantuan teknis seorang ahli bangunan Portugis (Wiryomartono 1995). Kompleks Taman Sari terdiri atas beberapa pelataran atau halaman yang disusun dengan sumbu timur-barat, serta beberapa kolam air, kemudian menjadi semakin luas termasuk kolam terbesar seperti telaga yang disebut Segaran. Di tengah Segaran dibangun puri di atas pulau buatan dan sebuah menara yang dimaksudkan semacam masjid di sisi barat dan dihubungkan dengan saluran di bawah air. Sebagai taman, beberapa bagian kawasan Taman Sari dihias dengan pepohonan dan bunga. Adanya kolam-kolam pemandian dan telaga buatan Segaran itu, mengingatkan kita pada kompleks pertirtaan “candi Tikus” dan juga Segaran dekat museum Trowulan yang dibangun pada masa kejayaan Majapahit pada abad ke-14. Dihubungkan dengan adanya kolam yang besar dengan puri di atas air, menurut Lombard (1996:124) motif air memainkan peran utama di taman itu, berbeda
dengan yang berada di keraton Surakarta yang bermotif gunung. Taman Sunyaragi yang juga dibangun pada abad ke-18 oleh kasultanan Cirebon, terdapat motif gunung dan juga air. Menurut Lombard, taman di Jawa sebenarnya merupakan lambang dari dua unsur, yakni bumi dan air. Dari dua hal yang saling melengkapi inilah semua unsur pemikiran rancangan taman muncul. Taman muncul pada masa pra Islam sebagai tempat penting bagi kehidupan sehari-hari serta lambang kehidupan manusia yang lebih tinggi, tempat bagi manusia, pencipta, dan alam menyatu (Moertiyoso dan J. Miksic dalam Tjahyono 2002:98). Dengan demikian hadirnya sebuah taman bukan semata tempat untuk bersenang-senang dari segi fungsi fisik, melainkan juga mempunyai maksudmaksud tertentu yang lebih bersifat simbolik. Sejalan dengan itu, Lombard (1991:120) menyatakan bahwa pada intinya sebuah taman dimaksudkan bukan sekadar suatu tempat untuk rekreasi, melainkan juga sebagai suatu ruang terbatas dan tertutup yang digunakan raja untuk menyepi dan bersemadi, untuk mempertinggi tingkat kesaktian melalui latihan serta untuk diresapi pancaran pengaruh yang memberi kehidupan baru. Dalam naskah Babad Kraton dan Serat Surya Raja Yogyakarta, dinyatakan bahwa Taman Sari adalah nama suatu tempat keramat bagi Ratu Kidul (periksa Reid 2002:104). Meminjam ungkapan Ricklefs (2002:130), dalam tingkat lebih eksotik, Taman Sari memiliki makna religius dan mistis. Pembangunan taman yang juga sebagai cara untuk menjaga hubungan dengan Ratu Kidul, merupakan langkah penting dalam mengukuhkan keabsahan Sultan sebagai raja wangsa Mataram, sebab dalam legenda Senapati pendiri kerajaan Mataram, sang raja itu menjalin hubungan dengan penguasa laut selatan Kanjeng Ratu Kidul. Jika diselidiki lebih seksama, ternyata Taman Sari juga dimaksudkan sebagai tempat pertahanan dari kemungkinan serangan musuh (Poerwokoesoemo 1985:46). Pada bagian-bagian dalam kawasan Segaran, terdapat lorong di bawah tanah (dan juga air) yang menembus beberapa jurusan dan berbelok-belok bahkan ada yang menembus sampai ke pusat kraton dan luar kota. Jelaslah bahwa tujuan pembangunan Taman Sari antara lain adalah sebagai tempat pertahanan diri sekiranya Sultan dan keluarganya dihadapkan dalam situasi berbahaya.
