Melihat Sejarah Dari Perspektif Ilmu Komunikasi: Sebuah Studi Awal Tentang Kegagalan Propaganda Gerakan 3 A Arif Pradono 1 Abstract: The steps of 3A Movement as a political propaganda movement were failure when it is seen from the theory of mass communication. The Japanese colonial realized that if they w ant to mobilize Indonesian people, they have to use national prominent figures before war. No sooner w as the 3A Movement dismissed than the Japanese colonial government built a new body, called PUTERA. PUTERA w as led by four popular figures at the time, namely Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dew antara dan KH. Mas Mansoer. Kata Kunci: Gerakan 3A, PUTERA, Sejarah, Komunikasi Massa
A. Pendahuluan Tradisi intelektual sejarawan Indonesia dapat dilacak pada Seminar Sejarah Pertama di Yogyakarta pada tahun 1957 . Dari sinilah “nasionalisasi” atau “pribumisasi” historiografi Indonesia dimulai untuk kemudian melewati diskusi y ang berkelanjutan hingga tahun 197 0 mengenai pertany aan tentang pertama, Neerlandocentrisme dan Indonesiacentrisme -bagaimana meletakkan tekanan pada peranan sejarah orang Indonesia dalam sejarah Indonesia-, dan kedua, tentang objektifitas dan subjektifitas dalam historiografi, suatu perluasan dari pertanyaan pertama. Di tengah rentang waktu tersebut terdapat buku y ang barangkali paling dahulu berpengaruh dan menjadi landasan intelektual y ang penting y aitu publikasi Soedjatmoko, An Introduction to Indonesian Historiography (1965), yang memuat berbagai keterangan mengenai sumber sejarah dan sumbangan berbagai disiplin untuk penulisan sejarah.2 Pada Seminar Sejarah Nasional Kedua tahun 1 97 0, beberapa makalah sudah menunjukkan minat y ang besar pada pendekatan ilmu sosial dan analitik, 1 Arif Pradono adalah mahasiswa S2, Komunikasi Politik, Universitas Paramadina Jakarta 2 Bagian Pendahuluan dalam tulisan ini, penulis seb agian b esar mengutipnya dari dua buku Kuntowijoyo yaitu (1) Metodologi Sejarah dan (2) Penjelasan Sejarah. Tentu dengan memasukkan pula sudut pandang penulis di dalamnya (Lihat, Kuntowijoyo, 2003 dan Kuntowijoyo, 2008).
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 117
dengan memakai teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadian-kejadian sejarah. Meski begitu, sesungguhnya baru pada Seminar Sejarah Nasional Ketiga tahun 1981 tantangan ke arah sejarah dengan pendekatan ilmu sosial, terjawab. Bany ak sejarawan maju dengan tujuan sejarah interdisipliner. Sejarah revolusi misalny a, bukan lagi semata-mata sejarah kepahlawanan dan kejadian besar tetapi juga studi tentang kelas sosial, konflik sosial bahkan tentang perbanditan. Dari sini kemudian berkembang ragam studi sejarah y ang kian terspesialisasi. Dalam buku Metodologi Sejarah, Kuntowijoyo mengulas ragam studi sejarah dimaksud dalam bab-bab tersendiri : sejarah lisan, sosial, kota, pedesaan, ekonomi pedesaan, wanita, kebudayaan, agama, pemikiran, biografi, kuantitatif, mentalitas dan politik. Di luar itu, Kuntowijoyo mengakui sebagai kelemahan bukunya, ia tidak membicarakan ragam studi sejarah lainnya yang masih banyak : sejarah intelektual, moralitas, keluarga, kesehatan, diplomasi, perang, psikohistori (biografi dengan pendekatan psikoanalisis), dan prosopografi (biografi kolektif). Dalam kaitan antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial, pada bukunya y ang lain berjudul “Penjelasan Sejarah (Historical Explanation)”, penulis yang sama menulis pula bahwa kooperasi antara ilmu sejarah dan ilmu sosial bisa saja tampak sebagai kontradiksi. Sejarah berhubungan dengan gejala yang unik, sekali terjadi, dan terikat dengan konteks waktu dan tempat. Sementara ilmu sosial berusaha mencari hukum umum, terjadi berulang dan lepas dari konteks waktu dan tempat. Sejarawan membicarakan “revolusi Indonesia”, ilmuwan sosial membicarakan “revolusi”. Selain itu, kontradiksi semu juga terjadi karena sejarah itu diachronic, sedangkan ilmu sosial synchronic. Namun sejak The New History (1 912)3 dalam historiografi Amerika dan Annales d’Histoire Economic et Sociale (1 929)4 dalam his3 New History dipelopori oleh sejarawan Amerika, Frederick Jackson Turn er, yang melan carkan kecaman terh adap sejarah tradisional pada decade 1890-an. Pad a tahun 1912 muncul sejarawan James Harvey Robinson yang menganjurkan pemakaian ilmu sosial dalam penulisan sejarah.Dalam new history terdapat reapprochment antara sejarah dan ilmu-ilmu sosial.Sebelumnya historiografi Amerika didominasi oleh aliran Rankean yang menekankan p ada sejarah faktual. Maka dengan mulai berkembangnya pemakaian ilmu sosial dalam sejarah, b erkembang jugalah tema-tema b aru dengan tema-tema yang lebih beragam sep erti sejarah pertanian, sejarah wanita, dan sebagainya. Robinson menggagas konsep sejarah baru, yakni sejarah yang berbicara tentang semua kegiatan manusia dan meramu ide-ide dari disiplin antropologi, ekonomi, psikologi, dan sosiologi. 4 Annales d’Histoire Eqonomique et Sociale merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Marc Bloch d an Lu cien Febvre dari Universitas Strasbourg, yang mengkritik tajam sejarawan tradisional. Mereka ingin mengganti sejarah politik menjadi sejarah yang lebih luas dan manusiawi. Sejarah bukan lagi semata-mata narasi mengenai kejadian-kejadian, melainkan juga an alisis mengenai struktur. K elompok ini kemudian dikenal sebagai mazhab
118 I Konfrontasi
toriografi Perancis y ang menganjurkan kooperasi antara ilmu sejarah dan ilmu sosial muncul, maka subject matter sejarah pun berubah. Sejarah menjadi ilmu multidisipliner. Penganjur pertama kooperasi antara ilmu sejarah dan ilmu sosial di Indonesia sendiri, menurut Kuntowijoyo, adalah Sartono Kartodirdjo. Buku Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Kartodirdjo, 1984) dan Protest Movements in Rural Java : A Study of Agrarian Unrests in The 1 9th and 20th Centuries (Kartodirdjo, 1 97 3), memang menunjukkan kerjasama antara ilmu sejarah dengan ilmu sosial. Namun ada satu ragam spesialisasi sejarah yang tampaknya luput dari bahasan dua buku Kuntowijoyo tersebut, bahkan tak sekalipun disebut, y aitu studi sejarah dengan menggunakan sudut pandang ilmu komunikasi, atau kita sebut saja sejarah komunikasi. Atas dasar itulah tulisan ini dibuat.
