MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : Dian Kus Pratiwi NIM.E0006012
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi)
MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Oleh DIAN KUS PRATIWI NIM.E0006012
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, April 2010 Dosen Pembimbing
Pembimbing
Aminah, S.H., M.H NIP.195105131981032001
Co. Pembimbing
Isharyanto, S.H., M.Hum NIP. 197805012003121002
3
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi ) MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK Oleh DIAN KUS PRATIWI NIM.E0006012
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Pada : : Senin : 03 Mei 2010
Hari Tanggal
DEWAN PENGUJI 1. Suranto, S.H., M.H. Ketua
:..............................................
2. Isharyanto, S.H., M.Hum. Sekretaris
:..............................................
3. Aminah, S.H., M.H. Anggota
:..............................................
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP. 19610930 198601 1 001
4
MOTTO
”Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat” (QS. Al Mujadalah:11)
”Berusaha dan Berdoa adalah kunci sebuah kesuksesan”
5
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini kupersembahkan teruntuk :
Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.. Ayah dan Ibuku tercinta, terima kasih atas segala curahan kasih sayang, kesabaran bimbingan dan doa yang terucap maupun tak terucap dalam setiap langkahku, Semoga beliau berdua selalu dalam lindungan Allah SWT… amin
Kakak-kakak dan keluargaku yang tersayang atas segala kebersamaan, suka dan duka yang kita lalui bersama dalam menghadapi cobaan kehidupan ini, semoga pelajaran hidup yang kita lalui dapat membuat kita kokoh kedepannya dan Allah SWT selalu me-Rahmati kita semua, amiin...
Seseorang spesial dihatiku yang selalu menemani dan mendukungku sesulit apapun yang kuhadapi
Teman-teman terbaikku yang aku miliki, aku bangga bersama kalian, keep our friendship!!!
Bapak ibu dan dosen yang terhormat, terima kasih atas bekal ilmu yang kalian berikan
6
PERNYATAAN
Nama : Dian Kus Pratiwi Nim
: E0006012
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, April 2010 yang membuat pernyataan
Dian Kus Pratiwi NIM. E0006012
7
ABSTRAK
Dian Kus Pratiwi. E0006012. 2010. MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penelitian hukum ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Tata Negara, khususnya melalui kajian tentang pemerintahan daerah dan asas desentralisasi dalam kaitanya di bidang pelayanan pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan mengetahui mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yuridis normatif. penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan intepretasi atau penafsiran terhadap mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik terhadap wewenang pemerintah daerah ditinjau dari UU Pelayanan Publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralsasi pelayanan publik dilatarbelakangi oleh beberapa hal, dan salah satunya adalah adanya pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pengaturan pelaksanaan pelayanan publik melalui mekanisme desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah menurut asas-asas maupun ketentuan yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009. Dari pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik menurut ketentuan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 mempunyai beberapa implikasi positif maupun negatif. Dengan desentralisasi yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya di bidang pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah akan dapat mencipatakan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah kepada rakyat. Hal ini akan tercapai apabila apartur birokrasi di daerah mentaati asas-asas pelayanan publik maupun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pelayanan publik. Kata kunci : Desentralisasi. Pelayanan Publik. UU No. 25 Tahun 2009
8
ABSTRACT
Dian Kus Pratiwi. E0006012. 2010. THE MECHANISM AND IMPLICATIONS OF DECENTRALIZATION ON PUBLIC SERVICE AUTHORITY VIEWED FROM REGIONAL GOVERNMENT LAW NO. 25 YEAR 2009 REGARDING PUBLIC SERVICE. Law Faculty of Sebelas Maret University. The aim of this legal research is to make the author’s knowledge deeper in the field of Constitutional Law, particularly through a study on local governance and decentralization principles in the case of public service, in terms of Act No. 25th Year of 2009 about Public Services and finding out the mechanisms and implications of decentralization on public services in regional governments. This research is a prescriptive normative law. The method used in this research is normative juridical methods. Author uses this type of legal research, normative or doctrinal study of legal research by exploring library materials, or secondary data. The secondary data sources used include the primary legal materials, legal materials, secondary and tertiary legal materials. The data collection techniques used in this research is literature studies. The data obtained were then analyzed and interpreted with the interpretation of the mechanisms and implications of decentralization on public services viewed from local government authority in the terms of the Public Service Act. The results of the research shows that the implementation of decentralization on public service motivated by several things, and one of them is the devolution of power from central to local government. The arrangements of public services through decentralized mechanisms by local governments according to the principles and provisions are contained in Law no. 25 Year in 2009. By the implementation of decentralization of public services according to the provisions stipulated in Law No. 25 Year 2009, have some positive and negative implications. With the decentralization of delegation of authority from central government to local governments, particularly in the areas of public service, as stipulated in Law no. 25 Year 2009 concerning Public Service, local governments will create some policy to strengthen local politics that impact to the improvement of local government services which implemented by the government bureaucracy for the people. That will be achieved when local bureaucracy officers obey the principles of public service and the provisions stipulated in the Public Service Act. Keywords: Decentralization. Public Service. Law. Year 2009 25
KATA PENGANTAR
9
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan Rahmat, Nikmat serta KaruniaNya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan judul : “MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK.”. Penulis menyadari terhadap segala kekurangan yang ada pada diri Penulis, sehingga tidak mungkin menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini dan dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Bapak Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh Pembantu Dekan. 2. Ibu Aminah, S.H., M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan selaku Pembimbing Pertama yang telah memberi izin dan kesempatan kepada Penulis untuk melaksanakan penulisan hukum ini serta memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam penulisan hokum ini. 3. Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Kedua yang telah dengan tulus meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis selama mengikuti perkuliahan. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan dan semoga dapat Penulis amalkan di masa mendatang.
10
6. Segenap Staf dan Karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu Penulis selama masa perkuliahan. 7. Ayah dan Ibuku tercinta, Bapak Drs. Djuwalman, M.Pd dan Ibu Dra. Margyaningsih Rahayu yang dengan penuh keikhlasannya mencurahkan kasih sayang, bimbingan, doa dan tuntunannya kepada Penulis, semoga Allah SWT selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan yang senantiasa tercurah kepada Beliau berdua, amin. 8. Kakak-kakakku tersayang, Mbak Dewi, Mas Awan, ponakanku tersayang Raditya Daffa Pradipta, sepupu sekaligus sahabatku Norma Anggerda, serta seluruh keluarga besarku Mbah Uti, Mbah Kakung, Bulek Erna, Om Tono, serta Bulek dan Om yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan semoga Allah SWT selalu mencurahkan nikmatnya kepada keluarga kita, amin. 9. Teman-teman serta sahabat-sahabatku, Sandra Puspita Dewi, Januar Annisa, Eppy Yuniar Putri, Riska Yunita, Mas Chkrisna Aditya, Mas Danar Ady Nugroho, yang selalu menemaniku saat suka maupun duka, berbagi kasih dan cerita bersama, dan selalu mendukungku saat aku lemah, semoga persahabatan kita tak kan lekang oleh waktu. 10. Seorang yang berarti buatku, sebagai Mas maupun Sahabat yang memberikan kasih sayangnya yang tulus padaku, selalu menemaniku dalam suka, duka, sehat maupun sakit, yang memberiku semangat dan terus mendorongku untuk bangkit dan maju, Sigit Riagung Nugroho, terimaksaih atas semua yang kau berikan padaku selama ini, semoga hubungan ini akan tetap terjaga hingga akhir nanti. 11. Teman-teman angkatan 2006, Heppy Indah Alamsari, Oktantiani DP, Ghusnie Arinie, Tina Indri Puspita, Deasy Widyasari, Teny Dwi Arianti, Agung Prakosa Subantolo, Raharjo Kurniawan, dan semua teman-teman lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah menemani, mendukung, membantu selama masa perkuliahan dan penulisan hukum ini. 12. Semua teman-teman terbaikku di Fakultas Hukum UNS, Dwi, Hastin Tafrihana, Zulfia Nossy, Iin Woelandari, Angga Martandy teman
11
seperjuangan dalam penulisan hukum ini, mas Aris Setyo Nugroho yang selalu memberi arahan dalam menyelesaikan penulisan hukum ini, serta teman-teman yang tak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang sudah dengan senang hati membantu dalam segala hal dan dalam membantu menyelesaikan penulisan hukum ini. Tanpa kalian aku bukan apa-apa. 13. Teman dan sahabaku di Jogja Ermin Puji Danarwati, Titis Wulandari, Adyy Kurniawan, Luluk Anggi Rumondank, Whisnu Idrajati dan teman-teman yang lainnnya, yang selalu memberi semangat kepada Penulis. 14. Om Joe dan Mas Ari, yang telah membantu dalam proses editing penulisan hukum ini. 15. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (Skripsi) ini, terima kasih yang setulusnya. Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan yang Penulis miliki, maka dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang menunjang bagi kesempurnaan penulisan hukum ini. Semoga
penulisan
hukum
ini
dapat
memberikan
manfaat
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, almamater, masyarakat serta pihak-pihak yang memerlukan, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya. Surakarta, April 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
12
HALAMAN JUDUL ............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................
iii
HALAMAN MOTTO...........................................................................................
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...........................................................................
v
HALAMAN PERNYATAAN ..............................................................................
vi
ABSTRAK............................................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ..........................................................................................
viii
DAFTAR ISI.........................................................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah ..................................................................