Kawasan Taman Sari berjarak sekitar 400 meter dari halaman Kemagangan. Halaman ini berada di luar Pelataran pusat keraton ke arah selatan. Melalui jalan Kemagangan Kulon dan berbelok menuju jalan Taman ke arah selatan, atau melalui gang kecil berliku di sekitar pemukiman padat sebelah barat daya pusat keraton, akhirnya orang dapat mencapai kawasan Taman Sari. Tepat dari sebuah perempatan jalan, pengunjung dapat menyaksikan sebuah gapura taman paling timur, yakni Gapura Panggung. Setelah memasuki pos penjagaan, pengunjung dapat segera memasuki pintu gapura yang tidak terlalu besar berbentuk lengkung dibandingkan dengan ukuran keseluruhan gapura menuju kawasan dalam. Gapura Panggung merupakan sebuah bangunan setinggi kurang lebih 9 meter, di bagian atasnya terdapat panggung menghadap ke barat, tempat raja duduk mendengarkan bunyi gamelan atau menyaksikan pertunjukan di sebuah pelataran di belakang gapura. Panggung yang dikelilingi pagar langkan ini dari arah depan (timur) agak tersembunyi sebab terhalang oleh dinding bagian puncak bangunan yang memiliki raut lengkungan tiga buah dan keseluruhannya membangun bentuk segitiga. Untuk mencapai panggung setinggi sekitar 6 meter itu, orang harus menaiki tangga yang berada di bagian depan gapura sebelum memasuki pintu gapura, yakni menuju ke arah kiri atau kanan yang kemudian membelok ke bagian belakang gapura. Di atas kedua pipi tangga, masing-masing terdapat patung naga. Kedua patung naga yang menghiasi pipi tangga inilah yang selain berfungsi untuk melindungi tangga dan menghias penampilan gapura, juga dimaksudkan sebagai sengkalan memet yang dibaca catur naga rasa tunggal (percakapan naga rasa satu). Setelah pengunjung memasuki Gapura Panggung, mereka tiba di sebuah pelataran, sebuah kawasan yang di dalamnya terdapat empat buah gedung kembar. Di antara bangunan ini digunakan untuk tempat gamelan. Dari kawasan ini kita dapat menentukan pilihan menuju arah utara atau ke selatan. Jika ke arah selatan, kita akan melewati sebuah pos penjagaan dan selanjutnya menuju sebuah gedung pertemuan Sultan dengan Kanjeng Ratu Kidul (Tnunay 1991:87). Dari pelataran itu ke arah utara akan menuju ke masjid Taman Sari atau Sumur Gumuling, reruntuhan bangunan Pulau Kenanga, dan Pulau Panembung yang dahulu berada di tengah kawasan Segaran.
Jika kunjungan dilanjutkan ke arah barat, kita menuju kawasan kolam pemandian yang dikelilingi dinding tinggi. Di bagian tengah dinding sebelah timur dan barat yang mengelilingi kawasan pemandian, terdapat gapura dengan hiasan kala di atas lengkung lorong pintu gapura. Kawasan pemandian itu terdiri atas beberapa kolam air yang membujur dari utara-selatan, masing-masing disebut Umbul Kawitan, Umbul Pamuncar, dan Umbul Panguras. Di antara Umbul Pamuncar dan Panguras terdapat bangunan menara yang dulu hanya boleh dinaiki raja. Dari menara itu, Sultan dapat melihat pemandian Umbul Panguras di bawahnya melalui sebuah jendela. Dalam kompleks pemandian terdapat pula bilik-bilik atau ruang-ruang yang sekarang sudah tidak berpintu. Terutama yang berada di tepi Umbul Panguras konon ruang-ruang itu tempat tidur para isteri Sultan. Pada awalnya, orang dapat memasuki kompleks pemandian Taman Sari dari arah barat melalui Gapura Agung, yakni sebuah gapura besar di bagian barat kompleks Taman Sari. Menurut Tnunay (1991) perubahan jalan masuk ke Taman Sari dari arah timur sejak Sultan Hamengku Buwana IV yang memerintah tahun 1814-1823 Masehi. Namun dilihat dari tataletak kompleks Taman Sari terhadap pusat keraton, tentulah gapura Panggung di sebelah timur sejak awal dibangun merupakan jalan masuk ke kompleks yang paling utama. Gapura Agung merupakan salah satu gapura yang terbesar dan indah di kompleks Taman Sari. Pada dinding gapura arah hadap ke timur, permukaannya dipenuhi oleh hiasan relief bermotif tumbuhtumbuhan dan burung yang dimaksudkan sebagai sebuah sengkalan memet. Sengkalan memet dibaca lajering sekar sinesep peksi (pokok tumbuhan bunga diisap burung). Pada bagian atas sisi barat gapura ini juga terdapat panggung yang dapat dipakai untuk melihat keindahan pemandangan di sekitar kompleks taman pada waktu itu.
