STATUS TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO (Andrographis paniculata Needs) Bagem Br. Sembiring Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik ABSTRAK Teknologi pasca panen sambiloto belum tersedia di tingkat petani maupun industri skala menengah. Teknologi pasca panen memiliki peranan penting dalam menentukan mutu setelah panen maupun dalam pengolahan. Selain mutu teknologi pasca panen juga dapat memberikan nilai tambah dari tanaman sambiloto. Kegiatan pasca panen terdiri dari penanganan bahan mentah (segar) dan pengolahan menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi. Sambiloto mengandung zat pahit yang disebut dengan zat andrographolid. Tanaman sambiloto memiliki segudang manfaat baik untuk kesehatan manusia maupun ternak. Sambiloto dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, teh, serbuk, kapsul, infuse dan ekstrak. Panen sambiloto yang optimal adalah pada umur 3-4 bulan setelah tanaman. Setelah dipanen dikeringkan menggunakan sinar matahari yang dikombinasikan dengan alat. Setelah kering simplisia digiling sehingga dihasilkan serbuk ukuran 60 mesh. Kemudian untuk pengolahan (ekstraksi), teknologi yang digunakan adalah ukuran bahan 60 mesh, jenis pelarut etanol 70%, perbandingan bahan dengan pelarut 1:10 dan lama ekstraksi 6 jam dan menghasilkan kadar andrographolid sebesar 6,86%. Selain teknik ekstraksi, faktor penyimpanan juga mempengaruhi mutu simplisia, ekstrak maupun produk dari ekstrak.
PENDAHULUAN Peranan teknologi pasca panen akan terus meningkat dan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan mutu produk sesuai dengan standar dalam mendukung perkembangan pertanian khususnya dibidang komoditas ta-
134
naman obat. Selain untuk meningkatkan mutu, teknologi pasca panen perlu dikembangkan karena dapat memberikan nilai tambah dari tanaman obat, juga dapat memperluas lapangan kerja sekaligus membentuk sistem agroindustri. Kegiatan pasca panen mencakup dua hal yaitu penanganan (handling) bahan mentah dan pengolahan (processing) bahan mentah menjadi bahan setengah jadi dan bahan jadi. Kendala yang sering dihadapi baik ditingkat petani maupun industri adalah teknologi pasca panen sambiloto yang standar belum tersedia sehingga mutu produk hasil olahan yang dihasilkan belum memenuhi standar. Perkembangan pemanfaatan tanaman obat di Indonesia telah berkembang dengan pesat. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah industri obat tradisional dan fitofarmaka. Meski demikian masih banyak faktor yang harus disempurnakan, seperti masalah penanganan bahan baku, masalah produk dan manajemen. Masalah bahan baku dan produk berhubungan dengan teknologi pasca panen. Menurut Utoro (1992), industri obat tradisional masih memiliki kendala yang tidak mudah untuk diatasi, antara lain masalah produksi, masalah manajemen termasuk distribusi dan masalah bahan baku.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada petani maupun skala industri mengenai teknik penanganan pasca panen dan pengolahan sambiloto yang baik. Dengan teknik penanganan yang baik diharapkan dapat menghindari kehilangan hasil panen, baik dalam jumlah maupun mutu serta menghasilkan produk sambiloto yang bermutu serta memiliki nilai tambah. Dengan demikian perlu kiranya dilakukan suatu sosialisasi teknologi/pelatihan mulai dari penanganan bahan sampai diolah menjadi suatu produk baik dalam bentuk simplisia maupun ekstrak yang terstandar. Sambiloto (Andrographis paniculata Needs) merupakan salah satu komoditas tanaman obat yang memiliki segudang manfaat baik untuk kesehatan manusia maupun ternak. Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat yang diperioritaskan oleh Badan POM untuk dikembangkan. Sambiloto mengandung zat pahit yang disebut dengan zat andrographolid (C20H30O5). Kegunaan dari tanaman tersebut antara lain meningkatkan ketahanan tubuh terhadap infeksi kuman, anti diare, malaria, gatal-gatal, diabetes, anti bakteri, kolesterol, tekanan darah tinggi, bronchitis dan lain-lain (Rusli et al., 2004). Menurut Nugroho dan Nafrialdi (2001), ekstrak sambiloto pada dosis 160 mg/100 g berat badan dapat menurunkan kadar kolesterol total, trigliserida. Sambiloto aman untuk dikonsumsi selama tiga bulan berturut-turut tidak menimbulkan efek toksik. Hal ini berdasarkan hasil uji toksisitas akut, sub-
