-1-
KRISIS DAN RESPONS: STUDI TENTANG RESPONS PETANI DALAM MENGHADAPI KRISIS EKONOMI DILIHAT DARI PERSPEKTIF SEJARAH Warto dan Sri Agus Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk: ((1) Mengkaji bentuk-bentuk respons dan strategi adaptasi yang dikembangkan oleh penduduk desa dalam menghadapi krisis tahun 1960-an dan 1990-an, serta implikasinya bagi kelangsungan hidup mereka. (2) Mengkaji dampak krisis terhadap masing-masing golongan sosial, dan (3) Menganalisis krisis ekonomi yang mempengaruhi perubahan struktur dan relasirelasi sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang mencakup empat tahap yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan, krisis yang terjadi pada tahun 60-an (zaman kabluk) dan Krismon pada pertengahan tahun 90-an memunculkan berbagai bentuk respons dan strategi adaptasi yang beragam. Keragaman respons penduduk desa dipengaruhi oleh potensi dan sumber daya yang dimiliki masing-masing individu dan lingkungan tempat tinggal. Untuk bertahan hidup, mislanya, penduduk berusaha memanfaatkan sektor ekonomi pertanian seoptimal mungkin. Mereka sebagian terpaksa mengkonsumsi kabluk, makanan kualitas rendah yang hanya sekedar untuk bertahan hidup. Sektor pertanian menjadi katup pengaman penting saat terjadi krisis. Krisis juga menyebabkan hilangnya sumberdaya sosial ekonomi bagi sebagian orang, tetapi sekaligus membuka peluang terjadinya akumulasi kekayaan bagi sebagian yang lain. Di samping itu, krisis juga mengubah struktur dan relasi-relasi sosial, serta pranata dan nilai-nilai budaya yang sebelumnya menjadi katup pengaman penting dalam memberi jaminan sosial. Kata-kata kunci: Krisis ekonomi, zaman kabluk, Krismon, respons petani
A. PENDAHULUAN Dalam sejarah Indonesia, krisis ekonomi sudah berulang kali terjadi dan setiap generasi mempunyai pengalaman yang berbeda-beda tentang krisis itu. Demikian pula krisis dirasakan dan diterima secara berbeda oleh masing-masing daerah ataupun kelompok sosial, sehingga mereka juga mempunyai kemampuan dan strategi yang berbeda dalam menghadapi krisis. Pengalaman krisis yang dialami generasi dahulu yang tinggal di pedesaan berbeda dengan pengalaman generasi sekarang. Demikian pula kondisi lingkungan tempat tinggal sangat menentukan dalam memahami dan merespons berbagai krisis yang melanda mereka. Permasalahan inilah yang belum banyak
-2-
dibicarakan terutama dengan menggunakan perspektif sejarah, yang melihat krisis bukanlah merupakan peristiwa yang sekali terjadi tetapi secara endemik telah berulangkali dialami Indonesia. Oleh karena itu bentuk-bentuk respons masyarakat dalam mengatasi krisis juga berbeda-beda di setiap generasi dan golongan sosial. Jadi secara khusus penelitian akan mengkaji bentuk-bentuk respons dan strategi yang dikembangkan oleh penduduk desa dalam menghadapi krisis sebelum kemerdekaan. Kemudian juga akan dilihat kelompok/golongan sosial manakah yang paling merasakan dampak negatif dari krisis sehingga kehilangan sumber daya sosial ekonomi
dan kelompok sosial
manakah yang memperoleh kesempatan dan peluang baru dalam keadaan krisis itu. Setiap terjadi krisis membawa dampak luas terhadap kehidupan masyarakat Indonesia baik yang tinggal di kota maupun di desa, di Jawa dan di luar Jawa, dan dipahami dan ditanggapi secara berbeda pula oleh masing-masing kelompok sosial. Krisis ekonomi tahun 1930, yang oleh masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “zaman meleset” (malaise), telah didokumentasi lebih baik dibandingkan dengan krisis-krisis yang terjadi pada tahun-tahun sesudahnya. “Zaman Nippon” yakni masa ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang, merupakan masa sulit lainnya yang terjadi setelah zaman meleset. Masa ini juga ditandai oleh sulitnya memperoleh bahan kebutuhan pokok dan situasi yang serba tidak jelas dan rasa takut yang mencekam. Demikian pula kondisi politik yang belum stabil pasca kemerdekaan, melahirkan krisis di tahun-tahun sesudahnya hingga berlangsung sampai tahun 60-an. Terutama krisis sekitar tahun 1965, oleh sebagian masyarakat Jawa disebut “zaman kabluk”, yaitu masa ketika orang sulit memperoleh bahan makanan khususnya beras dan sebagai gantinya mereka makan bekatul kualitas rendah. Goncangan krisis reda sejenak selama masa Orde Baru, tapi kemudian terjadi lagi pada penghujung abad ke-20. Krisis ekonomi yang dimulai sejak pertengahan 1997, atau disebut Krisis Moneter,
telah
memunculkan berbagai istilah seperti “malih rego”, harga-harga mahal karena inflasi, istilah reformasi diterjemahkan repot nasi, atau reformasi dipahami bebas mengambil milik orang lain. Tulisan ini secara khusus membicarakan dampak krisis dan respons yang dilakukan penduduk yang tinggal di pedesaan dilihat dari perspektif sejarah. Dua kali kejadian krisis yang melanda wilayah pedesaan sesesudah kemerdekaan menarik dikaji
-3-
pada level mikro/daerah. Meskipun krisis melanda hampir semua wilayah di Indonesia, dan menjadi memori kolektif yang sulit dihapuskan, cara penduduk merespons krisis menunjukkan
keragaman.
