ANALISIS PENGAKUAN, PENGUKURAN, PENYAJIAN, DAN PENGUNGKAPAN ASET TETAP DALAM LAPORAN KEUANGAN PT. DWI PUTRA JASA PRIMA DAN KESESUAIANNYA DENGAN PSAK NO.16 (REVISI 2007) Melisa Rahma Sari Jl. Manyar No.3 D – FLAT Komp. Krakatau Steel, Cilegon 082125257307
[email protected]
ABSTRAK Keberhasilan kegiatan usaha yang dilangsungkan oleh perusahaan tentunya harus ditunjang dengan alat – alat atau aset yang dapat memaksimalkan kegiatan operasional perusahaan. Perusahaan perlu mengikuti standar – standar keuangan yang berlaku umum, sehingga laporan keuangan perusahaan akan memiliki manfaat dan tingkat keandalan yang baik bagi para pemegang kepentingan. Dengan memanfaatkan aset tetap sesuai dengan standar – standar keuangan yang berlaku umum dapat memungkinkan perusahaan mampu memaksimalkan kegiatan operasionalnya dan mampu mencapai target – target yang telah dicanangkan. Dalam melakukan pencatatan dan memanfaatkan aset tetap, manajemen perlu mengkuti standar – standar yang tertulis dalam PSAK No.16 yang mana mengatur terkait dengan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan aset tetap. PT. Dwi Putra Jasa Prima merupakan perusahaan yang bidang usaha utamanya adalah outsourcing. Sebagai perusahaan jasa, PT. Dwi Putra Jasa Prima juga membutuhkan aset tetap yang mampu memaksimalkan kegiatan usahanya. Pendekatan yang digunakan adalah naturalis, di mana bertujuan untuk memperoleh teori dan data yang nyata. Jenis riset menggunakan deskriptif yang mana dimaksudkan untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai kondisi terhadap objek penelitian. Berdasarkan hasil observasi, PT. Dwi Putra Jasa Prima belum sepenuhnya menerapkan PSAK No.16 (revisi 2007). Terutama pada pengukuran, penyajian, dan pengungkapan aset tetap. Sehingga perusahaan perlu lebih cermat dalam menentukan masa manfaat dan tarif penyusutan, dan menyadari isu – isu keuangan terkait perkembangan standar –
standar keuangan yang berlaku umum di Indonesia, serta segera menerapkan pedoman yang berlaku umum. Kata kunci: Aset tetap, PSAK No.16, Perusahaan jasa.
Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Semakin pesatnya pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor industri yang didukung oleh kemajuan teknologi dan globalisasi pasar internasional akan berdampak pada timbulnya persaingan yang ketat di antara perusahaan. Hal ini tentu saja menuntut pihak manajemen perusahaan untuk lebih dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya agar dapat digunakan secara efisien dan efektif, sehingga hanya perusahaan yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam kegiatan operasionalnya saja yang dapat bertahan dan memenangkan persaingan global ini. Untuk mendukung kegiatan operasionalnya, setiap bentuk badan usaha yang ada saat ini, mulai dari yang berukuran kecil hingga yang berskala besar pasti akan memanfaatkan aset yang dimiliki. Aset merupakan sumber usaha yang dimiliki perusahaan. Perusahaan memanfaatkan aset guna menghasilkan produk dan penjualan. Pada dasarnya, aset dibagi menjadi dua kelompok, yakni aset lancar dan aset tidak lancar (aset tetap). Aset lancar adalah aset yang masa manfaatnya kurang dari satu periode, seperti kas/setara kas, piutang usaha/piutang dagang, persediaan, dan perlengkapan serta marketable securities. Sedangkan aset tetap merupakan aset yang masa manfaatnya lebih dari satu periode dan diharapkan mampu memberikan pengaruh baik dan/atau menguntungkan bagi perusahaan, contoh aset tidak lancar antara lain gedung, paten, goodwill, dan mesin. Dalam kelompoknya, aset tetap dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni aset berwujud dan aset tidak berwujud. Aset berwujud adalah aset yang secara fisik dapat dilihat keberadaannya dan sifatnya relatif permanen serta memiliki masa kegunaan yang relatif panjang. Contoh aset berwujud adalah peralatan, tanah, dan kendaraan. Berbeda dengan aset tidak berwujud, merupakan aset yang tidak memiliki wujud fisik dan dihasilkan akibat dari sebuah kontrak hukum, ekonomi, maupun kontrak sosial. Contoh dari aset tidak berwujud antara lain: paten, trademark, franchise, dan goodwill. Kegiatan operasional perusahaan tidak lepas dari aset tetap, karena aset tetap merupakan sumber atau harta berwujud yang memberikan manfaat jangka panjang (lebih dari satu periode). Sifat manfaat yang diberikan oleh aset tetap umumnya semakin lama semakin menurun, terkecuali manfaat yang diberikan oleh tanah dan yang mana semakin lama semakin meningkat. Perusahaan harus mengetahui apakah pengeluaran ditujukan untuk aset atau beban yang dapat berpengaruh