2
melainkan perusahaan membutuhkan karyawan yang mau menginvestasikan diri mereka untuk terlibat secara penuh dalam pekerjaan, memiliki komitmen yang tinggi, proaktif (Bakker & Demerouti, 2007) dan bisa terikat dengan pekerjaannya (Bakker & Bal, 2010). Penelitian yang dilakukan Bakker dan Bal (2010) menunjukkan hasil bahwa, karyawan dengan tingkat keterikatan kerja (work engagement) tinggi akan menampilkan kinerja terbaik mereka karena karyawan tersebut menikmati pekerjaannya. Work engagement diakui sebagai salah satu konsep terkemuka dalam menggambarkan kesejahteraan (wellbeing) di tempat kerja (Bakker, 2011). Berdasarkan perspektif teoritis, work engagement telah memberikan kontribusi untuk bidang psikologi positif dengan meningkatkan pengetahuan tentang bagaimana sumber yang berasal dari pekerjaan dan faktor pribadi berpotensi dalam
mempengaruhi
kesehatan,
dan
mengoptimalkan
fungsi
tersebut.
Berdasarkan perspektif praktis, work engagement menjadi relevan bagi organisasi dan praktisi karena keterkaitannya dengan performance dan indikator positif lainnya seperti extra-role behavior dan meningkatkan komitmen (Bakker, Schaufeli, Leiter, & Taris, 2008). Work engagement juga memiliki implikasi penting bagi karyawan dan organisasi. Implikasi pada tingkat individu atau karyawan, ditemukan bahwa work engagement berpengaruh pada kesehatan dan kebahagian individu, berkurangnya gejala kesehatan yang buruk seperti sinisme, gejala depresi, dan gangguan tidur, serta perasaan positif pada akhir minggu kerja (Hallberg & Schaufeli, 2006; Schaufeli, Taris, & van Rhenen, 2008; Sonnentag, Mojza, Binnewies, & Scholl, 2008). Penelitian yang dilakukan pada tingkat organisasi juga telah menunjukkan bahwa karyawan dengan work engagement yang tinggi akan menjadi karyawan
3
yang produktif (Halbesleben & Wheeler, 2008) dan berhubungan dengan sikap kerja yang positif (Hakanen, Perhoniemi, & Toppinen-Tanner, 2008). Selain itu, bukti empiris menunjukkan bahwa sikap kerja seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, organizational citizenship behavior pada level organisasi, dan niat yang lebih rendah untuk berhenti juga merupakan konsekuensi dari work engagement (Hakanen, dkk., 2008; Saks, 2006; Schaufeli, dkk., 2008). Karyawan yang tidak engaged akan merasa adanya ketidakcocokan antara kemampuan yang mereka miliki dengan tugas yang diberikan, dan memiliki komitmen yang rendah terhadap pekerjaannya (Chalofsky & Krishna, 2009). The National Study of the Changing Workforce (NSCW) menemukan bahwa fleksibilitas kerja yang lebih besar akan menciptakan work engagement dan komitmen kerja yang lebih pula di kalangan non-manajerial dan nonprofesional (Harter, Schmidt, & Hayes, 2002). Karyawan yang terikat dengan pekerjaannya akan menampilkan performa lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang tidak terikat dengan pekerjaannya. Karyawan yang terikat dengan pekerjaannya cenderung memiliki emosi yang lebih positif, memiliki kesehatan fisik dan psikologis yang lebih baik, memperoleh lebih banyak support, dan memiliki kemampuan untuk menyebarkan work engagement yang mereka rasakan kepada karyawan lainnya. Hal ini didukung oleh penelitian Richman, Civian, Shannon, Hill, dan Brennan (2008) yang menemukan bahwa adanya fleksibilitas dan kebijakan kehidupan kerja yang suportif berkaitan dengan tingginya work engagement. Pengertian mengenai engagement pertama kali dikemukakan oleh Kahn (1990) melalui penelitian etnografinya. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai sebuah kehadiran (presence) keadaan psikologis ketika bekerja. Definisi
4