1
B. Perumusan Masalah .......................................................................
5
C. Tujuan Penelitian .............................................................................
6
D. Manfaat penelitian ...........................................................................
7
E. Metode Penelitian ............................................................................
7
F. Sistematika Penulisan ......................................................................
15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ................................................................................
17
1. Tinjauan tentang Desentralisasi .................................................
17
1.
Definisi Desentralisasi ......................................................
17
2.
Tujuan dan Konsep Desentralisasi....................................
20
3.
Derajat Desentralisasi dan Desentralisasi di Indonsesia...
24
2. Tinjauan tentang Kewenangan...................................................
30
1. Definisi wewenang...............................................................
30
2. Jenis-jenis Wewenang..........................................................
30
3. Cara Memperoleh Wewenang..............................................
30
4. Definisi Pelimpahan Wewenang..........................................
31
5. Manfaat dan Batasan Pelimpahan Wewenang.....................
32
6. Asas-asas pendelegasian Wewenang ...................................
33
13
7. Derajat Pelimpahan Wewenang...........................................
35
8. Pendistribusian Wewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah
36
9. Cara Penyerahan Wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah...............................................................
37
10. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindakan Sewenangwenang .................................................................................
37
11. Kewenangan Diskresi ..........................................................
38
3. Tinjauan tentang Pelayanan Publik dalam UU No. 25 Tahun 2009............................................................................................
39
1. Definisi Pelayanan Publik....................................................
39
2. Penyelenggara Pelayanan Publik menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.................................
41
3. Tujuan dan Kualitas Pelayanan Publik menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik......................
42
4. Konsep Efisien dan Efektifitas dalam Pelayanan Publik.....
44
5. Asas
Dalam
Penyelenggaraan
Pelayanan
Publik
menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ...................................................................................
45
6. Ruang Lingkup Pelayanan Publik .......................................
46
7. Standar Pelayanan Publik ....................................................
48
B. Kerangka Pemikiran.........................................................................
50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kajian terhadap Latarbelakang Desentralisasi Pelayanan Publik Pemerintah Daerah ............................................................................................. B. Kajian
terhadap
Mekanisme
Penyelenggaraan
53
Desentralisasi
Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ..........................................
58
14
1.
Pengaturan Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ....................................
2.
Prosedur
Evaluasi,
Penyelesaian
Pengaduan
58
dan
Pelanggaran hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di tinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang
3.
Pelayanan Publik ......................................................................
65
Standart Pelayanan ..................................................................
68
C. Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ..........................
77
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ...................................................................................
91
B. Saran ..............................................................................................
97
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut maka salah satu cara yaitu dengan melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan yang berkelanjutan tersebut di laksanakan oleh pemeintah pusat dan pemerintah daerah. Pembangunan oleh pemerintah pusat berkaitan dengan sektor-sektor yang lebih global, sedangkan pembangunan di daerah dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Perubahan UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1) berbunyi “ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerahdaerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”. Sedang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat. Pasal 18 A ayat (1) menyebutkan bahwa hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah propinsi, kabupaten, dan kota atau antara propinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Sedang Pasal 18 A ayat (2) menyebutkan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
16
daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Sekalipun otonomi itu seluas-luasnya, namun urusan-urusan tertentu dalam Pasal 18 ayat (5) yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana terumus dalam kalimat “ kecuali urusan pemerintahan yang oleh undangundang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”, sehingga ini menjadi dasar yuridis peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terkait dengan ketentuan yang mengatur tentang urusan Pemerintahan Pusat disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 yakni bahwa urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat meliputi: a. Politik luar negeri; b. Pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. Moneter dan fiskal; dan f. Agama. Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU sebelumnya yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka, mekanisme pembangunan daerah antara pemerintah pusat dan daerah pun menjadi berbeda. Dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pola-pola
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
yang
sentralististik menjadi kurang aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik. Peran pemerintah lebih ditekanankan sebagai regulator dan fasilitator untuk menciptakan iklim yang kondunsif. Birokrasi pemerintahan tidak lagi menampilkan sosok sebagai penguasa, tetapi sebagai pelanyan masyarakat. Semua bentuk kegiatan pemerintah dan pembangunan harus dikelola secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Dalam rangka melaksanakan tujuan Negara khususnya untuk memajukan kesejahteraan umum melalui pembangunan nasional , negara
17
berkewajiban salah satunya yaitu melayani setiap warganegara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik, dimana telah diamanat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah diatur dengan Undang-Undang No. 25 tahun 2009. Pelayanan publik yang di berikan pemerintah pada rakyat tersebut tentu saja tidak dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah pusat kepada rakyat, akan tetapai melalui pemerintah daerah sebagai kapanjangan tangan dari pemerintah pusat didaerah untuk melaksanakan pembangunan tersebut sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004. Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari sentralistisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintah daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislatif daerah, harus disikapi dengan mengubah manajemen pemerintahan daerah. Dari sisi manajemen publik, juga terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi pemerintahan ke kepentingan eksternal disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan publik dari pemerintah ke masyarakat ataupun pasar. Demikian halnya sebagai konsekwensi reformasi, manajemen publik juga harus beralih orientasi dari orientasi lama yang menekankan pada proses “tindakan administrasi” yang meliputi kegiatan: perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penempatan pegawai (staffing), pengarahan (directing), pengawasan (controlling), pengaturan (regulating), dan penganggaran (budgeting) ke orientasi baru yang menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan pelaksanaan” yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis), manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia (human resources management), manajemen informasi (information management), dan hubungan keluar (external relation). Semua perubahan di atas harus diantisipasi oleh semua pelaksana pemerintahan, terutama kepala daerah.
18
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada level bawah dalam suatu struktur organisasi. Pada saat sekarang ini banyak perusahaan atau organisasi yang memilih serta menerapkan sistem desentralisasi karena dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan produktifitas suatu organisasi. Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi sesuai dengan UU No. 32 Tahun 34 tentang Pemerintahan Daerah, sejatinya pemerintah daerah memiliki hak dan kewajiban yang luas untuk menciptakan pelayanan publik semakin baik. Hal ini karena pemberian otonomi daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang semakin efisien dan pemerintahan yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat (participatory democracy). Meskipun pada dasarnya kedua tujuan tersebut sering kali diletakkan dalam prioritas yang berbeda oleh pemerintah pusat dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, tetapi keduan tujuan tersebut selalu menyertai penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam aspek efisiensi, pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat oleh pemerintah daerah tanpa persetujuan pemerintah pusat. Pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakatnya menentukan
potensi dan kebutuhan yang akan menjadi
prioritas pembangunan dan pelayanan daerah (local responsiveness). Dalam aspek-aspek participatory democracy, otonomi daerah memiliki dimensi political equality dan local accountability. Dalam hal ini pembangunan dan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah harus dapat dipertanggungjawabkan dan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh kelompok masyarakat. Konsepsi otonomi daerah, harus dapat dijadikan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan pelayanan pemerintah yang dilaksanakan oleh birokrasi kepada rakyat. Hal tersebut dikarenakan salah satu dari tujuan otonomi daerah adalah memberikan pelayanan yang maksimal terhadap publik.
19
Ada beberapa daerah yang bisa dijadikan contoh dalam pelaksanaan desentralisasi pelayanan yang baik untuk masyarakatnya. Sragen, misalnya, dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya dengan menciptakan iklim investasi yang baik naik 16,6% untuk industri kecil dan 21,3% untuk industri berat. Hasilnya, penyerapan tenaga kerja meningkat 44,29% serta kenaikan jumlah perusahaan sebesar 30,1%. Ada pula Kabupaten Jembrana yang menggalakkan sekolah gratis dan kesehatan gratis sejak 2001. Gratis di sini maksudnya pemerintah Kabupaten Jembrana melakukan relokasi subsidi kesehatan yang semula untuk biaya obat-obatan RSUD dan puskesmas menjadi untuk membayar premi asuransi kesehatan bagi seluruh rakyat. Seluruh penduduk Jembrana memiliki KTP dengan pengurusan yang mudah dan cepat. Sekolah gratis didanai dari subsidi sekitar Rp3,7 miliar per tahun dalam kurun waktu 2001-2004. Program reformasi sosial telah menekan angka kemiskinan dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003); kematian bayi (per 1000 lahir hidup) dari 15,25 (2001) menjadi 8,39 (2003); dan tingkat drop out sekolah dasar dari 0,08% menjadi 0,02% pada tahun yang sama (Data dari Harian Media Indonesia Senin, 21 April 2008). Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah daerah dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan daerah yang menjadi kewenangannya. Dan salah satu kewenangannya adalah melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik, dimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah diatur dengan Undang-Undang No 25 tahun 2009. Untuk itu penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK”. B. Perumusan Masalah
20
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penulisan hukum. Perumusan masalah dibuat untuk memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan atau sasran sesuai yang dikehendaki. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengambil perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah
mekanisme
penyelenggaraan
dalam
desentralisasi
pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik? 2. Apa saja Implikasi dari penyelenggaraan desentralisasi pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan itu berupa tujuan secara subjektif dan objecktif. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1.
Tujuan Objecktif a. Untuk mengetahui mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik terhadap kewenangan pemerintah daerah. b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetauhi kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dan dapat memberikan masukan serta tambahan pengetahuan.