pada hasil operasi yang dilaporkan oleh perusahaan. Aset tetap memiliki nilai material yang cukup tinggi sehingga perusahaan juga membutuhkan menajemen aset dan mengevaluasi kinerja aset perusahaan agar penggunaan aset tersebut dapat meningkatkan kontribusi yang signifikan terhadap modal, sumber daya, produktifitas, dan output yang berkualitas. Manajemen aset ditujukan dalam hal peningkatan pengawasan aktiva tetap dan revaluasi berbasis nilai pasar. Banyak faktor eksternal yang dapat mempengaruhi penilaian aset tetap sehingga perusahaan perlu melakukan penilaian kembali ketika perusahaan akan melakukan tindakan-tindakan tertentu yang membutuhkan data yang lebih valid dan dapat diandalkan. Nilai material yang dimiliki oleh aset tetap tentunya mempunyai hubungan yang erat terhadap kinerja perusahaan. Pasalnya, apabila aset tetap yang dimiliki perusahaan dalam kondisi baik dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka diharapkan dapat menghasilkan output yang baik dan berkualitas. Di sisi lain, merupakan kewajiban dari pihak manajemen untuk mampu mengatur, memanfaatkan, dan memelihara aset tersebut agar dapat berfungsi sesuai dengan kapasitasnya dan mampu memaksimalkan hasil yang diharapkan. Output yang baik dan berkualitas akan menarik minat pasar untuk menggunakan produk dan/atau jasa yang perusahaan produksi. Peningkatan permintaan dan penawaran di pasar tentunya memungkinkan meningkatkan laba yang akan diperoleh perusahaan. Maka dari itu, perusahaan harus mampu mendeteksi dan mengukur nilai material yang dimiliki oleh setiap asetnya guna memaksimalkan kinerja dan laba. Dalam melakukan kegiatan penilaian atas suatu aset, tentunya terdapat standar – standar atau pedoman yang harus diikuti oleh perusahaan. Hal tersebut perlu dilakukan agar perusahaan dapat mengukur nilai aset sesuai dengan nilai pasar dan terdapat keseragaman pada semua perusahaan/entitas. Pedoman bagi setiap entitas terkait kegiatan pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan aset tetap adalah PSAK No.16 tentang Aset Tetap. PSAK No.16 pertama kali diberlakukan pada tahun 1994 dan mengalami
revisi pada tahun 2007. Perubahan standar pencatatan laporan keuangan akan menimbulkan dampak yang signifikan dalam menghitung pembukuan perusahaan, baik bagi perusahaan itu sendiri, investor, maupun pemerintah. Terkait dengan ketentuan yang harus diterapkan dalam laporan keuangan perusahaan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) selaku badan yang berwenang dalam melakukan perubahan terhadap Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), mengeluarkan revisi terhadap PSAK No.16 tahun 2007 mengenai Aktiva Tetap dan Aktiva Lain-lain, dan menggantinya menjadi PSAK No.16 (Revisi 2011). PSAK terkait Aktiva Tetap tahun 2007 mengatur perlakuan akuntansi terhadap suatu aset tetap yang tersedia untuk dijual, namun pada PSAK No.16 (Revisi 2011), pengaturan aset tetap yang tersedia untuk dijual telah dihapus karena sudah diatur dalam PSAK No.58 (Revisi 2009): Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan. Apabila ada penyimpangan dari ketentuan ini, perusahaan harus memberikan penjelasan dalam laporan keuangan mengenai penyimpangan atas konsep harga perolehan tersebut, memberitahukan dampak terhadap gambaran keuangan perusahaan, serta harus dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Terkait dengan perubahan yang terjadi pada ketentuan pencatatan laporan keuangan, tentu saja ada perubahan yang terjadi pada penerapan dan pengungkapan yang harus dilakukan oleh perusahaan, baik secara teoritis maupun praktik karena hal ini sangat berkaitan dengan keandalan suatu laporan keuangan agar tidak terjadi misinterpretation yang mana sangat berkaitan terhadap kebutuhan informasi para stakeholders. Setiap perusahaan dapat mengestimasi masa manfaat dari suatu aset. Nilai ekonomis dan nilai guna suatu aset atau peralatan tentunya akan mengalami penurunan seiring dengan frekuensi penggunaan, keusangan dan keausan dari aset tersebut. PT. Dwi Putra Jasa Prima selaku perusahaan yang bergerak dalam bidang labor & equipment supply tentunya membutuhkan aset yang dapat menunjang operasional dan peningkatan mutu karyawannya. Pelatihan yang dilakukan oleh PT. Dwi Putra Jasa Prima melibatkan peralatan – peralatan yang digunakan oleh karyawan yang akan mengemban tugas di perusahaan klien PT. Dwi Putra Jasa Prima seperti komputer, vacuum cleaner, dan polisher. Sampai dengan saat ini, aset yang dimiliki oleh PT. Dwi Putra Jasa Prima adalah 75% dari total aset yang dimiliki. Tentunya banyak aset atau peralatan yang dapat