Sengkalan Memet pada Gapura Panggung Kata sengkalan atau sangkala berasal dari kata Çaka dan kala yang berarti waktu Çaka (tahun Saka) yang berasal dari India (Bratakesawa 1980, Sidomulyo 1987). Antara tahun Saka dengan tahun Masehi terpaut 78 tahun. Ketika Sultan Agung menjadi raja Mataram Islam (1619-1645), pada tahun 1633 Masehi ia menyelaraskan dan memadukan tahun Saka (Hindu) dengan tahun Hijriah (Islam)
menjadi tahun Jawa (Wisnubroto 1999). Setelah menjadi tahun Jawa yang berdasar peredaran bulan, selisih dengan tahun Masehi menjadi semakin pendek. Çaka-kala (tahun Saka) dalam bahasa Jawa menjadi sangkala atau sengkalan, selanjutnya dalam kaitannya dengan tahun Jawa kemudian disebut candrasengkala. Sementara sengkalan yang lebih baru dan bertalian dengan tahun Masehi disebut suryasengkala. Sengkalan atau candrasengkala kemudian berarti waktu yang menandai sebuah titimangsa, sebagai peringatan tahun yang terkait dengan peristiwa atau kejadian penting, diungkapkan dengan kata-kata atau kalimat agar mudah untuk diingat. Rangkaian kata atau kalimat dalam sebuah sengkalan menyimbolkan dan bermakna bilangan yang menjadi penunjuk angka tahun. Biasanya terdiri atas empat kata, terangkai dalam bahasa Jawa Kuna, masing-masing bernilai bilangan satuan, puluhan, ratusan, dan ribuan. Namun demikian, ada pula kosa kata tambahan yang tidak bernilai angka, atau sebaliknya sebuah kata bernilai dua angka. Untuk mengetahui nilai angka tahun dalam sebuah sengkalan, orang harus menafsirkan watak kata (nilai, golongan kata), berdasarkan konvensi, misalnya kata candra (bulan), surya (matahari), janma (manusia) dan aji (raja) bernilai angka 1; kemudian asta (tangan), karna (telinga), netra (mata), kembar, dan lain-lain bernilai 2. Pembacaan sengkalan menjadi angka tahun penunjuk titimangsa, urutannya dibalik, artinya kata pertama menjadi bilangan terakhir atau kata terakhir dalam bunyi sengkalan menjadi bilangan pertama yang menunjuk angka tahun dimaksud. Sengkalan yang berupa susunan kata disebut sengkalan lamba, sedangkan sengkalan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk rupa, misalnya gambar atau relief disebut sengkalan memet. Untuk memahami sengkalan memet sebagai tanda sebuah titimangsa, orang harus dapat membaca unsur-unsur gambar atau rupa yang diwujudkan sejalan dengan bunyi kalimat sengkalan-nya. Misalnya gambar orang menunggang gajah seorang diri yang kemudian dibaca janma wahana dirada juga (janma=manusia=1, wahana=kendaraan=7, dirada=gajah=8, juga=sendirian=1) menunjuk angka tahun 1871(Jawa). Bentuk naga bersayap dikendarai manusia dibaca naga muluk tinitihan janma (= 1708 Jawa). Dengan demikian dalam membaca dan memahami sengkalan memet menjadi lebih rumit, karena seperti dihadapkan pada teka-teki sebuah gambar.