2.
Tujuan Subjektif
21
a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Tata Negara, khususnya melalui kajian tentang pemerintahan daerah dan asas desentralisasi dalam kaitanya di bidang pelayanan pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. b. Untuk penyusunan penulisan hukum/skripsi guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1.
Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran di bidang Hukum Tata Negara, khususnya melalui kajian tentang mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah. b. Diharapkan dapat menambah bahan referensi di bidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.
2.
Manfaat Praktis a. Untuk mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk mecocokan bidang keilmuan yang selama ini diperoleh dalam teori dan praktek. b. Dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang sedang diteliti. E. Metodologi Penelitian Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara
seorang ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan-
22
lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 1986:6).
Metode
penelitian adalah cara-cara mengenai bagaimana suatu penelitian itu akan dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata cara pengumpulan data, pengolahan data maupun analisis data serta penulisan laporan penelitian. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Jenis Penelitian Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis, dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Soerjono Soekanto, 1986:15). Penelitian ini memfokuskan diri pada studi kepustakaan dan doktrin-doktrin hukum yaitu pandangan atau ajaran-ajaran para ahli hukum mengenai bidang studi yang dikaji, yakni berkaitan dengan mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang ditinjau dari pendekatan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2.
Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif da terapan. Penelitian yang bersifat preskriptif merupakan penelitian hukum dalam rangka mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma huku. Sedang terapan berarti penelitian dalam rangka menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, dan rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Dalam penelitian ini, sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya, sehingga penelitian ini
23
bermaksud untuk menemukan dan mempelajari konsep-konsep serta aturan hukum yang ada dan bersangkutan dengan isu yang diteliti. Isu yang diteliti yaitu mengenai mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik terhadap wewenang pemerintah daerah, sedangkan konsep-konsep yang digunakan sebagai tinjauan isu yang diteliti yaitu UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
3.
Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa pendekatan dalam penelitian,
yaitu
pendekatan
undang-undang
(statue
approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan histori (historical approach),
pendekatan
komparatif
(comparatif
approach),
dan
pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 93). Pada penelitian ini hanya digunakan pendekatan dari sisi undangundang (statute approach), dengan menelaah semua legislasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang dikaji, yakni isu hukum berkaitan dengan mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang ditinjau dari pendekatan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 4.
Jenis Data Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang tidak secara langsung diperoleh
24
dari lapangan, tetapi diperoleh melalui studi kepustakaan, berupa bukubuku,
dokumen-dokumen,
laporan-laporan,
majalah,
peraturan
perundang-undangan, surat kabar, sumber-sumber lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan segala sesuatu yang berhubungan dengan objeck penelitian. Data sekunder mencakup bahan hukum primer yaitu UUD 1945 khususnya Pasal 18 tentang Pemerintahn Daerah; Peraturan Perundang-Undangan khususnya UU No. 25 Tahun 2009 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahan hukum sekunder berupa sejumlah keterangan atau fakta dengan cara mempelajari bahan-bahan pustaka yang berupa buku-buku, dokumen-dokumen, laporan-laporan, majalah, peraturan perundang-undangan, surat kabar dan sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan permasalahan yang di teliti yaitu tentang aspek desentralisasi di bidang pelayanan publik, dan bahan hukum tersier. 5.
Sumber Data Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah sumber dimana data diperoleh. Berdasarkan jenis datanya, yaitu data sekunder maka yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu: a.
Bahan Hukum Primer: yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri: 1)
UUD 1945 khususnya Pasal 18 tentang Pemerintahn Daerah;
2)
Peraturan Perundang-Undangan a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah b) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah c) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik d) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
25
e) PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom f) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal g) PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota h) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang
Pedoman
Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik i) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. KEP/26/M.PAN/2004
tentang
Petunjuk
Teknis
Transaparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik j) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal k) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan
Minimaltunjuk
Teknis
Penyusunan
dan
Penetapan Standar Pelayanan Minimal l) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota m) Dan peratuan perundang-undangan yang lainnya b.
Bahan
Hukum
Sekunder,
merupakan
bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum seperti yaitu berupa sejumlah keterangan atau fakta dengan cara mempelajari bahanbahan pustaka yang berupa buku-buku, dokumen-dokumen, laporanlaporan, majalah, peraturan perundang-undangan, surat kabar dan
26
sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan permasalahan yang di teliti yaitu tentang mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah. c.
Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti bahan dari internet, kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainnya. Bahan hukum tersier dalam hal ini seperti bahan dari internet, kamus, ensiklopedia, dan sebagainnya yang memberi penjelasan akan permasalahan yang di teliti yaitu tentang mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
6. Teknik Pengumpulan Data Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya dikenal paling sedikit tiga jenis teknik pengumpulan data, yaitu: studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006: 21). Dalam upaya pengumpulan data dari sumber data diatas, penulis menggunakan
teknik
pengumpulan
data
adalah
dengan
study
kepustakaan. Study kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mencari data-data dari bahan yang berupa buku-buku, dokumen-dokumen, laporan-laporan,
majalah, peraturan perundang-
undangan, surat kabar dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Penilitian kepustakaan ini meliputi: a.
Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang
27
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal, PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan
Publik,
Keputusan
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk
Teknis
Transaparansi
dan
Akuntabilitas
dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal, Peraturan Menteri Dalam Negeri No.79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimaltunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota, dll. b.
Identifikasi norma-norma hukum yang terkait dengan desentralisasi atau pelimpahan wewenang yang kemudian di hubungkan dengan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
c.
Mengkaji tentang doktrin-doktrin hukum yang diperoleh melalui buku-buku hukum yang berkaitan dengan desentralisasi dan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
7.
Teknis Analisis Data
28
Teknis analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis, yaitu
dengan
kegiatan mengumpulkan
data kemudian
diadakan
pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Teknis analisis data merupakan pengolahan data yang pada hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji dengan menggunakan norma secara materiil atau mengambil isi data yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil kesimpulan/verifikasi dan akan diperoleh kebenaran objektif. Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data dengan interpretasi atau penafsiran. Sudikno mengatakan bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu (Sudikno Mertokusumo, 1993: 169). Interpretasi yang digunakan oleh seorang peneliti menurut Peter Mahmud Marzuki telah memberikan memberikan sumbangan dan pengembangan ilmu dan praktek hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 106). Penafsiran atau interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum antara lain : interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, interpretasi teologis atau
sosiologi,
interpretasi
historis,
interpretasi
komparatif
dan
interpretasi futuristis. Di dalam beberapa literatur dikenal juga interpretasi autentik. Bahkan interpretasi gramatikal dan interpretasi autentik dapat dimasukkan ke dalam interpretasi sistematis.
29
Dalam penelitian ini peneliti tidak hanya menggunakan satu interpretasi, beberapa interpretasi yang digunakan oleh peneliti yaitu interpretasi gramatikal, yaitu cara penafsiran atau penjelasan untuk mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selanjutnya interpretasi autentik, yakni penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan terdapat dalam teks undang-undang (Sudikno Mertokusumo, 1993: 170). Selain itu peneliti juga menggunakan jenis interpretasi sistematis yang menurut P.W.C. Akkerman adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 112). Dalam interpretasi sistematis ini hubungan tidak hanya dilihat secara teknis, melainkan juga dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.
F. Sistematika Penulisan Hukum Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam penelitiannya dibagi menjadi empat bab, dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub bab yang disesuaikan dengan luas pembahsan. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: HALAMAN JUDUL HALAMAN TANDA TANGAN TIM PENGUJI DAN PENGESAHAN DEKAN ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I
: PENDAHULUAN
30
Dalam bab ini diuraikan tentang: A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian
BAB II
E.
Metode Penelitian
F.