B. Penjelasan Sejarah dan Perspektif Ilmu Komunikasi Melakukan studi sejarah dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi, sejauh yang diketahui penulis, memang masih dapat dikategorikan sebagai studi yang kurang umum dilakukan di Indonesia. Ilmu komunikasi sendiri sebenarnya berangkat dari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan bahwa ilmu komunikasi dipahami sebagai ilmu yang multiperspektif. Bidang multiperspektif dalam ilmu komunikasi disebabkan bahwa gejala komunikasi merupakan fenomena pokok dalam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa manusia tidak dapat tidak berkomunikasi. Ketika manusia niscaya berkomunikasi, sementara kehidupan manusia berada dalam konteks-konteks y ang beragam maka komunikasi itu sendiri bersifat kontekstual dan unik. Ketidaktunggalan perspektif dalam komunikasi memperlihatkan bahwa komunikasi bisa dipahami dalam sekian sudut pandang. Ada beberapa sumber perspektif yang berkutat dalam pemahaman menyeluruh tentang ilmu komunikasi sebenarnya. Salah satu diantara sumber tersebut adalah perspektif disiplin atau sub-disiplin dalam ilmu komunikasi. 5
Annales. Mazhab Annales menekankan p ada pend ekatan holistik, interdisiplin, struktural, serta b erbagai p erkembangan penulisan sejarah dengan pendekatan yang b aru. 5 Tentang ini, penulis mengutipnya dari modul yang ditulis oleh AG. Eka Wenats Wuryanta b erjudul Teori Komunikasi. Sayangnya dalam potongan modul yang diterbitkan oleh Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana ini, penulis tidak mendapati angka tahun terbit. Aslinya, mungkin ada. Mengenai sumber perspektif ilmu komunikasi, Wuryanta dalam modulnya mengemukakan ada tujuh perspektif yang bisa ditelaah dalam ilmu komunikasi (lihat, Wuryanta, tanpa tahun : 2-18) Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 119
Perspektif disiplin ilmu ini diartikan sebagai bagaimana komunikasi menjadi metode tindakan komunikasi dan metode ilmu pengetahuan. Hal ini meny atakan bahwa komunikasi memberikan perspektif kepada disiplin ilmu lain, sementara disiplin ilmu lain memberikan kontribusi kepada proses komunikasi. Maka di sinilah letak pertemuan itu, bilamana penjelasan sejarah coba dilihat dari sudut pandang ilmu komunikasi. Sejarah dengan pendekatanny a yang interdisipliner memerlukan ilmu lain agar bisa memanjang dalam ruang (sinkronik), karena sejarah adalah ilmu y ang memanjang dalam waktu (diakronik). Sementara ilmu komunikasi justru dengan multiperspektifny a malah bisa memberikan sudut pandang bagi ilmu lain dalam kajiannya. Terjadi dialog ilmu pengetahuan dalam lintas hubungan antara penjelasan sejarah dengan ilmu komunikasi. Spesialisasi dalam kajian sejarah dan ilmu komunikasi (juga ilmu sosial y ang lain) ini memang akan semakin memperkecil kapling disiplin masing-masing ilmu, akan tetapi hal ini tidak menimbulkan masalah sebab dalam kehidupan masy arakat, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks sehingga tidak cukup hanya dipecahkan oleh satu disiplin ilmu saja. Untuk itu diperlukan perspektif disiplin ilmu lainnya untuk memperjelas permasalahan yang integral dan holistik. Pendekatan interdisipliner merupakan suatu kebutuhan namun tidak mengaburkan otonomi masing-masing disiplin ilmu y ang telah berkembang berdasarkan bidangny a masing-masing melainkan dengan menciptakan perspektif baru. Perspektif ini bukanlah ilmu melainkan sarana berpikir ilmiah seperti logika, matematika, statistik, dan bahasa. Pendekatan interdisipliner bukan merupakan fusi antara berbagai disiplin keilmuan yang akan menimbulkan anarki keilmuan, melainkan suatu federasi yang diikat oleh suatu pendekatan tertentu di mana setiap disiplin ilmu dengan otonominya masing-masing meny umbangkan analisisny a dalam mengkaji obyek y ang menjadi telaah bersama (Wury anta, tanpa tahun : 6, juga Suriasumantri, 1 985 :103). Akhirnya, tulisan ini akan coba mengangkat satu kajian sejarah yang tinjauanny a beranjak dari ilmu komunikasi. Kajian yang akan dibahas adalah Gerakan 3A, sebuah lembaga propaganda yang dibentuk pemerintah pendudukan Jepang pada tahun 1 942 namun boleh dibilang menjadi lembaga y ang telah “lay u sebelum berkembang”. Propaganda sendiri merupakan bentuk komunikasi y ang penelitian tentangnya dianggap sebagai salah satu yang pertama dalam awal perkembangan komunikasi sebagai ilmu. Adalah Harold Lasswell y ang melakukan penelitian tersebut dan penelitian Lasswell ini dianggap inov atif karena ia melihat propaganda sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari dalam masyarakat modern, tidak dapat dihindari dan semua negara demokrasi harus belajar untuk menangani hal ini. 120 I Konfrontasi
