BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) banyak diteliti sebagai tanaman berkhasiat obat. Beberapa penelitian mengenai khasiat farmakologi sambiloto diantaranya sebagai antidiabetes melitus (Zhang dan Tan, 2000), antihistamin (Hariana, 2007), antivirus dan imunomodulator (Nugroho dan Nafrialdi,1996), dan antifilariasis (Gupta, 1991). Andrografolid adalah komponen bioaktif utama yang terkandung dalam sambiloto yang bertanggung jawab pada aktivitas farmakologinya. Andrografolid bersifat relatif lipofilik dengan nilai log P = 2,632 dan kelarutan dalam air pada suhu 25°C sebesar 3,29 µg/mL (Bothiraja dkk., 2009). Bioavailabilitas absolut oral andrografolid dilaporkan hanya 2,67 % untuk dosis pemberian oral 120 mg/kgBB di tikus (Ling dkk., 2011). Berdasarkan penelitian Panossian (2000), ekstrak sambiloto dengan dosis 20 mg/kgBB pada tikus memiliki bioavailabilitas yang menurun 4 kali lipat setelah dosis yang digunakan dinaikkan 10 kali. Kelarutan dan bioavailabilitas ekstrak sambiloto yang rendah menjadi kelemahan penggunaannya sebagai obat. Beberapa tahun ini telah banyak penelitian yang menggunakan formulasi obat berbasis lipida untuk meningkatkan bioavailabilitas oral khususnya untuk obat yang memiliki kelarutan rendah di air. Salah satu bentuk formula berbasis lipida yang menarik adalah Self-Nanoemulsifying Drug Delivery System (SNEDDS). SNEDDS merupakan suatu campuran isotropik terdiri dari minyak,
1
2
surfaktan, kosurfaktan, dan obat yang akan segera membentuk nanoemulsi saat dicampur dengan fase air melalui penggojogan ringan (Date dkk., 2010). Secara umum emulsi yang dihasilkan oleh SNEDDS memiliki ukuran partikel kurang dari 100 nm, stabil secara termodinamis, terdispersi transparan antara minyak dan air difasilitasi lapisan film antarmuka oleh molekul surfaktan. Penelitian Xi dkk. (2009) melaporkan, metode SNEDDS dapat meningkatkan bioavailabilitas oral obat yang bersifat lipofilik hingga 2,4 kali lipat dibandingkan dengan formulasi konvensional seperti tablet. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan formulasi ekstrak etanolik sambiloto dalam sistem SNEDDS. Minyak yang digunakan adalah myritol 318, suatu trigliserida rantai medium semi-sintetis baru yang memiliki keunggulan yakni berpotensi meningkatkan fluiditas, kelarutan, memiliki kemampuan self emulsification yang cepat, tidak toksik dan aman. Sistem SNEDDS diperoleh menggunakan metode simplex lattice design dengan melakukan optimasi komposisi surfaktan dan kosurfaktan terpilih berdasarkan proses skrining menggunakan perangkat lunak Design Expert 7.1.5. Formula SNEDDS yang optimal diharapkan dapat membentuk nanoemulsi secara spontan di dalam tubuh dan melarutkan ekstrak sambiloto dalam jumlah lebih dari 80 mg tiap mL sistem yang mengacu pada penelitian Zhang dan Tan (2000) mengenai dosis ekstrak sambiloto yang efektif menurunkan glukosa darah tikus yakni 400 mg/kgBB dengan asumsi berat badan tikus 100-200 gram. Formula optimum ditentukan dengan melakukan pengujian jumlah ekstrak terlarut, ukuran tetesan emulsi, kejernihan, waktu emulsifikasi serta stabilitas emulsinya dalam artificial gastiric fluid (AGF) dan artificial intestinal fluid (AIF).
3
B. Rumusan Masalah 1.
Apakah campuran myritol 318, surfaktan dan kosurfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS ekstrak sambiloto yang homogen ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan?
2.