diteliti terkait dengan apakah nilai yang dimiliki oleh PT. Dwi Putra Jasa Prima telah sesuai dengan prosedur pengungkapan dan pencatatan pada PSAK 16 (Revisi 2007) atau belum. Dengan adanya revisi – revisi terkait dengan standar akuntansi, perusahaan harus dengan segera menyesuaikan dengan standar keuangan yang berlaku saat ini. PT. Dwi Putra Jasa Prima sebagai perusahaan dengan ukuran menengah membutuhkan standar – standar akuntansi yang lebih memadai guna meningkatkan keandalan laporan keuangan dan pencatatan lainnya sehingga perusahaan mampu menarik minat investor, terlebih lagi PT. Dwi Putra Jasa Prima belum menerapkan PSAK No. 16. Sebagai perusahaan dengan ukuran menengah, PT. Dwi Putra Jasa Prima belum go public dan belum pernah dilakukannya audit yang mana hal tersebut sangatlah penting bagi suatu entitas guna mengetahui aliran – aliran dana, alokasi dana, maupun pencatatan lainnya karena sangat berkaitan erat dengan akuntabilitas laporan keuangan yang mana sangat dibutuhkan bagi para pembaca laporan keuangan, khususnya para investor. Dengan datangnya pemegang – pemegang saham baru pada PT. Dwi Putra Jasa Prima dapat memungkinkan terjadinya ekspansi bidang usaha lainnya dan perusahaan dapat menjadi perusahaan yang lebih besar dan dipercaya oleh pihak internal dan eksternal. PT. Dwi Putra Jasa Prima membutuhkan standar perhitungan terkait aset tetap guna memastikan nilai dan masa manfaatnya yang terkait erat sebagai penunjang operasional perusahaan dan kelangsungan hidup perusahaan. Tentunya setiap perusahaan memiliki kebijakan akuntansi yang berbeda dalam mengakui, menghitung masa manfaat, penyusutan dan pencatatan serta pengungkapan asetnya. Namun dengan adanya PSAK No.16 diharapkan terdapat keseragaman dalam menghitung masa manfaat, penyusutan, pencatatan dan penyajian aktiva tetap perusahaan. Sehubungan dengan hal – hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka ditentukan bahwa rumusan masalah yang menjadi bahan dalam penulisan laporan ini adalah apakah penerapan akuntansi terkait aset tetap pada PT. Dwi Putra Jasa Prima telah sesuai dengan PSAK No.16 (revisi 2007) dalam aktivitas akuntansi terkait aset tetap (meliputi pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan terkait aset tetap), bagaimana perlakuan akuntansi yang diterapkan oleh PT. Dwi Putra Jasa Prima terkait aset tetap, serta apakah dampak dari implementasi PSAK No.16 (revisi 2007) terhadap laporan keuangan PT. Dwi Putra Jasa Prima. Dari penelitian tersebut, diharapkan dapat mengetahui bagaimana perusahaan menyikapi revisi PSAK No.16 tahun 2007 terhadap laporan keuangannya, dan bagaimana dampaknya kepada perusahaan, sehingga apabila ditemukannya ketidaksesuaian dengan standar yang berlaku, maka skripisi ini dapat memberikan masukan kepada perusahaan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan akuntansi aset tetap pada PT. Dwi Putra Jasa Prima apakah telah sesuai dengan PSAK No.16
(revisi 2007), untuk mengetahui manfaat dari penerapan PSAK No.16 (revisi 2007), dan untuk menganalisis dampak pengimplementasian PSAK No.16 (revisi 2007) terhadap laporan keuangan perusahaan.
Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti antara lain: pendekatan yang gunakan adalah pendekatan naturalis (penelitian kualitatif) merupakan pendekatan yang umumnya tidak menggunakan struktur karena bertujuan untuk menemukan teori, hipotesis dijelaskan hanya secara implisit. Dalam penelitian kualitatif ini, penulis melibatkan sebuah objek yang merupakan suatu perusahaan. Menggunakan metode eksplorasi dengan mengumpulkan, menggali dan menganalisis data – data yang diberikan oleh objek penelitian. Menggunakan riset deskriptif,, dimaksudkan untuk menyajikan gambaran lengkap mengenai kondisi dan/atau hubungan antara fenomena yang terjadi pada objek penelitian. Dalam tugas akhir ini, penulis hanya melakukan penelitian di satu perusahaan saja, dimana data penelitian yang diperoleh merupakan data primer atau data yang belum diolah oleh pihak lainnya (data langsung perusahaan). Dalam mengumpulkan data, melakukan survey ke lokasi penelitian secara langsung dengan mendatangi perusahaan yang akan dijadikan sebagai objek penelitian. Lingkungan yang akan diteliti merupakan lingkungan riil, yakni keberadaan perusahaan adalah benar adanya dan sesuai dengan data yang diberikan oleh perusahaan. Unit analisis yang digunakan adalah individual. Untuk memperoleh data lebih lanjut atau data tambahan yang belum disertakan dalam laporan keuangan adalah dengan cara wawancara kepada individu yang terkait langsung pada objek penelitian.