Perbedaan
cara
mengatasi
krisis
khususnya
dalam
menyediakan kebutuhan pokok untuk bertahan hidup menarik dicermati dalam rangka memahami kemampuan masing-masing kelompok menemukan cara untuk bertahan hidup. Cara-cara yang dikembangkan, baik pada level individu maupun komunitas, untuk menghadapi krisis cukup bervariasi. Penduduk dengan caranya sendiri berusaha bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan pranata yang ada.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yang mencakup empat tahap yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik adalah langkah pertama yang dilakukan peneliti untuk menelusuri data-data primer yang berkaitan dengan topik yang diteliti. Sumber data antara lain berupa dokumen sezaman baik berupa laporan resmi instansi pemerintah, koran, majalah, dan terbitan sezaman lainnya. Di samping itu, data oral juga menjadi sumber utama penelitian ini. Data dikumpulkan melalui studi dokumen, studi pustaka, dan wawancara mendalam terhadap informan terpilih yaitu pelaku sejarah yang mengetahui banyak tentang permasalahan yang diteliti. Dokumen tertulis berupa laporan resmi perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan respons penduduk dalam menghadapi krisis, baik pada masa krisis tahun 1960-an (zaman kabluk) maupun Krismon tahun 1990-an. Dokumen-dokumen resmi tersimpan di Arsip Nasional RI di Jakarta, Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan Daerah seperti Sono Budoyo Yogyakarta, Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, dan lain-lain. Dokumen lainnya yang sezaman adalah koran dan majalah yang memuat tulisan tentang kedaan krisis di wilayah Surakarta. Jenis sumber yang kedua ini tersebar di sejumlah tempat, seperti Arsip Daerah/Wilayah di Jogya, Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan sebagainya. Adapun sumber data lainnya yang sangat penting adalah sumber lisan. Khususnya tentang krisis tahun 60-an, datanya sebagain besar diperoleh melalui studi sejarah lisan. Sejumlah orang yang pernah menyaksikan atau menjadi pelaku sejarah masih hidup dan masih dapat diwawancara. Informan yang diwawancara adalah mereka yang tahu banyak
-4-
tentang keadaan krisis pada kurun waktu yang dibicarakan. Penelitian ini pertama-tama menemukan informan kunci (key-informan) yang tahu banyak tentang situasi krisis di wilayah Surakarta. Kemudian wawancara dikembangkan dengan mewawancara sejumlah informan lainnya yang ditunjuk oleh informan kunci. Karena penelitian ini adalah penelitian sejarah, yang dipentingkan bukan banyaknya jumlah informan yang diwawancara melainkan kelengkapan informasi yang diperoleh. Melalui metode oral history data-data sezaman dapat digali secara mendalam melalui wawancara dengan para pelaku/saksi sejarah. Yang terakhir adalah data yang bersumber pada buku-buku atau literatur yang mengungkap tentang krisis ekonomi sesudah kemerdekaan. Meskipun yang disebutkan terakhir ini berupa data sekunder, namun sangat bermanfaat untuk melengkapi data-data primer yang berupa dokumen maupun sumber lisan. Gambaran umum tentang krisis ekonomi selama abad ke-20 itu sebagian dapat ditemukan dalam literatur atau bahan pustaka lainnya. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan kritik sumber untuk memperoleh validitas atau kesahihan data. Setelah itu, tahap berikutnya adalah membangun fakta berdasarkan data-data yang telah diuji kebenarannya dan kemudian melakukan diinterpretasi atau dinalisis. Agar tidak terjebak pada penulisan sejarah yang bersifat kronikal, dalam membuat interpretasi atau analisis fakta sejarah digunakan konsep/teori ilmu sosial lain yang relevan. Itulah salah satu cara kerja sejarah kritis yang mencoba menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa terjadi fenomena krisis dan respons seperti itu. Dalam memberi keterangan sejarah, peristiwa sejarah tidak hanya berhenti dinarasikan secara deskriptif kronologis, melainkan dianalisis dalam bingkai struktural yang melandasi terjadinya peristiwa itu. Oleh karena itu, dalam rangka analisis data, aspek-aspek kronologis/prosesual ditampilkan bersama-sama dengan aspek struktural.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Situasi di wilayah Karesidenan Surakarta pada tahun 1960-an tidak jauh berbeda dengan daerah lain dilihat dari kacamata politik, sosial dan ekonomi. Pada tahun 1960-an kondisi masyarakat memprihatinkan. Kekacauan politik yang ditandai dengan meningkatnya konflik horisontal antar-pengikut partai membawa dampak negatif
-5-
terhadap kehidupan sosial ekonomi penduduk pedesaan Surakarta. Hubungan sosial terganggu oleh rasa curiga dan prasangka sehingga menggocang harmoni sosial yang menjadi salah satu ciri masyarakat desa. Perbedaan ideologis berimbas pada konflik terbuka yang sulit dikendalikan. Tatanan lama yang telah mapan terkoyak oleh masuknya paham ideologi baru yang memecah belah masyarakat berdasarkan aliran-aliran ideologi di bawah payung partai politik. Situasi ini diperumit lagi oleh adanya tekanan ekonomi yang terus mengalami kemerosotan. Di samping karena faktor alam (serangan hama, kekeringan, banjir), kekacauan ekonomi juga dipicu oleh kondisi objektif yang berkembang yakni kekacauan politik nasional. Kebijakan ”politik adalah panglima” membawa dampak buruk bagi pembangunan ekonomi nasional karena masalah ekonomi kurang mendapatkan perhatian. Meroketnya harga-harga kebutuhan pokok tidak segera diatasi dengan menyediakan bahan makanan yang cukup sehingga menimbulkan kelaparan di mana-mana. Dalam situasi sulit seperti itu, pemerintah gagal menunaikan tugasnya yaitu melindungi warga negara dari kelaparan. Untuk bertahan hidup, masyarakat dengan caranya masing-masing, berusaha memperoleh bahan makanan yang segera dapat dikonsumsi di sekitarnya.