Apakah formula optimum SNEDDS ekstrak sambiloto dapat menghasilkan emulsi yang jernih, teremulsi secara spontan dengan waktu emulsifikasi dalam AGF kurang dari 1 menit, stabil dalam AGF selama 4 jam dan AIF selama 24 jam, serta ukuran dan distribusi tetesan emulsi seragam kurang dari 100 nm?
C. Tujuan Penelitian 1.
Mengetahui komposisi myritol 318, surfaktan, dan kosurfaktan melalui proses skrining dan optimasi untuk menghasilkan SNEDDS ekstrak sambiloto yang homogen ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan.
2.
Mengetahui karakteristik formula optimum SNEDDS ekstrak sambiloto yaitu kejernihan emulsi yang terbentuk, waktu emulsifikasi dalam AGF, stabilitas dalam AGF selama 4 jam dan AIF selama 24 jam, serta ukuran dan distribusi ukuran tetesan emulsi.
4
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang formulasi ekstrak tanaman dengan metode SNEDDS sehingga dapat menjadi alternatif baru dalam formulasi sediaan yang mengandung ekstrak tanaman khususnya sambiloto terutama untuk aplikasi penggunaan secara oral.
E. Tinjauan Pustaka 1.
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Sambiloto telah lama dikenal memiliki banyak khasiat dalam pengobatan.
Sambiloto dikenal dengan nama “King of Bitter” karena rasanya yang pahit. Sambiloto telah banyak diteliti sebagai antidiabetes melitus. Penelitian yang menyatakan bahwa tanaman A. paniculata sebagai antidiabetes melitus diantaranya Zhang dan Tan (2000) melaporkan bahwa ekstrak etanolik sambiloto dengan dosis pemberian 400 mg/kgBB tikus selama 14 hari secara poten menurunkan kadar glukosa darah pada tikus DM tipe 1 yang diinduksi Streptozotocin (STZ) ditandai dengan aktivitas enzim hepatik glukosa-6-fosfatase yang menurun. Ekstrak sambiloto juga dapat merangsang pelepasan insulin dan menghambat absorbsi glukosa melalui penghambatan enzim alfaglukosidase dan alfa-amilase (Subramanian dkk., 2008). Dosis 2,0 g/kgBB ekstrak etanolik herba sambiloto merupakan kadar optimal yang dapat menurunkan kadar glukosa tikus (Yulinah dkk., 2011). Penggunaan ekstrak sambiloto pada dosis 160 mg/100 g berat badan tikus percobaan selama 8 minggu dapat menurunkan kadar trigliserida sebesar 32%,
5
85% kolesterol LDL (low density lipoprotein) dan menaikkan kolesterol HDL (high density lipoprotein) hingga 33%. Selain itu, ekstrak sambiloto juga mampu membunuh larva cacing B. malayi yang dapat menyebabkan penyakit filariasis (kaki gajah) dan lebih ampuh dibandingkan dengan obat kimia yang sudah digunakan selama 40 tahun yaitu dietilkarbamasin (Gupta, 1991). Sheeja dkk. (2006) melaporkan ekstrak etanolik sambiloto juga mempunyai aktivitas sitotoksik dan pengurangan pertumbuhan tumor. Menurut Nugroho dan Nafrialdi (1996)
sambiloto
memiliki
aktivitas
antivirus
dan
bersifat
sebagai
imunomodulator pada manusia. Efek farmakologi sambiloto menurut Hariana (2007) adalah sebagai antiradang, antibengkak, antibakteri, dan penghilang rasa nyeri. Selain itu menurut Wijayakusuma (1994) sambiloto dapat merusak sel trophcyt dan trophoblast yang berperan pada kondensasi sitoplasma dan sel tumor. Sambiloto dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar, simplisia, kapsul, serbuk, infus, kapsul ekstrak kental, maupun kapsul ekstrak kering. Tanaman sambiloto sudah termasuk fitofarmaka di Cina. Herba dan percabangan tanaman sambiloto mengandung diterpen lakton yang terdiri dari andrografolid (zat pahit), neoandrografolid, 14-deoksi-11,12didehidroandrografolid, 14-deoksi-11-oksoandrografolid, dan homoandrografolid. Flavonoid bisa ditemukan di akar dan daun, diantaranya 5-hidroksi-2, 3’,7,8 tetrametoksiflavon,
5-hidroksi-2’,7,8-trimetoksiflavon,
5-hidroksi-7,2’,3’
trimtoksiflavon, 2’,5-dihidroksi-7,8-dimetoksiflavon, apigenin, onisilin, dan apigenin-7,4-dimetileter. Terdapat juga andrografin, panikulida A, B, dan C, dan panikulin (Niranjan dkk., 2010; Sudarsono dkk., 2006; Chao dan Lin, 2010).