Hasil dan Bahasan Berdasarkan data yang diperoleh dari PT. Dwi Putra Jasa Prima, harga perolehan yang diakui oleh PT. Dwi Putra Jasa Prima adalah harga pokok aset hanya ditambah dengan beban bunga. Perusahaan mengakui aset tersebut cukup dengan tercatatnya harga pokok aset dan bunga yang dikenakan atas adanya transaksi kredit. Sedangkan untuk biaya yang dapat diatribusikan secara langsung seperti biaya pengangkutan, biaya instalasi, dan lainnya, dimasukkan ke dalam biaya lain – lain. Menurut PSAK No.16 (revisi 2007), biaya perolehan aset tetap meliputi bea impor dan pajak pembelian yang tidak boleh dikreditkan, biaya pengangkutan aset ke lokasi, biaya pembongkaran dan pemindahan aset tetap dan restorasi aset. Biaya – biaya tersebut harus diakui karena perusahaan menggunakan aset tersebut selama periode tertentu untuk tujuan selain untuk menghasilkan persediaan. Dalam pencatatan dan/atau pengklasifikasian biaya – biaya perolehan (atribusi) PT. Dwi Putra Jasa Prima belum mengikuti standar yang diberlakukan PSAK No.16 (revisi 2007). Biaya pengangkutan, pajak, dan instalasi seharusnya dijadikan sebagai harga perolehan suatu aset yang dibeli. Berdasarkan kebijakan akuntansi yang dikemukakan perusahaan kepada peneliti, perusahaan menggunakan metode biaya dalam melakukan pengukuran aset yang diperolehnya. Namun, sehubungan dengan perusahaan belum menerapkan pengalokasian secara tepat terhadap biaya – biaya perolehan aset, sehingga hal tersebut akan secara langsung mempengaruhi kepada pengukuran aset karena biaya perolehan yang akan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi penurunan nilai adalah tidak andal untuk digunakan sebagai data dalam pencatatan nilai ekonomis suatu aset. Perusahaan yang memasukkan biaya pengangkutan dan biaya instalasi tentunya memiliki harga perolehan yang lebih tinggi, sehingga pada saat diukur, aset tersebut akan memiliki nilai yang lebih menguntungkan bagi perusahaan apabila biaya – biaya tersebut dimasukkan sebagai biaya perolehan. Berdasarkan aspek tersebut, perusahaan belum secara maksimal menerapkan cost method karena adanya pengaruh dari salahnya alokasi biaya – biaya perolehan yakni tidak dimasukkan sebagai biaya perolehan aset, namun penggunaan rumus cost method oleh perusahaan sudah benar yaitu dengan rumus: biaya perolehan – (akumulasi penyusutan + akumulasi penurunan nilai). Berbagai metode penyusutan dapat digunakan oleh perusahaan untuk mengalokasikan jumlah yang disusutkan secara sistematis dari suatu aset selama umur masa manfaatnya. Metode tersebut antara lain: metode garis lurus (straight line method), metode saldo menurun (diminishing balance method), dan metode jumlah unit (sum of the unit method). Metode yang diterapkan oleh perusahaan harus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Banyak perusahaan yang menerapkan metode garis lurus dikarenakan mudah pengimplementasiannya. PT. Dwi Putra Jasa Prima menyatakan bahwa mereka menerapkan metode garis lurus. Penulis menemukan kecanggungan dalam metode penyusutan yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam menghitung nilai akumulasinya, perusahaan tidak menyertakan masa manfaat suatu aset. Perusahaan langsung mengalikan harga perolehan aset dengan tarif penyusutan dan tidak menghitung dari harga perolehan per unitnya, melainkan total harga perolehan dari tiap kelompok aset. Perusahaan menerapkan metode tersebut untuk tahun fiskal.
Tabel 1 Penyusutan Aset Tetap Tahun 2011
No 1 2 3 4 5
Uraian Gedung Peralatan Kantor Peralatan Lapangan Mesin Workshop Kendaraan Jumlah
Unit 2 34 25 1 6
Kel. 2 2 2 2 2
Tarif 12.50% 12.50% 12.50% 12.50% 12.50%
Nilai Perolehan 172,500,000 41,500,000 19,754,000 214,245,000 639,630,000 1,087,629,000
Tahun 2004 2010 2010 2011 2010
Penyusutan 10,781,250 5,187,500 2,469,250 26,780,625 79,953,750
Nilai Buku 161,718,750 36,312,500 17,284,750 187,464,375 559,676,250
125,172,375
962,456,625
Berdasarkan tabel yang disajikan, terlihat perusahaan tidak menerapkan metode garis lurus secara tepat. Perusahaan tidak menghitung besarnya penyusutan secara unit per unit (spesifik), namun total jumlah unit. Nilai yang akan dihasilkan tidak dapat diandalkan karena aset – aset yang dibeli berasal dari tahun yang berbeda – beda, sedangkan perusahaan hanya mencantumkan tahun berdasarkan banyaknya rata – rata aset tersebut dibeli. Suatu aset dapat disusutkan berdasarkan besarnya harga perolehan, estimasi nilai sisa, dan masa manfaat. Masa manfaat suatu aset sangat berpengaruh terhadap perhitungan penyusutan. Perusahaan harus secara tepat menentukan estimasi masa manfaat aset yang dimiliki. Umur ekonomis (masa manfaat) suatu aset dapat dinyatakan baik berdasarkan estimasi waktu dan penggunaan. Faktor waktu dapat berupa periode bulanan atau tahunan, sedangkan penggunaan dapat berupa jam operasional dan jumlah output yang dihasilkan oleh aset tersebut. Berdasarkan waktu yang dilalui atau tingkat penggunaan inilah alokasi terhadap nilai perolehan aset dilakukan dengan suatu tarif alokasi yang telah ditetapkan oleh manajemen perusahaan. Cara penentuan estimasi masa manfaat adalah berdasarkan pertimbangan pribadi dari