C. Penulisan Sejarah Tentang Jam an Pendudukan Jepang Berbagai kajian sejarah tentang jaman pendudukan Jepang di Indonesia sebenarnya sudah bany ak dilakukan. Namun sejauh yang diketahui penulis, belum penulis temukan kajian yang membahas tentang jaman ini, baik kajian umum atau hanya meneliti aspek sejarah tertentu saja, yang coba melihatnya dari sudut pandang ilmu komunikasi. Studi yang ada umumny a merupakan studi murni sejarah. Kary a dengan ‘nuansa berbeda’ mengenai sejarah pendudukan Jepang di Indonesia sejauh ini hanyalah karya-kary a y ang kajiannya ditinjau dari sudut pandang orang Jepang atau Belanda. Tidak sedikit memang, sarjana Jepang atau Belanda y ang melakukan penelitian tentang sejarah Indonesia. Dan hal ini, tentu saja, memberikan warna lain dalam historiografi Indonesia karena sejarah bisa dilihat dari perspektif ‘bukan sejarah nasional’. Buku “Pemberontakan Indonesia di masa Penjajahan Jepang” yang dieditori Akira Nagazumi adalah salah satu diantarany a. Buku ini berisi empat hasil penelitian dari empat peneliti Jepang dan merupakan kajian sejarah murni tentang fragmen dalam sejarah Indonesia di daerah-daerah yang berbeda (Nagazumi, 1988). Atau buku y ang ditulis oleh L.D. Jong, Het Koninkrijk der Nederlanden de Tw eede Wereldoorlog 1 939-1945. 6 Ini merupakan buku yang mengkaji tentang eksploitasi yang dilakukan Jepang saat menjajah Indonesia. Di dalam buku ini juga dikisahkan tentang berbagai penderitaan y ang dialami oleh orang-orang eropa, khususnya Belanda, yang ada di Indonesia selama Jepang berkuasa (De Jong, 1987 ). Kedua buku tersebut, y ang pasti, ditulis dalam perspektif orang Jepang dan Belanda. Kary a yang cukup lengkap tentang jaman penjajahan Jepang di Indonesia adalah disertasi George Kanahele, The Japanese Occupation of Indonesia : Prelude to Independence. Kary a Kanahele ini mengungkapkan pertumbuhan nasionalisme Indonesia dalam kaitannya dengan sejarah pendudukan Jepang, mulai dari hubungan yang terjadi antar kedua bangsa pada masa sebelum perang hingga kekalahan Jepang di tahun 1945. Terdiri dari 330 halaman y ang dibagi ke dalam 8 bab, disertasi ini menggunakan backnote yang mengagumkan setebal 7 8 halaman. Selain itu sebagian besar sumber sejarah y ang digunakan Kanahele dalam disertasi y ang diselesaikannya pada tahun 1967 ini merupakan sumber primer yang memiliki nilai tinggi seperti
6 Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Pendudukan Jepang di Indonesia : Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintah Belanda. (Lihat, De Jong, 1987).
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 121
66 dokumen, artikel dari 20 macam surat kabar dan berbagai wawancara langsung dengan para saksi sejarah.7 Buku kajian mengenai jaman Jepang di Indonesia y ang ditulis oleh sarjana non-Indonesia diantaranya adalah: The Putera Reports: Problems in Indonesian-Japanese Wartime Cooperation (Frederick, 2009), Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1 944-1946 (Anderson, 197 2), Some Aspects of Indonesian Politics under The Japanese Occupation 1944-1 945 (Anderson, 2009), The Kenpeitai in Java and Sumatra (Shimer dan Hobbs, 2011), War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1 942-1945 (Sato, 1 994), The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1 942-1945 (Reid dan Oki, 1 986), Crescent and the Rising Sun: The Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942 – 1 945 (Benda, 1958), Japanese Military Administration in Indonesia: Selected Documents (Benda, Irikura dan Kishi, 1965). Dari buku-buku tersebut, hany a kajian Sato yang membahas agak khusus tentang Gerakan 3 A. Ditulis hampir penuh dalam satu bab, apa yang ditulis Sato pun lebih mengisahkan perjalanan sejarah Gerakan 3 A dan kajian y ang dilakukannya juga merupakan murni kajian historis. Sedangkan buku kajian tentang jaman penjajahan Jepang di Indonesia yang ditulis oleh sarjana Indonesia di antaranya: Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia (Notosusanto, 197 9), Pemberontakan Tentara Peta Blitar Melawan Djepang (Notosusanto, 1968), Kesusasteraan Indonesia Dimasa Djepang (Jassin, 1954). Ketiganya tidak membahas secara khusus Gerakan 3 A. Penelitian mengenai propaganda Jepang selama menduduki Indonesia sebenarnya pernah ditulis. 8 Satu nama yang perlu disebut adalah Dewi Yuliati, Doktor Sejarah di Universitas Diponegoro. Yuliati pernah melakukan tiga penelitian mengenai propaganda dan media massa pada masa pendudukan Jepang, masing-masing Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1 945, Seni Sebagai Media Propaganda Pada Masa Pendudukan Jepang di Jaw a 1942-1 945, Pengaw asan Terhadap Pers Bumi Putera di Jawa Pada Masa 7 Sayangnya sampai sekarang p enulis belum bisa mendapatkan disertasi K anahele. Meski disertasi Kanah ele sering dijadikan sumber sekunder dalam penelitian mengen ai sejarah jaman Jepang di Indonesia pada era kemudian, namun sejauh ini penulis juga belum menemukan terbitan disertasi ini dalam bentuk buku bahkan dalam edisi bahasa Inggris. Penulis hanya memiliki ringkasan disertasi Kan ahele dalam bentuk copy ketikan, tanpa nama penulis dan tahun. 8 Beberap a tesis yang terdap at di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia per Desember 2012, juga p ern ah penulis dapatkan mengkaji tentang propaganda yang dilakukan oleh pemerintah p endudukan Jepang di Indonesia. Namun sekali lagi, semuanya tidak ada yang meninjaunya dari p erspektif ilmu komunikasi..