Sebagian besar penduduk menjadi pengangguran karena
terbatasnya lapangan kerja yang tercipta. Sektor pertanian sudah tidak mampu lagi menampung pertambahan tenaga kerja baru, sedangkan sektor-sektor non-pertanian hampir tidak berhasil diciptakan. Tanpa dihimbau, masyarakat dengan sendirinya melakukan penghematan secara serentak agar tetap dapat bertahan hidup. Secara singkat dapat dikatakan, krisis tahun 1960-an disebab oleh banyak faktor baik menyangkut kondisi makro skala nasional maupun kondisi riil yang berkembang di daerah/pedesaan. Seperti telah dijelaskan, sekitar tahun 1958-an pemerintah Indonesia disibukkan oleh adanya krisis politik dan ekonomi yang serius. Pengambilalihan perusahaan Belanda/nasionalisasi dan pemberontakan bersenjata di beberapa daerah yang kaya akan sumberdaya alam di Sumatra dan Sulawesi Utara juga amat membebani keuangan pemerintah. Di bawah Presiden Soekarno berlangsunglah perubahan politik menuju kebijakan yang semakin anti Barat dan anti Kapitalis dan hubungan yang semakin dekat dengan negara blok Soviet dan Republik Rakyat Cina. Ada tekanan untuk “menyelesaikan revolusi Indonesia” yang dirasa kurang memperhatikan kebijakan
-6-
ekonomi yang sehat. Kebijakan ekonomi tunduk pada strategi politik. Slogan-slogan seperti “menyelesaikan
revolusi nasional”, membangun
“ekonomi sosialis ala
Indonesia”, ”berdiri di atas kaki sendiri/ berdikari”. Kondisi ekonomi yang buruk itu berdampak pada ketahanan pangan masyarakat pedesaan. Jumlah makanan terus berkurang dan masyarakat menghadapi gejala gizi buruk sehingga rentan terhadap gangguan penyakit. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat terserang penyakit busung lapar karena kekurangan makanan dan persoalan penyakit endemik lainnya. Sekedar contoh, di pedesaan Kecamatan Jumantono Kabupaten Karanganyar yang merupakan daerah tadah hujan dan kering dilanda busung lapar yang mengerikan yaitu jumlahnya hampir 100 orang lebih di setiap desa. Contoh ini secara kasat mata menunjukkan bahwa krisis pangan telah melanda semua lapisan masyarakat dan di semua tempat sehingga menjadi bencana yang mengerikan. Terjadinya
kemarau
panjang
juga
menambah
kesulitan
penduduk dalam
memproduksi bahan makanan. Masyarakat desa yang bertumpu pada ekonomi pertanian, sangat bergantung pada ketersediaan air yang cukup untuk proses produksi. Iklim yang kacau menyebabkan kekacauan siklus tanam dan menjadi ancaman serius dalam menyediakan bahan makanan. Misalnya, pada tahun 1964 terjadinya kemarau yang panjang selama hampir 9 bulan yang mengakibatkan gagal panen yang sangat luas. Kondisi lebih parah lagi terjadi di daerah tadah hujan yang tanahnya relatif tandus dan tidak ada sistem irigasi permanen. Di daerah seperti ini, produksi pangan hanya dapat dilakukan secara terbatas, baik lahan yang digarap, hasil yang diperoleh, maupun jenis tanaman yang ditanam, sehingga penduduk tidak mempunyai kelebihan bahan makanan yang digunakan untuk menghadapi krisis. Kondisi yang serba tidak menguntungkan tersebut diperburuk oleh bencana banjir bandang di Surakarta akibat luapan Bengawan Solo yang terjadi pada tanggal 14 dan 15 Maret 1966. Pusat-pusat strategis kota juga terendam air sehingga mengakibatkan segala aktivitas warga kota terhenti total. Tanggal 17 dan 18 Maret 1966 kota Solo lumpuh total karena luas wilayah yang terendam hampir meliputi seluruh kota. Banjir Bengawan Solo kota telah menimbulkan dampak yang luar biasa bagi kota Solo khususnya dan wilayah pedesaan lainnya di Karesidenan Surakarta. Banjir Bengawan Solo tidak hanya membawa kerugian material tapi juga sosial dan ekologi yaitu
-7-
hancurnya infrastruktur di lingkungan masyarakat yang terkena banjir. Banjir Bengawan Solo tidak hanya menghancurkan kota Solo melainkan juga daerah-daerah pedesaan di sekitarnya, terutama pedesaan di sepanjang aliran Bengawan Solo mulai dari wilayah Wonogiri dan Sukoharjo di hulu hingga kawasan pedesaan di bagian hilir Bengawan. Keadaan ekonomi, sosial dan politik wilayah Surakarta pada tahun 1960-an lebih dikenal sebagai ”zaman kabluk”, suatu zaman yang penuh kesulitan dan penderitaan. Zaman yang serba sulit itu menjadi ingatan bersama dan hingga kini masih dikenang oleh sebagian besar penduduk pedesaan Surakarta. Penduduk desa baik yang tinggal di daerah perswahan basah maupun lahan kering/tegalan, semuanya merasakan kedaan sulit pangan itu. Yang menjadi tujuan sebagian besar orang pada zaman itu adalah bagaimana caranya mempertahankan hidup, meskipun mereka harus mengkonsumsi jenis makanan yang sebenarnya hanya layak untuk makanan binatang. Kabluk menunjuk pada jenis makanan yang diberi istilah “Jengki”: nek ajeng nggih niki (kalau mau yang ini). Entah itu berupa gaplek kualitas rendah, ampas kelapa ataupun ampas ganyong, batang pisang yang dimasak menjadi sayur, atau kulit ketela pohon (ubi kayu) yang dijemur dan ditumbuk lalu dimasak, semuanya menunjukkan gejala kurang pangan dan rendahnya kualitas makanan yang dikonsumsi penduduk pedesaan selama terjadi krisis ekonomi tahun 60an. Berbeda dengan zaman kabluk, krisis tahun 1990-an yang populer disebut dengan istilah krismon (krisis moneter) merupakan dampak dari krisis ekonomi global. Kerusakan infrastruktur ekonomi global terutama pasar modal yang mengalami kekacauan mengakibatkan krisis moneter di suatu tempat cepat merembet ke tempat lain. Bagi Indonesia, krisis yang terjadi pada pertengahan 1997 merupakan krisis yang paling parah dalam sejarah pemerintahan Orba. Krisis yang bermula dari krisis moneter dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar, disertai banyaknya uang swasta menjadi badai krisis berkepanjangan. Pertumbuhan ekonomi yang semula tujuh persen melorot menjadi minus, perdapatan per kapita turun drastis dari USD 1.100 manjadi USD 340, yang berarti Indonesia masuk peringkat kelompok negara-negara termiskin di dunia (AULA, Juli 1998). Krisis moneter yang disusul tumbangnya pemerintahan Orde Baru dan lahirnya era reformasi juga menyimpan kenangan bersama. Masyarakat pedesaan Surakarta memaknai ”reformasi” dengan dipelesetkan menjadi ”repot nasi”, karena pada masa-
-8-
masa awal reformasi keadaan perekonomian nasional kacau dan bahan makanan sangat mahal harganya. Meskipun bahan makanan tersedia cukup, tetapi harganya lipat tigaempat kali dibandingkan periode sebelumnya. Masyarakat awam tidak terlalu memahami apa yang dimakasudkan reformasi dalam konteks kenegaraan dan pemerintahan. Yang mereka ingat adalah kesulitan-kesulitan dalam memperoleh bahan makanan yang murah.