kronis dan mutagenik. Pemanfaatan tanaman sambiloto sebagai obat dapat digunakan baik dalam bentuk segar, simplisia, teh, kapsul, serbuk, infus dan kapsul ekstrak (Winarno, 2003). FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUTU SIMPLISIA DAN EKSTRAK SAMBILOTO Mutu simplisia dipengaruhi oleh karakter genetik (varietas) dan ekologi (budidaya, kondisi lahan, ekofisiologi serta penanganan pasca panen) (Gupta 1991 dan Vijesekera, 1991). Setiap tanaman menghendaki kondisi lingkungan tumbuh tertentu agar dapat berproduksi dengan baik. Selain dan lingkungan tumbuh, produksi juga ditentukan oleh cara budidaya tanaman. Apabila cara budidaya kurang tepat, maka hasil produksi kurang optimal baik dari segi mutu atau kuantitasnya. Diharapkan cara budidaya mengikuti (GAP/ Good Agricultural Practices). Menurut Emmyzar et al. (1996) mutu simplisia sambiloto tertinggi diperoleh pada pemupukan dengan dosis 100 jg urea + 100 kg TSP + 50 kg KCl per hektar dengan jarak tanam 40 x 20 cm. Pengaruh ekosistem dominan pada tanaman sambiloto. Kualitas dan kuantitas komponen aktif sambiloto dipengaruhi oleh faktor ekosistem yaitu kandungan air dalam media tumbuh (Naiola et al. 1996), ketingian tempat, kualitas cahaya dan temperatur (Vanhaelen et al. 1991). Oleh karena itu faktor ekofisiologi harus optimal supaya supaya menghasilkan simplisia yang berkualitas (Gupta, 1991 dan
135
Vanhaelen et al. 1991), sehingga sintetis metabolit sekundernya dapat meningkat. Menurut Januwati dan Yusron (2004) tanaman sambiloto dapat dibudidayakan didaerah basah (Bogor) pada lahan tanpa naungan sampai naungan sedang (0-30%). Diatas naungan 30%, produksi akan menurun sekitar 50%. Sedangkan untuk kandungan air dalam media, untuk menghasilkan mutu simplisia tinggi maka pemberian air pertanaman yang optimal adalah 4 mm/ hari. Dari hasil tersebut dihasilkan produksi simplisia sebanyak 6,39 g/tan atau 357,84 kg/ha (Januwati et al., 2005). Panen merupakan salah satu tahapan dalam proses budidaya tanaman obat. Waktu dan cara panen merupakan periode kritis sehingga sangat menentukan kualitas dan kuantitas hasil panen. Setiap jenis tanaman memiliki waktu dan cara panen yang berbeda. Pemanenan tanaman sambiloto dapat dilakukan pada umur 3-4 bulan setelah tanam dengan cara dipangkas dengan menggunakan gunting stek. Pada saat itu tanaman sudah berbunga tapi belum keluar buah, karena pada fase awal pembungaan diperoleh kandungan bahan aktifnya yang tinggi. Selain waktu panen, waktu pengangkutan juga harus diperhatikan, diusahakan bahan hasil panen tidak terkena panas yang berlebihan. Jika terkena panas maka kemungkinan bahan mengalami fermentasi dan hal ini dapat menyebabkan bahan busuk sehingga mutu simplisia kurang baik. Mutu ekstrak dipengaruhi oleh mutu simplisia, peralatan yang digu-
136
nakan serta prosedur ekstraksi (ukuran bahan, jenis pelarut, konsentrasi pelarut, nisbah bahan dengan pelarut, suhu, lama ekstraksi, pengisatan, pemurnian dan pengeringan ekstrak (Vijesekera, 1991). Ukuran partikel bahan yang digunakan dalam ekstraksi berpengaruh terhadap bahan aktif ekstrak. Pengecilan ukuran bahan bertujuan untuk memperbesar luas permukaan pori-pori simplisia, sehingga kontak antra partikel simplisia dengan pelarut semakin besar. Jaringan simplisia dapat mempengaruhi efektifitas ekstraksi. Simplisia yang memiliki jaringan yang longgar akan lebih mudah diekstraksi dibandingkan dengan bahan yang memiliki jaringan yang kompak. Menurut Sumaryono (1996), simplisia yang memiliki jaringan yang kompak sebelum diekstraksi perlu dibasahi atau dikembangkan terlebih dahulu. Untuk sambiloto, menurut Sembiring et al. (2005), ukuran simplisia sambiloto untuk ekstraksi yang optimal adalah ukuran 60 mesh. Pemilihan pelarut merupakan faktor penting dalam proses ekstraksi. Jenis pelarut yang digunakan harus memiliki daya larut yang tinggi dan tidak berbahaya atau beracun. Menurut Depkes (1986), pelarut yang dipilih harus menguntungkan artinya dalam jumlah sedikit sudah dapat melarutkan zat aktif suatu bahan. Selain itu waktu untuk menguapkan pelarut lebih singkat sehingga kerusakan zat aktif yang tidak tahan panas dapat dikurangi. Jenis pelarut yang digunakan menurut Kirk dan Othmer (1957) adalah murah dan
