EVALUASI EFEKTIVITAS PENGENDALIAN RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA TITIK KENDALI KRITIS (CRITICAL CONTROL POINT-CCP) PROSES PENGOLAHAN TUNA LOIN BEKU DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA
MELDA ANIYALISA DAHYAR C34051806
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN MELDA ANIYALISA DAHYAR. Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan BAMBANG RIYANTO. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-CCP) dalam penerapan program Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dengan metode analisis Lean Six Sigma pada industri pengolahan tuna loin beku. Metodologi penelitian meliputi penilaian kelayakan dasar (pre-requisite program - PRP), identifikasi CCP dan evaluasi pengendalian CCP dengan konsep dasar Lean Six Sigma. Jenis data yang digunakan adalah data hasil rekaman sebagai data evaluasi, data hasil penelitian sebagai data verifikasi dan data hasil pengamatan pada tahapan proses yang menjadi Critical Control Point (CCP). Evaluasi pengendalian risiko bahaya histamin pada tahap proses yang menjadi CCP pengolahan tuna loin beku dengan pendekatan DMAIC-Lean Six Sigma memperlihatkan bahwa ada tahap penerimaan bahan baku, define menunjukkan kategori pemborosan Defects (D), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 1,0250 dan 1,3183 (1 ≤ Cpm < 1,99). Analyze menunjukkan faktor penyebab variasi kadar histamin adalah bahan baku, ruang penerimaan dan manusia serta improvement telah dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Pada tahap penyimpanan beku terdapat waste dengan kategori Environmental, Health and Safety (E), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 0,5077 dan 0,4334 (Cpm < 1,00). Analyze menunjukkan faktor penyebab dekomposisi produk adalah cold storage, mesin dan manusia serta improvement dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Pada tahap pengecekan akhir (grading) terdapat waste dengan kategori Defects (D) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Tahap measure menunjukkan Cpm data evaluasi dan verifikasi sebesar 0,9097 (Cpm < 1,00) dan 1,1229 (1 ≤ Cpm < 1,99). Analyze menunjukkan faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku adalah cold storage, bahan baku, manusia dan manajemen serta improvement dapat dilakukan dengan prinsip 6S. Tahap control dilakukan penerapan kaizen blitz. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pengendalian CCP di PT Z belum efektif dan efisien. Ditunjukkan dengan nilai Cpm pada setiap CCP kurang dari 2,00. Adanya wilayah true deviation pada kurva standar deviasi menunjukkan CCP masih belum dapat dikendalikan. Penerapan HACCP yang diintegrasikan dengan Lean Six Sigma akan membuat PT Z mampu mencapai tujuan utamanya untuk selalu meraih keuntungan dan terus berkembang tanpa mengabaikan food safety sehingga penerapan HACCP dapat lebih efektif dan juga efisien.
EVALUASI EFEKTIVITAS PENGENDALIAN RISIKO BAHAYA HISTAMIN PADA TITIK KENDALI KRITIS (CRITICAL CONTROL POINT-CCP) PROSES PENGOLAHAN TUNA LOIN BEKU DENGAN METODE LEAN SIX SIGMA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
MELDA ANIYALISA DAHYAR C34051806
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma
Nama
: Melda Aniyalisa Dahyar
NRP
: C34051806
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc NIP . 196101281986012001
Bambang Riyanto S.Pi, M.Si NIP. 196906031998021001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phill NIP. 195805111985031002
Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, September 2009
Melda Aniyalisa Dahyar
KATA PENGANTAR Puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul ”Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) pada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma”. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesarbesarnya kepada : 1. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, nasihat dan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 2. Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS dan Ibu Desniar, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji, atas segala saran dan masukan bagi penulis. 3. Bapak Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan Departemen Teknologi Hasil Perairan atas segala bantuannya. 4. Pihak manajemen, staff dan karyawan PT Z atas segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian. 5. Bapak Bambang S, Bapak Nanang dan Mbak Sri Marwati yang telah membantu dan membimbing penulis selama penelitian di PT Z. 6. Kedua orang tua tersayang dan adikku Muthi, harapan yang sangat besar terhadap penulis, doa dan kasih sayang yang tiada henti. 7. Kak Timor Mahendra dan Rizal Novanda yang telah memberikan saran dan waktunya untuk konsultasi skripsi kepada penulis. 8. Ali Mujahid yang selalu memberikan kasih sayang, semangat dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Ika Zaharani, Ary Apriland, Istifa Rini, Prilisa dan seluruh keluarga THP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
iv
10. Tim asisten mata kuliah Diversifikasi Hasil Perairan (Zaen, Sofi, Pus, Martca, Fathu, Ado dll) dan tim asisten TPHP (Teteh, Ade, Dan, Rodi dll) atas atas bantuan dan dukungannya selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 11. THP 40, 41, 43 dan Bang Mail atas bantuannya. 12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Namun penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang memerlukan. Bogor, September 2009
Penulis
v
RIWAYAT HIDUP Melda Aniyalisa Dahyar, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1987 sebagai anak pertama dari dua bersaudara, putra dari pasangan Ir. Dahyar, MBA dan Meilina Sari. Penulis mengawali pendidikan di TK Margaluyu dan menyelesaikannya pada tahun 1992. Kemudian melanjutkan di SD Pembangunan IAIN Jakarta pada tahun 1992 sampai dengan 1998. Pada tahun 1998, penulis diterima di SMP Al Azhar 3 Bintaro dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 2001. Setelah itu, penulis diterima di SMU Al Azhar 1 Pusat Jakarta dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima menjadi mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi asisten praktikum mata kuliah Diversifikasi dan Pengembangan Produk Hasil Perairan, Teknologi Pemanfaatan Limbah dan Hasil Samping dan Teknologi Pengolahan Hasil Perairan. Penulis pernah mengikuti pelatihan ISO22000 di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional di Semarang tahun 2008 dan mendapat Juara III sebagai Penyaji Terbaik bidang Kewirausahaan dan Juara II dalam Poster Ilmiah Terbaik bidang Kewirausahaan. Penulis melakukan penelitian dengan judul ”Evaluasi Efektivitas Pengendalian Risiko Bahaya Histamin pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point- CCP) pada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku dengan Metode Lean Six Sigma” dibawah bimbingan Ibu Ir.Wini Trilaksani, M.Sc dan Bapak Bambang Riyanto S.Pi, M.Si.
vi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. x 1. PENDAHULUAN.............................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................... 3 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4 2.1 Ikan Tuna ...................................................................................................... 4 2.2 Tuna Loin ...................................................................................................... 5 2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan................................................................ 7 2.4 Histamin ........................................................................................................ 9 2.5 Sistem Manajemen Keamanan Pangan HACCP ........................................ 12 2.6 Lean Six Sigma ............................................................................................ 14 2.6.1 Lean ................................................................................................... 14 2.6.2 Six Sigma ........................................................................................... 15 2.6.3 Alat peningkatan kualitas lean six sigma .......................................... 16 3. METODOLOGI ............................................................................................. 23 3.1 Jenis Data ................................................................................................... 23 3.2 Metode Penelitian ....................................................................................... 23 3.2.2 Identifikasi titik kendali kritis (critical control point-CCP).............. 24 3.2.3 Evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma ................................... 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 32 4.1 Penilaian Kelayakan Dasar ......................................................................... 32 4.2 Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) ................. 33 4.3 Evaluasi dengan Konsep Dasar Lean Six Sigma ......................................... 48 4.3.1 Pendefinisian (define) ........................................................................ 48 4.3.2 Pengukuran (measure) ....................................................................... 51 4.3.3 Analisis (analyze) .............................................................................. 65 4.3.4 Perbaikan (improvement)................................................................... 72 4.3.5 Kontrol (control) ............................................................................... 75
vii
5. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 78 5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 78 5.2 Saran............................................................................................................ 78 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79 LAMPIRAN ......................................................................................................... 84
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006)..............................
7
2. Toksisitas histamin ................................................................................
11
3. Penyimpangan persyaratan kelayakan dasar pada unit pengolahan. .....
32
4. Lembar periksa EDOWNTIME ............................................................
50
5. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) di PT Z............................................................
52
6. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (verifikasi) pemeriksaan suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku di PT Z.......................................................
56
7. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin ikan tuna loin beku pada tahap pengecekan akhir (grading) di PT Z...........................................
60
8. Analisis FMEA pada tahap penerimaan bahan baku dan pengecekan akhir......................................................................................................
62
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Ikan tuna (Thunnus Sp) ...........................................................................
5
2. Perubahan histidin menjadi histamin ......................................................
10
3. Simbol standar dari pemetaan proses. .....................................................
17
4. Contoh peta kontrol .................................................................................
19
5. Contoh diagram sebab-akibat ..................................................................
21
6. Penilaian efektivitas pengendalian CCP dengan kurva standar deviasi ..
29
7. Prosedur kaizen blitz ...............................................................................
31
8. Diagram alir proses pengolahan tuna loin beku di PT Z.........................
36
9. Penerimaan bahan baku...........................................................................
37
10. Penimbangan 1 ......................................................................................
38
11. Pembekuan 1 .........................................................................................
39
12. Cold storage bahan baku ........................................................................
39
13. Pembentukan loin dengan mesin ...........................................................
40
14. Pembuangan isi perut dan otoro............................................................
40
15. Pembekuan 2 .........................................................................................
41
16. Pengecekan akhir ..................................................................................
42
17. Glazing ..................................................................................................
43
18. Pembungkusan ......................................................................................
44
19. Pendekteksian logam.............................................................................
44
20. Penimbangan 2 ......................................................................................
45
21. Pengemasan dalam master carton........................................................
46
22. Penyimpanan beku 2 .............................................................................
47
23. Stuffing ..................................................................................................
47
24. Value Stream Process Mapping proses pengolahan tuna loin beku .....
49
25. Kurva standar deviasi dan peta kendali data evaluasi kadar histamin ikan tuna pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) selama bulan Januari-Desember 2008..............................................................
53
26. Kurva standar deviasi dan peta kendali data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin ikan tuna pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) selama bulan Februari sampai Maret 2009.................................................................................. ..........
54
x
27. Kurva standar deviasi dan peta kendali data evaluasi suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku selama bulan November 2008 sampai Januari 2009....................................................................
57
28. Kurva standar deviasi data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku selama bulan Februari sampai Maret 2009.................................
58
29. Kurva standar deviasi dan peta kendali data evaluasi kadar histamin pada tahapan pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku selama bulan Januari sampai Desember 2008......................................
60
30. Kurva standar deviasi dan peta kendali data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin pada tahapan pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku selama bulan Februari sampai Maret 2009...........................................................................................
61
31. Diagram sebab akibat pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) .
67
32. Diagram sebab akibat tahap penyimpanan beku bahan baku.................
69
33. Diagram sebab akibat tahap pengecekan akhir (grading) ......................
71
xi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Deskripsi produk ...................................................................................
84
2. Standard Sanitation Operation Procedure ...........................................
85
3. Good Manufacturing Practices (GMP) ................................................
87
4. Daftar penilaian / check list Unit Pengolahan Ikan (UPI) ....................
91
5. Lembar analisis bahaya .........................................................................
109
6. Lembar identifikasi CCP .......................................................................
114
7. Lembar pengendalian CCP ...................................................................
115
8. Prosedur pengujian histamin assay kit ..................................................
116
9. Lay out ruang pengolahan .....................................................................
117
10. Contoh perhitungan .............................................................................
118
11. Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma ........................................
119
12. Data verifikasi histamin ......................................................................
123
13. Data evaluasi histamin ........................................................................
124
14. Data verifikasi suhu cold storage........................................................
125
15. Data evaluasi suhu cold storage..........................................................
126
16. Dokumentasi kegiatan penelitian ........................................................
128
17. Form 01 Record of receiving raw material .........................................
129
18. Form 02. Record of final checking .....................................................
130
19. Form 03. Record of process temperature...........................................
131
20. Form 04. Daily sanitation audit form .................................................
132
21. Form 05. ABF check report.................................................................
133
22. Form 06 Cold storage check report ....................................................
134
23. Form 07 Scale calibration ...................................................................
135
24. Form 08 Record of laboratory inspection ...........................................
136
25. Form 09 Control pest form..................................................................
137
26. Form 10 Tally sheet.............................................................................
138
27. Data verifikasi histamin tuna loin beku .............................................
139
28. Data evaluasi histamin tuna loin beku ................................................
140
29. Klasifikasi peringkat dari Severity (S), Occurrence (O) dan Detection (D).......................................................................................
141
30. Perbedaan klasifikasi kualitas mutu (grade) ikan tuna………………
143
xiii
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu produsen utama tuna di dunia. Data ekspor dan impor DKP tahun 2008 menunjukkan nilai ekspor ikan tuna mencapai 337,89 juta dollar AS (DKP, 2008a). Walaupun mengalami peningkatan ekspor secara signifikan pada tahun 2007 sebesar 20,17% dibandingkan dengan tahun 2006 (DKP, 2008b), industri tuna Indonesia masih memiliki permasalahan yakni adanya penolakan oleh negara importir yang berhubungan dengan masalah keamanan pangan, terutama tingginya kadar histamin. Laporan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa tahun 2007 mencatat bahwa terdapat 22 kasus impor tuna dari Indonesia yang produknya mengandung histamin yang melebihi batas keamanan pangan (EC, 2007). Food and Drugs Administration Amerika Serikat (US-FDA) juga melaporkan kasus penolakan tuna Indonesia, dimana pada tahun 2007 terdapat 13 kasus penolakan dan pada tahun 2008 terdapat 7 kasus penolakan akibat kadar histamin yang melebihi ambang batas keamanan pangan (FDA, 2009). Histamin terbentuk dari dekarboksilasi asam amino histidin bebas oleh enzim histidin dekarboksilase yang ada pada tubuh ikan itu sendiri ataupun yang ada pada bakteri tertentu. Histamin banyak terdapat pada daging ikan famili Scombroidae seperti tuna (Kim et al., 2000). Keracunan histamin terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung histamin tinggi. Intoksikasi histamin tersebut terjadi dengan gejala seperti kemerahan di sekitar leher dan wajah, badan terasa panas, gatal-gatal, diare dan sakit kepala (Dalgaard et al., 2008). Masalah keamanan pangan dalam industri tuna tersebut perlu dikontrol dalam suatu sistem manajemen keamanan pangan. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) yang telah diimplementasikan hampir di semua negara adalah suatu manajemen keamanan pangan dengan pendekatan sistematik yang mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya-bahaya untuk memastikan jaminan keamanan pangan. HACCP difokuskan pada pencegahan dengan cara
2
menganalisis bahaya yang ada, menentukan titik kendali kritis dan menerapkan kontrolnya pada titik kendali kritis tersebut (CAC, 2003). Walaupun sistem HACCP dapat diandalkan, namun rencana HACCP (HACCP plan) yang ada umumnya dibuat berdasarkan pernyataan normatif, terutama pada tahapan analisis bahaya (analysis of hazard) yang menjadi fokus kajian bahaya keamanan pangan, sehingga sangat sulit melihat tingkat efektifitas pengendalian bahaya potensial yang nyata yang merupakan titik kendali kritisnya (Vela dan Fernandez, 2003). Menurut penelitian Violaris et al. (2008), sebanyak 44,3 % perusahaan makanan di Cyprus tidak mengenal sistem HACCP. Menurut penelitian Ropkins dan Beck (2000), penerapan HACCP di sejumlah perusahaan makanan di Jerman dan New Zealand masih belum efektif. Ditunjukkan dengan banyaknya perusahaan makanan yang salah mengidentifikasi CCP dan menganggap jika sudah melakukan prosedur sanitasi dengan baik berarti melakukan sistem HACCP. Sedangkan di negara berkembang seperti Thailand, banyak hambatan dalam menerapkan HACCP antara lain karena masalah kurangnya pendidikan dan pelatihan mengenai HACCP. Selain itu data statistik acuan dasar tentang bahaya potensial pada negara tersebut tidak banyak tersedia, sehingga rencana HACCP yang disusun masih harus diuji efektivitasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan suatu kajian program manajemen mutu untuk mengevaluasi penerapan HACCP di perusahaan, sehingga konsep dan pelaksanaan HACCP dapat lebih dirasakan lagi manfaatnya bagi perusahaan (Panisello dan Quantick, 2000). Mazzocco (1996) menyatakan bahwa penerapan HACCP di perusahaan perlu juga diintegrasikan dengan berbagai sistem manajemen mutu lain. Pada prosedur pemantauan misalnya, data yang diperoleh dapat dianalisis secara statistik untuk mengetahui tingkat efektivitas pengendalian CCP yang telah dilakukan. Perkembangan konsep sistem manajemen mutu yang berkembang saat ini adalah Lean Six Sigma, dimana konsep ini diakui sebagai suatu sistem manajemen yang
dapat
meningkatkan
efektivitas
dan
efisiensi
kinerja
perusahaan
(Jugulum dan Samuel, 2008). Lean Six Sigma yang merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu filosofi bisnis, pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) atau
3
aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah (non-value added activities) melalui peningkatan
terus-menerus
untuk
mencapai
tingkat
kinerja
6-Sigma
(Larson, 2003). Lean six sigma yang mempunyai prinsip LSS-DMAIC (Lean Six Sigma enhanced-Define, Measure, Analyze, Improve and Control) ini diakui sebagai suatu sistem manajemen yang dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja perusahaan, selain juga dapat menghilangkan faktor-faktor yang menghambat peningkatan efektivitas suatu sistem produksi yang ada. Prinsip Define digunakan untuk menentukan sasaran proses, prinsip Measure digunakan untuk mengevaluasi proses yang ada dengan target yang diharapkan, prinsip Analyze digunakan untuk menganalisis masalah, prinsip Improvement digunakan untuk perbaikan-perbaikan yang dibutuhkan perusahaan untuk mencapai sasaran dan prinsip Control digunakan untuk memantau dan melakukan pengendalian terhadap proses secara terus menerus untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six Sigma (El-Haik dan Al-Aomar, 2006). Konsep Lean Six Sigma yang diterapkan pada sistem HACCP diharapkan akan menimbulkan keseimbangan dalam perusahaan yang memfokuskan tujuan perusahaan pada keamanan pangan produk sekaligus juga kepada aspek yang penting lainnya seperti sumberdaya manusia, keuangan, keuntungan, pertumbuhan serta kesinambungan dari perusahaan. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (critical control point-CCP) proses pengolahan tuna loin beku dengan metode lean six sigma.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ikan Tuna Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap. Ikan tuna termasuk ikan karnivor dan dapat mencapai panjang 50 – 250 cm (Saanin, 1984). Pergerakan tuna albacore mencakup wilayah perairan samudra Atlantik dan hanya sedikit terdapat di Samudera Hindia. Tuna mata besar (bigeye tuna) dan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) terdistribusi di sepanjang Samudera Pasifik dari Amerika ke Asia dan terdapat juga di Samudera Hindia. Cara penangkapannya dengan memakai peralatan seperti longline dan pole and line (De Leiva dan Majkowski, 2004). Migrasi ikan tuna di Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan perairan antara Samudera Hindia dan Pasifik (DKP, 2008c). Bentuk ikan tuna ditunjukkan pada Gambar 1, sedangkan klasifikasi ikan tuna sebagai berikut (Saanin, 1984; Block dan Stevens, 2001): Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Teleostei
Sub kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Perciformes
Sub ordo
: Scombroidei
Famili
: Scombridae
Sub famili
: Scombrinae
Genus
: Thunnus
5
Species
: Thunnus obesus (bigeye tuna, tuna mata besar) T. alalunga (albacore, tuna albacore) T. tonggol (longtail tuna, tuna ekor panjang) T. albacares (yellowfin tuna, madidihang) T. macoyii (southern bluefin tuna, tuna sirip biru selatan) T. thynnus (northern bluefin tuna, tuna sirip biru utara) T. atlanticus (blackfin tuna, tuna sirip hitam)
Gambar 1. Ikan tuna (Thunnus Sp) (Collette dan Nauen, 1983) 2.2 Tuna Loin Tuna loin mentah beku adalah produk yang dibuat dari tuna segar atau beku yang mengalami perlakuan penyiangan, pembelahan membujur menjadi 4 bagian (loin), pembuangan daging gelap (dark meat), pembuangan lemak, pembuangan kulit, perapihan, dan pembekuan cepat (rapid freezing) serta suhu pusatnya maksimum -18 0C (Badan Standardisasi Nasional, 2006). Cara penanganan dan pengolahan ikan tuna loin berdasarkan ketentuan SNI 01-4104.3-2006 meliputi: 1) Penerimaan Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. 2) Penyiangan atau tanpa penyiangan Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C.
6
3) Pencucian 1 (khusus yang menggunakan bahan baku segar). Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. 4) Pemotongan daging (pembuatan loin) Pembuatan loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk 4,4 °C. 5) Pengulitan dan Perapihan Tulang, daging merah dan kulit yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengulitan dan perapihan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu produk 4,4 °C. 6) Sortasi mutu Sortasi mutu dilakukan dengan memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. 7) Pembungkusan Loin yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4 °C. 8) Pembekuan Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan alat pembeku seperti ABF hingga suhu pusat ikan mencapai maksimal
–18 °C dalam waktu
maksimal 4 jam. 9) Penimbangan Loin ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18 °C. 10) Pengepakan Loin yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter.
7
2.3 Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan Mutu atau kualitas adalah sesuatu yang memenuhi kebutuhan atau harapan pelanggan. Mutu ikan identik dengan kesegaran ikan. Bentuk bahan baku ikan segar dapat berupa ikan utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan kebusukan, bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu dan tidak membahayakan kesehatan (Bremner, 2000). Syarat mutu tuna loin mentah beku yang dianjurkan sesuai dengan SNI 01-4104.1-2006 tercantum pada Tabel 1. Tabel 1. Standar mutu tuna loin beku (SNI 01-4104.1-2006). No Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
1
Organoleptik, minimum
Angka (1-9)
7
2.
Cemaran mikroba a. ALT, maksimum
Koloni/g
5 x 105
b. Escherichia coli
APM/g
Maksimal <2
c. Salmonella
APM/g
Negatif
d. Vibrio cholerae
APM/g
Negatif
e. V. parahaemolyticus
APM/g
Negatif
a.Timbal, maksimum
mg/kg
0,4
b. Raksa, maksimum
mg/kg
1
c. Cadmium, maksimum
mg/kg
0,5
d. Histamin, maksimum
mg/kg
100
0
-18
3.
5.
Cemaran Kimia
Fisika a.Suhu pusat,
C
maksimum b. parasit
Ekor
0
Sumber: Badan Standarisasi Nasional 2006. ALT: Angka Lempeng Total APM: Angka paling memungkinkan
Mutu merupakan suatu kata yang paling sering digunakan dan sangat penting dalam penelitian tentang perikanan. Kesegaran ikan memberikan
8
kontribusi besar terhadap mutu dari ikan tersebut. Kemunduran mutu pada ikan dapat disebabkan oleh penanganan bahan baku pada saat pascapanen ataupun saat diolah (Bremner, 2000). Perubahan reaksi biokimia dan fisika kimia yang sangat cepat terjadi mulai dari ikan tersebut dibunuh sampai dikonsumsi. Perubahan ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu (Eskin, 1990): 1) Tahap prerigor Pada tahap ini daging ikan kenyal dan lembut. Reaksi biokimia yang terjadi yaitu ATP dan kreatin fosfat menurun dan aktifnya reaksi glikolisis postmortem. Reaksi glikolisis ini mengubah glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan pH menurun. 2) Tahap rigor mortis Pada tahap rigor mortis, jaringan otot menjadi kaku. Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematiannya. Pada fase ini terjadi ikatan permanen aktin dan miosin yang disebut aktomiosin. Tingkat kekakuan dan kekenyalan dari jaringan daging ikan biasanya dapat dijadikan sebagai indikator kualitas ikan tersebut oleh para konsumen. Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Fase rigor mortis dianggap penting karena pada fase ini belum terjadi proses pembusukan dan dikenal sebagai petunjuk bahwa ikan masih dalam keadaan segar. 3) Tahap postrigor Pada saat fase post rigor mortis, daging kembali melunak dan proses autolisis mulai terjadi. Autolisis dimulai bersamaan dengan menurunnya pH. Mula-mula protein terpecah menjadi polipeptida, pepton, dan akhirnya menjadi asam amino. Disamping asam amino, autolisis juga menghasilkan sejumlah kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga kekenyalan menurun. Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri. Semua
9
hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroba lainnya. Kerusakan mikrobiologis mulai intensif setelah proses rigor-mortis selesai. Bakteri yang semula hanya berada di insang, isi perut, dan kulit ikan mulai masuk ke otot dan memecahkan senyawa-senyawa sumber energi seperti protein, lemak dan karbohidrat menjadi senyawa-senyawa pembusuk berupa indol, skatol, amonia, asam sulfida, dan lain-lain. Kerusakan mikrobiologis ini merupakan yang dianggap paling bertanggung jawab dalam pembusukan ikan, baik segar maupun olahan. Bakteri merusak ikan lebih parah daripada kerusakan yang diakibatkan oleh enzim (Gram dan Dalgaard, 2002). Semula bakteri bersarang pada permukaan tubuh, insang dan di dalam perut. Bakteri ini secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga penguraian oleh bakteri mulai berlangsung intensif ketika rigor mortis telah selesai, yaitu setelah daging menjadi lunak dan celah-celah seratnya terisi cairan. Akhir fase rigor saat hasil penguraian makin banyak, kegiatan bakteri pembusuk mulai meningkat. Aktivitas bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan biokimiawi dan fisikawi yang pada akhirnya menjurus pada kerusakan secara menyeluruh yang disebut sebagai kebusukan (Eskin, 1990). 2.4 Histamin Keracunan histamin atau Histamine Fish Poisoning (HFP) merupakan suatu intoksikasi akibat mengkonsumsi ikan laut yang umumnya famili scombroid seperti tuna, mackarel, cakalang dan sejenisnya. Histamin adalah senyawa amin biogenik yang terbentuk dari asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Dalgaard et al., 2008). Histamin memiliki struktur molekul C5H9N3 dengan nama IUPAC 2-(1Himidazol-4-yl) ethanamine berat molekul 111.15 g/mol (Paiva et al. 1970). Satuan kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam mg/100g, mg % atau ppm (mg/1000 g) (Kimata, 1961). Perubahan histidin menjadi histamin dapat dilihat pada Gambar 2.
10
Gambar 2. Perubahan histidin menjadi histamin (Huss et al., 2004) Pembentukan histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu autolisis dan aktivitas bakteri. Jumlah histamin yang dihasilkan melalui aktivitas enzim selama proses autolisis lebih rendah dibandingkan dengan histamin yang dihasilkan oleh aktivitas bakteri selama proses pembusukkan berlangsung. Pada kondisi optimum jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10-15 mg/100 gram daging ikan (Kimata, 1961). Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan histidin, jenis dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba serta dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Kandungan histidin bebas yang tinggi pada daging ikan tuna yang menyebabkan HFP, biasanya terdapat 10.000 mg/kg histidin bebas pada daging tuna. Daging ikan yang menyebabkan HFP biasanya mempunyai nilai pH 6 (Dalgaard et al., 2008). Selama
proses
kemunduran
mutu,
bakteri
memproduksi
enzim
dekarboksilase yang akan mengubah histidin bebas dan asam amino lain pada daging ikan menjadi histamin dan amin biogenik lain seperti putresin (dari ornitin), kadaverin (dari lisin), dan spermidin dan spermin (dari arginin) (Eitenmiller dan De Souza, 1984 dalam Lehane dan Olley, 2000). Toksisitas histamin bertambah ketika ada amin biogenik lain yang ikut dikonsumsi seperti putresin dan kadverin (Rossi et al., 2002). Ketika enzim histidin dekarboksilase sudah terbentuk maka enzim tersebut akan terus membentuk histamin walaupun bakterinya sudah tidak aktif (Kimata, 1961). Bakteria jenis Clostridium perfringens, Enterobacter aerogenes, Klebsiella pneumoniae, Morganella morganii, Proteus mirabilis, Raoutella planticula dan Vibrio alginolyticus termasuk dalam golongan bakteri yang
11
menyebabkan histamin terbentuk sampai tingkat membahayakan pada suhu 17 – 30 0C (Kanki et al., 2002; Kimata, 1961; Taylor et al., 1979; Yoshinaga dan Frank,
1982).
