MEKANISME KERJA SAMBILOTO (Andrographis paniculata) SEBAGAI ANTIDIABETES
ARIS WIBUDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis paniculata) Sebagai Antidiabetes adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Februari 2006
Aris Wibudi NIM G426010121
ABSTRAK ARIS WIBUDI. Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai Antidiabetes. Dibimbing oleh BAMBANG KIRANADI, WASMEN MANALU, ADI WINARTO dan SLAMET SUYONO. Dalam penelitian terdahulu telah dibuktikan bahwa Andrographis paniculata (AP) bersifat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus diabetesSTZ dan kelinci diabetes-aloksan, dan semua penelitian tersebut mengarahkan dugaan bahwa AP bekerja pada organ ekstra-pankreas. Sampai saat ini belum ada penelitian yang mempelajari pengaruh AP pada sel β pankreas. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh AP pada sel β pankreas. BRIN-BD11 yang diinkubasi selama satu jam dalam media yang mengandung glukosa 16.7 mM + 0.625-2.5 mg/mL AP, menunjukkan respon sekresi insulin 1.7-3.73 kali lebih tinggi (p = 0.003 – p < 0.001) dibanding dengan glukosa 16.7 mM saja. Respon sekresi insulin meningkat 1.5 kali (p = 0.034) dan 2.3 kali (p = 0.001) dalam media 1.25 dan 2.5 mg/mL AP, dibanding dengan 100 μM glibenklamid. Pada konsentrasi 5 dan 10 mg/mL AP, terjadi penurunan respon insulinotropik BRIN-BD11 hingga 50.7 – 79.5% (p = 0.001) dibanding dengan 2.5 mg/mL AP. BRIN-BD11 yang diinkubasi selama 20 menit dalam media glukosa 16.7 mM + 0.625 – 5 mg/mL AP, menunjukkan respon sekresi insulin 1.4 – 4.7 kali lebih tinggi ( p = 0.002 – p < 0.001) dibanding dengan glukosa 16.7 mM saja. BRIN-BD11 yang diinkubasi selama 20 menit dalam media yang mengandung glukosa 1.11 mM + 0.625 – 10 mg/mL AP, menunjukkan respon sekresi insulin 1.3 – 2.7 kali lebih tinggi (p = 0.019 – p < 0.001) dibanding dengan glukosa 16.7 mM saja. Pemberian 0.5 mM diazoxide dan 0.1 mM verapamil, dapat menghambat respon insulinotropik 2.5 mg/mL AP pada BRIN-BD11 sebesar 32% (p < 0.001) dan 31% ( p = 0.008). Di samping itu 0.1 mM verapamil menghambat sekresi insulin BRIN-BD11 akibat 25 meq KCL sebesar 64% ( p < 0.001). Dalam kondisi terdepolarisasi oleh 25 meq KCL, 0.625 dan 1.25 mg/mL AP masih dapat meningkatkan sekresi insulin BRIN-BD11 sebesar 14% ( p = 0.017) dan 34% ( p < 0.001). AP bersifat insulinotropik atau insulin sekretagog yang kuat, yang meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi, dan bisa bekerja tanpa bergantung pada keberadaan glukosa, serta bekerja pada mekanisme sekresi insulin alur triggering pathway, baik K+ATP-dependent maupun - independent pathway. Di samping itu, AP juga sangat mungkin bekerja pada alur amplifying pathway.
ABSTRACT ARIS WIBUDI. Mechanism of Action of Andrographis paniculata as an Antidiabetic. Under the direction of BAMBANG KIRANADI, WASMEN MANALU, ADI WINARTO, and SLAMET SUYONO. Studies of Andrographis paniculata (AP) had shown hypoglycaemic effect in Streptozotozin Diabetic Rats and Alloxan Diabetic Rabbits, and all of the studies suggested that AP affected extrapancreatic organs. There was no study the effect of AP to pancreatic β cells. The aim of this study is to learn the effect of AP to pancreatic β cells by measuring the insulin release from clonal glucoseresponsive insulin secreting cells BRIN-BD11 during acute 20 and 60 minuteincubation (n=3-4). One hour of incubation with 0.625-2.5 mg/mL AP, BRIN-BD11 evoked 1.7-3.73 fold (p = 0.003 – p <0.001) insulin secretory responses at 16.7 mM glucose. Interestingly the insulin response was elevated by 1.5 fold (p = 0.034) dan 2.3 fold (p = 0.001) at 1.25 mg/ mL and 2.5 mg/mL AP respectively, compared to that folowing administration of 100 μM glibenclamide. The insulinotropic response of BRIN-BD11 were abolished by 50.7%-79.5% (p = 0,001) at 5 and 10 mg/mL AP respectively, compared to 2.5 mg/mL AP. Twenty minutes incubation with 0.625-5 mg/mL AP, BRIN-BD11 also evoked 1.4 - 4.7 fold (p = 0.002 – p < 0.001) insulin secretory responses at 16.7mM glucose. These results showed that the insulinotropic effects of AP exhibited dose- and glucosedependent pattern, and may suggest that high dose AP possesses a calcium channel blocking activity exerted primarily in a depolarizing condition. Twenty minutes incubation with 1.25 -10 mg/mL AP evoked 1.6 - 2.6 fold (p = 0.03 – p = 0.001) insulin secretory response at 1.11 mM glucosa. These results showed that the insulinotropic effects of AP exhibited dose-dependent and glucoseindependent pattern. Insulin secretory respons at 2.5 mg/mL AP was abolished by 32% (p < 0.001) and 31% (p = 0.008) when 0.5 mM Diazoxide and 0.1 mM Verapamil was administered, respectively. On the other side, 0.1 mM verapamil abolished insulin secretory response by 64% (p < 0,001) in 20 minute-incubation of BRIN-BD11 exerted primarily in a depolarizing conditon (25 meq KCl). In a depolarizing condition by KCl 25 meq, 0.625 and 1.25 mg/mL AP showed an increase of insulin respons by 14% (p = 0.017) and 34% (p < 0.01) respectively. It is concluded that Andrographis paniculata has a very strong insulinotropic property, whish is dose-dependent, glucose-dependent and dependent, and exihibits triggering pathway, both K+ATP-dependent and independent channel, and also suggest affects the amplifying pathway of insulinsecretory actions in BRIN-BD11 cells.
© Hak cipta milik Aris Wibudi, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya
MEKANISME KERJA SAMBILOTO (Andrographis paniculata) SEBAGAI ANTIDIABETES
ARIS WIBUDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Penelitian Nama NIM
: Mekanisme Kerja Sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai Antidiabetes : Aris Wibudi : G426010121
Disetujui Komisi Pembimbing
Bambang Kiranadi M.Sc.Ph.D Ketua
drh. Adi Winarto Ph.D Anggota
Prof.Dr.Ir. Wasmen Manalu Anggota
Prof.dr.Slamet Suyono Sp.PD,KEMD Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dedi Duryadi Solihin, DEA
Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc
Tanggal Ujian: 27 Maret 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2005 ini ialah herbal antidiabetik,
dengan
judul
Mekanisme
Kerja
Sambiloto
(Andrographis
paniculata) sebagai Antidiabetes. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Bambang Kiranadi Ph.D, Prof.Dr.Ir. Wasmen Manalu, drh. Adi Winarto Ph.D, dan Prof.dr. Slamet Suyono Sp.PD-KEMD selaku pembimbing, serta Bapak Prof.Dr.dr.Andrè Herchuelz yang telah memberikan sel lestari penghasil insulin BRIN-BD11, sebagai organ uji dan pelatihan serta arahan dalam teknik penelitian, sdri Silmi Mariya SSi dan seluruh staf laboratorium virologi yang tanpa lelah memberikan pelatihan khusus kultur sel, dan Kepala Laboratorium Virologi, LPPM, PSSP, IPB Bogor yang memberikan fasilitas laboratorium untuk pelaksanaan penelitian ini. Di samping itu, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Kesehatan TNI-AD dan Kepala RSPAD Gatot Soebroto yang telah memberikan kesempatan yang sangat berharga ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada PT. Aventis Farma Indonesia yang memberikan bahan aktif glibenklamid, dan PT. Dexa Medika yang memberikan DMSO dan verapamil. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2006 Aris Wibudi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Walikukun, Ngawi pada tanggal 27 April 1954 sebagai anak sulung dari pasangan Asih Windrojo dan Ishwandari. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus pada tahun 1980. Pada tahun 1986, penulis diterima di Program Studi Spesialis 1, pada Program Pascasarjana UI bidang Ilmu Penyakit Dalam dan menamatkannya pada tahun 1991. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Biologi, Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2001, dengan biaya sendiri. Pada tahun 1981, penulis mengawali tugasnya sebagai dokter Batalyon 741 di Singaraja, Bali dan selanjutnya pada tahun 1983 dipindahtugaskan sebagai dokter Batalyon 745 di Baucau, Timor Timur. Pada tahun 1985, penulis dipindahtugaskan menjadi Wakil Komandan Detasemen Kesehatan 164 di Dili, Timor Timur. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis, penulis ditugaskan sebagai dokter spesialis penyakit dalam di RS.Ridwan Meuraksa, Jakarta sampai tahun1998. Pada tahun 1998 penulis kembali dipindahtugaskan ke RSPAD Gatot Soebroto. Sejak bulan Oktober tahun 2004 penulis ditugaskan sebagai dokter pribadi Presiden RI. Di samping tugas pokok tersebut di atas, penulis sempat ditugaskan sebagai Kepala Seksi Operasi Batalyon Kesehatan, Kontingen Garuda XIV, Pasukan Penjaga Perdamaian PBB di Bosnia Herzegovina pada tahun 1995 sampai dengan 1996.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................
v
PENDAHULUAN Latar Belakang............................................................................
1
Tujuan dan Kegunaan.................................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP)………………….
9
Kanal ion kalsium (Ca2+ channels)……………………………
13
Ultrastruktur granul insulin.......................................................
16
Fisiologi sekresi insulin.............................................................
18
BRIN-BD11...............................................................................
27
Sambiloto (Andrographis paniculata).......................................
30
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).......................
35
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu....................................................................
38
Bahan Penelitian.......................................................................
38
Penyiapan Ekstraksi Sambiloto................................................
38
Penyiapan Berbagai Media......................................................
39
Penyiapan BRIN-BD11...........................................................
45
Metode Penelitian....................................................................
49
HASIL DAN PEMBAHASAN Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11...................
54
Pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase cepat……..…..
58
Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog……..
63
SIMPULAN .........................................................................................
78
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................
79
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3 yang mengandung glukosa 16.7 mM dan diinkubasi selama 60 dan 20 menit....................
54
2 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik glibenklamid dan KCL 25 meq pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3 yang mengandung glukosa 16.7 mM dan diinkubasi selama 60 dan 20menit.......................................................................................
55
3 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media KRB yang mengan dung glukosa 1.11 mM dan diinkubasi selama 20 menit.......................
60
4 Inhibisi efek insulinotropik 2.5 mg/mL sambiloto pada BRIN-BD11 oleh diazoxide dan verapamil dalam media dengan kandungan glukosa 1.11 mM yang diinkubasi selama 20 menit...................................................................................... 69 5 Inhibisi diazoxide dan verapamil pada sekresi insulin BRIN-BD11 pada media yang mengandung glukosa 1.11 mM dan KCL 25 meq....................................................................................
70
6 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam keadaan terdepolarisasi oleh KCl 25 meq……………………………... 75
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang diinkubasi dalam larutan glukosa 11.1 mM.................... 8
2
Ilustrasi ATP-dependent K+ channel....................................................... 10
3
Ilustrasi kompleks ATP-dependent K+ channel……………………….. 11
4
Aktivitas elektrik sel β pankreas………………………………………. 12
5
Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian gliburid dan diazoxide.......................................................................................
13
6
Ilustrasi kanal kalsium VDCC............................................................
14
7
Ultrastruktur sel β pankreas tikus.......................................................
16
8
Ilustrasi pola sekresi insulin dan pool granul.....................................
17
9
Ilustrasi protein SNARE, granul insulin dan VDCC.........................
18
10 Ilustrasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sekresi insulin.....................................................................................
20
11 Skema tiga sumber pembentukan ATP..............................................
21
12 Ilustrasi tahapan proses fisiologik sekresi insulin …………………
22
13 Skema fisiologi sekresi insulin…………………………………….
24
14 Peran Potassium-dependent channel (KV2.1) dalam mekanisme Glucose competence concept oleh GLP-1…………………………
26
15 BRIN-BD11 pada hari ke 0………………………………………
29
16 BRIN-BD11 pada hari ke-3............................................................
29
17 BRIN-BD11 pada hari ke-7...........................................................
30
18 Foto tanaman sambiloto................................................................
31
19 Rumus bangun andrografolid.......................................................
32
iv
Halaman 20 Ilustrasi tahapan proses yang terjadi pada metode direct Sandwich ELISA……………………………………………..…
36
21 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik berbagai kondisi pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3…………...........
56
22 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media glukosa 16.7 mM dan diinkubasi 20 menit.........................................................................
59
23 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media glukosa 1.11 mM dan diinkubasi selama 20 menit………..
61
24 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11dalam media glukosa 16.7 mM dan 1.11 mM dan diinkubasi selama 20 menit..........................................................................................
62
25 Grafik sekresi insulin BRIN-BD 11 selama inkubasi 20 menit dalam media KRB-1 dengan pemberian sambiloto........................
64
26 Grafik double reciprocal plot dari respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 selama inkubasi 20 menit……..….
65
27 Inhibisi respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 oleh diazoxide dan verapamil dalam media glukosa 1.11 mM dan inkubasi 20 menit....................................................................
69
28 Sekresi insulin BRIN-BD11 pada berbagai kondisi dalam media glukosa 1.11 mM................................................................
71
29 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 pada kondisi terdepolarisasi oleh KCl 25 meq dalam media KRB-1 dan diinkubasi selama 20 menit………………………………….
76
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Surat keterangan tentang Sambiloto dari BALITTRO........…………. 86
PENDAHULUAN Latar Belakang Satu dari empat pilar penatalaksanaan diabetes melitus (DM), khususnya DM tipe-2 adalah terapi medikamentosa, termasuk terapi herbal. Obat antidiabetes oral (OAD) termasuk herbal, sebaiknya tidak hanya diketahui manfaat dalam kendali glikemiknya saja, tetapi sangat penting diketahui target organ serta mekanisme kerja obat tersebut. Anjuran ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak semua OAD bersifat hipoglikemik, hanya golongan insulin sekretagog saja yang dikenal sebagai bahan yang bersifat hipoglikemik. Suatu bahan yang bermanfaat sebagai antidiabetes haruslah bersifat paling tidak salah satu dari mekanisme atau termasuk dalam salah satu kategori di bawah ini: 1.
Insulin sekretagog, yaitu bersifat insulinotropik atau dapat memicu sekresi insulin terutama fase cepat, seperti yang dimiliki oleh semua jenis sulfonilurea dan glinid. Obat golongan ini terutama memperbaiki hiperglikemia prandial, dan sesuai dengan sifatnya yang memperbaiki sekresi insulin, maka golongan ini, terutama yang termasuk dalam masa kerja menengah, potensial mencetuskan kejadian hipoglikemia.
2.
Menekan produksi glukosa oleh hati (Hepatic Glucose Production) seperti yang dimiliki oleh biguanid. Golongan ini tidak memperbaiki sekresi insulin, tetapi lebih bersifat menghambat produksi glukosa hati, sehingga manfaat yang terlihat adalah perbaikan profil glukosa darah puasa, dan tidak potensial mencetuskan hipoglikemia. Dengan perbaikan glukosa darah puasa tentunya akan diikuti perbaikan glukosa prandial, dengan asumsi bahwa defek sekresi insulin fase cepat masih mampu mengatasi lonjakan beban glukosa.
3.
Menghambat enzim glukosidase α. Aktivitas obat golongan ini menghambat enzim yang memecah polisakarida menjadi di- dan mono-sakarida dalam lumen usus, sehingga dapat memperlambat absorbsi glukosa dari saluran cerna. Dengan demikian dapat mengurangi lonjakan kadar glukosa darah prandial. Sudah tentu obat golongan ini tidak akan bermanfaat sama sekali bila komponen makanan yang dikonsumsi sudah dalam bentuk mono atau
2
disakarida seperti glukosa, fruktosa ataupun sukrosa. Sampai saat ini baru ada satu jenis OAD dalam golongan ini yaitu akarbose. Sebetulnya secara alamiah, kandungan yang tinggi dari serat tidak larut dalam air di dalam makanan juga mempunyai sifat yang sama dalam menghambat absorbsi glukosa, tetapi tidak berhubungan dengan mekanisme kerja enzim glukosidase α. 4.
Insulin sensitizer. Golongan ini merupakan golongan OAD terbaru yang dapat memperbaiki resistensi insulin, terutama di jaringan otot, lemak dan juga di hati seperti yang dimiliki golongan tiazolidindion. Golongan ini tidak secara langsung menurunkan gukosa darah seperti yang dimiliki oleh sulfonilurea, tetapi melalui beberapa alur antara lain: a.
Menurunkan asam lemak bebas (Free Fatty Acid=FFA) dalam sirkulasi darah, sehingga memperbaiki kinerja insulin pada organ target.
b.
Menurunkan berbagai sitokin inflamasi sekunder, terutama TNFα, akibat penurunan FFA dalam sirkulasi, yang juga berdampak pada perbaikan kinerja insulin pada organ target, khususnya pada proses autofosforilasi reseptor insulin. Dengan demikian terjadilah perbaikan proses translokasi transporter glukosa isoform 4 (GLUT-4) yang terganggu pada DM tipe-2.
c.
Agonis PPAR γ yang dapat memperbaiki transkripsi GLUT-4 di jaringan otot dan lemak, sehingga dapat memperbaiki gangguan transport glukosa ke dalam sel yang terjadi pada DM tipe-2.
Semua hal tersebut di atas bersifat memperbaiki kerja insulin, baik di jaringan lemak, otot dan hati serta pada sel β pankreas itu sendiri. Dengan demikian obat golongan ini bekerja tanpa meningkatkan sekresi insulin, tetapi memperbaiki kinerja insulin pada organ target seperti otot, lemak dan hati. Obat golongan ini tidak potensial mencetuskan hipoglikemia, tetapi karena mekanisme kerjanya secara tidak langsung, maka efek terapetik penurunan glukosa darah biasanya baru terlihat setelah sekitar 14 hari. Di samping efek tersebut di atas, ada penelitian yang menunjukkan bahwa
3
tiasolidindion dapat memperbaiki kapasitas kandungan granul insulin dalam sel β pankreas, dan efek ini tidak terjadi pada pemberian sulfonilurea maupun metformin. Sampai saat ini, golongan OAD terbanyak yang beredar di seluruh dunia adalah golongan insulin sekretagog yang sangat bermanfaat dalam memperbaiki defek sekresi insulin fase cepat pada DM tipe-2, seperti sulfonilurea turunan dari sulfonamid. Sifat hipoglikemik dari senyawa ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Janbon dan kawan-kawan di Sekolah Kedokteran Montpelier, Perancis. Pemberian sulafonamid pada pengobatan demam tifoid secara oral menimbulkan kematian dan setelah diteliti lebih jauh kematian tersebut diakibatkan oleh penurunan gula darah yang sangat cepat. Dari situ lahirlah generasi pertama obat oral antidiabetes turunan sulfanilamid yakni tolbutamid, disusul oleh glibenklamid dan sampai sekarang masih turunan sulfonilurea akan tetapi lebih canggih dalam mekanisme penanganan penurunan gula darah seperti glimeperid. Sulfonilurea bertahan sampai sekarang sejak diketemukannya pada tahun 1942 (Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). Sebelum diketemukannya antidiabetes turunan sulfonilurea, pengobatan menggunakan herbal juga telah banyak dilakukan. Pengobatan herbal banyak yang berkhasiat akan tetapi banyak juga yang hanya berupa mitologi, oleh karena itu penelitian mekanisme kerja antidiabetes herbal perlu dilakukan. Memahami mekanisme kerja antidiabetes memerlukan pengetahuan tentang penggolongan OAD, tetapi sangat disayangkan pengetahuan penggolongan OAD tersebut tidak banyak diketahui oleh tenaga medis, khususnya yang tidak mendalami diabetes. Ketidaktahuan tentang golongan OAD atau herbal tersebut, potensial menyebabkan kekurangtepatan dalam perencanaan terapi kombinasi. Penggunaan kombinasi OAD dan/atau herbal yang mempunyai organ target yang sama, khususnya golongan insulin sekretagog sudah tentu akan lebih cepat menurunkan kadar glukosa darah, tetapi juga potensial terjadi hipoglikemia yang berkepanjangan. Di samping itu, penggunaan golongan insulin sekretagog secara bersamaan dalam penggunaan kombinasi OAD, tanpa disadari akan meningkatkan beban sel β pankreas, sehingga diperkirakan dapat mempercepat kondisi gagal sekunder. Penggunaan kombinasi OAD yang tepat akan menghasilkan kendali
4
glukosa darah yang optimal, tanpa harus terjadi peningkatan sekresi insulin secara berlebihan, sehingga beban sel β pankreas dapat dikurangi. Agar terhindar dari pemberian dua atau lebih OAD dan/atau herbal yang memiliki mekanisme kerja serta target organ yang sama, perlu diketahui betul mekanisme kerja dan organ target dari berbagai OAD dan herbal tersebut. Berbagai tanaman yang berkhasiat obat, khususnya sebagai antidiabetes telah banyak dipergunakan orang dan diteliti efek hipoglikemiknya (Grover et al, 2002, Yaniv et al, 1987). Pada umumnya penelitian yang dilakukan bersifat penelitian klinis dengan mengamati pengaruh berbagai bahan tradisional terhadap penurunan kadar glukosa darah, baik pada tikus DM yang diberi Streptozotosin (Gray & Flatt, 1998c, Gray & Flatt, 1998a, Babu & Stanely Mainzen Prince, 2004, Bhattacharya et al, 1997), aloksan (Kar et al, 2003, Noor & Ashcroft, 1989, Noor et al, 1989), tikus Wistar normal ataupun tikus diabetes Goto-Kakizaki (Hoa et al, 2004), kelinci DM yang diberi aloksan (Andayani YWR, 2002, Hasan, 1993) ataupun langsung pada penderita DM tipe-2 (Shekhar et al, 2002). Ada pula penelitian yang menilai pengaruh protektif biji klabet, terhadap kerusakan sel β pankreas akibat pemberian aloksan (Widowati et al, 2005). Minimnya informasi mekanisme kerja herbal antidiabetes terlihat pada banyaknya kombinasi herbal antidiabetes yang beredar di pasaran yang hanya mengemukakan kekuatan kombinasi herbal tersebut sebagai agen hipoglikemik tanpa berpikir pengaruh jangka panjangnya, seperti potensial hipoglikemia, ataupun beban sel β pankreas yang diperkirakan dapat menimbulkan gagal sekunder yang lebih dini. Bratawali (Tinospora crispa) telah terbukti bersifat insulinotropik (Noor & Ashcroft, 1989, Noor & Ashcroft, 1998, Noor et al, 1989, Kiranadi, 1990). Kiranadi (1990) mendapatkan bahwa bratawali tidak menimbulkan aktivitas elektrik pada sel β pankreas, sehingga diambil kesimpulan bahwa bratawali tidak bekerja pada kanal K+ATP, tetapi melalui alur yang lain (Kiranadi, 1990). Noor (1998) pada penelitiannya secara in vitro dengan menggunakan sel lestari penghasil insulin HIT-T15, memang mendapatkan bahwa selama inkubasi 60 menit, bratawali bersifat insulin sekretagog, tetapi tidak terlihat adanya aktivitas kanal K+ATP, yang ditunjukkan oleh tidak adanya efluks
86
Rb. Pada penelitian
yang sama juga tidak menunjukkan adanya peningkatan cAMP pada pemberian
5
bratawali. Dengan demikian sangat mungkin bratawali memang bersifat meningkatkan efisiensi ion kalsium intraselular dalam proses sekresi insulin. Penelitian klinis di Thailand juga menunjukkan kegagalan terapi bratawali pada penderita DM tipe-2 yang sudah tidak respons terhadap obat antidiabetes oral yang menolak suntik insulin, bahkan efek samping perburukan fungsi hati dalam kurun waktu 6 bulan (Sangsuwan et al, 2004). Ini tidak serta merta menunjukkan bahwa bratawali tidak bermanfaat sebagai antidiabetes, tetapi lebih tepat dikatakan bahwa bratawali tidak bermanfaat bagi DM dalam fase gagal sekunder, mengingat pemilihan sampel adalah kelompok gagal sekunder, yang tentunya tidak akan terlihat respon perbaikan glukosa darah, bila herbal tersebut bekerja sebagai insulin sekretagog, jadi tergantung pada ketepatan pemilihan sampelnya (Darmansyah, 2002). Kegagalan serupa juga beberapa kali terjadi dalam penelitian klinis herbal antidiabetes di Indonesia, seperti penggunaan serbuk sambiloto dan pare (unpublished). Penelitian di Departemen Nutrisi Manusia, Institut Pertanian, Peshawar, Pakistan (Departmen of Human Nutrition, NWFP Agricultural University) menunjukkan penurunan glukosa puasa, trigliserida, kolesterol total dan kolesterol LDL pada penderita DM tipe-2 bila diberi 1, 3 dan 6 gr serbuk kayu manis (Cinnamomum casia) selama 20 sampai 40 hari (Khan et al, 2003). Jamur Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), dan Viscum album (mistletoe) (Gray & Flatt, 1999) juga terbukti bersifat insulinotropik pada sel lestari penghasil insulin BRIN-BD11, yang serupa dengan mekanisme kerja sulfonilurea sehingga kedua herbal tersebut bisa digolongkan ke dalam insulin sekretagog, karena mampu meningkatkan sekresi insulin dalam waktu 20 menit. Pada penelitian ini sangat mungkin kedua jenis herbal tersebut bekerja pada kanal K+ATP, karena efek insulinotropik yang terjadi terhambat oleh pemberian 0,5 mM diazoxide sebagai antagonis kanal K+ATP. Buncis juga sudah terbukti mempunyai pengaruh menurunkan glukosa darah pada kelinci DM aloksan, tetapi belum diketahui secara pasti mekanisme kerjanya (Andayani YWR, 2002). Perlu diperhatikan penggunaan aloksan sebagai zat diabetogenik, karena ada laporan yang mengatakan bahwa aloksan bersifat reversibel, tetapi tidak dengan streptozotosin.