selektif terhadap bahan aktif yang diinginkan. Menurut Sembiring et al., (2005) jenis pelarut yang optimal untuk mengekstrak sambiloto adalah etanol 70%. Jumlah bahan dan jumlah pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi dapat mempengaruhi rendemen ekstrak yang dihasilkan. Semakin tinggi jumlah pelarut yang digunakan, maka kemampuan pelarut untuk mengekstrak suatu bahan semakin tinggi karena kontak antara bahan dengan pelarut semakin besar. Menurut Suryandari (1891), semakin besar volume pelarut yang digunakan maka jumlah oleoresin yang terekstraksi semakin banyak dan akan bertambah terus sampai larutan jenuh. Perbandingan antara bahan dengan pelarut untuk ekstraksi sambiloto adalah 1:10 (Sembiring et al., 2005). Lama ekstraksi berpengaruh terhadap mutu ekstrak. Semakin lama waktu ekstraksi, maka kesempatan bahan bersentuhan dengan pelarut semakin lama hingga larutan mencapai titik jenuh (Suryandari, 1981). Untuk mendapatkan residu kadar bahan aktif dibawah satu persen, maka dibutuhkan waktu ekstraksi yang lebih lama (Bernardini,1983). Untuk simplisia sambiloto lama ekstraksi untuk menghasilkan rendemen dan kadar bahan aktif optimal adalah 6 jam (Sembiring et al, 2005). Sisa pelarut dipengaruhi oleh kondisi pemisahan dan penguapan pelarut dalam alat vacuum rotary dan oven vacuum pump. Sisa pelarut dalam ekstrak dapat mempengaruhi kualitas produk. Menurut FDA (Food and Drug
Association), batasan sisa pelarut dalam ekstrak adalah sebesar 1,046%. Penguapan sisa pelarut dalam ekstrak dilakukan sampai bobot tetap. Menurut Ma’mun et al. (2005), sisa pelarut yang terdapat dalam ekstrak sambiloto adalah sebesar 5,59%. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PASCA PANEN SAMBILOTO Pengeringan Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan air dari suatu bahan dengan menggunakan energi panas (Buckle et al., 1987). Tujuan dari pengeringan yaitu untuk memperoleh bahan dengan masa simpan panjang. Menurut Henderson dan Pery (1976) pengeringan dapat memberikan beberapa keuntungan antara lain, memperpanjang masa simpan dan mengurangi penurunan mutu sebelum diolah lebih lanjut, memudahkan dalam proses pengangkutan, menimbulkan aroma khas pada bahan tertentu dan mutu hasil lebih baik serta memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Sambiloto yang baru dipanen langsung disortir, kemudian dicuci sampai bersih dengan menggunakan air bersih. Pencucian dilakukan secara berulang-ulang sampai bahan benar-benar bersih. Selanjutnya bahan ditiriskan kemudian siap untuk dikeringkan/dijemur. Penjemuran sambiloto dapat dilakukan dengan menggunakan sinar matahari, oven, fresh dryer maupun kombinasi matahari dengan alat/blower. Menurut Rusli et al. (2004), pengeringan kombinasi antara matahari dengan
137
alat blower menghasilkan mutu simplisia yang lebih baik dibandingkan dengan jenis pengering matahari dan alat blower. Hal ini dilihat dari kadar sari air dan kadar sari alkohol yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan dengan alat pengering yang lain, seperti pada Tabel 1. Pada waktu pengeringan yang perlu diperhatikan adalah suhu dan kadar air bahan, karena pengeringan dengan menggunakan panas yang berlebihan dapat merusak mutu produk yang dihasilkan. Mutu yang dimaksud adalah warna, tekstur, flavor dan karakteristik mutu produk. Suhu pengeringan untuk tanaman sambiloto maksimum 50˚C dan kadar air simplisianya maksimal 10%. Mutu simplisia merupakan salah satu faktor penentu utama untuk mendapatkan ekstrak sambiloto yang berkualitas. Ciri-ciri simplisia yang baik adalah warna tidak jauh beda dengan warna sebelum dikeringkan, yaitu warna hijau sesuai dengan warna aslinya.