122 I Konfrontasi
Pendudukan Jepang 1942-1 945. Dalam kajiannya tentang pers bumiputera, Yuliani juga sempat meny inggung tentang bagaimana pers bumiputera menyampaikan berita untuk mendukung pemerintah militer Jepang. Namun secara umum, ketiga karya ilmiah ini tidak membahas secara spesifik mengenai Gerakan 3 A, dan lagi-lagi, ketigany a juga merupakan kajian sejarah yang beranjak dari perspektif historis, sejarah sebagai peristiwa, yang tidak meninjauny a dari perspektif ilmu komunikasi. Satu buku lain mengenai propaganda y ang dilakukan oleh Jepang, adalah buku Barak Kushner, The Thought War, Japanese Imperial Propaganda (2006). Namun buku ini hany a membahas tentang propaganda secara umum yang dilakukan pemerintah Jepang, tanpa membahas secara spesifik di dalamny a, propaganda yang Jepang lakukan di Indonesia.
D. Propaganda Jepang dan Gerakan 3 A D.1. Propaganda dan Awal Pendudukan Jepang di Indonesia Tahun 1 936 Gubernur Jenderal B.C. de Jong mengatakan, “kami orang Belanda sudah berada di sini selama tiga ratus tahun dan kami akan tinggal di sini selama tiga ratus tahun lagi…” (Ong, 1989 : 42). Ucapan bernada sombong ini diungkapkan de Jong sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dari kaum pergerakan nasional Indonesia pada waktu itu, ucapan y ang akhirnya menjadi terlalu gegabah karena enam tahun kemudian Belanda harus angkat kaki dari Indonesia. 8 Maret 1942 di Kalijati, Jenderal Ter Poorten menyerah tanpa sy arat di hadapan Jenderal Imamura Hitsoji, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda setelah malang melintang selama lebih dari 300 tahun di Indonesia. Peristiwa ini menandai pula dimulainya sebuah era penjajahan baru atas Indonesia oleh Jepang. Jepang masuk ke Indonesia awalnya disambut dengan segudang harapan oleh kaum nasionalis, meskipun ada juga sebagian y ang apatis bahkan curiga. Bagi mereka y ang semangat menyambut kedatangan Jepang, makin senang tatkala Jepang mengijinkan dikibarkanny a bendera merah putih dan dikumandangkannya lagu Indonesia Raya, dua hal penting y ang sebelumnya dilarang Belanda. Namun secara umum kedatangan balatentara Jepang disambut dengan antusias oleh rakyat Indonesia. Pada awal kedatangan, Jepang menciptakan hubungan yang baik dengan penduduk sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan mereka. Di sepanjang jalan yang dilalui oleh tentara Jepang, penduduk menyambut mereka dengan kataVolume II, No.1, Januari –April 2013
I 123
kata “selamat datang” dan “banzai”. Sebalikny a, tentara Jepang menyerukan “hidup Indonesia..” Munculnya sambutan positif raky at sebenarnya lebih dapat dipahami sebagai ekspresi harapan mereka untuk memperoleh kebebasan setelah dicengkeram kekuasaan kolonialis Belanda y ang telah berlangsung selama ratusan tahun. Apalagi bagi sebagian raky at Jawa, dimana mereka telah meyakini ramalan Jay abaya y ang menggambarkan bahwa akan datang jaman y ang lebih baik untuk menggantikan jaman y ang buruk. Jaman baik ini ditandai oleh munculnya pemerintahan Ratu Adil, tetapi sebelumnya akan terdapat masa peralihan y ang didominasi oleh orang kerdil y ang berlangsung selama hidup tanaman jagung. Banyak orang mengidentifikasikan orang kerdil itu sebagai orang Jepang. (Notosusanto, 1 97 9 : 13) Bukan sebuah hal y ang tidak mungkin, Jepang turut memanfaatkan peninggalan jaman lama ini dalam propagandany a, dengan juga mengutip ramalan raja Kediri itu tentang kedatangan orang-orang kerdil ke tanah Jawa yang menandai kedatangan Ratu Adil sebagai pembawa kemakmuran. Sambutan positif raky at Indonesia ini bisa juga merupakan indikasi keberhasilan propaganda Jepang. Jauh sebelum menguasai Indonesia, Jepang sebenarnya sudah mempersiapkan diri untuk mengambil hati raky at Indonesia y ang ketika itu masih berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Propaganda sudah dilakukan dan menjadi alat bagi Jepang dalam rangka mempersiapkan perang secara sistematis selama beberapa tahun sebelum melaksanakan invasi ke wilay ah Selatan. 9 Bahasa propaganda Jepang bahkan sebegitu jauhnya, dari yang realistis seperti menanamkan sikap anti Barat pada raky at Indonesia hingga berusaha mempengaruhi kalangan Islam dengan menekankan apa y ang disebut sebagai persamaan antara Shinto dengan Islam, dan mengumbar harapan bahwa Kaisar akan beralih agama dengan memeluk agama Nabi Muhammad serta melukiskan suatu gambar dunia Islam y ang gilang gemilang tentang dunia kekuasaan
Tentang p ersiap an perang Jepang, lihat Eric Rob ertson, The Japanese File : Pre-War Japanese Penetration in Southeast Asia (London : Hein emann Educational Books Limited, 1979). Tentang propaganda Jepang di kalangan umat Islam, lihat Japanese Infiltration Among The Muslims Throughout The World. Ini merupakan dokumen rahasia (waktu itu) yang pernah dikeluarkan oleh Office of Strategic Ser vices (OSS) pada tahun 1943. Penulis mendapatkannya dari E-Asia, University of Oregon Lib raries (lihat, http://easia.uoregon.edu). 9
124 I Konfrontasi