Sengkalan memet di Gapura Panggung Taman Sari berwujud hiasan dua patung naga yang saling berhadapan seakan sedang bercakap satu dengan yang lain. Sengkalan memet ini merupakan candrasengkala yang dibaca catur naga rasa tunggal. Kata catur, berarti percakapan dan juga berarti empat, bernilai angka satuan 4. Naga melambangkan angka 8, dalam hal ini sebagai bilangan puluhan, terkait dengan mitos Hindu tentang delapan ekor naga penyangga dunia. Kata rasa berarti enam atau dihubungkan dengan rasa manis, pahit, asin, masam, pedas, dan gurih atau tawar, yang dalam sengkalan bernilai angka 6 (ratusan). Selanjutnya kata tunggal yang sudah jelas artinya bernilai angka 1, yang dalam hal ini merupakan bilangan ribuan. Dengan demikian patung kedua naga saling berhadapan dan bercakap sebagai sengkalan memet yang dibaca catur naga rasa tunggal bermakna angka tahun 1684 (Jawa). Tahun 1684 Jawa (1758 M) merupakan titimangsa untuk memperingati awal pembangunan kompleks Taman Sari, hal ini sesuai dengan keterangan Ricklefs sebagaimana dikutip di depan. Dari aspek bentuk, sengkalan memet catur naga rasa tunggal dilukiskan sebagai dua ekor naga berhadapan satu dengan yang lain, kepalanya tegak, keduanya mengapit jalan masuk ke pintu gapura. Bagian tubuhnya meliuk mengalun sepanjang 5 meter menyusuri pipi tangga dengan bagian ekornya lebih tinggi. Besar tubuh bagian pangkalnya kurang lebih 30 cm diameternya, sedangkan tinggi bagian kepala dan lehernya berkisar 1 meter (gambar 1). Meskipun di beberapa bagian rincian sudah mengalami kerusakan karena lapuk, kedua bentuk naga secara keseluruhan masih tampak utuh. Bentuk naga memakai mahkota, mirip bentuk mahkota jenis kethu dipati pada wayang kulit purwa, sebagai tanda dewa ular atau tokoh Antaboga dalam wayang. Mahkotanya mengenakan jamang dan garudha mungkur atau merak mungkur, bersumping tanpa daun telinga, serta hiasan yang menjuntai ke bawah semacam sumping sekar kluwih di bagian belakang kepala. Bagian ini secara struktural menghubungkan bagian kepala dengan bagian tubuh sehingga menyangga kuat posisi kepala yang tegak. Selain itu masih terdapat hiasan semacam tali sumping yang juga berfungsi untuk mempertegas garis rahang, serta hiasan di depan bagian leher yang melengkung dari bawah dagu. Di bagian ekornya dihias dengan semacam gelang.
Mulut naga dilukiskan terbuka, mungkin dulu dipasangkan lidah-lidahan dari bahan logam. Bentuk naga terbuat dari batu bata yang dilapisi plester. Lapisan plester yang halus dan diukir itu konon terbuat dari campuran pasir halus, kapur, bata merah yang telah ditumbuk, kemudian diaduk dengan air kelapa dan putih telur. Di bawah bentuk naga diberi hiasan sekaligus sebagai landasan, yakni bentuk pelipit panjang yang pada bagian ujungnya di depan dada naga dibuat motif ikal berukir motif bunga. Hiasan bagian ini menyatu dan mempertegas garis pipi atau dinding tangga di bagian depan. Bagian tubuh naga yang mengalun ritmis mengingatkan pada bentuk keris luk tujuh. Liukan ritmis dari bagian tubuh ini diperkuat oleh penggarapan sisik-sisik naga yang terukir halus serta pola-pola lengkung pada hiasan bagian leher, sumping, dan hiasan-hiasan lain. Sementara dinding gapura yang tinggi, luas, dan polos dan menjadi latar kedua bentuk naga menciptakan kontras sehingga mempertegas penampilan sengkalan memet tersebut. Bagian puncak gapura tampak depan membentuk pola gunung yang juga dibentuk oleh lengkungan-lengkungan ritmis. Sementara konfigurasi kedua bentuk naga yang mengalun mengekspresikan gerak mengalir ke arah pusat pintu masuk gapura dan mencitrakan unsur air. Keseluruhan rancangan gapura tampak membangun paduan dua unsur yang kontras namun dapat diserasikan, sekaligus mengisyaratkan adanya kesatuan kosmos dari unsur-unsur gunung atau bumi dan air. Naga adalah raja atau dewa ular. Konsep ini mengacu pada mitos Hindu. Dalam kebudayaan praHindu di Nusantara, umumnya naga dipandang sebagai lambang dunia bawah (periksa van der Hoop 1949). Konsep ini kemudian berkembang dengan masuknya pengaruh Hindu terutama di Jawa dan karena itu berbeda dengan naga atau liong yang berasal Cina. Ikonografi naga di Jawa lebih dekat dengan sosok naga dalam wayang kulit, atau artefak zaman Hindu, dengan ciri-ciri bermahkota, ekspresi tampak tenang, sehingga berbeda dengan naga Cina yang bertanduk, bersirip di bagian punggung, serta memiliki cakar atau kaki dan ekspresinya tampak beringas. Dalam dunia wayang, dewa ular adalah Batara Basuki. Selain sebagai dewa penyelamat sesuai dengan namanya, ia adalah seorang dewa yang melambangkan kesucian dan berkulit putih
