SENGKALAN: TINJAUAN STRUKTUR DAN ISI Sudartomo Macaryus ABSTRACT Sengkalan is one form of Javanese expressions. Sengkalan is used to record the figure of a year. Structurally, sengkalan lamba has three elements: words, figures, and years. Sengkalan memet, visually is presented in the form of picture and ornament. The picture or ornament definitely represents a series of words/expression. The representation of a words is definitely based of the meaning and caracteristics of the reference, namely, the sun, nature, form, etc. To offer the choice of words alternatively, one attempt is held to develop a word. The development of the word having the representation of a figure is difined in terms of synonymy, spelling, sound, thing and the action, similar meaning, and the similarity of certain things, and so on. The content of sengkalan shows the description of the situation of certain time and place, hope of certain time and place, and express the event happening at a certain time and place too. KEYWORDS candrasengkala, suryasengkala, picture, ornament, figure
1.
Pendahuluan Sengkalan merupakan salah satu bentuk ungkapan dalam bahasa Jawa. Bentuk yang lainnya ialah wangsalan, parikan, kérata basa, bebasan, paribasan, dan lain-lain. Sebagai salah satu bentuk ungkapan dalam bahasa Jawa, sengkalan memiliki pola struktur yang tertentu dan memiliki isi yang tertentu pula, seperti terlihat pada contoh berikut. (1) (2)
Suci tata ngèsthi tunggal ‘suci aturan niat satu’ Mulat sarira hangrasa wani ‘memerhatikan badan merasakan berani’
Pada contoh sengkalan (1) terdapat empat kata, yaitu suci yang bernilai angka 4, tata bernila 5, ngèsthi bernilai 8, dan tunggal bernilai 1. Oleh karena itu, sengkalan tersebut menunjukkan angka tahun 1854. Pada contoh (2) terdapat empat kata, yaitu mulat yang bernilai 2, sarira bernilai 8, hangrasa bernilai 6, dan wani bernilai 1. Sengkalan (2) menunjukkan angka tahun 1682.1 Sengkalan memiliki kemungkinan diformulasikan dalam bentuk gambar, patung, atau ornamen. Bentuk tersebut disebut sengkalan Sudartomo Macaryus adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia & Daerah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta. Alamat korespondensi: JPBSID-FKIP UST Yogyakarta Kampus Tuntungan, Umbulharjo, Yogyakarta, alamat e-mail:
[email protected] 1
Angka tahun diperoleh dengan membaca rumusan sengkalan dari belakang.
187
188 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
memet, sedangkan yang berupa kata-kata disebut sengkalan lamba. Sengkalan memet antara lain terdapat di Kraton Yogyakarta dan Surakarta. Di Kraton Yogyakarta misalnya terdapat ornamen naga yang menghadap ke timur dan ke barat dengan ekor yang saling melilit. Ornamen tersebut diformulasikan dalam kalimat berikut. (3)
Dwi naga rasa tunggal. ’dua naga rasa satu’
Bentuk kata dwi bernilai 2, naga bernilai 8, rasa bernilai 6, dan tunggal 1. Sengkalan (3) tersebut menunjuk angka tahun 1682 (Jawa). Angka tahun tersebut menunjukkan tahun berdirinya Kraton Yogyakarta yang bersamaan dengan tahun 1170 Hijriah, dan tahun 1756 Masehi. Di Kraton Surakarta terdapat hiasan pada pintu besar Brajanala berupa selembar belulang lembu. Hiasan tersebut diformulasikan dalam bentuk kalimat berikut. (4)
Walulang sapi siji. ‘kulit lembu satu’
Bentuk kata walulang terdiri dua morfem yaitu walu dan lang yang dimaknai sebagai singkatan kata ilang. Kata walu tulisannya hampir sama dengan wolu bernilai 8, ilang bernilai 0, sapi bernilai 7, dan siji bernilai 1. Sengkalan (4) menunjuk angka tahun 1708 (Jawa) (Lihat Suwito, 2006: 10; Dwiraharjo, 2006: 41). Uraian di atas menunjukkan bahwa angka tahun sengkalan diidentifikasi berdasarkan nilai kata yang digunakan. Oleh karena itu, sengkalan yang berbentuk gambar, ornamen, dan patung juga harus dirumuskan dalam bentuk kata-kata. Tulisan ini mencoba mengkaji sengkalan dari segi struktur dan isinya. 2. Sengkalan sebagai Simbol Sengkalan merupakan salah satu cara untuk menyembunyikan maksud, yaitu angka disembunyikan dalam bentuk kata-kata. Hal tersebut sejalan dengan kecenderungan masyarakat yang tampak juga pada penggunaan ungkapan yang lain, seperti wangsalan, kerata basa, dan parikan. Pandangan tersebut sejalan dengan kecenderungan manusia yang memiliki kemampuan untuk menggunakan simbol. Uraian Suzanne Langer yang menulis buku berjudul Philosophy in a New Key menyadarkan pembaca betapa hakiki bentukbentuk simbolis dalam semua bidang kesenian (puisi, drama, dan fiksi). Dengan sangat peka ia mengidentifikasi dan memaknai simbol-simbol dalam bidang kesenian, khususnya puisi, drama, dan fiksi. Ernst Cassirer, orang yang terbuang dari negerinya, Jerman,