Islam y ang berpusat di keliling Kaisar Khalifah Jepang Ray a (Benda, 1985 : 135). Di sini tampak kalau Jepang menerapkan apa y ang dinamakan sebagai propaganda putih dan hitam sekaligus. Propaganda hitam (black propaganda) adalah penyebaran kebohongan y ang dilakukan dengan sengaja dan strategis. Penyebaran rumor atau gosip cocok dengan definisi tersebut (Baran dan Dav is, 2010 : 95). Maka ketika rumor ditiupkan bahwa kaisar Jepang akan memeluk Islam, jelas ini merupakan jenis propaganda hitam. Sedangkan propaganda putih (white propaganda) merupakan strategi y ang berlawanan dengan propaganda buruk dengan mempromosikan informasi dan ide y ang positif. Penguatan sikap anti Barat (Belanda) yang memang sudah dimiliki sebagian besar raky at Indonesia pada masa itu, yang dikombinasikan dengan tradisi akan datangny a sang Ratu Adil yang dimulai dengan kedatangan bangsa bertubuh kerdil adalah merupakan bentuk propaganda putih. Namun tidak hanya menerapkan propaganda putih dan hitam, pemerintah pendudukan Jepang ternyata juga menerapkan bentuk propaganda lain y ang abu-abu (grey propaganda). Ini adalah jenis propaganda y ang dilakukan melalui penyebaran informasi atau ide yang samar-samar. Penyebarny apun sulit untuk bisa dipastikan, meski bisa diduga. Contoh propaganda abu-abu ini misalny a terlihat dalam drama karya Merayu Sukma pada tahun 1 942, berjudul “Pandu Pertiwi”. Drama ini menceritakan tokoh Dainip Jaya yang membela dan melindungi Pandu Setiawan dan Partiwi dari ancaman seorang penjahat bernama Nadarlan yang telah membunuh Priyay iwati. Dainip Jay a juga membebaskan Partiwi dari kurungan penjara dan menyadarkan Pandu dari tindakan bunuh diri karena putus asa. Penokohan Dainip Jaya digambarkan sebagai seorang manusia yang gagah, pemberani, dan suka menolong. Tokoh-tokoh dalam drama ini sangat jelas penyimbolannya, yaitu Dainip Jaya untuk Dai Nippon, Pandu Setiawan dan Partiwi adalah pemuda-pemudi Indonesia yang menghadapi masalah dengan Nadarlan (Hindia Belanda) yang telah membunuh Priy ayiwati (simbol golongan ningrat, priyay i).
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 125
D.2. Gerakan 3 A dan Kegagalan Propaganda Sejak Awal Segera setelah pemerintahan militer Jepang di Indonesia terbentuk secara resmi, Jepang lalu berusaha untuk memantapkan sistem propagandany a. Jaringan propaganda diperkokoh dengan membentuk lembaga-lembaga propaganda, memantapkan tujuan, materi, sasaran, metode, dan saluran-salurannya. Berbagai sarana penerangan untuk publik pun mulai dikendalikan. Siaran radio, film dan pers ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah militer Jepang. Pengawasan dan penyebarluasan propaganda dilakukan oleh balatentara Jepang, yang diorganisasikan dalam suatu lembaga Sendenhan (seksi propaganda pemerintahan militer). Sendenhan inilah yang kemudian menciptakan lembaga bernama Gerakan 3 A atau Sandoo pada 29 April 1 942. Untuk memimpin Gerakan 3 A pemerintah militer Jepang menunjuk. Raden Samsoedin, tokoh dari Partai Indonesia Raya (Parindra) sebagai ketua. Segera setelah dibentuk, organisasi ini diperkenalkan Jepang kepada masyarakat melalui media massa dan Samsoedin lalu mencoba mempropagandakan Gerakan 3A ke seluruh Jawa (Poesponegoro dan Notosusanto, 1993 : 1 8). Dengan semboyan : “Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia”, Gerakan 3 A dibentuk pemerintah militer Jepang dengan tujuan mengumpulkan dukungan bagi tujuan perang Jepang untuk mencapai “Kemakmuran Bersama Asia Timur Ray a” Namun Gerakan 3A, sebagai sebuah lembaga propaganda, ternyata berjalan tidak sesuai seperti y ang diharapkan Jepang. Propaganda yang dilakukanny a tidak mendapat sambutan dari raky at Indonesia. Terlepas dari alasan-alasan yang bersifat politik dan sosial y ang membuat Gerakan 3A gagal dalam melaksanakan tugasnya, propaganda yang mereka lakukan memang berjalan kurang efektif. Pengaruh yang diharapkan terjadi pada ‘khalayak’ Indonesia untuk mengikuti apa yang dipropagandakan sesuai kehendak Jepang, boleh dibilang tidak tercapai. Akibatny a, usia Gerakan 3A hany a bisa bertahan selama beberapa bulan saja. September 1 942, Gerakan 3A dibubarkan pemerintah militer Jepang. Mengapa Gerakan 3A praktis hanya bertahan selama 5 (lima) bulan untuk kemudian dibubarkan kembali oleh pemerintah pendudukan Jepang ? Di luar situasi dan kondisi politik y ang ada, bila dikaitkan dengan konsep-konsep propaganda dalam teori komunikasi massa, kegagalan Gerakan 3A sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kesalahan 126 I Konfrontasi