6
Sambiloto (Andrographis paniculata) sudah terbukti dapat menurunkan glukosa darah, baik pada tikus DM yang diberi streptozotosin (Mafauzy et al, 2002, Niki et al, 2003, Nunemaker et al, 2004, Zhang & Tan, 2000) maupun pada kelinci DM yang diberi Streptozotosin (Borhanuddin et al, 1994), akan tetapi pada penelitian tersebut belum dipelajari lebih lanjut bagaimana mekanisme kerja dari sambiloto tersebut dalam menurunkan glukosa darah. Dari penelitian tersebut di atas, ada beberapa dugaan mekanisme kerja sambiloto sebagai antidiabetes, antara lain: 1.
Hambatan absorbsi glukosa dari usus. Kesimpulan ini didapat dari penelitian yang mengamati pencegahan hiperglikemia pada kelinci nondiabetik yang diberi beban glukosa 2 mg/kgBB secara oral dan diberi minum ekstrak air sambiloto dengan dosis 10 mg/kgBB, tetapi pencegahan hiperglikemia tidak terjadi pada kelinci yang diberi adrenalin (Borhanuddin et al, 1994).
2.
Perbaikan metabolisme glukosa. Kesimpulan ini diambil dari penelitian yang mendapatkan penurunan glukosa darah pada tikus diabetes yang diberi STZ dengan pemberian ekstrak alkohol sambiloto 0,1 sampai 0,4 g/kgBB. Penurunan glukosa darah puasa terlihat setelah hari ke 14 dan hal ini serupa dengan pemberian metformin sebagai pembanding positif. Efek penurunan glukosa darah tidak terlihat pada tikus normal. Pada penelitian ini juga tidak menunjukkan perbedaan kadar insulin di antara tikus normal dan DM STZ yang diberi sambiloto maupun metformin. Di samping itu terlihat penurunan kadar trigliserida puasa sebesar 49,8% pada tikus yang diberi sambiloto, dibanding 27,7% pada tikus yang diberi metformin (Zhang & Tan, 2000)
3.
Perbaikan resistensi insulin. Kesimpulan ini didapat dari penelitian yang mengamati penurunan glukosa darah pada tikus diabetik STZ dengan pemberian sambiloto secara oral. Berbeda dengan penelitian Zhang (2000), penelitian ini menunjukkan hambatan peningkatan glukosa darah pada test toleransi glukosa intravena pada tikus normal yang diberi 1,5 mg/kgBB sambiloto. Di samping itu terlihat peningkatan ambilan glukosa pada otot soleus tikus setelah mendapat sambiloto intravena berulang selama 3 hari
7
dan peningkatan mRNA transporter glukosa isoform-4 (GLUT-4) (Niki et al, 2003). Sampai saat ini belum ada penelitian pengaruh sambiloto pada sel β pankreas sebagai herbal antidiabetes. Dengan mengetahui lebih jauh pengaruh sambiloto pada sel β pankreas, maka penggolongan sambiloto sebagai antidiabetes akan lebih jelas dan memudahkan para dokter apabila merencanakan terapi kombinasi multifarmasi, termasuk kombinasi dengan herbal, tanpa menambah beban sel β pankreas, sehingga dapat meminimalisasi kejadian hipoglikemia dan diharapkan dapat menunda terjadinya gagal sekunder yang terjadi secara dini.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari: 1.
Pengaruh insulinotropik sambiloto pada sel β pankreas, dan bila terbukti, penelitian dilanjutkan dengan
2.
Mempelajari pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase akut, dan bila terbukti, penelitian dilanjutkan dengan
3.
Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan informasi pengetahuan kepada kalangan medis dan awam tentang cara penggunaan sambiloto yang tepat dan aman sebagai herbal antidiabetes yang murah, mudah didapat dan terjangkau oleh masyarakat luas, untuk mencapai kendali glukosa darah sekaligus konservasi sel β pankreas.
8
TINJAUAN PUSTAKA Diabetes melitus tipe-2, merupakan sindroma yang disebabkan oleh resistensi insulin atau terganggunya sensitivitas insulin pada jaringan otot, lemak dan hati, serta defek sekresi insulin, terutama defek sekresi insulin fase cepat oleh sel β pankreas. Dari gangguan tersebut di atas, defek sekresi insulin merupakan penyebab terjadinya hiperglikemia yang berkepanjangan. Gangguan sensitivitas insulin, atau yang dikenal sebagai resistensi insulin sudah terjadi 1 – 2 dekade sebelum terjadinya hiperglikemia (DeFronzo et al, 1992, Gerich, 2003). Defek sekresi insulin sel β pankreas yang dicetuskan oleh asupan glukosa ke dalam sel β pankreas, diduga kuat disebabkan oleh terganggunya fungsi mitokondria sebagai sumber produksi ATP (Lowell & Shulman, 2005, Maassen et al, 2004) 11.1 mM glukosa
Sekresi insulin fase cepat Sekresi insulin fase lambat Insulin (ng/mL/islet) Waktu (jam) Gambar 1
Ilustrasi pola sekresi insulin pada pulau Langerhans pankreas yang diinkubasi dalam larutan glukosa 11 mM (Grodsky 2000).
Pada penelitian in vitro, sel β pankreas normal yang diinkubasi dalam media yang mengandung glukosa dengan konsentrasi 11 mM selama 24 jam secara terus menerus, menunjukkan pola sekresi insulin bifasik (gambar 1), yaitu diawali dengan sekresi fase cepat yang terjadi pada 5-10 menit pertama setelah terpapar glukosa dengan konsentrasi 11 mM, yang selanjutnya diikuti oleh sekresi fase lambat, dengan puncak sekresi insulin sekitar jam ke 2-4, dan selanjutnya terjadi
9
penurunan sekresi insulin hingga mencapai sekresi minimal, yang dikenal sebagai sekresi basal (Grodsky, 1989, Rorsman et al., 2000, Grodsky, 2000). Fenomena ini sangat erat hubungannya dengan interaksi yang sangat kompleks dari beberapa komponen sel, antara lain: 1.
Kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP), yang berperan dalam proses depolarisasi membran sel β pankreas secara fisiologis (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999).
2.
Kanal ion kalsium (Ca2+channel), khususnya VDCC (Voltage Dependent Calcium Channels) tipe-L, yang berperan dalam proses influks ion kalsium ke dalam sel β pankreas, sebagai pencetus sekresi insulin, (Nunemaker et al, 2004, Schulla et al, 2003, Garcia-Barrado et al, 1996).
3.
Ultra-struktur granul insulin yang menggambarkan distribusi granul insulin di dalam sitosol, yang berperan dalam terjadinya sekresi insulin dengan pola bifasik (Daniel et al, 1999, Rorsman & Renstrom, 2003).
ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP) ATP-Dependent Potassium Channel (K+ATP), merupakan alat yang sangat penting dalam proses sekresi insulin, karena merupakan penghubung utama antara proses metabolik dan sekresi insulin, melalui aktivitas elektrik membran, atau terjadinya depolarisasi membran sel β pankreas (Bryan & Aguilar-Bryan, 1997). Peran K+ATP ini sangat penting dalam proses sekresi insulin, dan bisa dianggap sebagai inisiator fisiologis dalam rangkaian proses sekresi atau eksositosis granul insulin, karena proses fisiologis sekresi insulin yang dicetuskan oleh glukosa selalu diawali inhibisi kanal K+ATP ini. Besarnya peran K+ATP ini juga terlihat dari begitu besarnya jumlah kanal K+ATP pada sel β pankreas, yaitu sekitar 103 sampai 104 dalam satu sel. Untuk dapat menjalankan fungsi tersebut di atas, K+ATP terletak pada daerah granul insulin (Geng et al, 2003), bahkan K+ATP sebagai sensor ATP terletak dalam satu tempat dengan kanal ion kalsium (VDCC), sensor cAMP dan sensor ion kalsium (Ca2+) (Shibasaki et al, 2004).
10
Membran plasma
Gambar 2 Ilustrasi ATP-dependent K+ channel (K+ATP) (Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). K+ATP adalah sebuah kompleks protein berbentuk tetramer dari 4 unit, di mana masing masing unit terdiri atas 2 subunit, yaitu reseptor sulfonilurea (SURX), sebuah protein yang termasuk dalam superfamili ATP-binding cassette (ABC) dan kanal ion kalium KIR6.x (Potassium inward rectifier) (Aguilar-Bryan et al, 1995, Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Aguilar-Bryan et al, 2001, Aguilar-Bryan et al, 1998) (gambar 2). Subunit SUR-X mempunyai isoform SUR1 dan SUR2 yang dibedakan dari afinitasnya terhadap sulfonilurea, sedangkan SUR2A dan SUR2B dibedakan dari afinitasnya terhadap diazoxide (Aguilar-Bryan & Bryan, 1999, Babenko et al, 1998, Inagaki et al, 1995, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). K+ATP ini tidak hanya terdapat pada sel β pankreas saja, tetapi juga tersebar di berbagai jenis sel, dengan perbedaan komponen SUR, termasuk di sel α pankreas dan berfungsi sebagai regulator sekresi glukagon (Gromada et al, 2004). K+ATP dengan komponen SUR1 dan KIR6.2, mempunyai afinitas tinggi terhadap sulfonilurea, terutama diketemukan pada sel β pankreas. K+ATP dengan SUR2A dan KIR6.2, mempunyai afinitas lebih rendah terhadap sulfonilurea, banyak diketemukan di jaringan otot jantung, sedangkan K+ATP dengan komponen
11
SUR2B dan KIR6.1 atau KIR6.2 banyak diketemukan di jaringan otot polos (Babenko et al, 1998, Aguilar-Bryan et al, 2001, Bryan & Aguilar-Bryan, 2000). Reseptor ATP terletak pada subunit KIR6.2, sedangkan reseptor sulfonilurea dan diazoxide terletak pada subunit SUR-1 (gambar 3). Dalam kondisi istirahat, kanal K+ATP pada sel β pankreas selalu dalam keadaan terbuka, yang memungkinkan ion kalium keluar menuju ekstraselular untuk mempertahankan konsentrasi kalium intraselular sekitar 130 mM dan konsentrasi ekstraselular 4 – 5 mM. Berbeda dengan sel otot, khususnya otot jantung, K+ATP dengan komponen SUR2A dan KIR6.2 selalu dalam keadaan tertutup, dan terbuka bila dalam kondisi iskemia.
glibenklamid glibenklamid
Gambar 3
Ilustrasi kompleks ATP-dependent potassium channel (K+ATP) (MacDonald & Wheeler, 2003)).
Dalam keadaan istirahat, atau tanpa adanya peningkatan glukosa, pergeseran ion kalium menuju kompartemen ekstraselular akan menimbulkan potensial membran (resting membrane potential) sekitar -70 sampai -60 mV. Bila kadar glukosa dalam media inkubasi ditingkatkan sampai sekitar 7 mM, maka sudah akan terlihat peningkatan tegangan listrik membran atau sudah mulai terjadi depolarisasi, tetapi belum mencapai ambang untuk mencetuskan aktivitas elektrik membran. Aktivitas elektrik sel β pankreas baru terlihat bila glukosa ditingkatkan lebih tinggi sampai konsentrasi 11 mM, di mana terjadi depolarisasi yang lebih besar sehingga tegangan listrik atau potensial membran mencapai ambang elektrik,
12
yaitu sekitar –50 mV. Depolarisasi membran ini terjadi karena terhentinya pergeseran ion kalium dari intra-selular menuju ektra-selular, akibat tertutupnya kanal K+ATP (Mears & Atwater, 2000).
Gambar 4 Aktivitas elektrik sel β pakreas.
Peningkatan
rasio
ATP/ADP
akibat
(Mears & Atwater, 2000)
metabolisme
glukosa
akan
menyebabkan terjadinya ikatan antara ATP dengan reseptornya pada subunit KIR6.2 dan terjadilah inhibisi atau penutupan kanal K+ATP. Inhibisi K+ATP ini menyebabkan depolarisasi atau terjadinya perubahan potensial membran menjadi sekitar -30 mV sampai -40 mV yang berdampak pada terbukanya kanal ion kalsium VDCC (gambar 4). Proses yang sama juga bisa terjadi bila berbagai golongan sulfonilurea berikatan dengan reseptornya pada subunit SUR-1. Sebaliknya akan terjadi aktivasi kanal K+ATP bila diazoxide berikatan dengan reseptornya pada subunit SUR-1 yang mengakibatkan kanal K+ATP tetap terbuka, sehingga tidak terjadi depolarisasi membran, yang selanjutnya tidak terjadi aktivitas elektrik membran, dengan demikian tidak terjadi proses sekresi insulin, yang diinisiasi oleh kanal K+ATP (gambar 5).
13
gliburid
Gambar 5
Aktivitas elektrik sel β pankreas pada pemberian sulfonilurea (gliburid) dan diazoxide (Mears & Atwater, 2000)
Kanal ion kalsium (Ca2+ channels) Ion kalsium sebagai intracellular (2nd) messenger, sangat vital dalam berbagai fungsi sel, termasuk sekresi insulin oleh sel β pankreas. Untuk menjamin kestabilan konsentrasi ion kalsium intraselular, diperlukan kanal ion kalsium untuk masuk ke dalam sel, dan transporter ataupun penukar ion kalsium untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol ke kompartemen ekstraselular (Belkacemi et al, 2005). Ion kalsium masuk ke dalam sel melalui 3 pintu, yaitu: 1.
VDCC, Voltage-Dependent Calcium Channel.
2.
Transient Receptor Potential (TRP)-related Ca2+ channel, dan
3.
SOC, Store-operated Ca2+ channel.
Sedangkan untuk membawa ion kalsium keluar dari sitosol diperlukan bantuan: 1.
PMCA (Plasma membrane Ca2+-ATPase), Kalsium-ATPase membran plasma
2.
NCX (Na+/Ca2+ exchanger)
14
VDCC (Voltage dependent calcium channels). VDCC merupakan kanal influks kalsium yang paling banyak dipelajari, dan mempunyai peran sangat penting dari berbagai sel dengan berbagai fungsi, termasuk fungsi sekresi insulin sel β pankreas (Nunemaker et al, 2004).
Gambar 6 Ilustrasi kanal kalsium yang bergantung tegangan lsitrik membran tipeL (VDCC=voltage-dependent calcium channel; DHP=letak reseptor dihidropiridin; +++ = voltage-sensor) (MacDonald & Wheeler, 2003))
Sampai saat ini, berdasarkan kekuatan arus listrik yang diperlukan untuk aktivasi kanal kalsium tersebut, dikenal 3 subfamili (Catterall et al, 2003), yaitu antara lain: 1.
L-type high voltage-activated (HVA) Ca2+ channel, atau VDCC tipe-L, yang untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi kuat, dan aktivasinya cukup lama, serta dapat dihambat oleh antagonis Tipe-L seperti dihidropiridin, fenilalkilamin dan benzothiazepine. Tipe-L ini terdiri atas CaV1.1, 1.2, 1.3 dan 1.4, banyak terdapat di jaringan otot dalam fungsi kontraksi dan sel endokrin dalam fungsi sekresi hormon. Tipe-L, khususnya CaV1.2 inilah yang sangat berperan pada proses sekresi insulin fase cepat (Schulla et al, 2003). Kanal kalsium tipe ini akan terbuka atau teraktivasi bila ada peningkatan tegangan listrik membran (depolarisasi), hal ini dimungkinkan karena VDCC tipe-L mempunyai sensor tegangan listrik (voltage-sensor) (gambar 6). Depolarisasi yang diperlukan untuk terbukanya VDCC tipe-L
15
ini tidak hanya terjadi akibat penutupan kanal K+ATP semata, tetapi bisa juga dicetuskan oleh kondisi lain, seperti asam amino L-arginina atau kondisi artifisial dengan menambahkan 25 meq kalium ke dalam media inkubasi. Asam amino L-arginina yang bermuatan positif dapat menembus membran sel, sekaligus menyebabkan terjadinya depolarisasi yang cukup kuat untuk membuka VDCC tipe-L ini. Penambahan 25 meq KCl ke dalam media inkubasi dapat mengaktivasi VDCC tipe-L karena perubahan konsentrasi ion kalium ekstraselular akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran sampai mencapai tegangan listrik sekitar sampai -30 mV, yang mampu membuka hampir semua VDCC tipe-L. Perhitungan ini didapat dari persamaan Nernst: E= -58 log [K]o/[K]i. (E=perbedaan tegangan) (Hille, 1984) 2.
Non-L-type HVA channel, terdiri atas 3 subfamili, CaV2.1 (tipe-P/Q), CaV2.2 (tipe-N), dan CaV2.3 (Tipe-R), yang untuk aktivasinya juga diperlukan depolarisasi yang kuat, tetapi tidak terhambat oleh antagonis tipe-L, terutama terdapat pada jaringan syaraf atau neuron dalam proses neurotransmisi. CaV2.3 sangat berperan pada proses sekresi insulin fase lambat, khususnya pada penambahan granul insulin pada posisi RRP (Jing et al, 2005).
3.
Low voltage-activated (LVA) T-type Ca2+ channel (Tipe T), terdiri atas CaV3.1, 3.2 dan 3.3 yang untuk aktivasinya diperlukan depolarisasi lemah, dan aktivasinya hanya sesaat saja, serta tidak terhambat oleh antagonis tipeL dan Tipe-N, P/Q serta R. Walaupun belum jelas perannya dalam sekresi insulin, Tipe-T inipun juga terdapat pada sel β pankreas (Zhuang et al, 2000)
Sesuai dengan fungsinya sebagai komponen yang berperan dalam sekresi insulin, VDCC tipe-L ini berkedudukan sangat berdekatan atau berdampingan dengan granul insulin yang sudah dalam posisi docked (Eliasson et al, 1996). Jumlah VDCC tipe-L mencapai hampir 50% dari seluruh kanal kalsium yang ada pada sel β pankreas. VDCC tipe-L CaV1.2, berperan sangat penting dalam proses sekresi
16
insulin, khususnya sekresi fase cepat (Schulla et al, 2003), sedangkan fase ke dua atau fase lambat dipengaruhi oleh keberadaan CaV2.3 (Jing et al, 2005).
Ultrastruktur granul insulin. Di dalam sitosol sel β pankreas mencit, tersebar sekitar 9.000 – 10.000 granul insulin. Ditinjau dari jarak antara granul dengan membran sel, posisi granul insulin yang sudah dekat dengan membran sel, dapat dikelompokkan ke dalam 2 posisi, yaitu granul cadangan dan granul yang siap untuk disekresikan (gambar 7). Granul insulin cadangan berada dalam posisi hampir menempel pada membran sel (almost docked), berjumlah sekitar 2000 granul, terletak pada jarak kurang dari 0,2 μm dari membran sel, sedangkan granul yang siap disekresikan berada dalam posisi sudah menempel pada membran sel (docked) berjumlah sekitar 650 granul.
Almost docked
Gambar 7
docked
Ultrastruktur sel β pankreas tikus dan hubungannya dengan sekresi insulin bifasik (Roorsman 2003).
17
Granul insulin dalam posisi sudah menempel pada membran sel (docked) ini dikelompokkan lagi ke dalam 2 bagian (Bratanova-Tochkova et al, 2002, Olofsson et al, 2002, Rorsman & Renstrom, 2003), yaitu: 1.
Readily Release Pool (RRP), berjumlah sekitar 50 granul, adalah posisi granul insulin yang sudah menempel atau lebih tepat dikatakan terkait pada membran sel, yang betul-betul siap untuk disekresikan dan kelompok RRP inilah yang bertanggung jawab terjadinya sekresi insulin fase cepat (Barg et al, 2002) (gambar 8).
glukosa Insulin yang disekresi / 1 sel beta
Gambar 8 Ilustrasi pola sekresi insulin dan pool granul (Rorsman 2003).
Granul insulin dalam posisi RRP ini terkait pada membran sel akibat bergabungnya 4 protein SNARE (gambar 9), yang membentuk sebuah kompleks protein, yaitu: a.
Synaptobrevin-2/VAMP-2 (berada pada dinding granul), dengan
b.
Syntaxin, SNAP-25 dan Synaptotagmin (berada pada membran sel)
Kompleks SNARE ini sangat berperan, baik dalam proses penggabungan granul insulin dengan membran sel maupun terjaminnya influks ion kalsium (Ca2+) ke dalam suatu area yang sangat dekat dengan granul insulin yang siap disekresikan. Fungsi ini bisa terlaksana karena Syntaxin, SNAP-25 dan Synaptotagmin bergabung dengan salah satu bagian intraselular kanal
18
kalsium VDCC tipe-L yang berfungsi sebagai pintu gerbang masuknya Ca2+ ke dalam sitosol (gambar 9) (Daniel et al, 1999). Dari berbagai penelitian, ditunjukkan bahwa gangguan sekresi insulin fase cepat inilah yang merupakan defek awal pada DM tipe-2 (Fukushima et al, 2004a, Fukushima et al, 2004b, Hosker et al, 1989, Nesher et al, 1987).
Gambar 9 Ilustrasi protein SNARE, granul insulin dan VDCC tipe-L dalam posisi docked, dan proses eksositosis insulin (Daniel et al, 1999)
2.
Sekitar 600 granul akan bertanggung jawab terhadap terjadinya sekresi insulin fase lambat selama sekitar 2 jam, dengan kecepatan sekresi sekitar 5 granul tiap menit (Bratanova-Tochkova et al, 2002).
Fisiologi Sekresi Insulin Untuk mempelajari mekanisme kerja obat atau herbal yang bersifat insulinotropik atau insulin sekretagog, diperlukan pengenalan fisiologi sekresi insulin secara lebih mendalam. Regulasi sekresi insulin dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori (Masharani et al, 2004, Weir et al, 2000), yaitu (gambar 10):
19
1.
Stimulan sekresi insulin secara langsung (direct stimulant insulin release), seperti glukosa, manosa, asam amino leusin, arginina, stimulasi vagal, dan obat obat golongan sekretagog insulin sulfonilurea dan glinid, yang dapat mencetuskan rangkaian proses sehingga terjadi sekresi insulin secara langsung karena dapat mencetuskan terjadinya depolarisasi membran secara langsung, baik dengan atau tanpa melibatkan K+ATP (Doyle & Egan, 2003).
2.
Penguat sekresi insulin (amplifiers of glucose-induced insulin release), adalah berbagai zat yang dapat meningkatkan sekresi insulin yang telah diawali oleh glukosa, jadi tanpa glukosa bahan dalam golongan ini tidak bisa mencetuskan sekresi insulin. Adapun bahan-bahan yang tergolong dalam kelompok ini adalah sebagai berikut: a.