pihak manajemen (subyektif). Yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah mengalokasikan harga perolehan aset tetap ke setiap periode akuntansi di mana aset tetap tersebut telah memberikan kontribusi kepada perusahaan sehingga perusahaan dapat memberikan keterangan yang benar mengenai aset tetap yang dimilikinya dan laporan keuangan perusahaan dapat disajikan secara wajar dan andal. Metode penyusutan garis lurus lebih cocok untuk perusahaan yang frekuensi produksinya relatif stabil dari periode ke periode. Sehingga yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah melihat produksi yang dihasilkan tiap periodenya agar dapat memilih metode penyusutan yang lebih tepat, apabila produksi relatif stabil, maka perusahaan lebih baik menggunakan metode garis lurus, apabila produksi atau kontribusi jasa yang diberikan aset relatif mengalami penurunan, maka perusahaan lebih baik menggunakan metode saldo menurun, dan apabila produksi dipengaruhi faktor frekuensi pengunaan relatif berfluktuasi, maka perusahaan sebaiknya menerapkan metode jumlah unit. Berdasarkan data yang diperoleh, perusahaan belum menerapkan metode garis lurus secara benar, karena dalam tabel penyusutan yang disajikan, perusahaan menyatukan tahun perolehan untuk aset yang sejenis. Sehingga penetapan masa manfaat yang dimiliki suatu aset belum teridentifikasi secara penuh oleh perusahaan. Sedangkan dalam tabel daftar kepemilikan aset tetap, perusahaan juga tidak mencantumkan bulan dan tahun perolehan aset, sehingga hal ini akan semakin menyulitkan bagi para pihak yang bersangkutan dan/atau pihak yang membutuhkan informasi terkait operasi dan kepemilikan aset perusahaan. Perusahaan mencatat penyusutan aset segera setelah aset tersebut dibukukan. Tabel penyusutan yang disajikan oleh perusahaan menyediakan data terkait aset yang disusutkan, antara lain meliputi: harga perolehan, tarif penyusutan, tahun perolehan, beban penyusutan, dan nilai buku aset yang disusutkan. Dalam perhitungannya, aspek – aspek yang dihitung dalam penyusutan adalah hanya harga perolehan dengan tarif penyusutan per tahunnya, tanpa menyertai masa manfaat yang dimiliki oleh aset. Nilai sisa yang dimiliki suatu aset perusahaan, merupakan cerminan nilai aset tersebut pada akhir masa manfaat. Suatu aset dapat memiliki nilai sisa dalam jumlah uang tertentu atau memiliki kemungkinan bahwa suatu aset memiliki nilai sisa sebesar nol apabila suatu aset melakukan produksi secara maksimal sehingga keausan aset sangat besar dan/atau keusangan aset dalam waktu yang sangat lama. Hal tersebut tidak menjadi masalah bagi perusahaan, namun langkah yang lebih baik adalah perusahaan dapat memperkirakan nilai sisa suatu aset yang telah habis masa manfaatnya agar perusahaan dapat menjual aset tersebut atau menukarnya dengan aset lain yang sejenis maupun tidak sejenis namun memiliki nilai ekonomis yang seimbang. Perusahaan melakukan penyusutan pada saat aset tersebut mulai digunakan untuk kegiatan operasional atau produksi perusahaan. Aset yang sudah digunakan berarti telah memakan energi dan biaya yang butuhkan untuk aset tersebut guna menghasilkan produk dan/atau jasa yang menjadi sumber
penghasilan perusahaan. Aset yang sudah digunakan juga memerlukan biaya terkait perawatan agar aktivitas operasi aset berjalan lancar sehingga tidak mengganggu kegiatan usaha perusahaan. PT. Dwi Putra Jasa Prima belum menerapkan revaluasi pada aset – aset yang dimilikinya. Perusahaan belum melakukan revaluasi pada aset yang memiliki tingkat perubahan harga yang cepat, stabil, maupun yang lambat. Perusahaan memilih model biaya karena sifatnya yang lebih mudah untuk digunakan dibandingkan dengan model revaluasi. Hal ini tidaklah menyalahi aturan PSAK No.16, karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, PSAK memberikan kebebasan kepada setiap entitas dalam menentukan model pengakuan biaya terhadap aset yang diakuisisinya. Apabila perusahaan mengubah kebijakan akuntansi dari model biaya ke model revaluasi dalam pengukuran aset tetap, maka perubahan tersebut berlaku prospektif. Selama masa manfaat suatu aset, tentunya membutuhkan biaya – biaya yang dikeluarkan untuk menunjang kelangsungan hidup aset tersebut, seperti reparasi, penambahan, dan/atau peningkatan kualitas aset. Reparasi biasanya dilakukan oleh perusahaan apabila suatu aset mengalami penurunan fungsi dari yang semestinya. Jumlah yang dikeluarkan relatif, bergantung pada kondisi mesin yang akan direparasi. Reparasi dengan biaya yang relatif kecil biasanya disebut sebagai perawatan/pemeliharaan (maintenance), yakni aktivitas rutin yang dilakukan perusahaan guna memelihara fungsi/kinerja yang diberikan oleh aset dalam membantu kegiatan operasional dan produksi perusahaan. Reparasi besar membutuhkan jumlah yang tidak sedikit, karena biasanya melibatkan komponen inti suatu aset yang mana sangat berpengaruh terhadap kinerja aset tersebut. Reparasi – reparasi tersebut sangat berpengaruh pada kegiatan penambahan dan peningkatan kualitas aset, karena terdapat benang merah antara reparasi – penambahan – peningkatan kualitas aset. Apabila suatu aset telah dilakukan