sejak awal yang dilakukan oleh pemerintah pendudukan Jepang sendiri. Kesalahan tersebut setidakny a bisa dilihat pada tiga hal: komponen propagandis dalam propaganda, teknik propaganda yang dilakukan y ang masih berkait dengan propagandis serta persepsi yang mulai timbul di kalangan masyarakat namun tampak dikesampingkan oleh Jepang. Acuan tiga hal ini bagaimanapun mencoba ikuti formulasi Laswell dalam unsur-unsur proses komunikasi, meskipun tidak sama persis, yaitu : w ho (propagandis : gerakan 3A dan pemimpinny a), say what (propaganda untuk merebut simpati raky at Indonesia agar mendukung Jepang), in which channel (penerapan teknik propaganda), to w hom (komunikan : rakyat Indonesia), w ith w hat effect (kegagalan propaganda). D.2.1. Kom ponen Propagandis dalam Propaganda Mengutip Santosa Sastropoetro, Shoelhi menulis bahwa komponen propaganda terdiri dari: (1 ) propagandis, (2) target propaganda, (3) pesan y ang telah dirumuskan sedemikian rupa agar tujuan propaganda tercapai secara efektif, (4) sarana atau medium y ang tepat, (5) teknik yang efektif dan dapat memberikan pengaruh pada target propaganda, dan (6) kondisi dan situasi yang memungkinkan dilakukannya propaganda (Shoelhi, 2012 : 51). Mengacu pada komponen pertama, pemerintah pendudukan Jepang sepertinya memang telah “salah” dalam menunjuk kepemimpinan Gerakan 3A. Mr. Samsoeddin, pemimpin yang ditunjuk, adalah tokoh muda Parindra 10. Dalam memimpin institusi ini, ia dibantu oleh tokoh-tokoh Parindra lain, yang memang kemudian menjadi dominan di lembaga ini, seperti Soetan K. Pamuntjak dan Mohammad Saleh. Tokoh-tokoh populer dan berpengaruh seperti Soekarno 11 , Hatta dan Ki 10 Parindra yang dibentuk pada tahun 1935 merupakan bentuk fusi dari Budi Utomo, PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), Serikat Selebes, Serikat Sumatera, Serikat Ambon, Perkumpulan Kaum Betawi dan Tirtayasa. Ketua p ertamanya adalah Dr. Soetomo. Ketika Soetomo meninggal pada bulan Mei 1938, kedudukannya sebagai ketua Parindra digantikan oleh Moeh ammad Hoesni Thamrin. 11 Saat Gerakan 3 A dibentuk, So ekarno memang masih berada di Bengkulu sejak diasingkan pemerintah Belanda p ada tahun 1938. Baru pada Juli 1942, ia dipulangkan ke Jakarta oleh pihak Jepang di Sumatera atas permintaan Angkatan Darat ke 16 di Jawa. Di sini Jepang tampak b aru men yadari kalau mereka memerlukan figur seperti So ekarno untuk mendukung pemerintahan pendudukan. Tokoh terkemuka lain seperti So etan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin memang memilih untuk tidak mau bekerjasama den gan Jepang.
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 127
Hajar Dewantara tidak diikutsertakan. Bahkan Abikoesno Tjokrosoejoso, pemimpin PSII dan politisi Islam terkemuka pada masa itu hanya diposisikan mengepalai sebuah subseksi dalam Gerakan 3A. Bagaimanapun Samsoeddin, sebagai pemimpin Gerakan 3A, bukanlah tokoh populer yang bisa memberikan pengaruh besar pada raky at Indonesia. Ia jelas bukan merupakan seorang pemimpin nasionalis eselon pertama dan jenjangny a dapat dikatakan berada di bawah Soekarno atau Hatta dan bahkan di bawah Abikusno. Status Samsoeddin bila dikatakan sebagai ‘propagandis’ tidaklah se-level ‘para senior’nya meskipun, sebagaimana dikatakan Kahin, propaganda y ang dilakukan Gerakan 3A yang dipimpinnya hebat. (Kahin, 1995 : 1 32). Pengalamannya sebagai pemimpin organ Parindra, ‘Berita Oemoem’, belum cukup untuk mendukung peran baruny a sebagai pemimpin Gerakan 3A. Padahal status propagandis sangat diperlukan manakala praktik propaganda dilakukan. Status tersebut meliputi: kapasitas intelektual, signifikansi diri, v italitas, pengalaman dan reputasi (lihat, Nurudin, 2001 : 39-41 ). Pemerintah pendudukan Jepang sendiri sebenarny a memiliki alasan logis mengapa lebih memilih untuk bekerjasama dengan tokoh-tokoh Parindra. Partai ini memang dikenal sebagai partai yang lebih bersimpati kepada Jepang ketimbang Belanda menjelang pecah Perang Pasifik. Kahin menulis bahwa sejak berdiri di tahun 1 935, Parindra menjadi suatu organisasi politik Indonesia y ang besar dan kelompok Indonesia yang paling berpengaruh di V olksraad (Kahin, 1 995 : 121 ). Jadinya, adalah wajar bila pemerintahan pendudukan Jepang memilih orang-orang Parindra untuk diajak bekerjasama. Apalagi tokoh-tokoh Parindra bukanlah orang yang tidak populer. Soetomo, Mohammad Hoesni Thamrin, Mr. Susanto Tirtoprodjo dan R. Pandji Soeroso adalah contoh sedikit nama di Parindra y ang pada masa itu sudah terkenal reputasinya. Namun dalam konteks menjadi propagandis y ang memiliki day a pikat massa, bagaimanapun figur-figur semacam Soekarno, Hatta atau bahkan Sutan Sjahrir 12 jelas lebih memiliki kharisma. Syahrir pada masa itu memang lebih memilih untuk tidak mau b ekerjasama dengan Jepang. Kiprah politiknya dilakukan melalui perjuangan ‘bawah tan ah’. 12
128 I Konfrontasi