Kahn mengenai work engagement ini mencoba menjelaskan mengenai keterikatan (engagement) dan ketidakterikatan (disengagement) dari diri individu ketika bekerja, dimana Kahn mengusulkan bahwa ekspresi dari diri individu (secara emosional, kognitif, dan/atau fisik) adalah merupakan suatu situasi spesifik. Rothbard (2001) kemudian memperluas definisi dari engagement tersebut sebagai kehadiran keadaan psikologis dalam sebuah peran ketika bekerja, yang di dalamnya terdapat dua komponen dari role performance yaitu cognitive attentiveness dan absorption. Cognitive attentiveness diartikan sebagai sejumlah waktu yang dihabiskan dalam memikirkan suatu peran, sedangkan absorption disamakan dengan sesuatu yang mengasyikkan (engrossment). Lebih lanjut, model lain dari work engagement, yang dikemukakan oleh Maslach dan Leiter (2008), mendefinisikan konstruk ini sebagai istilah positif yang berlawanan arti dengan burnout. Selain itu, Schaufeli, Salanova, GonzálezRomá, dan Bakker (2002) mendefinisikan work engagement sebagai emosi positif, keterlibatan penuh dalam pekerjaan yang ditandai dengan vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (penyerapan terhadap pekerjaan). Vigor ditandai dengan tingginya tingkat energi dan ketahanan mental seseorang dalam bekerja, kemauan untuk menginvestasikan usaha yang lebih dalam pekerjaan, dan ketekunan dalam bekerja meskipun sedang mengalami kesulitan. Dedication ditandai oleh rasa antusias, inspirasi, bangga, dan tantangan. Kemudian, absorption ditandai dengan seseorang yang sepenuhnya terkonsentrasi dan asyik dalam pekerjaannya, dimana waktu berlalu dengan sangat cepat dan sulit untuk memisahkan diri dari pekerjaan. Definisi work engagement yang dipakai dalam penelitian ini adalah definisi work engagement yang diajukan oleh Schaufeli dkk. (2002), yaitu suatu keadaan
5
yang dipenuhi emosi positif dan keterlibatan penuh dalam pekerjaan yang ditandai dengan vigor (semangat), dedication (dedikasi), dan absorption (keasyikan terhadap pekerjaan). Definisi ini dipakai di dalam penelitian karena konsep ini pengukurannya konsisten terhadap karakteristik definisinya, dan secara konsekuen, anteseden, dan konsekuensi dapat secara bebas diukur dan diidentifikasi (Simpson, 2009). Terdapat beberapa model atau kerangka penelitian yang digunakan peneliti untuk memprediksi kesejahteraan karyawan. Diantara beberapa model tersebut adalah Demand-Control Model (selanjutnya akan disingkat DCM) dan Job Demands-Resource Model (selanjutnya akan peneliti singkat dengan istilah model JD-R). Berdasarkan DCM, tekanan (strain) yang berasal dari pekerjaan merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara tuntutan (demand) yang dirasakan karyawan dengan sumber daya yang mereka miliki. Menurut Karasek (1998), adanya tekanan dari pekerjaan ini disebabkan karyawan memiliki kontrol kerja yang rendah (seperti otonomi). Penggunaan DCM ini terbatas pada variabel prediktor yang mungkin tidak relevan untuk semua posisi pekerjaan. Selain itu, sebagian besar penelitian sebelumnya yang menggunakan DCM memfokuskan pada hasil (outcome) yang sifatnya negatif, seperti burnout dan masalah kesehatan lainnya. Berbeda dengan model JD-R, khususnya model JD-R versi awal tahun 2001 merupakan kerangka teoretik yang paling banyak digunakan oleh peneliti dalam menjelaskan keterkaitan work engagement dengan hasil positif dan kesehatan dalam organisasi (Albrecht, 2010; Bakker & Leiter, 2010; Mauno, dkk., 2007). Model JD-R versi awal tahun 2001 yang menjelaskan prediktor-prediktor yang mempengaruhi work engagement akan peneliti gunakan sebagai salah satu
6
kerangka teoretik dalam penelitian ini. Pemilihan model JD-R ini dikarenakan bahwa model ini sudah robust (Korunka, Kubicek, Schaufeli, & Hoonakker, 2009) dibandingkan dengan model JD-R yang merupakan pengembangan variabel yang terkait dengan work engagement karena masih belum konsisten dan berbeda-beda menurut perspektif peneliti yang menyampaikannya (Bakker & Demerouti, 2007; Hakenen, Schaufeli, & Ahola, 2008; Hakenan, Demerouti, & Xanthopoulou, 2007). Berdasarkan model JD-R, work engagement dipengaruhi oleh dua hal, yaitu job demands dan job resources (Schaufeli & Bakker, 2004). Job demands didefinisikan sebagai aspek fisik, sosial, psikologis atau organisasi dari pekerjaan yang membutuhkan usaha atau keterampilan fisik dan/atau psikologis (kognitif dan emosional) yang berkelanjutan karena terkait dengan biaya fisiologis dan/atau psikologis tertentu (Bakker & Demerouti, 2007). Job demands dikelompokkan menjadi dua, yaitu job demands kuantitatif dan job demands kualitatif. Job demands kuantitatif meliputi tekanan waktu dan kelebihan beban kerja, dan job demands kualitatif yang meliputi tuntutan emosional, ambiguitas peran, konflik peran, dan lingkungan fisik pekerjaan yang tidak menguntungkan. Job resources adalah aspek fisik, psikologis, sosial, dan organisasi dari pekerjaan yang memperlemah pengaruh job demands. Job resources berfungsi dalam