Hormon enterik seperti Glucagon-like peptide-1 (GLP-1), Gastric Inhibitory Peptide (GIP), Cholesistokinin, Sekretin dan Gastrin
3.
b.
Neural amplifier : stimulasi adrenergik β dan kolinergik
c.
Asam amino arginina.
Penghambat sekresi insulin (inhibitors of insulin release) (Sieg et al, 2004) a.
neural : pengaruh adrenergik α dari katekolamin
b.
humoral : somatostatin
c.
obat-obat: diazoxide, phenytoin, vinblastin, colchicine.
Sampai sebelum tahun 2004, mekanisme sekresi insulin oleh glukosa secara fisiologis dapat digambarkan sebagai berikut. Setelah glukosa masuk ke dalam sel β pankreas melalui
transporter glukosa isoform-2 (GLUT-2), oleh enzim
glukokinase / heksokinase, akan diubah menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dan selanjutnya terjadilah proses pembentukan ATP. Alam memberikan kemampuan sel β pankreas dengan sistem transport glukosa yang sangat baik. Sistem transport ini diperankan oleh transporter glukosa isoform-2 (GLUT–2) yang tidak bergantung pada keberadaan insulin, dan selalu siap dipermukaan membran sel. Transporter ini aktif dengan Km 5.5 mM/L, dan glukokinase juga mempunyai Km 5.5mM/L. Jadi GLUT-2 dan glukokinase merupakan kelengkapan sel yang
20
dipergunakan untuk menangani peningkatan glukosa dalam sirkulasi dalam konsentrasi yang tinggi dan perubahan yang cepat seperti yang terjadi pada keadaan sehabis makan, atau kondisi prandial. Di samping glukokinase, sel juga mempunyai kelengkapan enzim Heksokinase dengan nilai Km sebesar 0.01 mM/L. Kenyataan ini menunjukkan bahwa fungsi heksokinase lebih ke arah pemeliharaan sel dalam menjaga energi β sel (gambar 11)
syaraf simpatis medula adrenal
syaraf parasimpatis
epinefrin
norepinefrin
Ach
galanin
somatostatin
AC
PI IP3 DAG
IP3R
GI
(-)
PKC
metabolisme
PKA
GS
(+)
VIP AC
GS
GLP-1
GIP
leusina
GI
cAMP
depolarisasi
arginina
+
cAMP
K
SUR
Sulfonilurea Diazoxide
Gambar 10 Ilustrasi berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sekresi insulin, baik stimulator maupun inhibitor (Weir et al, 2000).
Rangkaian reaksi proses sekresi insulin oleh glukosa ini dapat dikelompokkan dalam beberapa tahap (Newgard & Johnson, 2000): 1.
Tahap 1: tahap peningkatan rasio ATP/ADP, yang dapat terjadi melalui 3 mekanisme yang berbeda (gambar 11), yaitu:
21
a.
Produksi dari glikolisis dari triose-fosfat menjadi piruvat (sumber ATP dari alur ini tidak cukup untuk terjadinya inhibisi kanal K+ATP)
b.
Proses perubahan reduced nicotinamide dinucleotide phosphate (NADH) dalam mitokondria, ini merupakan sumber ATP terbesar dalam rangkaian proses sekresi insulin. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang mendapatkan adanya inhibisi sekresi insulin pada penggunaan asam bongkrek sebagai inhibitor ATP/ADP translokase di dalam mitokondria (Kiranadi et al, 1991)
c.
Oksidasi piruvat dalam mitokondria.
glukokinase / heksokinase
GLUT-2 glukosa
glukosa gliserol-P
G6P Triose-P ATP1
NADH
ATP ADP
K+
Piruvat
ATP2 FADH
ATP3
TCA
Ca2+
Ca2+
Sekresi insulin
Gambar 11 Skema tiga sumber pembentukan ATP yang berasal dari alur metabolisme glukosa dalam rangkaian regulasi sekresi insulin yang difasilitasi oleh glukosa pada sel β pankreas (Newgard & Johnson, 2000)
22
2.
Tahap 2: Inhibisi K+ATP. Peningkatan rasio ATP/ADP akan diikuti terikatnya ATP dengan reseptornya pada subunit KIR6.2 yang mengakibatkan inhibisi atau penutupan kanal K+ATP.
3.
Tahap 3: Penutupan kanal K+ATP akan meningkatkan terhentinya pergeseran ion kalium dari intra menuju ekstraselular. Kondisi ini menyebabkan terjadinya depolarisasi membran dan tegangan listrik membran sel akan meningkat dari sekitar -70 mV menjadi sekitar -40 mV, sehingga melampaui ambang aktivitas elektrik membran yaitu sekitar – 50 mV.
glukosa (+)
ATP/ADP (-)
SU
(-)
K+ATP (+)
KV
Depolarisasi membran
(+)
VDCC
repolarisasi (-) (+)
sekresi insulin
Ca2+
Gambar 12 Ilustrasi tahapan proses fisiologik sekresi insulin oleh sel β pankreas. Terlihat terjadinya aktivasi VDCC dan KV akibat depolarisasi secara bersamaan. Aktivasi KV terjadi sedikit lebih lambat dibanding aktivasi VDCC (MacDonald & Wheeler, 2003)
23
4.
Tahap 4: Aktivasi VDCC tipe-L. Depolarisasi membran sel yang meningkatkan potensial membran sekitar -40 mV akan diikuti dengan aktivasi atau terbukanya kanal kalsium VDCC tipe-L yang memungkinkan masuknya ion kalsium (Ca2+) ke dalam sitosol. Bersamaan dengan aktivasi VDCC tipe-L, depolarisasi juga mengakibatkan aktivasi atau terbukanya voltage dependent potassium channels (KV), tetapi proses ini terjadi sedikit lebih lambat dibanding dengan aktivasi VDCC. Aktivasi KV ini akan memungkinkan masuknya kembali ion kalium ke dalam sitosol, sehingga terjadi repolarisasi kembali tegangan listrik membran sel (gambar 12).
5.
Perubahan konsentrasi ion kalsium intraselular [Ca2+]i selanjutnya mencetuskan proses eksositosis atau sekresi insulin dari sekitar 50 granul insulin yang sudah dalam posisi RRP dalam waktu yang bersamaan dan terjadilah sekresi insulin fase cepat.
6.
Posisi RRP yang sudah mengalami eksositosis akan digantikan oleh granul cadangan, dengan kecepatan eksositosis sekitar 5 granul tiap menit. Proses pergeseran granul insulin ini mutlak memerlukan energi yang berasal dari metabolisme glukosa, tanpa metabolisme glukosa tidak terjadi pengisian posisi RRP yang sudah kosong tersebut yang berdampak pada tidak terjadinya sekresi insulin fase lambat. Henquin (2004) menyempurnakan teori tersebut di atas dan ada beberapa
perubahan yang mendasar tentang sekresi insulin. Sekresi insulin terjadi karena adanya suatu kompleks alur yang dapat dikelompokkan ke dalam dua alur pokok, yaitu triggering dan amplifying pathway (gambar13). Triggering pathway ditandai dengan terbukanya kanal kalsium VDCC setelah membran sel mengalami depolarisasi, dan secara fisiologis, sekresi insulin baru bisa terjadi bila diperkuat oleh amplifying pathway. Triggering pathway yang didahului penutupan kanal K+ATP, disebut sebagai K+ATP-dependent triggering pathway. Dalam berbagai penelitian terbukti bahwa sekresi insulin juga dapat dicetuskan oleh berbagai faktor eksternal, seperti asam amino tertentu, berbagai zat yang bekerja sebagai insulin sekretagog, serta aktivitas yang menyebabkan depolarisasi membran sel, seperti asam amino L-arginina yang dimasukkan dalam kelompok stimulan
24
langsung (Herchuelz et al, 1984, Weinhaus et al, 1997). Karena zat tersebut dapat menyebabkan depolarisasi membran tanpa melalui inhibisi kanal K+ATP, maka alur tersebut dikenal sebagai K+ATP- independent triggering pathway (Henquin, 2004, Bratanova-Tochkova et al, 2002).
glukosa
2
K+ SUR 1
Kir 6.2
metabolisme
arginin
SUR 1
-
1
nutrien
Kir 6.2
Ca2+ VGCC ?
?
Triggering pathway
Ca2+
3
?
-
α2-adr
-
+ -
ATP ADP
+ messenger lain amplifying pathway
6
4
+
5
+ GLP-1
4 amplifying pathway
Henquin, Diabetes (53) Suppl 3; 2004
Gambar 13
sekresi insulin
Skema fisiologi sekresi insulin serta lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat insulin sekretagog pada sel β pankreas (Henquin, 2004).
Glukosa sebagai stimulan langsung sekresi insulin, tidak hanya berpengaruh baik pada triggering pathway saja, karena secara fisiologis triggering pathway saja, tidak akan cukup untuk mencetuskan sekresi insulin, tetapi juga bekerja pada amplifying pathway melalui alur metabolisme yang menghasilkan penambahan peningkatan rasio ATP/ADP, dan pengaktifan second (2nd) messenger. Henquin (2004) menjelaskan sangat rinci tentang adanya 6 lokasi potensial tempat bekerjanya berbagai obat golongan insulin sekretagog (gambar 13). Dengan berpedoman pada teori ini, maka penelitian mekanisme kerja obat
25
golongan insulin sekretagog akan menjadi sangat jelas, dan dapat dipakai untuk mengidentifikasi salah satu dari 6 lokasi tempat bekerja obat tersebut. Lokasi-1 adalah lokasi yang dapat menstimulasi metabolisme sel β pankreas melalui aktivasi glukokinase, inhibisi glukosa-6-fosfatase, sumber energi alternatif dan inhibisi Na+/Ca2+ exchanger di mitokondria. Lokasi-2 adalah lokasi yang dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]i dengan cara inhibisi kanal K+ATP, baik melalui interaksi dengan subunit SUR-1 ataupun KIR6.2. Lokasi-3 adalah lokasi yang juga dapat meningkatkan kalsium sitosol [Ca2+]I, tetapi tidak melalui kanal K+ATP melainkan dengan inhibisi kanal kalium lainnya, aktivasi kanal kalsium, bekerja pada kanal ion lain dan inhibisi proses yang menurunkan ion kalsium sitosol [Ca2+]i. Lokasi-4 merupakan lokasi terjadinya amplifikasi amplifying pathway melalui aktivasi dari proses amplifikasi yang dimediasi oleh nutrien selain glukosa, inhibisi AMP-kinase, inhibisi 11β-hidroksisteroid dehidrogenase tipe-1, sensitisasi ion kalsium, inhibisi degradasi cAMP dan aktivasi PKC pathway. Lokasi-5 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor membran sel, seperti antagonis reseptor inhibitorik ataupun agonis reseptor stimulatorik. Lokasi-6 merupakan lokasi yang berhubungan dengan reseptor pada inti sel. Henquin (2004) juga sangat jelas memperlihatkan mekanisme kerja Glucagon like peptide-1 (GLP-1) yang bersifat penguat sekresi insulin yang difasilitasi oleh glukosa. GLP-1 bersifat glucose dependent, karena tanpa glukosa tidak akan terjadi inisiasi triggering pathway. Terlihat jelas GLP-1 dapat meningkatkan efisiensi [Ca2+]i yang dicetuskan oleh triggering pathway pada lokasi 3 dan meningkatkan efisiensi amplifying pathway pada lokasi 4. Hal ini memperkuat teori sebelumnya yang mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja dengan prinsip mekanisme cross talk pada proses sekresi insulin yaitu dengan memperkuat inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh protein kinase A (PKA) yang terbentuk setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya di membran sel β pankreas. Inhibisi kanal K+ATP dan aktivasi VDCC oleh PKA tidak secara langsung, tetapi memperkuat alur yang difasilitasi oleh glukosa sehingga disebut pula sebagai glucose competence concept. Teori ini mengemukakan bahwa GLP-1 bekerja sebagai penguat alur K+ATP-dependent triggering pathway dan amplifying
26
pathway (Habener, 2000). Henquin (2004) memperbaiki teori tersebut di atas, dengan memperjelas mekanisme kerja GLP-1, seperti dalam gambar 13.
Gambar 14
Peran Potassium dependent channel (Kv2.1) dalam mekanisme glucose compentence concept oleh GLP-1 (MacDonald & Wheeler, 2003).
Pada penjelasan di atas, belum diketahui secara pasti bagaimana PKA dapat memperkuat aktivasi VDCC. McDonald (2003) memperjelas mekanisme ini. Setelah GLP-1 berikatan dengan reseptornya pada membrane sel β, akan terjadi aktivasi protein G oleh GLP-1, selanjutnya akan diikuti aktivasi adenilsiklase (AC) sebagai enzim yang mengaktifkan cAMP. Terbentuknya cAMP akan diikuti oleh aktivasi protein kinase A (PKA) yang bersifat inhibitor kanal Kv2.1 (Voltage dependent potassium channels). Inhibisi ini juga terjadi pada alur metabolisme secara fisiologis akibat terbentuknya NADPH oleh mitokondria yang dapat
27
meningkatkan rasio NADPH/NADP+. Inhibisi KV2.1 ini, akan memperkuat depolarisasi yang terjadi akibat inhibisi K+ATP oleh metabolisme glukosa, jadi GLP-1 tidak langsung bekerja pada VDCC. Proses inilah yang dimaksud sebagai kerja GLP-1 dalam memperkuat alur amplifying pathway (gambar 14). Dari penelitian terdahulu, diketemukan adanya penurunan efektifitas, penurunan sekresi GLP-1 pada DM tipe-2 (Nauck et al, 1986). Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa salah satu sebab terganggunya sekresi insulin fase cepat adalah kurangnya dukungan yang memperkuat alur triggering dan amplifying pathway oleh GLP-1.
BRIN-BD11 BRIN-BD11 adalah salah satu jenis sel lestari penghasil insulin (clonal glucose-responsive insulin-secreting cell) yang cukup stabil, dan mempunyai sifat yang mendekati fisiologi sel β pankreas. BRIN-BD11 dapat dipergunakan untuk berbagai penelitian yang berhubungan dengan sekresi insulin, dan dapat mengatasi beberapa keterbatasan pada penggunaan islet cell yang diisolasi dari pankreas tikus atau mencit seperti kesulitan teknis isolasi islet Langerhans, heterogenisitas selular dan hormonal dari islet, dan penurunan produksi insulin secara cepat dalam kondisi kultur jaringan. BRIN-BD11 dibentuk dari proses fusi-elektrik (electrofusion) dari RINm5F dan pancreatic islet cells tikus New England Deaconess Hospital (NEDH). Dari proses ini dihasilkan tiga jenis sel lestari penghasil insulin, yaitu BRIN-BG5, BRIN-BG7 dan BRIN-BD11. Di antara ketiga jenis sel tersebut, BRIN-BD11 mempunyai tingkat respons yang paling baik terhadap perbedaan konsentrasi glukosa, karena mempunyai kandungan GLUT-2 dan glukokinase yang terbanyak (McClenaghan & Flatt, 2000, McClenaghan et al, 1996). Secara morfologi, BRIN-BD11 tumbuh sebagai sel monolayer pada kultur sel dengan sifat epiteloid, yang cukup stabil walaupun sudah mengalami lebih dari 50 passage (McClenaghan et al, 1996). BRIN-BD11 pernah dicoba untuk ditransplantasikan ke tikus diabetes yang diberi streptosotozin, ternyata memberikan perbaikan glukosa darah hingga mencapai normoglikemia pada hari ke 7 sampai 20. Di samping itu BRIN-BD11
28
yang diambil kembali dari tempat transplan dan dilakukan kultur ulang, menunjukkan perbaikan respons sekresi insulin dari BRIN-BD11 tersebut (Davies et al, 2001). Dibanding dengan sel lestari penghasil insulin lain seperti RIN5mF, HITT15, dan INS, BRIN-BD 11 mempunyai sifat yang paling mendekati sel β pankreas walaupun INS mempunyai kandungan granul insulin paling banyak. BRIN-BD11 mempunyai sensitivitas terhadap glukosa dengan menunjukkan perbedaan respons sekresi insulin pada berbagai konsentrasi glukosa, sedangkan yang lainnya tidak (Akbarsha et al, 1990). Profil metabolisme BRIN-BD11 juga lebih baik dibanding dengan sel induknya RIN5mF (Rasschaert et al, 1996). Mekanisme glucose sensing dimiliki oleh BRIN-BD11, karena mempunyai kelengkapan GLUT-2 dan rasio glukokinase/heksokinase yang tinggi, serta kandungan insulin sekitar 77 ng/106 sel, jauh lebih tinggi dibanding dengan sel induknya RINm5F yang hanya mempunyai kandungan insulin sekitar 0,6 ng/106 sel. Secara dinamika, BRIN-BD11 mampu menunjukkan pola sekresi insulin fase cepat dengan puncak sekresi pada menit ke 2 setelah kadar glukosa media ditingkatkan dari 1,1 mM menjadi 16,7 mM. Sekresi insulin akut oleh BRINBD11 pada media dengan kadar glukosa 16,7 mM selama 20 menit menunjukkan peningkatan sebesar 1,4 kali dibanding inkubasi pada media dengan kadar glukosa 1,11 mM. Sekresi insulin ini dapat dihambat oleh 0,5 mM diazoxide dan sebaliknya terjadi peningkatan tajam, sekitar 9 kali pada pemberian 25 mM KCl (McClenaghan et al, 1996). Media terbaik yang dapat dipakai untuk pemeliharaan adalah RPMI 1640, dengan kadar glukosa 11,1 mM, dan sekresi insulin terbaik setelah 10 hari inkubasi (Akbarsha et al, 1990). Jumlah sel berkembang biak menjadi 2 kali lipat dalam kurun waktu 20 jam. BRIN-BD11 juga telah dipakai di berbagai pusat penelitian, yang berhubungan dengan efek insulinotropik berbagai herbal seperti jamur Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), Eucalyptus globulus (Gray & Flatt, 1998c), Medicago sativa (Gray & Flatt, 1997), Agrimony eupatria (Gray & Flatt, 1998a). BRIN-BD11 juga dapat dipakai untuk mempelajari pengaruh berbagai obat pada sel β pankreas (Ball et al, 2004, Ball et al, 2005, McClenaghan et al, 2001,
29
Kamagate et al, 2002) bahkan dapat pula mempelajari berbagai metabolisme dan fisiologi sel β pankreas (Welters et al, 2004, Rasschaert et al, 1996, McClenaghan et al, 1996)
Gambar 15 BRIN-BD11 pada hari ke 0, sesaat setelah dipindahkan ke botol pada proses subkultur (Pemotretan gambar 16 – 18 dilakukan tanpa skala, dengan inverted microscope).
Gambar 16 BRIN-BD11 pada hari ke-3 dalam proses kultur
30
Gambar 17 BRIN-BD11 pada hari ke-7 dalam proses kultur
Sambiloto (Andrographis paniculata) Sambiloto adalah nama di daerah Jawa Tengah, Sunda: Ki oray, Melayu : Sambilata, Maluku: pepaitan dan Malaysia: Hempedu Bumi. Sambiloto dalam klasifikasi sistem Engler termasuk dalam divisi : Embryophyta siphonogama, Subdivisi: Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Bangsa Tubiflorae, Suku Acanthaceae serta Marga: Andrographis. Menurut klasifikasi modern (Integrated Sistem of Classification) termasuk divisi Magnoliophyta, kelas Magnoliopsida, anak kelas Asteridae, bangsa Scrophulariales dan suku Acanthaceae. Sambiloto termasuk tanaman Herba, semusim, tinggi + 35 - 90 cm. Batang berkayu, pangkal bulat, masih muda berbentuk segi empat setelah tua bulat, percabangan monopodial, hijau. Daun tunggal bulat telur, bersilang berhadapan pangkal dan ujung runcing, tepi rata, panjang + 5 cm, lebar + 1,5 cm., pertulangan menyirip, panjang tangkai + 30 mm, hijau keputih putihan, hijau.
31
Gambar 18 Foto tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) umur tanam 30 hari (kiri), 60 hari (tengah) dan 90 hari (kanan) setelah dipindahkan dari tempat persemaian. Foto diambil di rumah kaca BALITRO
Daun sambiloto mengandung saponin, flavonoid dan tanin (Hanan, 1996). Kandungan aktif dari sambiloto adalah antara lain andrografolid (AP1) (gambar 19), 14-deoksi-11,12 didehidroandrografolid (AP3) dan neo-andrografolid (AP4) yang rasanya sangat pahit (Pholphana et al, 2004). Kandungan andrografolid mencapai 2,5 – 4,6% dari bobot kering. Andrografolid sangat mudah diabsorbsi melalui saluran cerna, dan hampir seluruhnya diabsorbsi pada pemberian oral pada tikus. Sebagian besar andrografolid (55%) terikat pada albumin dalam sirkulasi, dan sedikit dalam keadaan bebas, sehingga hanya sedikit yang bisa masuk ke dalam sel. Konsentrasi maksimum yang dapat dicapai dalam sirkulasi darah setelah pemberian 20 mg andrografolid peroral pada manusia 393 ng/mL atau sekitar 1,12 μM andrografolid. Konsentrasi tertinggi tercapai dalam 90 sampai 120 menit setelah pemberian andrografolid peroral. Waktu paruh andrografolid sekitar 6,6 jam (Panossian et al, 2000). Ditinjau dari aspek toksikologi, berdasarkan kriteria Gleason, sambiloto termasuk ke dalam golongan yang Practically Non Toxic, mengingat dosis toksik akut (LD50 ) sebesar 71,27 mg/10 gBB. Efek toksisitas yang terlihat adalah depresi susunan saraf pusat dan anggota gerak (Nuratmi et al, 1996).
32
Gambar 19 Rumus bangun andrografolid; 3,14,19-trihidroksi-8(17),12-labdadien16,15-0lide; C20H30O5 (BM:350.454)
Manfaat klinis sambiloto Sambiloto berkhasiat sebagai obat berbagai jenis penyakit antara lain demam, penyakit kulit, kencing manis, diuretika, antialergi, antitukak lambung radang telinga dan obat masuk angin. Berbagai pengaruh sambiloto yang telah dibuktikan antara lain, pemberian 20 mg serbuk kering daun sambiloto ke pada tikus albino selama 60 hari dapat menyebabkan depresi spermatogenesis sebagai dampak dari sifat sambiloto sebagai antiandrogen (Akbarsha et al, 1990). Pada penelitian yang membandingkan ekstrak sambiloto (A. paniculata nees) dengan minyak ikan, terihat bahwa ekstrak sambiloto tersebut bersifat antiarteriosklerosis dan mencegah restenosis pasca angioplasti, sedangkan minyak ikan tidak mempunyai sifat tersebut (Inagaki et al, 1996). Sifat inhibisi kanal kalsium juga terlihat pada penelitian yang menggunakan ekstrak kering daun sambiloto. Pada konsentrasi 0.4 mg/mL dalam media inkubasi vasa deferens tikus, terlihat inhibisi influks ion kalsium secara total (Burgos et al, 2000), fenomena serupa juga terlihat pada penelitian yang menggunakan ekstrak
33
kering sambiloto dengan konsentrasi 0.4 mg/mL pada media inkubasi uterus tikus (Burgos et al, 2001). Fraksi etanol dari serbuk kering daun sambiloto ternyata juga bersifat antihistamin, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai herbal antialergi (Aldi et al, 1996). Sambiloto juga mempunyai sifat antimikrobial, termasuk antimalaria. Serbuk daun sambiloto dapat menghilangkan gejala subyektif infeksi saluran nafas bagian atas sederhana (Coon & Ernst, 2004). Empat jenis Xanthones yang dihasilkan dari ekstraksi akar sambiloto, ternyata terbukti dapat menurunkan derajat parasitemia Plasmodium berghei pada mencit Swiss Albino sampai sebesar 62% pada pemberian oral dengan konsentrasi 30 mg/kgBB (Dua et al, 2004), sedangkan ekstrak daun sambiloto yang dibuat infus, tidak mempunyai pengaruh sebagai antimalaria (Dzulkarnaen et al, 1996). Dari fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa daun dan akar sambiloto mempunyai perbedaan komponen kandungan bahan aktif sehingga mempunyai manfaat klinis yang berbeda pula.