D.2.2. T eknik Propaganda Masih berkait dengan komponen propagandis, jadinya pemerintah pendudukan Jepang pun tampak sudah salah dalam melakukan proses “transfer” dan “testimoni” propaganda. Ini merupakan dua dari “tujuh trik propaganda y ang sering digunakan” menurut Insitute for Propaganda Analysis 13. Transfer merupakan klaim bahwa propaganda telah mendapat dukungan atau membawa otoritas dari sesuatu y ang dihormati, dihargai atau disanjung. Sedangkan testimoni adalah perny ataan atau pengakuan dari para tokoh untuk mendukung ide propaganda, dengan harapan bahwa dengan adany a dukungan ini publik akan bergeser lebih dekat pada tujuan propaganda (lihat, Institute for Propaganda Analysis, 1938 : 1 2. Juga, Baran dan Dav is, 2010 : 116). Maka manakala tampuk kepemimpinan Gerakan 3A jatuh ke Samsoeddin dan Parindra-nya, figur ini tidak mencerminkan otoritas sebagai pihak y ang pas dalam penguatan keberhasilan propaganda. V italitas diri Samsoeddin y ang tinggi memang betul ditunjukkan tatkala ia melakukan propaganda hingga berkeliling Jawa. Namun hal tersebut belumlah cukup. Yang terpenting dari ketidakcukupan tersebut adalah sebuah realita kalau Samsoeddin memang bukan orang y ang dikenal secara umum oleh khalayak Indonesia. Akibatnya, berbagai testimoni yang dikeluarkan oleh Gerakan 3A juga bukan merupakan pernyataan y ang kuat untuk menggeser publik untuk lebih dekat pada tujuan propaganda. Figur-figur yang memiliki kapasitas untuk mengeluarkan testimoni tidak mendapatkan tempat. Bahkan Soekarno saja hingga tiga bulan sejak Gerakan 3A berdiri, masih “terasing” di Sumatera. 13 Insitute for Propaganda Analysis adalah lembaga yang dibentuk oleh sekelompok ilmuwan sosial, jurnalis dan pendidik pada tahun 1937 di Amerika Serikat. Dipimpin oleh Hadley Cantril seorang pakar psikologi sosial, berdirinya lembaga ini tidak bisa dilepaskan dari berkuasanya Nazi di Jerman dan kekhawatiran akan dampak yang ditimbulkan oleh propaganda Nazi di Amerika Serikat. ‘Temuan’ lembaga ini diantaranya adalah 7 teknik propaganda yang diberi n ama dengan nama-nama yang menarik dan cukup sederhana: name calling (menjelek-jelekkan), glittering generalities (menyampaikan sesuatu yang umum), transfer (klaim telah didukung “otoritas”), testimoni (kesaksian tokoh), plain folks (bertindak sep erti rakyat yang lugu), card stacking (memanfaatkan fakta atau kebohongan), dan bandwagon (klaim merupakan gerakan populer) (Institute for Propaganda An alysis, 1938 : 1-2).
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 129
D.2.3. Persepsi Masyarakat Sebagai Pendukung Keberhasilan Propaganda Selain itu kegagalan propaganda yang dilakukan oleh Gerakan 3 A tentu tidak bisa dilepaskan dari persepsi y ang timbul di masy arakat Indonesia, setidakny a dikalangan pemimpin rakyat, yang sudah kadung kecewa dengan berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah militer Jepang. Hany a dalam waktu singkat sejak kedatangan mereka ke Indonesia, Jepang telah menampakkan wajahnya sebagai figur antagonis melalui antara lain penciptaan kekerasan y ang keterlaluan, kekurangajaran yang sering ditunjukkan oleh orang Jepang dalam pergaulan dengan orang Indonesia, pemerasan, dan pemaksaan penggunaan bahasa Jepang di sekolah, y ang semua itu menimbulkan reaksi-reaksi negatif yang tajam (Kahin, 1 995 : 132). Padahal persepsi, menurut Severin dan Tankard, merupakan hal y ang penting dalam komunikasi. Persepsi, sebagaimana dikemukakan oleh keduanya, dipengaruhi oleh sejumlah faktor psikologis, termasuk asumsi-asumsi yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman masa lalu, harapan-harapan budaya, motiv asi (kebutuhan), suasana hati serta sikap (Sev erin dan Tankard, 2011 : 85). Hal ini membuat pesan y ang diinginkan oleh Gerakan 3A sebagai lembaga propagandis menjadi tidak tepat sasaran sehingga tidak pula didapat efek y ang diinginkan. Barangkali Jepang berharap pada berjalannya efektifitas dari model komunikasi massa yang ahli teori komunikasi menyebutnya sebagai teori ‘peluru ajaib (magic bullet theory )’. Rakyat benar-benar rentan terhadap pesan-pesan komunikasi massa, asalkan tepat sasaran. Teori ini memang lahir dari efektifitas nyata propaganda setelah perang dunia I. Ini di antaranya karena raky at begitu naif dan mempercayai kebohongan. Meski pada masa sekarang teori peluru ajaib memang bisa jadi dianggap tidak lagi dapat bekerja dengan baik, tapi pada masa-masa Perang Dunia I dan II teori ini dianggap masih akurat (lihat, Severin dan Tankard, 2011 : 1 47 ). Keny ataannya propaganda Gerakan 3A gagal. Pesan komunikasi massa memang tidak memiliki efek y ang sama pada masing-masing orang atau bahkan masyarakat. Dampakny a akan tergantung pada beberapa hal, termasuk karakteristik 130 I Konfrontasi
kepribadian dan beragam aspek situasi dan konteks. Jadinya, kegagalan propaganda Gerakan 3A malah bisa dihubungkan dengan pendapat yang pernah dikemukakan Harold Lasswell bahwa dalam propaganda, masy arakat sesungguhnya perlu dipersiapkan secara perlahan agar dapat menerima ide dan tindakan yang sangat berbeda. Komunikator membutuhkan strategi kampanye yang dikembangkan dengan baik dan berjangka panjang dalam memperkenalkan secara perlahanlahan serta menanamkan ide dan gambaran baru (lihat, Baran dan Dav is, 2010: 105). Kemunculan Gerakan 3A, mengacu pada pandangan Lasswell, menjadi terlihat “sekonyong-kony ong” dibentuk. Seperti kata Kanahele, kegagalan Gerakan 3A diantaranya disebabkan karena dari pihak Indonesia, massa belum siap untuk merespon gerakan tersebut sedangkan dari pihak Jepang penguasa-penguasa militer merasa bahwa gerakan disusun terlalu tergesa-gesa sehingga kehi14 langan perencanaan serta arah.