(Sudibyoprono 1991:108). Oleh Hardjowirogo (1968:99) Dewa Basuki digambarkan bertabiat keras, mudah marah tetapi cepat reda amarahnya. Selain Dewa Basuki, dalam wayang juga terdapat Hyang Antaboga, yang kerapkali dianggap sama sebagai dewa ular. Hyang Antaboga tinggal di Saptapertala lapisan tujuh dalam bumi dan dikenal sangat sakti. Dikaitkan dengan makna simbolisnya, sengkalan memet berbentuk dua ekor naga saling bercakap merupakan ungkapan gagasan kesaktian dan kesucian raja, dalam hal ini Hamengku Buwana I pembangun Taman Sari, yang menyatukan pikiran dan rasa dalam menciptakan sebuah taman surgawi. Bukankah dalam sejarah Sultan Hamengku Buwana I dikenal sebagai seorang yang keras kemauannya, pemberani dan jujur untuk mempertahankan kebenaran sehingga diakui dan ditakuti oleh lawan-lawannya?
Sengkalan Memet pada Gapura Agung Telah dikemukakan di depan bahwa sengkalan memet yang menghiasi Gapura Agung kompleks Taman Sari dibaca lajering sekar sinesep peksi. Kata lajering yang berakar kata lajer berarti pokok pangkal, kepala, asal, atau akar ubi. Dalam candrasengkala itu kata lajering bernilai angka 1, sedangkan sekar yang berarti bunga, berdasarkan konvensi bernilai angka 9. Sinesep dari akar kata sesep yang berarti isap, hirup, dimaksudkan memperoleh rasa, dan karena itu bernilai angka 6, sedangkan peksi yang berarti burung menurut konvensi bernilai angka 1. Sebagai candrasengkala, lajering sekar sinesep peksi yang berarti kurang lebih pokok tumbuhan bunga yang terisap burung, merupakan titimangsa bertahun 1691 Jawa (1765 M). Rupanya angka tahun ini merupakan saat yang menandai selesainya dibangun kompleks Taman Sari, terlebih pada sekitar kawasan pemandiannya. Jika demikian, sejak mulai dibangun pada tahun 1758 M, pembangunan Taman Sari telah memakan waktu selama 7 tahun. Hiasan bermotif tumbuh-tumbuhan dengan bunga dan burung yang selaras dengan bunyi sengkalan-nya itu, memenuhi hampir seluruh permukaan dinding sisi timur Gapura Agung. Pada dinding gapura sisi barat, terutama yang menjadi latar bagian panggung, juga terdapat hiasan serupa. Beberapa hiasan yang berupa relief itu saat ini telah mengalami restorasi, sehingga keseluruhannya tampah utuh, terutama jika dilihat dari arah timur, yakni dari dalam pelataran yang luas di antara
gapura itu dengan kawasan kolam pemandian di hadapannya. Dari arah barat bentuk gapura kurang dapat dinikmati mengingat dari arah ini terdapat rumah-rumah pemukiman penduduk yang padat dan terlalu dekat. Gapura seluas 12 meter lebih dan setinggi kurang lebih 11 meter itu merupakan gapura paling besar dan tipikal bentuknya. Selain mengingatkan pada bentuk paduraksa, yakni gerbang zaman Hindu yang masih berlanjut di Bali hingga kini, rancangan keseluruhannya sangat dekat dengan bentuk gunungan dalam wayang kulit (gambar 2). Struktur gapura diperteguh dengan empat pilar utama yang membagi menjadi empat bagian secara vertikal. Kemudian di bagian atas, di sela-sela keempat pilar utama itu di bagian tengahnya diperkuat dengan pilar yang lebih kecil. Kedua pilar besar yang berada di sisi kiri dan kanan gapura berhubungan dengan dinding keliling kawasan setinggi kurang lebih lima setengah meter. Sejumlah pilar dihubungkan dengan 2 buah “kolom” melintang sepanjang lebar gapura, masing-masing pada ketinggian 2,5 meter dan 5,5 meter. Di samping itu terdapat “kolom” yang lebih kecil di bagian atas menghubungkan kedua pilar besar yang di tengah. Antara