Manfaat sambiloto dalam dunia diabetes. Di samping begitu banyak manfaat klinis sambiloto, baik daun maupun akarnya, ternyata daun sambiloto juga mempunyai peranan dalam dunia diabetes. Sudah cukup banyak penelitian-penelitian hewan yang membuktikan bahwa daun sambiloto bermanfaat dalam perbaikan profil glukosa darah. Pada tahun 1994, Borhanudin mendapatkan bahwa pemberian ekstrak air daun sambiloto dengan konsentrasi 10 mg/kgBB pada kelinci diabetes, dapat mencegah peningkatan glukosa darah pada pemberian 2 mg/kgBB glukosa peroral, tetapi tidak bisa mencegah kenaikan glukosa darah yang diakibatkan oleh adrenalin. Di samping itu pada pemberian jangka panjang sekitar 6 minggu, sambiloto juga tidak menunjukkan pengaruh dalam penurunan glukosa darah puasa. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ektrak air daun sambiloto berperan pada absorbsi glukosa dari saluran cerna (Borhanuddin et al, 1994).
34
Pemberian peroral ekstrak etanol daun sambiloto dengan konsentrasi 0.1 – 0.4 g/kgBB dapat memperbaiki profil glukosa darah tikus diabetes-STZ sebanding dengan pemberian 0.5 g/kgBB metformin, tetapi tidak terlihat adanya perbedaan kadar insulin darah, baik pada kelompok kontrol, metformin maupun sambiloto. Dari penelitian tersebut diambil simpulan bahwa perbaikan profil glukosa darah disebabkan oleh perbaikan metabolisme glukosa. Pada penelitian ini, juga terlihat keunggulan sambiloto dalam memperbaiki kadar trigliserida darah, di mana pada pemberian sambiloto terjadi penurunan trigliserida sebesar 49.8%, sedangkan metformin hanya menurunkan trigliserida darah sebesar 27.7% (Zhang & Tan, 2000). Penelitian lanjutan menunjukkan bahwa di samping memperbaiki profil glukosa darah pada tikus diabetes-STZ, ekstrak etanol daun sambiloto juga bersifat antioksidan. Dibanding dengan
metformin, perbaikan oksidatif stres
bukanlah disebabkan oleh perbaikan glukosa darah semata, tetapi oleh sambiloto, karena perbaikan glukosa darah oleh metformin pada penelitian yang sama tidak menunjukkan perbaikan oksidatif stres tersebut (Nunemaker et al, 2004). Mafauzy (2002) melanjutkan penelitian tentang manfaat sambiloto pada tikus diabetes-STZ. Secara keseluruhan terlihat adanya penurunan glukosa darah dan penurunan angka kematian tikus diabetes-STZ pada pemberian sambiloto peroral, baik dalam bentuk serbuk kering dengan konsentrasi 1 g/kgBB, maupun ekstrak etanol dengan konsentrasi 2 mg/kgBB (Mafauzy et al, 2002), hasil yang sama juga ditunjukkan penelitian yang serupa, hanya perbedaan konsentrasi serbuk sambiloto sebesar 0.5 mg/kgBB dan konsentrasi ekstrak yang dilakukan dengan metode freez-dried sebesar 6.25 mg/kg BB (Husen et al, 2004). Kedua penelitian ini tidak menjelaskan lebih rinci tentang kesetaraan antara ekstrak dan serbuk
kering
daun
sambiloto,
sehingga
tidak
bisa
secara
langsung
membandingkan kekuatan antidiabetesnya. Penelitian selanjutnya membuktikan bahwa sambiloto dalam bentuk andrograflid meningkatkan ambilan glukosa oleh jaringan otot melalui peningkatan transkripsi mRNA transporter glukosa isoform-4 (GLUT-4) (Niki et al, 2003), dan aktivasi reseptor adrenergik α-1 (Hsu et al, 2004).
35
Berdasarkan fakta dari berbagai penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa baik serbuk kering daun sambiloto, ekstrak air, ekstrak etanol serta andrografolid itu sendiri, bermanfaat dalam menurunkan kadar glukosa darah. Seluruh penelitian di atas, membuktikan manfaat sambiloto sebagai herbal yang bersifat menurunkan kadar glukosa darah, sebagai perbaikan metabolisme dan ambilan glukosa, tetapi masih belum ada penelitian tentang pengaruh sambiloto pada sel β pankreas.
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Di samping Radio-Immuno Assay (RIA), ELISA merupakan salah satu metoda yang dipergunakan dalam prosedur uji atau deteksi. ELISA menggunakan prinsip dasar reaksi antigen-antibodi yang bersifat sangat spesifik dan sensitif, sehingga dapat memberikan hasil dengan nilai akurasi yang cukup tinggi. Disebut sebagai immunoassay karena menggunakan pelabelan enzim seperti alkalinfosfatase, horseradish peroksidase dan β-galaktosidase, yang dapat menghasilkan reaksi warna setelah bereaksi dengan kromogen sebagai substrat dari enzim tersebut. ELISA berkembang dalam berbagai variasi teknik pemeriksaannya dalam upaya meningkatkan akurasi serta sensitivitas pemeriksaan tersebut, bahkan satu zat yang sama dapat diidentifikasi dengan berbagai teknik berbeda. Berbagai sistem ELISA mempunyai tiga parameter dasar yang serupa yaitu: 1.
Reaktan yang melekat pada solid phase, yang biasanya berupa lempeng mikrotiter plastik dengan format 8 X 12 sumur.
2.
Pemisahan antara reagen yang bebas dan terikat pada reaktan yang sudah dilekatkan pada solid phase dengan teknik pencucian sederhana.
3.
Pembacaan hasil didapat melalui terbentuknya warna tertentu.
Walaupun demikian sebetulnya teknik pemeriksaan ELISA ini hanya terdiri atas tiga metoda ELISA dasar, yaitu: direct, indirect dan sandwich ELISA. Sandwich ELISA dapat digolongkan dalam 2 sistem, yaitu direct dan indirect sandwich ELISA (Crowther, 2001). Pada kesempatan ini hanya akan dibahas metoda direct sandwich ELISA yang berhubungan dengan penelitian ini dalam proses deteksi insulin yang disekresikan oleh BRIN-BD11.
36
(i) Proses pelekatan antibodi-1 secara pasif pada solid phase. (ii) Setelah kelebihan antibodi-1 dibuang dengan proses pencucian, ditambahkan antigen yang akan dideteksi. (iii) Setelah inkubasi, kelebihan antigen yang tidak berikatan dengan antibodi-1 pada solid phase dibuang dengan proses pencucian. ENZ
ENZ ENZ
ENZ ENZ ENZ
ENZ
ENZ ENZ
ENZ ENZ
ENZ
(iv) Dilakukan pemberian antibodi-2 yang sudah diberi label enzim (konjugat), dan diinkubasi untuk memberi kesempatan terjadinya ikatan antigen dengan antibodi-2. (v) Kelebihan antibodi-2 dibuang dengan proses pencucian. (vi) Setelah terjadi proses katalisis kromogen oleh enzim, maka akan terbentuk warna tertentu yang dapat dibaca intensitasnya dengan alat spektrofotometer.
ENZ ENZ ENZ
Gambar 20 Ilustrasi tahapan proses yang terjadi pada metoda direct sandwich ELISA. Keterangan gambar: Solid phase;
Antibodi-1;
Kromogen sebelum terbentuk warna Kromogen setelah terbentuk warna
Antigen;
ENZ Antibodi-2
37
Direct sandwich ELISA merupakan prosedur pemeriksaan ELISA yang tidak terlalu kompleks untuk mendeteksi antigen. Sistem ini terbatas hanya untuk antigen yang mempunyai paling tidak dua epitop antigenik yang berbeda baik jenis maupun posisi dalam molekul antigen tersebut, karena sistem ini memerlukan tempat terikat yang berbeda antara antibodi yang dilekatkan pada solid phase dan antibodi yang diberi label enzim. Dengan demikian, ukuran dan topografi dari epitop sangat menentukan keberhasilan dari cara ini. Prosedur ini diawali dengan menempelkan antibodi secara pasif pada permukaan solid phase pada dasar sumur lempeng mikrotiter plastik. Bila menggunakan kit komersial, antibodi spesifik sudah dilekatkan pada solid phase, dengan demikian sudah siap pakai. Antigen yang akan dideteksi ditambahkan ke dalam sumur dan diinkubasi selama kurun waktu tertentu untuk memberikan kesempatan terjadinya reaksi antigen dan antibodi yang sudah ada di solid phase dasar sumur. Kelebihan antigen yang tidak terikat dengan antibodi dibuang dengan proses pencucian sederhana, bisa secara manual atau menggunakan alat pencuci otomatis. Langkah berikutnya adalah penambahan antibodi yang sudah diberi label enzim tertentu dan spesifik (konjugat) terhadap antigen tetapi pada epitop yang berbeda. Setelah masa inkubasi tertentu, diharapkan terjadi proses antigenantibodi yang ke dua pada epitop yang berbeda dengan yang pertama.. Kelebihan konjugat dibuang dengan melakukan pencucian sederhana, bisa secara manual ataupun dengan alat pencuci otomatis. Dengan demikian pada dasar sumur mikrotiter plastik akan tertinggal suatu kompleks antibodi-antigen-konjugat (antibodi ke dua dengan label enzim). Enzim tersebut akan menimbulkan warna tertentu bila ditambahkan kromogen yang cocok. Intensitas warna yang ditimbulkan dapat diukur secara kuantitatif dengan alat spektrofotometer, peningkatan intensitas warna tersebut sebanding dengan jumlah antigen yang dimaksud.
38
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Seluruh rangkaian penelitian, termasuk persiapan ekstraksi bahan, dan penyiapan kultur sel lestari BRIN-BD11, dilaksanakan selama 14 bulan, yaitu mulai bulan Juli 2004 s/d September 2005. Seluruh penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, Pusat Studi Satwa Primata, LPPM, IPB. Bahan Penelitian Pada penelitian ini digunakan organ uji sel lestari penghasil insulin (clonal glucose-responsive insulin secreting cells) BRIN-BD11, pemberian Prof. Dr. dr. André Herchuelz, Laboratoire de Pharmacodynamie et de Thérapeutique, Université Libre de Bruxelles, Faculté de Médecine, Bruxelles, Belgium. Serbuk daun sambiloto (A.paniculata) dibeli dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITTRO) Bogor. Diazoxide dibeli dari Sigma, glibenklamid diberi oleh PT. Aventis Farma Indonesia, sedangkan verapamil diberi oleh PT.Dexa Medica. Bahan bahan komponen media tersedia di laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, PSSP, LPPM, IPB.
Penyiapan Ekstraksi Sambiloto Tanaman sambiloto di dapat dari BALITTRO, dengan nomor aksesi Cimangu, merupakan salah satu dari tiga varietas unggul sambiloto yang dibudidayakan. Pembuatan serbuk kering sambiloto dilakukan di BALITTRO Bogor, dengan mengeringkan daun sambiloto dalam oven dengan suhu 400C selama 3 hari. Setelah kering dihaluskan dan di simpan untuk pembuatan ekstraksi. Pembuatan ekstraksi sambiloto dilakukan pada hari perlakuan. Untuk membuat larutan persediaan sambiloto dengan konsentrasi 40 mg/mL, dilakukan penimbangan 4 gr serbuk kering daun sambiloto, masukkan dalam 100 mL aquabidest yang sudah mendidih. Aduk dengan stirrer selama 15 menit, dilanjutkan dengan penambahkan aquabidest sampai volume mencapai 100 mL
39
seperti yang dilakukan oleh peneliti lain (Gray et al, 2000, Gray & Flatt, 1997). Bahan padatan dipisahkan dari larutan sambiloto dengan sentrifugasi kecepatan 2000 rpm selama 15 menit, berbeda dengan beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan penyaringan dengan kertas saring Whatman no 1 untuk memisahkan bahan padatan. Ambil dan pisahkan larutan sambiloto sebagai larutan persediaan sambiloto untuk perlakuan selanjutnya sesuai dengan konsentrasi sambiloto yang diperlukan. Penyiapan berbagai media Media RPMI 1640. Bahan baku media RPMI 1640 didapat secara komersial. Untuk keperluan kultur BRIN-BD 11 harus ditambahkan 2mM L-glutamin, glukosa 11.1 mM dan antibiotika penisilin100 U/mL–streptomisin 100 μg/mL, serta 10% foetal bovine serum (FBS). Media modified Kreb-Ringer Buffer (KRB). Untuk memudahkan pembuatan larutan KRB, dilakukan pembuatan larutan persediaan masing masing komponen dalam konsentrasi 1M. Aquabidest didapat dari produksi laboratorium Mikrobiologi dan Imunologi, PSSP, LPPM, IPB Bogor dengan menggunakan alat Water System milli RO dan milli Q produksi millipore, Germany. Larutan persediaan NaCl, KCl, CaCl2, KH2PO4 dan MgSO4 dibuat satu hari sebelumnya, sedangkan larutan glukosa dan NaHCO3 dibuat pada hari perlakuan. Serbuk kering komponen KRB ditimbang dengan timbangan Ohauss, USA. Pembuatan 100 mL larutan persedian NaCl (BM= 58.5) dengan konsentrasi 1 M dilakukan dengan melarutkan serbuk NaCl seberat 5.85 gram ke dalam aquabidest sampai volume mencapai 100 mL. Larutan persediaan KCl (BM= 74) dengan konsentrasi 1M sebanyak 10 mL, dibuat dengan melarutkan 0.74 gr serbuk KCl ke dalam aquabidest sampai volume mencapai 10 mL. Larutan CaCl2 (BM=111) dengan konsentrasi 1M sebanyak 10 mL, dibuat dengan melarutkan 1.11 gr serbuk CaCl2 ke dalam aquabidest sampai volume mencapai 10 mL. Larutan persediaan MgSO4 dilakukan dengan menimbang 2.46 gr MgSO4.7H2O
40
(BM=246.48) dan dilarutkan dalam aquabidest sampai volume mencapai 10 mL. Larutan persediaan KH2PO4 (BM=136) dengan konsentrasi 1M, dibuat dengan melarutkan 1.36 gr serbuk KH2PO4 ke dalam aquabidest sampai volume mencapai 10 mL. Larutan persediaan glukosa (BM=180) dibuat dengan melarutkan 1.8 gr glukosa ke dalam aquabidest sampai volume mencapai 10 mL. Demikian juga larutan persediaan NaHCO3 (BM=84) dibuat dengan melarutkan 0.84 gr serbuk NaHCO3 ke dalam aquabidest sampai volume mencapai 10 mL. HEPES sudah tersedia dalam konsentrasi 1 M, disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 40C dan siap dipakai sewaktu waktu diperlukan. KRB mengandung komponen NaCl 115 mM, KCl 4.7 mM, CaCl2 1.3 mM, KH2PO4 1.2 mM, MgSO4 1.2 mM, NaHCO3 24 mM, HEPES 10 mM dan albumin dalam bentuk Bovine Serum Albumin (BSA) 1gr/L. Adapun konsentrasi glukosa tergantung pada kebutuhan sesuai kondisi yang dipergunakan pada saat perlakuan. Dalam penelitian ini dipergunakan 2 jenis KRB, yaitu KRB-1 dengan konsentrasi glukosa sebesar 1.11 mM, dan KRB-3 dengan konsentrasi glukosa 16.7 mM. Untuk membuat 200 mL larutan KRB-1, dilakukan pengisian aquabidest sekitar 50 - 100 mL ke dalam botol, perlakuan ini dimaksud untuk menghindari terjadinya perubahan bentuk larutan yang menjadi keruh bila pencampuran komponen dilakukan dalam konsentrasi pekat. Kemudian ke dalam aquabidest tersebut ditambahkan 23 mL larutan persediaan NaCl 1M, 0.94 mL larutan persediaan KCl 1M, 260 μL larutan persediaan CaCl2 1M, 240 μL larutan persediaan KH2PO4 1M, 240 μL larutan persediaan MgSO4 1M, 4.8 mL larutan persediaan NaHCO3 1M, 222 μL larutan persediaan glukosa 1M, 2 mL HEPES 1M. Selanjutnya ditambahkan aquabidest sampai mencapai volume 200 mL. Derajat keasaman media dengan pH sekitar 7.4 didapat dengan mengalirkan gas CO2 5% dalam O2 95% selama 20 menit. Setelah selesai aliran gas tersebut, masukkan 200 mg Bovine serum albumin (BSA) dan diamkan sejenak sampai seluruh BSA larut. Untuk menghindari terbentuknya busa yang berlebihan, larutan tersebut jangan dikocok, tetapi sebaiknya diaduk dengan menggunakan stirrer selama 5 menit. Pengukuran derajat keasaman, dilakukan dengan alat pH meter merk Orion, USA.
41
Pembuatan 200 mL larutan KRB-3 dilakukan prosedur yang sama dengan penyiapan KRB-1, perbedaan hanya pada konsentrasi glukosa, di mana pada KRB-3 ditambahkan 3.34 mL larutan persediaan glukosa 1M. Selanjutnya larutan ini siap dipakai. Media sambiloto dalam KRB. Untuk menilai efek insulinotropik dan mempelajari mekanisme kerja sambiloto sebagai antidiabetes, dibuat larutan sambiloto berbagai konsentrasi dalam lingkungan KRB-1 dan KRB-3. Pembuatan 100 mL larutan sambiloto dengan konsentrasi 10 mg/mL dalam lingkungan KRB-1 (KRB1-S10) diawali dengan memasukkan 20 mL aquabidest dalam botol 100 cc. Tambahkan ke dalam aquabidest tersebut 11.5 mL larutan persediaan NaCl 1M, 0.47 mL larutan persediaan KCl 1M, 130 μL CaCl2 1M, 120 μL larutan persediaan KH2PO4 1M , 120 μL larutan persediaan MgSO4 1M, 2,4 mL larutan persediaan NaHCO3 1M, 111 μL larutan persediaan glukosa 1M, 1 mL HEPES 1M. Selanjutnya tambahkan 25 mL larutan sambiloto 40 mg/mL. Tambahkan aquabidest sampai mencapai volume 100 mL. Derajat keasaman media dengan pH sekitar 7.4 didapat dengan mengalirkan gas CO2 5% dalam O2 95% selama 20 menit. Setelah selesai aliran gas tersebut, masukkan 100 mg Bovine serum albumin (BSA) dan diamkan sejenak sampai seluruh BSA larut. Untuk menghindari terbentuknya busa yang berlebihan, larutan tersebut jangan dikocok, tetapi sebaiknya diaduk dengan menggunakan stirrer selama 5 menit. Pengukuran derajat keasaman, dilakukan pengukuran pH dengan alat pH meter merk Orion, USA. Pembuatan media KRB-1 dengan konsentrasi sambiloto 5 mg/mL (KRB1S5)
dilakukan dengan menambahkan 5 mL KRB-1 ke dalam 5 mL larutan
sambiloto 10 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S10). Demikian seterusnya untuk konsentrasi sambiloto 2.5 mg/mL (KRB1-S2,5), tambahkan 7.5 mL KRB-1 ke dalam 2.5 mL larutan sambiloto 10 mg/mL sambiloto dalam KRB-1 (KRB1-S10), atau menambahkan 5 mL KRB-1 ke dalam 5 mL larutan sambiloto 5 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S5). Untuk mendapatkan larutan sambiloto 1.25 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S1.25), tambahkan 8.75 mL KRB-1 ke dalam 1.25 mL
42
larutan sambiloto 10 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S10), atau tambahkan 5 mL larutan KRB-1 ke dalam 5 mL larutan sambiloto 2.5 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S2.5). Untuk mendapatkan larutan sambiloto 0.625 mg/mL dalam KRB-1, tambahkan 9.375 mL KRB-1 ke dalam 0.625 mL larutan sambiloto 10 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S10) atau tambahkan 5 mL KRB-1 ke dalam 5 mL larutan sambiloto 1.25 mg/mL dalam KRB-1 (KRB1-S1,25). Penyiapan larutan sambiloto dalam KRB-3, dilakukan dengan prosedur yang sama kecuali konsentrasi glukosa, di mana pada KRB-3 ditambahkan 1.67 mL larutan persediaan glukosa 1M. Penyiapan media KRB dengan kandungan 25 meq kalium. Pembuatan 100 mL media KRB-1 dengan kandungan kalium sebesar 25 meq dilakukan pengisian 30 mL aquabidest ke dalam botol. Kemudian ke dalam aquabidest tersebut ditambahkan 9.2 mL larutan persediaan NaCl 1M, 2.5 mL larutan persediaan KCl 1M, 130 μL larutan persediaan CaCl2 1M, 120 μL larutan persediaan KH2PO4 1M , 120 μL larutan persediaan MgSO4 1M, 2.4 mL larutan persediaan NaHCO3 1M, 111 μL larutan persediaan glukosa 1M,.1 mL HEPES 1M. Tambahkan aquabidest sampai mencapai volume 100 mL. Derajat keasaman media dengan pH sekitar 7.4 didapat dengan mengalirkan gas CO2 5% dalam O2 95% selama 20 menit. Setelah selesai aliran gas tersebut, masukkan 100 mg Bovine serum albumin (BSA) dan diamkan sejenak sampai seluruh BSA larut. Untuk menghindari terbentuknya busa yang berlebihan, larutan tersebut jangan dikocok, tetapi sebaiknya diaduk dengan menggunakan stirrer selama 5 menit. Pengukuran derajat keasaman, dilakukan pengukuran pH dengan alat pH meter merk Orion, USA. Untuk membuat media ini dalam KRB-3 dilakukan prosedur yang sama kecuali konsentrasi glukosa, di mana pada KRB-3 ditambahkan 1.67 mL larutan persediaan glukosa 1M. Penyiapan media KRB dengan kandungan 500 μM Diazoxide Buat larutan persediaan diazoxide pekat dalam NaOH, karena diazoxide tidak larut dalam air, dan hanya larut dalam DMSO dan NaOH. Untuk menghindari penggunaan NaOH dalam jumlah besar yang dapat mengubah
43
komponen elektrolit dan pH larutan, maka dilakukan pembuatan larutan pekat diazoxide dalam NaOH 1M dan selanjutnya diencerkan 1000 kali. Untuk maksud tersebut, dilakukan penimbangan 57.68 mg diazoxide (BM=230.70) dengan timbangan analitik merek Mettler, USA dan masukkan dalam wadah (snap cap) 1 mL. Tambahkan NaOH 1M sampai volume mencapai 0.5 mL, aduk dengan alat pengocok vertex sampai terbentuk larutan yang jernih. Untuk mendapatkan 100 mL KRB dengan kandungan 500 μM diazoxide, tambahkan 100 μL larutan pekat diazoxide dalam NaOH 1M. Kristalisasi diazoxide dapat dihindari dengan cara
penambahan larutan
pekat diazoxide ke dalam KRB secara bertahap dan dilakukan setetes demi setetes sambil sekaligus mengaduk albumin dengan strirrer. Pemeriksaan derajat keasaman, dilakukan pengukuran pH dengan alat pH meter merk Orion, USA. Penurunan pH dapat dikoreksi dengan pemberian HCl pekat. Penyiapan media KRB dengan kandungan 100 μM Verapamil Penyiapan media yang mengandung verapamil jauh lebih mudah, karena verapamil larut dalam air. Untuk menghindari kesalahan dalam pengenceran, maka dilakukan pembuatan larutan pekat verapamil dalam air, baru kemudian diencerkan 1000 kali dalam larutan KRB yang dikehendaki. Pembuatan larutan pekat verapamil dilakukan dengan menimbang 49.10 mg verapamil (BM=491.07) dengan timbangan analitik.merek Mettler, USA. Masukkan serbuk verapamil ke dalam wadah plastik (snap cap) 1.5 mL. Tambahkan aquabidest sampai volume 1 mL. Kocok dengan alat vertex sampai terbentuk larutan jernih. Untuk mendapatkan larutan KRB dengan kandungan 100 μM verapamil, tambahkan 100 μL larutan pekat verapamil ke dalam 100 mL KRB setetes demi setetes sambil dilakukan pengadukan albumin dalam KRB dengan stirrer sampai tidak terlihat adanya kristal. Derajat keasaman diukur dengan alat pH meter merk Orion, USA.
