3
melihat melalui sekelompok praktek dan kondisi obyektif dari sebuah organisasi (sebagai contoh yaitu kebijaksanaan mengenai promosi, supervisi yang demokratis, keterlibatan karyawan, dan kondisi kerja yang aman). Sudut pandang yang kedua, melihat melalui persepsi karyawan bahwa mereka aman, secara relatif merasa puas, memiliki keseimbangan kehidupan kerja, dan mereka mampu untuk tumbuh dan berkembang sebagai mahluk hidup seutuhnya. Kedua pandangan ini pada akhirnya bergabung menjadi satu, ketika seorang karyawan menyukai organisasi, cara bagaimana pekerjaan mereka terstruktur, dan kebutuhannya terpenuhi maka ia dikatakan memiliki kualitas kehidupan kerja yang baik. Kondisi ini tidak ditemui pada semua organisasi sehingga definisi lain dari QWL lebih bersifat subyektif yaitu persepsi individu terhadap kesejahteraan fisik dan mental mereka di tempat kerja. Jaganathan dan Akhila (2009) mengatakan bahwa secara konsep QWL dekat dengan kesejahteraan dari karyawan, tidak hanya terkait dengan faktor kerja seperti kepuasan di tempat kerja, upah karyawan, akan tetapi juga melihat dari perspektif kesejahteraan karyawan secara umum, dan kepuasan dalam hidup. QWL sendiri memberikan pengaruh positif kepada perusahaan, diantaranya pada komitmen kerja karyawan (Daud, 2010), performansi bisnis (May, Lau, & Johnsons, 1999), dan kepuasan kerja (Saad, Ainon & Juhdi, 2008), serta memiliki korelasi negatif dengan agresivitas pada karyawan (Porkiani, Yadollahi, Sardini & Ghayoomi, 2011). Lochan (2008) menemukan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi QWL dari para supir bis Munipicial Corporation adalah kesempatan untuk bersosialisasi dengan sesama supir, sehingga kebutuhan mereka akan humor dan
4
keseimbangan terpenuhi. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa adanya tuntutan kerja dan tekanan terhadap waktu merupakan kondisi sehari-hari yang dapat menimbulkan stres diantara para supir bis. Penelitian yang serupa juga terjadi pada profesi perawat di Kanada. Penelitian yang dilakukan Sirgy, Efraty, Siegel, dan Lee (2001) dalam penelitiannya mengatakan bahwa QWL adalah pemenuhan kebutuhan karyawan yang diperoleh melalui sumber daya, aktivitas, dan hasil yang diperoleh melalui partisipasi di tempat kerja, diantaranya lingkungan kerja, job requirement, perilaku supervisor dan program tambahan memiliki hubungan positif dengan QWL. Pada penelitian ini. QWL dilihat melalui teori kebutuhan Maslow dengan asumsi bahwa ketika kebutuhan karyawan akan terpenuhi, maka QWL mereka akan baik. Pada penelitian ini, terdapat tujuh kebutuhan utama yang menjadi konstruk dari QWL, yaitu a) kebutuhan akan rasa aman dan kesehatan, b) kebutuhan ekonomi dan gaji, c) kebutuhan sosial, d) kebutuhan akan penghargaan diri,
e) kebutuhan aktulisasi diri, f) kebutuhan akan pengetahuan, dan g)
kebutuhan akan keindahan dan seni. Bank sebagai sebuah lembaga keuangan yang memberikan pelayanan dalam bentuk jasa, serta berorientasi untuk mencari profit, akan meletakkan pelayanan sebagai salah satu cara untuk memperoleh kepercayaan dari nasabahnya. Hal ini juga ditemui pada Bank R, sesuai visinya, yaitu menjadi bank komersial yang mengutamakan kepuasan nasabah, dengan salah satu misi untuk memberikan pelayanan prima kepada nasabahnya. Pelayanan secara keseluruhan dari setiap sumber daya manusia yang bekerja di sebuah bank, tentu akan dipengaruhi faktor manusia, maupun faktor lingkungan yang ada. Ketika faktor
5
lingkungan tidak mendukung, maka faktor manusia sebagai penyedia layanan akan menjadi kurang optimal. Tuntutan untuk mencapai target, maupun untuk memberikan pelayanan kepada seluruh nasabah secara optimal tentu akan mempengaruhi kualitas kehidupan kerja setiap karyawan yang berada di bank. Ketika karyawan merasa kebutuhannya tidak terpenuhi dari tempat dia bekerja, dengan tuntutan yang secara terus menerus dihadapinya, maka akan memunculkan perilaku turn over, menurunkan performa bisnis, bahkan upaya-upaya agresivitas dalam bentuk tindakan-tindakan pidana perbankan untuk mencapai target yang diberikan. Kualitas kehidupan kerja yang baik dalam sebuah bank diharapkan mampu meningkatkan kinerja karyawan, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif kepada perusahaan. Karyawan menghabiskan hampir sebagian besar waktunya berada di tempat kerja. Banyak interaksi yang akan dilakukan dengan orang-orang yang berada di lingkungan kerjanya, salah satunya adalah atasan atau supervisor karyawan
tersebut.