reparasi, tentunya terdapat komponen – komponen aset yang harus diganti dan membeli komponen – komponen yang baru guna meningkatkan kualitas aset yang dimiliki. Pada laporan keuangan rugi laba, PT. Dwi Putra Jasa Prima memasukkan akun biaya reparasi, pemeliharaan, renovasi ke dalam akun yang namakan sebagai “biaya kelengkapan dan peralatan”. Alasan perusahaan penggunaan nama akun “kelengkapan dan peralatan” adalah segala hal – hal yang berhubungan dengan kebutuhan aset yang dimiliki mampu meningkatkan kelengkapan fungsi dan kelengkapan kebutuhan perusahaan dan peralatan yang yang dimanfaatkan oleh perusahaan. Kebutuhan (reparasi, pemeliharaan, renovasi) aset yang dimaksud perusahaan tidak terpatok pada “peralatan” saja, kebutuhan aset lain seperti tanah, gedung, mesin, dan kendaraan juga dimasukkan ke dalam akun “biaya kelengkapan dan peralatan”. Aset – aset yang telah disusutkan secara penuh dengan masa manfaat telah habis maka akan dihentikan operasinya dan diganti dengan aset baru yang sejenis maupun tidak sejenis selama aset baru tersebut mampu menunjang kegiatan usaha perusahaan. Suatu aset harus dihentikan penggunaannya apabila aset tersebut sudah tidak memberikan manfaat bagi perusahaan di masa yang akan datang. Aset yang sudah tidak memberikan manfaat bagi perusahaan akan dilepaskan kepemilikannya dengan cara dijual atau dengan cara pertukaran aset. Apabila suatu aset memenuhi kriteria penghentian aset maka perusahaan harus segera melakukan penghentian aset yang mana berpengaruh erat pada kinerja perusahaan, pengeluaran, dan nilai aset tersebut. Jumlah tercatat aset tetap dihentikan pengakuannya pada saat aset dilepaskan kepemilikannya atau tidak ada manfaat ekonomis masa depan yang diharapkan dari penggunaannya. Laba atau rugi yang timbul dari penghentian pengakuan aset harus dimasukkan dalam laporan laba rugi pada saat aset tersebut dihentikan pengakuannya (kecuali PSAK No.30 mengharuskan perlakuan yang berbeda dalam hal transaksi jual dan sewa – balik). Laba tidak boleh diklasifikasikan sebagai pendapatan. Pelepasan aset tetap dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan dijual, disewakan (leasing), atau dihibahkan. Dalam menentukan tanggal pelepasan aset, perusahaan perlu menerapkan PSAK No.23: Pendapatan, untuk mengakui pendapatan dari penjualan barang. PSAK No.30 diterapkan untuk pelepasan melalui menjual dan sewa – balik. Untuk aset yang sudah dihentikan penggunaannya tapi depresiasi belum habis (belum disusutkan secara penuh) maka aset tersebut tidak akan memberikan keuntungan bagi perusahaan pada saat aset tersebut dilepaskan kepemilikannya. Pasalnya, aset tersebut sudah tidak memberikan kontribusinya kepada perusahaan (perusahaan tidak menerima manfaat dari aset) dan adanya biaya – biaya depresiasi aset tersebut yang masih harus dikeluarkan oleh perusahaan di masa yang akan datang serta semakin menurunnya nilai aset tersebut bahkan terdapat kemungkinan aset tersebut tidak memiliki nilai jual. Apabila suatu aset memenuhi kriteria penghentian aset maka perusahaan harus segera melakukan penghentian aset agar tidak mengalami kerugian yang lebih besar. PT. Dwi Putra Jasa Prima belum pernah mengalami penghentian suatu aset pada kondisi penyusutan belum dilakukan secara penuh. Di samping dijual atau dibuang, suatu aset dapat dihentikan penggunaannya dengan cara ditukar dengan aset lainnya. Pertukaran ini dapat terjadi pada aset yang sifatnya sejenis maupun tidak sejenis. Pertukaran aset mencakup konteks komersial dan tidak komersial. Suatu pertukaran dikatakan tidak komersial apabila aset yang dipertukarkan tidak melibatkan penyerahan sejumlah kas dan/atau aset yang dipertukarkan memiliki harga pasar yang seimbang/impas. Sedangkan, pertukaran aset yang komersial melibatkan sejumlah uang yang diserahkan atau diterima yang mana dapat mempengaruhi risiko, waktu,
dan arus kas perusahaan. Namun, terdapat pula pertukaran aset yang melibatkan penyerahan sejumlah kas tapi dianggap sebagai pertukaran aset yang tidak komersial, hal ini dapat terjadi apabila kas yang terlibat jumlahnya tidak banyak dan tidak memiliki dampak signifikan terhadap perusahaan. Berdasarkan informasi dan data yang diperoleh, PT. Dwi Putra Jasa Prima belum pernah melakukan pertukaran aset dalam bentuk apapun semenjak perusahaan didirikan, baik pertukaran sejenis maupun tidak sejenis, serta belum membuat kebijakan terkait pada pertukaran aset tetap. PT. Dwi Putra Jasa Prima tidak dan/atau belum pernah melakukan pertukaran aset dikarenakan oleh pemanfaatan maksimal atas suatu aset. Misal, apabila suatu aset masih bisa dipakai meskipun masa manfaat yang diestimasi telah berakhir, maka perusahaan akan tetap menggunakan aset tersebut sampai aset benar – benar tidak memberikan manfaat terhadap perusahaan. Hal tersebut tidaklah bertolak belakang dengan PSAK yang berlaku tetapi hal tersebut akan mempengaruhi operasi dan kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan mungkin akan menurun karena tidak didukung dengan aset yang bekerja optimal sehingga dapat menimbulkan kerugian tersendiri bagi perusahaan. Oleh karena itu, untuk memberikan contoh