44
Penyiapan media KRB dengan kandungan 100 μM Glibenklamid Penyiapan media yang mengandung glibenklamid sedikit lebih sulit karena glibenklamid tidak larut dalam air dan NaOH, tetapi mudah larut dalam DMSO. Untuk menghindari kesalahan dalam pengenceran, maka dilakukan pembuatan larutan pekat glibenklamid dalam DMSO, baru kemudian diencerkan 1000 kali dalam larutan KRB yang dikehendaki. Pembuatan larutan pekat glibenklamid dilakukan dengan menimbang 49.40 mg glibenklamid (BM=494.00) dengan timbangan analitik merek Mettler, USA. Masukkan serbuk glibenklamid ke dalam wadah plastik (snap cap) 1.5 mL lalu tambahkan DMSO sampai volume 1 mL. Kocok dengan alat vertex sampai terbentuk larutan jernih. Untuk mendapatkan larutan KRB dengan kandungan 100 μM glibenklamid, tambahkan setetes demi setetes 100 μL larutan pekat glibenklamid ke dalam 100 mL KRB, sambil dilakukan pengadukan dengan stirrer sampai tidak terlihat adanya kristal. Derajat keasaman diukur dengan alat pH meter merk Orion, USA. Penyiapan media sambiloto dalam KRB dengan kandungan 500 μM Diazoxide Setelah penyiapan 100 mL media sambiloto dalam KRB yang dikehendaki, baik KRB-1 maupun KRB-3, masukkan setetes demi setetes 100 μL larutan pekat diazoxide dalam NaOH 1M sambil diaduk dengan stirrer sampai larutan terlihat jernih dan tidak terlihat adanya kristal. Untuk memastikan derajat keasaman, dilakukan pengukuran pH dengan alat pH meter merk Orion, USA. Penyiapan media sambiloto dalam KRB dengan kandungan 100 μM Verapamil Setelah penyiapan 100 mL media sambiloto dalam KRB yang dikehendaki, baik KRB-1 maupun KRB-3, masukkan setetes demi setetes 100 μL larutan pekat verapamil dalam air, sambil diaduk dengan stirrer sampai larutan terlihat jernih dan tidak terlihat adanya kristal. Untuk memastikan derajat keasaman, dilakukan pengukuran pH dengan alat pH meter merk Orion, USA.
45
Penyiapan media sambiloto dalam KRB dengan kandungan 25 meq kalium Pembuatan 100 mL larutan sambiloto dengan konsentrasi 2.5 mg/mL dalam KRB-1 yang mengandung KCl 25 meq dilakukan dengan cara masukkan 20 mL aquabidest ke dalam botol. Kemudian ke dalam aquabidest tersebut ditambahkan 9.2 mL larutan persediaan NaCl 1M, 2.5 mL larutan persediaan KCl 1M, 130 μL larutan persediaan CaCl2 1M, 120 μL larutan persediaan MgSO4, 120 μL larutan persediaan KH2PO4 1M, 2.4 mL larutan persediaan NaHCO3 1M, 111 μL larutan persediaan glukosa 1M, 1 mL HEPES. Tambahkan 25 mL larutan sambiloto dengan konsentrasi 10 mg/mL. Selanjutnya tambahkan aquabidest sampai mencapai volume 100 mL. Derajat keasaman media dengan pH sekitar 7.4 didapat dengan mengalirkan gas CO2 5% dalam O2 95% selama 20 menit. Setelah selesai aliran gas tersebut, masukkan 100 mg Bovine serum albumin (BSA) dan diamkan sejenak sampai seluruh BSA larut. Untuk menghindari terbentuknya busa yang berlebihan, larutan tersebut jangan dikocok, tetapi sebaiknya diaduk dengan menggunakan stirrer selama 5 menit. Pemeriksaan derajat keasaman, dilakukan pengukuran pH dengan alat pH meter merk Orion, USA.
Penyiapan BRIN-BD11 Transportasi BRIN-BD11 dari Brussels. Sebelum BRIN-BD 11 dibawa ke Indonesia, dilakukan subkultur pada tiga hari sebelum hari kepulangan. BRIN-BD11 dikultur dengan media RPMI 1640 (GIBCO) yang diperkaya dengan 11.1 mM glukosa dan 2 mM L-Glutamin (Akbarsha et al, 1990), serta 100 U/mL antibiotika Penisilin dan 100 μg/mL Streptomisin, inkubasi dalam inkubator dengan aliran gas CO2 5% dan suhu 370C. Pada hari ketiga atau hari kepulangan, terlihat pertumbuhan BRIN-BD11 mencapai sekitar 75% dari tempat yang disediakan Flask T25 (botol 25cc). Setelah media lama dibuang, diganti dengan media baru sampai penuh sekali kemudian ditutup rapat, kemudian botol bisa dibawa dalam saku baju selama transportasi antara 24 sampai 36 jam. Setibanya di Indonesia, media lama segera dibuang dan diisi kembali dengan 10 mL RPMI 1640 yang telah diperkaya untuk
46
melanjutkan prosedur kultur dalam upaya memperbanyak BRIN-BD11. Subkultur dilakukan secara teratur sampai sel terlihat cerah, sehat dan bahagia dengan laju pertumbuhan sel seperti semula. Setelah tercapai kondisi seperti ini, maka sel sudah dapat dipakai untuk perlakuan dalam penelitian, atau dibekukan kembali bila belum diperlukan. Pemeliharaan BRIN-BD11. Pemeliharaan dengan cara subkultur BRIN-BD11 tidak berbeda dengan pemeliharaan sel jenis monolayer lainnya, kecuali media yang dipakai disini adalah RPMI 1640 (GIBCO cat no. 23400-021). Setelah Flask T25 dikeluarkan dari inkubator dan dipindahkan ke dalam Biological Safety Cabinet Class II, media lama dibuang dari flask sampai habis. Diikuti dengan pencucian / pembilasan dengan cairan PBS sebanyak 3 kali. Prosedur
penglepasan
sel
dari
dinding
botol,
dilakukan
dengan
menambahkan 5 mL Trypsin 0.25% kedalam flask sampai menutupi seluruh permukaan sel, dan dilanjutkan inkubasi kembali didalam inkubator selama 5-10 menit dalam suhu 37 oC. Pengamatan dilakukan dibawah inverted microscope untuk memastikan seluruh sel sudah terlepas dari dinding botol. Bila sebagian besar sel masih menempel dengan kuat, maka bisa dimasukkan kembali ke dalam inkubator. Penglepasan sel dari dasar botol juga dapat dibantu dengan cara membilas dasar botol dengan suspensi sel tadi secara berulang ulang menggunakan pipet transfer, atau dengan memukulkan botol ke atas lantai Biological Safety Cabinet Class II. Setelah dipastikan bahwa semua sel BRINBD11 sudah terlepas dari dinding botol, ditambahkan media RPMI 1640 sebanyak 2 mL untuk menghentikan aktivitas enzim tripsin yang ada. Seluruh suspensi sel dipindahkan ke dalam tabung sentrifus dan lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1000 rpm selama 10 menit (Beckman, GS 6R). Supernatant dibuang kemudian ditambahkan 5 mL media RPMI 1640 ke dalam tabung sentrifus yang berisi endapan sel, dilakukan pengocokan sehingga terjadi suspensi sel yang homogen. Pengocokan harus dilakukan secara hati hati dan teliti, karena sel monolayer sangat mudah menggumpal. Selanjutnya lakukan perhitung jumlah sel. Setelah
47
diketahui konsentrasi sel, lakukan pemindahan sejumlah sel ke dalam flask yang sudah disiapkan. Selama dalam pemeliharaan harus selalu dilakukan pemeriksaan setiap hari untuk mendeteksi kemungkinan kontaminasi. Pemeriksaan dibawah mikroskop dilakukan setiap 3 hari untuk menilai kepadatan sel dalam botol untuk proses subkultur berikutnya.
Cara perhitungan jumlah sel BRIN-BD11. Penghitungan sel dilakukan dengan mengambil sejumlah suspensi sel ke dalam lempeng 96 sumur untuk persiapan perhitungan jumlah sel. Dengan mikropipet, ambil 50 μL Trypan Blue 0.1% ke dalam salah satu sumur lempengan, dan tambahkan pula 50 μL suspensi sel. Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan alat kamar hitung sel Improved Neubauer. Hitung sel yang berada di dalam dua corner square atau16 kotak kecil yang terletak pada sudut kiri atas dan sudut kanan bawah. Hitung seluruh sel hidup, yang terlihat cerah dan terang dan tidak berwarna gelap (sel yang mati akan mengambil zat warna Trypan Blue) termasuk sel sel yang menyentuh garis pada tepi atas dan tepi kiri tetapi tidak termasuk yang menyentuh tepi bawah dan tepi kanan atau lakukan hitungan termasuk sel yang menyentuh garis tengah pada tepi bawah dan tepi kanan tetapi tidak termasuk sel sel yang menyentuh garis tengah pada tepi atas dan tepi kiri. Perhitungan sel dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
Jumlah sel =
X xZ 2 x10 4 Z1
Keterangan : Jumlah sel
dalam satuan sel/mL
X
= Jumlah sel terhitung dalam corner square.
Z1
= Jumlah corner square, yang dipakai untuk menghitung jumlah sel.
Z2
= Faktor Pengenceran
48
Contoh: Dalam perhitungan menggunakan 2 corner square, yang terletak di ujung kiri atas dan ujung kanan bawah, berarti: X = jumlah sel yang terhitung dalam ke dua kotak corner square tersebut, misalnya 48 buah sel Z1 = 2 (karena menggunakan 2 buah corner square. Z2 = 2 (pengenceran 2 kali) Maka jumlah sel per mL adalah :
48 x 2 x10 4 = 48.104 sel 2
Proses pembekuan dan pencairan kembali BRIN-BD11.
Bila BRIN-BD11 belum diperlukan maka dapat dilakukan penyimpanan jangka panjang dengan membekukannya kembali. Proses ini diawali dengan prosedur subkultur dan dilanjutkan dengan perhitungan sel. Masukkan BRINBD11 ke dalam media RPMI 1640 yang telah diperkaya dan sudah ditambahkan DMSO 10%. Simpan suspensi sel dengan konsentrasi 2 juta sel per mililiter dalam wadah khusus, dan simpan dalam lemari pendingin dengan suhu -70 0C selama 24 jam. Setelah itu pindahkan ke dalam tempat pendingin dengan nirogen cair pada suhu -196 0C. Penyimpanan dapat berlangsung lama. Bila diperlukan maka ambil wadah dari pendingin dan letakkan pada suhu ruangan sampai seluruh media mencair, jangan dipanaskan dengan penangas air. Setelah mencair, pindahkan seluruh media dan sel di dalamnya ke dalam tabung sentrifus. Lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit (Beckman GS 6R). Supernatan dibuang dan tambahkan 5 mL media RPMI 1640 yang telah diperkaya. Kocok suspensi sel BRIN-BD11 dengan hati hati sampai homogen, kemudian pindahkan ke dalam botol T25 yang sudah terisi 5 mL RPMI 1640 yang telah diperkaya. Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37 0C dan dialiri gas CO2 5%.
49
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu:
1.
1.
Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11.
2.
Pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase cepat BRIN-BD11.
3.
Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog.
Efek Insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11.
Untuk dapat menilai efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11, dilakukan inkubasi BRIN-BD11 dalam berbagai konsentrasi sambiloto. Setelah jumlah sel BRIN-BD11 dalam botol kultur sudah mencukupi, dilakukan inkubasi BRIN-BD11 (passage 40-50) selama 24 jam pada lempeng plastik dengan 24 buah sumur merek Costar, USA, dengan konsentrasi 300.000 sel di dalam masing masing sumur dalam media RPMI 1640 sama dengan media yang dipakai selama kultur. Setelah inkubasi selama 24 jam, diharapkan sudah terjadi penempelan BRIN-BD11 pada dinding dasar sumur. Selanjutnya dilakukan pembilasan sebanyak 3 kali dengan 1 mL larutan segar Modified Kreb Ringer Buffer (KRB)-1 ( NaCl 115 mM, KCl 4.7 mM, CaCl2 1.3 mM, KH2PO4 1.2 mM, MgSO4 1.2 mM, NaHCO3 24 mM, HEPES 10 mM, BSA (Bovine Serum Albumin) 1 g/L, glukosa 1.11 mM, dan dialiri gas CO2 5%, O2 95% selama 15 menit). Sebelum perlakuan dimulai dilakukan preinkubasi selama 40 menit dengan 1 mL larutan KRB-1 dalam inkubator pada suhu 370C dan dialiri 5% gas CO2. Untuk penentuan efek insulinotropik sambiloto, dilakukan inkubasi dalam inkubator pada suhu 370C dan dialiri gas CO2 5% selama 60 menit dengan 1 mL larutan ekstrak sambiloto konsentrasi 0.625, 1.25, 2.5, 5, dan 10 mg/mL dalam KRB-3 (Modified Kreb Ringer Buffer berkadar glukosa 16.7 mM) dan KRB-1. Selanjutnya media dipanen dan dimasukkan dalam wadah 1.5 mL, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sel BRIN-BD11 yang terlepas dalam media tersebut. Lakukan pemeriksaan kadar insulin dengan Kit Mercodia Rat Insulin ELISA.
50
2.
Pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase cepat BRIN-BD11.
Untuk menilai efek insulinotropik sambiloto pada sekresi insulin fase cepat BRIN-BD11, dilakukan tahapan sama seperti di atas, hanya lama inkubasi dalam inkubator selama 20 menit saja dengan 1 mL larutan ekstrak sambiloto konsentrasi 0.625, 1.25, 2.5, 5, dan 10 mg/mL dalam KRB-3 ( Modified Kreb Ringer Buffer berkadar glukosa 16.7 mM) dan KRB-1. Selanjutnya media dipanen dan dimasukkan dalam wadah 1.5 mL, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sel BRIN-BD11 yang terlepas dalam media tersebut. Lakukan pemeriksaan kadar insulin dengan Kit Mercodia Rat Insulin ELISA. 3.
Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog
Untuk mempelajari mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog, dilakukan tahapan sama seperti di atas, tetapi lama inkubasi hanya 20 menit. Perbedaan terletak pada jenis media, yaitu KRB-1 yang ditambahkan dengan 0.5 mM Diazoxide (aktifator K+ATP), 0.1 mM Verapamil (inhibitor kanal kalsium VDCC tipe-L), dan perlakuan dalam media dengan kandungan KCl 25 mEq. Selanjutnya media dipanen dan dimasukkan dalam wadah 1.5 mL, dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit untuk memisahkan sel BRIN-BD11 yang terlepas dalam media tersebut. Perhitungan kadar insulin menggunakan KIT Mercodia Rat Insulin ELISA.
Pemeriksaan Kadar Insulin
Analisis insulin bisa langsung dikerjakan, atau bila dilakukan lebih dari 24 jam pasca panen, harus disimpan dalam suhu -20 0C. Pada penelitian ini analisis insulin dikerjakan langsung segera setelah selesai perlakuan. Pemeriksaan kadar insulin menggunakan Kit Mercodia Rat Insulin Eliza buatan Mercodia, dengan teknik direct sandwich.
51
Tahap persiapan.
Siapkan lempeng mikrotiter khusus (bagian dari KIT yang telah disediakan) yang mempunyai sumur yang telah diberi anti-insulin (mouse monoclonal antiinsulin) pada dasar sumur. Untuk pemeriksaan 6 baris (6 X 8 sumur), siapkan larutan konjugat dengan cara menambahkan 250 μL larutan persediaan konjugat anti-insulin yang sudah berikatan dengan enzim peroksidase (Peroxidase conjugated mouse monoclonal anti-insulin) yang tidak berwarna, ke dalam 2.5 mL larutan penyangga konjugat (conjugate buffer) yang diberi warna biru. Tahap pelaksanaan.
Tahap berikutnya adalah memasukkan 25 μL cairan standar insulin dengan konsentrasi 0, 0.15, 0.4, 1, 1.5, 3 dan 5.5 μg/L ke dalam masing masing sumur pada baris pertama lempengan yang telah disiapkan di atas, mulai pada sumur ke dua dari atas. Sumur pertama dipakai sebagai koreksi blanko. Tambahkan 25 μL sampel ke dalam sumur pada baris baris berikutnya. Tambahkan 50 μL larutan konjugat (Peroxidase conjugated mouse monoclonal anti-insulin) yang telah disiapkan sebelumnya ke dalam sumur sumur yang telah diberi standar insulin maupun sampel, kecuali pada sumur blanko. Inkubasi di atas shaker selama 2 jam pada suhu ruang. Sambil menunggu inkubasi dapat disiapkan cairan pencuci, yaitu dengan melarutkan 1 bagian detergen konsentrat ke dalam 20 bagian aquabidest. Setelah 2 jam inkubasi, lakukan pencucian dengan larutan deterjen yang telah disiapkan, menggunakan alat pencuci otomatis merek Bio Rad sebanyak 6 kali. Setelah diyakini tidak ada cairan tertinggal dalam sumur sumur tersebut, tambahkan 200 μL tetramethylbenzidine (TMB) sebagai substrat dari enzim peroksidase. Inkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan, dan terhindar dari cahaya. Tambahkan 50 μL stop solution H2SO4. Taruh pada alat pembaca kepadatan optik Spectrophotometer Microplate Reader BioRad model 3550 dengan panjang gelombang 450 nM. Alat ini secara otomatis akan mengguncang rak selama 5 detik sebelum pembacaan.
52
Perhitungan kadar insulin.
Intensitas warna yang terbaca oleh alat spectrophotometer menggambarkan konsentrasi insulin, makin tinggi intensitasnya makin tinggi konsentrasi yang terdeteksi. Perhitungan kadar insulin dalam satuan μg/L, diawali dengan pembuatan fungsi grafik antara kadar insulin standar sebagai sumbu X dan intensitas kepadatan warna sebagai sumbu Y. Dengan menggunakan program Microsoft Office Excel akan didapat persamaan grafik fungsi hubungan intensitas warna dan kadar insulin standar 0, 0.15, 0.4, 1, 1.5, 3 dan 5.5 μg/L, dari berbagai bentuk fungsi yang ada, fungsi yang terbaik dengan nilai r2 mendekati satu, biasanya berbentuk fungsi kuadrat Y = aX2 + bX + q. Dengan melanjutkan perhitungan, persamaan akan menjadi 0 = aX2 + bX + c di mana c = q – Y. Selanjutnya X dapat dihitung dengan: X1.2 = [- b + (b2 - 4ac)1/2] : 2a . Perhitungan Statistik
Perhitungan statistik untuk menilai perbedaan jumlah sekresi insulin pada berbagai perlakuan, digunakan student t test tidak berpasangan.
53
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk dapat menjawab permasalahan tersebut di atas, hasil dan pembahasan penelitian ini juga dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: 1.
Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11.
2.
Pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase cepat BRIN-BD11 dan
3.
Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog.
Berbeda dengan penelitian in vivo yang bisa menggunakan serbuk kering sambiloto, pengaruh sambiloto pada sekresi insulin BRIN-BD11 secara in vitro hanya dapat dinilai bila sambiloto dalam bentuk larutan atau ekstrak yang larut dalam media, sehingga perlu dilakukan ekstraksi sambiloto. Adapun cara ekstraksi yang dipilih adalah ekstraksi sederhana dengan air mendidih, berdasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut: a.
Penelitian ini adalah penelitian in vitro dengan menggunakan organ uji sel lestari, sehingga bentuk bahan yang akan diuji harus dalam bentuk larutan, dan tidak mungkin dalam bentuk serbuk.
b.
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, penggunaan sambiloto untuk berbagai keperluan adalah dalam bentuk rebusan dan bukan ekstrak air dingin.
c.
Pemanasan juga dimaksudkan untuk menghilangkan efek lektin yang mungkin juga berperan (Gray & Flatt, 1999).
c.
Pada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa ekstrak air merupakan bentuk yang paling bermanfaat dibanding bentuk ekstraksi lainnya (Gray & Flatt, 1998c), walaupun ada pula penelitian yang menggunakan ekstrak alkohol (Nunemaker et al, 2004, Limsong et al, 2004).
Dengan asumsi kadar andrografolid yang paling rendah, 2.5 % berat kering daun sambiloto, maka penggunaan 0.625 mg/mL serbuk kering sambiloto dapat disetarakan dengan 15.625 μg/mL andrografolid, atau setara dengan 44.5 μM. Bila dilakukan pembulatan, maka dapat diasumsikan penggunaan andrografolid pada penelitian ini adalah 45, 90, 180, 360 dan 720 μM
54
1.
Efek insulinotropik sambiloto (A.paniculata) pada BRIN-BD11.
Untuk mempelajari pengaruh sambiloto pada sel β pankreas, digunakan organ uji clonal glucose-responsive insulin secreting cells BRIN-BD11, salah satu dari berbagai jenis sel lestari penghasil insulin yang mempunyai sifat fisiologis mendekati sel β pankreas (McClenaghan et al, 1996). Setelah diinkubasi selama 24 jam dengan RPMI 1640 yang diperkaya dan dalam aliran gas CO2 5% dan suhu 37 0C, jumlah sel BRIN-BD11 bertambah dua kali lipat, dari 300.000 sel menjadi rata rata 600.000 sel tiap sumur. Konsentrasi
sambiloto
dihitung
berdasarkan
perhitungan
konsumsi
kebanyakan orang Indonesia, yaitu rebusan 20 – 25 gr daun sambiloto kering, atau sekitar 5 mg/mL volume darah, sehingga dalam penelitian ini digunakan larutan KRB-3 (Modified Ringer Buffer Solution dengan kandungan glukosa 16.7 mM) yang diberi sambiloto dengan konsentrasi 10, 5, 2.5, 1.25 dan 0.625 mg/mL. Tabel 1 Sekresi insulin (μg/L/6.105 sel) sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3 yang mengandung glukosa 16.7 mM dan diinkubasi selama 60 menit (A) dan 20 menit (B) ____________________________________________________ Konsentrasi Sekresi insulin (μg/L/6.105 sel) Sambiloto (mg/mL) A B . 0.344 + 0.058 0 0.529 + 0.067 0.625 0.920 + 0.070 0.486 + 0.088 1.25 1.250 + 0.173 0.825 + 0.125 2.5 1.972 + 0.042 1.394 + 0.160 5 0.972 + 0.133 1.607 + 0.096 10 0.405 + 0.064 0.754 + 0.088 ____________________________________________________ n=3 0 = media tanpa sambiloto
Pada awal penelitian, inkubasi dilakukan selama 60 menit dan digunakan sambiloto dengan konsentrasi 2.5 mg/mL, 5 dan 10 mg/mL, tetapi terihat suatu fenomena di mana makin tinggi konsentrasi sambiloto, makin rendah sekresi insulin yang dihasilkan oleh BRIN-BD11. Berdasarkan falta tersebut di atas, maka penelitian dilanjutkan dengan konsentrasi sambiloto yang lebih rendah, yaitu 2.5 mg/mL, 1.25 dan 0.625 mg/mL. Pada inkubasi selama 60 menit (tabel 1), efek
55
insulinotropik sambiloto sudah mulai terlihat pada konsentrasi 0.625 mg/mL, yaitu sebesar 1.74 kali (p = 0.003) dari efek insulinotropik glukosa 16.7 mM (0.529 + 0.067 μg/L/6.105sel), bahkan pada konsentrasi sambiloto 2.5 mg/mL, terlihat peningkatan efek insulinotropik sebesar 3.73 kali (p < 0.001). Untuk melihat seberapa jauh kemampuan sambiloto dalam mencetuskan sekresi insulin atau sebagai insulin sekretagog, dilakukan pengamatan dengan membandingkan kemampuan glibenklamid yang sudah jelas bersifat insulin sekretagog (tabel 2). Tabel 2
Sekresi insulin (μg/L/6.105sel) sebagai respons insulinotropik Glibenklamid dan KCl 25 meq pada BRIN-BD11 dalam media yang mengandung glukosa 16.7 mM, dan diinkubasi selama 60 menit. _________________________________________________ Konsentrasi Sekresi insulin Glibenklamid (μM) (μg/L/6.105sel) . 25 0.584 + 0.049 50 0.672 + 0.045 100 0.844 + 0.084 _________________________________________________ KCl 25 meq 0.803 + 0.02 _________________________________________________ n=3
Dari tabel 1 dan 2 dapat dibandingkan efek insulinotropik antara 25 meq KCl, glibenklamid dan sambiloto. Dibanding dengan efek insulinotropik glibenklamid pada BRIN-BD11 (tabel 2), efek insulinotropik sambiloto dengan konsentrasi 1.25 dan 2.5 mg/mL (tabel 1), berturut turut sebesar 1.5 kali (p = 0.034) dan 2.3 kali (p = 0.001) dari efek insulinotropik 100 μM glibenklamid (0.844 + 0.084 μg/L/6.105sel)
(gambar 21). Efek insulinotropik sambiloto
konsentrasi rendah 0.625 mg/mL atau setara dengan 45 μM andrografolid (0.92 + 0.071 μg/L/6.105sel) sudah setara dengan efek insulinotropik 100 μM glibenklamid dan 25 meq KCl (0.803 + 0.02 μg/L/6.105sel). Kenyataan ini menunjukkan bahwa ekstrak sambiloto mempunyai efek insulinotropik yang jauh lebih kuat dibanding dengan glibenklamid.