Bakteri
Morganella
psychrotolerant
dan
Photobacterium
phosphoreum dapat memproduksi histamin pada suhu dingin, dimana sebanyak 31% ikan yang disimpan pada suhu -1 0C sampai 5 0C terdapat histamin sampai kadar 500 ppm (Emborg dan Dalgaard, 2008). Secara fisiologis histamin dalam dosis rendah diperlukan sebagai fungsi normal sistem tubuh. Memakan makanan yang mengandung sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia, namun jika mengandung banyak histamin maka akan bersifat toksik. Sistem intestinal dari manusia mengandung enzim diamine oxidase (DAO) dan Histamin N-methyl transferase (HMT) dimana akan mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya, akan tetapi jika dosis histamin yang dikonsumsi besar maka kemampuan dari DAO dan HMT untuk menghancurkan histamin akan menyebabkan efek toksik dari histamin pada jaringan tubuh. Gejala keracunan histamin adalah gatal-gatal, diare, demam, sakit kepala, dan tekanan darah turun (Keer et al., 2002). Food and Drug Administration (FDA) menetapkan bahwa untuk ikan tuna dan ikan sejenisnya, 5 mg histamin/100 gram daging ikan merupakan jumlah yang harus diwaspadai dan sebagai indikator terjadinya dekomposisi, sedangkan 50 mg histamin/100 gram daging ikan merupakan jumlah yang membahayakan atau dapat menimbulkan keracunan. Oleh karena itu, jika ditemukan ikan dengan kandungan 5 mg histamin/100 gram daging ikan pada satu unit, maka terdapat kemungkinan pada unit yang lain, kadar histamin dapat mencapai lebih dari 50 mg/100 gram (FDA, 2001). Tingkat toksisitas histamin dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Toksisitas Histamin Kadar histamin per 100 g
Tingkat bahaya
Kurang dari 5 mg
Aman dikonsumsi
5-20 mg
Kemungkinan toksik
20-100 mg
Berpeluang toksik
Lebih dari 100 mg
Toksik
Sumber: Shalaby (1996) dalam Sumner et al. (2004)
12
2.5 Sistem Manajemen Keamanan Pangan HACCP Sistem Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) merupakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan. HACCP menekankan pentingnya mutu keamanan pangan, karena itu sebagai suatu sistem manajemen keamanan pangan, HACCP dapat diterapkan pada seluruh mata rantai proses pengolahan produk pangan mulai dari bahan baku sampai produk dikonsumsi (Pierson dan Corlett, 1992). HACCP mempunyai pendekatan sistematik dalam mengidentifikasi bahaya untuk memastikan keamanan pangan. HACCP merupakan alat untuk menilai bahaya dan menerapkan kontrolnya, yang difokuskan pada pencegahan (CAC, 2003). Survei yang dilakukan pada industri makanan beku di Inggris, menyatakan bahwa sebanyak 82,2% perusahaan telah menerapkan sistem HACCP secara menyeluruh, 14% dari industri tersebut baru menjalankan sistem HACCP dan hanya 4% yang belum menerapkan HACCP (Panisello et al., 1999). Selain itu, survei terhadap industri daging di Kanada menyatakan bahwa 92% dari perusahaan daging skala besar dan 81,2% dari perusahaan daging skala menengah sudah menerapkan HACCP (Herath dan Henson, 2006). Hal tersebut menunjukkan bahwa HACCP merupakan sistem manajemen keamanan pangan yang sangat diperlukan dalam industri pangan. Program HACCP didasarkan pada tujuh prinsip. Ketujuh prinsip tersebut adalah (CAC, 2003): 1) Melakukan suatu analisis bahaya (hazard analysis) dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi bahaya-bahaya terhadap keamananan produk pangan yang dapat terjadi dalam proses produksi serta tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya atau risiko potensial yang membahayakan. 2) Mengidentifikasi titik pengendalian kritis (Critical Control Point - CCP). CCP adalah tahapan dimana jika terjadi kehilangan kendali akan mengakibatkan bahaya keamanan pangan. CCP ditentukan dengan desicion tree.
13
3) Menetapkan batas-batas kritis (Critical limit). Suatu batas kritis adalah nilai maksimum atau minimum yang harus dikendalikan pada setiap CCP. Biasanya berhubungan dengan kriteria seperti suhu, pH, kadar air dan lain-lain. 4) Prosedur pemantauan (monitoring) yang terdiri atas aktivitas pengamatan, pengukuran atau pengujian yang dilakukan untuk menilai apakah suatu CCP berada dalam batas-batas kritis yang ditetapkan atau tidak. 5) Melakukan tindakan korektif dan pencegahan yang diperlukan. Program HACCP harus mencakup prosedur tindakan korektif dan/atau preventif untuk menghindari pemusnahan produk dari ketidaksesuaian serta melakukan memperbaikinya. 6) Melakukan verifikasi ulang terhadap rencana HACCP secara regular dan periodik untuk melihat apakah sistem efektif sesuai dengan rencana awal dan jika memungkinkan rencana-rencana dapat dimodifikasi untuk mencapai tujuan keamanan produk. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk melihat apakah HACCP berjalan efektif. 7) Mendokumentasikan catatan-catatan untuk mengembangkan suatu prosedur pengendalian catatan yang efektif, konsisten dan dapat diandalkan harus diperoleh selama operasi program HACCP dan harus selalu tersedia untuk penggunaan dan tinjauan manajemen. Selanjutnya penerapan atau aplikasi program HACCP dilakukan dengan 12 langkah yaitu pembentukan tim HACCP, deskripsi produk, pembuatan diagram alir, verifikasi diagram alir dan penerapan tujuh prinsip HACCP (CAC, 2003). Dalam menerapkan program HACCP umumnya terdapat berbagai hambatan yaitu faktor dari pelanggan, faktor bahasa, faktor lingkungan, kompentensi, motivasi, pemahaman dan kesadaran tentang program HACCP itu sendiri (Giling et al., 2001 dalam Vela dan Fernandez, 2003). Menurut penelitian Hayes et al. (1997), aplikasi SPC yang terintegrasi dalam six sigma pada sistem HACCP digunakan untuk analisis kecenderungan (trend analysis), mengontrol dan
mengevaluasi titik-titik kendali kritis
(CCP) secara statistik dan
memperingatkan tentang status kendali kritis lebih dini.
14
2.6 Lean Six Sigma Lean Six Sigma yang merupakan kombinasi antara Lean dan Six Sigma dapat didefinisikan sebagai suatu cara untuk memaksimalkan nilai proses dengan mencapai peningkatan tercepat dalam menyelesaikan masalah kepuasan konsumen, biaya, kualitas dan kecepatan proses (George, 2002). Pendekatan Lean bertujuan untuk menghilangkan pemborosan (waste reduction), memperlancar aliran material, produk dan informasi serta peningkatan secara terus menerus. Pendekatan Six Sigma bertujuan untuk mereduksi variasi (variation reduction), pengendalian proses dan peningkatan secara terus menerus. Integrasi Lean-Sigma akan meningkatkan kinerja bisnis dan industri melalui peningkatan kecepatan (shorter cycle time) dan akurasi (zero defect). Pendekatan Lean akan menyingkapkan proses yang tidak bernilai tambah (non value added) dan yang bernilai tambah (value added) serta membuat proses yang value added mengalir secara lancar sepanjang aliran proses-proses bernilai tambah (value stream processes), sedangkan Six Sigma akan mereduksi variasi dari proses yang value added itu (Jugulum dan Samuel, 2008). 2.6.1 Lean Lean adalah suatu upaya terus menerus untuk menghilangkan pemborosan (waste) dan meningkatkan nilai tambah (value added) produk (barang dan atau jasa) agar memberikan nilai kepada pelanggan. Fokus Lean, yaitu fokus pelanggan dan pereduksian biaya dengan mereduksi aktivitas-aktivitas yang tidak bernilai tambah (non-value added activities) (George, 2002). Terdapat lima prinsip dasar Lean yaitu mengidentifikasi nilai produk berdasarkan keinginan pelanggan, mengidentifikasi pemetaan proses pada value stream (value stream process mapping) untuk setiap produk, membuat value flow, menghilangkan pemborosan yang tidak bernilai tambah dari semua aktivitas sepanjang proses value stream tersebut, mengorganisasikan agar produk itu mengalir secara lancar dan efisien sepanjang proses value stream dan tetap mencari berbagai teknik dan alat peningkatan (improvement tools and techniques) untuk mencapai kesempurnaan (Breyfogle, 2003). Lean berfokus pada identifikasi dan mereduksi aktivitas-aktivitas tidak bernilai tambah (non value adding activities) yang merupakan pemborosan
15
(waste). Waste adalah semuanya selain jumlah orang, usaha, material, informasi dan peralatan minimum yang digunakan dalam suatu proses untuk menghasilkan nilai tambah produk. Waste harus dihilangkan guna meningkatkan nilai produk dan selanjutnya meningkatkan customer value (George, 2002). 2.6.2 Six Sigma Six Sigma merupakan suatu evolusi dari total quality management (TQM). Six Sigma adalah metode yang digunakan oleh kalangan industri didukung oleh ahli-ahli statistik agar dapat memperbaiki kemampuan proses untuk menghasilkan produk sebesar Six Sigma, yaitu 3,4 kemungkinan kesalahan dalam 1 juta kali kesempatan produksi (defects per million opportunities – DPMO) sehingga hasilnya adalah 99,9996 % (Tang et al., 2006). Six sigma menggunakan model DMAIC, yaitu akronim dari Define, Measure, Analyze, Improvement and Control yang secara tidak langsung setiap tahap berhubungan dengan lean dan six sigma (George, 2002): a) Define, tujuan dari tahap ini adalah memperjelas tujuan dari proyek lean six sigma. Tim mendesain rencana proyek secara keseluruhan dan sasaran peningkatan proses yang konsisten. b) Measure, yaitu tahap dalam mengumpulkan data dalam suatu masalah dan dilakukan pemetaan proses. Pada tahap ini juga kinerja proses diukur menggunakan alat analisis seperti peta kontrol, pareto dan lain-lain. c) Analyze, pada tahap ini tim menganalisis penyebab cacat atau variasi pada produk dari pemetaan proses. Tahap ini juga menganalisa hubungan sebab akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan pada tahap selanjutnya. d) Improve, pada tahap ini tim menggunakan alat analisis untuk mengeliminasi cacat juga mengoptimalisasikan kecepatan dan kualitas proses. e) Control, setelah proses mencapai kualitas yang diinginkan maka tahap ini digunakan untuk memantau dan melakukan pengendalian terhadap proses secara terus menerus untuk meningkatkan kapabilitas proses menuju target Six Sigma. Kapabilitas proses merupakan kemampuan proses dalam menghasilkan produk yang diinginkan. Secara umum kapabilitas proses menggambarkan
16
performansi terbaik dari proses tersebut, dengan demikian kapabilitas proses berkaitan dengan variasi proses. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, maka proses tersebut akan menghasilkan produk yang berada dalam batasan spesifikasi dan sebaliknya (Breyfogle, 2003). Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Analisis kapabilitas proses merupakan bagian yang sangat penting dari keseluruhan program peningkatan mutu. Manfaat dari analisis kapabilitas proses terhadap peningkatan mutu adalah dapat menduga seberapa baik proses akan memenuhi toleransi, dapat membantu pengembang atau perancang produk dalam memilih atau mengubah proses dan mengurangi keragaman dalam proses produksi (Tang et al., 2006). 2.6.3 Alat Peningkatan Kualitas Lean Six Sigma Lean Six Sigma mempunyai berbagai alat peningkatan kualitas untuk menerapkan program tersebut dengan prinsip Lean Six Sigma (LSS)-DMAIC. Alat peningkatan kualitas ini dapat digunakan untuk identifikasi masalah, mendefinisikan masalah dan problem solving (Larson, 2003). 2.6.3.1 Value stream process mapping Value stream process mapping (VSPM) adalah pemetaan proses mulai dari bahan baku sampai produk jadi. Pemetaan proses yang baik seharusnya menggambarkan proses secara keseluruhan apakah adanya proses menunggu, proses pengambilan keputusan, kegiatan yang tidak menghasilkan nilai tambah dan rework. Pembuatan VSPM menggunakan simbol-simbol tertentu (Gambar 3) untuk menggambarkan proses menunggu, penyimpanan, pengambilan keputusan, antrian dan inspeksi (El-Haik dan Al-Aomar, 2006).
17
= Tahapan proses
= Inspeksi
= Penyimpanan
= Menunggu atau terlambat
= Pengambilan keputusan
Gambar 3. Simbol standar dari pemetaan proses (El-Haik dan Al-Aomar, 2006). 2.6.3.2 Statistical Process Control (SPC) Statistika dapat diartikan sebagai metode-metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna. Metode statistika dapat digunakan dalam pengumpulan, penyajian, analisis dan penafsiran data. Statistika diartikan sebagai seni pengambilan keputusan tentang suatu proses atau populasi berdasarkan pada suatu analisis informasi yang terkandung di dalam suatu sampel dari populasi tersebut. Metode statistika memegang peranan penting dalam jaminan mutu. Metode statistika memberikan cara-cara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasinya dan informasi di dalam data itu digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan proses pembuatan (Montgomery, 1996). Statistika pengendalian proses adalah suatu sistem yang dikembangkan untuk menjaga agar hasil produksi memiliki mutu yang seragam pada tingkat biaya minimum dan merupakan bantuan untuk mencapai efisiensi perusahaan. Peningkatan mutu ini dapat memberikan kepuasan kepada pemakai atau pelanggan serta untuk meningkatkan produktivitas sumber daya manusia dan perusahaan (Joglekar, 2003) Variasi-variasi tersebut dapat diukur menggunakan peta kontrol (control chart). Sementara untuk mengetahui apakah kondisi proses mampu untuk menghilangkan variasi penyebab khusus dan menghasilkan produk yang sesuai dengan
spesifikasi,
(Breyfogle, 2003).
dapat
dilihat
dari
nilai
kapabilitas
prosesnya
18
2.6.3.3 Peta kendali Peta kendali adalah grafik yang secara khusus memberi informasi dalam dua dimensi, distribusi proses dan kecenderungan proses. Peta kendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Bell Telephone Laboratories, Amerika Serikat, pada tahun 1924 dengan maksud menghilangkan variasi yang tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (common causes variation). Tujuan penggunaan peta kendali secara rutin adalah untuk mengetahui secara mudah dan cepat jika terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam suatu proses (Breyfogle, 2003). Peta kendali dalam Six Sigma digunakan untuk melandasi kinerja proses, evaluasi sistem pengukuran, perbandingan multiproses, perbandingan proses sebelum dan sesudah perubahan dan lain sebagainya. Grafik kontrol atau peta kendali dapat digunakan hampir semua keadaan yang berhubungan dengan karakterisasi dan analisis proses. Rath dan Strong (2005) mengemukakan bahwa setiap peta kontrol dasarnya memiliki garis tengah, batas kontrol dan tebaran nilai-nilai. Contoh peta kontrol dapat dilihat pada Gambar 4. Berikut adalah penjelasan dari karakter yang terdapat dalam peta kontrol. a) Garis tengah (central line) yang biasa dinotasikan sebagai CL. b) Sepasang batas kontrol, dimana satu batas kontrol ditempatkan di atas garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) dan satu lagi ditempatkan di bawah garis tengah yang dikenal sebagai batas kontrol bawah (lower control limit – LCL). c) Tebaran nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Jika semua nilai berada dalam batas kontrol tanpa memperlihatkan kecenderungan tertentu maka proses yang berlangsung ada pada keadaan terkontrol atau terkendali. Namun, jika nilai-nilai yang ditebarkan pada peta itu berada di luar batas kontrol atau memperlihatkan kecenderungan tertentu atau memiliki bentuk yang aneh
maka proses
yang berlangsung dianggap berada di luar kontrol sehingga perlu diambil tindakan korektif untuk memperbaiki proses yang ada. Contoh peta kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.
19
Gambar 4. Contoh peta kontrol (www.isixsigma.com) Bila proses terkendali, hampir semua titik contoh akan berada diantara kedua batas pengendali (UCL dan LCL). Variasi yang terjadi dalam batas pengendali disebabkan oleh penyebab umum. Titik yang berada di luar batas pengendali menandakan bahwa proses tidak terkendali dan disebabkan oleh variasi penyebab khusus, dalam hal ini perlu diadakan penyelidikan untuk menemukan penyebabnya dan perbaikan pada proses untuk menghilangkan penyebab tersebut (Breyfogle, 2003). Peta kontrol tidak hanya dapat sebagai alat monitoring tetapi juga dapat menunjukkan jalan ke arah peningkatan. Peta kontrol dapat memisahkan variasi penyebab khusus dan umum. Variasi adalah ketidakseragaman dalam proses operasional sehingga menimbulkan perbedaan mutu produk yang dihasilkan. Variasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Breyfogle, 2003): a) Variasi penyebab khusus (special-cause variation) adalah kejadian-kejadian di luar sistem proses yang mempengaruhi variasi dalam proses tersebut. Penyebab khusus dapat bersumber dari faktor-faktor khusus seperti manusia, mesin dan lain-lain. Biasanya special cause variation ini lebih jarang muncul dibandingkan dengan common cause variations. b) Variasi penyebab umum (common-cause/random variation) adalah faktorfaktor di dalam proses atau yang melekat pada proses yang menyebabkan timbulnya variasi dalam sistem itu beserta hasil-hasilnya. Variasi ini umumnya sering terjadi pada proses tetapi proses tetap stabil.
20
2.6.3.4 Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) merupakan bentuk analisis yang sistematis pada setiap tahapan aktivitas untuk dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi tingkat kegagalan/bahaya (failure) potensial yang ada pada sistem, produk, proses terutama akar-akar fungsi yang mempengaruhi sistem, produk dan proses tersebut. Fokus FMEA adalah strategi preventif terhadap meningkatnya nilai faktor-faktor ketidaksesuaian dan merupakan salah satu perangkat kerja dalam menganalisis risiko-risiko dari bahaya yang akan timbul dalam sistem, produk dan proses yang ada (Scipioni et al., 2002). Aspek yang penting dalam FMEA adalah evaluasi risiko dari potensi kegagalan (potential failure) untuk setiap subsistem. Setiap kegagalan dinilai dari Risk Priority Number (RPN). Angka RPN (1 sampai 1000) adalah indeks hasil kali dari keparahan (severity), peluang kegagalan muncul (occurrence) dan peluang kegagalan terdeteksi (detection). Severity adalah dampak yang kemungkinan akan muncul akibat kegagalan dalam sistem. Occurrence merupakan peluang kegagalan akan timbul pada sistem. Detection merupakan peluang kegagalan terdeteksi pada sistem dengan menggunakan alat kontrol yang ada (Varzakaz dan Arvanitoyannis, 2007). Integrasi antara FMEA dengan HACCP dapat dilakukan karena adanya pendekatan yang mirip antara keduanya. Hasil dari nilai resiko pada FMEA dapat digunakan dalam HACCP plan perusahaan (Scipioni et al., 2002). 2.6.3.5 Diagram Sebab-Akibat Diagram sebab-akibat (cause and effect diagram) sering disebut juga “diagram tulang ikan” (fishbone diagram) atau diagram ishikawa (ishikawa diagram) sesuai dengan nama Prof. Kaoru Ishikawa dari Jepang yang memperkenalkan diagram ini, adalah suatu pendekatan terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan terjadi. Contoh diagram sebab-akibat dapat dilihat pada Gambar 5.
21
Sebab
Sebab
Akibat
Sebab
Sebab
Gambar 5. Contoh diagram sebab-akibat (Larson, 2003) Diagram sebab-akibat dapat dipergunakan untuk hal-hal sebagai berikut: a) Untuk mengumpulkan sebab-akibat variasi dalam proses. b) Untuk mengidentifikasi kategori dan sub-kategori sebab-sebab yang mempengaruhi suatu karakteristik mutu tertentu. c) Untuk memberikan petunjuk mengenai macam-macam data yang perlu dikumpulkan. d) Diagram sebab-akibat dapat membantu mengidentifikasi sebab-sebab proses yang mempunyai peranan bagi timbulnya efek yang tidak dikehendaki pelanggan. Fungsi diagram sebab-akibat, yaitu berperan dalam memusatkan perhatian operator, bagian produksi dan pimpinan dalam masalah mutu. Diagram sebabakibat yang dikembangkan dengan baik biasanya memajukan tingkat pemahaman terhadap proses tersebut (Jugulum dan Samuel, 2008). 2.6.3.5 Implementasi 6S Perusahaan yang sudah menerapkan Lean Six Sigma memulai program peningkatan
secara
terus
menerus
secara
mendasar
melalui
perbaikan
menggunakan prinsip 6S untuk menciptakan dan memelihara agar tempat kerja menjadi teratur, bersih, aman dan memiliki kinerja tinggi. 6S merupakan landasan untuk peningkatan terus menerus, zero defects, reduksi biaya dan untuk menciptakan area kerja yang aman dan nyaman (Gaspersz, 2006). 6S memiliki akronim berikut: a) Sort, yaitu menyingkirkan atau membuang dari tempat kerja semua benda yang tidak digunakan lagi dalam pelaksanaan tugas atau aktivitas. Jika suatu benda diragukan apakah masih digunakan lagi atau tidak, benda
22
tersebut perlu disingkirkan dari tempat kerja, dan disimpan di gudang. Apabila tidak digunakan lagi, benda itu dibuang. b) Stabilize, yaitu mengatur atau menyusun benda-benda yang diperlukan dalam area kerja, kemudian mengidentifikasi dan memberikan label atau tanda, sehingga setiap orang dapat menemukan benda-benda itu dengan mudah dan cepat. c) Shine, yaitu menjaga atau memelihara agar area kerja tetap bersih dan rapih. d) Standardize, yaitu menstandarisasikan implementasi sort, stabilize dan shine yang berarti mengerjakan sesuatu yang benar dengan cara yang benar setiap waktu e) Safety, yaitu memberikan karyawan suatu praktik kerja yang aman dan prosedur-prosedur yang memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) untuk mencegah kecelakaan kerja. f) Sustain, yaitu menjamin keberhasilan dan kontinuitas program 6S. 2.6.3.7 Kaizen Blitz Kaizen adalah suatu istilah dalam bahasa Jepang yang dapat diartikan sebagai perbaikan secara terus menerus (continous improvement), sedangkan Blitz adalah terminologi dalam bahasa Jerman yang berarti cepat (lightning fast). Kaizen Blitz adalah suatu metode peningkatan secara cepat dilakukan pada area proses yang terbatas. Tujuan Kaizen Blitz adalah menggunakan pemikiranpemikiran inovatif untuk menghilangkan pemborosan atau aktivitas-aktivitas kerja yang tidak bernilai tambah (Lee et al., 1999). Biasanya Kaizen Blitz digunakan pada tahap control dari LSS-DMAIC. Pendekatan Kaizen Blitz biasanya dalam waktu singkat yaitu lima hari kerja. Dalam melaksanakan Kaizen Blitz, kita dapat menggunakan panduan bertanya 5W-2H, yaitu who, what, where, when, why, how dan how much (El-Haik dan Al-Aomar, 2006).
3. METODOLOGI
3.1 Jenis Data Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini. Jenis data pertama yang digunakan diistilahkan sebagai data hasil evaluasi, dimana data ini merupakan data yang diperoleh dari hasil rekaman (record keeping) pada titik kendali kritis proses pengolahan tuna loin beku di PT Z selama periode Januari 2008 sampai Desember 2008. Untuk data evaluasi suhu penyimpanan beku (cold storage) bahan baku ikan tuna selama pelaksanan program HACCP di PT Z hanya diperoleh dari periode November 2008 sampai Januari 2009, karena baru dilakukan pencatatan oleh PT Z. Adapun jenis data yang kedua diistilahkan sebagai data verifikasi atau data pembandingan, karena data ini digunakan untuk melihat tingkat efektivitas seluruh aktivitas pengendalian titik kendali kritis yang telah dilakukan. Data ini merupakan data primer yang diambil langsung selama penelitian. Pengambilan data penelitian proses pengolahan tuna loin beku di PT Z dilakukan selama bulan Februari 2009 sampai Maret 2009. Teknik pengukuran kadar histamin dilakukan dengan menggunakan histamine assay kit. Cara pengukuran kadar histamin tersebut dapat dilihat pada Lampiran 8. 3.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu penilaian kelayakan dasar, identifikasi CCP dan evaluasi pengendalian CCP dengan konsep dasar Lean Six Sigma. Secara lengkap rincian kegiatan pada masing-masing tahapan tersebut adalah : 3.2.1 Penilaian kelayakan dasar Sebelum dilakukan penilaian kelayakan dasar, terlebih dahulu diamati proses pembuatan tuna loin di PT Z, kemudian memverifikasi GMP dan SSOP milik perusahaan dengan proses di lapangan. Penilaian kelayakan dasar mengacu pada daftar penilaian/check list UNIT PENGOLAHAN IKAN (UPI), Direktorat Jendaral Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, lembar penilaian dapat dilihat pada Lampiran 4. Aspek-aspek yang dinilai selanjutnya dihitung
24
untuk melihat jumlah penyimpangan yang dimilikinya, yang meliputi jumlah penyimpangan kategori Minor (MN), Mayor (MY), Serius (S) maupun Kritis (K) sesuai dengan yang telah ditentukan dalam daftar tersebut. 3.2.2 Identifikasi titik kendali kritis (critical control point-CCP) Identifikasi CCP didasarkan pada 7 prinsip HACCP, yang diawali dengan melakukan analisis bahaya. Identifikasi titik kendali kritis (CCP) dilakukan dengan mengamati tahapan proses produksi tuna loin di perusahaan yang selanjutnya dituangkan dalam tabel analisis bahaya dan identifikasi CCP (Lampiran 5 dan Lampiran 6). Selanjutnya dilakukan penentuan
batas kritis
(critical limit) dan prosedur monitoring untuk tahapan yang menjadi titik kritis di perusahaan. Kemudian disusun suatu tindakan koreksi (corrective action) apabila CCP melewati batas kritis dan
dilakukan verifikasi ulang terhadap rencana
HACCP secara periodik untuk melihat apakah sistem efektif sesuai dengan rencana awal (Lampiran 7). Tahap terakhir adalah mendokumentasikan catatan mengenai keseluruhan proses. Contoh form dokumentasi dapat dilihat pada Lampiran 17-26. 3.2.3 Evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma Metode ini hanya difokuskan pada tahapan proses yang menjadi kajian, yaitu tahapan yang menjadi CCP. Pengkajian dan penerapan dasar konsep Lean Six Sigma dilakukan dengan prinsip six sigma yaitu: 3.2.3.1 Define Define yaitu mendefinisikan secara formal sasaran peningkatan proses yang konsisten dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan. Penerapan metode ini menggunakan Value Stream Process Mapping yang mengacu pada Tang et al. (2008) dan lembar kerja EDOWNTIME yang mengacu pada Gaspersz (2006) dalam rangka mengidentifikasi dan menghilangkan pemborosan (waste) yang tidak bernilai tambah di perusahaan pada tahap yang menjadi CCP. Value Stream Process Mapping disusun berdasarkan tahapan sebagai berikut: 1.
Definisikan proses
2.
Mengumpulkan informasi mengenai keseluruhan proses
25
3.
Membuat pemetaaan proses dengan menggunakan symbol standard dan tidak menggunakan bahasa yang membingungkan.
4.
Validasi dan verifikasi dengan keadaan sebenarnya di lapangan.
5.
Analisis dari pemetaan proses dan membuat kesimpulan.
6.
Mengkomunikasikan temuan dan rekomendasi. Sedangkan EDOWNTIME merupakan akronim untuk memudahkan praktisi
bisnis dan industri mengidentifikasi 9 jenis pemborosan yang selalu ada dalam bisnis dan industri, yaitu: E = Environmental, Health and Safety (EHS), jenis pemborosan yang terjadi karena kelalaian dalam memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip-prinsip EHS. D = Defects, jenis pemborosan yang terjadi karena kecacatan atau kegagalan produk (barang dan/atau jasa). O = Overproduction, jenis pemborosan yang terjadi karena produksi melebihi kuantitas yang dipesan oleh pelanggan. W = Waiting, jenis pemborosan yang terjadi karena menunggu. N = Not utilizing employees knowledge, skills and abilities, jenis pemborosan sumber daya manusia (SDM) yang terjadi karena tidak menggunakan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan secara optimum. T = Transportation, jenis pemborosan yang terjadi karena transportasi yang berlebihan sepanjang proses value stream. I = Inventories, jenis pemborosan yang terjadi karena inventori yang berlebihan. M = Motion, jenis pemborosan yang terjadi karena pergerakan yang lebih banyak daripada yang seharusnya sepanjang proses value stream. E = Excess processing, jenis pemborosan yang terjadi karena langkah-langkah proses yang lebih panjang daripada yang seharusnya sepanjang proses value stream. 3.2.3.2 Measure Measure adalah mengukur kinerja proses pada saat sekarang agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Kajian tahap measure menggunakan identifikasi wilayah true deviation yang mengacu pada Domenech et al. (2008)
26
dan statistika pengendalian proses (Statistical Process Control/SPC) terintegrasi dengan konsep analisis Six Sigma yang mengacu pada Gaspersz (2001). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data evaluasi yang diperoleh dari hasil rekaman (record keeping) CCP di PT Z untuk proses produksi selama kurun waktu Januari 2008 – Desember 2008, yang selanjutnya dianalisis menggunakan metode Statistical Process Control. Untuk verifikasi data digunakan data hasil rekaman (record keeping) tahapan CCP di perusahaan yang sama selama bulan Februari - Maret 2009. Proses pengolahan data dilakukan menggunakan software Microsoft Office Excell 2007. Proses analisis data dilakukan melalui tahapan berikut: a. Penentuan nilai rata-rata (X-bar) dan nilai standar deviasi (S) proses serta nilai batas spesifik atas dan atau nilai batas spesifik bawah, dengan persamaan sebagai berikut:
Rata-rata proses (X-bar)
=
jumlah keseluruhan data banyaknya data
∑ (x − X )
2
Standar deviasi proses (S)
Nilai batas spesifik atas (upper specific limit - USL), merupakan nilai
=
(n − 1)
batas maksimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli.
Nilai batas spesifik bawah (lower specific limit - LSL), merupakan nilai batas minimal yang besarnya ditentukan oleh pembeli.
b. Penentuan nilai DPMO (Defect per Million Opportunities) dan nilai Sigma.
Nilai DPMO merupakan ukuran kegagalan yang menunjukkan peluang kegagalan per sejuta kali kesempatan produksi. Nilai ini diperoleh dengan menggunakan persamaan: DPMO USL = P [ z ≥ (USL – Xbar) / s ] x 1000000 DPMO LSL = P [ z ≤ (LSL – Xbar) / s ] x 1000000 Nilai peluang kegagalan untuk distribusi normal baku (z), diperoleh dari Tabel distribusi normal kumulatif. Sementara nilai Sigma diperoleh dari Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma berdasarkan konsep Motorola (Gaspersz, 2002).
27
c. Penentuan nilai standar deviasi maksimal (Smaks) dan uji hipotesis variasi proses terhadap nilai standar maksimum.