1. Respons Masyarakat Desa Respons masyarakat desa di wilayah Surakarta terhadap krisis ekonomi, baik yang terjadi pada tahun 60-an maupun tahun 90-an, bentuknya bermacam-macam. Ada respons yang sifatnya individual, keluarga, dan komunitas. Pada level individu, setiap orang berusaha mempertahankan hidupnya melalui berbagai cara sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Demikian pula, setiap rumah tangga petani, sesuai dengan potensi yang dimiliki, berusaha mengatasi krisis dan kekurangan pangan menurut pengalaman dan kemampuan rumah tangga itu. Usaha mengatasi krisis juga dilakukan bersama-sama oleh warga desa secara kolektif karena mereka merasa senasib sepenanggungan. Di samping itu, respons penduduk juga menunjukkan bahwa yang mereka lakukan dalam mengatasi krisis adalah usaha mereka sendiri secara mandiri tanpa harus diperintah. Peran pemerintah relatif terbatas karena kemampuan pemerintah sendiri untuk memberi bantuan kepada warga miskin juga sangat terbatas.
a. Memanfaatkan lingkungan sekitar Keadaan krisis yang mengakibatkan kurang makan memaksa penduduk desa mengkonsumsi bahan makanan apa saja yang dapat ditemukan di sekitar untuk segera dikonsumsi. Hal ini dilakukan karena sudah tidak mempunyai simpanan makanan lagi, dan bantuan pemerintah juga tidak kunjung datang. Berbagai faktor, baik politik, sosial, budaya, dan alam, secara simultan menyebabkan terjadinya krisis pangan yang mengancam kelangsungan hidup sebagian besar penduduk miskin di pedesaan. Dalam kondisi seperti itu, pola berburu dan meramu seperti yang dikenal dalam masyarakat primitif, kembali menjadi pilihan penduduk memperoleh bahan makanan. Untuk bertahan hidup, penduduk mengkonsumsi apa saja yang bisa ditemukan di sekitar rumah atau di sekitar desa. Sayuran, buah-buahan, pepohonan, semuanya dijadikan bahan makanan. Di
-9-
sejumlah desa yang berbatasan dengan kawasan hutan, penduduknya mencari bahan makanan di dalam hutan yang langsung dapat dikonsumsi seperti mencari ubi-ubian (ilesiles, gadung, talas, dll). Dalam situasi normal, beberapa jenis makanan itu tidak biasa dimakan karena selain beracun juga dianggap makanan hewan. Namun dalam situasi sulit, apapun dimakan sepanjang dapat memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup. Untuk memenuhi kebutuhan protein, penduduk mencari ikan di sungai-sungai atau sawah di sekitarnya. Bahkan, tikus yang semula menjadi musuh bersama petani karena menyerang tanaman padi dan palawija, dijadikan sumber protein yang dikonsumsi oleh sebagian penduduk yang kekurangan pangan. Menurut salah seorang informan, waktu itu banyak orang mengkonsumsi daging tikus hasil buruan di sawah, sedangkan tikus yang hidup di sekitar rumah tidak pernah dimakan. Jadi, setelah terjadi krisis, baik jenis makanan maupun pola makan penduduk desa berubah. Jenis makanan pokok yang semula beras digantikan jenis makanan lain khususnya palawija (jagung, gaplek, dan umbi-umbian). Kelangkaan beras akibat serangan hama, kekeringan, dan banjir sehingga mengakibatkan gagal panen memaksa penduduk desa beralih ke jenias makanan non-beras. Bahkan, ketika makanan pengganti beras juga semakin langka atau karena harganya makin tak terjangkau, penduduk terpaksa mengkonsumsi jenis makanan lainnya yang kualitasnya rendah. Jenis inilah yang dikenang penduduk dengan istilah kabluk, yaitu jenis makanan yang sebenarnya tidak layak lagi dikonsumsi manusia tetapi terpaksa dimakan untuk bertahan hidup. Gaplek yang sudah berkutu, bekatul yang kasar dan apek, dedaunan dan pepohonan yang sekiranya dapat dikonsumsi dijadikan sumber makanan pengganti beras.