56
kadar inssulin (ug/L/600.000 sel)
2.5
1.972
2
1.25
1.5 0.972 1
0.844
0.92
0.803 0.529
0.584
0.672 0.405
0.5
K3 S0 .6 25
K3 S1 .2 5
K3 S2 .5
K3 S5 .0
K3 S1 0
K3 G 10 0
K3 G 50
K3 G 25
K3
K3 K2 5
0
Gambar 21 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik berbagai kondisi pada BRIN-BD11 dalam media KRB-3. (KRB + glukosa 16.7 mM), inkubasi selama 60 menit. K3K25= KRB-3 dengan KCl 25meq; K3=KRB-3; K3G25-100= KRB-3 + glibenklamid 25-100 μM; K3S0.625-10= KRB-3 + sambiloto dengan konsentrasi 0.625 -10 mg/mL. (n=3)
Penggabungan efek insulinotropik berbagai kondisi dari tabel 1 dan 2 ke dalam bentuk histogram (gambar 21), dapat diperlihatkan lebih jelas lagi variasi gambaran sekresi insulin sebagai efek insulinotropik berbagai kondisi pada BRINBD11. Fakta di atas menunjukkan bahwa sambiloto bersifat insulinotropik yang sangat kuat bahkan lebih kuat dari glibenklamid. Pada penelitian ini belum dapat diketahui apakah sambiloto bersifat insulin sekretagog murni seperti golongan obat sulfonilurea ataukah sebagai penguat sekresi insulin yang tergantung pada keberadaan glukosa, seperti yang dimiliki oleh asetilkolin (Gilon & Henquin, 2001) atau T.crispa (Noor et al, 1989). Fenomena lain yang cukup menarik terlihat pada efek insulinotropik sambiloto dengan konsentrasi sambiloto 5 mg/mL. Pada konsentrasi ini tidak terjadi peningkatan efek insulinotropik dalam bentuk penambahan sekresi, tetapi justru terlihat penurunan efek insulinotropik sebesar 50.7% dibanding jumlah
57
sekresi insulin BRIN-BD11 pada pemberian sambiloto dengan konsentrasi 2.5 mg/mL (p = 0.003). Pada konsentrasi sambiloto 10 mg/mL terjadi penurunan efek insulinotropik yang lebih besar lagi dan mencapai 79.5% (0.405 + 0.064 μg/L/6.105sel; p = 0.001). Fenomena ini diduga disebabkan oleh paling tidak salah satu dari 2 kemungkinan sebagai berikut: 1.
Sambiloto dengan konsentrasi lebih tinggi dari 2.5 mg/mL bersifat racun (toksik) pada BRIN-BD11. Pernyataan ini tidak terlalu sesuai, mengingat sambiloto termasuk aman (practically non toxic), yaitu dengan LD50=71.08 mg/10g BB (Nuratmi et al, 1996)
2.
Dugaan yang paling mungkin adalah terjadi inhibisi sekresi insulin akibat inhibisi kanal kalsium VDCC tipe-L. Hal ini didukung oleh 2 penelitian terdahulu lainnya yang menunjukkan bahwa sambiloto dapat menghambat kanal VDCC pada vasa deferens tikus (Burgos et al, 2001, Burgos et al, 2000) dan juga menyebabkan relaksasi otot uterus tikus dengan cara menghambat kanal VDCC (Burgos et al, 2001). Tetapi pada penelitian ini belum bisa dijelaskan secara pasti sifat inhibisi VDCC tipe-L tersebut, apakah semata mata tergantung pada peningkatan konsentrasi sambiloto ataukah ada faktor lain yang menyebabkan inhibisi sekresi insulin pada pemberian sambiloto konsentrasi tinggi. Dari pengamatan yang dilakukan di atas, perlu ditegaskan bahwa insulin
yang disekresi oleh BRIN-BD-11 pada inkubasi selama 60 menit tersebut, merupakan penjumlahan dari insulin yang berasal dari: a.
Sekresi insulin fase cepat atau fase pertama.
b.
Sekresi insulin fase lambat atau fase ke dua.
c.
Sekresi insulin akibat sifat insulinotropik sambiloto saja, atau
d.
Sekresi insulin akibat sifat insulinotropik glukosa 16.7 mM yang diperkuat oleh sambiloto.
58
Dengan demikian, dari pengamatan ini dapat disimpulkan bahwa sambiloto bersifat insulinotropik yang sangat kuat seiring dengan peningkatan konsentrasi (dose-dependent), bahkan jauh lebih kuat bila dibanding dengan glibenklamid. Tetapi pada penelitian ini belum jelas diketahui apakah sambiloto bersifat insulin sekretagog langsung seperti obat golongan sulfonilurea, ataukah seperti asetilkolin dan T.crispa yang bersifat penguat sekresi insulin dan tergantung pada keberadaan glukosa (glucose-dependent). 2.
Pengaruh sambiloto pada sekresi insulin fase cepat (acute fase insulin secretion) BRIN-BD11.
Pada penelitian awal, sambiloto sudah terbukti bersifat insulinotropik selama inkubasi 60 menit, maka untuk dapat mempelajari efek insulinotropik sambiloto pada sekresi insulin fase cepat saja, penelitian dilanjutkan dengan pengamatan efek sambiloto yang diinkubasi selama 20 menit saja (McClenaghan et al, 2001, Gray & Flatt, 1999, Gray & Flatt, 1998a, Gray & Flatt, 1998b). Tidak semua penelitian dilanjutkan pada efek insulinotropik pada sekresi insulin fase cepat, seperti penelitian T.crispa, di mana langsung mempelajari berbagai aspek yang mengarahkan efek insulinotropik yang berhubungan dengan amplifying pathway dari sekresi insulin pada sel HIT-T15 (Noor et al, 1989). Pada penelitian ini, dengan waktu inkubasi 20 menit, dibanding efek insulinotropik glukosa 16.7 mM (0.344 + 0.058 μg/L/6.105sel), terlihat adanya peningkatan efek insulinotropik sambiloto seiring dengan peningkatan konsentrasi sambiloto mulai 0.625, 1.25, 2.5 dan 5 mg/mL (tabel 1), berturut turut dari sebesar 1.4 kali (p = 0.023), 2.4 kali (p = 0.001), 4 kali (p = 0.001) dan 4.7 kali (p < 0.001). Efek insulinotropik fase akut dari sambiloto tertinggi terlihat pada konsentrasi 5 mg/mL, yaitu sebesar 4.7 kali dari sekresi insulin basal. Pada konsentrasi 10 mg/mL, sambiloto tidak menunjukkan peningkatan efek insulinotropik yang lebih tinggi dari sambiloto 5 mg/mL, tetapi justru terlihat adanya penurunan efek insulinotropiknya sampai sebesar 47% (0.754 + 0.088 μg/L/6.105sel; p < 0.001) bila dibandingkan dengan efek insulinotropik sambiloto dengan konsentrasi 5 mg/mL (tabel 1, gambar 23), seperti fenomena yang terlihat pada penurunan efek
59
insulinotropik sambiloto konsentrasi 5 dan 10 mg/mL yang diinkubasi selama 60 menit (tabel 1, gambar 21)
1.607
1.8 1.394
kadar insulin (ug/L/600.000 sel)
1.6 1.4 1.2 0.825
1
0.754
0.8 0.486 0.6
0.344
0.4 0.2 0 0
0.625
1.25
2.5
5
10
konsentrasi sambiloto (mg/mL)
Gambar 22 Sekresi insulin sebagai respons insulinotropik sambiloto dengan konsentrasi 0.625-10 mg/mL dalam media yang mengandung glukosa 16.7 mM pada BRIN-BD11 yang diinkubasi selama 20 menit. (0.625 – 10 = konsentrasi sambiloto dalam mg/mL; 0 = tanpa sambiloto). Fakta di atas mengarahkan dugaan bahwa sambiloto mempunyai efek sebagai berikut: a.
Sebagai zat insulinotropik sangat kuat, yang meningkatkan sekresi insulin fase cepat.
b.
Efek
insulinotropik
sambiloto
meningkat
seiring
peningkatan
konsentrasi sambiloto (dose-dependent). c.
Sambiloto bersifat sinergistik dengan glukosa dalam proses sekresi insulin oleh BRIN-BD11 (glucose-dependent).
d.
Sambiloto dengan konsentrasi tinggi, mempunyai sifat inhibisi sifat insulinotropik, diduga akibat inhibisi kanal kalsium tipe VDCC (Burgos et al, 2001, Burgos et al, 2000). Fenomena serupa juga diketemukan pada efek nifedipin, salah satu inhibitor kanal kalsium
60
tipe VDCC pada islet Langerhans, di mana pada konsentrasi kurang dari 50 nM terjadi fasilitasi VDCC, dan pada konsentrasi lebih dari 100 nM akan terjadi inhibisi VDCC, tetapi belum diketahui mekanismenya secara pasti. (Plasman et al, 1991). Pada penelitian ini, jumlah insulin yang disekresi merupakan efek insulinotropik sambiloto bersama dengan glukosa pada BRIN-BD11, jadi belum diketahui dengan pasti apakah sambiloto mutlak memerlukan glukosa ataukah bisa bersifat insulinotropik tanpa keberadaan glukosa, seperti yang dimiliki oleh beberapa obat sulfonilurea. Untuk dapat mengamati efek sambiloto saja, maka penelitian selanjutnya dilakukan dalam media glukosa 1.11 mM, di mana pada konsentrasi tersebut, glukosa tidak menyebabkan terjadinya depolarisasi membran sel, dan hanya dipakai sebagai kebutuhan dasar kehidupan BRIN-BD11 serta tidak berpengaruh sama sekali dalam sekresi insulin. Dengan demikian diharapkan dapat menilai efek insulinotropik fase cepat dari sambiloto saja. Pada pengamatan ini terlihat bahwa tanpa glukosa, sambiloto juga bersifat insulinotropik yang sangat kuat, dan efek tersebut meningkat seiring peningkatan konsentrasi sambiloto (tabel 3).
Tabel 3 Sekresi insulin (μg/L/6.105 sel) sebagai respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media KRB-1 yang mengandung glukosa 1.11 mM dan diinkubasi selama 20 menit. ______________________________________________________ Konsentrasi Sekresi insulin sambiloto(mg/mL) (μg/L/6.105sel) p . 0 0.344 + 0.058 0.625 0.455 + 0.053 0.019 1.25 0.548 + 0.051 < 0.001 2.5 0.715 + 0.065 < 0.001 5 0.847 + 0.162 < 0.001 10 0.921 + 0.052 < 0.001 ______________________________________________________ n=3 0 = tanpa sambiloto
61
Dibanding efek insulinotropik glukosa 16.7 mM selama inkubasi 20 menit (0.344 + 0.058 μg/L/6.105sel), efek insulinotropik sambiloto meningkat mulai konsentrasi 0.625 –10mg/mL berturut turut 1.3 kali (p = 0.019) pada konsentrasi 0.625 mg/mL, 1.6 kali (p = 0.002) pada konsentrasi 1.25mg/mL, 2.1 kali ( p < 0.001) pada konsentrasi 2.5 mg/mL dan, 2.5 kali (p < 0.001) pada konsentrasi 5 mg/mL, serta 2.7 kali (p < 0.001) pada konsentrasi 10 mg/mL (tabel 3). Fakta ini menunjukkan bahwa sambiloto ternyata juga mempunyai efek insulinotropik tanpa memerlukan keberadaan glukosa (glucose-independent) dan bekerja sebagai insulin sekretagog pada sekresi insulin fase akut (gambar 23), seperti yang dimiliki oleh Medicago sativa (Gray & Flatt, 1997), Agaricus campestris (Gray & Flatt, 1998c), Agrimony eupatoria (Gray & Flatt, 1998a), Viscum album (Gray & Flatt, 1999), Sambucus nigra (Gray et al, 2000), dan Eucayptus globulus (Gray & Flatt, 1998b). Efek insulinotropik sambiloto berbeda dengan denatonium bersifat glucose dependent, karena efek insulinotropiknya baru terlihat pada glukosa dengan konsentrasi 8.3 mM dan tidak bersifat insulinotropik pada glukosa 2.8 mM (Straub et al, 2003).
1.2 0.9207 0.8473 kadar insulin (ug/L/600.000 sel)
1 0.7153 0.8 0.5482 0.6
0.4548
0.4
0.2
0 K1-S0.625
K1-S1.25
K1-S2.5
K1-S5
K1-S10
konsentrasi sambiloto (mg/mL)
Gambar 23
Efek insulinotropik sambiloto konsentrasi 0.625 – 10 mg/mL pada BRIN-BD11 dalam media glukosa 1.11mM, inkubasi selama 20 menit. (K1 = KRB-1; S0.625 – 10 = konsentrasi sambiloto 0.625 – 10 mg/mL)
62
Untuk mempelajari pengaruh glukosa pada sifat insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11, khususnya sekresi insulin fase cepat, dilakukan perbandingan antara efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media yang tidak mengandung glukosa (1.11 mM) dan dalam media yang mengandung 16.7 mM glukosa. Pada gambar 24, terlihat peningkatan efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11, khususnya sekresi insulin fase cepat seiring dengan peningkatan konsentrasi sambiloto, baik dalam media yang mengandung glukosa 16,7 mM maupun dalam media yang tidak mengandung glukosa (1.11 mM) yang diinkubasi selama 20 menit. Perbedaan pengaruh glukosa pada efek insulinotropik sambiloto mulai terlihat pada konsentrasi 1.25 mg/mL, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan efek insulinotropik 1.5 kali lebih tinggi pada media glukosa 16.7 mM (p = 0.013), dibanding dengan efek insulinotropik sambiloto konsentrasi yang sama dalam media tanpa glukosa (1.11 mM). Peningkatan tertinggi efek insulinotropik terlihat pada sambiloto dengan konsentrasi 2.5 mg/mL, yaitu sebesar 1.95 kali lebih tinggi pada media yang mengandung glukosa 16.7 mM (p = 0.002).
k adar ins ulin (ug/L/600.000s el)
1.8
1.607 1.394
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6
0.8473
0.825
0.9207 0.754
0.7153 0.486
0.5482
0.4548
0.4 0.2 0 S0.625
S1.25
S2.5
S5
S10
konsentrasi sambiloto (mg/mL)
Gambar 24: Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam media yang mengandung glukosa 16.7 mM (□) dan 1.11 mM (■), inkubasi 20 menit. (S0.625-10= konsentrasi sambiloto 0.625 – 10 mg/mL)
63
Dari gambar 24 ini, terlihat jelas peningkatan efek sinergistik pada efek insulinotropik yang tertinggi antara sambiloto dengan glukosa, terjadi pada konsentrasi 2.5 mg/mL, selanjutnya pada konsentrasi sambiloto 5 mg/mL peningkatan efek insulinotropiknya hanya sebesar 1.9 kali (p = 0.001) efek insulinotropik sambiloto dalam media yang mengandung glukosa 1.11 mM. Pada sambiloto dengan konsentrasi 0.625 mg/mL belum terlihat perbedaan efek insulinotropiknya (p > 0.05). Fakta ini mengarahkan dugaan bahwa sambiloto dan glukosa mempunyai efek sinergistik, khususnya pada konsentrasi 1.25 – 5 mg/mL. Dari fakta tersebut di atas dapat diambil kesimpulan sementara sebagai berikut: a.
Sambiloto meningkatkan sekresi insulin fase cepat.
b.
Sambiloto bersifat insulin sekretagog yang kuat dan bersifat dose dependent.
c.
Sambiloto bersifat insulin sekretagog yang sinergistik dengan glukosa.
d.
Sambiloto bisa bersifat sebagai insulin sekretagog tanpa keberadaan glukosa atau glucose-independent.
e.
Dengan demikian sambiloto dapat dipertimbangkan sebagai herbal antidiabetes, tetapi perlu diingat potensial terjadinya hipoglikemia.
f.
Pada konsentrasi tinggi, sambiloto sangat mungkin bersifat inhibisi VDCC pada BRIN-BD11 dalam kondisi terdepolarisasi (oleh glukosa 16.7 mM).
3.
Mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog.
Setelah terbukti bahwa sambiloto mempunyai sifat insulinotropik pada BRIN-BD11, khususnya sifat insulin sekretagog yang tidak tergantung pada glukosa (glucose-independent), dan dapat mencetuskan sekresi insulin fase cepat sebagaimana yang dimiliki oleh berbagai obat golongan insulin sekretagog seperti sulfonilurea dan glinid, maka penelitian perlu dilanjutkan dengan mempelajari mekanisme kerja sambiloto sebagai insulin sekretagog. Salah satu cara untuk mengarahkan dugaan mekanisme kerja sambiloto tersebut, dilakukan pengamatan pola sekresi insulin BRIN-BD11 pada berbagai konsentrasi sambiloto dalam media yang tidak mengandung glukosa (1.11 mM) untuk menghindari kesalahan
64
interpretasi, mengingat adanya sinergisme efek insulinotropik sambiloto dengan glukosa. Pola sekresi insulin tersebut digambar dalam suatu fungsí hubungan antara konsentrasi sambiloto dengan jumlah insulin yang disekresi oleh BRINBD11, di mana kadar insulin (μg/L/6.105 sel) sebagai sumbu y dan konsentrasi sambiloto (mg/mL) sebagai sumbu x (gambar 25) .
kadar insulin (ug/L/600.000 s el)
1.2 1 0.8 0.6 y = -0.0087x2 + 0.1399x + 0.3864 R2 = 0.988
0.4 0.2 0 0
2
4
6
8
10
12
konsentrasi sambiloto (mg/ml)
Gambar 25 Grafik sekresi insulin BRIN-BD11 selama inkubasi 20 menit, dalam media KRB-1 dengan pemberian sambiloto dengan konsentrasi 0.625 – 10 mg/mL.
Pada gambar 25, terlihat grafik hubungan konsentrasi sambiloto dengan sekresi insulin ditunjukkan sebagai fungsi kuadratik dengan persamaan: Y = - 0.0087 X2 + 0.1339 X + 0.3864 (r2 = 0.988) Dari gambaran fungsi kuadratik dan persamaan tersebut di atas, yang menggambarkan persamaan Michaelis-Menten, sambiloto diperkirakan bekerja pada suatu sistem kanal yang terletak pada membran dan sangat mungkin bekerja
65
pada kanal K+ATP, khususnya K+ATP-dependent triggering pathway atau sekresi insulin yang bergantung pada kanal K+ATP. Untuk meningkatkan ketajaman analisis, perlu dibuat grafik yang dikenal dengan nama double reciprocal plot, dengan menggunakan (konsentrasi sambiloto)-1 sebagai sumbu x dan (kadar insulin)-1 sebagai sumbu y. Grafik double reciprocal plot antara konsentrasi sambiloto dengan kadar insulin yang disekresi BRIN-BD11 (gambar 26), menunjukkan fungsi linier dengan persamaan: Y= 0.7492 X + 1.0729 (r2 = 0.9602) Grafik double reciprocal plot yang menunjukkan persamaan dengan fungsi linier, lebih memperkuat dugaan bahwa sambiloto bekerja pada sistem kanal, khususnya kanal K+ATP.
2.5
1/kadar insulin
2
1.5
y = 0.7492x + 1.0729 R2 = 0.9602
1
0.5
0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
1/ dosis sambiloto
Gambar 26 Grafik double reciprocal plot dari respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 selama inkubasi 20 menit, dalam media glukosa 1.11 mM.
66
Dari persamaan tersebut, secara teoritis dapat dihitung konsentrasi sambiloto terendah yang mampu mencetuskan sekresi insulin, yaitu dengan menghitung nilai Km, di mana nilai Km = konsentrasi terendah sambiloto yang mampu mencetuskan sekresi insulin. Nilai – (Km)-1 adalah sama dengan nilai X bila Y= 0. Dengan menggunakan persamaan ini, akan didapat: - (Km)-1 = -1.0729/0.7492 (Km)-1= 1.432 Km = 0.698 Dari perhitungan tersebut di atas, didapatkan konsentrasi sambiloto terendah yang mampu mencetuskan sekresi insulin BRIN-BD11 dalam media tanpa glukosa adalah 0.698 mg/mL. Di samping itu dapat pula diperhitungkan sekresi insulin maksimal dari BRIN-BD11 oleh sambiloto dengan menggunakan persamaan linier tersebut. Nilai Y = (Vmaks)-1, bila X = 0. Dengan menggunakan persamaan double resiprocal plot yang sama akan didapat: Y = 1.0729 (Vmaks)-1 = 1.0729 Vmaks = 0.93 Dari perhitungan tersebut di atas, didapatkan jumlah insulin maksimal yang dapat disekresi BRIN-BD11 oleh sambiloto adalah 0.93 μg/L/6.105 sel. Setelah menggunakan perhitungan matematis, penelitian harus dilanjutkan dengan mengamati pola sekresi insulin BRIN-BD11 dengan berbagai perlakuan. Untuk dapat mempelajari mekanisme kerja sambiloto yang diduga bekerja pada kanal K+ATP tersebut, dilakukan pengamatan efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11. Berdasarkan saran dari Prof. Dr. dr. André Herchuelz, Laboratoire de Pharmacodynamie et de Thérapeutique, Université Libre de Bruxelles, Faculté de Médecine, Bruxelles, Belgium, pada penelitian lebih lanjut digunakan sambiloto dengan konsentrasi 2.5 mg/mL. Konsentrasi ini diasumsikan sebagai konsentrasi sambiloto submaksimal dalam proses sekresi insulin BRIN-BD11. Adapun pendekatan perlakuan yang direncanakan dapat berpedoman pada pengamatan aktivitas elektrik sel β pankreas (tidak dilakukan karena keterbatasan
67
peralatan), kalsium fluks (tidak dilakukan karena keterbatasan), mengamati aktivitas enzim glukokinase dan cAMP (tidak dilakukan karena keterbatasan), atau rangkuman teori sekresi insulin oleh Henquin (2004), yang menyebutkan bahwa alur sekresi insulin dapat dikategorikan ke dalam 2 alur pokok, yaitu triggering dan amplifying pathway, serta adanya 6 lokasi potensial tempat bekerja zat yang bersifat insulinotropik yang berpengaruh pada triggering pathway saja, atau amplifying pathway saja, atau ke dua duanya. Mengingat keterbatasan dana dan peralatan, maka penelitian ini hanya dipusatkan pada peran kanal K+ATP dan kanal kalsium VDCC. Peran kanal K+ATP dapat dipelajari dengan menambahkan diazoxide sebagai aktifator kanal K+ATP atau K+ATP opener. Peran kanal kalsium VDCC dapat dipelajari dengan menambahkan inhibitor VDCC seperti verapamil dan nifedipin. Pada kesempatan ini, tidak dilakukan penelitian dengan nifedipin karena nifedipin sangat sensitif terhadap cahaya dan di laboratorium imunologi PSSP tidak mempunyai fasilitas ini. Sedangkan kondisi depolarisasi membran sel BRIN-BD11 dapat dilakukan dengan melakukan manipulasi tegangan elektrik membran sel β pankreas dengan penambahan 25 meq ion K+ dalam media, di mana tegangan elektrik membran dapat meningkat hingga mencapai –40 mV, sehingga dapat diasumsikan terjadinya depolarisasi membran yang mencetuskan sekresi insulin pada alur triggering pathway yang tidak bergantung pada kanal K+ATP (K+ATP-independent triggering pathway) Selanjutnya pengamatan dilakukan dalam 3 macam kondisi sebagai berikut: a.
Media yang mengandung 500 μM diazoxide sebagai aktifator atau pembuka kanal K+ATP yang menyebabkan tetap terbukanya kanal K+ATP sehingga tidak terjadi depolarisasi membran sel (Lebrun et al, 1992, Mariot et al, 1998). Bila sambiloto bekerja pada kanal K+ATP ini, efek insulinotropik sambiloto akan terhambat pada media ini. Bila efek insulintropik sambiloto tidak atau hanya sedikit terganggu, dapat diperkirakan bahwa sambiloto tidak bekerja pada kanal K+ATP. Bila inhibisi yang terjadi cukup berarti tetapi tidak bersifat mutlak, maka dapat diperkirakan bahwa sambiloto bekerja baik pada K+ATPdependent maupun K+ATP-independent triggering pathway.