Bagaimana
cara
atasan
melakukan
supervisi
akan
mempengaruhi QWL karyawan bersangkutan. Gillbreath dan Karimi (2012) menunjukan bahwa persepsi karyawan terhadap dukungan atasan akan memperngaruhi perilaku presenteeism, yaitu sebuah kondisi ketika karyawan hadir secara fisik, namun tidak secara mental, sebagai akibat atmosfer lingkungan kerja yang negatif. Penelitian ini mengemukakan bahwa presenteeism terkait erat dengan kualitas kehidupan kerja di sebuah organisasi. Dukungan sosial berupa pengakuan dari supervisor juga akan mempengaruhi QWL dari para perawat, maupun strategi coping yang dilakukan dalam menghadapi situasi kerja yang
6
menimbulkan tekanan (Barzegar, Afzal, Tabibi, & Delgoshae, 2012; Sale & Smoke, 2007). Bagaimana cara supervisor memberikan dukungan akan dipersepsi secara subyektif oleh masing-masing karyawan. Persepsi terhadap dukungan atasan ini dikenal dengan istilah Perceived Supervisory Support (PSS). Eisenberger, Stinglhamber, Vandenberghe, Sucharsky, dan Rhoades (2002) mendefinisikan PSS sebagai pandangan secara umum mengenai sejauh mana supervisor memberikan penghargaan terhadap kontribusi karyawan, dan peduli mengenai kesejahteraan mereka.
Di lapangan, rutinitas kerja mengakibatkan
hubungan antara atasan dan bawahan terkadang hanya terbatas pada tugas-tugas kerja seperti membahas mengenai pencapaian target perusahaan, mengatasi komplain yang muncul dari pelanggan. Karyawan bertahan di perusahaan hanya lebih dikarenakan status, gaji, dan bukan dilandasi oleh komitmen dan keinginan untuk memberikan kontribusi lebih pada organisasi tempat mereka berada. Disinilah peran supervisor menjadi penting, baik untuk menanamkan budaya yang ada di perusahaan, maupun membangun atmosfer positif diantara karyawan. Persepi sendiri
menurut
Robbins
(2003)
adalah
sebuah proses
mengorganisasi dan memberikan interpretasi dari sensori untuk memberikan arti pada lingkungan mereka. Lebih lanjut, dikemukakan bahwa terdapat beberapa hal yang mempengaruhi persepsi itu sendiri, diantaranya: perceiver, target yang sedang dipersepsi, dan situasi ketika proses persepi dilakukan. Kreiner dan Kinicki (2010) mengemukakan bahwa banyak aktivitas yang dipengaruhi oleh persepsi diantaranya adalah proses manajerial, proses organisasi, maupun isu yang berkaitan dengan kualitas kehidupan. Beberapa penelitian yang menunjukkan
7
bahwa persepsi terhadap dukungan supervisor berkaitan dengan hasil dari karyawan diantaranya adalah bahwa persepsi terhadap dukungan supervisor atau PSS memiliki hubungan positif dengan persepsi terhadap dukungan organisasi (POS), dan hubungan negatif dengan turn over karyawan (Eisenberg, Stinglhamber,
Vendeberghe,
Sucharsky,
&
Rhoades,
2002),
PSS
juga
meningkatkan perilaku Organizational Citizanship Behaviour atau OCB dari karyawan (Chen & Chiu, 2008: Noviadli, 2006), komitmen karyawan (Latif & Gulzar, 2011; Pazy & Ganzach, 2006), kepuasan kerja (Grifin, Patterson. & West, 2001), rasa aman secara psikologis (May, Gilson & Harter, 2004), maupun wellbeing dari karyawan (Reb, Narayan & Chaturvedi, 2012). Masing-masing variabel itu merupakan hasil dari kualitas kehidupan kerja yang baik. Penelitian ekperimen yang dilakukan oleh Pelletier dan Vallerand (1996) menunjukkan bahwa ketika supervisor mempersepsi bawahannya termotivasi secara intrinsik, maka ia akan lebih suportif, sehingga bawahan akan memiliki persepsi bahwa dirinya memperoleh dukungan dari supervisor, dan