b. Migrasi Cara lain yang dilakukan penduduk untuk bertahan hidup di tengah-tengah krisis pangan yang hebat adalah melakukan migrasi ke luar desa. Migrasi menjadi pilihan lain dalam usaha penduduk memperoleh kesempatan baru dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, misalnya dengan cara bakulan (berdagang) ke beberapa tempat yang jauh dari desanya, atau juga dengan sengaja meninggalkan desanya untuk jangka waktu tertentu atau untuk selamanya. Keputusan migrasi ditentukan banyak faktor, baik faktor pendorong maupun faktor penarik. Keterbatasan sumber daya desa (lahan tandus
- 10 -
misalnya) dan kesulitan ekonomi yang dihadapi di daerah asal merupakan faktor pendorong orang melakukan migrasi. Sementara itu, faktor penariknya adalah keadaan daerah yang hendak dituju yang dibayangkan akan memberi peluang baru dalam rangka meningkatkan taraf hidup. Ketika terjadi krisis tahun 1960-an, banyak penduduk memutuskan pergi ke kota untuk mencari peruntungan. Terjadilah migrasi besar-besar dari desa ini menuju Kota Surakarta yang tidak terlalu jauh. Namun apa yang terjadi kemudian hanyalah memindahkan kemiskinan dari desa ke kota. Surakarta sendiri menjadi porak poranda akibat bencana banjir yang hebat. Kedatangan pendatang baru dari pedesaan menambah beban baru bagi kota Surakarta. Para pendatang akhirnya tetap menjadi bagian warga pinggiran dan tinggal mengelompok di Kampung miskin Dadapan Kalurahan Sangkrah. Selain bekerja seadanya, karena rata-rata mereka tidak mempunyai keterampilan, mereka banyak yang menjadi pengemis dan gelandangan. Pada tahun 60-an jumlah pengemis di kota-kota besar meningkat tajam. Mereka bukan penduduk asli kota itu melainkan para pendatang dari desa yang gagal mendapatkan pekerjaan di kota
c. Usaha Kolektif Usaha mengatasi krisis pangan tidak hanya dilakukan secara individual, melainkan juga dilakukan secara kolektif di bawah pemimpin informal desa maupun lembaga pemerintah (pemimpin formal). Di desa Sambirejo Kabupaten Karanganyar, misalnya, ada usaha bersama mengatasi kesulitan ekonomi yang dilakukan warga desa bersama-sama aparat desa. Ketika terjadi krisis tahun 60-an, diadakan musyawarah desa yang diikuti seluruh warga dan dipimpin oleh kepala desa untuk membicarakan cara-cara mengatasi kekurangan pangan. Musyawarah desa akhirnya memutuskan bahwa semua orang yang dipandang mampu secara ekonomi diharapkan membantu warga miskin yang tidak bisa makan. Ukuran ”mampu” yang digunakan adalah apabila seseorang atau keluarga dalam sehari dapat makan tiga kali dengan lauk pauk yang layak. Caranya, orang-orang yang dipandang mampu ini diminta mengirimkan bahan makanan ke dapur umum yang kemudian dimasak secara bersama-sama. Mereka membawa berbagai jenis bahan pangan seperti singkong, beras, bekatul, nasi gogek (sisa nasi yang telah dikeringkan, nasi aking), sayuran, dan perlengkapan masak lainnya. Semua bahan
- 11 -
makanan dimasak dan dibagi-bagikan kepada warga yang membuthkan bantuan makanan. Dapur umum desa diadakan setiap dua hari sekali dan jatah makanan yang disediakan hanya untuk makan siang. Oleh karena itu, setiap kali mendapatkan jatah pembagian makanan, masing-masing pengurus RT harus datang sendiri mengambil jatah dengan catatan harus membawa sendiri daun pembungkus makanan yang hendak dibagikan itu. Sementara itu, respons masyarakat dalam menghadapi krisis tahun 1990-an dalam beberapa segi masih sama seperti yang dilakukan penduduk pada tahun 60-an. Terjadinya PHK besar-besaran akibat ditutupnya sejumlah pabrik, memaksa penduduk desa yang semula terserap bekerja di sektor non-pertanian kembali lagi ke sektor tradisional yaitu pertanian. Pertanian menjadi katup pengaman penting karena mampu menampung sebagian tenaga kerja pedesaan. Bagi penduduk miskin yang lain, karena penghasilannya terus menurun dan tidak mempunyai simpanan yang cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, yang dilakukan kemudian adalah menjual barang-barang peralatan rumah tangga. Banyak keluarga menjual perabot rumah tangga untuk menutupi kebutuhan. Bila sulit dijual langsung kepada tetangga atau ke tempat penjualan, alternatif lainnya adalah ke kantor gadai. Kantor pegadaian menjadi sangat ramai saat terjadi ketika Krismon karena dipenuhi oleh orang-orang yang membutuhkan uang dengan segera untuk menutupi kebutuhan dasar yang mendesak. 2. Golongan Sosial yang Terkena Dampak Krisis Krisis 60-an dan 90-an memiliki dampak luas bagi
semua lapisan masyarakat
pedesaan. Meskipun demikian, bila dibandingkan dengan krisis tahun 1990-an, krisis tahun 60an atau zaman kabluk merupakan masa sulit yang dirasakan hampir semua penduduk. Semua warga desa mengalami hidup susah secara bersama-sama sehingga hanya sedikit saja keluarga yang tidak mengalami kesulitan hidup. Meskipun demikian, masyarakat desa bukanlah masyarakat yang homogen tetapi merupakan masyarakat yang majemuk baik dilihat dari segi kekayaan, profesi, dan kedudukannya. Ketika krisis ekonomi melanda desa, sudah tentu masyarakat miskin atau golongan petani gurem dan tuna kisma yang pertama-tama paling merasakan dampaknya. Keterbatasan sumber daya
- 12 -