6
Senyawa aktif fitokimia yang paling banyak terkandung dalam ekstrak sambiloto adalah andrografolid (Niranjan dkk., 2010).
Gambar 1. Struktur kimia andrografolid
Panossian dkk. (2000) telah melakukan uji bioavailabilitas dan farmakokinetik pada andrografolid. Andrografolid dengan dosis 20 mg/kgBB tikus yang diberikan secara oral bisa diabsorbsi secara sempurna, tetapi bioavailabilitasnya ditemukan mengalami penurunan 4 kali lipat setelah dosis dinaikkan 10 kali. Andrografolid mengikuti kompartemen model pertama karena sebagian besar (55%) andrografolid terikat pada protein plasma. Ling dkk. (2011) melaporkan bahwa bioavailabilitas oral andrografolid sangat rendah yakni hanya 2,67 %. Pengembangan ekstrak sambiloto dalam aplikasinya sebagai obat oral telah banyak dilakukan. Sermkaew dkk. (2013) berhasil memformulasikan ekstrak sambiloto dalam pellet SMEDDS (Self-microemulsifying Drug Delivery System) dan menghasilkan ukuran tetesan emulsi kurang dari 100 nm. Maiti dkk. (2010) berhasil membuat kompleks ekstrak sambiloto-fosfolipid yang dikenal dengan herbosome dan pengujian farmakokinetik pada tikus menunjukkan kadar
7
andrografolid dalam plasma meningkat, aksi farmakologi yang lebih lama, dan penurunan klirens. Andrographolide-loaded solid lipid nanoparticles (ANDSLNs) juga telah berhasil dibuat oleh Yang dkk. (2013) dengan peningkatan bioavailabilitas oral mencapai 241% dibandingkan dengan suspensi andrografolid dalam air. 2.
Self Nano Emulsifying Drug Delivery System (SNEDDS) SNEDDS merupakan campuran isotropik terdiri dari minyak, surfaktan
dan kosurfaktan bersama obat yang akan membentuk suatu nanoemulsi secara spontan dalam media air (Azeem dkk., 2009). Proses pembentukan nanoemulsi secara spontan dibantu dengan adanya pengadukan ringan motilitas saluran cerna (Dewan dkk., 2012). Proses emulsifikasi secara spontan tersebut dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi surfaktan, rasio kombinasi minyak dan surfaktan serta suhu emulsifikasi (Wakerly dkk., 1987; Pouton, 1985). Keunggulan SNEDDS dibandingkan dengan nanoemulsi biasa adalah dapat meningkatkan jumlah obat terdisolusi khususnya untuk obat yang absorpsinya dipengaruhi oleh kecepatan disolusinya, meningkatkan permeasi antar membran saluran cerna, lebih praktis karena volumenya tidak besar, lebih fleksibel dalam pengaturan dosis dan pembuatannya yang mudah (Rane dan Andreson, 2008; Wasan dkk., 2009; Wang dkk., 2010; Hauss, 2007). Emulsi yang terbentuk dari sistem SNEDDS memiliki ukuran tetesan kurang dari 100 nm (Doh dkk., 2013). Ukuran tetesan yang sangat kecil tersebut memiliki keuntungan dapat meningkatkan kelarutan obat dengan cara memperluas area penyerapan di permukaan lambung (Rao dan Shao, 2008). Zhao dkk. (2010) memformulasi SNEDDS Zedoary turmeric oil (ZTO) dan
8