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 189
___________________________________________________________________________________
menghasilkan dua buku yang terkenal, yaitu The Plilosophy of Symbolic Form dan An Essay on Man. Ia menghasilkan penafsiran atas kebudayaan berdasarkan pengakuannya bahwa manusia adalah animal symbolicum. Simbol tampaknya menguasai kehidupan manusia. Oleh karena itu, interpretasi Cassirer bahwa manusia adalah animal symbolicum benar adanya. Sejak bangun tidur sampai menjelang tidur manusia bergelut dengan berbagai simbol, berupa ucapan, tindakan, benda, warna, garis, bidang, bentuk, dan sebagainya. Dalam banyak peristiwa simbol diwujudkan dalam bentuk tuturan, tindakan, warna, benda, suara, bentuk, dan sebagainya. Dengan bertumpu pada bidang budaya, Kuntowijoyo mengemukakan bahwa budaya adalah sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, musik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologi dari sistem pengetahuan masyarakat (1999: xi). Dalam masyarakat Jawa terdapat simbol yang unik yaitu berupa gambar, kata, warna, dan angka yang penggunaannya secara bersamaan, seperti gambar dibaca sebagai angka terutama tahun, kata bermakna angka, dan sebagainya. Makalah ini membahas salah satu bentuk ungkapan yang lazim disebut sengkalan, yaitu penggunaan bahasa untuk menyatakan angka tahun. Dalam sengkalan tersebut satuan-satuan lingual kata yang digunakan memiliki nilai angka, seperti yang tercantum dalam buku Sengkalan dalam Budaya Jawa yang ditulis oleh Maryono Dwiraharjo yang terbit tahun 2006 diberi sengkalan berikut. (4)
Raos Luhur Kombuling kemasyuran raja’.
Panembah
‘rasa
hormat,
Kata raos bernilai 6, luhur bernilai 0, kombuling bernilai 0, dan panembah bernilai 2. Oleh karena itu, sengkalan yang ada menunjukkan tahun terbitnya buku tersebut, yaitu tahun 2006. Tahun yang sama tersebut memiliki kemungkinan diformulasikan dalam bentuk sengkalan berikut. (5)
Tikta Musna Ical ing Bojana ‘kepahitan musna hilang dalam pesta’.
Kata tikta bernilai 6, musna bernilai 0, ical bernilai 0, dan bojana bernilai 2. Dalam pertemuan di kampung ada juga yang memformulasikan sebagai zaman kaliyuga atau kalabendu dalam bentuk sengkalan berikut.
190 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
(6)
Rasa Ilang Rusaking Panembah ‘perasaan hilang rusaknya orang yang seharusnya dihormati’.
Kata rasa benilai 6, ilang bernilai 0, rusak benilai 0, dan panembah bernilai 2. Rumusan (3) merupakan deskripsi keadaan yang diinterpretasi berdasarkan fenomena-fenomena yang menunjukkan ciri-ciri zaman kaliyuga atau kalabendu. Contoh (2) menunjukkan harapan bahwa aneka gejala berupa kemerosotan moral, krisis, bencana alam, dan sebagainya sedikit demi sedikit akan hilang dan berganti keadaan yang menyenangkan atau zaman kertayuga, sedangkan contoh (1) menunjukkan kondisi ideal hubungan antara rakyat dengan pemimpin. Kemasyuran dan kejayaan seorang raja akan terjadi jika rakyat menaruh hormat kepadanya. Ihwal sengkalan dapat ditinjau dari berbagai segi, seperti, bentuk, isi, struktur, lingkup penggunaan, cara pembuatannya, cara menginterpretasikannya, dan sebagainya. Berdasarkan adanya berbagai kemungkinan tersebut, tulisan ini membahas sengkalan dari segi struktur dan isinya. 3.
Pengertian Sengkalan Secara etimologis sengkalan berasal dari kata sangkala+an vokal ganda pada akhir bentuk dasar dan awal sufiks mengalami delesi menjadi sengkalan. Kata Sangkala adalah nama orang, yaitu Ajisaka ketika masih muda (Dwiraharjo, 2006: 1). Pendapat lain dikemukakan Suwito yang mengemukakan sengkalan berasal dari kata saka+kala yang berarti ‘taun Saka’ mendapat akhiran –an. Dengan demikian, sengkalan adalah sawijining angka taun kang dilam-bangaké kanthi ukara, gambar utawa ornamen tinamtu ‘angka taun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar atau ornamen tertentu’ (Suwito, 2006:8). Istilah lain sengkalan adalah cronogram yang berasal dari kata crono ‘waktu’ dan gram ‘tulisan/gambar’. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa sengkalan paling tidak memiliki tiga unsur, yaitu rangkaian kata (gambar, ornamen), angka, dan tahun. Gambar dan ornamen sengkalan biasa diujarkan dalam bentuk rangkaian kata untuk mendapatkan angka tahun. Rangkaian kata yang dimaksud selalu mengandung kata-kata yang memiliki nilai angka. Nilai angka tersebut ditata secara linear untuk mendapatkan angka tahun yang dikehendaki. Penataan kata tersebut disusun secara terbalik dengan penataan angka tahun yang dimaksud.