Penggilingan Penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran bahan sehingga mempermudah dalam pengemasan dan lebih praktis dalam penggunaan. Penggilingan/penepungan dapat dilakukan dengan menggunakan alat penggiling/ penepung, seperti alat hummer mills. Dalam penggilingan, ukuran bahan harus disesuaikan dengan keperluan penggunaan, misalnya jika penggunaannya dengan cara diseduh atau digodok ukurannya cukup (20-40 mesh) karena sebelum dikonsumsi disaring terlebih dahulu. Tetapi jika ingin dibuat produk kapsul, maka ukuran serbuknya harus halus yaitu 80-100 mesh supaya jika dikonsumsi dapat larut semua dalam tubuh. Selanjutnya untuk keperluan ekstraksi, menurut Sembiring, et al. (2005) ukuran serbuk sambiloto yang baik untuk ekstraksi adalah 60 mesh (Tabel 2). Menurut Purseglove (1981), besar ukuran bahan yang dipakai untuk keperluan ekstraksi adalah 50 mesh dan yang terhalus adalah ukuran 60 mesh.
Tabel 1. Karakteristik mutu simplisia sambiloto dari beberapa jenis pengering Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar abu tak larut asam (%) Kadar sari air (%) Kadar sari alkohol (%) Sumber : Rusli et al. (2004)
138
Matahari 10,35 8,25 0,04
Jenis Pengering Matahari/Blower 10,40 7,93 0,06
Blower 8,70 7,68 0,07
21,40 12,39
26,83 14,42
20,46 11,55
Tabel 2. Karakteristik mutu serbuk sambiloto Parameter Kadar sari air (%) Kadar sari alkohol (%) Kadar abu (%)
Ukuran serbuk 40 mesh 60 mesh 31,20 38,00 16,12 19,81 0,58 0,39
* Standar MMI Min 18,00 Min 9,70 Maks 12,00
Sumber :*Materia Medika Indonesia (1979) Sembiring et al. (2005)
Pengolahan sambiloto Pengolahan sambiloto bertujuan untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah dari produk serta mempermudah dalam pemakaian. Sambiloto dalam penggunaannya dapat berbentuk segar, simplisia, serbuk, ekstrak baik ekstrak kental maupun ekstrak kering dan dalam bentuk kapsul ataupun tablet. Ekstrak kental/oleoresin Ekstrak merupakan hasil pengolahan lanjutan dari serbuk sambiloto, dimana serbuk dicampur dengan pelarut kemudian diaduk beberapa jam lalu didiamkan semalam besoknya baru disaring. Hasil dari penyaringan diperoleh filtrat/sari yang selanjutnya diuapkan dengan menggunakan alat rotavapor atau menggunakan wadah yang permukaannya luas sehingga pelarut cepat menguap. Setelah pelarut menguap, maka yang tertinggal adalah sari sambiloto yang berbentuk pasta dan sering disebut dengan nama ekstrak kental/oleoresin.