pilar dan kolom yang melintang menciptakan bidang-bidang panel sebanyak 15 buah pada permukaan sisi timur gapura. Seluruh bidang panel berhiaskan relief dengan motif dimaksud secara bervariasi. Sebagian tersusun secara setangkup, sebagian yang lain yakni panel-panel pinggir atas yang tidak berbentuk persegi dan yang di kanan kiri pintu gapura, hiasan tersusun secara senjang. Akan tetapi karena panel-panel ini berpasangan akhirnya membentuk kesetangkupan pula. Pada bidang hias yang paling luas selebar 240 X 240 cm, terlihat jelas motif pokok tanaman yang tumbuh tegak dengan cabang, daun, dan bunga dalam pola ikal yang tersusun setangkup. Di bagian atas terdapat motif hias sepasang burung yang berhadapan bertengger pada cabang paling atas dan keduanya digambarkan sedang mengisap bunga yang berada tepat di tengah pada ujung pokok tanaman. Pada garis dasar setiap panel umumnya dihias motif mahkota bunga padma yang polanya membentuk motif tumpal. Bidang hias yang paling kecil ialah yang berada di kiri dan kanan pintu masuk di bagian tengah gapura. Pada kedua bidang ini dihias dengan motif sulur tanpa motif burung.
Hiasan motif burung yang mengisap bunga pada pokok tanaman dan menjadi inti bentuk sengkalan memet teristimewa terdapat pada panel tengah di atas pintu gapura. Susunan motif hiasnya dibuat setangkup. Bidang hiasnya terbagi tiga bagian, yakni bagian yang di tengah dan di bagian kiri dan kanan. Bagian yang di tengah dibatasi oleh garis-garis lengkung yang membingkai dan membangun raut segitiga, sebagaimana halnya raut demikian dapat ditemukan pada hiasan motif kala yang umumnya di atas pintu candi atau paduraksa. Bagian ini diisi motif tanaman dengan bunga di puncaknya. Sementara bidang hias lainnya diisi motif burung dengan latar motif sulur berikut bunga memadati seluruh bidang. Gambar burung dilukiskan sedang mengisap kuntum bunga (gambar3). Dengan memperhatikan rinciannya, motif burung dapat diidentifikasi sebagai burung merak. Kepalanya yang berjambul, lehernya yang panjang, bertaji, serta bagian ekornya yang panjang sekalipun tidak terbuka mengindikasikan dengan jelas. Dalam banyak hal motif hias burung merupakan lambang dunia atas, dunia para dewata. Menurut van der Hoop (1949) burung merak dalam mitologi Hindu merupakan wahana (kendaraan) dewa perang Kartikeya. Melihat bentuknya yang menawan, burung merak dikaitkan dengan lambang keindahan dan kebahagiaan. Jika demikian halnya, motif tersebut sangat cocok untuk menghias gapura sebuah taman, dikaitkan dengan harapan dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesenangan bagi yang tinggal di dalamnya. Pada bagian kiri dan kanan bangunan Gapura Agung terdapat motif sayap yang menghubungkan gapura dengan dinding keliling kawasan. Bentuk gapura bersayap ini mengingatkan pada gapura masjid kuna Sendang Duwur abad ke-16 dekat Tuban. Bagian atas Gapura Agung dibentuk oleh lima buah lengkungan menjulang semakin meninggi di bagian tengahnya, masing-masing juga dihias dengan motif sayap dan bunga padma pada setiap puncak pilar. Motif sayap melambangkan keagungan dan keluhuran. Secara keseluruhan, sosok bangunan gapura bersayap yang berhiaskan motif tumbuh-tumbuhan, bunga, dan burung-burung dalam susunan setangkup meruncing ke atas di bagian tengah, semakin mempertegas rancangan bangunan yang menyerupai bentuk gunungan wayang. Gunungan adalah lambang kosmosmistis yang di dalamnya terdapat keseimbangan dan keselarasan serta mengisyaratkan ketenteraman (Sumardjo 2000:347). Menurut Soemardjo, gunungan mempunyai
makna spiritual yang dalam, menyangkut segi-segi terdalam rohani manusia, serta sebagai gambaran pengalaman transendental manusia. Dalam hubungan itu, tepatlah kiranya atas sebuah sesanti “sajroning suka tan tinggal duga lan prayoga” (dalam bersuka ria tidak akan meninggalkan kesantunan dan bagaimana sebaiknya) bagi siapa saja yang berada di dalam taman, sebab di dalam ungkapan itu terdapat dimensi lahir yang hedonis dan batin atau moral yang berdimensi spiritual.