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 191
___________________________________________________________________________________
Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut sengkalan lamba dan yang berbentuk gambar atau ornamen disebut sengkalan memet. Kala atau waktu memiliki kemungkinan ditentukan berdasarkan matahari yaitu gerak bumi berputar pada porosnya dan gerak bumi mengelilingi matahari. Perhitungan waktu tersebut menghasilkan tahun matahari, seperti pada tahun Saka dan tahun Masehi. Waktu juga memiliki kemungkinan ditentukan berdasarkan gerak bulan mengelilingi bumi yang satu putaran penuh memerlukan waktu 30 hari. Perhitungan tersebut menghasilkan tahun bulan, seperti pada tahun Jawa dan tahun Hijriah. Sengkalan yang digunakan untuk merumuskan tahun mata2 hari disebut suryasengkala3 dan yang digunakan untuk merumuskan tahun bulan4 disebut candrasengkala5 (Suwito, 2006: 8). Tahun tersebut secara konvensional senantiasa dinyatakan dalam bentuk angka. Dengan demikian penggunaan kata, gambar, dan ornamen dimungkinkan adanya karena beberapa kata, gambar, dan ornamen memiliki nilai angka. 4.
Nilai Angka Sengkalan Nilai angka yang digunakan dalam sengkalan berasal dari kata. Oleh karena itu, nilai angka gambar dan ornamen diformulasikan lebih dahulu dalam bentuk kata-kata. Penentu nilai angka sebuah kata adalah arti kata, sifat, manfaat, kisah, dan ciri khas referensi atau konsep dari kata yang digunakan. Sifat, manfaat, kisah, dan ciri khas referensi atau konsep dari kata yang digunakan tersebut kemudian dimekarkan dengan menggunakan kaidah berdasarkan guru dasanama (sinonim), guru sastra (persamaan atau kemiripan tulisan), guru warga (kelompok benda, binatang, dan sebagainya), guru karya (arti kerja benda yang sama), guru sarana (alat dan tindakan), guru darwa (sifat dengan pemiliknya), dan guru wanda (kemiripan ucapan) (R. Bratakesawa dalam Dwiraharjo, 2006: 12-13). Diagram berikut menunjukkan dasar penentuan nilai angka sebuah kata. 2
3 4
5
Tahun yang dasar penentuannya berdasarkan perhitungan gerak bumi mengitari matahari yang memerlukan waktu satu tahun, seperti tahun Saka dan tahun Masehi yang selisihnya 78 tahun lebih dahulu tahun Masehi. Kata surya dalam bahasa Jawa berarti ‘matahari”. Tahun yang dasar penentuannya berdasarkan perhitungan gerak bulan mengitari bumi yang memerlukan waktu tiga puluh hari atau satu bulan, seperti tahun Jawa dan tahun Hijriah yang selisihnya 12 tahun lebih dahulu tahun Hijriah. Kata candra dalam bahasa Jawa berarti “bulan”.
192 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Diagram 1: Dasar Nilai Angka Kata Nilai Angka 1
Dasar Penentuan Arti Kata
Dasar Penentuan Lain dan Contohnya
eka, siji, tunggal ‘satu’ dwi, loro, kalih ‘dua’
Benda yang jumlahnya satu, wujudnya bulat, dan manusia Benda yang jumlahnya dua
tri, telu, tiga ‘tiga’ catur, pat ‘empat’
Api dan yang mengandung api Air dan kata-kata yang artinya membuat
5
panca, lima ‘lima’
Kata yang mengandung arti raksasa, panah, dan angin
6
nem, sat ‘enam’
7
pitu, sapta ‘tujuh’
Kata yang mengandung arti perasaan/rasa, gerak, kayu, dan binatang yang berkaki enam (insek) Pendeta, gunung, kuda, dan kendaraan
8
Hasta, wewolu ‘delapan’
9
nawa, sanga ‘sembilan’
10
dasa, das, sepuluh ‘sepuluh’
2
3 4
Sesuatu yang bersifat brahmana, gajah, binatang melata, dan reptil. Sesuatu yang bersifat dewa, benda-benda yang berlubang Kata-kata yang mengandung arti ‘tidak ada, langit, angkasa, tinggi, dan hilang’