Pemakaian sambiloto dalam bentuk ekstrak akan lebih praktis pemakaiannya sebagai obat fitofarmaka dan dosisnya lebih akurat. Menurut Sembiring et al. (2005), untuk mendapatkan ekstrak yang bermutu, perlu dirperhatikan teknik ekstraksinya. Untuk sambiloto teknik ekstraksi yang optimal yaitu menggunakan serbuk sambiloto berukuran 60 mesh, jenis pelarut etanol 70%, perbandingan bahan dengan pelarut 1:10 dan lama ekstraksi 6 jam. Dari perlakuan tersebut dihasilkan kadar andrograpolid ekstrak sebesar 6,86% (Gambar 1). Selain faktor teknik ekstraksi, mutu ekstrak juga dipengaruhi oleh faktor biologis, kimiawi, faktor internal, seperti senyawa aktif, komposisi kualitatif dan kuantitatif senyawa aktif (Sinambela, 2003).
139
Sambiloto (Campuran batang dan daun) Penjemuran Simplisia Penggilingan Pengayakan 80 mesh
Pengayakan 60 mesh
Serbuk
Ekstraksi
Penimbangan
Penguapan
Analisis mutu
Ekstraksi kental
Formulasi
Pengeringan
Pengapsulan
Ekstraksi kering Penggilingan Formulasi Pengkapsulan
Gambar 1. Diagram alir pembuatan ekstrak sambiloto
Gambar 2. Ekstrak kental/oleoresin sambiloto
140
Ekstrak kering Ekstrak kering merupakan hasil pengolahan lanjutan dari ekstrak kental/ oleoresin. Pembuatan ekstrak kering dapat dilakukan dengan cara mengeringkan ekstrak kental. Pengeringan dapat dilakukan baik menggunakan sinar matahari, oven, frezee dryer maupun spray dryer. Menurut Sembiring et al. (2005), pengeringan ekstrak sambiloto dengan menggunakan sinar matahari memakan waktu yang lama dan hasilnya kurang higienis. Selanjutnya pengeringan menggunakan oven, freeze dryer dan spray dryer menghasilkan ekstrak kering yang lebih higienis. Dari semua jenis pengering yang lebih higienis adalah alat frezee drayer dan ekstrak yang dihasilkan lebih baik mutunya. Tetapi alat pengering tersebut memiliki kelemahan yaitu memerlukan waktu yang lama untuk mengeringkan ekstrak yaitu minimal 15 jam karena alat tersebut suhunya rendah sekali yaitu -67o C. Untuk menghasilkan ekstrak kering bermutu, dalam pembuatan ekstrak kering perlu ditambahkan bahan pengisi yang bertujuan untuk mempercepat proses pengeringan dan tekstur serbuk yang dihasilkan lebih baik dan lebih kering. Pengeringan ekstrak kental tanpa penambahan bahan pengisi dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering frezee dryer tetapi hasilnya cepat higroskopis. Penambahan bahan pengisi (amilum) kedalam ekstrak kental lebih kurang 30-50%. Penambahan amilum pada konsentrasi tersebut dapat mempersingkat waktu pengeringan yaitu 2-3 hari pada suhu 40-50o C. Dari
semua jenis pengering yang lebih aman terhadap resiko terjadinya degradasi senyawa dalam ekstrak yang relatif termolabil adalah alat pengering frezee dryer (pengering beku) (Sumaryono, 1996). Ekstrak sambiloto yang sudah kering digiling kemudian diayak sehingga diperoleh serbuk ekstrak yang seragam ukurannya. Selanjutnya serbuk yang sudah diayak siap untuk disimpan atau diolah lebih lanjut baik untuk produk kapsul maupun tablet ataupun dicampur dengan bahan lain.