E. Penutup Kiprah Gerakan 3A yang tidak sesuai seperti y ang diharapkan, membuat pihak Jepang akhirny a mulai menyadari bahwa apabila mereka hendak memobilisasi rakyat Indonesia, mereka harus memanfaatkan tokoh-tokoh terkemuka nasionalis sebelum perang. Maka secepat Gerakan 3 A dibubarkan Jepang, pemerintah pendudukan segera pula mendirikan lembaga baru, PUTERA, yang dipimpin oleh empat tokoh populer pada masa itu, sekaligus menghubungkan dua tokoh nasionalis perkotaan dengan pemimpin dua sistem sosial pendidikan y ang penting.: Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan KH. Mas Mansoer. Nama yang terakhir adalah Ketua Muhammadiy ah dari masa sebelum perang. Keempatnya dalam kepemimpinan PUTERA lalu dikenal dengan sebutan ‘Empat Serangkai’. Akhirnya, apa y ang dikemukakan di atas hanya merupakan contoh y ang menunjukkan bahwa kegagalan Gerakan 3 A, sebagai sebuah lembaga propaganda, sesungguhnya bisa dilihat dari perspektif teori komunikasi massa (propaganda) itu sendiri. Ini pun hanya sebuah studi awal, dalam pengertian masih bany ak sesungguhnya y ang bisa dikaji dari Gerakan 3A bila kita coba meninjaunya dari perspektif ilmu komunikasi. Terlebih lagi Memang sempat terjadi ketidakharmonisan antara p ara pemimpin AD Jepang di Jawa dengan tingkah laku orang-orang intelektual di dalam Sendenhan yang dianggap para pemimpin AD mengganggu karena sikapnya yang tidak tunduk dan hormat. Tentang ini, lihat ringkasan tulisan George S. Kan ahele. (Kanah ele, tanpa tahun : 13). 14
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 131
adalah kajian sejarah dengan tema-tema y ang lain. Dalam bahasa lain y ang lebih luas, untuk memahami suatu peristiwa atau kisah sejarah, maka ilmu komunikasi juga bisa dijadikan sebagai sebuah sudut pandang.
132 I Konfrontasi
Bibliografi:
Anderson, Benedict R.O.G, Java in a Time of Revolution : Occupation and Resistance, 1944-1946 (Jakarta: Equinox Publishing Indonesia, 2006). Anderson, Benedict R.O.G,, Some Aspects of Indonesian Politics under The Japanese Occupation 1944-1945 (Singapore: Equinox Publishing, 2006). Baran, Stanley J., dan Dennis K. Davis, Teori Komunikasi Massa; Dasar, Pergolakan dan Masa Depan, Terj., Afrianto Daud, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010). Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit : Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985). Frederick, William H., The Putera Reports: Problems in Indonesian-Japanese Wartime Cooperation (Singapore: Equinox Publishing, 2009). Institute for Propaganda Analysis, Propaganda Techniques (New York: Columbia University Press, 1938). Jassin, H.B., Kesusasteraan Indonesia Dimasa Djepang (Perpustakaan Perguruan, 1954). Jong, L.D., Pendudukan Jepang di Indonesia: Ungkapan Berdasarkan Dokumentasi Pemerintah Belanda, Terj. Arifin Bey (Jakarta: Kesaint Blanc, 1987). Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Terj. Nin Bakdi Soemanto (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). Kanahele, George S., The Japanese Occupation of Indonesia : Prelude to Independence, Ringkasan Disertasi, (Tanpa Penulis dan Penerbit). Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008). Kushner, Barak, The Thought War, Japanese Imperial Propaganda (Hawaii: University of Hawai’i Press, 2006). Lasswell, Harold D., The Theory of Political Propaganda, The American Political Science Review, Vol. 21, No. 3., 1927. Nagazumi, Akira, ed., Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Terj. Mochtar Pabottinggi, Marahimin dan Tini Hadad, (Jakarta: Yayasan Obor, 1988).
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 133
Notosusanto, Nugroho, Pemberontakan Tentara Peta Blitar Melawan Djepang (Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, 1968). Nurudin, Komunikasi Propaganda (Bandung: Rosdakarya, 2001). Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1993). Ong Hok Ham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989). OSS, Japanese Infiltration Among The Muslims Throughout The World, (EAsia University of Oregon Libraries, 1943). Reid, Anthony dan Akira Oki, The Japanese Experience in Indonesia: Selected Memoirs of 1942-1945 (Ohio: Center of Southeast Asian Studies, 1986). Robertson, Eric, The Japanese File: Pre-War Japanese Penetration in Southeast Asia (London: Heinemann Educational Books Limited, 1979). Sato, Shigeru, War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation, 1942-1945 (New York: M.E.Sharpe Inc., 1994) Severin, Warner J. dan James W. Tankard Jr, Teori Komunikasi : Sejarah, Metode dan Terapan di Dalam Media Massa, Terj. Sugeng Harianto (Jakarta: Kencana, 2011). Shimer, Barbara G. dan Guy Hobbs, The Kenpeitai in Java and Sumatra (Singapore: Equinox Publishing, 2010). Shoelhi, Mohammad, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012). Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu ; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta, Sinar Harapan, 1985). Wuryanta, AG. Eka Wenats, Modul Teori Komunikasi (Jakarta: Pusat Pengembangan Bahan Ajar Universitas Mercu Buana, tth). ________________ , Protest Movements in Rural Java (Singapore : Oxford University Press, 1973). ________________, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003). ________________, Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979).
134 I Konfrontasi
Penelitian dan Karya Ilmiah : Yuliati, Dewi, Pengawasan Terhadap Pers Bumi Putera di Jawa Pada Masa Pendudukan Jepang 1942-1945, 1999, makalah dalam Seminar Nasional Negara dalam Sejarah Indonesia, Reinterpretasi dan Redefinisi Terhadap Anti Integrasi Bangsa. 31 Agustus 1999. Yuliati, Dewi, 2002, Seni Sebagai Media Propaganda Pada Masa Pendudukan Jepang di Jawa 1942-1945. Yuliati, Dewi,
Sistem Propaganda Jepang di Jawa 1942-1945.
Volume II, No.1, Januari –April 2013
I 135