mencapai
tujuan
pekerjaan,
dan
menstimulasi
pertumbuhan,
pembelajaran, dan perkembangan individu (Schaufeli & Bakker, 2004). Penelitian-penelitian mengenai work engagement dengan menggunakan model JD-R sebagai kerangka berpikir menemukan bahwa work engagement secara signifikan diprediksi oleh job resources (Rothmann & Jordaan, 2006; Schaufeli & Bakker, 2004) khususnya ketika job demands tinggi (Hakanen, dkk.,
7
2008). Lebih lanjut, hipotesis yang menyatakan bahwa job resources akan memprediksi work engagement juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Bakker dan Demerouti (2007). Akan tetapi, penelitian yang menyoroti job demands sebagai salah satu prediktor dari work engagement masih sedikit dilakukan, sehingga literatur mengenai hubungan antara work engagement dan demands sangat terbatas (Rothmann & Jordaan, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Fourie, Rothmann, dan Van de Vijver (2008) menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan negatif antara job demands dan work engagement. Bagaimanapun juga, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan penemuan ini dan untuk pemahaman yang lebih baik mengenai pengaruh job demands terhadap work engagement. Selama beberapa dekade terakhir, telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa job demands dapat memicu stres yang berkaitan dengan peran seseorang (Lambert, Hogan, Paoline, & Clarke, 2005). Job demands memiliki pengaruh yang besar terhadap kesejahteraan karyawan dan hasil yang berkaitan dengan pekerjaan, seperti kelelahan emosional dan niat (intention) untuk keluar dari pekerjaan, bahkan work engagement (Doi, 2005). Penelitian
mengenai
work
engagement
dalam
konteks
organisasi
kesehatan atau rumah sakit, jika ditelusuri berdasarkan catatan publikasi masih sedikit dilakukan di Indonesia. Dengan kata lain, masih minimnya kajian pustaka ataupun penelitian yang mengungkap work engagement perawat di rumah sakit (Simpson, 2009). Padahal, Smulder (dalam Schaufeli, 2011) menyatakan bahwa perawat merupakan pekerjaan yang menuntut work engagement yang tinggi selain guru dan entrepreneur. Anggota organisasi rumah sakit yang memiliki interaksi dan kontak langsung paling tinggi dengan pasien dan keluarganya
8
adalah perawat, dibandingkan dengan anggota rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan rumah sakit mengharapkan perawat agar dapat mengetahui kebutuhan pasien meskipun bukan hal mudah untuk bisa memahami sifat, sikap, dan harapan dari pasien agar bisa merawatnya dengan baik (Gunarsa, 1989). Menurut Potter dan Griffin (2004), perawat memiliki berbagai peran dan seringkali harus melakukan lebih dari satu peran dalam waktu yang bersamaan, dan rentan untuk mengalami konflik peran (Yildirim & Aycan, 2008) karena tuntutan kerja yang tinggi seperti jam kerja panjang, jadwal kerja tidak tentu, dan waktu kerja berlebih. Keadaan ini tentu saja akan berpengaruh pada diri perawat seperti timbulnya stres (Mallet, dalam Taylor, 1999), terganggunya masalah kesehatan, dan rentan mengalami burnout (Potter & Perry, 2005) dikarenakan banyaknya tanggung jawab dan tuntutan kerja (job demands) yang harus dijalankan oleh perawat. Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2006), sebanyak 50,9% perawat di Indonesia mengalami stres kerja, sering merasa pusing, lelah, kurang ramah, serta kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi. Survei kualitatif yang dilakukan PPNI (2010) juga menunjukkan bahwa mayoritas perawat menyatakan beban kerja sangat berat karena tidak sesuai dengan tugas dan fungsi perawat (www.inna-ppni.or.id). Banyaknya tugas tambahan yang harus dikerjakan perawat dapat menganggu penampilan kerja dari perawat. Akibat negatif dari banyaknya tugas tambahan perawat diantaranya timbulnya emosi perawat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berdampak buruk bagi produktivitas perawat (Taylor, 1999). Hal serupa peneliti temui di Rumah Sakit X Yogyakarta seperti kutipan wawancara berikut ini:
9
“… yaaah..kalau untuk pekerjaan perawat sendiri seperti yang mba lihat, kita mesti jalan kesana kemari, ngurusin pasien, mesti cepat dalam menangani pasien, gak boleh lambat. Kadang jam istirahat pun terpakai untuk ngelayanin pasien ini kan, saling pengertian aja sih antar perawat kalau sudah masuk jamnya istirahat. Tidak heran juga makanya perawatperawat ini mengalami buun..burnot, apa itu namanya.. istilahnya, oh burnout, yaa karena capek kerjaan banyak, jam kerjanya padat jadi lamalama ya jenuh juga… ujung-ujungnya ya bisa jadi ke pasien nya jutek gak ramah.” (S1.W1.263-267). Rumah Sakit X Yogyakarta dalam melakukan kegiatannya, disamping mengutamakan kepentingan masyarakat juga berusaha untuk mempertahankan likuiditas keuangan guna mengembangkan rumah sakit seiring dengan berkembangnya ilmu kedokteran, dan memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Rumah Sakit X Yogyakarta memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien, meningkatkan pelayanan kesehatan serta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di bidang kesehatan. Dengan demikian, maka peranan dan kedudukan Rumah Sakit X Yogyakarta sebagai sarana kesehatan, bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat. Berdasarkan tantangan yang dihadapi oleh profesi perawat tersebut sudah selayaknya bila pihak rumah sakit mengharapkan setiap perawatnya selalu bersemangat,
antusias,
berdedikasi,
dan
selalu
mengimplementasikan
pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dalam melayani pasien serta terserap minat dan perhatiannya dalam pekerjaan yang dijalankan agar dapat memberikan layanan yang terbaik. Kondisi yang diharapkan terjadi dalam profesi perawat tersebut dikenal dengan work engagement. Hasil wawancara pada tiga perawat di Rumah Sakit X diketahui bahwa perawat merasakan beban kerja yang diemban melampaui kapasitas, perawat mengalami kebosanan dengan rutinitas, dan keluhan karena kurang fokus pada pekerjaan. Apabila hal ini dibiarkan akan
10
menyebabkan rendahnya engagement pada perawat saat menjalani profesinya di rumah sakit. Hal ini akan semakin berat dirasakan bagi perawat yang sudah berkeluarga dan memiliki anak, karena mereka harus bisa menyeimbangkan perannya di dalam keluarga dan pekerjaan. Para perawat mungkin mengalami kesulitan memiliki waktu untuk mengurus anaknya. Di lain pihak sebagai seorang wanita yang memiliki peran ganda tentunya tidak dapat mengabaikan urusan keluarga dan kepentingan keluarga karena wanita memiliki peran yang besar dalam menjaga keharmonisan keluarga (Hyde, 2007). Tuntutan kerja, beban kerja, jadwal kerja, dan karakteristik pekerjaan tentunya memberikan tekanan tersendiri pada para perawat wanita yang telah berkeluarga. Apabila tuntutan kerja terlalu berat tentunya akan menyulitkan untuk memenuhi tanggung jawabnya di dalam keluarga. Ketidakseimbangan dalam pemenuhan tuntutan ini dapat memicu timbulnya konflik antara pekerjaan dan keluarga yang disebut work-family conflict. Hal ini akan menghalangi perawat untuk bisa berkonsentrasi secara optimal dan mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk pekerjaan. Work-family conflict yang terjadi juga akan mengurangi kecenderungan seseorang untuk bisa terikat dengan pekerjaannya (Opie & Henn, 2013). Tuntutan kerja yang tinggi akan mengakibatkan perawat yang juga berperan sebagai ibu akan pulang kerja dalam keadaan lelah. Hal ini akan menyebabkan ibu yang bekerja ini tidak memiliki cukup energi untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarganya, seperti menemani suami, membantu pekerjaan rumah, menemani anak bermain, dan lain sebagainya.