menghasilkan ukuran tetesan emulsi sebesar 68 nm, AUC dan Cmax pemberian oral pada tikus meningkat 1,7 - 2,5 kali lipat dibandingkan dengan ZTO yang tidak diformulasi. Hasil penelitian Heshmati dkk. (2013) yang memformulasi SNEDDS E804, suatu derivat indirubin yang sangat poten, menghasilkan peningkatan bioavailabilitas oral hingga 984,23% dibandingkan dengan suspensi E804 dalam air. Komposisi SNEDDS secara umum adalah sebagai berikut. a. Minyak Minyak merupakan komponen paling penting dalam formulasi SNEDDS karena berperan sebagai pembawa obat/ekstrak hidrofobik, membantu selfemulsification dari SNEDDS dan mampu meningkatkan fraksi obat hidrofobik yang tertranspor melalui sistem intestinal limfatik sehingga meningkatkan absorpsi pada saluran gastrointestinal (Gursoy dan Benita, 2004). Kelarutan obat pada fase minyak mempengaruhi kemampuan nanoemulsi yang dihasilkan oleh SNEDDS untuk menjaga obat dalam bentuk terlarut (Shafiq-un-Nabi dkk., 2007). Penelitian ini menggunakan fase minyak myritol 318. Myritol 318 merupakan trigliserida rantai medium yang dikenal dengan nama lain neobee oil, neobee m-5, captex 300, vegetable oil 1400, miglyol 810 neutral oil, dan miglyol 812 neutral oil (Rowe dkk., 2009). Myritol 318 berfungsi sebagai emulsifying agent, solvent, suspending agent, dan therapeutic agent. Komposisi asam lemak yang paling dominan terkandung dalam myritol 318 adalah asam kaprik (C10) dan asam kaprilik (C8) sekitar 50,0-80,0 % dan 20,0-50,0 % (Rowe dkk., 2009). Trigliserida rantai medium digunakan dalam berbagai formulasi farmasi termasuk oral, parenteral, dan produk topikal karena pada umumnya bersifat tidak
9
beracun dan tidak mengiritasi. Studi toksikologi akut pada hewan dan manusia menunjukkan tidak ada iritasi atau efek samping lain yang telah diamati. Trigliserida rantai medium juga tidak mengiritasi mata. Studi toksikologi kronis pada hewan juga menunjukkan tidak ada efek samping berbahaya yang terkait dengan trigliserida rantai medium apabila digunakan dalam formulasi dengan penghantaran secara inhalasi, oral, dan parenteral. Trigliserida rantai medium memiliki kelebihan dibanding trigliserida rantai panjang diantaranya memiliki area nanoemulsi yang lebih luas karena polaritasnya yang lebih tinggi dan hidrofobisitas lebih rendah, kapasitas sebagai pelarut lebih tinggi, dan lebih sulit mengalami oksidasi (Grove dkk., 2006; Kaukonen dkk., 2004). Contoh penggunaan minyak trigliserida rantai medium adalah SNEDDS ezetimebe yang dibuat menggunakan capryol 90, suatu trigliserida rantai medium, dan surfaktan tween 80 menghasilkan ukuran tetesan emulsi 65,88 nm, waktu emulsifikasi 10,20 detik dan persen transmitan 99,70 % (Bandyopadhyay, 2012). Minyak myritol 318 telah banyak digunakan dalam formulasi SNEDDS obat maupun ekstrak tanaman yang bersifat lipofilik dengan menggunakan berbagai jenis surfaktan dan kosurfaktan. Penggunaan myritol 318 dibantu dengan surfaktan nonionik mampu menghasilkan sistem yang homogen dan meningkatkan kecepatan absorpsi dengan meningkatkan surface area yang tersedia untuk proses disolusi obat (Lin dkk., 2011). Sediaan pellet SNEDDS silymarin, suatu fitoterapi, yang dibuat menggunakan minyak myritol 318, surfaktan tween 80, dan kosurfaktan propilen glikol terbukti mampu meningkatkan bioavailabilitas oral komponen aktif silymarin (Iosio dkk., 2011).