janma, buweng, wani, Gusti, ratu, nata, naréndra ‘manusia, bulat, berani, Tuhan, ratu, raja, raja’ nétra, asta, pengantèn, kekanthèn, swiwi, talingan, pada ‘mata, tangan, pengantin, bawaan, sayap, telinga, kaki’ agni, geni, damar, panas, putri ‘api, api, obor, panas, perempuan’ suci, agawé, banyu, samodra, tlaga, kali, sumur ‘suci, membuat, air, lautan, telaga, sungai, sumur’ buta, amanah, angin, cakra, galak, yaksa, yaksi ‘raksasa, memanah, angin, roda, buas, raksasa, raksasa wanita’
rasa, kayu, obah, pait, legi, asin, bungah, susah ‘rasa, kayu, bergerak, pahit, manis, asin, bahagia, susah’ wiku, pitwèng, gunung, harga, turangga, rata ‘guru, pendhéta, gunung, harga, kuda, kereta’ gajah, esti, naga, brahmana, kartika ‘gajah, keinginan, naga, brahmana, bintang’ anggengganda, terus, manjing, kori, gapura ‘membau, terus, masuk, pintu, gapura’ dhuwur, wiyat, ical, lunga, mumbul ‘tinggi, langit, hilang, pergi, naik’
Nilai angka yang ditentukan berdasarkan arti katanya adalah bilangan satu sampai sepuluh yang dalam bahasa Jawa adalah éka, dwi, tri, catur, panca, sat, sapta, asta, nawa, dasa, dan bentuk dasanama dari bilangan tersebut. Nilai angka yang ditentukan berdasarkan jumlah referensi adalah Gusti, surya, candra, nétra, asta, pengantèn, dan lain-lain. Untuk memilih bentuk yang sesuai dikembangkan pula
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 193
___________________________________________________________________________________
alternatif penambahan kata. Alternatif penambahan kata memberi peluang penutur memilih bentuk yang sesuai dengan arti, kategori, bunyi, kelompok, dan sebagainya. Alternatif penambahan kata tersebut dapat dilihat pada diagram 2 berikut. Diagram 2: Dasar Pemekaran Nilai Kata No 1 2
3
4
5 6
7
8
Dasar Pemekaran Guru dasa nama ‘sinonim’ Guru sastra ‘tulisan sama atau hampir sama’ Guru warga ‘benda, binatang, dll. yang merupakan kelompok tertentu’ Guru wanda ‘kata yang memiliki persamaan suku kata’ Guru sarana ‘alat dan kegunaannya’ Guru karya ‘benda dan aktivitas atau kegunaannya’ Guru darwa ‘benda dan wataknya’
Guru jarwa ‘memiliki arti yang sama’
Contoh gunung, acala, harga, giri, prawata, haldaka ‘gunung’ mata, nétra, paningal, mripat, soca, pandulu ‘mata’ èsti ‘gajah’, èsti ‘karep’ ilat ‘lidah’, kilat ‘kilat’ srengéngé, rembulan, bumi ‘matahari, bulan, bumi’ baya, kadal, cecak, ula, tekèk, slira ‘buaya, kadal, cicak, ular, tokek, biawak’ gana, tawon, jangkrik, kinjeng, walang ‘lebah muda, lebah, jengkerik, capung, belalang’ papat xpat ‘empat’, prabata xbata ‘gunung’, utawaka xuta ‘api’, tata xtinata ‘atur’, buja xbujana ‘pesta’, lang xilang ‘hilang’ rasa-ilat, deleng-nétra, sembah-tangan ‘rasa-lidah, lihat-mata, menyembah-tangan’ tangan-ngasta-nyembah ‘tangan-membawamenyembah’, ilat-ngrasa-ngecap ‘lidah-merasamengecap’ buta-galak ‘raksasa-buas’, geni-panas ‘api-panas’, gula-manis ‘gula-manis’, uyah-asin ‘garam-asin’, bratawali-pait ‘nama tanaman yang daunnya pahitpahit’ retu, obah, horeg ‘gaduh, gerak, goncang’
Pada diagram di atas terdapat tambahan satu dasar, yaitu guru jarwa pada butir 8 yang memiliki kemiripan dengan guru dasanama. Berdasarkan data yang ada pada beberapa bentuk sengkalan dan data yang terdapat pada buku Sengkalan dalam Budaya Jawa karya Maryono Dwiraharjo, masih ada dasar yang lain, yaitu derivasi. Aneka bentuk derivasi yang dimaksud tampak pada diagram 3 berikut. Diagram 3: Nilai Kata Berdasar Bentuk Dasar dan Derivasinya No 1 2
Bentuk Dasar buka ‘buka’ candra ‘bulan’
Nilai Angka
Bentuk Derivasi ambuka ‘membuka’ candraning ‘bulannya’, anyandra
9 1
194 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
3
catur ‘cerita’
4
deleng ‘lihat’
5
dulu ‘lihat’
6
dhuwur ‘tinggi’
7 8 9
ecis ‘tusuk’ èksi ‘lihat’ èsthi ‘keinginan’
10