Penutup Sengkalan memet merupakan tanda waktu atau cara tersembunyi dan halus untuk memperingati sebuah peristiwa penting yang diwujudkan dalam bentuk rupa. Ia merupakan visualisasi atas simbol sebuah titimangsa. Di balik keindahan bentuk rupa yang ditampilkan ternyata mengandung makna simbolis yang dalam. Sebagai hiasan, di dalamnya tersembunyi berbagai pesan dan gagasan penciptanya yang selaras dengan hal yang diperingati. Sengkalan memet catur naga rasa tunggal dan lajering sekar sinesep peksi masing-masing pada Gapura Panggung dan Gapura Agung menandai saat dimulainya dan selesainya pembangunan kompleks Taman Sari sebagai taman kerajaan yang memiliki multifungsi itu. Ia tidak semata sebagai hiasan yang indah yang menandai sebuah titimangsa, melainkan juga bermakna simbolis yang jelas mengandung pesan-pesan dan harapan perancangnya. Mengingat nilai keindahan bentuk dan makna simbolisnya yang dalam, sangat disayangkan bila kompleks Taman Sari beserta hiasan sengkalan memet di dalamnya yang kini menjadi situs diterlantarkan. Beberapa tahun belakangan memang terdapat gagasan untuk memugar seluruh kompleks Taman Sari, tetapi agaknya sulit dilaksanakan karena kendala pembebasan sejumlah kawasan yang sudah terlanjur banyak hunian masyarakat. Sekarang tinggal pengharapan, mudahmudahan kita dan masyarakat sekitar dapat menjaga keutuhan dan keindahan Taman Sari yang masih tersisa, sesuai dengan semangat yang terdapat pada lelagon dolanan di depan.
detail kepala naga Gambar 1. Gapura Panggung Taman Sari
Gambar 2. Gapura Agung Taman Sari
Gambar 3. Ornamen Burung Merak mengisap bunga
Daftar Pustaka Anonim.tt. Jogyakarta Kota Pusaka Bratakesawa, RM.1980. Keterangan Candrasengkala. Alih bahasa dan aksara Hadisoeprapta. Jakarta:Depdikbud. Depdikbud. 1999/2000. Ceritera Ruwatan di Candi Sukuh. Semarang:Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Jateng. Hardjowirogo.1968. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Lombard, Denys.1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Bagian III. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Moertoyoso, S dan John Miksic. “Taman: Surga di Bumi.” Dalam Tjahyono. 2002. Poerwokoesoemo, S.1995. Kadipaten Pakualaman. Yogyakarta: Gadjahmada University Press. Reid, A (penyusun).2002. Indonesian Heritage (3): Sejarah Modern Awal. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa. Riklefs, MC.2002. Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa. Yogyakarta: Matabangsa. Sidomulyo, H.1987. Sengkalan Tuwin Kawi Jarwa. Surakarta: Cendrawasih. Sudibyoprono, RR.1991. Ensiklopedi Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka. Sumardjo, J.2000. Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB. Tjahyono.2002. Indonesian Heritage (6): Arsitektur. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Buku Antar Bangsa. Tnunay, T.1991. Yogyakarta Potensi Wisata. Yogyakarta: Tontje Tnunay. van der Hoop, ANJ Th A TH.1949. Ragam Perhiasan Indonesia. Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Wiryomartono, ABP.1995. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wisnubroto, S.1999. Pranata Mangsa dan Wariga. Yogyakarta: Mitra Gama Widya.