10
b. Surfaktan Surfaktan merupakan komponen penting untuk formulasi SNEDDS karena dibutuhkan untuk membuat emulsi lebih stabil saat kontak dengan air ditandai dengan tidak adanya pengendapan dan pemisahan fase. Surfaktan yang paling sering digunakan untuk SNEDDS adalah surfaktan nonionik. Surfaktan nonionik biasa digunakan dalam formulasi obat per oral karena bersifat tidak toksik, aman, dan tidak mengiritasi. Surfaktan yang digunakan harus dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka dengan membentuk lapisan film tipis antarmuka minyak dan air untuk membantu proses
dispersi nanoemulsi.
Persyaratan nilai HLB surfaktan untuk pembuatan SNEDDS adalah lebih dari 10 untuk membentuk sistem nanoemulsi minyak dalam air secara spontan saat didispersikan dalam cairan lambung (Kommuru dkk., 2001 ; Azeem dkk., 2009). Mekanisme terbentuknya nanoemulsi didasarkan pada kemampuan surfaktan dalam menstabilkan tegangan antarmuka akibat difusi spontan saat pencampuran dua fase cairan dengan melingkupi partikel obat dalam fase minyak dan mendorong terbentuknya tetesan kecil (Mohanraj dan Chen, 2006). Beberapa contoh surfaktan nonionik yang memiliki HLB lebih dari 10 yaitu tween 80 dan tween 20. 1) Tween 80 Tween 80 atau polyoxyethylene-20-sorbitan monooleate (C64H124O26) pada suhu 25°C berwujud cairan seperti minyak, jernih, berwarna kuning muda hingga coklat muda, aroma khas lemah, rasa pahit. Tween 80 antara lain berfungsi sebagai zat pembasah, emulgator, dan penambah kelarutan. Nilai HLB tween 80
11
adalah 15 dengan hydroxyl value 65-80 sehingga cenderung bersifat hidrofil dan cocok digunakan sebagai surfaktan SNEDDS yang menghasilkan emulsi minyak dalam air (Rowe dkk., 2009). Nanoemulsi fisetin, suatu flavonoid alami, dengan menggunakan surfaktan tween 80 dan minyak myritol 318 menghasilkan ukuran tetesan emulsi 153 nm, polydispersity index sebesar 0,129 dan bioavailabilitas intraperitonial pada tikus mengalami peningkatan hingga 24 kali lipat (Ragelle dkk., 2012). 2) Tween 20 Tween 20 yang memiliki nama kimia polyoxyethylene-20-sorbitan monolaurate (C58H114O26) merupakan suatu ester asam lemak berasal dari sorbitol. Pembuatannya dengan polimerisasi menggunakan 20 mmol etilen oksida untuk tiap mol rantai anhidrida sorbitol. Tween 20 memiliki bobot molekul 1128 g/mol, berwujud cairan minyak berwarna kuning, larut air, alkohol, etil asetat, dioksan, namun praktis tidak larut dalam petroleum dan parafin cair. Tween 20 memiliki HLB 16,7, hydroxyl value 96-108, dosis penggunaan aman hingga 37 g/kgBB (Rowe dkk., 2009). Formula SNEDDS Flutamide yang terdiri atas 53,38 % b/b tween 20 dan 14,46 % b/b PEG 400 mampu menghasilkan ukuran tetesan emulsi 148,7 nm (Jeevana dan Sreelakshmi, 2011). c. Kosurfaktan Jenis kosurfaktan yang biasanya digunakan pada formulasi SNEDDS adalah alkana-poliol atau alkohol rantai pendek dan medium karena dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka dan membentuk nanoemulsi secara spontan (Wadhwa dkk., 2012). Tujuan ditambahkannya kosurfaktan adalah untuk
12