yang mereka miliki, kecuali tenaga, menempatkan golongan ini menjadi kelompok yang paling rentan baik secara sosial maupun ekonomi. Berbeda dengan krisis tahun 60-an, dampak Krismon tahun 90-an lebih banyak menyentuh sektor-sektor ekonomi modern yang ada kaitannya dengan lembaga-lembaga ekonomi modern. Krismon yang diawali jatuhnya harga-harga saham di suatu tempat dengan cepat merembet ke belahan dunia lainnya termasuk Indonesia. Struktur ekonomi modern yang saling berkaitan dan bergantung antara satu negara dengan negara lain sangat rentan terhadap efek domino jatuhnya harga saham dunia. Oleh karena itu, ketika Krismon melanda Indonesia, yang pertama-tama merasakan adalah lembaga-lembaga ekonomi seperti perbankan dan sektor industri modern yang dibiayai bank. Sektor-sektor lainnya seperti sektor informal dan sektor pertanian tradisional relatif tidak tersentuh dan baru kemudian merasakan dampak Krismon. Fenomena beralihnya kekayaan milik penduduk miskin ke penduduk kaya tidak hanya ditemukan pada saat krisis tahun 1960-an, melainkan juga ditemukan pada saat terjadi Krismon tahun 1990-an. Meskipun tidak persis sama, fenomena penjualan harta milik untuk mengatasi krisis juga dilakukan penduduk desa pada tahun 90-an. Barangbarang berharga seperti perhiasan, ternak, perabot rumah tangga, dan bahkan lahan sawah dan pekarangan, terpaksa harus digadaikan atau dijual untuk menutupi kebutuhan. Hanya saja, pada tahun 90-an persediaan bahan makanan di pasar cukup melimpah meskipun harganya sangat mahal. Pemerintah juga masih mampu memberikan bantuan langsung kepada golongan miskin yang tidak mampu menyediakan kebutuhan makan. 3. Perubahan Struktur dan Relasi-Relasi sosial Krisis tidak jarang menyebabkan semakin renggangnya hubungan patron-client di pedesaan karena petani kaya tidak banyak lagi melibatkan tenaga kerja petani miskin. Hubungan-hubungan sosial lama beserta pranata dan kelembagaannya mulai memudar dan digantikan oleh relasi-realasi baru yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi. Demikian pula bukan lagi merupakan kawasan yang serba harmonis, jauh dari konflik, tata tentrem karta raharja, melainkan suatu tempat yang semakin dinamis dan bergejolak. Memudarnya ikatan-ikatan lama yang menekankan pada hubungan resiprositas dan komunalitas digantikan hubungan-hubungan baru yang lebih rasional. Di desa mulai
- 13 -
terjadi kesenjangan yang semakin tajam antara petani kaya yang menguasai lahan sawah luas dan petani miskin yang berlahan sempit maupun petani tak berlahan. Ketika desa kehilangan kemampuannya untuk menyediakan sumber penghidupan yang layak bagi penghuninya, banyak penduduk pergi meninggalkan desa. Di samping itu, perkembangan sosial politik di wilayah pedesaan semakin bergerak secara dinamis dipertajam oleh adanya friksi-friksi antargolongan yang memiliki orientasi ideologis yang berbeda-beda. Meskipun tidak selalu terjadi konflik terbuka, friksi-friksi politik akibat adanya politik aliran secara laten mulai menguat di pedesaan. Terjadinya krismon tahun 90-an tidak banyak mengubah tatanan masyarakat desa kecuali dalam beberapa hal, misalnya turut memperlemah solidaritas mekanis yang telah mapan. Ikatan keluarga dan tetangga masih tetap bertahan dan menjadi tempat mendapatkan perlindungan sosial saat terjadi kesulitan ekonomi. Atau dapat dikatakan, perubahan sosial yang terjadi di pedesaan Surakarta tahun 90-an tidak semata-mata disebabkan oleh faktor tunggal yaitu krisis moneter, melainkan oleh banyak faktor yang secara simultan mendorong terjadinya perubahan masyarakat desa.
KESIMPULAN Dalam beberapa segi, krisis yang terjadi di zaman kabluk tahun 60-an dan Krismon tahun 1990-an memberi dampak yang sama terhadap penduduk pedesaan di Surakarta. Pertama, krisis telah menjadi kenangan bersama yang sulit dihapuskan dan bahkan menjadi kenangan traumatik bagi sebagian orang. Khususnya zaman kabluk, diingat oleh masyarakat Surakarta sebagai masa paling mengerikan karena hampir sebagian orang terancam kelaparan. Makanan sulit didapatkan karena, selain harganya sangat mahal, juga persediaannya terbatas. Hasil pertanian merosot drastis karena bencana alam, yaitu kekeringan yang hebat, banjir, dan serangan hama tikus. Sementara itu, krisis moneter tahun 90-an yang merembet ke krisis-krisis lain (krisis multidimensional) menyebabkan harga-harga kebutuhan pokok tak terjangkau karena berubah drastis (malih rega ‘harganya berubah’) yang diikuti dengan gejala kesulitan mendapatkan makanan (repot nasi, plesetan dari reformasi). Krisis tahun 60-an selalu dipandang sebagai bencana yang menyengsarakan, atau disebut ”pagebluk” yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan mereka. Kekurangan pangan, munculnya wabah
- 14 -
penyakit, dan tingginya angka kematian, menjadi peristiwa sehari-hari yang mudah ditemukan di sudut-sudut desa. Kedua, krisis dihadapi dengan caranya masing-masing sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada di sekitarnya. Masyarakat desa yang tidak homogen tetapi cukup beragam baik secara sosial maupun ekonomi, memberi respons yang juga tidak sama dalam menghadapi krisis. Bagi golongan mampu, badai krisis tidak terlalu mempengaruhi kehidupannya, bahkan mereka memperoleh peluang-peluang
baru. Namun, bagi