memberikan performansi yang lebih baik. disini berlaku social exchange theory. Ketika bawahan merasa memperoleh dukungan dari atasan, maka sebagai bentuk timbal balik, karyawan akan berkontribusi terhadap organisasi (social exchange theory). Ketika PSS memiliki hubungan yang positif dengan perasaan aman secara psikologis, maka dapat dikatakan bahwa persepsi karyawan terhadap dukungan supervisor akan mempengaruhi kesejahteraan karyawan tersebut. Kreitner dan Kinicki (2010) mengungkapkan bahwa pada penelitian yang lampau, karyawan akan menunjukkan perilaku kerja yang tidak produktif, ketika
8
mereka mempersepsikan bahwa mereka diperlakukan tidak adil. Cascio (2006) juga mengungkapkan bahwa ketidakadilan perlakuan yang diterima karyawan akan mempengaruhi baik performansi, maupun QWL dari karyawan tersebut. Suatu kondisi ketika karyawan mempersepsi dirinya diperlakukan adil di tempat kerjanya disebut dengan organizational justice atau keadilan organisasi. Lebih lanjut, terdapat tiga komponen dari keadilan organisasi yaitu a) Keadilan distributif atau persepsi keadilan yang muncul melalui bagaimana sumber dan hasil dialokasikan atau didistribusikan. Keadilan prosedural atau persepsi keadilan yang muncul dari proses dan prosedur yang pengalokasian untuk membuat keputusan. Komponen ketiga adalah keadilan interaksional atau kualitas dari perlakuan
interpersonal
yang
diterima
karyawan
ketika
prosedur
diimplementasikan (Kreitner & Kinicki, 2010). Beberapa penelitian mengenai ketiga komponen keadilan ini antara lain penelitian oleh Loi, Lam dan Chan (2012) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara keadilan prosedural dengan rasa tidak aman ketika bekerja. Ketidakamanan kerja yang dirasakan oleh seorang karyawan akan mampu mempengaruhi kualitas kehidupan kerja dari karyawan tersebut. Pada penelitian mengenai hubungan antara diskriminasi dengan kesejahteraan karyawan yang dimediasi dengan keadilan prosedural dan distributif menunjukkan karyawan dengan persepsi keadilan (baik distributif maupun prosedural) yang tinggi, akan memiliki kepuasan kerja yang tinggi, dan memiliki kesejahteraan yang tinggi juga, penelitian ini menunjukkan bahwa keadilan distributif memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap kesejahteraan dibandingkan dengan keadilan prosedural (Wood, Braeken &
9
Niven, 2012). Ketiga komponen keadilan organisasi ini juga memiliki hubungan yang positif dengan performansi dan OCB, dan ketika dimediasi oleh LMX atau Leader-Member Exchange, yang paling memiliki pengaruh paling kuat adalah keadilan interaksional (Burton, Sablynski & Sekiguchi, 2008). Hal ini dapat disebabkan karena proses pengimplementasian keadilan banyak terkait dengan hubungan atasan-bawahan atau yang dikenal dengan LMX, sehingga hasil penelitian tersebut memiliki hubungan dengan proses keadilan interaksional. Penelitian yang dilakukan oleh Rani, Garg, dan Rastogi (2012) menunjukkan bahwa dari ketiga dimensi keadilan organisasi, yang memiliki korelasi paling tinggi dengan kesejahteraan psikologis adalah keadilan prosedural, sehingga pada penelitian ini akan digunakan sebagai variabel prediktor kualitas kehidupan kerja. Ketika seorang karyawan berada dalam sebuah organisasi, maka selain faktor
lingkungan seperti persepsi karyawan terhadap dukungan yang