11
Menurut
penelitian
yang
dilakukan
Bakker,
Van
Veldhoven,
dan
Xanthopoulou (2010), work-family conflict merupakan salah satu bentuk dari job demands. Fenomena work-family conflict ini muncul seiring terjadinya perubahan demografi tenaga kerja seperti peningkatan jumlah wanita bekerja dan pasangan yang keduanya juga bekerja. Banyak peneliti yang tertarik untuk meneliti sebab dan pengaruh work-family conflict (Judge, Boudreau, & Bretz, 1994) karena menampilkan peran sekaligus sebagai seorang karyawan, orang tua, dan pasangan yang akan menimbulkan konflik (Eagle, Icenogle, Maes, & Miles, 1998). Work-family conflict menjadi tidak dapat terelakkan karena munculnya tekanan untuk menyeimbangkan semua peran ini (Mauno, Kinnunen, & Ruokolainen, 2006). Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek, dan Rosenthall (1964) menjelaskan konsep work-family conflict dengan menggunakan kerangka teori peran (Role Theory). Mereka mengusulkan bahwa penentu utama perilaku individu adalah perilaku yang diharapkan muncul oleh orang lain darinya. Teori peran memprediksi bahwa harapan dari masing-masing peran yang berbeda dapat menghasilkan konflik antar peran. Konflik antar peran ini memiliki efek yang merugikan bagi well-being karena masing-masing peran membutuhkan waktu, energi dan komitmen. Berdasarkan kerangka kerja ini, Kahn dkk. (1964) mendefinisikan work-family conflict sebagai bentuk konflik antar peran dimana tekanan dari peran pekerjaan dan keluarga saling bertentangan. Ketidakcocokan tersebut ditunjukkan dengan kenyataan bahwa partisipasi dalam peran pekerjaan terganggu karena partisipasi dalam memenuhi peran keluarga dan sebaliknya. Greenhaus dan Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk pergeseran dimana tekanan peran dari domain pekerjaan dan
12
keluarga bertentangan satu sama lain dalam beberapa hal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang-orang akan menghabiskan lebih banyak waktu pada peranan yang mereka anggap lebih penting, sehingga hanya akan tersisa sedikit waktu untuk peran lainnya, yang akan meningkatkan kesempatan seseorang untuk mengalami konflik peran. Work-family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran di dalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Work-family conflict juga dapat didefinisikan sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Greenhaus dan Beutell (1985) membedakan work-family conflict menjadi tiga jenis, yaitu: (1) Time-based conflict, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu peran tidak mencukupi atau tidak dapat digunakan untuk menjalankan peran yang lainnya; (2) Strain-based conflict, yaitu tekanan dari satu peran (bisa berasal dari pekerjaan ataupun keluarga) mengganggu pemenuhan kebutuhan untuk peran yang lain; dan (3) Behaviour-based conflict, yaitu ketidaksesuaian antara pola perilaku yang dibutuhkan untuk menjalankan peran yang satu dan yang lainnya. Gutek (dalam Carlson, 2000) mengusulkan agar ketiga jenis work-family conflict ini mempunyai dua arah. Kedua arah tersebut adalah tuntutan di dalam keluarga menganggu seseorang dalam menjalankan tugasnya di pekerjaan (family interference with work/FIW) dan tuntutan di dalam pekerjaan menganggu seseorang untuk menjalankan tugasnya di dalam keluarga (work interference with family/WIF). Sebagian besar penelitian awal yang mengukur work-family conflict tidak mengindentifikasi arah dari konflik tersebut. Hal ini berarti, peneliti tidak
13