Standar deviasi maksimum (Smaks) merupakan nilai batas toleransi maksimum terhadap nilai standar deviasi proses. Nilai standar deviasi maksimum diperoleh dengan menggunakan persamaan: Smaks
=
1 × (USL − LSL ) 2 × sigma
Bila proses tersebut hanya memiliki satu batas spesifik, batas spesifik atas (upper
specific
limit
USL)
–
atau
batas
spesifik
bawah
(lower specific limit – LSL), maka persamaan yang digunakan : Hanya memiliki batas spesifik atas (USL):
Smaks
=
1 × (USL − Xbar ) sigma
Hanya memiliki batas spesifik bawah (LSL):
Smaks
=
1 x (LSL − Xbar ) sigma
d. Penentuan nilai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) dan atau batas kontrol bawah (lower control limit – LCL).
Nilai batas kontrol atas (upper control limit – UCL) merupakan sebuah persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas atas dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut. UCL = X-bar + (1,5 x Smaks) dengan: X-bar : nilai rata-rata proses Smaks : standar deviasi maksimum proses
Nilai batas kontrol bawah (lower control limit – LCL) merupakan sebuah persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai batas bawah dari suatu proses yang dimanfaatkan untuk mengevaluasi proses tersebut. LCL
= X-bar - (1,5 x Smaks)
dengan: X-bar : nilai rata-rata proses Smaks : standar deviasi maksimum proses
28
e. Penentuan nilai kapabilitas proses Kapabilitas proses (Cpm) merupakan suatu ukuran kinerja kritis yang menunjukkan proses mampu menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Perhitungan kapabilitas proses hanya dilakukan untuk proses yang stabil. Cpm
=
6
(USL − LSL ) ( Xbar − T )2 + S 2
Namun, jika proses hanya memiliki satu batas spesifik (SL), maka digunakan persamaan sebagai berikut: Cpm
=
(SL − Xbar) 3 S2
dengan: SL : nilai batas spesifik X-bar : nilai rata-rata proses S : nilai standar deviasi proses Jika: Cpm ≥ 2,0
: Keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan mampu, artinya proses mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. 1 ≤ Cpm < 1,99 : Keadaan proses industri berada dalam keadaan stabil dan tidak mampu, artinya proses berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. : Keadaan proses industri berada dalam keadaan Cpm < 1,0 tidak mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Penilaian efektivitas pengendalian dari CCP di perusahaan mengacu pada Domenech et al. (2008). Record keeping hasil monitoring CCP di perusahaan dituangakan dalam kurva standar deviasi seperti pada Gambar 6. Wilayah di bawah kurva standar deviasi yang masih di dalam batas kritis disebut success (S). Wilayah di bawah kurva standar deviasi yang berada di luar batas kritis disebut true deviation (TD). Daerah yang termasuk TD menunjukkan pengendalian CCP masih belum efektif (Domenech et al., 2008) atau deviation berarti kegagalan memenuhi batas kritis (CAC, 2003). Penilaian efektivitas pengendalian dari CCP
29
di perusahaan juga dapat dilihat dari nilai kapabilitas prosesnya (Domenech et al. 2008). Kurva standar deviasi dibuat menggunakan software Minitab 14 Release.
Gambar 6. Penilaian efektivitas pengendalian CCP dengan kurva standar deviasi (Domenech et al. 2008) Evaluasi risiko bahaya histamin di PT Z dilakukan menggunakan tabel Failure Mode Effect Analysis (FMEA) yang mengacu pada (Varzakas dan Arvanitoyannis, 2007) dengan membuat ranking Keparahan (severity-S), Peluang kegagalan
muncul
(occurence-O),
dan
Peluang
kegagalan
terdeteksi
(detection-D). Kemudian dihitung nilai Risk Priority Number (RPN) dengan cara: RPN= S x O x D Jika RPN > 130 maka masih dibutuhkan tindakan koreksi. 3.2.3.3 Analyze
Analisis data evaluasi dan data verifikasi akan memberikan suatu gambaran terhadap proses yang telah berjalan dan masalah yang ada. Sehingga perlu diidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan permasalahan yang terjadi dalam proses. Pada tahap analyze ini dilakukan identifikasi masalah dengan pembuatan diagram sebab-akibat (fishbone diagram) yang mengacu pada Larson (2003) dengan memfokuskan pada faktor-faktor penyebab yang sering terjadi seperti
30
mesin, manusia, metode, material dan manajemen. Identifikasi penyebab masalah tersebut dilakukan dengan cara observasi hanya pada tahapan proses yang menjadi CCP. Penggunaan diagram sebab-akibat mengikuti langkah-langkah berikut: 1)
Dapatkan kesepakatan tentang masalah yang terjadi dan ungkapkan masalah itu sebagai suatu pertanyaan masalah dan temukan sekumpulan penyebab yang mungkin mengakibatkan masalah tersebut.
2) Gambarkan
diagram
dengan
pertanyaan
mengenai
masalah
untuk
ditempatkan pada sisi kanan (membentuk kepala ikan) dan kategori utama, seperti bahan baku, metode, manusia, mesin, pengukuran, dan lingkungan ditempatkan pada cabang utama (membentuk tulang-tulang besar dari ikan) kategori utama dapat diubah sesuai kebutuhan. 3)
Untuk setiap penyebab yang mungkin, tanyakan “mengapa” untuk menemukan akar penyebab, kemudian tulislah akar-akar penyebab itu pada cabang-cabang yang sesuai dengan kategori utama (membentuk tulang-tulang kecil dari ikan).
4)
Interpretasi atas diagram sebab-akibat itu dengan melihat penyebabpenyebab yang muncul.
3.2.3.4 Improvement
Pada tahap Improve, tim menggunakan alat analisis untuk mengeliminasi cacat juga mengoptimalisasikan kecepatan dan kualitas proses. Peningkatan dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip 6S yang mengacu pada Gaspersz (2006). 6S memiliki akronim sort,stabilize, shine,standardize, safety dan sustain. Prinsip 6S diterapkan khususnya pada tahapan proses yang dikaji yaitu pada CCP yang selanjutnya diharapkan dapat diterapkan sebagai persyaratan penerapan konsep Lean Six Sigma secara menyeluruh.
3.2.3.5 Control
Menurut George (2002), setelah dilakukan perbaikan secara berkelanjutan maka langkah selanjutnya adalah dengan melakukan pengontrolan terhadap perbaikan yang sudah dilakukan. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan Kaizen Blitz yang mengacu pada Lee et al. (1999), dapat dilihat pada Gambar 7.
31
Gambar 7. Prosedur ka aizen blitz
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penilaian Kelayakan Dasar
PT Z merupakan perusahaan yang bergerak di bidang perikanan, salah satu produk unggulannya adalah tuna loin beku. Tuna loin yang diproses di perusahaan ini lebih banyak menggunakan bahan baku ikan tuna yang beku (frozen) dibandingkan dengan ikan tuna yang segar, maka kajian evaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin difokuskan pada tuna loin yang berasal dari ikan tuna beku. Penilaian terhadap program kelayakan dasar (prerequisite programme) di PT Z menunjukkan terdapat sejumlah penyimpangan sebagaimana layaknya suatu Unit Pengolahan Ikan (UPI) yang baik. Penyimpangan tersebut meliputi 2 buah penyimpangan minor, 7 buah penyimpangan mayor dan 2 buah penyimpangan serius. Bentuk penyimpangan tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Penyimpangan persyaratan kelayakan dasar pada unit pengolahan PT Z Penyimpangan Minor • Kondensasi di ruang anteroom ( Penyimpangan 4.5.3) • Peralatan tidak diberi tanda (Penyimpangan 5.9) Penyimpangan Mayor • Lantai anteroom banyak yang retak (Penyimpangan 4.1.2) • Kran air dioperasikan dengan tangan (Penyimpangan 4.7.4) • Pan dan pallet tidak tahan karat (Penyimpangan 5.1) • Penggunaan metode FIFO belum benar, masih banyak produk yang tersimpan terlalu lama (Penyimpangan 9.5) • Tidak dilakukan pengecekan frekuensi ganti pakaian (Penyimpangan 18.1) • Ruang penerimaan tidak bersih (Penyimpangan 3.5) • Pakaian kerja dicuci sendiri oleh karyawan (Penyimpangan 18.5) Penyimpangan Serius • Prosedur pemantauan kadangkala tidak diikuti (Penyimpangan 21.1.3.3.2) • Ruang penerimaan tidak tertutup dari lingkungan luar (Penyimpangan 3.1)
Berdasarkan sejumlah dan bentuk penyimpangan tersebut, maka PT Z dikategorikan sebagai Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan nilai B (baik), artinya unit pengolahan tersebut dapat melakukan produksi dan ekspor ke negara mana saja kecuali negara yang mempunyai persyaratan harus bernilai A (dengan spefikasi kategori berupa hasil penilaian terhadap fisik, GMP, SSOP dan HACCP/PMMT
tidak
terdapat
penyimpangan
serius
dan
kritis
serta
33
penyimpangan minor maksimal 6 buah dan penyimpangan mayor maksimal 5 buah). Berdasarkan bentuk penyimpangannya, maka risiko potensial bahaya histamin akan nyata pada ruang penerimaan yang tidak tertutup dari lingkungan luar sebagai bentuk penyimpangan serius, serta ruang penerimaan yang tidak bersih dan penerapan metode FIFO yang belum benar dan masih banyak produk yang tersimpan terlalu lama sebagai bentuk penyimpangan mayor. Penyimpangan-penyimpangan
pada
pelaksanaan
kelayakan
dasar
perusahaan serta efektivitas penerapan GMP dan SSOP akan mempengaruhi sistem HACCP di perusahaan. Penyimpangan ini dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung ke produk yang berdampak pada tingkat penerimaan konsumen terhadap produk akhir (Oriss, 2000). 4.2 Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP)
Prinsip pertama konsep HACCP adalah melakukan analisis bahaya. Analisis bahaya adalah proses pengumpulan dan menilai informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya untuk menentukan mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan dan harus ditangani dalam rencana HACCP (CAC, 2003). Tim HACCP di PT Z yaitu QC Manager (Plant coordinator) sebagai pimpinan dari QC supervisor, QC staff dan QC Laboratorium. Deskripsi produk adalah sebuah daftar yang berisikan komposisi produk, cara menyimpan, tahapan proses dan sebagainya. Dengan deskripsi produk ini maka akan lebih mudah diidentifikasi mengenai produk tuna tersebut (CAC, 2003). Deskripsi produk tuna loin beku dapat dilihat pada Lampiran 1 dan diagram alir pada rencana HACCP di PT Z dapat dilihat pada Gambar 8. Sedangakan lembar analisis bahaya dapat dilihat pada Lampiran 5. Rincian analisis bahaya selengkapnya adalah sebagai berikut:
34
Receiving
Weighing 1
Freezing 1
Storaging 1
Loining by machine
Trimming and skinning
Freezing 2
Grading
Glazing
Wrapping
Metal detecting
Packing and labelling
Storaging 2
Stuffing
Gambar 8. Diagram alir proses pengolahan tuna loin beku di PT Z
35
1) Penerimaan bahan baku (receiving)
Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi tuna loin beku di PT Z adalah ikan tuna jenis tuna yellowfin dan tuna big eye. Bahan baku tersebut diperoleh dari hasil tangkapan di perairan Indonesia. Biasanya PT Z membeli bahan baku ikan tuna dari cold storage perusahaan lain dan langsung dari di transit dalam bentuk tuna beku. Ikan tuna yang dibeli di transit sudah dibekukan sebelumnya di cold storage Nusa Tenggara Timur. Ikan yang dibekukan di daerah tersebut merupakan ikan tuna dengan grade C dan D. Klasifikasi grade dapat dilihat pada Lampiran 30. Proses pembelian bahan baku tuna dilakukan oleh karyawan bagian purchasing dan pengecekan kesegaran ikan dilakukan oleh petugas quality control (QC) dari perusahaan, dengan cara memotong sampel daging ikan tuna menggunakan pisau di bagian dekat insang. Berat ikan tuna yang dibeli yaitu size 16 up (16-19 kg), 20 up (20-29 kg) dan 30 up (lebih dari 30 kg). Transportasi ikan tuna dari kapal atau cold storage ke perusahaan menggunakan mobil terbuka yang ditutup dengan terpal tanpa diberi alas atau es. Dalam sekali perjalanan selama kurang lebih 5-9 menit diangkut sekitar 20 ekor ikan. Proses penerimaan bahan baku dapat dilihat pada Gambar 9. Penerimaan ikan tuna beku dilakukan di ruang untuk stuffing. Ruang penerimaan bahan baku yang berada di ruang terbuka dapat mengkontaminasi bahan baku yang masuk dan suhu ruang penerimaan sekitar 27-30 0C dapat menyebabkan dekomposisi ikan tuna beku yang diterima. Ikan satu per satu diturunkan
dari
mobil,
diukur
suhu
pusat
di
bawah
sirip pectoral
dengan menggunakan resistant thermometer probe atau infrared thermometer. Berdasarkan tata cara aturan pengolahan yang baik (GMP) yang telah ditetapkan di perusahaan, setelah sampai di perusahaan, ikan seharusnya diukur suhunya untuk mengetahui suhu pusat ikan. Tetapi kadang-kadang QC tidak mengukur suhu pusat ikan. Berdasarkan GMP tersebut, bahan baku ikan tuna yang diterima di perusahaan memiliki suhu pusat ikan di bawah -18 0C. Kemudian ikan dimasukkan dalam cold storage menggunakan forklift atau dibekukan di ABF. Suhu pusat ikan, berat ikan, tanggal penerimaan, kode pemasok, uji sensori (bau, tekstur dan warna) dicatat dalam Form 01, Record of receiving raw material (Lampiran 17) oleh staf produksi atau QC.
36
Gambar 9. Penerimaan bahan baku Setiap tahapan yang menyebabkan adanya bahaya yang nyata harus diidentifikasi lebih lanjut untuk meyakinkan apakah tahapan tersebut termasuk dalam CCP atau tidak. Identifikasi dapat dilakukan dengan menilai CCP dan dapat dilakukan diantaranya mengunakan decision tree atau diagram pengambilan keputusan (CAC, 2003). Identifikasi CCP dapat dilihat pada Lampiran 6. Menurut GMP, bahan baku ikan tuna yang diterima oleh perusahaan dari pemasok dilakukan pengujian kadar histamin dan TPC. Tetapi kadangkala hal ini tidak dilakukan karena hisatamine assay kit habis. Bahaya potensial pada tahap ini adalah senyawa histamin dan bakteri patogen yang dapat dikategorikan pada bahaya keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Penerimaan bahan baku termasuk CCP karena tidak ada tahap selanjutnya yang dapat mengurangi atau menghilangkan histamin pada produk jika histamin sudah terbentuk pada tahap ini. Batas 30 ppm digunakan PT Z pada tahap penerimaan bahan baku. Pengujian tersebut dilakukan oleh laboratorium internal perusahaan. Monitoring dan verifikasi hasil analisis bahan baku di laboratorium internal dilaporkan dalam Form 08, Record of internal laboratory analysis (Lampiran 24). 2) Penimbangan 1 (weighing 1)
Ikan selanjutnya ditimbang dan diberi label plastik yang bertuliskan berat ikan dalam satuan kg. Penimbangan ini bertujuan untuk menentukan jumlah ikan yang dibeli dan harga yang harus dibayar perusahaan (Gambar 10). Bahaya fisik yang mungkin muncul di tahap ini yaitu salah timbang akibat kesalahan karyawan yang menimbang dan kondisi timbangan yang digunakan. Bahaya ini terjadi apabila tidak dilakukan kontrol yang tepat. Berdasarkan pengamatan di lapangan, petugas sudah menerapkan GMP dengan mentera timbangan sebelum dipakai dan
37
mereparasi timbangan yang berkarat. Monitoring dan verifikasi dilaporkan dalam Form 07. Scale calibration (Lampiran 23). Bahaya potensial
kesalahan
penimbangan dapat dikategorikan pada bahaya penipuan ekonomi (economic fraud).
Gambar 10. Penimbangan 1 Suhu ruang selama penimbangan sekitar 20 oC dicatat dalam Form 03, Record of process temperature (Lampiran 19). Bahaya biologis yang dapat terjadi pada tahap ini adalah pertumbuhan bakteri patogen. Bahaya potensial bakteri patogen dapat dikategorikan pada bahaya keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness).
Berdasarkan pengamatan di lapangan, petugas sudah
menerapkan GMP dengan melakukan penimbangan secara cepat, kondisi pekerja dan peralatan harus selalu dalam keadaan saniter dan higienis. Maka tahap ini tidak termasuk bahaya potensial yang signifikan. 3) Pembekuan 1 (freezing 1)
Setelah penimbangan, ikan tuna yang suhunya >-18
0
C diangkut
menggunakan forklift untuk dibekukan dalam air blast freezer (ABF). Di dalam ABF, ikan tuna ditumpuk di lantai atau di atas pallet (Gambar 11). Menurut standar proses pengolahan tuna loin beku di PT Z, pembekuan menggunakan ABF dilakukan dengan suhu operasi sebesar -35 oC selama tidak lebih dari 9 jam sehingga suhu pusat produk mencapai -18 oC. Pintu ABF selalu tertutup atau hanya dibuka apabila akan memasukkan produk. Pintu ABF dilengkapi dengan plastic curtain transparan untuk mengurangi masuknya suhu tinggi dari luar ketika pintu dibuka. PT Z memiliki 1 ruang ABF dengan kapasitas ruang sebesar 150 ton. Bahaya potensial pada tahapan proses pembekuan adalah
suhu
pembekuan lebih besar dari -35 0C dan suhu pusat tuna melebihi -180 C. Bahaya
38
ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness).
Ruang ABF tersebut dilengkapi dengan alat pengatur dan
monitor suhu digital yang terdapat di ruang mesin sehingga dapat dilihat dengan mudah. Monitoring suhu ABF dilakukan setiap jam oleh operator. Pengawasan dan verifikasi dilaporkan dalam Form 05, ABF check report (Lampiran 21). Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa rata-rata suhu ruang ABF -35,5 oC, sesuai dengan GMP perusahaan. Maka tahap ini tidak dapat dikategorikan sebagai bahaya potensial signifikan.
Gambar 11. Pembekuan 1 4) Penyimpanan beku 1 (frozen storage 1)
Cold storage di PT Z ada dua ruangan yaitu cold storage 1 untuk menyimpan bahan baku dengan kapasitas sebesar 150 ton dan cold storage 2 untuk menyimpan produk yang sudah dikemas dengan kapasitas 150 ton. Ikan tuna yang sudah dibekukan disimpan dalam cold storage bahan baku hingga waktu pengolahan tiba. Sesuai pedoman GMP, penyimpanan produk dalam cold storage dilakukan dengan menerapkan sistem First In First Out (FIFO) yaitu produk yang pertama kali dimasukkan dalam cold storage maka harus dikeluarkan pada urutan pertama juga. Tetapi pada saat pengamatan di lapangan, ikan tuna yang diolah tergantung oleh permintaan buyer pada saat itu. Pintu cold storage juga dilengkapi dengan plastic curtain transparan untuk mengurangi masuknya suhu tinggi dari luar ketika pintu dibuka. Ruang cold storage tersebut dilengkapi dengan alat monitor suhu digital yang terdapat di depan pintu cold storage sehingga suhu dapat dilihat dengan mudah. Kondisi cold storage dapat dilihat pada Gambar 12.
39
Gambar 12. Cold storage bahan baku Bahaya potensial pada tahap ini adalah timbulnya histamin pada saat penyimpanan beku akibat dari penyimpangan suhu cold storage dan dekomposisi bahan baku. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Bahaya potensial lainnya adalah pertumbuhan bakteri patogen akibat dari penyimpangan suhu dan kerusakan fisik ikan pada saat disimpan di cold storage. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Suhu cold storage dipantau oleh mekanik setiap jam dan dicatat dalam Form 06. Cold storage check report (Lampiran 22). Berdasarkan GMP, suhu cold storage bahan baku dibawah -20 0C. Tetapi dapat dilihat pada Gambar 27 dan 28
bahwa suhu cold storage
penyimpanan bahan baku sangat berfluktuasi diatas -20 0C maka tahap ini merupakan bahaya potensial signifikan karena tidak dapat dikendalikan dengan GMP di perusahaan. Identifikasi apakah tahap ini termasuk CCP dapat dilihat pada Lampiran 6. Tahap ini termasuk CCP karena jika terbentuk histamin pada tahapan ini maka tidak ada tahap selanjutnya yang dapat mengurangi histamin yang sudah terbentuk. Penyimpanan beku bahan baku 1 dengan batas kritis suhu cold storage -20 0C. Pada tahap penyimpanan beku bahan baku, tindakan korektif yang seharusnya dilakukan jika suhu cold storage melewati batas kritis adalah menurunkan suhu cold storage sampai -20 0C. 5) Pembentukan loin dengan mesin (loining by machine)
Selanjutnya dilakukan pembentukan loin, yaitu dengan membelah daging membujur menjadi empat bagian dan melepaskan daging dari tulang dan duri mulai dari belakang kepala sampai mendekati pangkal sirip caudal menggunakan mesin pemotong loin (Gambar 13). Berdasarkan standar GMP perusahaan, suhu
40
ruangan pada saat pembentukkan loin dijaga 10 0C dan dicatat dalam Form 03. Record of process temperature (Lampiran 19). Bahaya potensial pada tahap ini adalah pertumbuhan bakteri patogen jika suhu ruangan tinggi dan tuna beku mencair. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Berdasarkan pengamatan di lapangan, suhu ruangan dijaga 10 0C dan pemotongan dilakukan secara cepat, maka tahapan ini tidak termasuk ke dalam bahaya potensial signifikan.
Gambar 13. Pembentukkan loin dengan mesin 6) Perapihan dan pembuangan kulit (trimming and skinning)
`Pemisahan daging perut atau
otoro dilakukan bersamaan dengan
pembuangan jeroan yang masih menempel pada daging dengan menggunakan mesin pembuang isi perut (Gambar 14). Otoro yang telah diambil ditempatkan di dalam keranjang dipisahkan dari jeroan.
Gambar 14. Pembuangan isi perut dan otoro Daging merah yang terdapat di sekitar garis linear lateralis dibersihkan bersamaan dengan sisa tulang di sekitarnya. Daging merah dimasukkan di dalam
41
keranjang. Pada tuna loin skinless dilakukan pembuangan kulit dari daging, sedangkan untuk skin-on kulit dibiarkan melekat. Pembuangan kulit dilakukan dengan cara menyisir kulit dari pangkal ekor loin menuju badan. Bahaya potensial pada tahap ini adalah pertumbuhan bakteri patogen jika suhu ruangan tinggi dan kontaminasi dari alat dan pekerja. Bahaya ini termasuk dalam
kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness).
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi pada tahap ini sudah sesuai dengan GMP yaitu suhu ruang selama perapihan dan pembuangan kulit sekitar 10 oC dicatat dalam Form 03, Record of process temperature (Lampiran 18) dan perapihan dilakukan secara cepat juga higienis. Kebersihan dari peralatan dipantau dalam Form 04, Daily sanitation audit form (Lampiran 20). Maka tahapan ini tidak termasuk dalam bahaya potensial signifikan. 7) Pembekuan 2 (freezing 2)
Pembekuan 2 dilakukan setelah tuna loin dimasukkan dalam pan dan disusun secara teratur pada pallet di dalam ABF bersuhu -35 oC selama 8 jam. Pintu ABF selalu tertutup atau hanya dibuka apabila akan memasukkan produk. Pintu ABF dilengkapi dengan plastic curtain transparan untuk mengurangi masuknya suhu tinggi dari luar ketika pintu dibuka. Suhu ABF dipantau oleh QC untuk menjamin suhu tetap rendah.
Proses pembekuan 2 dapat dilihat pada
Gambar 15.
Gambar 15. Pembekuan 2 Bahaya potensial pada tahapan proses pembekuan adalah suhu pembekuan lebih besar dari -35 0C dan suhu pusat tuna loin melebihi -180 C. Bahaya ini termasuk
dalam
kategori
keamanan
pangan
(food
safety)
dan
mutu
(wholesomeness). Kondisi pada tahap ini sudah sesuai dengan GMP di perusahaan
42
dan suhu ABF selama pembekuan dicatat dalam Form 05, ABF check report (Lampiran 21). Maka tahap ini tidak termasuk ke dalam bahaya potensial signifikan. 8) Pengecekan akhir (grading)
Setelah loin dibekukan kemudian dilakukan sortasi secara organoleptik yang meliputi warna dan tekstur loin oleh QC. Sortasi ini dilakukan pada setiap loin. Jika terdapat kotoran pada loin, maka kotoran segera dibuang (Gambar 16). Loin yang bau dan teksturnya lembek akan dipisahkan dalam karung dan disimpan dalam cold storage. Keadaan ikan yang dicek dicatat dalam Form 02. Record of final checking (Lampiran 18). Suhu ruang selama sortasi sekitar 15 oC dicatat dalam Form 03, Record of process temperature (Lampiran 19). Pada tahapan ini tuna loin beku disampling acak atau pengujian dilakukan pada tuna loin yang secara organoleptik jelek untuk diuji kandungan histamin, logam berat dan TPC. Ada kemungkinan histamin meningkat selama proses maka tahap ini dikategorikan ke dalam bahaya potensial signifikan. Berdasarkan decision tree (Lampiran 6) tahap ini termasuk ke dalam CCP karena merupakan tahap yang mengeliminasi bahaya pada pengecekan akhir. Batas kritisnya adalah kandungan histamin 30 ppm.
Gambar 16. Pengecekan akhir 9) Penggelasan (glazing)
Setelah disortasi maka tuna loin dimasukkan ke dalam air bercampur es pada suhu 0-3 0C. Bahaya potensial pada tahap ini adalah pertumbuhan bakteri patogen jika air untuk glazing sudah keruh. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Bahaya potensial lainnya adalah kesalahan dalam proses glazing sehingga tidak semua permukaan tuna loin tertutup es atau es terlalu tebal. Bahaya ini dapat dikategorikan dalam
43
bahaya mutu (wholesomeness) dan penipuan secara ekonomi (economic fraud) karena tidak sesuai dengan permintaan pembeli. Berdasarkan pengamatan di lapangan, air untuk glazing diganti jika terlihat keruh dan suhu air juga dipantau QC, maka tahap ini tidak dikategorikan sebagai CCP. Air dan es juga diuji TPC secara periodik untuk mengetahui mutunya. Maka tahap ini tidak dikategorikan sebagai bahaya potensial signifikan. Proses glazing dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Glazing 10) Pembungkusan dengan plastik (wrapping)
Setiap tuna loin dimasukkan ke dalam plastik bening masing-masing sebelum dilewatkan di mesin metal detector. Proses pembungkusan dapat dilihat pada Gambar 18. Suhu ruang selama pembungkusan sekitar 10 oC dicatat dalam Form 03. Record of process temperature (Lampiran 19). Bahaya potensial pada tahap ini adalah bahaya biologis yaitu pertumbuhan bakteri patogen jika suhu ruangan tinggi dan plastik pembungkus kotor. Bahaya potensial lainnya adalah bahaya fisik yaitu jika terdapat benda asing ke dalam plastik. Kedua jenis bahaya ini termasuk dalam
kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu
(wholesomeness). Kondisi kebersihan plastik dicatat dalam
Form 04. Daily
sanitation audit form (Lampiran 20). Berdasarkan pengamatan di lapangan, pembungkusan dilakukan secara cepat dan higienis menggunakan plastik yang baru dan bersih. Maka tahapan ini tidak termasuk ke dalam bahaya potensial signifikan.
44
Gambar 18. Pembungkusan 11) Pendektesian logam (metal detecting)
Setelah dibungkus plastik maka loin dilewatkan pada mesin metal detector (Gambar 19). Mesin deteksi logam selalu diuji terlebih dahulu sebelum dipakai. Bahaya potensial pada tahap ini disebabkan terdapatnya metal atau logam pada produk akibat adanya benda logam yang terdapat dalam produk. Jika terdapat benda logam dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang fatal maka tahap ini termasuk dalam bahaya potensial signifikan. Berdasarkan identifikasi CCP (Lampiran 6), bahaya terdapatnya logam dapat dikendalikan oleh GMP yaitu selalu dilakukan pengecekan mesin dan mentera mesin deteksi logam setiap 1 jam ketika dipakai. Jika mesin berbunyi, karyawan mengecek produk dan memisahkannya. Maka tahapan ini tidak termasuk ke dalam CCP.
Gambar 19. Pendekteksian logam 12) Penimbangan 2 (weighing 2)
Penimbangan II dilakukan untuk memperoleh berat akhir produk tuna loin beku yang akan dikemas dalam master carton. Proses penimbangan dilakukan menggunakan timbangan digital yang telah ditera oleh pekerja (Gambar 20).
45
Monitoring dan verifikasi kalibrasi timbangan dilaporkan dalam Form 07. Record of scale calibration (Lampiran 23). Master carton yang digunakan untuk pengepakan produk tuna loin beku memiliki kapasitas sebesar 20 kg. Bahaya potensial pada tahap ini adalah kesalahan timbang dan termasuk dalam kategori penipuan ekonomi (economic fraud). Berdasarkan pengamatan di lapangan berat produk selalu dilebihkan 0.5 kg untuk mencegah susut berat. Berat produk dicatat dalam buku laporan timbang. Penimbangan dilakukan secara cepat dan higienis. Maka tahap ini tidak termasuk dalam bahaya potensial signifikan.