meningkatkan jumlah obat/ekstrak terlarut pada sistem SNEDDS, membantu kelarutan surfaktan dalam minyak, membantu kemampuan spontanitas surfaktan untuk membentuk sistem nanoemulsi, serta meningkatkan stabilitas nanoemulsi dengan cara menyelipkan diri di antara surfaktan (Patel dkk., 2011; Benita, 2006). Kosurfaktan yang biasa digunakan dalam pembuatan SNEDDS adalah propilen glikol dan PEG 400. 1) Propilen glikol Propilen glikol memiliki nama kimia 1,2-propanadiol (C3H8O2) dengan bobot molekul 76,09 g/mol. Wujudnya berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, dan higroskopis. Propilen glikol banyak digunakan sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan, humektan, solven, stabilizer untuk vitamin dan kosolven yang dapat bercampur dengan air. Propilen glikol merupakan pelarut yang baik, tidak toksik dan dapat melarutkan berbagai macam senyawa, seperti kortikosteroid, fenol, obat-obat sulfa, barbiturat, vitamin A dan D, alkaloid dan berbagai anastetik lokal. Dosis penggunaan sehari yang diterima hingga 25 mg/kgBB (Rowe dkk, 2009). SNEDDS kombinasi ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan sambung nyawa (Gynura procumbens) menggunakan sistem yang terdiri dari tween 80 : tween 20 : propilen glikol: myritol 318 (45:15:20:20 % v/v) mampu menghasilkan ukuran tetesan emulsi 17,13 nm dengan waktu emulsifikasi 43,23 detik (Meirista, 2014). 2) PEG 400 PEG 400 memiliki sinonim macrogol 400 dengan bobot molekul rata-rata 380-420 g/mol. PEG 400 telah digunakan dalam berbagai formulasi sediaan
13
parenteral, topikal, oral, maupun rektal. PEG 400 mengandung komponen hidrofilik yang stabil, tidak toksis, dan tidak mengiritasi (Rowe dkk., 2009). SNEDDS obat ketoprofen yang dibuat menggunakan kosurfaktan PEG 400 dan fase minyak Virgin Coconut Oil (VCO) yang juga merupakan suatu trigliserida rantai medium dilaporkan mampu menghasilkan ukuran tetesan emulsi 2,8 nm dan waktu emulsifikasi 44,43 detik (Zein, 2014). 3. Simplex Lattice Design (SLD) Formula adalah campuran yang terdiri dari beberapa komponen yang apabila terdapat perubahan fraksi salah satu komponennya, maka akan mengubah satu atau lebih komponen lain (Rachmawati, 2012). SLD merupakan suatu metode untuk menentukan design sederhana pada campuran berbagai komposisi bahan yang berbeda (Mandlik dkk., 2012). Metode ini digunakan untuk mengoptimasi variabel dalam formulasi. Variabel dievaluasi dengan mengubah konsentrasinya secara simultan dan menjaga total seluruh bahan agar konstan. Optimasi kadar surfaktan dan kosurfaktan pada formulasi SNEDDS ekstrak sambiloto dalam penelitian ini menggunakan metode SLD yang dibantu analisisnya dengan perangkat lunak Design Expert versi 7.1.5. Keuntungan penggunaan desain penelitian yaitu, keefektifan penafsiran faktor dan interaksi, dapat memprediksi efek yang diinginkan ketika tidak terjadi interaksi sehingga memberikan efisiensi yang maksimal (Patel dkk., 2010). Simplex lattice design dapat merancang percobaan dengan minimal 2 campuran komponen. Rancangan percobaan dengan 2 komponen atau faktor menggunakan persamaan sebagai berikut.