68
b.
Media yang mengandung 100 μM verapamil, sebagai inhibitor VDCC akan menyebabkan tertutupnya kanal VDCC sehingga tidak terjadi influks ion kalsium ke dalam sitosol, atau dengan kata lain menghambat triggering pathway (Lebrun et al, 1997). Pendekatan ini dapat memperkuat dugaan bahwa sambiloto bekerja pada kompleks kanal K+ATP atau pada triggering pathway.
c.
Media yang mengandung 25 meq KCL. Pada kondisi ini dapat diasumsikan terjadinya depolarisasi submaksimal dari BRIN-BD11, sehingga bisa diperkirakan terjadi sekresi insulin yang dicetuskan oleh triggering pathway yang tidak bergantung pada kanal K+ATP (K+ATP-independent triggering pathway) tanpa melibatkan amplifying pathway. Bila pada kondisi ini masih terjadi peningkatan sekresi insulin, maka sambiloto bekerja tidak hanya pada triggering pathway saja, tetapi juga pada amplifying pathway dengan mempengaruhi mesenger lain, seperti cAMP ataupun reseptor lain selain kanal K+ATP.
Pengaruh diazoxide dan verapamil terhadap efek insulinotropik sambiloto.
Pada penelitian ini, terlihat penurunan efek insulinotropik 2.5 mg/mL sambiloto pada BRIN-BD11 sebesar 32% (p < 0.001) pada pemberian 500 μM diazoxide, aktifator atau pembuka kanal K+ATP (K+ATP opener), yang mempertahankan tetap terbukanya kanal K+ATP, sehingga tidak terjadi depolarisasi membran. Melihat pada fakta tersebut di atas, maka dugaan bahwa sambiloto bekerja pada sistem kanal K+ATP menjadi semakin kuat, karena diazoxide sangat spesifik bekerja sebagai pembuka kanal K+ATP. Andaikata sambiloto bekerja hanya pada kanal K+ATP saja, maka diharapkan terjadinya pengurangan sekresi insulin yang jauh lebih besar dari 32%. Penurunan efek insulinotropik sambiloto sebesar 31% (p = 0.008) juga terlihat pada pemberian 100μM verapamil sebagai inhibitorVDCC, kanal ion Ca2+, yang dapat diasumsikan sebagai inhibitor K+ATPdependent triggering pathway (tabel 4, gambar 27).
69
Tabel 4 Inhibisi efek insulinotropik 2.5 mg/mL sambiloto pada BRIN-BD11 oleh diazoxide dan verapamil dalam media dengan kandungan glukosa 1.11 mM yang diinkubasi selama 20 menit. ___________________________________________________ Perlakuan kadar insulin . (μg/L/6.105 sel)
penurunan insulin (%)
p .
S-0 0.393 + 0.051 S-2.5 1.578 + 0.064 S-2.5 D 1.076 + 0.093 32 < 0.001 S-2.5 V 1.095 + 0.185 31 0.008 ____________________________________________________ n =4 S-0 = media tanpa sambiloto; S2.5 = media dengan sambiloto 2.5 mg/mL; S-2.5 D = media dengan sambiloto 2.5 mg/mL + diazoxide 0.5 mM S-2.5 V = media dengan sambiloto 2.5 mg/mL + verapamil 0.1 mM penurunan insulin = selisih kadar insulin dibanding S-2.5 dalam %
kadar insulin (ug/L/600.000 sel)
1.8
1.578
1.6 1.4
1.095
1.076
1.2 1 0.8 0.6
0.393
0.4 0.2 0 K1S2.5
K1S2.5D
K1S2.5V
K1
perlakuan
Gambar 27 Inhibisi respons insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 oleh diazoxide dan verapamil dalam media yang mengandung glukosa 1.11 mM, inkubasi selama 20 menit. (K1 = KRB-1, glukosa 1.11 mM; S2.5 = sambiloto konsentrasi 2.5 mg/mL; D = ditambahkan 500 μM diazoxide; V = ditambahkan 100 μM verapamil).
Sebagai pembanding, pada penelitian ini juga diamati pengaruh 500 μM diazoxide dan 100 μM verapamil pada sekresi insulin yang disebabkan oleh
70
depolarisasi membran yang terjadi langsung akibat pemberian 25 meq KCL yang dapat diasumsikan sebagai sekresi insulin yang hampir murni diakibatkan oleh proses yang melibatkan triggering pathway baik yang bersifat K+ATP-independent pathway, tanpa melibatkan amplifying pathway. Pada pemberian 500 μM diazoxide, hanya terlihat penurunan sekresi insulin yang melibatkan K+ATPdependent triggering pathway sekitar 17% (p = 0.018), sedangkan pemberian 100 μM verapamil dapat menghambat sebagian besar atau sekitar 64% (p < 0.001) sekresi insulin yang melibatkan triggering pathway saja, tanpa melibatkan peran K+ATP (tabel 5, gambar 28).
Tabel 5 Inhibisi diazoxide dan verapamil pada sekresi insulin BRIN-BD11 pada media yang mengandung glukosa 1.11 mM dan KCl 25 meq. __________________________________________________ Perlakuan .
kadar insulin (μg/L/6.105 sel)
penurunan insulin(%)
p .
K1 0.294 + 0.038 K1-K25 0.635 + 0.05 0.527 + 0.058 K1-K25-D 17 0.018 0.229 + 0.015 K1-K25-V 64 < 0.001 _________________________________________________ n =4 _ K1 = media hanya glukosa 1.11 mM K1-K25 = media dengan glukosa 1.11 mM + KCl 25 meq K1-K25-D = K1-K25 + 0.5 mM diazoxide K1-K25-V = K1-K25 + 0.1 mM verapamil penurunan insulin = selisih kadar insulin dibanding K1-K25 (%)
71
0.8 0.635 kadar insulin (ug/L/600.000 sel)
0.7
0.527
0.6 0.5 0.294 0.4
0.229
0.3 0.2 0.1 0 K1
K1-K25
K1-K25-D
K1K25-V
Gambar 28 Sekresi insulin BRIN-BD11 pada berbagai kondisi dalam media KRB-1, glukosa 1.11 mM, selama inkubasi 20 menit. (K1= KRB dengan glukosa 1.11 mM; K25= KRB-1 + KCL 25 meq; D = ditambahkan 500 μM diazoxide; V= ditambahkan 100 μM verapamil).
Pengaruh diazoxide terhadap efek insulinotropik sambiloto pada BRINBD11
Andaikan sambiloto bersifat K+ATP-independent triggering pathway seperti asam amino L-arginina (Herchuelz et al, 1984), maka diazoxide tidak akan bisa menghambat sekresi insulin sampai sebesar 32% (tabel 4 gambar 27), karena diazoxide sebagai aktifator atau pembuka kanal K+ATP, sangat spesifik bekerja pada reseptornya di kanal K+ATP (MacDonald & Wheeler, 2003) dan hanya akan mengurangi atau mencegah terjadinya depolarisasi yang diawali melalui mekanisme inhibisi atau penutupan kanal K+ATP saja (gambar 3). Tidak semua efek insulinotropik dari zat yang bersifat insulin sekretagog secara otomatis terhambat oleh diazoxide, seperti yang terlihat pada efek insulinotropik Eucaplyptus globulus, yang walaupun dapat mencetuskan alur triggering pathway pada sekresi insulin pada fase akut, tetapi tidak dapat dihambat oleh diazoxide.
72
Gambaran seperti ini mengarahkan dugaan mekanisme kerja E.globulus bukanlah pada kanal K+ATP, berarti bekerja pada alur K+ATP-independent triggering pathway (Gray & Flatt, 1998c). Sekresi insulin BRIN-BD11 yang terjadi akibat depolarisasi membran sel akibat manipulasi aktivitas elektrik oleh 25 meq KCL, hanya sedikit dipengaruhi oleh diazoxide, yaitu sekitar 17% saja. Kedua fakta tersebut di atas dapat memperkuat dugaan bahwa sambiloto bekerja terutama melalui kanal K+ATP. Demikian juga kalau sambiloto bekerja seperti GLP-1 yang bekerja sebagai penguat KV (voltage dependent potassium channel), baik pada triggering maupun amplifying pathway (MacDonald & Wheeler, 2003), maka sambiloto mutlak memerlukan glukosa dengan tingkat konsentrasi tertentu sebagai pencetus awal triggering pathway. Fakta ini mengarahkan dugaan bahwa dalam proses sekresi insulin oleh BRIN-BD11, sambiloto berkompetisi dengan diazoxide atau dengan kata lain, sambiloto bekerja pada kanal K+ATP, atau K+ATP-dependent triggering pathway. Dengan demikian, fakta dari percobaan ini akan lebih memperkuat dugaan secara matematis (gambar 25 dan 26) bahwa sambiloto bekerja melalui kanal K+ATP. Sebetulnya pemberian 500 μM diazoxide diharapkan dapat menghambat efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 jauh lebih besar dari 32%, dengan demikian masih ada kemungkinan bahwa selain bekerja pada alur K+ATPdependent triggering pathway, sambiloto juga bekerja pada alur K+ATPindependent triggering pathway atau pada alur amplifying pathway, atau pada reseptor reseptor lain seperti reseptor muskarinik (Miguel et al, 2002) dan lain lainnya. Mekanisme lain yang juga dapat memperkuat sekresi insulin yang bersifat K+ATP independent pathway adalah melalui inhibisi reseptor adrenergik α-2 (Peterhoff et al, 2003). Percobaan dengan manipulasi mekanisme efek insulinotropik sambiloto pada reseptor ini tidak dilakukan karena dipikirkan bila memang terbukti terjadi inhibisi sekresi insulin pada pemberian inhibitor reseptor adrenergik α-2 seperti golongan epinefrin ataupun klonidin, belum dapat dipastikan inhibisi amplifying pathway, karena inhibitor reseptor adrenergik α-2 juga menghambat triggering pathway pada kanal VDCC tipe-L. Bila BRIN-BD11 mempunyai reseptor adrenergik α-2, maka sekresi insulin dapat dihambat dengan
73
pemberian epinefrin, adrenalin ataupun klonidin (Sieg et al, 2004, Straub et al, 2003). Sangat ideal bila dalam penelitian ini dilakukan perlakuan serupa pada efek insulinotropik glibenklamid pada BRIN-BD11, atau lebih baik lagi bila dilakukan pengamatan aktivitas elektrik membran sel BRIN-BD 11 dalam berbagai perlakuan, tetapi karena keterbatasan peralatan dan dana, maka hal ini tidak dilakukan.
Pengaruh verapamil terhadap efek insulinotropik sambiloto pada BRINBD11
Andaikan sambiloto hanya bekerja pada triggering pathway saja, maka pemberian 100 μM verapamil diharapkan akan dapat menurunkan sekresi insulin sampai sebesar 60% seperti yang terlihat pada inhibisi verapamil pada sekresi insulin BRIN-BD11 yang diakibatkan oleh depolarisasi 25 meq KCl (tabel 5, gambar 28), tetapi pada pengamatan ini, hanya terjadi inhibisi sekitar 32% (tabel 4, gambar 27). Fakta ini mengarahkan ke pada dugaan bahwa: a.
Sambiloto tidak hanya bekerja pada triggering pathway saja, tetapi sangat mungkin juga pada amplifying pathway.
b.
Sambiloto merupakan inhibitor kanal K+ATP yang sangat kuat, sehingga menghasilkan efek depolarisasi yang lebih kuat dibanding kekuatan verapamil untuk melakukan inhibisi kanal VDCC, dengan hasil akhir terjadinya inhibisi sekresi insulin hanya sebagian saja.
Pengaruh sambiloto terhadap sekresi insulin alur amplifying pathway.
Cara yang paling akurat untuk penentuan ini adalah dengan menghitung kadar cAMP BRIN-BD11, seperti yang dilakukan dalam penelitian efek insulinotropik Tinospora crispa yang hanya bersifat glucose-dependent, dan hanya meningkatkan atau memperkuat sekresi insulin yang difasilitasi oleh glukosa 10 mM (Noor & Ashcroft, 1998). AMP siklik (cAMP) meningkatkan sekresi insulin melalui 2 alur, yaitu melalui peningkatan influks ion kalsium (Ca2+) melalui VDCC tipe-L dan hampir 80% berpengaruh langsung pada organel
74
sekretorik (secretory machinery) (Ammala et al, 1993), tetapi saat ini laboratorium di Indonesia belum punya kemampuan untuk menghitung cAMP. Pada penelitian ini, untuk melihat pengaruh sambiloto pada amplifying pathway, dilakukan pengamatan sekresi insulin BRIN-BD11 dalam keadaan terdepolarisasi submaksimal oleh 25 meq KCl. Pada perlakuan dengan media yang mengandung 25 meq KCl akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran sel secara langsung tanpa melibatkan kanal K+ATP, hingga mencapai tegangan elektrik membran sekitar –40 mV sampai -30 mV. Kondisi ini dapat mencetuskan sekresi insulin pada alur triggering pathway, dan dapat diasumsikan bahwa hampir semua kanal VDCC sudah terbuka. Dengan demikian dapat pula diasumsikan bahwa pada kondisi seperti ini, penambahan zat yang bersifat inhibitor kanal K+ATP tidak akan menambah terjadinya depolarisasi membran sel atau dengan kata lain, tidak akan terjadi peningkatan sekresi insulin melalui alur triggering pathway. Percobaan kali ini adalah mengamati efek insulinotropik beberapa konsentrasi sambiloto (0.625, 1.25 dan 2.5 mg/mL) pada BRIN-BD11 dalam keadaan terdepolarisasi. Ternyata pada konsentrasi 1.25 dan 0.625 mg/mL, sambiloto
masih
dapat
meningkatkan
sekresi
insulin
dalam
keadaan
terdepolarisasi. Kalau percobaan ini hanya terpaku pada sambiloto dengan konsentrasi 2.5 mg/mL dan tidak menggunakan konsentrasi yang lebih rendah, maka fenomena ini tidak akan terlihat, karena tidak adanya peningkatan sekresi insulin oleh 2.5 mg/mL sambiloto pada keadaan terdepolarisasi submaksimal oleh 25 meq KCL (p > 0.05). Dari kenyataan ini, bisa saja diambil kesimpulan bahwa sambiloto tidak bekerja pada amplifying pathway. Tetapi bila pengamatan dilanjutkan dengan beberapa konsentrasi sambiloto, fenomena yang sangat menarik terlihat pada konsentrasi sambiloto 1.25 mg/mL, di mana terlihat peningkatan sekresi insulin sebesar 34% (p < 0.001) dibanding sekresi insulin oleh 25 meq KCl, bahkan pada konsentrasi sambiloto yang lebih rendah lagi (0.625 mg/mL), masih terlihat peningkatan sekresi insulin sekitar 14% (p = 0.017) (table 6, gambar 29). Fakta ini dapat menguatkan dugaan bahwa sambiloto tidak hanya bekerja pada triggering pathway, tetapi juga pada amplifying pathway. Fenomena serupa tidak terlihat pada E.globulus, di mana tidak terjadi peningkatan
75
sekresi insulin pada media yang mengandung 25 meq KCl. Dengan demikian sambiloto dapat dipertimbangkan sebagai herbal antidiabetes oral yang cukup kuat, dan dapat dimasukkan dalam antidiabetes golongan insulin sekretagog yang murah dan tersedia di seluruh Indonesia, tetapi perlu dipertimbangkan potensi terjadinya hipoglikemia yang tidak diharapkan dalam penatalaksanaan diabetes. Di samping itu sudah dapat ditegaskan untuk tidak mengkombinasi dengan berbagai obat dan atau herbal lainnya yang bersifat insulin sekretagog.
Tabel 6 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 dalam keadaan terdepolarisasi oleh KCl 25 meq. ______________________________________________________ Perlakuan kadar insulin peningkatan p insulin (%) . (μg/L/6.105 sel) K1 0.294 + 0.038 K1-K25 0.635 + 0.05 K1-K25-S2.5 0.638 + 0.04 > 0.05 K1-K25-S1.25 0.848 + 0.032 34 < 0.001 K1-K25-S0.625 0.724 + 0.026 14 0.017 ______________________________________________________ n =4 K1 = media dengan glukosa 1.11 mM K1-K25 = K1 + 25 meq KCl K1-K25-S2.5 = K1-K25 + 2.5 mg/mL sambiloto K1-K25-S1.25 = K1-K25 + 1.25 mg/mL sambiloto K1-K25-S0.625 = K1-K25 + 0.625 mg/mL sambiloto peningkatan insulin = selisih kadar insulin dibanding K1-K25 (%)
76
1
0.848
kadar insulin (ug/L/600.000 sel)
0.9
0.724
0.8
0.635
0.638
K1-K25
K1-K25-S2.5
0.7 0.6 0.5 0.4
0.294
0.3 0.2 0.1 0 K1
K1-K25-S1.25
K1-K25-S0.625
Gambar 29 Efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 pada kondisi terdepolarisasi oleh KCL 25 meq dalam media KRB-1, glukosa 1.11 mM, inkubasi selama 20 menit (K1=KRB-1; K1-K25= KRB-1 + KCl 25 meq; S2.5 – 0.625 = sambiloto dengan konsentrasi 0.625 – 2.5 mg/mL)
77
Sifat sifat lain dari sambiloto yang berhubungan dengan diabetes
1.
Waktu paruh. Mengingat andrografolid sebagai bahan aktif yang
terkandung dalam sambiloto mempunyai waktu paruh 6 jam (Panossian et al., 2000), maka sambiloto dapat digolongkan dalam insulin sekretagog dengan masa kerja menengah, untuk itu disarankan pemberian sambiloto tidak lebih dari dua kali sehari. 2.
Efek pada resistensi insulin. Sambiloto mempunyai efek memperbaiki
transkripsi mRNA GLUT-4 di jaringan otot (Niki et al, 2003), berarti memperbaiki resistensi insulin pada tingkat jaringan otot. Dengan demikian sambiloto dapat memperbaiki ambilan glukosa oleh jaringan otot yang terganggu akibat resistensi insulin pada DM tipe-2. 3.
Efek sambiloto pada agregasi trombosit. Sambiloto dapat berfungsi
sebagai anti agregasi trombosit (Panossian et al., 2000), dan dapat mengurangi angka restenosis (Inagaki et al, 1996). Ini merupakan suatu nilai tambah dari sebuah antidiabetes herbal yang tidak dimiliki oleh obat oral antidiabetes golongan insulin sekretagog lainnya. 4.
Efek sebagai inhibitor kanal ion kalsium (CCB). Pada penelitian lain
terbukti sambiloto bekerja sebagai inhibitor kanal kalsium atau sebagai calcium channel blocker (CCB) pada otot polos uterus (Burgos et al, 2001) dan vasa deferens tikus (Burgos et al, 2000), pada konsentrasi sambiloto 0.4 mg/mL,
sehingga
dapat
dipertimbangkan
kemungkian
penggunaan
sambiloto sebagai antihipertensi, walaupun belum diketahui dosis yang tepat sebagai antihipertensi. Di samping itu perlu dipikirkan juga kemungkinan dampak perburukan nefropati diabetik akibat sifat CCB dari sambiloto tersebut pada organ ginjal, khususnya pada tekanan intraglomerular.
78
SIMPULAN Sambiloto (Andrographis paniculata) mampu meningkatkan sekresi insulin fase cepat dan fase lambat BRIN-BD11, baik dalam lingkungan yang mengandung glukosa tinggi, maupun tanpa glukosa, bahkan lebih kuat dari efek insulinotropik glibenklamid pada BRIN-BD11. Dengan demikian sambiloto dapat dipertimbangkan sebagai salah satu herbal antidiabetes oral golongan insulin sekretagog, dan tidak disarankan penggunaan kombinasi sambiloto dengan obat ataupun herbal antidiabetes yang juga bersifat insulin sekretagog. Akan tetapi perlu diperhatikan dengan seksama bahwa kemampuan insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 masih sangat kuat terlihat dalam lingkungan media tanpa keberadaan glukosa, dengan demikian sebagai antidiabetes, sambiloto potensial menimbulkan hipoglikemia. Dari berbagai perlakuan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa efek insulinotropik sambiloto pada BRIN-BD11 merupakan aktivasi triggering pathway, baik pada alur K+ATP-dependent triggering pathway maupun alur K+ATPindependent triggering pathway. Di samping aktivasi triggering pathway, sebagai insulin sekretagog, sambiloto sangat mungkin juga meningkatkan amplifying pathway. Salah satu cara untuk dapat lebih memperkuat dan lebih memastikan peran sambiloto pada triggering pathway, dapat dilakukan penelitian dengan melakukan pengamatan aktifitas elektrik membran sel β pankreas, sedangkan peran sambiloto dalam amplifying pathway dapat dilakukan dengan cara mengukur kadar cAMP sel β pankreas.
79
DAFTAR PUSTAKA AGUILAR-BRYAN, L. & BRYAN, J. (1999) Molecular biology of adenosine triphosphate-sensitive potassium channels. Endocr Rev, 20, 101-35. AGUILAR-BRYAN, L., BRYAN, J. & NAKAZAKI, M. (2001) Of mice & men: K(ATP) channels & insulin secretion. Recent Prog Horm Res, 56, 47-68. AGUILAR-BRYAN, L., CLEMENT, J. P. T., GONZALEZ, G., KUNJILWAR, K., BABENKO, A. & BRYAN, J. (1998) Toward understanding the assembly & structure of KATP channels. Physiol Rev, 78, 227-45. AGUILAR-BRYAN, L., NICHOLS, C. G., WECHSLER, S. W., CLEMENT, J. P. T., BOYD, A. E., 3RD, GONZALEZ, G., HERRERA-SOSA, H., NGUY, K., BRYAN, J. & NELSON, D. A. (1995) Cloning of the beta cell highaffinity sulfonylurea receptor: a regulator of insulin secretion. Science, 268, 423-6. AKBARSHA, M. A., MANIVANNAN, B., HAMID, K. S. & VIJAYAN, B. (1990) Antifertility effect of Andrographis paniculata (Nees) in male albino rat. Indian J Exp Biol, 28, 421-6. ALDI, Y., SUGIARSO, N. C., A.S., A. & RANTI, A. S. (1996) Uji efek antihistaminergik dari tanaman andrographis paniculata Nees. The Journal of Indonesian Medicinal Plants, 3, 17-19. AMMALA, C., ASHCROFT, F. M. & RORSMAN, P. (1993) Calciumindependent potentiation of insulin release by cyclic AMP in single betacells. Nature, 363, 356-8. ANDAYANI Y, W. R., SUYONO S (2002) Hypoglycaemic Effect of Green Snap Beans (Phaseolus vulgaris linn) in Alloxan-Diabetic Rabbit. JAFES, 20, No1 (supplement). BABENKO, A. P., AGUILAR-BRYAN, L. & BRYAN, J. (1998) A view of sur/KIR6.X, KATP channels. Annu Rev Physiol, 60, 667-87. BABU, P. S. & STANELY MAINZEN PRINCE, P. (2004) Antihyperglycaemic & antioxidant effect of hyponidd, an ayurvedic herbomineral formulation in streptozotocin-induced diabetic rats. J Pharm Pharmacol, 56, 1435-42. BALL, A. J., FLATT, P. R. & MCCLENAGHAN, N. H. (2004) Acute & longterm effects of nateglinide on insulin secretory pathways. Br J Pharmacol, 142, 367-73. BALL, A. J., FLATT, P. R. & MCCLENAGHAN, N. H. (2005) Alterations of insulin secretion following long-term manipulation of ATP-sensitive potassium channels by diazoxide & nateglinide. Biochem Pharmacol, 69, 59-63. BARG, S., ELIASSON, L., RENSTROM, E. & RORSMAN, P. (2002) A subset of 50 secretory granules in close contact with L-type Ca2+ channels accounts for first-phase insulin secretion in mouse beta-cells. Diabetes, 51 Suppl 1, S74-82. BELKACEMI, L., BEDARD, I., SIMONEAU, L. & LAFOND, J. (2005) Calcium channels, transporters & exchangers in placenta: a review. Cell Calcium, 37, 1-8. BHATTACHARYA, S. K., SATYAN, K. S. & CHAKRABARTI, A. (1997) Effect of Trasina, an Ayurvedic herbal formulation, on pancreatic islet
80
superoxide dismutase activity in hyperglycaemic rats. Indian J Exp Biol, 35, 297-9. BORHANUDDIN, M., SHAMSUZZOHA, M. & HUSSAIN, A. H. (1994) Hypoglycaemic effects of Andrographis paniculata Nees on non-diabetic rabbits. Bangladesh Med Res Counc Bull, 20, 24-6. BRATANOVA-TOCHKOVA, T. K., CHENG, H., DANIEL, S., GUNAWARDANA, S., LIU, Y. J., MULVANEY-MUSA, J., SCHERMERHORN, T., STRAUB, S. G., YAJIMA, H. & SHARP, G. W. (2002) Triggering & augmentation mechanisms, granule pools, & biphasic insulin secretion. Diabetes, 51 Suppl 1, S83-90. BRYAN, J. & AGUILAR-BRYAN, L. (1997) The ABCs of ATP-sensitive potassium channels: more pieces of the puzzle. Curr Opin Cell Biol, 9, 553-9. BRYAN, J. & AGUILAR-BRYAN, L. (2000) Sulfonylurea receptors, ATPsensitive potassium channels, & insulin secretion. IN LEROITH, D., TAYLOR, S. I. & OLEFSKY, J. M. (Eds.) Diabetes Mellitus A Fundamental & Clinical Text. 2nd ed. Tokyo, Lippincott Williams & Wilkins. BURGOS, R. A., AGUILA, M. J., SANTIESTEBAN, E. T., SANCHEZ, N. S. & HANCKE, J. L. (2001) Andrographis paniculata (Ness) induces relaxation of uterus by blocking voltage operated calcium channels & inhibits Ca(+2) influx. Phytother Res, 15, 235-9. BURGOS, R. A., IMILAN, M., SANCHEZ, N. S. & HANCKE, J. L. (2000) Andrographis paniculata (Nees) selectively blocks voltage-operated calcium channels in rat vas deferens. J Ethnopharmacol, 71, 115-21. CATTERALL, W. A., STRIESSNIG, J., SNUTCH, T. P. & PEREZ-REYES, E. (2003) International Union of Pharmacology. XL. Compendium of voltage-gated ion channels: calcium channels. Pharmacol Rev, 55, 579-81. COON, J. T. & ERNST, E. (2004) Andrographis paniculata in the treatment of upper respiratory tract infections: a systematic review of safety & efficacy. Planta Med, 70, 293-8. CROWTHER, J. R. (2001) Methods in Molecular Biology: The ELISA Guidebook, Totowa, New Jersey, Humana Press. DANIEL, S., NODA, M., STRAUB, S. G. & SHARP, G. W. (1999) Identification of the docked granule pool responsible for the first phase of glucosestimulated insulin secretion. Diabetes, 48, 1686-90. DARMANSYAH, I. (2002) Introducing Early Clinical Trials with Herbal Medicines. JAFES (suppl), 20. DAVIES, E. L., ABDEL-WAHAB, Y. H., FLATT, P. R. & BAILEY, C. J. (2001) Functional enhancement of electrofusion-derived BRIN-BD11 insulinsecreting cells after implantation into diabetic mice. Int J Exp Diabetes Res, 2, 29-36. DEFRONZO, R. A., BONADONNA, R. C. & FERRANNINI, E. (1992) Pathogenesis of NIDDM. A balanced overview. Diabetes Care, 15, 31868. DOYLE, M. E. & EGAN, J. M. (2003) Pharmacological agents that directly modulate insulin secretion. Pharmacol Rev, 55, 105-31.