Gambar 20. Penimbangan 2 13) Pengemasan dan pelabelan (packing and labeling)
Selanjutnya tuna loin tersebut dimasukkan dalam master carton (Gambar 21). Pada bagian luar master carton terdapat label yang berisi informasi mengenai nama produk, nama perusahaan, asal negara, jumlah loin, ukuran, berat, dan tanggal produksi. Setelah master carton penuh kemudian direkatkan menggunakan lackband bening berukuran besar. Bahaya potensial pada tahap pengemasan
adalah
adanya
kontaminasi
bakteri
patogen
akibat
dari
penyimpangan suhu dan pekerja yang tidak higienis. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Kesalahan label juga dapat terjadi dalam pelabelan mengakibatkan timbulnya bahaya penipuan secara ekonomi (economic fraud). Berdasarkan pengamatan di lapangan, pelabelan selalu dilakukan secara teliti oleh karyawan dan selalu diawasi oleh QC. Jumlah karton dan berat setiap karton dicatat dalam buku laporan tally. Suhu produk dijaga <-18 0C dan pengemasan dilakukan secara cepat dan higienis. Maka tahapan ini tidak termasuk ke dalam bahaya potensial signifikan.
46
Gambar 21. Pengemasan dalam master carton 14) Penyimpanan beku 2 (freezing 2)
Berdasarkan standar proses pengolahan tuna loin beku di PT Z penyimpanan produk tuna loin beku dilakukan dalam cold storage dengan suhu sebesar -25oC untuk mempertahankan suhu pusat ikan ≤ -18oC (Gambar 22). Biasanya master carton disimpan selama satu sampai dua hari di cold storage 2 untuk langsung dimasukkan ke dalam container. Seperti pada ABF, pintu cold storage selalu tertutup atau hanya dibuka apabila akan memasukkan produk. Pintu cold storage juga dilengkapi dengan plastic curtain transparan untuk mengurangi masuknya suhu tinggi dari luar ketika pintu dibuka. Produk yang dimasukkan ke dalam cold storage 2 disusun teratur dengan kode yang sama pada setiap pallet yang ditumpuk untuk memudahkan dalam prosess stuffing. Bahaya potensial pada tahap ini adalah pertumbuhan bakteri patogen, dekomposisi produk tuna loin dan kerusakan master karton pada saat disimpan di cold storage. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Monitoring dan verifikasi dicatat dalam Form 06, Report of cold storage temperature (Lampiran 22). Berdasakan pengamatan di lapangan dan record keeping perusahaan suhu cold storage 2 selalu di bawah -25 0C , maka tahap ini tidak termasuk dalam bahaya potensial signifikan.
47
Gambar 22. Penyimpanan beku 2 15) Pemasukkan ke dalam container (stuffing)
Ketika jadwal ekspor tiba, loin dan produk diversifikasi tuna lainnya dikeluarkan dari cold storage dan dipindahkan ke dalam kontainer yang disewa dari perusahaan jasa transportasi barang (Gambar 23).
Kontainer dilengkapi
mesin pendingin dengan suhu sekitar -25 oC. Penyusunan dalam kontainer diatur agar sirkulasi suhu dingin dapat menjangkau seluruh ruang di dalamnya. Nomor master carton, jenis, ukuran dan jumlah produk dari masing-masing master carton tersebut dicatat oleh staf produksi dalam Form 10. Tally sheet (Lampiran 26). Bahaya potensial pada tahap ini adalah pertumbuhan bakteri patogen akibat penyimpangan suhu dalam container. Bahaya ini termasuk dalam kategori keamanan pangan (food safety) dan mutu (wholesomeness). Bahaya potensial lainnya adalah kerusakan pada master karton dan kerusakan pada produk akibat penanganan yang kasar oleh pekerja. Bahaya ini termasuk dalam kategori penipuan secara ekonomi (economic fraud). Berdasarkan pengamatan di lapangan, stuffing selalu dilakukan secara cepat dan hati-hati. Suhu container juga diatur -25 0C sebelum master karton dimasukkan. Maka tahapan ini tidak termasuk dalam bahaya potensial signifikan.
Gambar 23. Stuffing
48
4.3 Evaluasi dengan Konsep Dasar Lean Six Sigma
Sistem keamanan pangan HACCP akan lebih baik lagi jika diintegrasikan dengan suatu konsep dasar manajemen mutu seperti Total Quality Management (TQM) (NFPA, 1992). Konsep lean six sigma merupakan suatu evolusi terbaru dari TQM dimana konsep ini bertujuan agar semua orang di perusahaan berkomitmen untuk memenuhi keiinginan pelanggan melalui langkah-langkah kolaboratif (Larson, 2003). Evaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis proses pengolahan tuna loin beku dilakukan melalui beberapa tahapan yang meliputi define, measure, analyze, improvement dan control. Adapun 3 (tiga) titik kendali kritis (CCP) yang menjadi kajian evaluasi merupakan hasil analisis bahaya (hazard analysis) dan identifikasi CCP dari rencana HACCP yang telah dibuat, yaitu pada tahapan penerimaan bahan baku (receiving), tahapan penyimpanan beku (cold storage) bahan baku serta tahapan pengecekan akhir (grading). 4.3.1 Pendefinisian (define)
Define didefinisikan secara formal sebagai sasaran peningkatan proses yang konsisten dengan permintaan atau kebutuhan pelanggan dan strategi perusahaan. Sasaran peningkatan proses pada penelitian ini adalah efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis (CCP) proses pengolahan tuna loin beku. Masalah yang dikaji di PT Z adalah
tahap penerimaan (receiving),
penyimpanan beku bahan baku (raw material storaging) dan pengecekan akhir (grading) yang merupakan titik kendali kritis atau CCP pada proses pengolahan tuna loin di perusahaan ini. Identifikasi tahapan ini menggunakan Value Stream Process Mapping (VSPM) dan lembar kerja EDOWNTIME, dimana penilaian yang dapat menjadi penyebab tidak efektifnya pelaksanaan pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis dilakukan. Identifikasi penyebab tidak efektifnya pelaksanaan pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis dengan menggunakan VSPM dapat dilihat pada Gambar 24 dan lembar kerja EDOWNTIME dapat dilihat pada Tabel 4.
49
Lolos uji sensori?
Receiving
Ya Freezing 1
Weighing 1
Raw Material Storaging
Tidak Tidak Kadar histamin melebihi 30 ppm?
Reject Ya
Tidak
Kadar histamin melebihi 30 ppm?
Glazing
Trimming and skining
Freezing 2
Grading
Loining
Ya Glazing
Keterangan:
Weghing 2
= Tahapan proses = Penyimpanan
Packing and Labelling
Product Storaging
= Menunggu atau terlambat
Stuffing
= Inspeksi
= Pengambilan keputusan
Gambar 24. Value Stream Process Mapping proses pengolahan tuna loin beku
49
50
Tabel 4. Lembar periksa EDOWNTIME Proses Penerimaan bahan baku (receiving)
Pemborosan Produk cacat diterima Membeli ikan berlebihan
Penyimpanan beku bahan baku (raw material storaging)
Bahan baku dapat terdekomposisi karena menunggu di lantai terlalu lama Ikan rusak karena penanganan yang kasar Fluktuasi suhu cold storage Biaya penyimpanan tinggi
Pengecekan akhir (grading)
Butuh waktu lama untuk mencari ikan Ikan rusak karena penanganan yang kasar Masih ada produk tuna loin beku yang cacat Ikan rusak karena penanganan yang kasar
Tindakan Cek`dengan teliti setiap bahan baku datang dan penanganan yang baik Membeli ikan sesuai pesanan
E
D oO √
W
I
M
E
√
Ikan ditangani dengan hati-hati
√ √ √
Ikan diberi label dan disusun FIFO Ikan ditangani dengan hati-hati Memeriksa bahan baku lebih teliti dan melakukan proses pengolahan yang baik Ikan ditangani dengan hati-hati
T
√
Setelah ditimbang, ikan langsung dimasukkan ke cold storage
Suhu diturunkan jika lebih dari -20 0C dan evaporator dibersihkan Membeli ikan sesuai pesanan
N
√ √ √ √
50
51
Berdasarkan VSPM, masih terdapat produk menunggu sebelum pindah ke proses selanjutnya. Produk menunggu tersebut adalah receiving sebelum weighing 1, weighing 1 sebelum freezing 1 dan freezing 1 sebelum loining. Menurut El-haik dan Al-Omar (2006), proses menunggu merupakan pemborosan sehingga perlu segera dihilangkan dari sistem. Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan EDOWNTIME dapat dilihat bahwa tidak efektifnya pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis proses pengolahan tuna loin beku pada tahapan penerimaan bahan baku (receiving) adalah produk cacat diterima/dibeli, membeli ikan tuna berlebihan, menunggu penanganan atau peletakan ikan yang telah dibeli di lantai terlalu lama serta penanganan yang kasar sehingga dapat didefinisikan kategori waste pada tahapan penerimaan bahan baku (receiving) ini adalah Defects (D), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, dan Skills and Abilities (N). Pada tahap penyimpanan beku (cold storage) bahan baku, tidak efektifnya pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis proses pengolahan tuna loin beku adalah berupa fluktuasi suhu cold storage yang tinggi, biaya penyimpanan yang besar, kebutuhan waktu yang terlalu lama untuk mencari ikan dan ikan rusak karena penanganan yang kasar sehingga dapat didefinisikan kategori waste pada tahapan penyimpanan beku (cold storage) bahan baku ini adalah Environmental, Health and Safety (E), Overproduction (O), Waiting (W) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). Sedangkan pada tahapan pengecekan akhir (grading), tidak efektifnya pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis proses pengolahan tuna loin beku adalah berupa masih adanya produk tuna loin yang cacat dan ikan yang rusak akibat penanganan yang kasar, sehingga dapat didefinisikan kategori waste pada tahapan pengecekan akhir (grading) ini adalah Defects (D) dan Not Utilizing Employees Knowledge, Skills and Abilities (N). 4.3.2 Pengukuran (measure)
Measure adalah mengukur kinerja proses pada saat sekarang agar dapat dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Hasil pengukuran dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik Statistical Process Control (SPC), seperti identifikasi
52
adanya wilayah true deviation (Domenech et al, 2008), peta kendali (control chart) beserta analisis kapabilitas proses (Gasperz, 2001) dan Analisis FMEA (Varzakas
dan
Arvanitoyannis,
2007).
Hasil
pengukuran
pelaksanaan
pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis adalah : 4.3.2.1 Evaluasi terhadap kadar histamin ikan tuna pada tahap penerimaan bahan baku
Histamin termasuk ke dalam bahaya keamanan pangan, karena itu ditetapkan suatu standar sebagai batas toleransi maksimum bagi histamin yang terkandung pada daging ikan. Pada tahap penerimaan bahan baku, kadar histamin yang diijinkan adalah sebesar 30 ppm. Uji histamin internal di PT Z dilakukan dengan menggunakan histamine assay kit. Hasil perhitungan data evaluasi kadar histamin ikan tuna beku selama bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Desember 2008 yang diperoleh dari data rekaman (record keeping) analisis kadar histamin ikan tuna pada bagian penerimaan (receiving) di PT Z dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) pada bulan Februari 2008 sampai Maret 2008 diperlihatkan pada Tabel 5, sementara data kandungan histamin selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12 dan 13. Tabel 5. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) di PT Z. No
Keterangan
Data Evaluasi
Data Verifikasi
90
31
1
Jumlah data
2
Rata-rata
10,27 ppm
14,7519 ppm
3
Standar deviasi
6,4159 ppm
3,8554 ppm
4
Nilai minimum
2,3 ppm
6,8 ppm
5
Nilai maksimum
40,5 ppm
26,57 ppm
6
Upper specific limit (USL)
30 ppm
30 ppm
7
Standar deviasi maksimum proses (Smaks)
4,3124 ppm
2,7952 ppm
8
Upper control limit (UCL)
16,7386 ppm
18,9448 ppm
9
Kapabilitas proses (Cpm)
1,0250
1.3183
10
Defect per million opportunities (DPMO)
1052,012
38,2699
11
Sigma
4,5751
5,4549
53
Berdassarkan hasil perhitungann data evaluaasi kadar hisstamin tuna pada tahap bahan bakku (receivinng) selamaa bulan Jannuari sampai dengan p penerimaan D Desember 2 2008 mempeerlihatkan baahwa kadar histamin ikan tuna mem miliki nilai r rata-rata prooses (X-bar)) 10,27 ppm m dan nilai batas b kontrool atas (Upp per Control L Limit-UCL) sebesar 16,7386 ppm. Nilai ini leebih rendah dibandingk kan dengan n nilai batas sp pesifikasi attas (Upper Sp Spesification Limit-USL)) yang telah ditentukan y yaitu sebesaar 30 ppm. Hasil perhhitungan data kadar hisstamin ikan tuna hasil p pemantauan Februari sam mpai Maret atau penelittian (data veerifikasi) sellama bulan F 2 2009 juga memperlihatk m kan nilai rataa-rata prosess (X-bar) sebbesar 14,7519 ppm dan n nilai batas kontrol k atas (UCL) sebeesar 18,9448 8 ppm, dimana data nillai ini juga l lebih kecil dari d nilai bataas spesifikassi atas (USL L) (Upper Sppesification Limit-USL) L y yang telah ditentukan d yaaitu sebesar 330 ppm. USL
S
TD
0.0
7.5
15.0 22.5 Histamin (ppm)
30.0
37.5
G Gambar 25. Kurva standar deviasi dan peta ken ndali data evvaluasi kadaar histamin ikan i tuna paada tahap pennerimaan baahan baku (reeceiving) sellama bulan Januari-Dese J ember 2008 Selaiin itu efektiivitas pengeendalian risiiko bahaya histamin paada tempat p penerimaan bahan bak ku (receivinng) dapat ju uga dilihat dengan addanya true d deviation (T TD) pada kurva k standaar deviasi. TD muncuul jika ada data yang m melebihi nillai USL. Adanya TD yaang muncul menunjukka m an bahwa prooses belum b berjalan baiik (Domenecch et al 20008). Berdasaarkan identiifikasi adanyya wilayah t true deviatiion (TD) dengan kurva standar deviasi d padaa data evalu uasi kadar h histamin ikaan tuna padaa tahap peneerimaan bahaan baku (recceiving) bulaan JanuariD Desember 2008 2 di PT Z (Gambarr 25) masih h terdapat T TD walaupu un wilayah s success (S) lebih besar. Walaupun dari segi keamanan ppangan kadaar histamin
54
k kurang dari 50 ppm maasih dinyataakan aman dikonsumsi d ((Sumner et al., 2004), m masih adanyya TD mennunjukkan baahwa prosess penerimaaan bahan baaku selama J Januari samp pai Desembeer 2008 massih belum beenar dan massih mungkinn menerima b bahan baku tuna t yang kaadar histamiinnya melebiihi 30 ppm. Analissis lain denggan menggunnakan peta kendali k (conttrol chart) dengan d data e evaluasi kaddar histaminn pada tahaap penerimaaan bahan baku b (receivving) pada G Gambar 25 memperlihaatkan bahwaa sebanyak 2 data darii 90 data atau a sekitar 2 2,22% bahann baku tunaa yang diteriima/dibeli beerada di atass batas spesifikasi atas ( (USL) kadarr histamin yaang telah dittentukan dann sebanyak 4 data dari 90 data atau s sekitar 4,44% % bahan baaku tuna yanng diterima/ddibeli beradda di antara garis batas k kontrol atas (UCL) dan batas spesifiikasi atas (U USL) dari nillai kadar histtamin yang d ditentukan. H ini mennunjukkan baahwa prosess berada di lluar kendali penetapan Hal k kadar histam min dan siistem pada bagian pen nerimaan baahan baku ikan tuna ( (receiving) di PT Z haarus segera dievaluasi dan diperbaaiki, karena jika tidak d dilakukan, m maka tidak menutup m kem mungkinan akan a banyak bahan baku u tuna yang g gagal memeenuhi target spesifik kaadar histamin yang tidaak boleh meelebihi dari 3 ppm. 30 USL
S
10
15
20
25
30
Histamin (ppm)
G Gambar 26. Kurva stanndar deviasi dan peta keendali data hhasil pemanntauan atau penelitian p (data ( verifikkasi) kadar histamin ikan tuna pada p tahap penerimaan p bahan bakuu (receivingg) selama bbulan Februari sampai Maret M 2009 Adapu un analisis dengan d mengggunakan peeta kendali (control ( cha art) dengan d hasil peemantauan atau data a penelitiaan (data veriifikasi), kadar histamin pada tahap p penerimaan bahan bakuu (receiving)) terlihat tid dak ada dataa yang meleewati batas
55
spesifikasi atas (USL), tetapi ada 3 data dari 31 data atau sekitar 9,68 % sampel berada di garis antara batas kontrol atas (UCL) dan batas spesifikasi atas (USL). Hal ini membuktikan bahwa pelaksanaan pengendalian risiko bahaya histamin pada titik kendali kritis tahapan penerimaan bahan baku (receiving) di PT Z belum efektif, sehingga kondisi proses ini perlu diwaspadai dan dapat dijadikan dasar keputusan untuk memberi peringatan bahwa sistem atau proses harus segera dievaluasi. Grafik analisis dengan peta kendali (control chart) dan kurva standar deviasi
data verifikasi kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku
(receiving) dapat dilihat pada Gambar 26. Jika dilihat kembali hasil perhitungan data pada Tabel 5, menunjukan bahwa nilai kapabilitas proses dari data evaluasi adalah sebesar 1,0250 dan dari data verifikasi adalah sebesar 1,3183. Sedangkan nilai sigma dari masing-masing data tersebut adalah sebesar 4,5751 dan 5,4549. Nilai ini menunjukkan bahwa kapasitas proses tahap penerimaan bahan baku (receiving) berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu (1 ≤ Cpm < 1,99) untuk mengendalikan risiko bahaya kadar histamin sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Adapun jika dilihat dari nilai Defect per million opportunities (DPMO) memperlihatkan bahwa nilai DPMO dari data evaluasi dan verifikasi masingmasing adalah sebesar 1052,012 dan 38,2699. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu juta kali penerimaan/pembelian bahan baku ikan tuna terdapat 1052,012 ikan tuna dan 38,2699 ikan tuna yang kemungkinan kadar histaminnya melebihi 30 ppm. 4.3.2.2 Evaluasi terhadap suhu cold storage pada tahap penyimpanan beku bahan baku
Hasil perhitungan data evaluasi yang diperoleh dari data rekaman (record keeping) pemeriksaan suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku ikan tuna selama bulan November 2008 sampai Januari 2008 dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) pemeriksaan suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku ikan tuna pada bulan Februari 2008 sampai Maret 2008 di PT Z diperlihatkan pada Tabel 6. Data evaluasi dan verifikasi suhu cold storage selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14 dan 15.
56
Tabel 6. Hasil perhitungan data evaluasi dan data hasil pemantauan atau penelitian (verifikasi) pemeriksaan suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku di PT Z. No
Statistika
Data Evaluasi
Data Verifikasi
1 2 3 4 5 6 7
Jumlah data Rata-rata proses Standar deviasi Nilai minimum Nilai maksimum Upper specific limit (USL) Standar deviasi maksimum proses (Smaks)
65 -21,9954 0C 1,3098 0C -23,6 0C -19 0C -20 0C 0,6599 0C
33 -17,0188 0C 2,2929 0C -22,2 0C -12,8 0C -20 0C 1,0646 0C
8 9 10 11
Upper control limit (UCL) Kapabilitas proses (Cpm) Defect per million opportunities(DPMO) Sigma
-21,0054 0C 0,5077 63836,15 3,0233
-15,4217 0C 0,4334 96771,21 2,8002
Berdasarkan hasil perhitungan dari data evaluasi pemeriksaan suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku selama bulan November 2008 sampai Januari 2009 memperlihatkan bahwa suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku memiliki nilai rata-rata proses (X-bar) -21,9954 oC, rata-rata suhu tersebut berada di bawah nilai batas spesifikasi atas (USL) yang ditentukan, yaitu sebesar -20 0C. Hasil perhitungan dari data pemantauan atau penelitian (data verifikasi) selama bulan Februari sampai Maret 2009 memperlihatkan nilai rata-rata proses (X-bar) sebesar -17,0188 oC dan nilai batas kontrol atas (UCL) sebesar -15,4217 oC, yang mana data nilai tersebut berada di atas nilai USL yang ditentukan, yaitu sebesar -20 0C. Hal ini menunjukkan bahwa suhu tempat penyimpanan beku (cold storage) bulan Februari sampai Maret 2009 berada di luar kendali sehingga proses tidak dapat mencapai suhu tempat penyimpanan beku yang diinginkan yaitu sebesar -20 0C. Menurut Breyfogle (2003), bila banyak titik berada diluar batas kendali berarti disebabkan oleh variasi penyebab khusus pada proses, oleh karena itu perusahaan harus segera melakukan tindakan untuk menghilangkan variasi penyebab khusus tersebut. Grafik analisis dengan kurva standar deviasi dan peta kendali (control chart) kadar histamin pada tahap penyimpanan beku bahan baku dapat dilihat pada Gambar 27 dan Gambar 28.
57
USL
S TD
-25
-24
-2 23
-22
-21
-20
-19
Suhu
G Gambar 27. Kurva stanndar deviasii dan peta kendali k data evaluasi suuhu tempat penyimpaanan beku (cold stora age) bahann baku selaama bulan Novembeer 2008 samppai Januari 2009. 2 Selaiin itu berdaasarkan ideentifikasi addanya TD ddengan kurvva standar d deviasi dari data evaluaasi memperllihatkan bahhwa masih terdapat t TD D walaupun w wilayah S lebih l besar (Gambar 277). Hal ini menunjukka m an bahwa suuhu tempat p penyimpana an beku (colld storage) bahan bakuu selama Noovember 20008 sampai J Januari 200 09 masih belum b efektif dan perllu ditingkattkan pengenndaliannya. A Analisis denngan mengguunakan peta kendali (conntrol chart) dari data evaaluasi suhu t tempat peny yimpanan (co old storage) bahan bakuu memperlihhatkan bahwaa sebanyak 8 data dari 65 6 data atau u sekitar 12,33 % suhu teempat penyim mpanan (colld storage) b bahan baku u tuna beraada di atas batas spessifikasi atass (USL) su uhu tempat p penyimpana an (cold storrage) bahann baku yang telah ditenntukan dan sebanyak s 6 d data dari 65 5 data atau sekitar 9,23 % suhu tem mpat penyim mpanan (colld storage) b bahan baku u tuna berad da di antaraa garis bataas kontrol atas a (UCL) dan batas s spesifikasi a (USL) dari atas d suhu tem mpat penyim mpanan (coldd storage) bahan b baku y yang ditentu ukan. Hal inii menunjukkkan bahwa proses p beradda di luar kenndali maka p proses penyyimpanan (cold ( storagge) bahan baku dan sistem pada tempat p penyimpana an (cold storrage) bahann baku di PT P Z harus segera diev valuasi dan d diperbaiki, karena k jika tidak t dilakukkan, maka kemungkinan k n tempat pennyimpanan ( (cold storag ge) bahan bakku tuna tidakk dapat diguunakan untukk standar pennyimpanan p produk ikan tuna, diman na suhu pusaat ikan agar enzim penddegradasi meenjadi tidak a aktif mencaapai -18 oC (H Huss et al., 2004). 2
58
USL L
TD S
-22
-20
-18
-16
-14
-12
Suhu
G Gambar 28. Kurva stan ndar deviasii data hasil pemantauann atau penellitian (data verifikasi) suhu temppat penyimppanan beku (cold storaage) bahan baku selam ma bulan Febbruari sampaai Maret 20009 Sedaangkan identtifikasi adannya wilayah true deviation (TD) denngan kurva s standar deviiasi dari datta hasil pem mantauan atau u penelitiann (data verifiikasi) suhu t tempat peny yimpanan beku b (cold sstorage) bah han baku sselama bulan n Februari s sampai Maaret 2009 (Gambar 228) dapat dilihat bahhwa TD leebih besar d dibandingka an wilayah S. S Hal ini m menunjukkan bahwa suhuu tempat pennyimpanan b beku (cold storage) s bahhan baku selaama Februarri sampai Maaret 2009 lebbih banyak g gagal dibandingkan suhhu tempat penyimpanann beku (coldd storage) bahan b baku y yang diharappkan. Adapu un analisis dengan mengggunakan petta kendali (ccontrol charrt) dari data h hasil pemanttauan atau penelitian p (daata verifikasi) untuk suhhu tempat pennyimpanan ( (cold storagge) bahan baku, b terlihaat bahwa haampir semuaa data meleewati batas s spesifikasi atas (USL)) atau sekkitar 90,6%. Hal ini membuktikkan bahwa p pelaksanaan n pengendalian risiko baahaya histam min pada titikk kendali krritis tempat p penyimpana an (cold storrage) bahann baku di PT T Z sudah ttidak efektiff, sehingga k kondisi prosses ini perluu diwaspadaai dan dapatt dijadikan dasar d keputuusan untuk m memberi perringatan bahhwa sistem aatau proses harus h segera dievaluasi. Jika dilihat d kembaali hasil perrhitungan daata pada Tabbel 6, memp perlihatkan b bahwa nilaii kapabilitass proses daata evaluasi adalah sebbesar 0,50777 dan data v verifikasi addalah sebesarr 0,4334. Niilai Cpm dataa evaluasi lebbih besar dibbandingkan d dengan nilaii Cpm data verifikasi, v haal ini menun njukkan adannya penurunnan kinerja d dari perusaahaan. Nilai ini menuunjukkan bahwa b kapaasitas prosees tahapan
59
penyimpanan beku (cold storage) bahan baku pada saat evaluasi dan verifikasi berada dalam keadaan dalam keadaan tidak mampu (Cpm < 1,00) untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan untuk mengendalikan risiko bahaya kadar histamin. Sedangkan nilai sigma dari masingmasing data tersebut adalah sebesar 3,0233 dan 2,8002. Adapun jika dilihat dari nilai Defect per million opportunities (DPMO), memperlihatkan bahwa nilai DPMO data evaluasi dan verifikasi masing-masing adalah sebesar 63836,15 dan 96771,21. Hal ini menunjukkan juga bahwa dalam satu juta kali penyimpanan beku terdapat 63836,15 dan 96771,21 kemungkinan menyimpan beku dengan suhu > -20 0C. 4.3.2.3 Evaluasi terhadap kadar histamin tuna loin beku pada tahap pengecekan akhir
Pada tahap pengecekan akhir, kadar histamin yang diijinkan adalah sebesar 30 ppm. Uji histamin pada produk akhir ini dilakukan oleh perusahaan dan laboratorium eksternal LPPMHP. Hasil perhitungan data evaluasi kadar histamin ikan tuna loin beku selama bulan Januari 2008 sampai dengan bulan Desember 2008 yang diperoleh dari data rekaman (record keeping) analisis kadar histamin ikan tuna loin beku pada tahap pengecekan akhir (grading) dan data hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) pada bulan Februari 2008 sampai Maret 2008 di PT Z diperlihatkan pada Tabel 7. Sementara data kandungan histamin selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 27 dan 28. Berdasarkan hasil perhitungan dari data evaluasi kadar histamin tuna loin beku pada bagian pengecekan akhir (grading) selama bulan Januari sampai dengan Desember 2008 memperlihatkan bahwa kadar histamin tuna memiliki snilai rata-rata proses (X-bar) 10,4848 ppm dan nilai batas kontrol atas (Upper Control Limit-UCL) sebesar 17,4067 ppm. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai batas spesifikasi atas (Upper Spesification Limit-USL) yang telah ditentukan yaitu sebesar 30 ppm. Hasil perhitungan data kadar histamin ikan tuna dari hasil pemantauan atau penelitian (data verifikasi) selama bulan Februari sampai Maret 2009 juga memperlihatkan nilai rata-rata proses (X-bar) sebesar 10,2554 ppm dan nilai batas kontrol atas (UCL) sebesar 16,3385 ppm, dimana
60
d data nilai ini i lebih keecil dari nillai batas sppesifikasi attas (USL) yang y telah d ditentukan yaitu y sebesarr 30 ppm. T Tabel 7. Hassil perhitung gan data evalluasi dan datta hasil pemaantauan atauu penelitian (datta verifikassi) kadar hhistamin ikaan tuna looin beku pada p tahap penngecekan akhhir (grading)) di PT Z. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sta atistika Jumlaah data Rata-rrata Standdar deviasi Nilai minimum Nilai maksimum Upperr specific limiit (USL) Standdar deviasi maaksimum prosses (Smaks) Upperr control limiit (UCL)
Data Evaluaasi 66 10,4848 ppm m 6,4159 ppm m 2,1 ppm 47,4 ppm 30 ppm 4,61457 ppm m 17,4067 ppm m
9 10 11
Kapab bilitas proses (Cpm) Defecct per million opportunitiess (DPMO) Sigmaa
0,9097 3176,051 4,2290
Data Verifikasi 27 10,25554 ppm 3,8554 ppm 1,52 ppm 36,5 ppm 30 0 ppm 4,0554 ppm 16,33385 ppm 1,1229 3777,6184 4,8686
USL
S TD
0
10
20 Histamin (ppm m)
30
40
G Gambar 29. Kurva stan ndar deviasi dan peta keendali data eevaluasi kadaar histamin pada tahappan pengeceekan akhir (grading) pproduk tuna loin beku selama bulan Januari sampai Desem mber 2008 Analissis dengan menggunakkan peta keendali (control chart) dari data e evaluasi kaddar histaminn pada tahapp pengecekann akhir (graading) memp perlihatkan b bahwa sebannyak 2 data dari 67 dataa atau sekitaar 2,98% tunna loin bekuu berada di a atas batas spesifikasi s atas (USL) kadar histtamin yang telah diten ntukan dan s sebanyak 4 data dari 677 data atau ssekitar 5,97% % produk tunna loin beku u berada di a antara garis batas kontrrol atas (UC CL) dan bataas spesifikasi atas (USL) dari nilai k kadar histam min yang diteentukan. Hall ini menunjukkan bahw wa proses berrada di luar
61
k kendali atauu sudah tidakk efektif dann sistem padda proses baagian pengeccekan akhir t tuna loin beeku (gradingg) di PT Z hharus segeraa dievaluasi dan diperbaaiki, karena j jika tidak dilakukan, maka m tidak m menutup kem mungkinan aakan banyakk tuna loin y yang gagal memenuhi target t spesiffik kadar histamin yangg tidak bolehh melebihi d 30 ppm. dari USL
S TD
0
5
10
15 20 Histamin (ppm)
25
30
35
G Gambarn 300. Kurva standar deviasii dan peta kendali k data hasil peman ntauan atau h padda tahapan pengecekan p penelitian (data verifikkasi) kadar histamin b selama bulan Febru uari sampai akhir (gradding) produkk tuna loin beku Maret 20099 Adappun analisis dengan mennggunakan peta p kendalii (control ch hart) kadar h histamin pad da tahap penngecekan akkhir tuna loin n beku (gradding) dengaan data dari h hasil pemanntauan atau penelitian p (ddata verifikaasi) pada Gaambar 30 terrlihat ada 1 d dari 27 dataa atau 3,70% yang meelewati bataas spesifikassi atas (USL L). Hal ini m membuktika an bahwa peelaksanaan pengendalian p n risiko bahaaya histamin n pada titik k kendali kritiis bagian peengecekan aakhir tuna lo oin beku (grrading) di PT P Z sudah t tidak efektiif dan berada di luar kendali, seehingga konndisi prosess ini perlu d diwaspadai d dapat diijadikan dasaar keputusann untuk mem dan mberi peringaatan bahwa s sistem atau proses p haruss segera dievvaluasi. Berdassarkan identtifikasi adannya wilayah true deviation (TD) denngan kurva s standar deviiasi dari dataa evaluasi kaadar histamiin ikan tuna loin beku pada p bagian p pengecekan akhir (gradding) bulan JJanuari-Deseember 2008 di PT Z (G Gambar 29) m maupun darii data hasil pemantauan p atau penelitiian (data verrifikasi) kadaar histamin h histamin ikaan tuna loinn beku padaa bagian peengecekan akkhir (gradin ng) selama b bulan Febru uari sampai Maret 20009 (Gambarr 30) dapat dilihat bahhwa masih
62
terdapat TD walaupun wilayah success (S) lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan sampai bagian pengecekan akhir (grading) masih belum benar, karena masih memungkinkan menghasilkan produk yang kadar histaminnya melebihi 30 ppm. Jika dilihat kembali hasil perhitungan data pada Tabel 7, menunjukkan bahwa nilai kapabilitas proses dari data evaluasi pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku adalah sebesar 0,9097 dan data verifikasi adalah sebesar 1,1229. Sedangkan nilai sigma dari masing-masing data tersebut adalah sebesar 4,2290 dan 4,8686. Nilai ini menunjukkan bahwa kapasitas proses tahapan pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku pada saat evaluasi berada dalam keadaan dalam keadaan tidak mampu (Cpm < 1,00) untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan untuk mengendalikan risiko bahaya kadar histamin, sedangkan pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku dari data verifikasi berada dalam keadaan tidak mampu sampai cukup mampu (1 ≤ Cpm < 1,99) untuk mengendalikan risiko bahaya kadar histamin sesuai dengan kebutuhan dan ekspektasi pelanggan. Adapun jika dilihat dari nilai Defect per million opportunities (DPMO), memperlihatkan bahwa nilai DPMO data evaluasi dan verifikasi masing-masing adalah sebesar 3176,051 dan 377,6184. Hal ini menunjukkan juga bahwa dalam satu juta kali pengecekan akhir (grading) produk tuna loin beku terdapat 3176,051 produk tuna loin beku untuk data evaluasi dan 377,6184 produk tuna loin beku untuk data verifikasi yang kemungkinan kadar histaminnya melebihi 30 ppm. 4.3.2.4.