gati ‘penting’
‘membuat penggambaran’ nyatur ‘menceritakan’, kacatur ‘diceritakan’, cinatur ‘diceritakan’ ndeleng ‘melihat’, pandeleng ‘penglihatan’ kadulu ‘dilihat’, pandulu ‘penglihatan’, ndulu ‘melihat’ ndhuwur ‘bagian atas’, dedhuwuring ‘yang mengatasi’ ngecis ‘menusuk’ kaèksi ‘terlihat’ Èsthinya ‘keinginannya’, angèsthi menginginkan’, kaèsthi ‘diinginkan’, mangèsthi ‘mengingini’, ngèsthi ‘mengingini’, pangèsthi ‘cara menginginkan’ gatining ‘pentingnya’, wigati ‘penting’
4 2 2 0 5 3 8
5
Bentuk derivasi memiliki nilai angka yang sama dengan bentuk dasarnya. Oleh karena itu, penyelarasan bentuk dapat dilakukan dengan menggabungkan bentuk-bentuk derivasi. Bentuk derivasi tersebut misalnya berdasarkan kategorinya, seperti verba (aktif atau pasif), nomina (tunggal atau majemuk), adjektiva, dan sebagainya. Pemekaran kata untuk mendapatkan nilai kata yang tertentu dilakukan juga melalui proses pemajemukan. Proses pemajemukan yang dimaksud dapat dilihat pada diagram 4 berikut. Diagram 4: Nilai Kata Berdasar Bentuk Dasar dan Perluasannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bentuk Dasar giri ‘gunung’ guna ‘manfaat’ hyang ‘dewa’ Hyang ‘Tuhan’ jagad ‘alam semesta’ luhur ‘tinggi’ naréndra ‘raja’ prabu ‘raja’ pandhita ‘pendeta’ putra ‘anak’
Bentuk Perluasan giri nata ‘Betara Guru’ triguna ‘tiga manfaat’ hyang giri nata ‘Dewa Betara Guru’ Hyang Manon ‘Tuhan’, Hyang Maha Suci ‘Tuhan’ ing jagad kabèh ‘di seluruh alam semesta’ ing kaluhuran ‘di ketinggian’ ri sang na réndra, sri na réndra ‘sang raja, sri raja’ sang prabu ‘sang raja’ nenggih pandhitèng ‘yaitu pendeta’ mring kang putra ‘kepada sang anak’
Nilai Angka 7 3 9 1 1 0 1 1 7 1
Penggabungan kata memiliki kemungkinan menjadi konstruksi kata majemuk atau frasa. Hasil bentukan baru memiliki nilai sama dengan bentuk dasar yang dimajemukkan bentuk dasarnya. Dalam
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 195
___________________________________________________________________________________
konstruksi frasa nilai sama dengan bentuk dasarnya yang berupa unsur pusat atau bentuk dasar yang memiliki referensi (benda, aktivitas, atau konsep). Dalam naskah-naskah lama penggabungan kata memiliki kemungkinan berbentuk seperti kata, seperti tampak pada diagram 5 berikut. Diagram 5: Sengkalan dalam Naskah Klasik
No 1
Bentuk Dasar Saptawijarawi
2
Tritanurawi
3
Dwigjarawi
4
sasangkamagarawi
5
Anilastanah
6
Abdhidesendu
7
abdhikertasangkara
8
Tilakadrisambu
Bentuk Derivasi sapta ‘tujuh’ dwija ‘rokhaniwan’ rawi ‘matahari’ tri ‘tiga’ tanu ‘tulisan’ rawi ‘matahari’ dwi ‘dua’ gja ‘gajah’ rawi ‘matahari’ sasangka ‘bulan’ maga ‘kecewa’ rawi ‘matahari’ anila ‘angin’ sta ‘hasta’, ‘delapan’ nah ‘’phalguna’, ‘bulan kedua belas’ abdhi ‘samodra’ de ‘dasa’ sendu ‘bulan ke-11’ abdhi ‘samodra’ kerta ‘aman, sejahtera’ sangkara ‘wisnu’ tila ‘perhiasan’ kadri ‘gunung’ sambu ‘dewa’
Nilai Angka 7 8 12 3 8 12 2 8 12 1 8 12 5 8 4 0 11 4 4 11 0 7 11
Contoh sengkalan pada diagram 5 diambil dari buku Tafsir Sejarah: Nagara Kretagama yang ditulis oleh Slamet Muljana (2006: 410-411). Pada contoh sengkalan tersebut rangkaian kata membentuk satu kata tertentu. Pada contoh 1, 2, 3, dan 4 terdapat kata yang memiliki nilai angka sampai dua belas, yaitu rawi yang bernilai dua belas dan contoh 6, 7, dan 8 kata sendu, sangkara, dan sambu yang memiliki nilai sebelas. Pada contoh di atas terdapat bentuk kata yang meng-
196 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
alami pemendekan atau penyingkatan, yaitu wija dari dwija pada contoh 1, gja dari gajah pada contoh 3, sta dari hasta pada contoh 5, dan de dari dasa pada contoh 6. 5.