golongan miskin yang tidak memiliki suberdaya ekonomi, krisis direspons dengan caracara yang beragam. Respons yang diberikan dapat berupa migrasi atau kembali ke ekonomi ”primitif”. Dalam beberapa kasus ditunjukkan, migrasi menjadi salah satu pilihan yang dilakukan sebagian penduduk miskin untuk menghindari tekanan ekonomi. Mereka pergi ke kota, mengadu nasib untuk mencari penghidupan baru. Ada yang berhasil dan banyak pula yang gagal. Mereka yang gagal akhirnya menjadi pengemis dan gelandangan yang tetap terpinggirkan hidupnya. Mereka yang tetap tinggal di desa berusaha mempertahankan hidupnya dengan cara memanfatkan sumberdaya lokal yang masih tersisa. Misalnya, mereka kembali ke ekonomi “primitif” yaitu berburu dan mengumpulkan bahan makanan yang ada di sekitarnya (di hutan atau persawahan). Istilah kabluk sendiri mengisyaratkan bahwa penduduk terpaksa mengkonsumsi makanan yang sebenarnya sudah tidak layak dikonsumsi. Hal itu dilakukan karena tidak ada alternatif lain kecuali harus mengkonsumsi makanan itu, misalnya gaplek berkutu, bekatul kasar (dhedhak), jenggi, bulgur, bonggol pisang, pohon pepaya, dedaunan, dan bahkan tikus sawah. Tikus tidak hanya dijadikan musuh bersama petani karena menyerang tanaman padi dan palawija, tetapi juga dijadikan sumber protein. Istilah kabluk pengertiannya berbeda-beda antara daerah yang satu dengan lainnya. Ketiga, krisis ekonomi telah menyebabkan hilangnya sumberdaya sosial ekonomi bagi golongan lemah, dan sebaliknya membuka peluang dan kesempatan baru bagi golongan yang kaya. Ketika krisis melanda, sebagian penduduk miskin terpaksa harus menggadaikan ataupun menjual barang-barang berharga miliknya seperti tanah sawah, pekarangan, rumah, perhiasan, ternak, dll., dan ditukar dengan bahan makanan. Barangbarang berharga ini sebagian jatuh ke tangan orang kaya di desa itu karena pemiliknya tidak berhasil mengembalikan hutang atau karena memang sengaja dijual kepadanya.
- 15 -
Terjadilah proses akumulasi kekayaan di satu sisi, dan kehilangan sumberdaya di sisi lain. Sektor pertanian yang semula menjadi andalan semakin berkurang perannya dan digantikan oleh kegiatan non-pertanian. Banyak penduduk miskin pergi meninggalkan kota mencari alternatif ekonomi lain luar pertanian. Keempat, krisis ekonomi yang turut mempengaruhi perubahan struktur dan relasirelasi sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Krisis ekonomi bukan hanya membawa dampak buruk terhadap kemampuan penduduk menyediakan kebutuhan pangan yang cukup, melainkan juga berpengaruh terhadap struktur sosial yang telah mapan. Hubungan-hubungan sosial lama beserta pranata dan kelembagaannya mulai memudar dan digantikan oleh relasi-realasi baru yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi. Demikian pula desa bukan lagi merupakan kawasan yang serba harmonis, jauh dari konflik, melainkan suatu tempat yang semakin dinamis dan bergejolak. Memudarnya ikatan-ikatan lama yang menekankan pada hubungan resiprositas dan komunalitas digantikan hubungan-hubungan baru yang lebih rasional. Di desa mulai terjadi kesenjangan yang semakin tajam antara petani kaya yang menguasai lahan sawah luas dan petani miskin yang berlahan sempit maupun petani tak berlahan. Ketika desa kehilangan kemampuannya untuk menyediakan sumber penghidupan yang layak bagi penghuninya, banyak penduduk pergi meninggalkan desa. Gotong royong sebagai salah satu bentuk cultural domain yang sangat penting di pedesaan selama krisis berlangsung mengalami pergeseran. Di sini gotong royong tidak hanya dinegosiasikan, tetapi saling dimanfaatkan sebagai nilai-nilai yang menata hak dan kewajiban antar warga dalam merespon kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat sebagai sebuah institusi sosial, proses pelestariannya melibatkan pihak-pihak dan mencakup cara-cara yang berbeda.
Ucapan Terima Kasih Tim peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (PUSPARI) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan serta memfasilitasi dana penelitian melalui program penelitian Fundamental
- 16 -
sehingga penelitian mengenai “Krisis dan Respons: Studi tentang Respons Petani dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Dilihat dari Perspektif Sejarah” yang hasilnya telah kami rangkum dalam artikel ilmiah ini, dapat terselenggara dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Arsip. Bandjir Bandang Di Kota Bengawan Tahun 1966 (Koleksi Perpustakaan Rekso Pustaka Pura mangkunegaran Surakarta. Keppres N0 7/3/1966 tentang banjir Solo Sebagai Bencana Nasional. Surat Kolonel Sarwo Edhie Wibowo Kepada Rakyat Surakarta Melalui Gubernur/ KDH Djawa Tengah Muchtar, tanggal 28 Maret 1966. B. Koran Sezaman Kedaulatan Rakyat, 9 Agustus 1962. Kedaulatan Rakyat 14 Agustus 1962. Kedaulatan Rakyat 18 Agust 1962.
B. Buku Booth, A., 1998, The Indonesian economy in the nineteenth and twentieth century; A historical of missed opportunities. London: Macmillan. Boeke, J.H., 1953. Economics and economic policy of dual societies as exemplified by Indonesia. Haalem: Tjeenk Willink. Boomgaard P. and Ian Brown (eds.), Weathering the storm: The economic of South-east Asia in the 1930s Depression , Pp.23-52. Singapore & Leiden: ISEAS and KITLV Press. Burger, D.H., 1975. Perubahan Struktur Masyarakat Jawa, Jakarta: Bhrathara. Dick, Howard, 2003. ”State, Politics, Society and Institutional Learning: Lesson of the 20th Century”, LEMBARAN SEJARAH Vol. 5, No. 1, 2003, hlm. 24-50. Gonggrijp, G., 1938, Schets eener economische geschiedenis van Nederlandsch-Indie, Second edition. Haarlem: Bohn [First edition 1928].