14
Y = a(A) + b(B) + ab(A)(B)………………………..........................................…(1) Keterangan: Y = respon (hasil percobaan) A, B = kadar komponen, (A) + (B) = 1 a, b, ab = koefisien yang dapat dihitung dari hasil percobaan (Bolton dan Bon, 2004) F. Landasan Teori Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) telah banyak diteliti terkait khasiatnya dalam pengobatan penyakit antara lain sebagai antidiabetes melitus (Zhang dan Tan, 2000), antihistamin (Hariana, 2007), antivirus dan imunomodulator (Nugroho dan Nafrialdi,1996), dan antifilariasis (Gupta, 1991). Herba dan percabangan tanaman sambiloto mengandung diterpen lakton yang didominasi zat pahit andrografolid (Sudarsono dkk., 2006). Permasalahan ekstrak sambiloto dalam penggunaannya sebagai obat adalah kelarutan yang rendah dalam air yang disebabkan oleh andrografolid yang bersifat lipofilik dengan nilai log P = 2,632 dan kelarutan dalam air 3,29 µg/mL pada suhu 25°C (Bothiraja dkk., 2009). Bioavailabilitas absolut oral andrografolid dilaporkan sangat rendah yakni 2,67 % untuk dosis pemberian oral 120 mg/kgBB tikus (Ling dkk., 2011). Permasalahan pada ekstrak sambiloto tersebut dapat diatasi dengan memformulasikannya dalam bentuk SNEDDS. Formulasi
SNEDDS
ekstrak
sambiloto
dalam
penelitian
ini
menggunakan minyak myritol 318 yang merupakan trigliserida rantai medium yang bersifat tidak toksis dan aman untuk penggunaan oral. Myritol 318 pernah digunakan oleh Ragelle dkk. (2012) dalam formulasi nanoemulsi fisetin, suatu flavonoid alami, dengan menggunakan surfaktan tween 80 dan solven alkohol.
15
Ukuran tetesan emulsi yang dihasilkan 153 nm dengan polydispersity index sebesar 0,129 dan bioavailabilitas intraperitonial pada tikus mengalami peningkatan hingga 24 kali lipat. Kombinasi ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan sambung nyawa (Gynura procumbens) 75:25 yang diformulasi dalam sistem SNEDDS dengan komposisi myritol 318 : tween 80 : tween 20 : propilen glikol (20:45:15:20 % v/v) mampu menghasilkan ukuran tetesan emulsi 17,13 nm dengan waktu emulsifikasi 43,23 detik (Meirista, 2014). Iosio dkk. (2011) berhasil membuat sediaan pellet SNEDDS silymarin menggunakan fase minyak myritol 318, surfaktan tween 80, dan kosurfaktan propilen glikol dan terbukti mampu meningkatkan bioavailabilitas oral komponen aktif Silymarin. Penelitian Han dkk. (2010) berhasil memformulasikan obat YH439 dalam sistem nanoemulsi menggunakan myritol 318, matriks PEG 400-kaprik-palmitat, dan surfaktan Cremophor RH40 dengan ukuran tetesan emulsi yang dihasilkan sebesar 28 nm. Milovic dkk. (2012) berhasil membuat SMEDDS karbamazepin dengan komposisi myritol 318 : (tween 80 + cremophor RH40) 2:8 v/v dengan ukuran tetesan emulsi 19,87 nm. Berdasarkan keberhasilan penelitian-penelitian sebelumnya yang telah menggunakan myritol 318 dalam formulasi SNEDDS maupun SMEDDS obat/ekstrak lipofil, maka diyakini bahwa penggunaan myritol 318 sebagai fase minyak pada formula SNEDDS ekstrak etanolik sambiloto dapat menghasilkan SNEDDS yang homogen, jernih, teremulsi secara spontan, stabil di AGF dan AIF, memiliki ukuran dan distribusi seragam kurang dari 100 nm.
16
G. Hipotesis 1. Campuran myritol 318, surfaktan dan kosurfaktan yang didapat dari proses skrining dan optimasi dapat menghasilkan formula SNEDDS ekstrak sambiloto yang homogen ditandai dengan tidak adanya pemisahan fase dan pengendapan. 2. Formula optimum SNEDDS ekstrak sambiloto dapat menghasilkan emulsi yang jernih, teremulsi secara spontan dengan waktu emulsifikasi dalam AGF kurang dari 1 menit, stabil dalam AGF selama 4 jam dan AIF selama 24 jam, ukuran dan distribusi ukuran tetesan emulsi seragam kurang dari 100 nm.