atas pertukaran aset yang mungkin dapat terjadi. Penulis menggunakan data aset yang dimiliki perusahaan sebagai gambaran yang jelas apabila perusahaan benar – benar melakukan pertukaran aset tidak sejenis maupun sejenis. Aset tetap akan disajikan pada laporan keuangan komperhensif dan/atau neraca (laporan posisi keuangan). Pada laporan posisi keuangan, aset yang dimiliki oleh perusahaan (aset lancar dan tidak lancar) disajikan secara terpisah. Perusahaan menyajikan terlebih dahulu aset – aset yang memiliki sifat likuiditas cepat, selanjutnya perusahaan menyajikan aset tidak lancar (aset tetap). Pada laporan posisi keuangan, perusahaan tidak menyajikan akun akumulasi depresiasi pada sisi aset tetap. Jumlah/nilai aset tetap yang disajikan pada laporan posisi keuangan merupakan nilai bersih atas aset – aset tetap tersebut pada tahun pelaporan, yakni setelah harga perolehan dikurangi beban penyusutan, atau disebut dengan nilai buku. Nilai aset tetap pada neraca merupakan cerminan hasil perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode garis lurus yang diterapkan oleh perusahaan. Terkecuali untuk tanah, perusahaan masih mencatat seharga nilai perolehan karena perusahaan belum pernah melakukan revaluasi atau penilaian kembali nilai tanah. Beban penyusutan akan disajikan pada laporan rugi laba perusahaan. Beban penyusutan pada laporan rugi laba PT. Dwi Putra Jasa Prima ditulis dengan menggunakan akun “biaya kelengkapan dan peralatan”. Beban penyusutan akan mengurangi laba kotor yang dihasilkan oleh perusahaan. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada PT. Dwi Putra Jasa Prima, perusahaan belum melakukan penghitungan beban penyusutan yang diakuinya adalah metode garis lurus. Dalam perhitungannya, perusahaan tidak melibatkan masa manfaat aset melainkan hanya menghitung berdasarkan tarif penyusutan. Tarif penyusutan yang ditetapkan perusahaan tidak membedakan jenis aset tetapnya. Perusahaan melakukan perhitungan penyusutan selama aset tetap masih dapat memberikan kontribusinya pada perusahaan. Setiap aset tetap perlu dikenakan tarif penyusutan sesuai dengan porsinya. Porsi yang dimaksud adalah seberapa besar aset tersebut memberikan kontribusinya kepada perusahaan, apakah aset tersebut mempengaruhi kinerja dan output perusahaan atau tidak, dan perlunya penyesuaian terhadap harga perolehan aset tetap serta dipengaruhi estimasi masa manfaat yang akan diberikan oleh aset tetap tersebut. Di sisi lain, perusahaan juga menggunakan istilah “biaya”, bukan “beban”. Seharusnya perusahaan menggunakan istilah “beban” karena penyusutan merupakan pengeluaran yang harus dilakukan oleh perusahaan secara rutin/periodik. Biaya merupakan pengeluaran perusahaan yang sifatnya tidak menentu atau tidak rutin. Hal ini dapat menyebabkan salah penyerapan informasi bagi pemegang kepentingan laporan keuangan. Terkait kesesuaian dan ketidaksesuaian pengungkapan yang dilakukan perusahaan dalam laporan keuangan dengan standar pengungkapan PSAK No.16 (revisi 2007) di atas, maka perusahaan belum melakukan kesesuaian pengungkapan terhadap dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto, umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan, penyusutan, dan rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode.
Simpulan dan Saran Berdasarkan penelitian dan pengolahan data yang dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari PT. Dwi Putra Jasa Prima, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Pengakuan yang dilakukan oleh PT. Dwi Putra Jasa Prima telah sesuai dengan PSAK No.16 (revisi 2007). Perusahaan mengakui aset sebagai aset yang dimiliki dengan ketentuan bahwa aset yang dimiliki atau yang diperoleh adalah aset yang memiliki masa manfaat dan memberikan manfaat ekonomis kepada perusahaan lebih dari satu periode, dan mampu mendukung kegiatan operasional perusahaan, baik yang rutin maupun tidak rutin. 2. Pada pengukuran aset tetap, PT. Dwi Putra Jasa Prima telah sesuai dengan model biaya pada PSAK No.16 (revisi 2007) dimana aset yang diakui, diukur, dan dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai. Namun, ada hal yang membuat model
pengukurannya kurang sesuai dengan ketentuan PSAK No.16 (revisi 2007) karena biaya perolehan aset tidak meliputi biaya instalasi, ongkos angkut, pajak, dan lainnya. Harga perolehan aset tetap yang diakui hanya didasari pada harga pokok aset terkait dan beban bungan kredit, jika ada. Biaya – biaya yang dapat diatribusikan pada perolehan aset, tidak dimasukkan sebagai harga perolehan aset tersebut sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi harga perolehan aset yang mana aset yang diakui akan lebih kecil jumlahnya dibandingkan dari yang seharusnya. Hal ini pun akan berdampak pada penyusutan karena beban penyusutannya akan lebih 3. Kebijakan metode penyusutan yang dilakukan oleh perusahaan belum sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam PSAK No.16 (revisi 2007). Meskipun perusahaan mengakui bahwa metode penyusutan yang digunakan adalah metode garis lurus, namun dalam cara menghitung beban penyusutannya belum tepat karena tarif penyusutan yang kenakan adalah sama rata untuk semua kelompok aset, tanpa menyesuaikan masa manfaat yang dimiliki aset sehingga tidak sesuai dengan porsi tarif penyusutannya. Salahnya penentuan masa manfaat dan/atau tarif penyusutan dapat berdampak besar pada beban penyusutan, sehingga data penyusutan yang disajikan tidaklah akurat yang mana dapat menyebabkan pembaca laporan keuangan akan memperoleh informasi yang kurang akurat, terlebih lagi bagi pemegang saham yang sangat membutuhkan informasi terkait posisi investasinya. 