Evaluasi terhadap kadar histamin ikan tuna pada tahap penerimaan bahan baku dan pengecekan akhir menggunakan FMEA
Analisis menggunakan FMEA dapat digunakan untuk menilai risiko bahaya pada sistem HACCP (Varzakas dan Arvanitoyannis 2007). Adapun analisis bahaya histamin menggunakan FMEA pada tahap penerimaan bahan baku dan pengecekan akhir dapat dilihat pada
Tabel 8. Adapun klasifikasi Severity
(S), Occurrence (O) dan Detection (D) dapat dilihat pada Lampiran 29.
63
Tabel 8. Analisis FMEA pada tahap penerimaan bahan baku dan pengecekan akhir Tahap Produksi
Bahaya
Penyebab Bahaya
S
O
D
RPN
Tindakan koreksi
S
O
D
Penerimaan bahan baku
Histamin
7
4
6
168
2
3
Histamin
7
5
4
140
Penerimaan lebih teliti, Penanganan yang baik, Uji dilakukan secara periodik Penanganan yang baik selama proses
7
Pengecekan akhir
Penyimpangan suhu, Penanganan yang salah, Tidak selalu dilakukan uji histamine Penyimpangan suhu, penanganan yang salah selama proses
Probability RPN 42
7
2
3
42
Keterangan : S : Severity (1-10) O : Occurrence (1-10) D : Detection (1-10) RPN : Risk Priority Number (1-1000)
63
64
Pada tahap penerimaan bahan baku, bahaya histamin dinilai keparahannya (S) dengan nilai 7 (skala 1 sampai 10) yang berarti Important, karena tingginya kadar histamin dapat memberikan dampak yang besar terhadap bahaya keamanan pangan bagi konsumen, penolakan negara importir akibat bahaya histamin yang mungkin timbul sehingga membutuhkan pengujian sebelum dilakukan ekspor (Dalgaard et al, 2008). Peluang munculnya histamin (O) mendapatkan nilai 4 (skala 1 sampai 10) yang berarti kemungkinan muncul 1 produk yang mempunyai kadar histamin melewati batas diantara 2000 produk. Nilai ini didapatkan dari nilai DPMO pada tahap penerimaan bahan baku pada Tabel 5. Kemungkinan histamin terdeteksi (D) mendapatkan nilai 6 (skala 1 sampai 10) yang berarti Low detection probability karena pengontrolan histamin di perusahaan dinilai efektivitasnya sedang karena pengujian histamin pada penerimaan tergantung dari ketersediaan histamine assay kit, ketelusuran produk (tracebility) di perusahaan kurang lengkap dan masih belum diaplikasikan, sulit bagi perusahaan mempunyai akses ke pemasok dan prosedur Enzyme Link Immunosorbent Assay (ELISA) masih dapat digunakan untuk mendeteksi histamin. Keseluruhan nilai RPN adalah 168 (RPN>130) sehingga perlu dilakukan tindakan koreksi (Varzakas dan Arvanitoyannis, 2007). Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah seleksi penerimaan bahan baku yang lebih teliti, penanganan yang baik sehingga tidak terjadi penyimpangan suhu ataupun kontaminasi bakteri, mempunyai pemasok yang dipercaya dan dapat dikontrol serta selalu melakukan uji histamin ketika bahan baku diterima atau dibeli. Setelah dilakukan tindakan koreksi diharapkan nilai peluang munculnya histamine (O) turun menjadi 2 yang berarti kemungkinan histamin yang melewati batas hanya 1 diantara 1.500.000 produk dan kemungkinan histamin terdeteksi (D) turun menjadi 3 yang berarti histamin dapat terdeteksi dengan mudah karena perusahaan selalu menguji histamin setiap bahan baku diterima, ada akses bagi perusahaan untuk mengontrol bahan baku ke pemasok serta tracebility ada dan lengkap, sehingga nilai RPN turun menjadi 42. Pada tahap pengecekan akhir, bahaya histamin dinilai keparahannya (S) dengan nilai 7 (skala 1 sampai 10) yang berarti Important karena tingginya kadar histamin dapat memberikan dampak yang besar terhadap bahaya keamanan pangan bagi konsumen, penolakan negara importir akibat bahaya histamin yang
65
mungkin timbul sehingga membutuhkan pengujian sebelum dilakukan ekspor (Dalgaard et al., 2008). Peluang munculnya histamin (O) mendapatkan nilai 5 (skala 1 sampai 10) yang berarti kemungkinan muncul 1 produk yang mempunyai kadar histamin melewati batas diantara 400 produk. Nilai ini didapatkan dari nilai DPMO pada tahap penerimaan bahan baku pada Tabel 7. Kemungkinan histamin terdeteksi (D) mendapatkan nilai 4 (skala 1 sampai 10) yang berarti Quite high detection probability karena histamin dapat terdeteksi dengan mudah karena produk akhir selalu diuji secara berkala pada tahap pengecekan akhir. Keseluruhan nilai RPN adalah 140 (RPN>130) sehingga perlu dilakukan tindakan koreksi (Varzakas dan Arvanitoyannis, 2007). Tindakan koreksi yang dapat dilakukan adalah penanganan yang baik sehingga tidak terjadi penyimpangan suhu ataupun kontaminasi bakteri dan sebaiknya tracebility di perusahaan dilengkapi. Setelah dilakukan tindakan koreksi diharapkan nilai peluang munculnya histamine (O) turun menjadi 2 yang berarti kemungkinan histamin yang melewati batas hanya 1 diantara 1500000 produk dan kemungkinan histamin terdeteksi (D) turun menjadi 3 yang berarti histamin dapat terdeteksi dengan mudah karena selalu perusahaan menguji histamin setiap bahan baku diterima, ada akses bagi perusahaan untuk mengontrol bahan baku ke pemasok serta tracebility ada dan lengkap, sehingga nilai RPN turun menjadi 42. 4.3.3 Analisis (analyze)
Tahap analyze menganalisis penyebab cacat atau variasi pada produk dari pemetaan proses. Tahap ini juga menganalisa hubungan sebab akibat berbagai faktor yang dipelajari untuk mengetahui faktor-faktor dominan yang perlu dikendalikan pada tahap selanjutnya. 4.3.3.1 Tahap penerimaan bahan baku (receiving)
Faktor penyebab variasi kadar histamin pada bahan baku tuna pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) digolongkan ke dalam tiga faktor utama, yaitu kondisi ruang penerimaan, bahan baku dan manusia. Diagram sebab akibat pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) dapat dilihat pada Gambar 31.
66
1.
Kondisi ruang penerimaan Kondisi ruang penerimaan secara langsung mempengaruhi mutu tuna yang diterima. Secara umum dapat digambarkan bahwa kondisi ruang penerimaan yang ada adalah tidak tertutup dari lingkungan luar, lantai ruang penerimaan bahan baku tuna beku tidak higienis dan jarang dibersihkan. Pada saat penerimaan berlangsung, ikan ditumpuk di lantai sebelum penimbangan dilakukan. Serangga seperti lalat dapat ditemukan menempel pada bahan baku, karena tidak dilengkapi dengan insect killer serta suhu ruangan yang adalah sekitar ±27 0C. Desain ruang pengolahan termasuk ruang penerimaan seharusnya dirancang untuk mencegah kontaminasi silang. Ruang penerimaan seharusnya tertutup dari lingkungan luar untuk mencegah terkena hujan, angin atau benda asing lainnya yang dapat mengkontaminasi produk. Ruang penerimaan pada negara tropis sebaiknya disesuaikan suhunya dengan spesifikasi produk karena pertumbuhan mikroba sangat cepat (ICMSF, 1998). Selain itu menurut Kim et al. (2002) bahwa suhu 20 – 30 0C merupakan suhu optimum pembentukan histamin dari bakteri pembentuk histamin Morganella morganii.
2.
Bahan baku Bahan baku ikan tuna yang digunakan PT Z adalah berupa ikan tuna beku yang dibeli dari transit atau dari perusahaan lain. Perusahaan tidak mengetahui apakah ikan tuna yang dibeli di perusahaan lain tersebut dalam kondisi masih baik atau sudah mengalami perlakuan lain, misalnya seperti deforst/thawing yang dilakukan berulang kali saat ketika ikan tersebut dibeli. Jika hal ini terjadi maka akan dapat mempengaruhi kadar histamin ikan tuna yang telah dibeli. Menurut Kim et al. (2002), ikan tuna beku yang mengalami thawing pada suhu 25 0C dan dibekukan kembali akan menyebabkan histamin terakumulasi, karena jika enzim sudah terbentuk pada suhu optimumnya maka enzim tersebut akan terus memproduksi histamin walaupun sudah dibekukan. Lakmisha et al. (2008) melaporkan bahwa aktivitas pencairan kembali atau proses pen-thawing-an ikan yang telah dilakukan pembekuan akan menyebabkan ”rapid multiplication” dari mikroorganisme yang ada,
67
sehingga dapat dimungkinkan berujung pada peningkatan kadar histamin produk ikan tersebut. 3.
Manusia Hal lain yang dapat menyebabkan variasi kadar histamin dalam bahan baku tuna adalah pekerja. Saat penerimaan bahan baku, pekerja menangani ikan dengan kasar dan tidak mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum bekerja. Menurut Yamanaka et al. (1982) penanganan yang salah pada ikan tuna sebelum dibekukan dapat menimbulkan keracunan histamin, walaupun ikan dibekukan sampai suhu -50 0C. Kemudian Tao et al. (2009) menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan teknik penanganan. Dalam penelitiannya melaporkan bahwa kandungan histamin tidak dapat terdeteksi pada ikan yang berada dalam kondisi steril. Oleh karena itu disarankan bahwa berlangsung kontak fisik pekerja atau permukaaan yang tidak higienis dengan ikan agar lebih banyak dihindari. Berdasarkan informasi tersebut maka dibutuhkan perbaikan metode kerja dalam proses agar kerusakan pada ikan tidak terjadi. Ketelitian QC dalam membeli bahan baku juga mempengaruhi variasi kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku. Bahan baku Mutu bahan baku Defrost berkali-kali
Suhu tinggi Kebersihan
Variasi kadar histamin pada bahan baku tuna
Keterampilan Penanganan Ketelitian
Kondisi Ruang penerimaan
Manusia
Gambar 31. Diagram sebab akibat pada tahap penerimaan bahan baku (receiving) 4.3.3.2 Tahap penyimpanan beku bahan baku (raw material storaging)
Faktor penyebab dekomposisi pada bahan baku tuna tahap penyimpanan beku (cold storage) bahan baku digolongkan ke dalam tiga faktor utama, yaitu kondisi cold storage bahan baku, mesin cold storage dan manusia. Diagram
68
sebab akibat pada tahap penyimpanan beku (cold storage) bahan baku dapat dilihat pada Gambar 32. 1.
Kondisi Cold storage bahan baku Tempat
penyimpanan
beku
mempengaruhi kualitas ikan tuna,
(cold
storage)
bahan
baku
dapat
karena pada tahap ini bahan baku
disimpan dalam waktu tertentu sampai diolah menjadi produk loin. Kondisi tempat penyimpanan beku (cold storage) bahan baku di PT Z memiliki banyak kekurangan, diantaranya suhu cold storage yang selalu berfluktuasi, salah satunya adalah karena evaporator di dalam tertutup oleh es dan pintu cold storage tidak dilengkapi oleh sealer. Selain itu di dalam cold storage sering ditemukan adanya binatang pengerat, serta tata penyimpanan tidak menggunakan sistem FIFO. Menurut Undeland (2001), suhu cold storage yang sering berfluktuasi dapat menjadi salah satu faktor utama mutu turunnya mutu dari ikan. Jika fluktuasi suhu terjadi dibawah -20 0C maka kecepatan pembusukkan ikan sangat kecil, namun jika melihat gambaran peta kendali (control chart) pada Gambar 28, fluktuasi suhu pada tempat penyimpanan beku (cold storage) sudah berada diatas -20 0C. 2.
Mesin cold storage Mesin cold storage yang ada sudah cukup tua dan petunjuk digital di ruang mesin rusak sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti kondisi suhu yang ada. Selama penelitian dari bulan Februari sampai Maret 2009, sering terjadi pemadaman listrik dan mesin pernah terbakar, sehingga suhu dalam cold storage menjadi lebih tinggi dalam waktu yang cukup lama. Penyebab mesin terbakar adalah karena tekanan yang besar pada bagian pipa (valve) di kondensor.
3.
Manusia Pemahaman karyawan untuk menjaga fluktuasi suhu serendah mungkin dinilai sangat kurang. Pintu cold storage sering dibiarkan terbuka untuk waktu yang cukup lama pada saat pekerja sedang memasukkan atau mengeluarkan bahan baku. Penanganan ikan yang kasar dan bahan baku yang diinjak-injak oleh pekerja dapat menyebabkan dekomposisi dan kerusakan pada bahan baku. Dibutuhkan juga kedisiplinan QC dalam
69
pencatatan suhu cold storage sehingga jika terjadi fluktuasi suhu dapat terdeteksi.
Mesin
Kondisi mesin tua Kondensor sering rusak Pembersihan Petunjuk digital rusak
Sealer pintu
Dekomposisi bahan baku
Keterampilan
Evaporator tertutup es Pembersihan Perawatan
Kondisi Cold storage
Kedisiplinan Motivasi
Manusia
Gambar 32. Diagram sebab akibat tahap penyimpanan beku bahan baku 4.3.3.3 Tahap pengecekan akhir (grading)
Faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku tahap pengecekan akhir (grading) digolongkan ke dalam lima faktor utama, yaitu bahan baku, cold storage bahan baku, ruang anteroom, manusia dan manajemen. Diagram sebab akibat pada tahap pengecekan akhir dapat dilihat pada Gambar 33. 1.
Bahan baku Pada saat penerimaan dilakukan pengecekan organoleptik oleh QC, ikan tuna yang mutunya kurang baik seperti bau dan teksturnya lembek akan diuji kandungan histaminnya. Tetapi uji histamin kadangkala tidak dilakukan saat bahan baku datang. Hal ini disebabkan diantaranya habisnya test kit untuk uji histamin di perusahaan. Tidak dilakukannya uji histamin mempengaruhi efisiensi penerapan program HACCP di perusahaan. Hal ini akan berpengaruh pada produk akhir tuna loin dalam hal keamanan pangan dan keuntungan perusahaan karena pada saat pengecekan akhir sering ditemukan produk reject sehingga tuna loin tersebut tidak dapat diekspor dan harga jualnya turun.
70
Bahan baku yang diproses juga tidak mengikuti sistem FIFO, sehingga bahan baku yang sudah disimpan lama (sekitar 7 – 12 bulan) digunakan untuk proses pengolahan. Ben-Gigirey et al. (1999) menyatakan bahwa bakteri jenis S.maltophilia yang diisolasi dari tuna albacore selama penyimpanan pada suhu -25`0C dalam waktu 6 bulan, kadar histaminnya meningkat dengan pesat sebesar 5 ppm. Bakteri jenis ini merupakan produsen kadaverin yang kuat, sehingga pada saat produk mengalami thawing efek sinergis kadaverin dan histamin dapat menimbulkan keracunan histamin. Sedangkan menurut Lakmisha et al. (2008) ikan yang disimpan selama 2 bulan pada suhu -18 0C kandungan histaminnya dapat mencapai 20,8 ppm. Maka sebaiknya perusahaan menggunakan sistem FIFO agar risiko peningkatan kadar histamin pada produk akhir dapat dihindari. 2.
Cold storage bahan baku Fluktuasi cold storage bahan baku dapat menyebabkan dekomposisi produk dan mutu produk yang dihasilkan akan turun. Beberapa data cold storage bahan baku sampai melewati -15 0C. Kim et al. (2002) menyatakan, TMAO dapat di pecah menjadi DMA dan FA pada saat penyimpanan beku oleh enzim dalam daging ikan, tetapi enzim tersebut dapat dihambat pada suhu kurang dari -29 0C. Sedangkan menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri pembentuk histamin masih ditemukan pada 3 dari 10 ikan tuna yang disimpan pada suhu -15 0C. Maka sebaiknya suhu cold storage bahan baku dijaga ≤-20 0C agar bakteri pembentuk histamin tidak dapat tumbuh dengan pesat. Kebersihan cold storage sebaiknya juga diperhatikan agar tidak terjadi kontaminasi mikroba terhadap bahan baku.
3.
Manusia Pada pengecekan akhir, QC juga berfungsi untuk memisahkan tuna loin yang bau dan penampakannya jelek. Ketelitian QC dalam penerimaan bahan baku sampai pengecekan akhir juga dapat mempengaruhi kadar histamin tuna loin yang dihasilkan. Jika ada tuna loin yang nilai sensorinya kurang dapat lolos dari pengecekan akhir maka kemungkinan terdapat produk tuna loin yang histaminnya tinggi (Ben-Gigirey et al., 1999).
71
4.
Manajemen Komitmen manajemen PT Z untuk memotivasi pekerja dinilai sangat kurang. Pemberian pelatihan secara berkala tentang HACCP misalnya sangat diperlukan agar HACCP diterapkan di semua lini produksi. Menurut Panisello dan Quantick (2000), komitmen manajemen sangat penting dalam penerapan kelayakan dasar yang baik serta keberhasilan program HACCP di perusahaan. Komitmen pihak manajemen dalam penerapan program HACCP di PT Z dapat dikatakan tidak konsisten. Hal ini dapat dilihat dari masalah tidak diujinya histamin pada bahan baku tuna yang diterima dan kondisi cold storage yang tidak beraturan serta fluktuasi suhu cold storage yang besar. Menurut Taylor (2004) seharusnya manajer produksi memberikan contoh dan membimbing karyawan dalam menerapkan HACCP. Manajer produksi juga sebaiknya mengecek apakah CCP selalu dimonitor dan pelaksanaan HACCP sudah sesuai yang direncanakan. Manajemen puncak harusnya memotivasi kesadaran pekerja tentang pentingnya HACCP dan mengulang pelatihan jika diperlukan pada karyawan terutama pada QC. Tanpa kepemimpinan yang baik maka program HACCP tidak akan berjalan sesuai harapan.
Manajemen
Bahan baku Tidak FIFO
Komitmen
Tidak uji histamin
pada penerimaan Variasi kadar histamin pada tuna loin beku
Ketelitian
Kebersihan
Kedisiplinan Fluktuasi suhu
Motivasi
Cold storage
Manusia
Gambar 33. Diagram sebab akibat tahap pengecekan akhir (grading)
72
4.3.4 Perbaikan (improvement)
Pada tahap improvement dilakukan perbaikan pada faktor-faktor yang menjadi penyebab masalah kurangnya efektifitas pengendalian CCP di PT Z menggunakan prinsip 6S (Gaspesrz, 2006). 4.3.4.1 Tahap penerimaan bahan baku
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tahap penerimaan bahan baku yang bertempat di ruang penerimaan (receiving), maka prinsip 6S yang dapat diimplementasikan pada ruang tersebut adalah : 1.
Sort Prinsip sort dapat diimplementasikan dengan pengaturan tata letak benda pada tahap penerimaan yaitu dalam area ruang penerimaan. Ruang penerimaan diubah menjadi ruangan yang tertutup dari lingkungan luar sehingga suhu ruang penerimaan diharapkan tidak menjadi salah satu faktor peningkatan histamin pada bahan baku tuna.
2.
Stabilize Prinsip stabilize dapat diimplementasikan dengan pemberian label pada semua bahan baku yang baru diterima perusahaan. Label dapat diletakkan di pallet yang berisikan tulisan jenis ikan, tanggal masuk dan pemasok. Penempatan ikan juga seharusnya dikelompokkan sesuai jenis ikan dan waktu ikan diterima perusahaan.
3.
Shine Prinsip shine diimplementasikan dengan melakukan pembersihan secara menyeluruh pada ruang penerimaan seperti pembersihan dinding dan lantai secara teratur. Penambalan lubang pada lantai ruang penerimaan juga perlu dilakukan agar lantai tidak berlumut dan mudah dibersihkan secara menyeluruh.
4.
Standardize Prinsip Standardize dapat diterapkan dengan pembuatan petunjuk kerja secara visual yang tepat sehingga memudahkan untuk diingat atau dipahami mengenai prinsip sort, stabilize dan shine yang telah diterapkan. Petunjuk seperti gambar akan lebih mudah dimengerti dibandingkan dengan petunjuk berupa tulisan, selain itu pekerja juga akan lebih tertarik untuk melihatnya
73
daripada hanya membaca suatu tulisan (Gaspersz, 2006). Petunjuk yang dapat diterapkan dapat berupa gambar contoh penerimaan ikan yang baik, serta gambar mengenai berbagai mutu bahan baku tuna yaitu gambar ikan tuna yang mutunya dapat diterima maupun gambar ikan tuna yang mutunya tidak dapat diterima agar QC dan semua pekerja dapat memahami. 5.
Safety Prinsip safety yang dapat diterapkan di ruang penerimaan adalah pemberian petunjuk agar karyawan bekerja secara hati-hati dalam melakukan penerimaan bahan baku.
6.
Sustain Agar 6S tetap berlangsung maka sebaiknya ditempelkan mengenai prinsip 6S secara keseluruhan di suatu papan pengumuman beserta petunjuk visual lainnya pada ruang penerimaan bahan baku.
4.3.4.2 Tahap penyimpanan beku bahan baku
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tahap penyimpanan beku bahan baku yang bertempat di cold storage maka prinsip 6S yang dapat diimplementasikan pada ruang tersebut adalah : 1.
Sort Prinsip sort dapat diimplementasikan dengan pengaturan tata letak benda pada tahap penyimpanan beku bahan baku yaitu dalam area cold storage. Ikan yang diletakkan di lantai, disusun dalam pallet sesuai dengan tanggal masuk ataupun dikelompokkan sesuai jenisnya. Ikan yang sudah lama atau ikan reject dipisahkan di tempat tersendiri. Mesin cold storage yang sudah tua juga sebaiknya diganti agar pendinginan lebih efektif.
2.
Stabilize Prinsip stabilize dapat diimplementasikan dengan penggunaan sistem First In First Out (FIFO) di tahap ini serta pencatatan suhu yang konsisten juga segera dilakukan tindakan koreksi jika suhu naik. Fluktuasi suhu yang diakibatkan seringnya karyawan membuka pintu cold storage juga dapat dihindari dengan menempatkan salah satu karyawan untuk membuka dan menutup pintu cold storage
saat tertentu. Manajer produksi harus tegas
74
dalam mengawasi proses, dengan cara menegur karyawan apabila melakukan penanganan ikan dengan kasar dan tidak higienis. 3.
Shine Prinsip shine diimplementasikan dengan melakukan pembersihan secara menyeluruh pada cold storage seperti pembersihan dinding dan lantai secara teratur. Penambalan lubang pada dinding cold storage juga perlu dilakukan agar tidak ada lagi binatang yang masuk. Evaporator yang tertutup es juga selalu dibersihkan.
4.
Standardize Prinsip Standardize dapat diterapkan dengan pembuatan petunjuk berupa gambar contoh
penyusunan ikan yang baik, serta gambar peta lokasi
penempatan ikan agar waktu pencarian ikan dipersingkat. 5.
Safety Prinsip safety yang dapat diterapkan di cold storage adalah penyusunan ikan dan pallet yang teratur agar tidak ada karyawan yang tertimpa seperti yang cukup sering terjadi di cold storage.
6.
Sustain Agar 6S tetap berlangsung maka sebaiknya ditempelkan mengenai prinsip 6S secara keseluruhan di suatu papan pengumuman beserta petunjuk visual lainnya pada cold storage.
4.3.4.3 Tahap pengecekan akhir
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada tahap pengecekan akhir (grading) yang bertempat di anteroom, maka prinsip 6S yang dapat diimplementasikan pada ruang tersebut adalah : 1.
Sort Prinsip sort dapat diimplementasikan dengan pengaturan tata letak benda dalam anteroom. Terdapat banyak pallet yang tidak dipakai berjejer di anteroom. Penempatan pallet tersebut dalam area anteroom hanya akan mempersempit area kerja pada saat pengecekan akhir maupun saat proses lainnya. Pallet-pallet tersebut juga menyulitkan saat proses pembersihan area dan dikhawatirkan menjadi tempat hidup serangga, maka pallet-pallet tersebut harus dipindahkan ke tempat penyimpanan.
75
2.
Stabilize Prinsip stabilize dapat diimplementasikan dengan pemberian label pada tuna loin beku yang reject sehingga dapat dipisahkan. Pengujian histamin pada tuna loin beku juga harus dilakukan.
3.
Shine Prinsip shine diimplementasikan dengan melakukan pembersihan secara menyeluruh pada anteroom dan pembersihan blower secara teratur.
4.
Standardize Prinsip Standardize dapat diterapkan dengan pembuatan petunjuk berupa gambar contoh penanganan ikan yang baik, serta gambar mengenai berbagai mutu tuna loin beku baik gambar
tuna loin beku yang mutunya dapat
diterima maupun gambar tuna loin beku yang mutunya tidak dapat diterima agar QC dan semua pekerja dapat memahami. 5.
Safety Prinsip safety yang dapat diterapkan di anteroom adalah penggunaan forklift dengan hati-hati dan selalu menyediakan kotak P3K di perusahaan.
6.
Sustain Agar 6S tetap berlangsung maka sebaiknya ditempelkan mengenai prinsip 6S secara keseluruhan, beserta petunjuk visual lainnya dan suatu reward atau penghargaan bagi karyawan yang selalu mematuhi prinsip 6S, di suatu papan pengumuman pada anteroom.