Struktur Sengkalan Berdasarkan uraian di depan dapat diidentifikasi struktur sengkalan yang memiliki tiga unsur utama, yaitu kata, angka, dan tahun. Kata yang dipilih adalah yang memiliki nilai angka. Nilai angka tersebut digunakan untuk menunjukkan angka tahun yang dikehendaki. Dalam sengkalan memet kata diwujudkan dalam bentuk gambar atau ornamen. Oleh karena itu, interpretasinya memerlukan tambahan satu tahap, yaitu mengubah gambar atau ornamen dalam bentuk rangkaian kata. Hubungan antarunsur tersebut dapat diformulasikan dalam bentuk diagram berikut. Diagram 6: Struktur Sengkalan Lamba Kata
Angka
Tahun
Diagram 6 di atas menunjukkan tiga tahapan interpretasi sengkalan. Tahap interpretasinya, pertama mengidentifikasi kata yang memiliki nilai angka, kedua mengidentifikasi nilai angka kata yang yang terdapat dalam sengkalan, dan ketiga menyusun angka yang diperleh dari sengkalan secara berurutan dari belakang ke depan untuk mendapatkan angka tahun yang dimaksud. Urutan interpretasi terebut dapat dilihat pada diagram 6a berikut. Diagram 6a: Tahap Interpretasi Sengkalan Lamba Tahap I II III
Suci 4 1
Rumusan Sengkalan Tata ngèsthi 5 8 8 5
tunggal 1 4
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 197
___________________________________________________________________________________
Sengkalan lamba suci tata ngèsthi tunggal menunjukkan angka tahun 1854. Angka tahun tersebut berdasarkan rumusan rangkaian kata yang terdapat pada tahap II. Struktur sengkalan memet terdiri gambar atau ornamen, kata yang tidak dirumuskan secara eksplisit, angka, dan tahun. Struktur sengkalan memet dan tahap interpretasinya dapat dilihat pada diagram 7 berikut. Diagram 7: Struktur Sengkalan Memet Gambar/Ornamen
Kata
Angka
Tahun
Diagram 7 di atas menunjukkan empat tahapan interpretasi sengkalan. Tahap interpretasinya, pertama menginterpretasi gambar menjadi susunan kata, kedua mengidentifikasi kata yang memiliki nilai angka, ketiga mengidentifikasi nilai angka kata yang yang terdapat dalam sengkalan, dan keempat menyusun angka yang diperoleh dari sengkalan secara berurutan dari belakang ke depan untuk mendapatkan angka tahun yang dimaksud. Urutan interretasi tersebut dapat dilihat pada diagram 7a berikut. Diagram 7a: Tahap Interpretasi Sengkalan Memet Tahap I II III IV
Rumusan Sengkalan Gambar ular yang saling membelakangi dan ekornya saling melilit Dwi Naga rasa tunggal 2 8 6 1 1 6 8 1
Sengkalan memet berwujud ornamen ular yang saling membelaangi dan ekornya saling melilit tersebut menunjukkan angka tahun 1682. Angka tahun tersebut berdasarkan rumusan rangkaian kata yang terdapat pada tahap II yang nilai angkanya terdapat pada tahap III.
198 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
6.
Isi Sengkalan Sesuai dengan istilahnya, sengkalan menunjukkan angka tahun matahari (suryasengkala) atau tahun bulan (candrasengkala). Berdasarkan makna satuan lingualnya, sengkalan berisi beberapa hal berikut.
6.1 Deskripsi Situasi pada Tahun atau Tokoh Tertentu Deskripsi situasi tampak pada suryasengkala yang menunjukkan angka tahun 2006 berikut. (7) (8) (9)
Rasa ilang rusaking panembah. ‘Rasa hilang rusaknya pemimpin’ Sembahing rasa angèsti tungal. ‘Berbaktinya rasa menginginkan satu’ Aruming putra ambangun praja. ‘Keharuman putra membangun negara’
Suryasengkala (7) mendeskripsi situasi tahun 2006 ketika banyak orang kehilangan rasa dan hati nurani serta para penguasa tidak dapat lagi diandalkan dalam menjalankan pemerintahan secara adil, jujur, dan berusaha menyejahterakan rakyat. Hal tersebut menunjukkan nada pesimis dalam menghadapi situasi. Sengkalan (8) menunjuk angka tahun 1862, yaitu dibangunnya makam R. Ng. Ranggawarsita. Beliau adalah sastrawan dari Kraton Surakarta. Isi sengkalan tersebut merupakan deskripsi semangat seorang sastrawan yang menunjukkan baktinya kepada negara dengan mengandalkan perasaan (hati nurani) yang menginginkan satu hal, yaitu keluhuran budi. Semangat tersebut tampak pada karya-karya R. Ng. Ranggawarsita, antara lain Serat Kalatida yang mendeskripsi situasi pada masa tertentu yang disebut jaman édan. Sengkalan (9) merupakan deskripsi semangat Corel Frederik Winter, ahli translate bahasa Jawa di Kraton Surakarta (Dwiraharjo, 2006: 48). Angka tahun 1916 menunjukkan tahun dibangunnya batu nisan dan bangunan makam tersebut. Keahliannya telah memungkinkan diterjemahkannya karya sastra dan bahasa Jawa ke dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu, beliau dideskripsi sebagai tokoh yang namanya harum. Semangat dan keahliannya tersebut memberi sumbangan dalam pembangunan negara.