Sistematika Penulisan Hukum
: TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka teori yang berisi: Pada bab ini akan diuraiakan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari : A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Desentralisasi 2. Tinjauan tentang Wewenang 3. Tinjauan tentang Pelayanan Publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 B. Kerangka Pemikiran
BAB III
: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang gambaran umum mengenai mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
BAB IV
: PENUTUP Dalam Bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan dan saran dari peneliti tentang permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Desentralisasi a. Definisi Desentralisasi Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin yang berarti de = lepas dan centrum = pusat, dengan demikian berarti melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud
dengan
desentralisasi
ialah
pelimpahan
kekuasaan
Pemerintah Pusat kepada Daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Dari beberapa pakar dan literatur menyebutkan tentang pengertian desentralisasi yaitu: 1) Asas desentralisasi adalah asas yang menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Untuk itu semua prakarsa, wewenang dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu, baik politik kebijaksanaan, perencanaan maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Pelaksananya adalah perangkat daerah sendiri. (Cst. Kansil dan Christine st Kansil, 2002: 3) 2) Rondinelli dan Cheema menyatakan bahwa desentralisasi adalah “the transfer of planning decision making, administrative authority from the central government to this field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organizations” desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi tingkat bawah, kesatuan-kesatuan administrasi daerah, semi otonomi dan organisasi (Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed). 1983:18). 3) Decentralization and Democratic Local Governance Programming Handbook vol 63 Decentralization is a process of transferring power to popularly elected local governments. Transferring power means providing local governments with greater political authority (e.g., convene 31
32
local elections or establish participatory processes), increased financial resources (e.g., through transfers or greater tax authority), and/or more administrative responsibilities artinya bahwa desentralisasi adalah proses pengalihan kekuasaan kepada pemerintah daerah populer terpilih. Mentransfer berarti memberikan kekuasaan pemerintah daerah dengan otoritas politik yang lebih besar (misalnya, mengadakan pemilu lokal atau menetapkan proses partisipatif), peningkatan sumber daya keuangan (misalnya, melalui transfer atau lebih otoritas pajak), dan / atau lebih tanggung jawab administrasi. 4) J.H.A. Logeman dalam The Liang Gie 1968 Berbicara desentralisasi sebagai ketentuan, jika pekerjaan penguasa Negara dilimpahkan kepada persekutuan-persekutuan yang berpemerintahan sendiri. “Van decentralizatie spreek men als regel, indien overheidswerkzaamheid va de landoverheid wordt afgewented op zelfregerende gemeenschappen”. 5) Menurut Smith Desentralisasi adalah pendelegasian kekuasaan dari tingkat tertinggi ke tingkat yang lebih rendah, dalam herarkhi territorial meliputi dua aspek, pertama syarat pembatasan wilayah (the limitation of areas) karena adanya pembagian teritorial Negara. Kedua, penyerahan wewenang (delegation of authority). “….that decentralization involves one of more division of the state’s territory” (Smith, 1985:18). Desentralisasi dengan demikian merupakan prinsip pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, prinsip ini mengacu pada fakta adanya span if control dari setiap organisasi sehingga perlu diselenggarakan secara bersama-sama. Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 “ desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan rumusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa: 1) desentralisasi
baru
terwujud
apabila
terdapat
penyerahan
overdragen wewenang pemerintahan; 2) pengakuan hanya ada satu bentuk desentralisasi yakni otonomi. Kita ketahui bahwa otonomi hanyalah salah satu bentuk dari desentralisasi, disamping tugas pembantuan (zelfsbestuur).
33
Dalam
kaitan
ini,
maka
konsep
desentralisasi
yang
dikembangkan dalam hukum positif Indonesia memperlihatkan arahnya kepada konsep penyerahan wewenang pemerintahan dari/oleh eksekutif tingkat pusat kepada daerah otonom. Desentralisasi dibatasi pada ruang lingkup wewenang pemerintahan yang menjadi kompetensi eksekutif. Dilihat dari aspek pemberian wewenang, maka desentralisasi akan memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan atau menangani urusan-urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Desentralisasi merupakan pelaksanaan dari konsep adanya pemerintahan yang bersifat otonom yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berwenang mengatur dan mengurus rumah kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Republik Indonesia. Desentralisasi dimaksudkan untuk memperlancarkan roda pemerintahan, mengingat bahwa Indonesia mempunyai wilayah yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan kecil, serta masyarakat yang pluralistik dari segi agama, budaya dan rasa tahu suku serta aspek-aspek lainya yang berbeda-beda bentuk dan coraknya, sehingga Pemerintah
Pusat
tidak
mungkin
dapat
menyelenggarakan
pemerintahan dengan baik, apabila segala sesuatunya diputuskan dan dilaksanakan sendiri. Karena itu, kepada daerah-daerah diberikan wewenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan
hasil
guna
dan
daya
guna
penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pembangunan.
34
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi di Indonesia sebagai akibat dari: 1) Luasnya wilayah di Indonesia 2) Ketidakmampuan Pemerintah Pusat menyelenggarakan semua urusan pemerintah 3) Keadaan Indonesia yang pluralistik 4) Untuk terciptanya daya guna dan hasil guna pemerintahan dan pembangunan Ditinjau
dari
sudut
penyelenggaraan
pemerintahan,
desentralisasi antara lain bertujuan meringankan beban pekerjaan Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi tugas dan pekerjaan dialihkan kepada Daerah. Pemerintah Pusat dengan demikian dapat memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional atau Negara secara keseluruhan. Dengan demikian, menurut hemat penulis desentralisasi merupakan asas yang menyatukan penyerahan sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Untuk itu semua prakarsa, wewenang dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu. b. Tujuan dan Konsep Desentralisasi Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijaksanaan desentralisasi yaitu: tujuan politik dan tujuan administratif. 1) Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society. 2) Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk
35
menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik. Sejalan dengan pendapat tersebut, ide desentralisasi yang terwujud dalam konsep otonomi daerah sangat terkait dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu dalam desentralisasi terdapat 3 (tiga) dimensi utama, yaitu: 1) Dimensi ekonomi, rakyat memperoleh kesempatan dan kebebasan untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga mereka secara relatif melepaskan ketergantungannya terhadap bentukbentuk
intervensi
pemerintah,
termasuk
didalamnya
mengembangkan paradigma pembangunan yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Dalam konteks ini, eksploitasi sumber daya dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, dilakukan oleh masyarakat lokal; 2) Dimensi politik, yakni berdayanya masyarakat secara politik, yaitu ketergantungan organisasi-organisasi rakyat dari pemerintah; 3) Dimensi psikologis, yakni perasaan individu yang terakumulasi menjadi perasaan kolektif (bersama) bahwa kebebasan menentukan nasib sendiri menjadi sebuah keniscayaan demokrasi. Tidak ada perasaan bahwa “orang pusat” lebih hebat dari “orang daerah” dan sebaliknya. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, tampak bahwa tujuan yang akan diwujudkan dengan dianutnya konsep desentralisasi adalah agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan (concentration of power) pada satu pihak saja, yakni Pemerintah Pusat. Dan dengan desentralisasi diharapkan terjadi distribusi kekuasaan (distribution of power) maupun transfer kekuasaan (transfer of power) dan terciptannya pelayanan masyarakat (publik services) yang efektif, efisien dan ekonomis serta terwujudnya pemerintahan yang demokratis (democratic government) sebagai model pemerintahan modern serta menghindari lahirnya pemerintahan sntralistik yang sebenarnya sudah tidak populer.
36
Pemerintahan sentralistik menjadi tidak popular karena tidak mampu memahami dan menterjemahkan secara cepat dan tepat nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di daerah, serta kurangnya pemahaman terhadap sentiment lokal. Salah satu alasan karena warga masyarakat merasa lebih aman dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah, serta lebih baik secara fisik dan juga secara psikologis. Dari uraian-uraian di atas yang perlu diperhatikan adalah nilainilai
yang
terkandung
dalam
konsep
desentralisasi
dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik di pemerintahan pusat maupun pemerintah daerah. Menurut Smith, dari sudut pemerintah pusat paling tidak terdapat 3 (tiga) nilai desentralisasi yaitu: 1) Pendidikan politik, latihan kepemimpinan, dan untuk menciptakan stabilitas politik. Sementara dari sisi kepentingan pemerintahan daerah nilai pertama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan apa yang dinamakan political equality. 2) Terciptanya local accountability dan yang ketiga adalah nilai local responsiveness. 3) Dari sudut pemerintah pusat desentralisasi mempunyai nilai sebagai
pendidikan
politik
(political
education),
hal
ini
dmaksudkan agar kepala daerah diharapkan dapat mengetahui akan hak-hak dan kewajibanya dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi dalam pemerintahan akan berkaiatn dengan dua hal: 1) Adanya subdivisi teritori dari suatu Negara yang mempunyai ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini memiliki self governing melalui lembaga politik akar dalam wilayah sesuai dengan batas yuridiksinya. Wilayah ini tidak diadministrasikan oleh agen-agen
37
pemerintah di atasnya tetapi diatur oleh lembaga yang dibentuk secara politis di wilayah tersebut. 2) Lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara demokratis. Berbagai
keputusan
akan
diambil
berdasarkan
prosedur
demokratis. Smith mengemukakan bahwa biasanya desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Walaupun secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki seperti akuntabilitas pelayanan publik, kesejahteraan dan partisipasi tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi akan muncul para pengambil kebijakansebagai wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik (Smith, 1985:11). Dengan demikian, menurut hemat penulis dianudnya konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada hal-hal: 1) Dilihat
dari
desentralisasi
sudut
politik
dimaksudkan
sebagai untuk
permainan mencegah
kekuasaan penumpukan
kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulan tirani. 2) Dalam bidang penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. 3) Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerinthan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya diserahkan kepada Daerah. Hal-hal yang lebih tepat ditangan Pusat tetap diurus oleh Pemerintah Pusat.