4.3.5 Control
Prinsip kontrol dapat diterapkan setelah perusahaan sudah menerapkan define, measure, analyze dan improvement. Program HACCP yang diintegrasikan dengan sistem manajemen Lean Six Sigma dapat membantu meningkatkan efektivitas dan efisiensi dari sistem maupun proses, sehingga PT Z dapat memperoleh profit dan pertumbuhan perusahaan tanpa mengabaikan prinsip food safety. Rencana penerapan Kaizen Blitz sebagai upaya peningkatan kinerja dan kualitas secara terus menerus, perusahaan dapat dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap berikut:
76
Persiapan: Ketua
tim
HACCP,
kepala
produksi
serta
wakil
manajemen
mendefinisikan proyek yang akan dilakukan untuk Kaizen Blitz pada tahap penerimaan bahan baku, penyimpanan beku bahan baku dan pengecekan akhir. Sebaiknya ketua tim HACCP menjadi ketua tim Kaizen. Anggota tim Kaizen dipilih oleh ketua tim Kaizen. Disarankan ada satu orang yang telah mengikuti pelatihan Lean Six Sigma dan bergelar Black Belt. Tim Kaizen menyiapkan bahan-bahan untuk pelatihan singkat, logistik atau sumber daya yang diperlukan selama melaksanakan Kaizen Blitz. Hari Senin: Black Belt dan ketua tim Kaizen memberikan penjelasan singkat kepada tim tentang proyek Kaizen Blitz dan memberikan pelatihan singkat mengenai integrasi Lean Six Sigma dengan sistem HACCP yang sudah ada. Setelah itu, dilakukan pengumpulan data yang diperlukan. Hari Selasa: Analisis data-data yang sudah terkumpul baik data hasil pengamatan (data verifikasi) maupun data record keeping beberapa bulan terakhir (data evaluasi) dengan SPC. Kemudian langsung mengidentifikasi dan memverifikasi akarakar penyebab masalah menggunakan diagram sebab akibat. Hari Rabu: Dilakukan perbaikan-perbaikan dengan implementasi prinsip 6S dan meningkatkan proses yang sudah ada dengan menentukan target yang akan dicapai berikutnya melalui alternatif solusi untuk memperbaiki dan mencegah permasalahan itu muncul kembali. Hari Kamis: Pemantauan bahwa kondisi proses dan sistem sudah berjalan dengan baik dan stabil kemudian mencegah proses dan sistem kembali pada kondisi awal. Oleh karena itu, dilakukan pula pengembangan, pendokumentasian dan implementasi secara penuh pada proses dan sistem yang berjalan setelah dilakukan perbaikan.
77
Hari Jumat : Tim mempresentasikan hasil yang telah dicapai Kaizen Blitz kepada pihak manajemen atas (top management) disertai dengan diskusi dengan pihak top management untuk mendapatkan kesepakatan untuk melakukan Kaizen Blitz pada minggu berikutnya dan pada tahapan proses lainnya. Tim juga menghitung biaya yang dikeluarkan untuk menerapkan HACCP dan Lean Six Sigma. Tindak Lanjut : Tim Kaizen dan top management bekerja sama untuk mewujudkan implementasi Lean Six Sigma secara penuh pada semua tahapan proses dan memonitor hasil-hasil yang telah dicapai. Peningkatan kinerja secara terus menerus harus menjadi suatu keputusan bersama yang harus dicapai.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penilaian kelayakan dasar di PT Z menunjukkan bahwa PT Z dikategorikan sebagai Unit Pengolahan Ikan (UPI) dengan nilai B dengan jumlah penyimpangan sebanyak 2 penyimpangan minor, 7 penyimpangan mayor dan 2 penyimpangan serius. Berdasarkan analisis bahaya, identifikasi titik kritis dan pengendalian titik kendali kritis (CCP) yang telah dilakukan, yang tergolong sebagai CCP adalah pada tahap penerimaan (receiving), tahap penyimpanan beku bahan baku (raw material storaging) dan tahap pengecekan akhir (grading). Berdasarkan evaluasi dengan konsep dasar lean six sigma hasil penilaian keefektivitasan dari pengendalian risiko bahaya histamin menunjukkan bahwa pengendalian CCP di PT Z masih belum berjalan efektif. PT Z perlu melakukan perbaikan pada sistem pengendalian CCP agar bahaya risiko peningkatan kadar histamin pada tuna loin beku dapat dikurangi. 5.2. Saran
Metode Lean Six Sigma sebaiknya dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas pengendalian risiko bahaya histamin pada proses pengolahan tuna loin beku. Selain itu metode ini juga sebaiknya dapat dikembangkan untuk mengevaluasi tahapan proses pengolahan tuna loin beku lainnya, agar keseimbangan dalam perusahaan tidak hanya memfokuskan keuntungan dan pertumbuhan perusahaan melainkan juga pada aspek yang penting lainnya seperti keamanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan
Standarisasi Nasional. 2006. Standar http://www.bsn.go.id [3 Februari 2009].
Mutu
Tuna
Loin
Beku.
Ben-Gigirey B, Sousa JM, Villa T, Velazquez JB. 1999. Histamine and cadaverine production by bacteria isolated forom fresh and frozen albacore. Journal of Food Protection 62(8):933-939. Block BA, Stevens DE. ed. 2001. Tuna, Physiology, Ecology, and Evolution. United States of America: Academic Press. Bremner HA. 2000. Safety and Quality Issuses in Fish Processing. New York: CRC Press. Breyfogle FW. 2003. Implementing Six Sigma. New York: John Wiley & Sons. [CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food and Agriculture Organization/World Health Organization. Rome, Italy. Cho B, Hooker NH. 2009. Commparing food safety standards. Food Control 20: 40-47. Collette BB, Nauen CE. 1983. FAO Species Catalogue. Vol 2 Scombrids of The World. Rome:FAO Dalgaard P, Emborg J, A Kjolby, ND Sorensen, NZ Ballin. 2008. Histamine and biogenic amines : formation and importance. in seafood dalam T Borresen (edited), Improving Seafood Products for the Customer. North America : Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC. [Ditjen PPHP] Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan. 2007. Peraturan No. PER.011/DJ-P2HP/2007 tentang Pedoman Teknis Penerapan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. De Leiva J, Majkowski J. 2004. Tuna Resources. Italy: Food Agricultural Organization. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. http://www.dkp.go.id [5 Februari 2009].
2008a.
Ekspor
Tuna.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008b. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2007. Jakarta: DKP. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008c. Potensi dan Pemberdayaan Ikan Tuna. http://www.dkp.go.id [20 Februari 2009].
80
Domenech E, Escriche I, Martorell S. 2008. Assesing the effectiveness of critical control points to guarantee food safety. Food Control 19: 557-565. El-Haik B, Al-Omar R. 2006. Simulation Based Lean Six Sigma and Design For Six Sigma. New Jersey: John Wiley and Sons. Emborg J, Dalgaard P. 2008. Modelling the effect of temperature, corbon dioxide, water activity and pH on growth and histamine formation by Morganella psychrotolerant. Food Microbiology (128): 226-233. Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Canada: Academic Press Inc. [FDA] Food and Drug Administration. 2009. FDA Import Refusal. www.fda.gov [26 Mei 2009]. Gaspersz V. 2001. Metode Analisis untuk Peningkatan Kualitas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gaspersz V. 2006. Lean Six Sigma. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. George ML. 2002. Lean Six Sigma. New York: Mc GrawHill. Gram L, Dalgaard P. 2002. Fish spoilage bacteria – problems and solutions. Enviromental Biotechnology 13: 262-266. Hayes GD, Scallan AJ, Wong JHF. 1997. Applying statistical process control to monitor and evaluate HACCP hygiene data. Food Control 8(4):173-176. Herath D, Henson S. 2006. Does Canada need mandatory HACCP, result from food processing sector. Canadian Journal of Food Economics (54):443459. Huss HH, Ababouch L, Gram L. 2004. Assesment and management of seafood safety and quality. Italy: FAO. [ICMSF] International Commission on Microbiological Specifications for Foods. 1998. Applications of the hazard analysis critical control point (HACCP) system to ensure microbiological safety and quality. Oxford : Blackwell Scientific Publications. Isixsigma. 2008. Control chart. http://www.isixsigma.com [1 Februari 2009]. Joglekar AM. 2003. Statistichal Method for Six Sigma. New Jersey: John Wiley and Sons. Jugulum R, Samuel P. 2008. Design For Six Sigma. New Jersey: John Wiley and Sons.
81
Kanki M, Yoda T, Tsukamoto T. 2002. Klebsiella pneumoniae Produces No Histamine: Raoultella planticola and Raoultella ornithinolytica Strains Are Histamine Producers. Enviromental Microbiology 68:. 3462–3466. Kerr M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect of Storage Condition on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Werribee: Public Health Division of Victoria Government. Kim SH, Gigirey BB, Velasquez JB, Price RJ. 2000. Histamine and biogenic amine production by Morganella morganii isolated from temperature abused albacore. Journal of Food Protection 63 (2): 244-251. Kim SH, Price RJ, Morrisey MT, Field KG, Wei CI, An I. 2002. Histamine storage temperatures. production by Morganella morganii in mackerel, albacore, mahi-mahi, and salmon at various Journal of Food Science 67 (4): 1522-1529. Kimata M. 1961. The Histamine Problem dalam Fish as Food Vol 1. New York: Acad Press. Lakmisha IP, Ravishankar CN, Ninan G, Mohan CO, Gopal TKS. 2008. Effect of freezing time on the quality of indianmackerel (Rastrelliger kanagurta) during frozen storage. Journal of Food Science 73(7): 345-353. Larson A. 2003. Demistifying Six Sigma. New York: Amacom. Lee SS, Dugger JC, Chen JC. 1999. Kaizen: an essential tools for inclusion for industrial technology curricula. Journal of Industrial Technology 16(1): 1-7. Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. International Journal of Food Microbiology 58: 1-37. Mazzocco MA. 1996. HACCP as business management tool. American Journal of Agriculture Economy 78: 770-774. Montgomery DC. 1996. Introduction to Statistical Quality Control. Washington : Department of Mechanical Engineering University of Washington. [NFPA] National Food Processing Association. 1992. HACCP and Total Quality Management, a winning concepts in the 90’s. Journal Food Protection 55: 459-462. Oriss GD, Whitehead AJ. 2000. HACCP as a Part of an Overall Quality Assurance System in International Food Trade. Food Control 11: 345-351. Paiva T, Tominaga M, Paiva AC. 1970. Ionization of histamine, Nacetylhistamine, and their iodinated derivatives. J. Med. Chem (13), 689– 692.
82
Panisello PJ, Quantick PC, Knowles MJ. 1999. Towards the implementation of HACCP, result of UK regional survey. Food Control (10): 87-98. Panisello PJ, Quantick PC. 2000. Technical Barriers to Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Food Control 12:165-173. Pierson MD, Corlett JDA. 1992. HACCP : Principles and Applications. New York : Van Nostrand Reinhold. Rath A, Strong J. 2005. Rath and Strong’s Six Sigma Advanced Tools Pocket Guide. New York: McGraw Hil. Ropkins K, Beck AJ. 2000. Evaluation of worldwide approaches to the use of HACCP to control food safety. Food Science and Tech 11: 10-21. Rossi S, Lee C, Ellis PC, Pivarnik LF. 2002. Biogenic amine formation in bigeye tuna steak and skipjack tuna. Journal of Food Chemistry and Toxicology (67): 2056-2060. Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I & II. Jakarta: Bina Cipta. Scipioni A, Saccarola G, Angela C, Francesca A. 2002. FMEA methodology design, implementation and integration with HACCP system in a food company. Food Control 13: 495-501 Sumner J, Ross T, Ababouch L. 2004. Application of Risk Assessment in the Fish Industry. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nation. Tao ZH, Sato M, Yamaguchi T, Nakano T. 2009. Formation and diffusion of histamine in the muscle of tuna fish. Journal of Food Control 20: 923-926. Tang LC, Goh TN, Yam HS, Yoap T. 2006. Six Sigma Advance Tools for Black Belts and Master Black Belts .New Jersey: John Wiley and Sons. Taylor SL, Speckhard MW. 1983. Isolation of histamine-producing bacteria from frozen tuna. Mar. Fish. Rev. 45 : 35–40. Taylor SL, Guthertz L, Leatherwood M, Lieber ER. 1979. Histamine Production by Klebsiella pneumoniae and an Incident of Scombroid Fish Poisoning. Enviromental Microbiology 37: 274-278. Taylor EA, Taylor JZ. 2004. Using qualitative psychology to investigate HACCP implementation barriers. International Journal of Environmental Health Research 14(1): 53 – 63. Undeland I. 2001. Lipid oxidation in fatty fish during processing and storage, dalam Bremner A, Safety and Quality Issues in fish Procesing, New York: CRC Press.
83
Varzakas TH, Arvanitoyannis IS. 2007. Application of Failure Mode and Effect Analysis (FMEA), cause and effect analysis, and pareto diagram in Conjuntion with HACCP in Manufacturing Plant. Food Science and Nutrition 47: 363-387 Vela AR, Fernandez JM. 2003. Barriers for the developing and implementation of HACCP plans: results from a Spanish regional survey. Food Control 14: 333–337. Violaris Y, Bridges O, Bridges J. 2008. Small business big risk: current status and future directions of HACCP in Cyprus. Journal of Food Control (19): 439448. Yoshinaga AH, Frank DH. 1982. Histamin producing bacteria in Katswonus pelamis. Enviromental Microbiology (57): 447-452. Yamanaka H, Shiomi K, Kikuchi T, Okozumi M. 1982. A pungent compound produce in the meat of frozen yellowfin tuna and marlin. Japanese society of Scientific fisheries 48(5): 685-689.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Deskripsi produk Nama Produk Nama species Asal bahan baku Bagaimana bahan baku diterima
Produk akhir Media Tahapan pengolahan
Jenis kemasan Penyimpanan Daya awet Label/spesifikasi
Penggunaan produk Pembeli Pesyaratan yang berlaku Sumber: Bagian Produksi PT Z (2009)
Ikan beku (Tuna) Thunnus sp Lautan Hindia ditangkap dengan Long Line • Bahan baku dibeli dari supplier di tempat pendaratan ikan • Bahan baku diangkut dari tempat pendaratan dengan thermoking • Bahan baku diterima dalam kondisi beku dan suhu dipertahankan < -18 0 C dan dicek dengan thermometer digital Loin Tidak ada Receiving, weighing I, freezing I, Storaging I, loining by machine, trimming and skinning, panning, freezing II, grading, glazing, wrapping, weighing II, packing and labeling, storaging II, stuffing - plastic wrap - master carton: 20 kg Penyimpanan di cold storage pada suhu -25 0C 2 tahun disimpan dalam suhu -25 0C Spesifikasi produk, Nama produk, nama perusahaan, berat bersih, size, asal produk, tanggal produksi, tanggal kadaluarsa, jumlah loin per master karton Siap untuk dimasak United State of America, Jepang, Iran, Israel, Italy, etc. Sesuai dengan standar nasional, internasional dan konsumen
85
Lampiran 2. Standard Sanitation Operation Procedure Bahan 1.
2.
Air dan es
Sanitasi peralatan
Referensi Codex CAC/RCP/Rev 4/2003 ISO 22000 EU Regulation 852/2004 ART 4 and 5 EU Guidence on implementation procedure based on HACCP Nv 2005/CH 5 INDONESIA KEP 21/ Men/2004 PMK RI 416/MENKES/PER/IX/1990
Prosedur • Sumber air yang berasal dari PDAM dan sumur bor yang telah melalui treatment digunakan untuk produk dan proses • Es dibuat dengan air bersih yang sudah di treatment dan dibuat di pabrik sendiri • Dilaksanakan cek secara berkala untuk memastikan mutu air sesuai dengan standar sebanyak 3 kali (setiap 3 bulan sekali) di Laboratorium eksternal dan di laboratorium internal setiap dua minggu
Codex CAC/RCP/Rev 4/2003 ISO 22000 EU Regulation 852/2004 ART 4 and 5 EU Guidence on implementation procedure based on HACCP Nv 2005/CH 5
• Peralatan yang kontak langsung dengan produk dicuci air bersih dan air panas • Peralatan yang tidak kontak dengan produk dicuci dengan air dan disemprot alkohol sebelum proses • Sanitasi dicek dan dicatat setiap hari oleh QC
INDONESIA KEP 21/ Men/2004 PMK RI 416/MENKES/PER/IX/1990 3.
Sanitasi untuk lantai dan tembok
Codex CAC/RCP/Rev 4/2003 ISO 22000 EU Regulation 852/2004 ART 4 and 5 EU Guidence on implementation procedure based on HACCP Nv 2005/CH 5
• Lantai dan dinding dibersihkan menggunakan air, klorin 200 ppm, disinfektan, air bertekanan tinggi dan disikat sebelum proses, selama proses, saat istirahat makan siang dan setelah akhir proses • Dicek dan direkam oleh QC
4.
Sabun cuci tangan dan kaki
Codex CAC/RCP/Rev 4/2003 EU Guidence on implementation procedure based on HACCP Nv 2005/CH 5
• Hand dips dengan konsentrasi klorin sebesar 10 ppm, sabun cair dan mesin pengering tangan diletakkan di depan ruang proses.
85
86
5.
Kesehatan dan kebersihan pekerja
Codex CAC/RCP/Rev 4/2003 ISO 22000 EU Regulation 852/2004 ART 4 and 5 EU Guidence on implementation procedure based on HACCP Nv 2005/CH 5
6.
Kamar kecil
Codex CAC/RCP/Rev 4/2003
• Konsentrasi klorin untuk foot dips sebesar 200 ppm • Dicatat dan direkam oleh QC • Pegawai baru harus dalam kondisi baik ditunjukkan dengan surat dokter • Segala penyakit harus dilaporkan dan pegawai yang sakit tidak boleh menangani produk • Pegawai tidak boleh mengobrol, meludah, merokok, makan dan minum di ruang proses. • Setiap pegawai harus bertanggung jawab menjaga area kerja dari kotoran dimana serangga dan bakteri bisa hidup. • Setiap pegawai harus memakai pakaian pelindung, sarung tangan, topi, apron, masker, sepatu dan diganti secara teratur. • Pegawai dilarang memakai perhiasan, jam tangan dan peniti. • Tangan, sarung tangan, pakaian luar karyawan serta peralatan yang langsung kontak dengan produk tidak boleh bersentuhan langsung dengan produk sebelum dicuci dengan baik • QC memeriksa perlengkapan dan kebersihan karyawan sebelum masuk ke ruang pengolahan • Menjaga toilet agar tetap bersih dan kondisi yang baik • Toilet terletak di belakang jauh dari ruang proses. • Tersedia fasilitas sanitasi
86
87
Lampiran 3. Good Manufacturing Practices (GMP) Tahap Receiving
Prosedur − Cek organoleptik − Cek histamin, logam berat dan mikrobiologi − Cek temperatur (Suhu ikan tuna <-18 0C ) − Penanganan ikan dilakukan secara aman, bersih cepat, dingin untuk mencegah kenaikn suhu dan kontaminasi bakteri pada ikan
Monitoring − Supervisor checker dan QC supervisor bertanggung jawab terhadap hal ini (faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk) − Secara periodik QC Lab menguji contoh ikan (histamine dan mikrobiologi) di laboratorium internal − Uji logam berat dilakukan di laboratorium eksternal setiap ekspor
Tindakan koreksi − Jika ikan mutunya kurang bagus dikembalikan ke penjual − Histamin >30 ppm direject − TPC > 250.000 direject − Jika suhu >-18 0C ikan segera dibekukan
Rekaman Form 01 Form 04 Form 08
Weighing 1
−
−
− Jika timbangan tidak sesuai dengan kalibrasi, timbangan diperbaiki atau ganti timbangan baru. − Jika pekerja dan peralatan kotor segera dibersihkan − Jika timbangan tidak sesuai maka ditimbang ulang Perbaiki dan bersihkan mesin pembekuan
Form 03 Form 07
− − Freezing 1
Penimbangan dilakukan secara aman, bersih, cepat dan dingin Pekerja dan peralatan dalam keadaan hygiene Pekerja terlatih
Ikan segera dimasukkan ke ABF (waktu pembekuan 8-10 jam temperature -35 0C)
− −
Timbangan dikalibrasi sebelum dipakai dan dicek setiap 15 kali menimbang oleh QC. QC bertanggung jawab terhadap pekerja dan peralatan Diadakan pelatihan internal
Pengawas ABF bertanggung jawab terhadap hal tersebut
Form 05
87
88
Cold Storage 1
Loining by machine
Seluruh bahan baku disimpan di cold storage -20 0C
Pengawas cold storage bertanggungjawab terhadap hal ini
Perbaiki jika rusak, bersihkan saluran udara pembekuan
Penyimpan yang baik dengan sistem pallet bersusun dan sistem FIFO
Pengawas mekanik bertanggungjawab terhadap normalnya temperatur
Turunkan suhu bila naik
Mengatur cold storage dilakukan oleh personal yang terlatih Ikan beku dibelah menggunakan mesin potong yang sudah disanitasi, pisau tajam dan bersih digunakan untuk ikan segar
Bersihkan cold storage sebelum dipakai
QC proses harus bertanggung jawab terhadap proses tersebut
Trimming and skinning
Suhu ruangan dijaga 10 0C
Semua pekerja harus diberi informasi terhadap proses tersebut
Form 03
Tim proses dilatih untuk menghindari kesalahan
Ikan dipotong menjadi 4 bagian sesuai ukuran Proses loin dilakukan secepatnya Trimming ikan menggunakan pisau yang sudah disanitasi untuk menghilangkan tulang, daging hitam dan perut.
Form 06
Jika ada loin yang kurang bagus segera dipisahkan QC supervisor harus bertanggung jawab terhadap aktivitas ini. QC Supervisor harus bertanggungjawab terhadap mutu ikan
Semua pekerja harus diberi informasi terhadap proses tersebut
Form 03 Form 04
Tim proses dilatih untuk menghindari kesalahan Re-trimming
Freezing II
Loin disusun memakai pan Pembekuan selama 8 – 9jam pada temperature -35 0C
Pengawas ABF bertanggung jawab terhadap hal ini
Perbaiki jika rusak dan bersihkan saluran udara pembekuan
Form 05
Pengawas mekanik bertanggung jawab
88
89
Grading
Pengawas mutu memeriksa mutu ikan, dengan cara memisahkan ikan yang memenuhi standard dan tidak. Ikan diletakkan di atas meja yang bersih kemudian diuji orlep dan histamin
terhadap normalnya suhu
Bersihkan ABF sebelum dipakai
Pengawas mutu harus bertanggung jawab terhdap proses ini
Jika ada produk yang kurang baik, pisahkan segera
Pengawas mutu laboratorium mengikuti akitivitas pemisahan tersebut
Jika kurang jelas, lapor ke kepala produksi.
Form 02 Form 03
Gunakan alat kerja yang bersih
Produk harus dicek bau, tulang, daging hitam, kulit dan warna daging. Glazing
Wrapping
Untuk mencegah dehidrasi loin harus di glazing dengan air murni bersih yang dingin suhu 0 0 C – (-5 0C) Glazing sesegera mungkin Dikemas sesegera mungkin
Pengawas mutu harus bertanggungjawab terhadap hal ini
Jika kurang dingin, tambahkan es dan gunakan air bersih
Pengawas mutu laboratorium harus mengikuti aktivitas tersebut
Tempat pekerja yang cukup sehat
QC proses harus bertanggung jawab terhadap proses tersebut
Ganti dengan plastik yang bersih
Form 03
Frm 03
Loin dikemas dengan polybag Metal detecting
Sebelum disimpan di cold storage semua produk harus melalui proses metal detector Jika teridentifikasi logam di produk tersebut, kardus dibongkar dicek ulang oleh QC
Pengawas packing harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut
Pekerja harus detraining sebelumnya Sebelum digunakan dan setelah pemakaian 15 kali Md harus dikalibrasi ulang
Form 02
Jika ada masalah recek kembali produk tersebut
89
90
Weighing 2
Packing and labelling
Cold Storage
Stuffing
atau tidak dapat pengesahan untuk diekspor Gunakan stempel Md untuk setiap karton Penimbangan dilakukan oleh personel terlatih
Pengawas mutu harus bertanggung jawab terhadap hal tersebut
Timbangan dikalibrasi jika tidak layak
Alat timbang dicek dan dikalibrasi
Cek timbangan sebelum dipakai dan setiap 15 kali timbangan.
Hasil timbangan tidak sesuai, timbang ulang
Produk timbang sesuai dengan spesifikasi buyer Karton yang dipakai untuk loin diberi label (cantumkan seluruh keterangan di label tersebut) dan gunakan stempel QC
Pengawas mutu harus bertanggungjawab terhadap hal ini
Ganti dengan alat-alat packing yang bersih dan sesuai prosedur
Pengawas proses harus bertanggungjawab terhadap hal ini
Seluruh master karton disimpan di cold storage -25 0C
Pengawas cold storage bertanggungjawab terhadap hal ini
Pekerja harus ditraining sebelumnya Perbaiki jika rusak, bersihkan saluran udara pembekuan
Penyimpan yang baik dengan sistem pallet bersusun dan sistem FIFO
Pengawas mekanik bertanggungjawab terhadap normalnya temperatur
Bersihkan cold storage sebelum dipakai
Pengawas cold storage harus bertanggung jawab
Repak karton jika rusak Dicek kelayakan forklift Pekerja harus detraining sebelumnya Stuffing cepat dan higienis
Mengatur cold storage dilakukan oleh personal yang terlatih Cek suhu container sebelum produk dimasukkan suhu container -25 0C Harus ada staff yang sudah terlatih untuk stuffing
Pengawas mutu harus bertanggungjawab terhadap hal ini
Weighing book Form 03 Form 07
Form 03 Form 04
Form 06
Form 03 Form 10
90
91
Lampiran 4. Daftar penilaian / check list Unit Pengolahan Ikan (UPI) DAFTAR PENILAIAN/CHECK LIST UNIT PENGOLAHAN IKAN (UPI)
No.
Aspek Yang Dinilai
1 1.1
Lay-out Desain Arsitektur Area UPI memadai untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi saniter dan higienis.
1.2
Area UPI terdapat di daerah industri yang telah disetujui Area bersih terpisah dari area kotor Lay out dapat mencegah kontaminasi Lokasi dan Lingkungan Kondisi lingkungan bersih dan selalu dijaga kebersihannya
1.3 1.4 2 2.1
2.2
3 3.1
3.2 3.3 3.4
3.5
Sistem pembuangan air/saluran bersih dan tidak memungkinkan arus balik ke dalam ruang pengolahan Kondisi tanah memungkinkan terjadinya kontaminasi ke dalam fasilitas Ruang Penerimaan Ruang penerimaan bersih dan mudah diperbaiki
Lantai, dinding, langit-langit terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan Tersedia cukup air bersih yang sesuai dengan ketentuan Saluran pembuangan tepat dan bersih
Ruang penerimaan tertutup dari lingkungan luar
Dasar Huku m
O K
Mn
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 2 Idem
√
Idem
√
Idem
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 9 Idem
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Idem SK Menkes 907/02 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 9 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 1.b
My
Sr
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Kr
[ ]
[ ]
[ ]
[√ ]
√
Ruang penerimaan tidak bersih
[ ]
√ √
Keterangan
[ ] [ ]
[ ]
[√ ]
Ruang penerimaan tidak tertutup dari lingkungan luar
92
4 4.1 4.1.1
Ruang Penanganan dan Pengolahan Lantai Lantai terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didisinfeksi
4.1.2
Terbuat dari bahan yang kedap air, tidak beracun, tidak menyerap, tidak licin, tidak retak
4.1.3
Kemiringan lantai ketentuan dan menyebabkan tergenang
4.2 4.2.1
Dinding Permukaan bagian kedap air dan menyerap
4.2.2
Permukaan dinding halus, tanpa retak, celah atau lubang serta mudah dibersihkan dan didisinfeksi Permukaan tahan lama dan kedap air Bebas dari penonjolan dan seluruh pipa dan kabel ditutup dengan baik Pertemuan antara dinding dan lantai serta dinding dan dinding mudah dibersihkan Langit-langit / Ceilings Bebas dari retak dan celah
4.2.3 4.2.4 4.2.5
4.3 4.3.1
4.3.2
4.3.3
4.4 4.4.1
sesuai tidak lantai
dalam tidak
Permukaannya halus, mudah dicuci dan berwarna terang untuk menjamin kebersihannya Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan Pintu / Doors Terbuat dari bahan yang tahan lama dan tahan korosi serta menutup secara otomatis
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Idem
√
√
Idem
√
[ ]
Idem
√
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
Idem
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B,
√
√
[ ]
[ ]
[ ]
[√ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
Lantai di ruang anteroom banyak yang retak.
93
4.4.2
4.4.3 4.5 4.5.1
4.5.2 4.5.3
4.6 4.6.1 4.6.2
4.7 4.7.1
4.7.2 4.7.3
4.7.4 4.7.5 4.7.6
5 5.1
Mudah dibersihkan dan dalam kondisi baik serta dilengkapi dengan alat pencegah lalat Lampu menggunakan pelindung dan aman Ventilasi / Ventilation Vemtilasi mencukupi
Memungkinkan untuk menyaring uap air Kondensasi • Tidak terjadi kondensasi di ruangan yang mempengaruhi produk atau material pengemasan • Kondensasi lainnya Penerangan Penerangan ruang pengolahan dan ruang inspeksi memadai Lampu menggunakan pelindung dan aman Fasilitas Pencucian Tangan dan Desinfeksi Semua pintu masuk ke area pengolahan dilengkapi dengan bak cuci kaki dengan ukuran yang sesuai Bak cuci kaki menggunakan air bersih dan desinfektan Semua pintu masuk ke ruang pengolahan dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan dan desinfeksi yang cukup Kran air tidak dioperasikan dengan tangan Menggunakan sabun dan desinfektan yang disetujui Fasilitas cuci tangan dilengkapi dengan pengering sekali pakai Perlengkapan dan Peralatan Terbuat dari bahan tahan karat, kedap air dengan
12 Idem
√
[ ]
[ ]
√ KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Idem
√
[ ]
[ ] [ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[√ ]
√
Kondensasi di ruang anteroom.