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 199
___________________________________________________________________________________
6.2 Harapan pada Tahun atau Orang/Masyarakat Tertentu Harapan terwujudnya situasi yang lebih baik pada waktu yang tertentu tampak pada suryasengkala yang menunjukkan tahun 2006 berikut. (10) Tikta musna ical ing bujana. ‘Kepahitan musnah hilang dalam pesta’ (11) Wiku muksa trus nyawiji. ‘Pendeta muksa terus menyatu’ (12) Kanthi Pancasila trus manunggal. ‘Dengan Pancasila terus bersatu’ (13) Esthining iman gapuraning aji. ‘Keinginan iman gapura raja’ (14) Mulat mangsa narbukaning wardaya. ‘Waspada musim terbukanya hati’ (15) Dwi resi wali basuki. ‘Dua resi wali basuki (nama naga)’ (16) Dwi ajar ambuka putra. ‘Dua berlatih membuka putra’
Suryasengkala (10) menunjukkan angka tahun yang sama dengan suryasengkala (7), namun menunjukkan optimisme dan harapan terciptanya situasi yang lebih baik. Kepahitan yang dimaksud dalam suryasengkala tersebut menunjuk pada berbagai musibah, kecelakaan, bencana alam, dan sebagainya. Harapannya hal tersebut akan hilang dan berganti menjadi suasana yang menyenangkan dan menggairahkan seperti ketika berada dalam suasana pesta. Sengkalan (11) yang tertulis pada sebuah rumah makam di Pengging menunjuk angka tahun 1907. Sengkalan tersebut mengandung harapan bahwa orang yang dimakamkan di tempat tersebut mengalami muksa atau masuk kehidupan abadi dan menyatu dengan Tuhan. Sengkalan (12) yang menunjuk angka tahun 1952 terdapat pada lambang Lembaga Sosial Desa (LSD) di Kelurahan Jenengan, Kecamatan Sawit. Sengkalan tersebut mengandung harapan bahwa dengan Pancasila diharapkan dapat terwujud semangat kesatuan. Sengkalan (13) menunjuk angka tahun 1968 yang terdapat pada gambar desa Gading, kecamatan Sawit, mengandung harapan bahwa iman merupakan gapura atau pintu menuju raja. Istilah raja dalam hal ini dapat diinterpretasi sebagai penguasa alam semesta atau Tuhan yang berada di Surga. Sengkalan (14) menunjuk angka tahun 1962. Sengkalan tersebut terdapat di gapura makam desa
200 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Ceper, kecamatan Ceper, di sebelah selatan pabrik gula Ceper dan mengandung harapan semangat waspada terhadap masa atau waktu memiliki kemungkinan terbukanya hati atau pikiran. Orang yang waspada terhadap waktu tentu akan menggunakan waktu secara efisien agar tidak tergilas oleh waktu yang terus bergerak. Manifestasi semangat tersebut adalah dengan berbuat kebaikan sebagai bekal untuk memasuki kehidupan yang abadi. 6.3 Peristiwa yang Terjadi pada Tahun Tertentu Suryasengkala berikut menunjukkan adanya peristiwa yang tertentu. Peristiwa tersebut tidak tampak secara semantis dalam rumusan kata-katanya, namun tahun tertentu tersebut terjadi peristiwa yang perlu diingat. Rumusan suryasengkala yang dimaksud tampak pada contoh (17) dan (4) berikut. (17) atha nem tata tunggal ‘delapan enam aturan tunggal’ (4) raos luhur kombuling panembah ‘rasa tinggi terkenalnya pemimpin’
Contoh (17) menunjukkan angka tahun 1568 yang terdapat pada Serat Rerenggan Kraton dan menunjukkan peristiwa wafatnya Sultan Agung. Contoh (4) menunjukkan angka tahun 2006 yang terdapat pada sampul depan buku yang ditulis oleh Maryono Dwiraharjo berjudul Sengkalan: dalam Budaya Jawa. Suryasengkala tersebut meru-pakan tahun terbitnya buku berjudul Sengkalan: dalam Budaya Jawa. Peristiwa lain yang biasa dicatat dalam bentuk sengkalan adalah kelahiran dan kematian, pendirian rumah atau bangunan tertentu, pendirian atau jatuhnya kerajaan, perkawinan, penulisan buku (serat, babad, dll.), dan lain-lain. Tahun 2007 yang diawali terjadinya musibah hilangnya pesawat Adam Air dapat dirumuskan dalam bentuk sengkalan berikut. (18) Wahana akasa ical king pandeleng ‘kendaraan angkasa hilang dari penglihatan’
Sengkalan (18) terdiri atas 4 kata yang me-ngandung nilai angka, yaitu wahana bernilai 7, akasa bernilai 0, ical bernilai 0, dan pandeleng bernilai 2. Sengkalan (18) tersebut me-nunjukkan angka tahun 2007 yang isinya mendeskripsi adanya pesawat terbang (kendaraan) Adam Air yang hilang pada awal tahun 2007.6 6
Tahun 2007 memiliki kemungkinan dirumuskan dalam bentuk sengkalan yang beragam, seperti tampak pada lampiran 3.
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 201
___________________________________________________________________________________
7.
Penutup Sebagai penutup uraian ini dapat dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Unsur utama sengkalan adalah kata, angka, dan tahun. Dalam sengkalan memet kata, secara fisual diwujudkan dalam bentuk gambar atau ornamen. Nilai angka gambar atau ornamen tersebut dirumuskan dengan rangkaian kata. 2. Nilai angka sebuah kata ditentukan berdasarkan makna dan karakteristik referensinya. Karakter referensi yang dimaksud adalah mengenai jumlah, sifat, bentuk, dan lain-lain. 3. Untuk memberikan alternatif pilihan kata, salah satu upayanya adalah memekarkan kata. Pemekaran kata yang memiliki nilai angka ditentukan berdasarkan sinonim, tulisan, bunyi, benda dan tindakannya, kesamaan artinya, dan persamaan kelompok benda yang tertentu, dan lain-lain. 4. Isi sengkalan menunjukkan deskripsi situasi pada waktu dan tempat tertentu, harapan terhadap waktu dan tempat tertentu, dan mengemukakan peristiwa yang terjadi pada waktu dan tempat yang tertentu pula.