38
Sehingga desentralisasi mencakup berbagai elemen, yakni: 1) Desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan
pada tiga hal (pola kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan; 2) Desentralisasi yang meliputi pula pendelegasian wewenang, baik
itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratis. c. Derajat Desentralisasi dan Desentralisasi di Indonesia Derajat desentralisasi dapat disusun berdasarkan faktor-faktor tertentu meski masih mengundang perdebatan. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) Desentralisai pemerintahan
dapat
dilihat
daerah.
dari
Semakin
fungsi
yang
banyak
dijalankan
fungsi
yang
didesentralisasikan maka semakin tinggi pula desentralisasinya. Dalam hal ini apabila kita kaitkan dengan bidang pelayanan publik, berarti apabila terdapat banyak fungsi (hal-hal yang berkaitan dengan
pelayanan
publik)
dari
pemerintah
pusat
yang
didesentralisasikan ke pemerintah derah maka semakin tinggi pula desentralisasinya. 2) Jenis pendelegasian fungsi ada dua jenis dalam hal ini, open-end arrangement atau general competence dan ultra-vires doctrine. Jika suatu
pemerintah
daerah
memiliki
fungsi
atas
tipe
pendelegasian general competence maka dapat dianggap derajat desentralisasinya lebih besar. 3) Jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Kontrol represif derajat desentralisasinya lebih besar kontrol yang bersifat preventif. 4) Berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana adanya desentralisasi pengambilan keputusan, baik penerimaan maupun pengeluaran pemerintah daerah. Apabila dikaitkan dal
39
bidang pelayanan publik dalam pemerintah daerah, aspek desentralisasi dapat dilihat melalui faktor ini yaitu sejauh mana pemerintah daerah berperan dalam pengambilan keputusan mengenai keuangan daerah yaitu baik yang berkaitan dengan penerimaan maupun pengeluaran pemerintah berkatan bidang pelayan publik ini. 5) Berkaitan dengan metode pembentukan pemerintahan daerah. Derajat desentralisasi akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah berasal dari ketetapan legislatif daripada pendelegasian dari eksekutif. 6) Derajat ketergantungan financial pemerintah dearah terhadap pemeintah pusat. Semakin besar presentase bantuan pemerintah pusat daripada penerimaan asli daerah, berarti semakin besar pula ketergantungan daerah tersebut kepada pusat. Hal ini berarti derajat desentralisasinya lebih rendah. 7) Besarnya wilayah pemerintahn daerah. Ada anggapan bahwa semakin
luas
wilayahnya
maka
semakin
besar
derajat
desentralisasinya karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi persoalan dominanasi pusat atas daerah. Meskipun demikian, hubungan antara besaran wilayah dengan kontrol masih terbuka untuk diperdebatkan. 8) Politik partai, jika perpolitikan di tingkat daerah masih didominasi oleh organisasi politik nasional maka derajat desentralisasinya dianggap lebih rendah daripada jika perpolitikan di tingkat lokal lebih mandiri dari organisasi politik nasional. 9) Faktor
lainnya
adalah
sruktur
dari
system
pemerintahan
desentralissi. Sistem pemerintahannya yang sederhana dianggap kurang desentralistis bila dibandingkan dengan system yang kompleks.
40
Diantara delapan faktor yang dapat dipergunakan untuk menentukan derajat desentralisasi suatu Negara, dua faktor pertama sering kali mendapat perhatian lebih besar daripada sisi administrasi publik karena secara langsung berkenaan dengan ruang lingkup pelayanan yang dapat diberikan administrasi publik kepada masyarakat melalui penjenjangan susunan pemerintahan. Untuk itu, persoalan distribusi fungsi atau wewenang dalam rangka desentralisasi tersebut dapat
dilacak
dari
tulisan
Diana
Conyers
yang
berjudul
“Desentralization and Developoment: a Framework for analysis”( Diana Conyers dalam Khairul Muluk 2007:18). Berdasarkan tulisan Conyers tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam distribusi wewenang. 1) Menyangkut aktifitas fungsional apa yang perlu didesentralisasi. Komponnen ini menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali fungsi yang penting bagi kesatuan national, beberapa kategori fungsi, atau fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya distribusi fungsi yang terjadi di Indonesia dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah cara yang pertama, yakni menyangkut keseluruhan fungsi kecuali aktifitas yang penting bagi kesatuan nasional. Fungsi yang dikecualikan tersebut adalah pertahanan, moneter, yudisial, agama, dan hubungan luar negeri. 2) Tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori kekuasaan, yakni kekuasaan dalam pembuatan kebijakan (dibagi lagi dalam kekuasaan mengatur dan mengurus), kekuasaan dalam bidang keuangan, dan kukuasaan di bidang kepegawaian (kekuasaan dalam menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan, pemindahan, pengawasan, dan penegakan disiplin). Distribusi fungsi di Indonesia juga meliputi kekuasaan dalam hal pembuatan kebijakan yang mencakup kekuasan mengatur (policy making atau
41
regeling) dan mengurus (policy executive atau bestuur). Kekuasaan keuangan juga menunjukan adanya desentralisasi fiscal yang berarti ada distribusi kekuasaan untuk memutuskan sendiri baik penerimaan maupun pengeluaran. Selanjutnya kekuasaan di bidang kepegawaian yang ada dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia juga menunjukan tanda adanya distribusi kekuasaan kepada daerah yang mencakup komponen tersebut. 3) Menyangkut desntralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang mencakup tiga tingkatan, yakni pada tingkat wilayah (regions) atau Negara bagian (state) dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih; tingkatan distrik atau setara dengan jumlah penduduk 50.000 sampai 200.000; dan tingkatan desa atau masyarakat. Kebijakan desentralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi merujuk pada istilah tingkatan karena hubungan provinsi dan daerah kita bersifat coordinate dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada tingkatan pertama dalam pembagian dan kabupaten atau kota setara dengan tingkatan ke dua. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan tingkatan ketiga. Namun dalam hal pelaksanaannya, distribusi fungsi pada pemerintahan desa dijalankan dibawah subordinasi dan bergantung pada daerah kabupaten atau kota. Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah
42
euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat. Pemberian
otonomi
daerah
sebagai
perwujudan
dari
desentralisasi pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (UU No. 32 Tahun 2004). Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan masyarakat setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat masyarakat tiap masyarakat lokal memiliki keunikan masing-masing, dengan demikian hanya cocok jika instrumen desentralisasi diterapkan. Desentralisai merupakan keharusan dan kebutuhan setiap masyarakat
apapun
bentuk
dan
ideologi
negaranya.
Praktek
penyelenggaraan sentralisasi yang berlebihan terbukti menimbulkan kekecewaan
dan
ketidakpuasan
warga
masyarakat
terhadap
pemerintahannya. Desentralisasi sangat didambakan/disukai, dan karenanya memiliki nilai (value) baik sedangkan sentralisasi bernilai buruk sehingga cenderung ditolak. Desentralisasi menurut berbagai pakar memiliki segi positif, diantaranya : secara ekonomi, meningkatkan efisiensi dalam penyediaan jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat setempat, megurangi biaya, meningkatkan output dan lebih efektif dalam penggunaan sumber daya manusia. Secara politis, desentralisasi dianggap memperkuat akuntabilitas, political skills dan integrasi
43
nasional. Desentralisasi lebih mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya,
memberikan/menyediakan
layanan
lebih
baik,
mengembangkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan. Desentralisasi/otonomi adalah persoalan yang menyangkut hak asasi manusia, oleh karena dalam desentralisasi/otonomi individu diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas dasar aspirasi masing-masing, tiap individu dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara dan kualitas yang terbaik, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dengan tidak ada kontrol langsung dari pemerintah pusat. Dalam era otonomi daerah, dituntu peranan pemerintah
daerah
untuk
memberikan
kesejahteraan
kepada
masyarakat daerahnya dengan penyediaan publik services yang sangat dibutuhkan. Pergeseran paradigma dari good government menuju good governance (local governance), akan melibatkan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam kegiatan/urusan urusan
pemerintahan.
Dalam
good
governance
harus
ada
keseimbangan antara publik, privat dan sosial/ masyarakat. Dengan demikian desentralisasi/otonomi tidak hanya berupa penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi juga penyerahan wewenang kepada masyarakat (J.B. Kristiadi :1994). Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal, dan desentralisasi menunjukkan pendekatan atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintah yang tingkatannya lebih rendah, dengan demikian
desentralisasi
merupakan
wahana
dalam
rangka
memampukan masyarakat daerah/lokal. Selain sebagai wahana memampukan masyarakat lokal desentralisasi jika dilihat latar belakang sejarah kemunculannya, bermuara
pada
peningkatan
kualitas
pelayanan
publik.
Ide
44
desentralisasi muncul sebagai dampak adanya tuntutan akan perlunya percepatan pelayanan yang harus dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat (sebagai konstituennya). untuk menjawab tuntutan ini, maka selain menyerahkan pemberian layanan layanan kepada lembaga yang terdekatdengan masyarakat, yang secara hierarkhis adalah penyerahan peran pemberian layanan publik kepada kepada lembaga pemerintah dibawahnya, juga pengalihan peran pemberian layanan publik dari pemerintah kepada swasta.
2. Tinjauan tentang Kewenangan a. Definisi Kewenangan Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan
atau
urusan
pemerintahan
tertentu
yang
bulat.
Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi. b. Jenis-jenis Wewenang Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu wewenang personal dan wewenang offisial. 1) Wewenang personal
45
Bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau normal, dan kesanggupan untuk memimpin. 2) Wewenang offisial Merupakan wewenang resmi yang di terima dari wewenang yang berada di atasnya. c. Cara memperoleh kewenangan Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang. 1) Atribusi Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang
yang
dimiliki
oleh
organ
pemerintah
dalam
menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan. 2) Pelimpahan wewenang Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses pelimpahan dapat melalui :
46
a) Delegasi yaitu pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang diberikan wewenang. b) Mandat, pada umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara atasan dan bawahan. d. Definisi Pelimpahan wewenang Menurut Sutarto pengertian pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari pejabat yang satu kepada pejabat yang lain (Sutarto, 1993:158). Menurut Staff of Rohre, Hibler dan Replogle (Ero H.Rosydi, 1982:12) mendefinisikan pelimpahan wewenang: “ delegation of authority is the process by which authority is distributed throughout an organization. This concept includes the idea of assigning duties and authority to those individuals who are expected to assist in attaining the desired goal” Sehingga pelimpahan wewenang adalah proses pendistribusian wewenang melalui suatu organisasi atau lembaga. Konsep ini termasuk pemberian kewajiban dan wewenang kepada individu-individu yan diharapkan membantu dalam mencapai tujuan yang dikehendaki (Ero H.Rosydi, 1982:12). e. Manfaat dan Batasan Pelimpahan Wewenang Dalam rangka pelimpahan wewenang ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: 1) Batas wewenang, setiap pejabat yang akan melimpahakan wewenang kepada pejabat lain harus mengetahui dengan jelas
47
terlebih dahulu apa saja wewenang yang dimiliki dalam organisasi tempat kerjanya; 2) Tanggungjawab pelimpahan wewenang dipikul bersama antara pejabat yang melimpahkan wewenang dan pejabat yang menerima wewenang; 3) Antara tugas, tanggungjawab dan wewenang harus seimbang, apabila tugas yang diserahkan ringan maka tanggungjawab juga harus ringan sehinggga wewenang yang diperlukan juga sedikit, sebaliknya apabila tugas yang diserahkan berat maka akan menimbulkan
tanggungjawab
yang
lebih
berat,
sehingga
wewenang yang dilimpahkan harus besar pula; 4) Kemampuan memperhatikan pendapat dari pejabat yang menerima limpahan, apabila seorang pejabat telah berani melimpahkan sebagian wewenangnya kepada pejabat bawahannya harus disertai kemauan sewaktu-waktu memperhatikan pendapat atau saran dari pejabat bawahanya; 5) Mempercayai pejabat yang diserahi wewenang. Pelimpahan wewenang sangat penting dilakukan, banyak pemimpin yang berhasil berkat kecakapannya dalam melimpahkan wewenangnya kepada bawahan. Tanpa pelimpahan wewenang tidak ada organisasi yang berfungsi dengan efektif. Menurut C.L.Littlefield, Frank M. Rachel, Donal L.Caruth (Ero H.Rosydi, 1982:12) menyebutkan ada dua manfaat pelimpahan wewenang: 1) Eksekutif dibebaskan dari tugas detail dan memberikan lebih banyak
waktu
dalam
kedudukannya
untuk
tanggungjawab
manajerial. 2) Para pegawai dari kesatuan kerja diberi kesempatan untuk berpikir dan untuk mengembangkan dirinya. Ini penting bagi dua hal baik
48
untuk kepuasan mereka maupun suksesnya organisasi dikemudian hari. f. Asas-asas Pendelegasian Wewenang Terdapat 7 asas dalam pendelegasian wewenang antara lain: 1) Asas kepercayaan,delegartor hanya mendelegasikan sebagian wewenang kepada deleget, jika deleget tersebut dapat dipercaya, kepercayaan ini harus didasarkan atas pertimbangan yang objecktif mengenai kecakapan, kemampuan, kejujuran, ketrampilan dan tanggungjawab dari deleget yang bersangkutan; 2) Asas delegasi atas hasil yang diharapkan, asas ini memperhatikan hasil yang akar, diperoleh dari pendelegasian wewenang itu yang harus sesuai dengan adanya jaminan kecakapan dan keterampilan untuk mncapai hasil yang diharapkan; 3) Asas penentuan fungsi atau kejelasan tugas, semakin jelas kegiatan yang harus dilakukan, maka akan semakin jelas delegtions of authority dalam organisasi dan semakin jelas pula hubungan wewenang dengan bagian lainya, maka akan semakin jelas tanggungjwab dalam melakukan tugas-tugas untuk mencapai tujuan; 4) Asas rantai berkala, asas ini menghendaki adanya urutan-urutan wewenang dari manajer puncak sampai pada bawahan, jika manajer akan memerintahkan tugas kepada bawahan harus melalui tingkatan yang ada; 5) Asas keseimbangan wewenang dan tanggungjawab, besarnya wewenang yang didelegasikan harus sesuai dan seimbang dengan besarnya tugas dan tanggungjawab; 6) Asas pembegian kerja untuk berfungsinya organisasi hendaknya dilakukan distribusi pekerjaan, karena tanpa adanya pembagian
49
kerja manajemen tidak berarti apa-apa dan semua tudas akan langsung dikerjakan sendiri oleh manajer; 7) Asas kemutlakan tanggungjawab, bahwa setiap deleget yang menerima wewenang mutlak harus bertanggungjawab kepada delegatornya menegenai wewenang yang dilakukan. Berlandaskan pada PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
sebagaimana telah diperbaharui dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, tujuan peletakan kewenangan dalam
penyelenggaraan
otonomi
daerah
adalah
peningkatan
kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Daerah berkewajiban menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya secara mandiri. Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerinthan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah terkait dengan pelayanan dasr (basic services) bagi masyarakat. Sedangkan urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan yang menjadi kekhasan daerah. Sebagaimana
diamanatkan
dalam
peraturan
perundang-
undangan, urusan pemerintahan wajib dan pilihan menjadi dasar susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah. g. Derajat Pelimpahan Wewenang
50
Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah secara teoritis penyerahan wewenang kepada daerah didasarkan pada pertimbangan bahwa urusan-urusan yang diserahkan akan lebih efisien, efektif dan akuntabel apabila diserahkan kepada daerah untuk mengelolannya. Efisien dalam hal ini adalah bahwa urusan tersebut dari segi dana dan daya akan lebih menguntungkan dilakukan didaerah. Sedangkan yang dimaksud efektif adalah penyerahan urusan tersbut akan mencapai sasaran yang diinginkan. Akuntabel berarti bahwa pemerintah daerah didalam menjalankan urusan-urusan bertanggungjawab kepada rakyat pemilih. Pemerintah dipilih da mendapatkan legitimasi atau kepercayaan dari rakyat melalui pemilihan. Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dibiayai oleh dana masyarakat melalui mekanisme pajak. Untuk itu maka sebaiknya pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat yang telah memberikan legitimasi dan biaya untuk menjalankan kekuasaannya. Itulah esensi dari akuntabilitas tersebut. Dikaitkan dengan penyerahan urusan-urusan yang sesuai yang sesuai dengan daerah, maka ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan dalam mendesentralisasikan kewenangan tersebut. 1) Urusan tersebut haruslah bersifat lokal yaitu untuk memenuhi kebutuhan lokal. Urusan lokal berarti bahwa urusan-urusan tersebut bukan berskala nasional. Urusan-urusan yang berskala nasional umumnya yang berkaitan dengan pertahanan, keaman, hubungan luar negeri, kegiatan moneter dalam arti mencetak uang dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat antar propinsi (regional) yang akan lebih tepat ditangani secara nasional. 2) Urusan tersebut akan lebih efisien, efektif dan akuntabel kalau dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kriteria efektif dan efisien sering menimbulkan debat yang berkepanjangan. Banyak orang berargumen bahwa suatu urusan akan jauh lebih efisien kalu
51
dilakukan oleh unit yang besar dengan pertimbangan economies of scale, misalnya pembangunan prasarana social seperti air, rumah sakit, transportasi akan jauh lebih efisien kalau mencakup wilayah yang luas. Dengan perkembangan teknologi terutama kemudahan komunikasi, faktor geografis di dalam penentuan desentralisasi menjadi semakin berkurang perannanya. Suatu urusan akan jauh lebih efisien kalau dipusatkan dalam suatu unit pemerintahan karena kemudahan komunikasi, urusan tersebut menjadi aksesibel secara geografis. h. Pendistribusian Wewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah Dasar pendistribusian kewenangan antara Pusat dan daerah ada dua pendekatan. Pertama berdasarkan pada basis kewilayahan (teritorial) dimana kewenangan untuk menyelengggarakan urusanurusan local didistribusikan antara satuan wilayah (state local goverment) dan dan pemerintah lokal (local state government). Kedua, berdasarkan pada basis fungsional, kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah local didistribusikan antara kementrian-kemetrian pusat yang bersifat khusus dan agenagennya yang berada di luar kantor pusatnya sebagai pelaksana kebijakan darinya. Pemerintah
pusat
mendistribusikan
kewenangan
penyelenggaraan urusan-urusan lokal tersebut pada badan-badan pelaksananya baik secara teritorial maupun fungsional, yang saling terkait, saling melengkapi, tumpang tindih dan bersaing.
i. Cara
Penyerahan
Pemerintah Daerah
Wewenang
Pemerintah
Pusat
kepada
52
1) Ultra Vires Doctrine Pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom dengan cara merinci satu persatu. daerah otonom hanya boleh menyelenggarakan sesuai apa yang dirinci oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyerahkan urusan setahap demi setahap dengan tetap memperhatikan keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Sisa urusan yang diserahkan kepada daerah tetap menjadi kewenangan pusat. 2)
Open end agrragement atau general competence Daerah otonom bolah menyelenggarakan semua urusan diluar yang dimiliki pusat. Artinya pusat meneyerahkan kewenangan kepada daerah untuk menyelenggararak kewenangan berdasarkan kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki pusat.
j. Penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang Penyalahgunaan wewenang merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal ini apartur daerah sebagai pelaksana pelayanan publik dimana orang atau aparatur tersebut melakukan
suatu
tindakan
yang
melebihi
kewenangan
yang
dimilikinya. Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara salah satu isinya menyebutkan bahwa ada dua jenis penggunaan
wewenang,
yaitu
penyalahgunaan
wewenang
(detournement de pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang (willkeur). Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c berbunyi sebagai berikut: b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah
53
menggunakan wewenangnnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikan wewenang tersebut. c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut. Sedang tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dalam hal ini aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksana pelayanan publik dimana tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya bukan kewenangannya akan tetapi tetap dilakukan melebihi kewenangan yang sesunguhnya. k. Kewenangan Diskresi Diskresi
adalah
kewenangan
Pejabat
Administrasi
Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku,asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat.dalam konteks tersebut, diskresi berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan aparatur penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. Pertimbangan melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat keterbatasan prediksi para stakeholder dalam proses perumusan kebijakan. Unsur kewenangan dalam diskresi Menurut Hadjon diskresi mengandung dua kewenangan yaitu, kewenangan untuk memutus sendiri dan kewenangan untuk interpretasi sendiri.