[ ]
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 12 Idem
√
[ ]
√
[ ]
Idem
√
[ ]
Idem √
[ ]
Idem
√
[ ]
KEP.01 /MEN/
[ ]
[√]
Idem
[√ ]
[ ]
Kran air dioperasikan dengan tangan
[ ]
Pan dan pallet tidak tahan karat
94
permukaan yang halus 5.2 5.3 5.4
Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan dan didesinfeksi Selalu terjaga dalam kondisi yang bersih Binatang pengganggu secara sistematis dicegah agar tidak bisa masuk
5.5
Fasilitas dan peralatan dibersihkan minimal satu kali dalam satu hari
5.6
Mempunyai tempat pencucian alat yang terpisah
5.7
Tempat pencucian mempunyai pintu masuk dan keluar yang terpisah Mempunyai saluran pembuangan air yang baik
5.8
5.9
6 6.1
6.1.1 6.1.2
6.2 6.2.1 6.2.2 6.3
Peralatan diberi tanda untuk setiap area kerja yang berbeda
Ruang Pendinginan, dan Gudang Beku *) Lantai
2007, BAB V, B, 6 Idem
√
Idem
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 11 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 8 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 1.b Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 9 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 7
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
[√]
Peralatan tidak diberi tanda
Es
Lantai kedap air dan terbuat dari bahan yang mudah dicuci dan didisinfeksi Kemiringan lantai sesuai tidak menyebabkan lantai tergenang Dinding Permukaannya halus, mudah dibersihkan dan didisinfeksi Permukaannya tahan lama dan kedap Langit-langit
KEP.0 1/MEN /2007, BAB V, B, 3 Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
95
6.3.1 6.3.2
6.3.3
7 7.1
Bebas dari retak dan celah Permukaannya halus dan dapat dicuci dan berwarna terang untuk menjamin kebersihannya Dirancang untuk mencegah akumulasi kotoran, mengurangi kondensasi dan pertumbuhan jamur dan pengelupasan Tempat Untuk Ikan Segar *) Ikan terlindungi dari kontaminasi
7.2
Mampu mempertahankan ikan dalam kondisi yang hygiene
7.3
Air dapat mudah mengalir ke luar
8 8.1
Fasilitas Pendinginan *) Kapasitas pendinginan memadai untuk menjamin suhu produk pada suhu es meleleh (melting ice)
8.2
Bahan baku disimpan secara benar dan diberi es
8.3
Wadah dan peralatan mudah dicuci Dilengkapi dengan alat pencatat suhu (untuk unit refrigerasi)
8.4
9 9.1
Fasilitas Pembekuan *) Kapasitas alat pembeku dan gudang beku memadai
Idem Idem
√ √
[ ] [ ]
Idem
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 1.d KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 1.a KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 1.d
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 2.a.1 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, D, 3 Idem
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 2.d
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 2.a
√
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
96
9.2 9.3
Mampu menyimpan ikan dengan suhu ikan pada minimal -18oC Dilengkapi dengan alat pencatat suhu yang mudah dibaca
9.4
Penyimpanan produk menggunakan pallet untuk mencegah kontaminasi
9.5
Penyimpanan produk dengan metoda FIFO
9.6
Sensor suhu pada alat pencatat suhu tidak diletakkan di lokasi/area yang mempunyai suhu paling tinggi
9.7
Dilengkapi tirai udara pada pintu masuk anteroom dan gudang beku
9.8
Mempunyai fasilitas anteroom Fasilitas Untuk Ikan Hidup *) Sediakan agar tingkat ketahanan hidupnya baik Tersedia air dengan kualitas yang sesuai dengan jumlah yang cukup Fasilitas Pengalengan *) Menggunakan alat retort yang diizinkan dan telah dikalibrasi
10 10.1 10.2
11 11.1
11.2 12 12.1
Tersedia bukti proses pemanasan Fasilitas Pengasapan *) Ruang pengasapan terpisah
Idem
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 2.d KEP.01 /MEN/ 2007, BAB VIII, 2.7.d Idem
√
√
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[√ ] Penggunaan metode FIFO belum benar, masih banyak produk yang tersimpan terlalu lama
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 2.d KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Idem
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 5.a, 2 Idem KEP.01 /MEN/ 2007, BAB
[ ]
[ ]
97
12.2 13 13.1
Ventilasi cukup Fasilitas Penggaraman *) Tempat penggaraman terpisah dengan ruang proses lainnya
13.2
Sisa garam tidak mengganggu drainase
14
Pengawasan Binatang Pengerat (Pest Control) Tersedia dengan jumlah yang cukup fasilitas pencegah binatang pengerat
14.1
14.2
Tersedia prosedur dan frekuensi pest control serta bahan kimia yang disetujui
14.3
Tersedia peta penempatan perangkap dan umpan (verifikasi harus dilakukan)
14.4
Tersedia prosedur pembuangan binatang pengganggu yang mati Tersedia prosedur program pembersihan setelah fumigasi Pemberian nomor dan penempatan penangkapan lalat Pembasmi tikus, pembasmi serangga, disinfektan dan racun lainnya tersimpan dalam lemari yang dapat dikunci
14.5 14.6 14.7
14.8
14.9
Tidak terdapat barang/benda/tempat yang menarik kehadiran hewan pengerat/serangga Upaya pengawasan pencegahan dan
V, C, 5.c, 6.a Idem
[ ]
[ ] [ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 5.c, 7.a KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 5.c, 7.b
[ ]
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 11 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 10 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 11 Idem
√
[ ]
Idem
√
[ ]
Idem
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 10
√
√
√
√
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
[ ]
[ ]
98
15 15.1
15.2 15.3 15.4
16 16.1 16.2 16.3
17 17.1
17.2 17.3
17.4
17.5
17.6
pembasmian Pasokan Air (Potable Water) Tersedia air dengan kualitas air minum Pasokan dan tekanan air cukup Penandaan yang jelas antar pipa-pipa air minum dan bukan air minum Mempunyai peta distribusi air dengan outlet dan kran yang diberi nomor seri Pembuatan dan Penggunaan Es *) Es dibuat dari air bermutu air minum
Permen kes 9072001
Dinding dan lantai ruang ganti halus, kedap air dan mudah dibersihkan Tersedia tempat cuci tangan dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Tersedia toilet dengan jumlah yang cukup dan dilengkapi dengan sabun dan desinfektan dan pengering sekali pakai Pintu toilet tidak berhubungan langsung dengan ruang penanganan dan pengolahan ikan Toilet dilengkapi dengan sistem menyiram air (water flushing system) dan masih berfungsi
[ ]
√
[ ] [ ]
√
SNI 014872
Es disimpan dalam tempat/wadah yang didisain khusus untuk simpan es Tempat penyimpanan es bersih dan dipelihara baik Ruang Ganti, Kamar Mandi dan Toilet Tersedia ruang ganti dengan jumlah yang cukup
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 5.b.3 Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
Idem
√
Idem
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C, 5.b.1, b KEP.01 /MEN/ 2007, BAB
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
99
17.7 17.8
Kran pada tempat cuci tangan tidak dioperasikan dengan tangan Tersedia sarana bak cuci tangan dan penyuci hama
17.9
Tersedia loker menyimpan karyawan
17.10
Barang karyawan tidak disimpan di area tempat penanganan pangan Kebersihan Karyawan Semua karyawan mengenakan pakaian yang sesuai dan bersih (jumlah pakaian seragam per karyawan dan frekuensi ganti pakaian di cek) Karyawan mencuci dan mensucihamakan tangan sebelum mulai bekerja atau setiap waktu yang ditentukan
18 18.1
18.2
untuk barang
18.3
Setiap karyawan mendapat pengecekan kesehatan dan dilakukan secara berkala (cek record dan verifikasi)
18.4
Terdapat tanda-tanda yang jelas untuk pelarangan merokok, makan, meludah dan lainnya di ruang pengolahan dan tempat penyimpanan Pakaian kerja karyawan dicuci oleh UPI
18.5
18.6
Ada karyawan yang dapat mengkontaminasi produk ketika menangani ikan
18.7
Karyawan
menggunakan
V, C, 5.b.3 Idem KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 12 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 3 Idem
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 15 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 13 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 14 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 13 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 15 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 13 KEP.01
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
[ √ ]
√
Tidak dilakukan pengecekan frekuensi ganti pakaian. [ ]
√
[ ]
√
[ ]
[√ ]
[ ]
√
√
Pakaian kerja dicuci sendiri oleh karyawan
[ ]
[ ]
100
tutup kepala yang dapat menutupi rambut secara keseluruhan 18.8
Luka ditutup dengan perban yang tahan air
18.9
Tersedia sarana pertolongan pertama
19 19.1
Penanganan Limbah Area pembuangan limbah terpisah
19.2
Tempat limbah tahan karat dan dilengkapi dengan tutup Tempat limbah dibersihkan dengan benar Limbah dipindahkan minimal sekali dalam sehari Wadah dan tempat penyimpanan limbah segera dibersihkan setelah digunakan Tempat penyimpanan limbah dapat mengkontaminasi Pengemasan dan Pelabelan Pengemasan dilakukan pada kondisi higienis untuk menghindarkan kontaminasi
19.3 19.4 19.5
19.6
20 20.1
20.2
Bahan pengemas yang kontak dengan produk tidak boleh memperburuk karakteristik secara organoleptik produk
20.3
Bahan pengemas yang kontak dengan produk tidak menularkan bahan berbahaya
20.4
Bahan pengemas yang tidak digunakan disimpan di tempat yang jauh dari area
/MEN/ 2007, BAB V, B, 15 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 13 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 14
√
√
[ ]
[ ]
[ ]
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, B, 9 Idem
√
Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, D.1 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, D.2.a KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, D.2.b KEP.01 /MEN/ 2007,
√
[ ]
[ ]
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
101
20.5
20.6
21 21.1 21.1. 1
21.1. 2 21.1. 3
21.1. 4 21.1. 5 21.2 21.2. 1 21.2. 2
21.2. 2 21.2.. 3
pengolahan dan terlindung dari debu dan kontaminasi Kemasan ikan dan produk serta dokumen-dokumen yang menunjukkan nomor persetujuan (approval number) yang diberikan oleh competent authorithy diikuti oleh ringkasan atau deskripsi produk, jenis produk, tahun, bulan dan tanggal produksi Kemasan menunjukkan dalam kalimat jelas “Produk dari Indonesia”
Proses Penanganan dan Pengolahan (GMP) Tempat / Wadah Ikan terlindungi dari kontaminasi
Mampu mempertahankan ikan dalam kondisi yang hygiene Air dapat mudah mengalir keluar
Tempat / wadah berisi produk tidak boleh ditumpuk sebelum dan sesudah pencucian Setelah pencucian wadah berisi produk dititiriskan 5 menit sebelum digunakan Produk Segar / Bahan Baku Temperatur air ≤ 3oC (melting ice) Peralatan yang digunakan dalam keadaan bersih
Waktu pencucian tidak lebih dari 3 menit Produk yang tidak segera diproses, diberi es atau dimasukkan ke dalam pendingin
BAB V, D.4 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, D.5
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, D.5.a
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.14 Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.1.d Idem
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
√ KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.1.d KEP.01 /MEN/ 2007, BAB
[ ]
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
102
21.2. 4 21.2. 5 21.2. 6
Dilakukan peng-es-an kembali pada produk yang sudah di-es secara teratur Produk yang sudah di-es dikemas atau dimasukkan ke pendingin Pembuangan isi perut dan kepala dilakukan dengan higienis
21.2. 7
Setelah pembuangan isi perut dan kepala segera dilakukan pencucian dengan air yang dipersyaratkan
21.2. 8
Pembuatan filet dan pemotongan dilakukan di tempat berbeda dengan pembuangan isi perut dan kepala
21.2. 9
Proses pemfiletan dan pemotongan dapat mecegah kontaminasi pada filet Tidak ada penundaan dalam proses pembuatan filet atau steak Filet dan steak segera dibekukan Jeroan dan bagian lain yang tak dibutuhkan cepat dipisahkan dari produk
21.2. 10 21.2. 11 21.2. 12
21.3 21.3. 1
Penyimpanan Produk Hasil Perikanan Beku *) Suhu tercatat pada alat pencatat
21.3. 2 21.4 21.4. 1
Catatan tersimpan selama produk tersebut ada Pelelehan Produk *) Pelelehan dilakukan dengan higienis
V, C.1.d Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.1.b KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.1.c KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.1.b
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.1.c
√
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.2.d Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.3.a
[ ]
[ ]
103
21.4. 2 21.4. 3 21.4. 4 21.4. 5 21.5 21.5. 1
Terdapat risiko kontaminasi selama pelelehan Air lelehan mengalir dengan baik Suhu dari produk beku sesuai Produk yang dilelehkan untuk tujuan dijual diberi label dengan baik Perlakuan Lainnya *) Pengendalian bakteri dengan perlakuan yang sesuai (untuk udang rebus atau kekerangan)
21.5. 2 21.5. 3 21.5. 4 21.6 21.6. 1
Pencatatan suhu akurat, disimpan dan disahkan Pengendalian parameter bahaya (PH, Aw, …) Pencatatan yang tersedia minimal validitas produk Produk Kaleng *) Parameter retorting divalidasi dan diawasi
21.6. 2
Kaleng dan pouch diawasi keadaannya
21.6. 3
Uji inkubasi 37oC – 35o C
21.6. 4
Verifikasi uji mikrobiologi secara rutin
21.6. 5
Verifikasi terhadap lipatan kaleng
21.6. 6
Keutuhan kaleng atau pouch diawasi
Idem
[ ]
[ ]
Idem
[ ]
[ ]
Idem
[ ]
[ ]
Idem
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.4.c Idem
[ ]
Idem
[ ]
Idem
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.5.a.2 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.5.c KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.5.a.4 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.5.a.5 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.5.b KEP.01 /MEN/ 2007, BAB
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
104
V, C.5.c 21.7 21.7. 1
Penggaraman Ikan *) Mutu garam diawasi dan disimpan dengan baik
21.7. 2
Garam tidak digunakan kembali dan hanya digunakan sekali pakai Wadah penggaraman dicuci dan didisinfeksi sebelum dan sesudah digunakan
21.7. 3
21.8 21.8. 1
Ikan Asap *) Bahan / material pengasapan disimpan dengan baik dan terpisah dari bahan baku
21.8. 2
Tidak menghasilkan asap yang beracun atau berbahaya
21.8. 3 21.8. 4
Tidak menggunakan kayu yang telah dicat / dilem Ikan asap segera didinginkan sebelum dikemas
21.9
Udang dan Kekerangan Rebus *) Perebusan dilanjutkan dengan pendinginan hingga mencapai suhu titik leleh es
21.9. 1
21.9. 2 21.9. 3
Air yang digunakan untuk pendinginan adalah air layak minum atau CSW Proses pengupasan dilakukan secara higienis
21.9.
Gunakan metode pembekuan
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.7.b Idem
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.7.d
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.6.b KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.6.c Idem
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.6.d KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.8.a Idem
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.8.b KEP.01
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
105
4
cepat untuk membekukan produk yang telah direbus
21.9. 5
Perebusan dilakukan dengan baik di ruangan yang bersih
21.9. 6
Hail uji mikrobiologi diverifikasi secara regular
21.10 21.10 .1
Ikan Lumat (Minced Fish) *) Bebas dari benda asing (tulang, duri, kulit, dll)
21.10 .2 21.10 .3
Ikan yang telah disiangi dicuci bersih Setelah difilet, ikan segera diproses lebih lanjut
21.10 .4
Mesin penghancur daging ikan (meatbone separator) dicuci minimal setiap 2 jam
21.10 .5
Daging lumat (minced fish) segera dibekukan atau diproses lebih lanjut
21.11
Hal yang Berhubungan dengan Parasit Ikan diperiksa secara visual untuk mengetahui ada tidaknya parasit
21.11 .1
21.11 .2 21.11
Ikan atau bagian dari ikan yang terinfeksi berat sudah dipisahkan dari rantai distribusi Pengawasan terhadap parasit
/MEN/ 2007, BAB V, C.8.a KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.8 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.8.c
[ ]
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.9.a Idem
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.9.c KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.9.b KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.9.c
[ ]
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.10.a Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
106
.3 21.11 .4
21.11 .5 21.11 .6
21.12 21.12 .1
21.12 .2 21.12 .3 21.13 21.13 .1 21.13 .1.1
harus mengacu kepada peraturan 93/140/EEC Ikan yang akan dikonsumsi mentah dan pengasapan dingin sudah diberikan perlakuan pembekuan (T<-20oC minimal 24 jam) Pelaku usaha pemverifikasi cara pembekuan yang diterapkan Ada pernyataan tentang identifikasi produk beku yang mengandung parasit dari mana parasit tersebut berasal Prosedur dan Monitoring Program GMP menetapkan waktu dan temperatur pada masing-masing tahapan
Waktu dan temperatur pada setiap tahapan dimonitor Waktu dan temperatur mampu menjamin keamanan produk Implementasi HACCP Modifikasi Dokumen HACCP dimutakhirkan dan divalidasi
21.13 .1.2
Modifikasi dikomunikasikan disetujui
telah atau
21.13 .1.3
Modifikasi parameter kritis telah disetujui
21.13 .1.4
Telah ada pelatihan untuk teknisi
21.13 .2 21.13 .2.1
Catatan / Rekaman Catatan telah dimutakhirkan
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.10.b Idem
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
Idem
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, C.10.b Idem
√
[ ]
√
[ ]
Idem
√
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, E.1 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, E.2 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, E.1 KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, E.1
√
[ ]
[ ]
√
[ ]
[ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB
√
√
[ ]
√
[ ]
[ ]
[ ]
107
21.13 .2.2 21.13 .2.3 21.13 .2.4 21.13 .3 21.13 .3.1 21.13 .3.2
Catatan dapat dipercaya
V, E.2 Idem
√
Dokumen tidak dipalsukan
Idem
√
Catatan tersedia
Idem
√
Tindakan pencegahan diikuti
Idem
√
Prosedur monitoring diikuti
21.13 .3.3 21.13 .4 21.13 .4.1
Tindakan perbaikan dilakukan atau diikuti Verifikasi Internal
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, E.2 Idem
21.13 .4.2 21.13 .4.3 TOT AL
Audit internal dilakukan seperti yang direncanakan Kaji ulang dilakukan seperti yang direncanakan
[ ]
[ ]
[ ] [ ]
[ ]
Rencana Manajemen
Verifikasi monitoring GMP, SSOP, CCP dilakukan seperti yang direncanakan
[ ]
[ ] [√ ]
√
Prosedur pemantauan tidak diikuti [ ]
KEP.01 /MEN/ 2007, BAB V, E.2 Idem
√
[ ]
√
[ ]
Idem
√
[ ] 2
7
2
0
*) Bila tersedia D. HASIL PENILAIAN
Rating A (baik sekali) B (baik) C (kurang) D (jelek)
MN (minor) 0–6 ≥7 -
Jumlah Penyimpangan MY (mayor) SR (serius) 0–5 0 6 – 10 ≥ 11 -
1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE) a. Minor …2…. b. Mayor …6…. c. Serius …2…. d. Kritis …0…. 2. TINGKAT (GRADE) NILAI
1–2 3–4 ≥5
KT (kritis) 0 0 0 ≥1
( tiga ) ( enam ) ( dua ) ( satu ) B
108
Keterangan :
1. Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT tidak terdapat criteria serius dan kritis serta minor maks. 0 dan mayor maks. 5. Dengan grade A, UPI dapat melakukan ekspor ke negara yang mempunyai persyaratan tertentu termasuk Uni Eropa. 2. Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius maks. 2. Dengan grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali negara yang mempunyai persyaratan harus grade A. 3. Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian terhadap fisik, SSOP, GMP dan HACCP/PMMT terdapat kriteria serius > 2 tetapi maks. 4 dengan catatan total mayor + serius tidak lebih dari 10. Dengan grade C, UPI dapat melakukan ekspor ke negara mana saja kecuali ke negara yang mempersyaratkan grade A dan B. 4. Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat.
109
Lampiran 5. Lembar analisis bahaya ANALISIS BAHAYA
Kategori Bahaya Tahap Proses
Penyebab Bahaya
Bahaya Potensial FS
Receiving
SSOP/GMP Mengendalikan Bahaya
WH
EF
SSOP
GMP
WH
-
SSOP
GMP
−
Penyimpangan suhu
BIOLOGI : Konmtaminasi bakteri patogen
−
Penyimpangan suhu Penanganan salah
KIMIA: Histamin
FS
WH
-
-
-
Pencemaran logam berat
Logam berat
FS
WH
-
-
-
− −
− Penanganan buruk − Penyimpangan
FISIK : 1. Ikan rusak 2. Dekomposisi
FS
Apakah Bahaya Potensial, Signifikan ? Peluang L/M/H L
Keparahan N/L, M/L, Auto
Yes
N/L
-
M
M/L
YES
L
M/L
YES
Pernyataan Keputusan
Tindakan Pencegahan
No NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
Selama proses, menjaga suhu pusat tuna < -18 0C
-
Tidak dapat dikonrol oleh GMP dan SSOP
Pemeriksaan organoleptik, nilai min. = 7. Uji histamin setiap bahan baku masuk
-
Pengontrolam dengan berat ikan
-
WH
-
-
GMP
L
N/L
-
NO
FS
WH
-
-
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP Dikontrol oleh GMP
Pengujian logam berat setiap ekspor (eksternal) Ikan rusak direjact Selama proses, menjaga suhu pusat tuna < -18 0C
suhu
109
110
− −
Weighing 1
− − −
Freezing 1
−
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
FISIK : 1. Ikan rusak 2. Salah timbang
FS
WH
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
-
WH -
EF
-
GMP GMP
L L
N/L N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
Cek kondisi fisik oleh QC Pelatihan pekerja
Dikontrol oleh GMP
Selama proses, menjaga suhu ABF < 35 0C selalu dalam keadaan saniter dan higienis Memantau suhu mesin ABF dan suhu pusat tuna, mengecek mesin ABF Menjaga suhu pusat tuna < -18 0C dan memantau suhu cold storage <-20 0C Menangani ikan dengan hati-hati Menjaga dan memantau suhu cold
FISIK : 1. Dehidrasi 2. Dekomposisi
FS
WH WH
-
-
GMP GMP
L M
N/L M/L
-
NO
−
Penyimpangan suhu cold storage
KIMIA Histamin
FS
WH
-
-
-
M
M/L
YES
-
Jika suhu cold storage naik turun maka histamin akan naik
−
Penanganan yang buruk Penyimpangan
FS
WH WH
-
-
GMP GMP
L M
N/L M/L
YES
NO -
Dikontrol oleh GMP
−
FISIK: 1. Ikan rusak 2. Dekomposisi
Suhu dijaga < -18 0C selalu dalam keadaan saniter dan higienis
Dikontrol oleh GMP Timbangan dikalibrasi setiap mau digunakan
Pembekuan lambat Suhu pusat tuna > -18oC
−
Raw material storaging
Penyimpangan suhu Kontaminasi peralatan dan pekerja Penanganan buruk Kesalahan pekerja Timbangan yang tidak dikalibrasi
110
111
storage <-20 0C Menjaga fluktuasi suhu serendah mungkin
suhu cold storage
Loining by machine
Trimming and skinning
−
Kontaminasi dari alat dan pekerja
−
Kesalahan pekerja
−
Penyimpangan suhu Kontaminasi dari alat dan pekerja
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
Pembekuan lambat Suhu pusat tuna > -18oC
FISIK : 1. Dekomposisi
−
Freezing 2
− −
Grading
−
Kontaminasi dari pekerja
−
Penanganan yang salah dan penyimpangan suhu selama proses Kesalahan pekerja
−
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen FISIK : Salah potong
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
KIMIA Histamin
FISIK: Salah grading
FS
-
FS
FS
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
-
EF
-
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP
Pengecekan oleh QC Pelatihan pekerja
WH
-
SSOP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
Peralatan dan perlengkapan kerja yang kotor langsung dicuci atau diganti
-
-
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP
Memantau suhu mesin ABF dan suhu pusat tuna, mengecek mesin ABF
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
Menjaga suhu pusat tuna <-18 0C, pekerja dan peralatan harus selalu dalam keadaan bersih
-
GMP
M
M/L
YES
-
Merupakan tahap pengecekan akhir
WH
FS
WH
FS
WH
FS
Menjaga suhu pusat tuna < -18 0C
WH
WH
-
EF
-
GMP
-
M
M/L
-
NO
Salah grading dapat berbahaya
Uji histamin, logam berat dan TPC Diperiksa oleh QA
111
112
Glazing
−
Penyimpangan suhu Air dan es kotor Kontaminasi peralatan dan pekerja Kesalahan pekerja
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
−
Kontaminasi dari pekerja dan alat
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
−
Kontaminasi benda asing
−
Ada benda logam dalam produk
FISIK: − Benda asing (rambut, tulang dan lain-lain) FISIK : − Benda logam
−
Kontaminasi peralatan Penanganan buruk Kesalahan pekerja Timbangan yang tidak dikalibrasi
− − −
Wrapping
Metal Detector
− Weighing 2
− −
FISIK: - Salah glazing
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen FISIK : 1. Ikan rusak 2. Salah timbang
Menjaga suhu pusat tuna <-18 0C dan mengganti air jika sudah keruh
FS
WH
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
-
WH
EF
-
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP
Pelatihan pekerja
FS
WH
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
FS
WH
-
-
GMP
L
N/L
-
NO
Menjaga suhu pusat tuna <-18 0C dan menggunakan plastik yang bersih Pekerja dan alat dalam kondisi saniter dan higiene
-
-
GMP
L
M/L
YES
-
FS
-
FS
WH
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
-
WH -
EF
-
GMP GMP
L L
N/L N/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP Dikontrol oleh GMP
Dikontrol oleh GMP dan SSOP Dikontrol oleh GMP
Pengoperasian metal detector dan re-test sebelum dioperasikan dan kalibrasi tiap 1 jam. Suhu dijaga < -18 0C Cek kondisi fisik oleh QC Timbangan ditera setiap akan digunakan
112
113
Packing and labelling
−
Kontaminasi pekerja dan benda pengemas Kesalahan pekerja
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
Penanganan yang buruk Penyimpangan suhu cold storage
FISIK: 1. Master karton rusak 2. Dekomposisi
FS
−
Penyimpangan suhu cold storage
KIMIA Histamin
FS
−
Penyimpangan suhu container dan suhu saat loading
BIOLOGI : Kontaminasi bakteri patogen
−
Penanganan yang buruk
−
Penyimpangan suhu container dan suhu saat loading
−
− − Storaging 2
Stuffing
FISIK : Salah label
FS
-
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
-
-
EF
-
GMP
L
N/L
-
NO
-
-
GMP GMP
L L
N/L N/L
-
NO NO
Dikontrol oleh GMP
-
-
GMP
L
M/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP
WH -
NO
FS
WH
-
SSOP
GMP
L
N/L
-
NO
FISIK : Master karton rusak
-
WH
-
-
GMP
L
N/L
-
NO
KIMIA Histamin
FS
-
-
-
GMP
L
M/L
-
NO
Dikontrol oleh GMP dan SSOP Dikontrol oleh GMP
Dikontrol oleh GMP dan SSOP
Dikontrol oleh GMP Dikontrol oleh GMP
Menjaga suhu pusat tuna <18 0C Menjaga kondisi saniter dan bahan baku pengemas Menjaga suhu pusat tuna <18 0C Pelatihan pekerja dan cek ulang oleh QA Menjaga suhu pusat tuna < -18 0C dan memantau suhu cold storage <-25 0C Menangani master karton dengan hati-hati Menjaga fluktuasi suhu serendah mungkin
Menjaga suhu pusat tuna < -18 0C Loading dilakukan cepat Menjaga sanitasi dan suhu kontainer <-18 0C Menangani dengan hati-hati Menjaga suhu pusat tuna < -18 0C Loading dilakukan cepat
113
114
Lampiran 6. Lembar identifikasi CCP IDENTIFIKASI CCP
ALUR PROSES
Receiving
Storaging 1
Grading Metal detecting
Pengendalian telah dilakukan oleh PreRequisite Program (SSOP & GMP) ? *)Jika YA : lanjut ke analisis bahaya berikutnya *)Jika TIDAK : lanjut ke Q1
Apakah ada upaya pencegahan pada tahap. tsb. atau tahap. berikutnya terhadap bahaya yang diidentifikasi? *)Jika TIDAK: bukan CCP dan perlu ada modifikasi ttg. Alur, Tahap dan/atau produknya. *)Jika YA: lanjut ke Q2
Apakah tahap ini mengeliminasi/me reduksi kemungkinan terjadinya bahaya pada tingkat yang dapat diterima? *)Jika YA: CCP *)Jika TIDAK : lanjut ke Q3.
Apakah resiko thd. Bahaya dapat terjadi melewati batas yang dpt diterima, atau dpt meningkat sampai pd batas yang tidak dapat diterima? *)Jika TIDAK: Bukan CCP. *)Jika YA: lanjut ke Q4.
Apakah tahap selanjutnya dapat mengeliminasi bahaya yang diidentifikasikan atau mereduksi kemungkinan terjadinya pada batas yang dpt diterima? *) Jika YA: Bukan CCP *) Jika TIDAK: CCP.
KIMIA Logam berat
TIDAK
YA
TIDAK
YA
Histamin
TIDAK
YA
TIDAK
BIOLOGI : Histamin
TIDAK
YA
FISIK : Dekomposisi
TIDAK
BAHAYA SIGNIFIKAN
KIMIA Histamin FISIK : Benda logam dan benda asing lainnya
CCP
Remarks
YA
-
CP
YA
TIDAK
CCP
-
TIDAK
YA
TIDAK
CCP
-
YA
TIDAK
YA
YA
-
CP
TIDAK
YA
YA
-
-
CCP
-
YA
-
-
-
-
-
CP
114
115
Lampiran 7. Lembar pengendalian CCP PENGENDALIAN CCP CCP Receiving
Storaging 1
Grading
Bahaya Signifikan Histamin pada bahan baku
Histamin
Histamin pada end product
Batas Kritis Apa
Prosedur Pemantauan Bagaimana Kapan/Frekuensi Tiap bahan baku datang, setiap lot
Tindakan Koreksi
Rekaman
QC receivin g dan QC Lab.