menyelidiki apakah peran di dalam pekerjaan mencampuri urusan dalam keluarga atau sebaliknya, peran di dalam keluarga mencampuri urusan pekerjaan (Mesmer-Magnus & Viswesvaran, 2005). Oleh karena itu, Netemeyer, Boles, dan McMurrian (1996) kemudian melakukan penelitian untuk memvalidasi alat ukur work-family conflict (WFC) dan family-work conflict (FWC) karena kedua konstruk ini secara konseptual berbeda. Netemeyer, dkk. (1996) mendefinisikan work-family conflict sebagai sebuah bentuk konflik antar peran, dimana general demands, waktu yang dibutuhkan, dan ketegangan (strain) yang berasal dari pekerjaan mengganggu seseorang dalam melakukan tanggung jawabnya di dalam keluarga. Kemudian, family-work conflict adalah bentuk konflik antar peran dimana general demands, waktu yang dibutuhkan, dan ketegangan (strain) yang berasal dari keluarga mengganggu seseorang dalam melakukan tanggung jawabnya di pekerjaan. WFC terjadi ketika kegiatan yang yang berhubungan dengan pekerjaan mengganggu tanggung jawab rumah, misalnya membawa pulang pekerjaan dan mencoba untuk menyelesaikannya di rumah dengan mengorbankan waktu keluarga. FWC muncul ketika tanggung jawab yang berkaitan dengan peran di dalam keluarga menghambat aktivitas kerja, misalnya harus membatalkan pertemuan penting karena seorang anak tiba-tiba jatuh sakit (Noor, 2003 dalam Namayandeh, Yaacob & Juhari, 2010). Burke dan Greenglass (1999) menemukan bahwa stres kerja dan tuntutan kerja adalah prediktor terkuat dari work-family conflict. Sejumlah besar penelitian juga menunjukkan bahwa tuntutan pekerjaan seperti jumlah jam kerja, beban kerja dan shift kerja secara positif sangat diasosiasikan dengan WFC (Higgins & Duxbury, 1992).
14
Definisi work-family conflict yang digunakan dalam penelitian ini adalah definisi work-family conflict yang dibuat oleh Greenhaus & Beutell (1985) yaitu sebuah bentuk konflik peran dimana tuntutan peran yang berasal dari pekerjaan menganggu seseorang dalam menjalankan perannya di dalam keluarga, yang terdiri dari time-based conflict, strain-based conflict, dan behaviour-based conflict. Definisi ini dipakai dalam penelitian karena memiliki konsep yang lebih jelas dan lengkap, disertai dengan arah dan jenis konflik dibandingkan definisi work-family conflict lainnya. Work-family
conflict
bisa
memberikan
dampak
yang
luas
bagi
keberfungsian dan kesejahteraan individu, keluarga, organisasi, maupun masyarakat (Hassan, Dollard, & Winefield, 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa work-family conflict memiliki hubungan negatif yang kuat dengan kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan performance dalam organisasi serta kesehatan dan perilaku individu baik dalam domain pekerjaan maupun keluarga (Rotondo, Carlson, & Kincaid, 2003; Hassan, dkk., 2010). Penelitian empiris selama sepuluh tahun terakhir juga telah menemukan hasil bahwa work-family conflict/family-work conflict merupakan faktor pendukung atau anteseden dari work engagement (Halbesleban, dkk., 2009; Peeters, Montgomery, Bakker, & Schaufeli, 2005; Montgomery, Peeters, Schaufeli, & Den Ouden, 2003; Opie & Henn, 2013). Work-family conflict merupakan prediktor yang signifikan bagi work engagement, yaitu semakin tinggi tingkat work-family conflict dikaitkan dengan semakin rendahnya work engagement (Opie & Henn, 2008). Konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh work-family conflict adalah meningkatkan tingkat absensi, meningkatkan turnover, dan menurunkan kesehatan karyawan tersebut baik secara psikologis maupun fisik (Greenhaus &