4. PT. Dwi Putra Jasa Prima belum melakukan kesesuaiannya dengan PSAK No.16 (revisi 2007) terkait pengungkapan aset tetap pada laporan keuangan perusahaan. Pasalnya, perusahaan hanya menyajikan kebijakan akuntansi yang diterapkan oleh perusahaan pada bagian catatan – catatan laporan keuangan terkait aset tetap. Perusahaan tidak mengungkapkan hal – hal penting yang perlu diungkapkan dalam catatan laporan keuangan, seperti penamban aset, aset diklasifikasi sebagai tersedia untuk dijual atau termasuk dalam kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual sesuai dengan paragraf 45 dan/atau pelepasan lainnya, akuisisi penggabungan usaha, maupun hal penting lainnya. Adapun hal – hal yang diungkapkan sesuai dengan PSAK No.16 (revisi 2007) adalah terkait dengan dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah tercatat bruto, umur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan, penyusutan, dan rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode. Pengungkapan juga bersifat sangat penting karena berkenaan erat pula dengan informasi pembaca laporan keuangan, terutama pemegang saham. Mereka dapat mengetahui perubahan – perubahan terkait aset tetap dan posisi investasinya. Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan dan penarikan simpulan, maka peneliti dapat memberikan saran – saran yang sekiranya memiliki manfaat bagi kemajuan dan perkembangan PT. Dwi Putra Jasa Prima antara lain: 1. Pihak manajemen perlu memperhatikan dan menyadari terhadap perkembangan standar – standar akuntansi yang berlaku di Indonesia. Dengan menerapkan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia, maka laporan keuangan perusahaan akan memiliki tingkat keandalan yang baik sehingga dapat menarik investor untuk dapat menanamkan modalnya pada perusahaan. 2. Terkait PSAK No.16 (revisi 2007) untuk pengakuan aset tetap, perusahaan hendaknya memasukkan biaya instalasi, ongkos angkut, pajak, dan biaya lainnya. Berkaitan dengan pengakuan, pengukuran aset tetap juga perlu diperbaiki cara perhitungannya dengan menyertakan biaya instalasi, ongkos angkut, pajak, dan biaya lainnya terkait harga perolehan aset tetap. 3. Manajemen perlu memperbaiki pola perhitungan pembelian secara kredit dengan memasukkan tingkat bunga kredit, uang muka, dan masa angsuran. Untuk lebih lanjut, perusahaan dapat menerapkan PSAK No.30 tentang sewa. 4. Manajemen perlu memperhatikan metode garis lurus yang diterapkan dengan metode garis lurus yang berlaku secara umum sehingga metode penyusutan yang digunakan sesuai dan memiliki kesamaan/keseragaman dengan entitas lainnya. 5. Pihak manajemen perlu dengan cermat dan teliti mengestimasi masa manfaat suatu aset tetap dengan mempertimbangkan fungsi aset tetap, tingkat/frekuensi penggunaan, dan faktor lain terkait keausan aset tetap. 6. Dalam menentukan dan menggunakan tarif penyusutan, pihak manajemen perlu mempertimbangkan masa manfaat tiap kelompok aset tetap secara tepat sehingga aset tetap yang disusutkan memperoleh tarif penyusutan sesuai dengan porsinya. 7. Manajemen perlu menambahkan/melengkapi kebijakan – kebijakan akuntansi terkait aset tetap agar perusahaan memiliki pedoman untuk setiap aktivitas yang berkaitan dengan aset tetap sehingga memperoleh perlakuan yang tepat.
Referensi Dewan Akuntan Indonesia. (2011). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan: Aset Tetap. Jakarta: Penerbit Ikatan Akuntan Indonesia.
Domnisoru S. & Vînatoru S. (2008). The Financial Audit Complexity of The Fixed Assets. (Online), No. 11, Issue 4. (http://search.proquest.com, diakses 22 Agustus 2012) Hery. (2011). Akuntansi: Aktiva, Utang, dan Modal. Yogyakarta: Penerbit Gava Media. Hery. (2012). Pengantar Akuntansi 1. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kieso, D. E., Weygandt, J. J., & Walfried, T. D. (2011). Intermediate Accounting: IFRS Edition. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc. Lam, N., & Lau, P. (2009). Intermediate Financial Reporting: An IFRS Perspective. Singapore: Mc Graw Hill. Setiawan, T. (2012). Akuntansi: Materi Pendalaman. Jakarta: Penerbit Bhuana Ilmu Populer. Surya, R. A. S. (2012). Akuntansi Keuangan Versi IFRS. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Weygandt, J. J., Kieso, D. E., & Kimmel, P. D. (2009). Accounting Principles. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc. Weygandt, J. J., Kieso, D. E., & Kimmel, P. D. (2011). Financial Accounting: IFRS Edition. Hoboken: John Wiley & Sons, Inc.
Riwayat Penulis Melisa Rahma Sari lahir di kota Serang pada 14 Juni 1990. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Ekonomi Akuntansi pada 2013.