Gambar 3. Alat pengering ekstrak sambiloto (frezee dryer)
Gambar 3. Serbuk ekstrak kering sambiloto Penyimpanan Simplisia atau serbuk yang dihasilkan sebelum diolah lebih lanjut dapat disimpan untuk sewaktu-waktu diperlukan. Permasalahan yang perlu men-
141
dapat perhatian adalah adanya kemungkinan perubahan kimiawi selama penyimpanan. Penyimpanan bahan yang telah diolah baik dalam bentuk simplisia maupun serbuk, sering terkontaminasi baik oleh bakteri maupun kapang sehingga terjadi penurunan berat, mutu bahkan dapat menghasilkan toksin (beracun). Untuk mengatasi masalah tersebut sebelum penyimpanan perlu dilakukan pengawetan terhadap bahan yang disimpan. Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang umur simpan bahan tanpa merubah mutu produk. Berbagai cara untuk mengawetkan produk makanan salah satunya adalah menggunakan bahan kimia. Tetapi cara ini memiliki kelemahan yaitu dapat meninggalkan toksik pada produk, juga diperlukan karantina dalam waktu yang lama untuk menurunkan toksiknya baru boleh dikonsumsi. Selanjutnya melalui pemanasan pada suhu tinggi, ini dapat merusak zat aktif yang terkandung di dalam produk karena sebagian zat yang terkandung dalam produk sensitif terhadap panas, sehingga dapat menurunkan mutu. Cara yang lain adalah melalui iradiasi dan ini merupakan jenis pengawetan yang baik untuk saat ini. Teknologi ini telah banyak diaplikasikan untuk pengawetan produk makanan, kosmetik, obat maupun alat-alat kedokteran yang membutuhkan sterilisasi tinggi. Proses iradiasi merupakan proses fisika sederhana hanya melewatkan sinar gamma yang dihasilkan oleh Cobalt 60 atau Cesium 137. Sinar gamma dikatakan memiliki kemampuan mereduksi mikroba karena dapat me-
142
nyerang molekul Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) sehingga pembelahan molekul akan dihambat dan akibatnya sel tidak dapat berkembang biak. Menurut Ma’mun et al. (2005), penyimpanan ekstrak sambiloto baik dalam bentuk ekstrak kental/oleoresin maupun kering tahan disimpan sampai penyimpanan umur 6 bulan tanpa merubah mutu dari ekstrak. Menurut Amin (1993) dalam Subandrio dan Danur (1996), membuktikan bahwa iradiasi dengan sinar gamma dengan dosis 3 kGy, 5 kGy dan 7 kGy tidak berpengaruh terhadap kestabilan struktur kurkuminoid serbuk utuh, serbuk tanpa minyak atsiri dan oleoresin temulawak. ARAH DAN STRATEGI PENELITIAN Untuk kedepannya teknologi pasca panen sambiloto lebih ditingkatkan lagi sehingga dihasilkan simplisia dan ekstrak sambiloto yang terstandar untuk dijadikan sebagai bahan baku fitofarmaka. Untuk menghasilkan mutu produk yang berkualitas berawal dari ekosistem yang baik, teknik budidaya yang baik serta teknik pasca panen yang baik. Ketiga faktor tersebut saling berkaitan, sehingga untuk kedepannya perlu dibuat suatu SOP (standar operasional penelitian). Untuk memantapkan arah pengembangan pasca panen sambiloto perlu dilakukan suatu penelitian kerjasama dengan pemerintah maupun non pemerintah. Seperti sektor pertanian, perguruan tinggi, perdagangan, perin-
dustrian, kesehatan, pengusaha, industri pengolahan dan perdagangan. KESIMPULAN Teknologi pasca panen sambiloto ditingkat petani maupun industri skala menengah belum tersedia. Teknologi pasca panen berpengaruh terhadap mutu bahan segar, simplisia dan ekstrak sambiloto. Dengan teknologi yang baik dihasilkan simplisia dan ekstrak sambiloto terstandar untuk digunakan sebagai bahan baku fitofarmaka. Sambiloto dapat digunakan dalam bentuk segar, simplisia, serbuk, ekstrak kental atau oleoresin maupun dalam bentuk ekstrak kering. Selain teknik pasca panen, faktor penyimpanan ekstrak juga berpengaruh terhadap mutu produk selama penyimpanan.
Emmyzar, R. Suryadi, M. Iskandar dan Ngadimin, 1996. Pengaruh dosisi pupuk NPK dan umur panen terhadap pertumbuhan dan produksi terna tanaman sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol. III. hal. 31-32. Gupta, R., 1991. Agrotechnology of Medicinal Plants. In the Medicinal Plant Industry. CRC press. Florida, USA. P:43-57. Henderson, S.M. dan Perry, R.L., 1976. Agricultural Process Engineering. The AVI Publishing Company, Inc. Wesport, Connecticut.