81
DUA, V. K., OJHA, V. P., ROY, R., JOSHI, B. C., VALECHA, N., DEVI, C. U., BHATNAGAR, M. C., SHARMA, V. P. & SUBBARAO, S. K. (2004) Anti-malarial activity of some xanthones isolated from the roots of Andrographis paniculata. J Ethnopharmacol, 95, 247-51. DZULKARNAEN, B., WINARNO, M. W. & Y, S. S. (1996) Penelitian pendahuluan efek infus daun sambiloto terhadap Plasmodium berghei pada mencit. The Journal on Indonesian Medicinal Plants, 3, 26 - 28. ELIASSON, L., RENSTROM, E., AMMALA, C., BERGGREN, P. O., BERTORELLO, A. M., BOKVIST, K., CHIBALIN, A., DEENEY, J. T., FLATT, P. R., GABEL, J., GROMADA, J., LARSSON, O., LINDSTROM, P., RHODES, C. J. & RORSMAN, P. (1996) PKCdependent stimulation of exocytosis by sulfonylureas in pancreatic beta cells. Science, 271, 813-5. FUKUSHIMA, M., SUZUKI, H. & SEINO, Y. (2004a) Insulin secretion capacity in the development from normal glucose tolerance to type 2 diabetes. Diabetes Res Clin Pract, 66 Suppl 1, S37-43. FUKUSHIMA, M., USAMI, M., IKEDA, M., NAKAI, Y., TANIGUCHI, A., MATSUURA, T., SUZUKI, H., KUROSE, T., YAMADA, Y. & SEINO, Y. (2004b) Insulin secretion & insulin sensitivity at different stages of glucose tolerance: a cross-sectional study of Japanese type 2 diabetes. Metabolism, 53, 831-5. GARCIA-BARRADO, M. J., JONAS, J. C., GILON, P. & HENQUIN, J. C. (1996) Sulphonylureas do not increase insulin secretion by a mechanism other than a rise in cytoplasmic Ca2+ in pancreatic B-cells. Eur J Pharmacol, 298, 279-86. GENG, X., LI, L., WATKINS, S., ROBBINS, P. D. & DRAIN, P. (2003) The insulin secretory granule is the major site of K(ATP) channels of the endocrine pancreas. Diabetes, 52, 767-76. GERICH, J. E. (2003) Contributions of insulin-resistance & insulin-secretory defects to the pathogenesis of type 2 diabetes mellitus. Mayo Clin Proc, 78, 447-56. GILON, P. & HENQUIN, J. C. (2001) Mechanisms & physiological significance of the cholinergic control of pancreatic beta-cell function. Endocr Rev, 22, 565-604. GRAY, A. M., ABDEL-WAHAB, Y. H. & FLATT, P. R. (2000) The traditional plant treatment, Sambucus nigra (elder), exhibits insulin-like & insulinreleasing actions in vitro. J Nutr, 130, 15-20. GRAY, A. M. & FLATT, P. R. (1997) Pancreatic & extra-pancreatic effects of the traditional anti-diabetic plant, Medicago sativa (lucerne). Br J Nutr, 78, 325-34. GRAY, A. M. & FLATT, P. R. (1998a) Actions of the traditional anti-diabetic plant, Agrimony eupatoria (agrimony): effects on hyperglycaemia, cellular glucose metabolism & insulin secretion. Br J Nutr, 80, 109-14. GRAY, A. M. & FLATT, P. R. (1998b) Antihyperglycemic actions of Eucalyptus globulus (Eucalyptus) are associated with pancreatic & extra-pancreatic effects in mice. J Nutr, 128, 2319-23. GRAY, A. M. & FLATT, P. R. (1998c) Insulin-releasing & insulin-like activity of Agaricus campestris (mushroom). J Endocrinol, 157, 259-66.
82
GRAY, A. M. & FLATT, P. R. (1999) Insulin-secreting activity of the traditional antidiabetic plant Viscum album (mistletoe). J Endocrinol, 160, 409-14. GRODSKY, G. M. (1989) A new phase of insulin secretion. How will it contribute to our understanding of beta-cell function? Diabetes, 38, 673-8. GRODSKY, G. M. (2000) Kinetics of insulin secretion underlying metabolic events. IN LEROITH, D., TAYLOR, S. I. & OLEFSKY, J. M. (Eds.) Diabetes Mellitus A Fundamental & Clinical Text. 2nd ed. Tokyo, Lippincott Williams & Wilkins. GROMADA, J., MA, X., HOY, M., BOKVIST, K., SALEHI, A., BERGGREN, P. O. & RORSMAN, P. (2004) ATP-sensitive K+ channel-dependent regulation of glucagon release & electrical activity by glucose in wild-type & SUR1-/- mouse alpha-cells. Diabetes, 53 Suppl 3, S181-9. GROVER, J. K., YADAV, S. & VATS, V. (2002) Medicinal plants of India with anti-diabetic potential. J Ethnopharmacol, 81, 81-100. HABENER, J. F. ( 2000) Insulinotropic Glucagon-Like Peptide. IN LEROITH, D., TAYLOR, S. I. & OLEFSKY, J. M. (Eds.) Diabetes Mellitus: A Fundamental & Clinical Text. 2nd ed. Philadelphia, Lippincott Wlliams & Wilkins. HANAN, A. (1996) Beberapa catatan tentang sambiloto. The Journal of Indonesian Medicinal Plants, 3, 19 -20. HASAN, M. B. (1993) Pengaruh Bratawali (Tinospora crispa MIERS) terhadap glukosa pada kelinci. Bogor, Institut Pertanian Bogor. HENQUIN, J. C. (2004) Pathways in beta-cell stimulus-secretion coupling as targets for therapeutic insulin secretagogues. Diabetes, 53 Suppl 3, S48-58. HERCHUELZ, A., LEBRUN, P., BOSCHERO, A. C. & MALAISSE, W. J. (1984) Mechanism of arginine-stimulated Ca2+ influx into pancreatic B cell. Am J Physiol, 246, E38-43. HILLE, B. (1984) Ionic Channels of Excitable Membranes, Massachusetts, Sianuer Associates Inc. HOA, N. K., PHAN, D. V., THUAN, N. D. & OSTENSON, C. G. (2004) Insulin secretion is stimulated by ethanol extract of Anemarrhena asphodeloides in isolated islet of healthy Wistar & diabetic Goto-Kakizaki Rats. Exp Clin Endocrinol Diabetes, 112, 520-5. HOSKER, J. P., RUDENSKI, A. S., BURNETT, M. A., MATTHEWS, D. R. & TURNER, R. C. (1989) Similar reduction of first- & second-phase B-cell responses at three different glucose levels in type II diabetes & the effect of gliclazide therapy. Metabolism, 38, 767-72. HSU, J. H., LIOU, S. S., YU, B. C., CHENG, J. T. & WU, Y. C. (2004) Activation of alpha1A-adrenoceptor by andrographolide to increase glucose uptake in cultured myoblast C2C12 cells. Planta Med, 70, 1230-3. HUSEN, R., PIHIE, A. H. & NALLAPPAN, M. (2004) Screening for antihyperglycaemic activity in several local herbs of Malaysia. J Ethnopharmacol, 95, 205-8. INAGAKI, N., GONOI, T., CLEMENT, J. P., WANG, C. Z., AGUILARBRYAN, L., BRYAN, J. & SEINO, S. (1996) A family of sulfonylurea receptors determines the pharmacological properties of ATP-sensitive K+ channels. Neuron, 16, 1011-7.
83
INAGAKI, N., GONOI, T., CLEMENT, J. P. T., NAMBA, N., INAZAWA, J., GONZALEZ, G., AGUILAR-BRYAN, L., SEINO, S. & BRYAN, J. (1995) Reconstitution of IKATP: an inward rectifier subunit plus the sulfonylurea receptor. Science, 270, 1166-70. JING, X., LI, D. Q., OLOFSSON, C. S., SALEHI, A., SURVE, V. V., CABALLERO, J., IVARSSON, R., LUNDQUIST, I., PEREVERZEV, A., SCHNEIDER, T., RORSMAN, P. & RENSTROM, E. (2005) CaV2.3 calcium channels control second-phase insulin release. J Clin Invest, 115, 146-54. KAMAGATE, A., HERCHUELZ, A. & VAN EYLEN, F. (2002) Plasma membrane Ca(2+)-ATPase overexpression reduces Ca(2+) oscillations & increases insulin release induced by glucose in insulin-secreting BRINBD11 cells. Diabetes, 51, 2773-88. KAR, A., CHOUDHARY, B. K. & BANDYOPADHYAY, N. G. (2003) Comparative evaluation of hypoglycaemic activity of some Indian medicinal plants in alloxan diabetic rats. J Ethnopharmacol, 84, 105-8. KHAN, A., SAFDAR, M., ALI KHAN, M. M., KHATTAK, K. N. & ANDERSON, R. A. (2003) Cinnamon improves glucose & lipids of people with type 2 diabetes. Diabetes Care, 26, 3215-8. KIRANADI, B. (1990) Electrophysiology of beta cells from the islets of Langerhans. University of East Anglia. Norwich, University of East Anglia. KIRANADI, B., BANGHAM, J. A. & SMITH, P. A. (1991) Inhibition of electrical activity in mouse pancreatic beta-cells by the ATP/ADP translocase inhibitor, bongkrekic acid. FEBS Lett, 283, 93-6. LEBRUN, P., ANTOINE, M. H. & HERCHUELZ, A. (1992) K+ channel openers & insulin release. Life Sci, 51, 795-806. LEBRUN, P., ANTOINE, M. H., OUEDRAOGO, R., PIROTTE, B., HERCHUELZ, A., COSGROVE, K. E., KANE, C. & DUNNE, M. J. (1997) Verapamil, a phenylalkylamine Ca2+ channel blocker, inhibits ATP-sensitive K+ channels in insulin-secreting cells from rats. Diabetologia, 40, 1403-10. LIMSONG, J., BENJAVONGKULCHAI, E. & KUVATANASUCHATI, J. (2004) Inhibitory effect of some herbal extracts on adherence of Streptococcus mutans. J Ethnopharmacol, 92, 281-9. LOWELL, B. B. & SHULMAN, G. I. (2005) Mitochondrial dysfunction & type 2 diabetes. Science, 307, 384-7. MAASSEN, J. A., LM, T. H., VAN ESSEN, E., HEINE, R. J., NIJPELS, G., JAHANGIR TAFRECHI, R. S., RAAP, A. K., JANSSEN, G. M. & LEMKES, H. H. (2004) Mitochondrial diabetes: molecular mechanisms & clinical presentation. Diabetes, 53 Suppl 1, S103-9. MACDONALD, P. E. & WHEELER, M. B. (2003) Voltage-dependent K(+) channels in pancreatic beta cells: role, regulation & potential as therapeutic targets. Diabetologia, 46, 1046-62. MAFAUZY, M., KARTINI, M., LOKMAN, M. & AMRAH, S. S. (2002) Andrographis paniculata & its extract lowered blood glucose in streptozotocin-induced diabetic rats. JAFES (suppl), 20. MARIOT, P., GILON, P., NENQUIN, M. & HENQUIN, J. C. (1998) Tolbutamide & diazoxide influence insulin secretion by changing the
84
concentration but not the action of cytoplasmic Ca2+ in beta-cells. Diabetes, 47, 365-73. MASHARANI, U., KARAM, J. H. & GERMAN, M. S. (2004) Pancreatic Hormones & Diabetes Mellitus. IN GREENSPAN, F. S. & GARDNER, D. G. (Eds.) Basic & Clinical Endocrinology. 7th ed. Toronto, Lange Medical Books/McGraw-Hill. MCCLENAGHAN, N. H., A.J., B. & FLATT, P. R. (2001) Nateglinide exhibits glucose-sensitive KATP channel-dependent & independent insulinotropic actions. MCCLENAGHAN, N. H., BARNETT, C. R., AH-SING, E., ABDEL-WAHAB, Y. H., O'HARTE, F. P., YOON, T. W., SWANSTON-FLATT, S. K. & FLATT, P. R. (1996) Characterization of a novel glucose-responsive insulin-secreting cell line, BRIN-BD11, produced by electrofusion. Diabetes, 45, 1132-40. MCCLENAGHAN, N. H. & FLATT, P. R. (2000) Metabolic & K(ATP) channelindependent actions of keto acid initiators of insulin secretion. Pancreas, 20, 38-46. MEARS, D. & ATWATER, I. (2000) Electrophysiology of the pancreatic beta cell. IN LEROITH, D., TAYLOR, S. I. & OLEFSKY, J. M. (Eds.) Diabetes Mellitus a Fundamental & Clinical Text. 2nd ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. MIGUEL, J. C., ABDEL-WAHAB, Y. H., MATHIAS, P. C. & FLATT, P. R. (2002) Muscarinic receptor subtypes mediate stimulatory & paradoxical inhibitory effects on an insulin-secreting beta cell line. Biochim Biophys Acta, 1569, 45-50. NAUCK, M., STOCKMANN, F., EBERT, R. & CREUTZFELDT, W. (1986) Reduced incretin effect in type 2 (non-insulin-dependent) diabetes. Diabetologia, 29, 46-52. NESHER, R., DELLA CASA, L., LITVIN, Y., SINAI, J., DEL RIO, G., PEVSNER, B., WAX, Y. & CERASI, E. (1987) Insulin deficiency & insulin resistance in type 2 (non-insulin-dependent) diabetes: quantitative contributions of pancreatic & peripheral responses to glucose homeostasis. Eur J Clin Invest, 17, 266-74. NEWGARD, C. B. & JOHNSON, J. H. (2000) The role of glucose transport & phosphorylation in glucose-stimulated insulin secretion. IN LEROITH, D., TAYLOR, S. I. & OLEFSKY, J. M. (Eds.) Diabetes Mellitus a fundamental & clinical text. 2nd ed. Tokyo, Lippincott Williams & Wilkins. NIKI, I., NIWA, T., YU, W., BUDZKO, D., MIKI, T. & SENDA, T. (2003) Ca2+ influx does not trigger glucose-induced traffic of the insulin granules & alteration of their distribution. Exp Biol Med (Maywood), 228, 1218-26. NOOR, H. & ASHCROFT, S. J. (1989) Antidiabetic effects of Tinospora crispa in rats. J Ethnopharmacol, 27, 149-61. NOOR, H. & ASHCROFT, S. J. (1998) Pharmacological characterisation of the antihyperglycaemic properties of Tinospora crispa extract. J Ethnopharmacol, 62, 7-13. NOOR, H., HAMMONDS, P., SUTTON, R. & ASHCROFT, S. J. (1989) The hypoglycaemic & insulinotropic activity of Tinospora crispa: studies with human & rat islets & HIT-T15 B cells. Diabetologia, 32, 354-9.
85
NUNEMAKER, C. S., ZHANG, M. & SATIN, L. S. (2004) Insulin feedback alters mitochondrial activity through an ATP-sensitive K+ channeldependent pathway in mouse islets & beta-cells. Diabetes, 53, 1765-72. NURATMI, B., ADJIRNI & PARAMITA, D. I. (1996) Beberapa penelitian farmakologi sambiloto. The Journal of Indonesian Medicinal Plants, 3, 23 - 24. OLOFSSON, C. S., GOPEL, S. O., BARG, S., GALVANOVSKIS, J., MA, X., SALEHI, A., RORSMAN, P. & ELIASSON, L. (2002) Fast insulin secretion reflects exocytosis of docked granules in mouse pancreatic Bcells. Pflugers Arch, 444, 43-51. PANOSSIAN, A., HOVHANNISYAN, A., MAMIKONYAN, G., ABRAHAMIAN, H., HAMBARDZUMYAN, E., GABRIELIAN, E., GOUKASOVA, G., WIKMAN, G. & WAGNER, H. (2000) Pharmacokinetic & oral bioavailability of andrographolide from Andrographis paniculata fixed combination Kan Jang in rats & human. Phytomedicine, 7, 351-64. PETERHOFF, M., SIEG, A., BREDE, M., CHAO, C. M., HEIN, L. & ULLRICH, S. (2003) Inhibition of insulin secretion via distinct signaling pathways in alpha2-adrenoceptor knockout mice. Eur J Endocrinol, 149, 343-50. PHOLPHANA, N., RANGKADILOK, N., THONGNEST, S., RUCHIRAWAT, S., RUCHIRAWAT, M. & SATAYAVIVAD, J. (2004) Determination & variation of three active diterpenoids in Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees. Phytochem Anal, 15, 365-71. PLASMAN, P. O., HERCHUELZ, A. & LEBRUN, P. (1991) Dual effect of 1.4dihydropyridines on Ca2+ inflow into rat pancreatic islet cells. Naunyn Schmiedebergs Arch Pharmacol, 343, 90-5. RASSCHAERT, J., FLATT, P. R., BARNETT, C. R., MCCLENAGHAN, N. H. & MALAISSE, W. J. (1996) D-glucose metabolism in BRIN-BD11 islet cells. Biochem Mol Med, 57, 97-105. RORSMAN, P., ELIASSON, L., RENSTROM, E., GROMADA, J., BARG, S. & GOPEL, S. (2000) The Cell Physiology of Biphasic Insulin Secretion. News Physiol Sci, 15, 72-77. RORSMAN, P. & RENSTROM, E. (2003) Insulin granule dynamics in pancreatic beta cells. Diabetologia, 46, 1029-45. SANGSUWAN, C., UDOMPANTHURAK, S., VANNASAENG, S. & THAMLIKITKUL, V. (2004) Randomized controlled trial of Tinospora crispa for additional therapy in patients with type 2 diabetes mellitus. J Med Assoc Thai, 87, 543-6. SCHULLA, V., RENSTROM, E., FEIL, R., FEIL, S., FRANKLIN, I., GJINOVCI, A., JING, X. J., LAUX, D., LUNDQUIST, I., MAGNUSON, M. A., OBERMULLER, S., OLOFSSON, C. S., SALEHI, A., WENDT, A., KLUGBAUER, N., WOLLHEIM, C. B., RORSMAN, P. & HOFMANN, F. (2003) Impaired insulin secretion & glucose tolerance in beta cell-selective Ca(v)1.2 Ca2+ channel null mice. Embo J, 22, 3844-54. SHEKHAR, K. C., ACHIKE, F. I., KAUR, G., KUMAR, P. & HASHIM, R. (2002) A preliminary evaluation of the efficacy & safety of Cogent db (an ayurvedic drug) in the glycemic control of patients with type 2-diabetes. J Altern Complement Med, 8, 445-57.
86
SHIBASAKI, T., SUNAGA, Y., FUJIMOTO, K., KASHIMA, Y. & SEINO, S. (2004) Interaction of ATP sensor, cAMP sensor, Ca2+ sensor, & voltagedependent Ca2+ channel in insulin granule exocytosis. J Biol Chem, 279, 7956-61. SIEG, A., SU, J., MUNOZ, A., BUCHENAU, M., NAKAZAKI, M., AGUILARBRYAN, L., BRYAN, J. & ULLRICH, S. (2004) Epinephrine-induced hyperpolarization of islet cells without KATP channels. Am J Physiol Endocrinol Metab, 286, E463-71. STRAUB, S. G., MULVANEY-MUSA, J., YAJIMA, H., WEILAND, G. A. & SHARP, G. W. (2003) Stimulation of insulin secretion by denatonium, one of the most bitter-tasting substances known. Diabetes, 52, 356-64. WEINHAUS, A. J., PORONNIK, P., TUCH, B. E. & COOK, D. I. (1997) Mechanisms of arginine-induced increase in cytosolic calcium concentration in the beta-cell line NIT-1. Diabetologia, 40, 374-82. WEIR, G. C., BONNER-WEIR, S. & SHARMA, A. (2000) Regulation of Insulin Secretion & Islet Cell Function. IN KAHN, C. R. (Ed.) Atlas of Diabetes. London, Science Press Limited. WELTERS, H. J., TADAYYON, M., SCARPELLO, J. H., SMITH, S. A. & MORGAN, N. G. (2004) Mono-unsaturated fatty acids protect against beta-cell apoptosis induced by saturated fatty acids, serum withdrawal or cytokine exposure. FEBS Lett, 560, 103-8. WIDOWATI, L., KUSMANA, D. & WINARNO, M. W. (2005) Pengaruh ekstrak biji klabet (Trigonella foenum-graecum L.) terhadap gambaran kerusakan sel B pankreas pada tikus NIDDM. Medika, XXXI, 613-8. YANIV, Z., DAFNI, A., FRIEDMAN, J. & PALEVITCH, D. (1987) Plants used for the treatment of diabetes in Israel. J Ethnopharmacol, 19, 145-51. ZHANG, X. F. & TAN, B. K. (2000) Anti-diabetic property of ethanolic extract of Andrographis paniculata in streptozotocin-diabetic rats. Acta Pharmacol Sin, 21, 1157-64. ZHUANG, H., BHATTACHARJEE, A., HU, F., ZHANG, M., GOSWAMI, T., WANG, L., WU, S., BERGGREN, P. O. & LI, M. (2000) Cloning of a Ttype Ca2+ channel isoform in insulin-secreting cells. Diabetes, 49, 59-64.