Reject lot jika ditemukan 1 atau lebih ikan dengan histamin >30 ppm
Form 08 Form 01
Analisis laboratorium internal oleh laboratorium perusahaan dan analisis eksternal oleh laboratorium pemerintah
Siapa
Verifikasi
Daging ikan untuk mengetahui kandungan histamin
Uji histamin
Suhu cold storage ≤-200C Suhu pusat tuna ≤ -18 0C
Suhu cold storage
Cek suhu melalui petunjuk digital
Satu jsm sekali
QC atau mekanik
Cold Storage diturunkan suhunya
Form 06
QA mengecek data suhu cold storage setiap hari
30 ppm
Tuna loin
Uji histamin
Samplig acak atau Tiap loin yang organoleptiknya jelek
QC
Reject produk
Form 09 Form 08
Analisis laboratorium perusahaan dan analisis eksternal oleh laboratorium pemerintah
30 ppm
Tiap ikan yang organoleptiknya jelek
Daging ikan untuk mengetahui suhu pusat
115
116
Lampiran 8. Prosedur Peengujian Hisstamin Assayy Kit Penghom mogenan 10 g sampel Penimban ngan 1 gr sam mpel yang suudah dihomoogenkan Penambahaan 2 ml Extrraction buffeer dalam tabuung reaksi Voortex 2 meniit Sentrifuse S seelama 5 menit 6000 rpm Pindahk kan 1 ml suppernatan ke dalam d tabung baru Inkubasi supernatan ppada suhu 75 5 C selama 5 menit Voortex 30 detik k Sentrifuse S seelama 5 menit 6000 rpm Tambahkkan metanoll 0,4 ml Inkubasi supernatan ppada suhu 75 5 C selama 5 menit Sentrifuse S seelama 5 menit 6000 rpm Pindahkan 0,5 ml suupernatan ke dalam tabunng baru Sampel
117
Lampiran 9. Lay out ruang pengolahan
118
Lampiran 10. Contoh perhitungan Data evaluasi kadar histamin bahan baku Januari 2008 - Desember 2009 a. Jumlah data n=90 data Batas spesifikasi atas (USL) 30 ppm Rata-rata (X-Bar)= Jumlah keseluruhan data Banyaknya data = 924,3 =10,27 90 Standar deviasi proses (s )=
√Σ(x – X)² (n–1)
= 6,4159 b. DPMO = P [ z ≥ (USL – Xbar) / s ] x 1.000.000 = P [ z ≥ ((30) – (10,27)) /6,4159 ppm ] x 1.000.000 =1052,012 Berdasarkan Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma (Lampiran 11) diperoleh nilai Sigma sebesar 4,575 c. Penentuan nilai standar deviasi maksimal (Smaks) Karena proses hanya mempunyai satu batas spesifik (USL), maka persamaan yang digunakan adalah : Smaks = 1
x [(USL-Xbar)]
Sigma =4,312 UCL = Xbar + (1,5xSmaks) = 16,738 Cpm = [ (USL - Xbar) ] 3√S² =1,025 1,00≤Cpm < 1,99: Keadaan proses industri berada dalam keadaan cukup mampu sampai mampu untuk menghasilkan produk sesuai dengan kebutuhan ekspektasi pelanggan
119
Lampiran 11. Tabel konversi nilai DPMO ke nilai Sigma Nilai Sigma 0,00 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11 0,12 0,13 0,14 0,15 0,16 0,17 0,18 0,19 0,20 0,21 0,22 0,23 0,24 0,25 0,26 0,27 0,28 0,29 0,30 0,31 0,32 0,33 0,34 0,35 0,36 0,37 0,38 0,39 0,40 0,41
DPMO 933.193 931.888 930.563 929.219 927.855 926.471 925.066 923.641 922.196 920.730 919.243 917.736 916.207 914.656 913.085 911.492 909.877 908.241 906.582 904.902 903.199 901.475 899.727 897.958 896.165 894.350 892.512 890.651 888.767 886.860 884.930 882.977 881.000 878.999 876.976 874.928 872.857 870.762 868.643 866.500 864.334 862.143 859.929
Nilai Sigma 0,51 0,52 0,53 0,54 0,55 0,56 0,57 0,58 0,59 0,60 0,61 0,62 0,63 0,64 0,65 0,66 0,67 0,68 0,69 0,70 0,71 0,72 0,73 0,74 0,75 0,76 0,77 0,78 0,79 0,80 0,81 0,82 0,83 0,84 0,85 0,86 0,87 0,88 0,89 0,90 0,91 0,92 0,93
DPMO 838.913 836.457 833.977 831.472 828.944 826.391 823.814 821.214 818.589 815.940 813.267 810.570 807.850 805.106 802.338 799.546 796.731 793.892 791.030 788.145 785.236 782.305 779.350 776.373 773.373 770.350 767.305 764.238 761.148 758.036 754.903 751.748 748.571 745.373 742.154 738.914 735.653 732.371 729.069 725.747 722.405 719.043 715.661
Nilai Sigma 1,02 1,03 1,04 1,05 1,06 1,07 1,08 1,09 1,10 1,11 1,12 1,13 1,14 1,15 1,16 1,17 1,18 1,19 1,20 1,21 1,22 1,23 1,24 1,25 1,26 1,27 1,28 1,29 1,30 1,31 1,32 1,33 1,34 1,35 1,36 1,37 1,38 1,39 1,40 1,41 1,42 1,43 1,44
DPMO 684.386 680.822 677.242 673.645 670.031 666.402 662.757 659.097 655.422 651.732 648.027 644.309 640.576 636.831 633.072 629.300 625.516 621.719 617.911 614.092 610.261 606.402 602.568 598.706 594.835 590.954 587.064 583.166 579.260 575.345 571.424 567.495 563.559 559.618 555.670 551.717 547.758 543.795 539.828 535.856 531.881 527.903 523.922
Nilai Sigma 1,53 1,54 1,55 1,56 1,57 1,58 1,59 1,60 1,61 1,62 1,63 1,64 1,65 1,66 1,67 1,68 1,69 1,70 1,71 1,72 1,73 1,74 1,75 1,76 1,77 1,78 1,79 1,80 1,81 1,82 1,83 1,84 1,85 1,86 1,87 1,88 1,89 1,90 1,91 1,92 1,93 1,94 1,95
DPMO 488.033 484.047 480.061 476.078 472.097 468.118 464.144 460.172 456.205 452.242 448.283 444.330 440.382 436.444 432.505 428.576 424.655 420.740 416.834 412.936 409.046 405.165 401.294 397.432 393.580 389.730 385.908 382.089 378.284 374.484 370.700 366.928 363.169 359.424 355.691 351.973 348.268 344.578 340.903 337.245 333.598 329.969 326.355
120
0,42 0,43 0,44 0,45 0,46 0,47 0,48 0,49 0,50
Nilai
857.690 855.428 853.141 850.830 848.495 846.136 843.752 841.345
DPMO
Sigma 2,04 2,05 2,06 2,07 2,08 2,09 2,10 2,11 2,12 2,13 2,14 2,15 2,16 2,17 2,18 2,19 2,20 2,21 2,22 2,23 2,24 2,25 2,26 2,27 2,28 2,29 2,30 2,31 2,32 2,33 2,34
0,94 0,95 0,96 0,97 0,98 0,99 1,00 1,01
Nilai
712.260 708.840 705.402 701.944 698.468 694.974 691.462 687.933
DPMO
Sigma 294.598 291.160 287.740 284.339 280.957 277.595 274.253 270.931 267.629 264.347 261.086 257.846 254.627 251.429 248.252 245.097 241.964 238.852 235.762 232.695 229.650 226.627 223.627 220.650 217.695 214.764 211.855 208.907 206.108 203.269 200.454
2,55 2,56 2,57 2,58 2,59 2,60 2,61 2,62 2,63 2,64 2,65 2,66 2,67 2,68 2,69 2,70 2,71 2,72 2,73 2,74 2,75 2,76 2,77 2,78 2,79 2,80 2,81 2,82 2,83 2,84 2,85
1,45 1,46 1,47 1,48 1,49 1,50 1,51 1,52
Nilai
519.939 515.953 511.967 507.978 503.989 500.000 496.011 492.022
DPMO
Sigma . 146.859 144.572 142.310 140.071 137.857 135.666 133.500 131.357 129.238 127.143 125.072 123.024 121.004 119.000 117.023 115.070 113.140 111.233 109.349 107.488 105.650 103.835 102.042 100.273 98.525 96.801 95.098 93.418 91.759 90.123 88.508
3,06 3,07 3,08 3,09 3,10 3,11 3,12 3,13 3,14 3,15 3,16 3,17 3,18 3,19 3,20 3,21 3,22 3,23 3,24 3,25 3,26 3,27 3,28 3,29 3,30 3,31 3,32 3,33 3,34 3,35 3,36
1,96 1,97 1,98 1,99 2,00 2,01 2,02 2,03
Nilai
322.758 319.178 315.614 312.067 308.538 305.026 301.532 298.056
DPMO
Sigma 59.380 58.208 57.053 55.917 54.799 53.699 52.616 51.551 50.503 49.471 48.457 47.460 46.479 45.514 44.565 43.633 42.716 41.815 40.929 40.059 39.204 38.364 37.538 36.727 35.930 35.148 34.379 33.625 32.884 32.157 31.443
3,57 3,58 3,59 3,60 3,61 3,62 3,63 3,64 3,65 3,66 3,67 3,68 3,69 3,70 3,71 3,72 3,73 3,74 3,75 3,76 3,77 3,78 3,79 3,80 3,81 3,82 3,83 3,84 3,85 3,86 3,87
19.226 18.763 18.309 17.864 17.429 17.003 16.586 16.177 25.778 15.386 15.003 14.629 14.262 13.903 13.553 13.209 12.874 12.545 12.224 11.911 11.604 11.304 11.011 10.724 10.444 10.170 9.903 9.642 9.387 9.137 8.894
121
2,35 2,36 2,37 2,38 2,39 2,40 2,41 2,42 2,43 2,44 2,45 2,46 2,47 2,48 2,49 2,50 2,51 2,52 2,53 2,54
Nilai
197.662 194.894 192.150 189.430 186.733 184.060 181.411 178.786 176.186 173.609 171.056 168.528 166.023 163.543 161.087 158.655 156.248 153.864 151.505 149.170
DPMO
Sigma 4,08 4,09 4,10 4,11 4,12 4,13 4,14 4,15 4,16 4,17 4,18 4,19 4,20 4,21 4,22 4,23 4,24 4,25 4,26 4,27 4,28 4,29
2,86 2,87 2,88 2,89 2,90 2,91 2,92 2,93 2,94 2,95 2,96 2,97 2,98 2,99 3,00 3,01 3,02 3,03 3,04 3,05
Nilai
86.915 85.344 83.793 82.264 80.757 79.270 77.804 76.359 74.934 73.529 72.145 70.781 69.437 68.112 66.807 65.522 64.256 63.008 61.780 60.571
DPMO
Sigma 4.940 4.799 4.661 4.527 4.397 4.269 4.145 4.025 3.907 3.793 3.681 3.573 3.467 3.364 3.264 3.167 3.072 2.980 2.890 2.803 2.718 2.635
4,59 4,60 4,61 4,62 4,63 4,64 4,65 4,66 4,67 4,68 4,69 4,70 4,71 4,72 4,73 4,74 4,75 4,76 4,77 4,78 4,79 4,80
3,37 3,38 3,39 3,40 3,41 3,42 3,43 3,44 3,45 3,46 3,47 3,48 3,49 3,50 3,51 3,52 3,53 3,54 3,55 3,56
Nilai
30.742 30.054 29.379 28.716 28.067 27.429 26.803 26.190 25.588 24.996 24.419 23.852 23.295 22.750 22.216 21.692 21.178 20.675 20.182 19.699
DPMO
Sigma 1.001 968 936 904 874 845 816 789 762 736 711 687 664 641 619 598 577 557 538 519 501 483
5,10 5,11 5,12 5,13 5,14 5,15 5,16 5,17 5,18 5,19 5,20 5,21 5,22 5,23 5,24 5,25 5,26 5,27 5,28 5,29 5,30 5,31
3,88 3,89 3,90 3,91 3,92 3,93 3,94 3,95 3,96 3,97 3,98 3,99 4,00 4,01 4,02 4,03 4,04 4,05 4,06 4,07
Nilai
8.656 8.424 8.198 7.676 7.760 7.549 7.344 7.143 6.947 6.756 6.569 6.387 6.210 6.037 5.868 5.703 5.543 5.386 5.234 5.085
DPMO
Sigma 159 153 147 142 136 131 126 121 117 112 108 104 100 96 92 88 85 82 78 75 72 70
5,61 5,62 5,63 5,64 5,65 5,66 5,67 5,68 5,69 5,70 5,71 5,72 5,73 5,74 5,75 5,76 5,77 5,78 5,79 5,80 5,81 5,82
20 19 18 17 17 16 15 15 14 13 13 12 12 11 11 10 10 9 9 9 8 8
122
4,30 4,31 4,32 4,33 4,34 4,35 4,36 4,37 4,38 4,39 4,40 4,41 4,42 4,43 4,44 4,45 4,46 4,47 4,48 4,49 4,50 4,51 4,52 4,53 4,54 4,55 4,56 4,57 4,58
2.555 2.477 2.401 2.327 2.256 2.186 2.118 2.052 1.988 1.926 1.866 1.807 1.750 1.695 1.641 1.589 1.538 1.489 1.441 1.395 1.350 1.306 1.264 1.223 1.183 1.144 1.107 1.070 1.035
4,81 4,82 4,83 4,84 4,85 4,86 4,87 4,88 4,89 4,90 4,91 4,92 4,93 4,94 4,95 4,96 4,97 4,98 4,99 5,00 5,01 5,02 5,03 5,04 5,05 5,06 5,07 5,08 5,09
467 450 434 419 404 390 376 362 350 337 325 313 302 291 280 270 260 251 242 233 224 216 208 200 193 185 179 172 165
5,32 5,33 5,34 5,35 5,36 5,37 5,38 5,39 5,40 5,41 5,42 5,43 5,44 5,45 5,46 5,47 5,48 5,49 5,50 5,51 5,52 5,53 5,54 5,55 5,56 5,57 5,58 5,59 5,60
67 64 62 59 57 54 52 50 48 46 44 42 41 39 37 36 34 33 32 30 29 28 27 26 25 24 23 22 21
5,83 5,84 5,85 5,86 5,87 5,88 5,89 5,90 5,91 5,92 5,93 5,94 5,95 5,96 5,97 5,98 5,99 6,00
7 7 7 7 6 6 6 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 3
123
Lampiran 12. Data verifikasi histamin Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Histamin 15.48 15.1 15.54 15.73 23.22 21.15 16.07 15.56 15.76 15.76 15.64 16.07 15.9 12.76 17.16 12.76 12.38 11.91 12.9
Sampel 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Histamin 12.29 12.87 12.43 11.89 13.25 7.3 6.8 15.6 13.56 15.47 12.43
124
Lampiran 13. Data evaluasi histamin Sampel Histamin Sampel Histamin Sampel Histamin 1 6.7 41 22.1 81 15.1 2 10.5 42 14.7 82 18.2 3 8.8 43 19.6 83 11.7 4 6.9 44 13.7 84 13.5 5 9.4 45 12.4 85 11.4 6 5.4 46 13.6 86 9.6 7 2.3 47 16.4 87 7.4 8 10.1 48 39.5 88 6.5 9 2.8 49 19.7 89 8.9 10 7.7 50 10.4 90 10.1 11 5.9 51 10.4 12 3.8 52 11.8 13 1.1 53 9.9 14 5.7 54 13.6 15 9.7 55 14.2 16 8.3 56 40.5 17 5.3 57 23.5 18 7.4 58 10.2 19 9.9 59 8.5 20 1.9 60 13.4 21 3.8 61 9.9 22 4.1 62 10.2 23 7.2 63 7.8 24 9.3 64 11.4 25 6.5 65 8.7 26 5.6 66 10.2 27 1.8 67 8.7 28 5.6 68 5.2 29 2.6 69 7.3 30 7.4 70 8.9 31 7.7 71 6.4 32 4.6 72 13.7 33 4.7 73 12.6 34 5.2 74 11.8 35 5.7 75 9.5 36 6.3 76 8.3 37 6.5 77 7.7 38 11.3 78 15.7 39 16.2 79 18.6 40 15 80 14.5
125
Lampiran 14. Data verifikasi suhu cold storage Sampel Suhu CS Sampel Suhu CS Sampel Suhu CS 1 -20 41 -19 81 2 -17 42 -6 82 3 -17 43 -15 83 4 -16 44 -16 84 5 -16 45 -19 85 6 -20 46 -21 86 7 -21 47 -16 87 8 -21 48 -17 88 9 -19 49 -19 89 10 -20 50 -19 90 11 -21 51 -21 91 12 -19 52 -12 92 13 -18 53 -10 93 14 -16 54 -17 94 15 -15 55 -20 95 16 -21 56 -18 96 17 -18 57 -11 97 18 -19 58 -14 98 19 -16 59 -12 99 20 -15 60 -19 100 21 -18 61 -21 101 22 -17 62 -16 102 23 -20 63 -12 103 24 -15 64 -10 104 25 -17 65 -19 105 26 -18 66 -21 106 27 -16 67 -18 107 28 -11 68 -8 108 29 -14 69 -10 109 30 -14 70 -18 110 31 -16 71 -20 111 32 -16 72 -14 112 33 -14 73 -11 113 34 -14 74 -17 114 35 -15 75 -12 115 36 -19 76 -20 116 37 -19 77 -14 117 38 -17 78 -16 118 39 -14 79 -11 119 40 -10 80 -16 120
-17 -11 -11 -13 -12 -18 -12 -12 -19 -14 -17 -17 -18 -19 -20 -18 -20 -14 -19 -19 -20 -19 -20 -21 -17 -18 -19 -15 -18 -17 -21 -18 -10 -17 -19 -19 -21 -16 -17 -19
Suhu Sampel CS 121 -14 122 -10 123 -19 124 -6 125 -15 126 -20 127 -19 128 -12 129 -12 130 -10 131 -18 132 -14 133 -20 134 -17 135 -17 136 -16 137 -16 138 -19 139 -20 140 -19 141 -19 142 -18 143 -18 144 -14 145 -12 146 -19 147 -16 148 -17 149 -19 150 -20 151 -21 152 -19 153 -18 154 -18 155 -17 156 -21 157 -20 158 -20 159 -19 160 -19
126
Lampiran 15. Data evaluasi suhu cold storage Sampel suhu cs Sampel suhu cs Sampel suhu cs Sampel suhu cs Sampel suhu cs 1 -25 39 -25 77 -22 115 -23 153 -21 2 -24 40 -21 78 -23 116 -22 154 -25 3 -23 41 -20 79 -22 117 -22 155 -24 4 -22 42 -19 80 -22 118 -25 156 -22 5 -22 43 -20 81 -23 119 -25 157 -21 6 -24 44 -19 82 -23 120 -23 158 -21 7 -23 45 -18 83 -22 121 -23 159 -26 8 -22 46 -20 84 -22 122 -23 160 -22 9 -21 47 -20 85 -20 123 -22 161 -23 10 -23 48 -20 86 -17 124 -25 162 -23 11 -22 49 -19 87 -20 125 -23 163 -22 12 -21 50 -18 88 -23 126 -22 164 -23 13 -21 51 -21 89 -21 127 -22 165 -21 14 -22 52 -20 90 -21 128 -22 166 -21 15 -22 53 -20 91 -23 129 -25 167 -22 16 -25 54 -20 92 -21 130 -23 168 -23 17 -24 55 -19 93 -21 131 -23 169 -23 18 -23 56 -20 94 -25 132 -22 170 -21 19 -23 57 -19 95 -23 133 -22 171 -22 20 -22 58 -18 96 -23 134 -25 172 -22 21 -23 59 -18 97 -22 135 -24 173 -23 22 -24 60 -18 98 -24 136 -23 174 -21 23 -22 61 -21 99 -23 137 -22 175 -21 24 -22 62 -21 100 -23 138 -22 176 -20 25 -23 63 -21 101 -24 139 -23 177 -18 26 -24 64 -20 102 -22 140 -23 178 -21 27 -22 65 -18 103 -25 141 -23 179 -24 28 -23 66 -23 104 -25 142 -23 180 -23 29 -22 67 -24 105 -23 143 -21 181 -22 30 -20 68 -25 106 -22 144 -24 182 -21 31 -21 69 -21 107 -23 145 -23 183 -21 32 -16 70 -21 108 -25 146 -23 184 -25 33 -16 71 -20 109 -24 147 -22 185 -24 34 -17 72 -19 110 -23 148 -22 186 -23 35 -18 73 -18 111 -22 149 -24 187 -22 36 -24 74 -17 112 -21 150 -23 188 -21 37 -23 75 -17 113 -24 151 -23 189 -22 38 -22 76 -23 114 -24 152 -22 190 -23
127
Sampel suhu cs Sampel suhu cs Sampel suhu cs Sampel suhu cs 191 ‐22 229 ‐24 267 ‐22 305 ‐24 192 ‐22 230 ‐24 268 ‐22 306 ‐23 193 ‐21 231 ‐21 269 ‐24 307 ‐21 194 ‐25 232 ‐21 270 ‐23 308 ‐21 195 ‐24 233 ‐23 271 ‐21 309 ‐23 196 ‐21 234 ‐24 272 ‐19 310 ‐18 197 ‐22 235 ‐25 273 ‐18 311 ‐20 198 ‐21 236 ‐21 274 ‐18 312 ‐21 199 ‐25 237 ‐20 275 ‐17 313 ‐22 200 ‐24 238 ‐21 276 ‐23 314 ‐24 201 ‐22 239 ‐25 277 ‐23 315 ‐23 202 ‐22 240 ‐24 278 ‐24 316 ‐21 203 ‐21 241 ‐23 279 ‐26 317 ‐18 204 ‐23 242 ‐21 280 ‐24 318 ‐18 205 ‐21 243 ‐23 281 ‐23 319 ‐19 206 ‐20 244 ‐24 282 ‐22 320 ‐19 207 ‐21 245 ‐23 283 ‐22 321 ‐22 208 ‐22 246 ‐23 284 ‐24 322 ‐21 209 ‐23 247 ‐21 285 ‐22 323 ‐17 210 ‐21 248 ‐22 286 ‐23 324 ‐18 211 ‐20 249 ‐23 287 ‐21 325 ‐19 212 ‐21 250 ‐24 288 ‐22 213 ‐21 251 ‐22 289 ‐24 214 ‐23 252 ‐21 290 ‐23 215 ‐23 253 ‐20 291 ‐21 216 ‐22 254 ‐23 292 ‐23 217 ‐21 255 ‐21 293 ‐22 218 ‐20 256 ‐20 294 ‐24 219 ‐23 257 ‐21 295 ‐22 220 ‐21 258 ‐22 296 ‐21 221 ‐23 259 ‐24 297 ‐23 222 ‐23 260 ‐14 298 ‐24 223 ‐23 261 ‐22 299 ‐22 224 ‐24 262 ‐21 300 ‐21 225 ‐23 263 ‐25 301 ‐21 226 ‐22 264 ‐23 302 ‐23 227 ‐22 265 ‐24 303 ‐24 228 ‐21 266 ‐23 304 ‐22
128
Lampiran 16. Dokumentasi Kegiatan penelitian
Histamine assay kit
Isi histamin assay kit
Pengingkubasian sampel
Penimbangan sampel
Histamin reader
129
Lampiran 17. Form 01 Record of receiving raw material
130
Lampiran 18. Form 02. Record of Final Checking
131
Lampiran 19. Form 03. Record of process temperature
132
Lampiran 20. Form 04. Daily sanitation audit form
133
Lampiran 21. Form 05. ABF check report
134
Lampiran 22. Form 06 Cold storage check report
135
Lampiran 23. Form 07 Scale calibration
136
Lampiran 24. Form 08 Record of laboratory inspection
137
Lampiran 25. Form 09 Control pest form
138
Lampiran 26. Form 10 Tally sheet
139
Lampiran 27. Data verifikasi histamin tuna loin beku Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
Histamin 7.8 6.4 10.1 9.8 7.7 5.6 10.1 9.8 7.7 5.6 9.7 10.6 10.8 10.1 10.9 11.3 8.7 10.8 36.5 12.4 11.5 11.9 8.8 10.1 1.52 10.42 7.8
140
Lampiran 28. Data Evaluasi Histamin Tuna Loin Beku Sampel
Histamin 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Sampel 4.8 10.2 11.7 13.8 13.8 15.7 14.2 10.8 6.3 3.1 11.7 3.4 9.6 6.8 4.6 2.7 7.8 10.8 8.9 6.7 8.8 9 2.1 5.6 7.7 8.6 4.6 7.8 8.8 8.9 8.3 9.8 8 11 12 11 6.7 7.4 8.4 2.4
41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66
Histamin 4.8 3.9 9.5 9.8 8.2 8.1 8.4 7.6 6.5 10.5 9.8 8.7 9.2 47.4 38.2 22.7 20.8 14.6 11.4 9.2 11.7 12.4 19.7 19.2 12.3 13.1
141
Lampiran 29. Klasifikasi peringkat dari Severity (S), Occurrence (O) dan Detection (D). Klasifikasi Keparahan (S) Rank/ Peringkat 1 2 3 4 5 6 7
None Very minor Minor Very low Low Medium importance Important
8
Very important
9 10
Hazardous Severe
Rank/ Peringkat 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Efek
Peluang Kemunculan Negligible ≤ 1 in 1500000 Low 1 in 1500000 Low 1 in 15000 Possible 1 in 2000 Possible 1 in400 Possible 1 in 80 Very possible 1 in 20 Very possible 1 in 8 Certain 1 in 3 Certain 1 in 3
Keparahan Tidak ada efek Histamin dianggap tidak ada di produk Histamin hampir tidak ada di produk Histamin dianggap tidak penting Histamin dianggap hampir tidak penting bagi kesehatan konsumen Menurut peraturan pemerintah, histamin dianggap cukup penting Keparahan histamin menurut pemerintah cukup berbahaya dan membutuhkan pengujian sebelum dilakukan ekspor dan adanya sertifikat untuk ekspor Diperlukan labelling bebas histamin pada setiap produk, membutuhkan pengujian histamine sebelum dilakukan ekspor dan adanya sertifikat untuk ekspor Lebih dari 50% konsumen produk merasakan keracunan histamin Lebih dari 80% konsumen produk merasakan keracunan histamin Klasifikasi Peluang Kemunculan (O) Kemungkinan Kegagalan Peluang histamin muncul minimal Peluang histamin muincul rendah Peluang histamin muncul sedang Peluang histamin muncul tinggi Pasti terdapat histamin
142
Klasifikasi Peluang Terdeteksi Rank/ Peringkat 1 2 3 4
Peluang Terdeteksi Certain Detection Very high detection probability High detection probability Quite high detection probability
5 6
Possible detection Low detection probability
7 8
Very low detection probability Particularly low detection probability
9 10
Almost impossible detection Impossible detection
Kriteria Pengontrolan melalui pemeriksaan 100%, jika ada histamine terdeteksi 100%, Traceability lengkap, ELISA dapat digunakan. Histamin dapat terdeteksi dengan mudah karena selalu diuji periodik, ada akses bagi perusahaan untuk datang ke pemasok, tracebility ada dan lengkap, ELISA dapat digunakan. Pengontrolan histamine efektivitasnya sedang karena pengujian tidak tentu, tracebility kompleks dantidak lengkap, sulit bagi perusahaan mempunyai akses ke pemasok, ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi histamine. Pengontrolan histamin efektivitasnya sedang, tidak ada tracebility, sangat sulit bagi perusahaan mempunyai akses ke pemasok, PCR dibutuhkan untuk mendeteksi histamin Histamin sangat sulit terdeteksi, tidak ada tracebility, tidak ada kemungkinan akses ke pemasok. PCR dibutuhkan untuk mendeteksi histamin.
143
Lampiran 30. Perbedaan klasifikasi kualitas mutu (grade) ikan tuna
Karakteristik Grade A Mata Bersih, terang, dan menonjol
Grade B Bersih, terang, dan menonjol
Kulit
Kulit normal, warna bersih, dan cerah
Bau
Bau ikan segar
Kulit normal, warna bersih, dan sedikit lendir Bau ikan segar
Tekstur daging
Keras, kenyal, elastis, lebih lembut dan elastis (yellow fin), jaringan daging tidak pecah Warna daging merah tua seperti bunga mawar (big eye), warna daging merah seperti darah segar atau buah semangka (yellow fin), yake tidak ada Penampakan bagus dan utuh, tidak ada kerusakan fisik
Warna daging
Kondisi ikan
Agak kenyal dan elastis, jaringan daging tidak pecah
Grade C Bersih, agak keruh, dan agak tenggelam Kulit sedikit terkelupas, warna bersih, dan berlendir Bau ikan kurang segar, ada bau lain Agak lunak, kurang elastis, jaringan daging sedikit pecah
Grade D Mata keruh dan tenggelam
Kulit mulai tidak normal (terkelupas), dan berlendir Bau ikan tidak segar, ada bau lain Lunak, jaringan daging pecah
Warna daging merah agak terang, ada sedikit yake
Warna daging kurang merah, ada yake
Warna daging merah pudar agak kecoklatan, ada yake
Penampakan bagus dan utuh, tidak ada kerusakan fisik
Ikan tidak utuh (ada sedikit cacat)
Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan (daging sobek)