diperolehnya dari supervisor atau PSS, dan keadilan organisasi, maka akan ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhinya yaitu faktor manusia atau dari karyawan tersebut. Faktor yang dimaksud salah satunya adalah kepribadian, cara individu berespon terhadap suatu situasi tertentu akan dipengaruhi tipe kepribadian, sehingga akan mempengaruhi kualitas kehidupan kerjanya. Sebuah situasi yang sama dapat direspon berbeda oleh orang dengan tipe kepribadian yang berbeda. Hal ini sesuai dengan definisi kepribadian yang dimukakan oleh Robbins (2003) yang mengatakan bahwa kepribadian adalah jumlah total cara individu bereaksi dan berinteraksi dengan orang lain. Salah satu teori kepribadian yang ada adalah The Big Five Personalities yang menyebutkan lima tipe
10
kepribadian, yaitu a) extraversion, tipe ini memiliki karakteristik ramah, suka berbicara, suka bersosialisasi, dan asertif b) agreeableness yaitu individu yang ramah, dapat dipercaya, mudah bekerja sama, dan lembut hatinya. c) conscientiousness, tipe kepribadian ini memiliki karakteristik dapat dipercaya, bertanggung jawab, berorientasi pada prestasi, dan gigih, d) stabilitas emosi (kebalikannya neuroticism) yaitu individu yang relaks, melindungi, jarang merasa khawatir, e) openness to experience yaitu tipe kepribadian dengan ciri-ciri intelektual, imajinatif, penuh rasa ingin tahu, berpikiran terbuka (Kreiner & Kinicki, 2010). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa dari proses meta analisis yang dilakukan pada 117 studi dan melibatkan 23.994 karyawan dari berbagai profesi menunjukkan bahwa tipe conscientiousness memiliki hubungan positif yang kuat dengan performansi kerja dan training, sementara tipe extraversion memiliki hubungan yang positif dengan promosi, tingkat gaji, dan kepuasan terhadap karir. Beberapa penelitian yang juga mengambil tema mengenai Big Five Personalities yang dihubungkan langsung dengan Subjective Well Being atau SWB, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Schimmack, Schupp, dan Wagner (2008) yang menunjukkan bahwa tipe neuroticism (kebalikan dari stabilitas emosi) merupakan tipe kepribadian dari Big Five Personalities yang menjadi prediktor yang paling kuat dari kesejahteraan afektif, yaitu salah satu faktor dari SWB. Penelitian dari Ha dan Kim (2012) tentang Big Five Personalities dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tipe kepribadian ekstrovert dan stabilitas emosi, dengan kepuasaan hidup dan kebahagiaan. Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa
11
muslim Iran yang dilakukan oleh Joshanloo dan Afshari (2009) menunjukkan bahwa tipe neuroticism dan ektrovert merupakan prediktor terkuat dari kepuasan hidup. Penelitian Liao, Yang, Wang, Drown dan Shi (2012) menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat ekstroversi yang tinggi dan rendah di dalam neuroticism akan memiliki hubungan positif dengan team-member exchange. Dari sini dapat disimpulkan bahwa terdapat dua tipe kepribadian yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan adalah ekstrovert dan stabilitas emosi (kebalikan dari neuroticism), akan tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Albuquerque, De Lima, Matos dan Figuiredo (2012) menunjukkan walaupun neuroticism dan ekstrovert memiliki pengaruh terhadap SWB, hanya tipe neuroticism yang mampu untuk secara langsung dan tidak langsung memprediksi setiap komponen dari SWB. Oleh karena itu pada penelitian ini tipe kepribadian atabilitas emosi akan digunakan sebagai prediktor yang akan mempengaruhi kualitas dari kehidupan