54
Cst. Kansil mengemukakan bahwa setiap pejabat administrasi bebas bertindak mengambil keputusan dengan pendapat sendiri akan tetapi harus berdasarkan asas legalitas (Cst. Kansil dan Christine st Kansil, 1997:163). 3. Tinjauan Tentang Pelayanan Publik a. Definisi Pelayanan Publik 1) Menurut Kotler sebagaimana terpetik dalam Lijan Poltak Sinambela, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik (Lijan Poltak Sinambela, 2008:4) 2) Samparan Lukman dalam Lijan Poltak Sinambela berpendapat, pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Lijan Poltak Sinambela, 2008:5). 3) Kamus Besar Bahasa Indonesia Istilah public berasal dari Bahasa Inggris yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir istilah pamong praja yang berarti pemerintah publik adalah sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilainilai norma yang merasa memiliki. Oleh karena itu pelayanan publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
55
kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
4) Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (publik reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Di Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu
56
pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. (Dr. Ismail Mohamad Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan Pelayanan Lembaga Administrasi Negara disampaikan dalam acara Seminar “Pelayanan
Publik
Dalam
Era
Desentralisasi”
yang
diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat.) Menurut adalah
segala
Kepmenpan kegiatan
No.63/KEP/M.PAN/7/2003,
pelayanan
yang
dilaksanakan
publik oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan. Dengan demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara. Negara didirikan oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat menngkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya Negara dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya diharapkan
masyarakat,
misalnya
kebutuhan
akan
kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain. b. Penyelenggara Pelayanan Publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-
57
undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta. 2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi : a) bersifat primer adalah semua penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya pemerintah
merupakan
satu-satunya
penyelenggara
dan
pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya. Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayanan perizinan. b) bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik) c. Tujuan dan Kualitas Pelayanan Publik menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Secara teoritis menurut Litjan Poltak Sinambela, tujuan pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat (Litjan Poltak Sinambela dkk, 2008:6).
58
Untuk mencapai kepuasan tersebut dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari: 1) Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; 2) Akuntabilitas,
yakni pelayanan
yang dapat
dipertanggung-
jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3) Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas; 4) Partisipasif, yakni pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. 5) Kesamaan
hak,
yakni
pelayanan
yang
tidak
melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status social, dan lain-lain; 6) Keseimbangan
hak
dan
kewajiban,
yakni
pelayanan
mengembangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan. Agar pelayanan yang diberikan berkualitas harus mengacu pada: 1) Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimweaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan (dalam hal ini masyarakat) dan memberikan kepuasan atas penggunaan produk; 2) Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Fitzsimmons dan Fitzsimmons dalam Litjan Poltak Sinambela, berpendapat terdapat lima indikator pelayanan publik:
59
1) Realiability yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar; 2) Tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya; 3) Responsiveness, yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat; 4) Assurance, yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan; 5) Empati, yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen (Litjan Poltak Sinambela, 2008:7).
d. Konsep Efisien dan Efektifitas dalam Pelayanan Publik Ada kecenderungan bahwa efisiensi dan efektifitas menjadi identitas pertama aparat emerintah dalam memberikan pelayanan publik. Efektifitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkat keberhasilan pelayanan yang telah diberikan pada publik itu sendiri. Efisiensi pelayanan publik ditandai dengan sejauh mana sumber daya yang digunakan untuk memberikan pelayanan. Biasanya efisiensi lebih menekankan pada aspek internal yang terjadi dalam organisasi publik tersebut. Pelayanan publik lebih menekankan efektivitas dibanding efisiensi dalam kinerjanya. Untuk mengetahui efektivitas kegiatan organisasi pelayanan publik, dikenal beberapa pendekatan: 1) Pendekatan sasaran (goal approach) Pendekatan ini memusatkan perhatiannya dalam mengukur efektivitas ada aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi publik dalam mencapai tingkatan output
yang
direncanakan. Beberapa sasaran yang dianggap penting dalam kinerja suatu organisasi adalah efektivitas, efisiensi, produktivitas, keuntungan, pengembangan, stabilitas dan kepemimpinan.
60
2) Pendekatan sumber (system resource approach) Yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi publik dalam mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mencapai performasi yang baik. 3) Pendekatan proses Menekankan pada aspek internal organisasi yaitu dengan mengukur efektivitas layanan publik melalui berbagai indikator organisasi, seperi efisiensi dan iklim organisasi. 4) Pendekatan integratif Merupakan gabungan dari ke tiga pendekatan, yang muncul sebagai akibat kelemahan dan kelebihan dari ke tiga pendekatan tersebut. Termasuk dalam pendekatan ini antara lain adalah pendekatan konstituensi, yakni pendekatan bidang sasaran dan kerangka ketergantungan, yang memusatkan perhatiannya pada konstituensi organisasi, yaitu berbagai kelompok di luar organisasi memiliki kepentingan terhadap performasi organisasi, seperti karyawan, pemilik, konsumen, dan sebagainya. e. Asas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 Pelayanan Publik Dalam UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan : 1) Kepentingan umum; Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
61
2) Kepastian hukum; Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan. 3) Kesamaan hak; Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. 4) Keseimbangan hak dan kewajiban; Pemenuhan hak hams sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan. 5) Keprofesionalan; Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas. 6) Partisipatif; Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. 7) Persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif; Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. 8) Keterbukaan; Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
62
9) Akuntabilitas; Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 10) Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. 11) Ketepatan waktu; Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. 12) Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Setiap jenis pelayanan tlilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau. f. Ruang Lingkup Pelayanan Publik
Menurut UU No. 25 tahun
2009 tentang Pelayanan Publik Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif yang diatur dalarn peraturan perundang-undangan. Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
63
Sedang pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi:
1) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
2) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
3) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan Negara dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi keterscdiaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi: 1) Penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; 2) Penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan Negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 3) Penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya
64
menjadi misi negara yang ditetapkan ddam peraturan perundangundangan. Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi: 1) Tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan
perlindungan
pribadi,
keluarga,
kehormatan,
martabat, dan harta benda warga negara. 2) Tindakan
administratif
oleh
instansi
nonpemerintah
yang
diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundangundangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan. g. Standar Pelayanan Publik Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) UU No.25 tahun 2009, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait. Penyelenggara juga berkewajiban menerapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) UU No.25 tahun 2009. Pengikutsertaan masyarakat dan pihak terkait sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (2) UU No.25 tahun 2009 dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan rnengutamakan musyawarah, serta memperhatikan ke beragaman. Penyusunan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No.25 tahun 2009 dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
65
Komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi: 1) Dasar hukum; 2) Persyaratan; 3) Sistem, mekanisme, dan prosedur; 4) Jangka waktu penyelesaian; 5) Biaya/ tarif; 6) Produk pelayanan; 7) Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas; 8) Kompetensi pelaksana; 9) Pengawasan internal; 10) Penanganan pengaduan, saran, dan masukan; 11) Jumlah pelaksana; 12) Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; 13) Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keraguraguan; dan; 14) Evaluasi kinerja pelaksana.
66
B. Kerangka Pemikiran
UUD 1945 (Pasal 18 A ayat (2))
UU PEMDA 32/2004 (OTONOMI DAERAH)
UU No. 25 Tahun 2009
67
DESENTRALISASI
MEKANISME DAN IMPLIKASI
PELAYANAN PUBLIK
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi dan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut maka salah satu cara yaitu dengan melaksanakan pembangunan nasional . Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU sebelumnya yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka mekanisme pembangunan daerah antara pemerintah pusat dan daerah pun menjadi berbeda. Konsepsi otonomi daerah didasarkan pada UUD 1945 yang berisi tentang pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah di atur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang
68
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat, dalam Pasal 18 A ayat (2) juga telah mengatur secara implisit bahwa kewenangan pemerintah daearah salah satunya yaitu pelayanan umum. Isi Pasal 18 UUD 1945 tersebut kemudian di implementasikan ke dalam UU tentang Pemerintahan Daerah UU No.32 Tahun 2004 yang berisi mengenai Pemerintah Daearah dan Otonomi Daerah. Sebagai tindak lanjut amanat Pasal 18 UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu cara untuk melaksanakan tujuan Negara Republik Indonesia yaitu dalam memajukan kesejahteraan umum. Negara berkewajiban salah satunya yaitu melayani setiap warganegara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga merupakan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah kepada rakyat, khususnya dengan menggunakan asas desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bidang pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam menjalankan pelayanan terhadap masyarakat tersebut, bagaimanakah mekanisme pengaturan penyelenggaraan dalam desentralisasi pelayanan publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, serta apa saja implikasi dari penyelenggaraan desentralisasi pelayanan publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik?