DAFTAR PUSTAKA Dillistone, F.W. 2002. Daya Kekuatan Simbol: The Power of Symbols. Terjemahan A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius. Dwiraharjo, Maryono. 2006. Sengkalan dalam Budaya Jawa. Solo: Katta. Morris, Charles. 1955. Signs, Language and Behavior. New York: George Braziller, Inc. Muljana, Slamet. 2006. Tafsir Sejarah: Nagara Kretagama. Yogyakarta: LKIS. Suwito, H. Yuwono Sri. 2006. “Misteri Sengkalan Memet ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat”, Djaka Lodang. No. 20-22. Yogyakarta: PT Djaka Lodang Pers.
202 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
LAMPIRAN 1. Afiksasi sebagai Dasar Penentuan Nilai Kata No
Bentuk Dasar
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Buka Candra catur deleng Dulu ‘lihat’ dhuwur Ecis Èksi Èsthi
10 11 12 13 14 15 16
Gati Guna luhur madya murti ‘badan’ Naga Obah
17 18 19 20 21 22 23
panah pandeng pandhita pasang pletik Puji Rasa
24 25 26 27 28
sanjata sapta sarira Sat ‘tak berair’ sembah
29 30 31 32 33 34 35 36 37
sikara ‘siksa’ siram Sirna Suta swara tandhing tangan Tarik Tata
39 40
terus Titih
Bentuk Derivasi Ambuka Candraning, anyandra Nyatur, kacatur, cinatur ndeleng, pandeleng Kadulu, pandulu, ndulu ndhuwur, dedhuwuring Ngecis Kaèksi èsthinya, angèsthi, kaèsthi, mangèsthi, ngèsthi, pangèsthi gatining, wigati aguna, kagunan, gunaning, piguna leluhur, luhura, ngluhuraken madyèng, madyaning murtyèng, murtining panaga, panagan obahing, ngobahakém ngobahaken, mobah Manah Mandeng padhitaning, pandhitèng, mandhita Apasang Maletik memuji, muji, pujinira, pinuji angrasa, ngrasa, ngrasèng, rasaning, rasèng Sanjatèng Saptèng sariranira, sariranta Sating hanembah, nembah, panembah, sinembah Kasikara Siniram sirnaning, sirnèng Sinuta swaranira, swarèng Atandhing Tangana anarik, tinarik, narik anata, atata, pranata, satata, satataning, tatanan, tinata, nenata penerus, terusing, terusan, trus titihan, nitih, titihaning
Nilai Angka 9 1 4 2 2 0 5 3 8 5 3 0 8 8 8 6 5 2 7 2 0 7 6 5 7 8 0 2 2 4 0 1 7 5 2 7 5 9 7
Macaryus, Sengkalan: Tinjauan Struktur dan ISi... 203
___________________________________________________________________________________
No
Bentuk Dasar
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54
tonton Trus trustha tunggal tunggangan tunggil udadi ‘laut’ Uluk umbara Urub wahana wani wasuh wayang
55 56 57 58
weling wiyasa wisik wulang
59 60
yekti Yoga
Bentuk Derivasi Tumontoning anrus, nrus, trusan trusthaning, trusthi Manunggal Tunggangané nunggil, tinunggil, manunggil, nunggila Ngudadi Muluk Ngumbara murub, urubing Wahananing awani, hawani Masuh hamayang, kawayang, wayangan, wayanging, winayang Wineling wiyasané, wiyasèng misik, wisikan amulang, hamulang, mulang, winulang, piwulang, wulangen Sayekti Yoganing
Nilai Angka 2 9 9 1 7 1 4 0 0 3 7 1 4 6 7 5 5 7 7 4
2. Pemajemukan sebagai Dasar Penentuan Nilai Kata No
Bentuk Dasar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Giri Guna Hyang Hyang Jagad Luhur naréndra Prabu pandhita Putra Rasa Sabda Sang
14 15 16
Sirna tunggangan Tyas
Bentuk Derivasi giri nata Triguna hyang giri nata Hyang Manon, Hyang Maha Suci ing jagad kabèh ing kaluhuran ri sang na réndra, sri na réndra ing prabu, sang prabu nenggih pandhitèng mring kang putra pangrasaning nem asung sabda sang maha prabu, sang nata, sang aji, sang prabu sirnèng gegana tungganganing giri ‘lèrèng gunung’ ing tyas
Nilai Angka 7 3 9 1 1 0 1 1 7 1 6 7 1 0 7 1
204 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
3. Variasi Sengkalan yang Menunjuk Angka Tahun 2007 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pandita mbrastha sirnaning ama. ‘Pendeta atau alim ulama membasmi matinya hama.’ Wahana antariksa ilang king paningal. ‘Kendaraan antariksa hilang dari penglihatan.’ Wasita luhur tumenganing pariksa. ’Nasihat luhur terbukanya penglihatan/pengetahuan.’ Pandhita léna murcaning panembah. ’Pendeta atau alim ulama terlena hilangnya pemimpin.’ Wukir ical gegana sinembah. ’Gunung hilang langit disembah.’ Titihan oncat ical king asta. ‘Kendaraan menghilang lepas dari tangan.’