- 17 -
Indah Suryani.1993. “Perubahan Sosial Masyarakat Miskin Kampung Dadapan Di Kalurahan Sangkrah Tahun 1966-1992 (Kajian Sosial Perkotaan Tentang Pemukiman di Kotamadya Surakarta)”, Skripsi Sarjana (Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret. Linblad, J.Th., 1996 (ed), Historical foundations of a national economy in Indonesia, 1890s-1990s. Amsterdam: North Holland [KNAW, Verhandelingen, Sfd.Letterkunde, Niewe Reeks, 167). Maddison A. and G. Prince (eds.), 1989, Economic Growth in Indonesia 1820-1940. Dordrecht/Providence: Foris. (KITLV, Verhandelingen 137). Meert, Henk., 2000. “Rural community life and the importance of reciprocal survival strategies”. Sociologia Ruralis 40 (3): 319-338. Miftahuddin, 2003. ”Surakarta pada Masa Depresi Ekonomi, 1930-an”, LEMBARAN SEJARAH Vol. 5, No. 1, hlm. 51-69. Neytzell de Wilde, A., J. Moll, and A. Gooszen, 1936. The Netherlands Indies during the Depression: A brief economic survey. Amsterdam: J.M. Meulenhoff. Oliver-Smith A. and S.M. Hoffman (eds.), 1999, The angry earth: Disarter in anthropological perspective. London: Routledge. Nagazumi, Akira (Editor). 1988. Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Neytzell de Wilde, A., J. Moll, and A. Gooszen, 1936. The Netherlands Indies during the Depression: A brief economic survey. Amsterdam: J.M. Meulenhoff. O’Malley, W.J., 1977, Indonesia in the great depression: A study of East-Sumatra and Yogyakara in the 1930s [Phd. Thesis Cornell University, Ithaca]. O’Malley W.J., 1983, “Indonesia di Masa Malaise: suatu studi terhadap Sumatera Timur dan Yogyakarta di ahun 1930-an”, Prisma, 8 Agustus, Th. XII, hal. 31-49 Penders, C.L.M., 1984. Bojonegoro 1900-1942; A story of endemic poverty in north east Java - Indonesia, Singapore: Gunung Agung Pratiwi. 2006. “Politik Pangan di Surakarta pada masa pendudukan Jepang tahun 19421945”, Skripsi Sarjana: Jurusan Sejarah FSSR UNS. Rappaport, R. 1993. “Distinguished lecture: the anthropology of trouble”. American Anthropologist 95 (2): 295-303.
- 18 -
Ridha Taqoballah, 2009. ”Banjir Bengawan Solo 1966 Dampak dan Respoms Masyarakat Kota Solo”, Skripsi Sarjana (Surakarta. Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Universitas Sebelas Maret). Sumitro Djojohadikusumo, 1952. Het volkscredietwezen in de depressie. Jakarta: Noordhoff-Kolff NV. Thee Kian Wie (editor), 2005. Pelaku Berkisah: Ekonomi Indonesia 1950-an Sampai 1990-an. Jakarta: Kompas. Sztompka, Piotr, 2000a, “The ambivalence of social change: triumph or trauma?”, Berlin: Wissenschafszentrum Berlin fur Socialforschung gGmbH, Working Paper P00 001. _____, 2000b. “Cultural trauma: the other face of social change”. European Journal of Social Theory 3 (4): 449-466. Warto, 2001, Blandong: kerja wajib eksploitasi hutan di karesidenan Rembang ke-19, Surakarta: Cakra Pustak
abad
Daftar Informan: N0 Nama 1 H. Soewarso
Usia (Th) 75
Alamat Tegalasri, Bejen, Karanganyar
2
I.D Soewarno
67
Ngelosari, Sambirejo, Jumantono.Kra.
3
Sutaryo
87
Ngasinan, Karangbangun, Matesih ,Kra.
4
Kus Raharjo
62
Jl. Gajah Suranto, N0.7.Rt 1/IX, Ska..
5
Sadiyo
75
Purwantoro, Wonogiri
6
Sadikun
73
Purwantoro, Wonogiri
7
Supardji
60
Purwantoro, Wonogiri
8
Wagimin
53
Pandean,Jetis, Sukoharjo
9
Tukijan Tono S
68
Pandean, Jetis, Sukoharjo
10
Boriyem (ibu)
76
Pandean,Jetis, Sukoharjo
11
Wiryo Wiyono (ibu)
79
Pandean, Jetis, Sukoharjo
12
Supardji
60
Purwantoro, Wonogiri
13
Triman
58
Jetis, Karanganyar
14
Sumaryo
56
Karanganyar
- 19 -
ARTIKEL ILMIAH PENELITIAN FUNDAMENTAL
KRISIS DAN RESPONS: STUDI TENTANG RESPONS PETANI DALAM MENGHADAPI KRISIS EKONOMI DILIHAT DARI PERSPEKTIF SEJARAH Oleh: Drs. Sri Agus, M.Pd. Dr. W a r t o, M.Hum.
Dibiayai oleh: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Pekerjaan Penelitian Nomor Kontrak: DIPA UNS No. 0162.0/023-04.2/XIII/2009 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA/ JURUSAN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2009
- 20 -
1. DIPA Universitas Sebelas Maret No. 0162.0/023-04.2/XIII/2009, tanggal 31 Desember 2009. 2. Surat Persetujuan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi No. 231/D3/PL/2009, tanggal 24 Maret 2009.