kerja karyawan. Beberapa survey mengenai kualitas kehidupan kerja (Thirion, Machias, & Hurley, & Vermeylen, 2007), menunjukkan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja antara lain faktor lingkungan diantaranya dukungan atasan. Ketika supervisor mempertimbangkan tujuan, dan nilai seorang karyawan, peduli dengan pendapat karyawan, serta bersedia membantu ketika karyawan mengalami kesulitan, maka beberapa kebutuhan akan terpenuhi diantaranya kebutuhan akan rasa aman dan kesehatan. Karyawan akan merasa aman, ketika mempersepsi bahwa atasan memberikan dukungan, selain itu kebutuhan akan penghargaan juga terpenuhi, melalui penghargaan yang diberikan
12
atasan terhadap kontribusinya. Kebutuhan akan pengetahuan, dan aktualisasi diri dalam pemenuhannya memerlukan adanya dukungan dari atasan, sebagai orang yang menjadi mentor, maupun pimpinan yang mampu memotivasi karyawan. Konsistensi, akurasi, dan etika dalam penerapan keadilan prosedural, juga akan mempengaruhi terpenuhinya beberapa kebutuhan, yang merupakan bagian dari kualitas kehidupan kerja. Perasaan aman, puas secara ekonomi, serta mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki, akan terpenuhi ketika keputusankeputusan yang dibuat dipersepsi adil. Hal ini terkait dengan kemampuan karyawan dalam mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Stabilitas emosi, sebagai tipe kepribadian dengan ciri dapat mengatasi kecemasan, dan tidak selalu merasa khawatir, dapat mempengaruhi persepsi karyawan terhadap respon lingkungan. Stabilitas emosi dapat mempengaruhi rasa aman, kebutuhan sosial, penghargaan, maupun aktualisasi diri. Tugas-tugas baru yang dapat meningkatkan potensi diri, maupun meningkatkan kreativitas karyawan, dapat dipandang sebagai sumber kecemasan pada karyawan dengan stabilitas emosi yang rendah, sehingga mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karyawan.
Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa ketika karyawan tidak merasakan dukungan dari atasan, akan tetapi prosedur perusahaan dipersepsi adil, maka karyawan tersebut akan mampu memiliki kesejahteraan yang baik. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja adalah manajemen emosi. Karyawan dengan manajemen emosi yang baik, ketika menghadapi atasan dengan cara-cara yang cenderung agresif,
13
akan mampu
mengelola timbulnya konflik
yang dapat
mempengaruhi
kesejahteraannya (Choi, 2010). Berikut adalah kerangka penelitian ini:
Persepsi terhadap dukungan atasan
Stabilitas Emosi
Kualitas Kehidupan Kerja
Keadilan prosedural
Gambar 1. Kerangka penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari persepsi dukungan atasan, keadilan prosedural, dan stabilitas emosi terhadap kualitas kehidupan kerja. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu organisasi untuk menyadari pentingnya peran supervisor atau atasan, dalam memberikan dukungan, dan bagaimana persepsi karyawan terhadap keadilan terkait proses pengambilan keputusan terhadap kualitas kehidupan kerja karyawan. Selain itu, penelitian ini juga ingin mengetahui sejauh apa pengaruh tipe kepribadian stabilitas emosi pada karyawan terhadap QWL, sehingga dapat membantu organisasi dalam memberikan pertimbangan ketika melakukan rekrutmen. Hipotesis penelitian ini adalah: persepsi terhadap dukungan atasan, keadilan prosedural, dan stabilitas emosi merupakan prediktor dari kualitas kehidupan kerja karyawan salah satu cabang PT. Bank R., Yogyakarta. .