DAFTAR PUSTAKA
Hilmy, N. Dan Suryaputra, 1980. Radiopasteurisasi Jamu. Proc. Diskusi Panel Penggunaan Radiasi untuk Menyucihamakan Alat Kedokteran, Sediaan Farmasi dan Kosmetika, BATAN. Jakarta. hal. 1-7.
Bernardini, E., 1983. oil Seed, Oil and Fats. Vol. I. Raw Materials and Extraction Techniques. Publishing House, rome.
Kirk, R.E. dan D.F. Othmer, 1951. Encyclopedia of Chemical of Technology. The Interscience encyclopedia. Inc., New York.
Bombardelli, E., 1991. Technologies for processing of Medicinal Plants. In the Medicinal Plant Industry. CRC. Press. Florida USA.
Ma’mun, Bagem S., Feri Manoi, Shinta Suhirman, Tritianingsih dan Abdul Gani, 2005. Perbaikan metode ekstraksi dan penyimpanan ekstrak terstandar sambiloto. Laporan Teknis Penelitian. Balittro. Buku 2. hal. 91-109.
Buckle, K.A, RA. Edwards, G., Fleet dan M. Wooton, 1987. Ilmu Pangan, terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Depkes RI., 1986. Sediaan Galenik. Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.
Materia Medika Indonesia, 1979. Jilid III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. hal. 21-25. M. Januwati, E. Rini Pribadi, M. Yusron dan Nur Maslahah, 2005. Pengaruh tingkat kebutuhan air ter-
143
hadap mutu dan produksi sambiloto. Laporan Teknis Penelitian Balittro. Buku 2. hal. 25-37. M. Januwati dan Yusron, 2004. Produksi dan mutu sambiloto (Andrographis paniculata ness) pada beberapa tingkat naungan. Makalah pada seminar Nasional tumbuhan Obat Indonesia XXVI, tanggal 7-8 September 2004 di Padang. 7 hal. Nugroho, Y.A. dan Nafrialdi, 2001. Sambiloto tumbuhan obat Indonesia penurun kadar lipid darah. Prosiding seminar Nasional XIX. Tumbuhan Obat Indonesia. POKJANAS TOI. hal. 353-358. Naiola, B.P.T. Murtiningsih dan Chairil, 1996. Pengaruh stress air terhadap kualitas dan kuantitas komponen aktif pada sambiloto. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. III. hal. 15-17. Purseglove, J.W., 1981. spices. Vol. II, Longman Inc. New york. Rusli, S., Ma’mun, Sintha Suhirman dan Bagem Br Sembiring, 2004. Standarisasi simplisia dan pembuatan ekstrak pekat terstandar sambiloto (Andrographis paniculata Need). Laporan Teknis. hal. 19. Sembiring, B., Fery Manoi dan M. Januwati, 2005. Pengaruh nisbah bahan dengan pelarut dan lama ekstraksi terhadap mutu ekstrak sambiloto (Andrographis paniculata Nees). Prosiding Seminar
144
Nasional dan Pameran Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. XXVIII. Sinambela, J.M., 2003. Standardisasi Sediaan Obat Herba. Seminar Tumbuhan Obat Indonesia XXIII. Universitas Pancasila, 25-26 Maret. Jakarta. Subandrio, T. Dan I.A. Irastina Danur, 1996. Iradiasi pangan dan aplikasinya pada jamu dan tumbuhan obat. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Penerbit Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Vol. 3 No. 1. hal. 4-6. Sumaryono, W., 1996. Teknologi pembuatan sediaan fitofarmaka skala industri. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta. Vol. 3 No. 1. hal. 6-9. Suryandari, S., 1981. Pengambilan oleoresin jahe dengan cara solvent extraction, BBIHP, Bogor. Utoro, H., 1992. Prospek dan pengembangan jamu di Indonesia. Skripsi pada Jurusan Ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian. Fakultas Pertanian. IPB. Bogor. Vijesekera, R.O.B., 1991. Plant derived medicines and their role in global health. In the medicinal plant industry. CRC press. Florida, USA. p. 1-18. Winarto, W.P., 2003. Sambiloto, Budidaya dan Pemanfaatan untuk Obat. Penebar Swadaya. Jakarta.