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian terhadap Latarbelakang Desentralisasi
Pelayanan Publik
Pemerintah Daerah Sebelum kita membahas tentang mekanisme pengaturan desentralisasi pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, maka alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu latarbelakang dari desentralisasi pelayanan publik pemerintah daerah. Peran Pemerintah daerah dalam pelayanan publik secara eksplisit mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004). Dalam Pasal 14 ayat (1) dikemukakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan kabupaten dan kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Terkait dengan pasal-pasal tersebut kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan bidang tertentu lainnya. Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan desentralisasi merupakan penyerahan wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan RI, maka penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan wewenang secara delegasi disebut delegation of authority. Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi maka pemerintah pusat akan kehilangan semua kewenangan itu, dah beralih kepemerintah
daerah.
Betapapun
luasnya
cakupan
otonomi,
maka
desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidak boleh meretakkan bingkai Negara kesatuan RI (H.M Laica Marzuki, 2007:9-11).
lxx
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, yang diselenggarakan terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar bagi kepentingan publik atau masyarakat. Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; lxx
lxxi
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sedangkan, penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara bertahap, yang selajutnya pembagian kewenangan atau urusan antara pemerintah,
pemerintah
daerah
provinsi
dan
pemerintah
daerah
kabupaten/kota di atur dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Dari uraian urusan wajib dan urusan pilihan dapat dikatakan sebagian besar merupakan cakupan urusan di didang pelaynan publik. Luasnya cakupan pelayanan publik dalam bidang pemerintahan, memungkinkan adanya variasi cakupan pelayanan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan pendapat bahwa setiap daerah memiliki kemandirian dalam menentukan pelayanan yang diinginkan. Dengan demikian, perlu dikaji variasi cakupan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah, sehingga dalam jangka panjang dapat dijalankan model pelayanan publik yang ideal, sesuai dengan karakteristik berbagai daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai hasil proses politik dan hubungan antara hak rakyat dan tanggung jawab pemerintah, maka pelayanan publik memiliki tiga unsur penting, yakni: lembaga perwakilan sebagai pengambil keputusan, lembaga eksekutif (pemerintahan) sebagai pemberi layanan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan. Ketiganya mempunyai hubungan yang setara dan saling
lxxi
lxxii
mempengaruhi agar kualitas pelayanan publik tetap terjaga. Kelemahan pada salah satu unsur akan berdampak pula pada tingkat kepuasan atas layanan publik secara keseluruhan. Sehingga melalui pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah di harapkan akan tercapai ketiga unsur tersebut. Dengan demikian jelas bahwa pelayanan publik memiliki dua dimensi, yakni: dimensi politik berupa pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan, dan dimensi administratif penyelenggaraan fungsi pemerintahan berupa kegiatan-kegiatan pemberian layanan dengan standar minimal yang dibakukan. Peran masyarakat sebagai pengguna layanan dalam transaksi pelayanan publik adalah kemampuannya menunjukkan kehendak, tuntutan, harapan, serta penilaian kepuasan terhadap pelayanan publik. Bentuk-bentuk tuntutan dan harapan masyarakat pada umumnya diartikulasikan melalui opini publik (agenda publik) yang terbentuk dari proses agenda media dan kelompok strategis representatif yang diwacanakan di ruang publik. Dalam kontek proses pembuatan kebijakan daerah, opini publik yang merepresentasikan kehendak publik dalam hal pelayanan publik menjadi masukan penting untuk diapresiasi oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kemampuan dan kearifan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mengapresiasi dan mengartikulasikan opini publik representatif menjadi salah satu indikator penting bagi upaya peningkatan kualitas layanan publik. Sejalan dengan hal tersebut maka apabila dikaitkan dengan konsep atau tujuan politik dan tujuan administratif dari penyelenggaraan desentralisasi pelayanan publik maka tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional untuk mencapai terwujudnya civil society, Sedang tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit pemerintahan di tingkat lokal
lxxii
lxxiii
yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik. Sehingga pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah dalam hal pelayanan publik sebenarnya telah memenuhi konsep dari asas desentralisasi yaitu: 1) Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulan tirani, maka apabila dikaitkan dengan
desentralisasi
pelayanan
publik,
pelaksanaan
pelimpahan
wewenang tersebut bertujuan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan pada aparatur pemerintah pusat sebagai penyelenggara pelayanan publik. Apabila pelaksanaan pelayanan publik di daerah dilaksanakan olh aparatur pemerintah daerah maka akan terjadi transformasi kekuasaan yang mengurangi timbulnya tirani. 2) Dalam bidang penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. Hal tersebut apabila dikaitkan dengan desentralisasi pelayanan publik, maka kenyataan pelaksanaan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah daerah talah mencerminkan
konsep
demokrasi
sebagai
tujuan
dilaksanakan
desntralisasi di daerah. Hal ini dapat terlihat dengan adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan Pasal 39 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu masyarakat dilibatkan sejak dimulai penyususan standar pelayanan sampai dengan evaluasi dan pemberian penghargaan. Pelaksanaan Pasal tersebut merupakan salah satu wujud pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik. Keterlibatan masyarakat dalam pelayanan publik sesuai mekanisme desentralisasi juga meunjukan partisipasi dari masyarakat yang dalam konsep pelayanan prima partisipasif merupakan sebuah pelayanan publik yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
lxxiii
lxxiv
pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. 3) Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Di kaitkan dengan pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik di daerah maka telah sesuai dengan kosep desentralisasi tersebut. Pelaksanaan pelayanan publik dengan mekanisme desentralisasi yang dilaksanakan di daerah merupakan tujuan dari konsep desentralisasi
yaitu
untuk
mencapai
pemerintahan
yang
efisien
sebagaimana diharapkan oleh pemerintah. Dengan desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah sesungguhnya daerah diberikan kebebasan untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang terbaik bagi masyarakatnya. Dan dengan demikian, dengan adanya desentralisasi pelayanan publik diharapkan akan tercipta masyarakat yang tumbuh atas dasar inisiatif/prakarsa sendiri, sehingga akan melahirkan masyarakat yang kreatif inovatif tanpa ada kekangan dari pemerintah pusat. B. Kajian terhadap Mekanisme Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 1. Pengaturan Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Oleh kerena itu pemerintah
lxxiv
lxxv
daerah sebagai salah satu penyelenggara Negara berhak dan berwenang menyelenggarakan pelayanan publik. Dalam urusan di bidang pelayanan publik pemerintah daerah berwenang menyelenggarakan pelayanan publik terhadap
masyarakat
melalui sebuah Organisasi Penyelenggara yang dalam Pasal 8 UU No. 25 Tahun
2009
dijelaskan
bahwa
sebuah
organisasi
penyelenggara
berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan pembentukan. Oleh karena itu melaui sebuah Satuan Organisasi Satuan Organisasi Perangkat Daerah (diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) pemerintah dapat menyelenggarakan pelayanan publik secara langsung pada masyarakat. Sebagai organisasi penyelenggara maka pemerintah daerah dan sebagai pelaksana teknis di daerah, dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kewenangan pemerintah daerah sekurangkurangnya meliputi: a)
pelaksanaan pelayanan;
b)
pengelolaan pengaduan masyarakat;
c)
pengelolaan informasi;
d)
pengawasan internal;
e)
penyuluhan kepada masyarakat; dan
f)
pelayanan konsultasi. Pelaksaanaan
kewenangan
pemerintah
daerah
sebagai
penyelenggara di bidang pelayanan publik hingga saat berjalan dengan baik di sebagaian besar daerah di Indonesia. Hal ini salah satunya dikarenakan karena dalam pelaksanaanya pemerintah daerah berpegangan dengan apa saja yang telah di atur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Perubahan paradigma pelayanan publik yang sekarang ini menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan
lxxv
lxxvi
pelaksanaan” yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis), manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia
(human
resources
management),
manajemen
informasi
(information management), dan hubungan keluar (external relation). Beberapa
hal
yang
diperhatikan
bahwa
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik harus berpenggangan dengan asas-asas maupun tujuan dari penyenggaraan pelayanan publik, tujuan pelayanan publik diantaranya terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya system penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terpenuhinya penyenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terwujudnya perlindungan
dan
kepastian
hukum
bagi
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang meliputi kegiatan analisis kebijakan (policy analysis), manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia
(human
resources
management),
manajemen
informasi
(information management), dan hubungan keluar (external relation) harus memperhatikan asas-asas yang ada dalam pelayanan publik. Melalui asasasas yang terdapat dalam Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009 penulis melakukan interpretasi gramatikal mengenai pelaksanaan pelayanan publik yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah yaitu: a)
Kepentingan umum; Berarti bahwa dalam pemberian pelayanan publik pemerintah
daerah tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan. Apabila kita temukan pelaksanaan dilapangan banyak pejabat maupun aparat birokrasi yang dalam tugasnya lebih mengutamakan kepentingan
lxxvi
lxxvii
pribadi maupun golongannya berarti pejabat atau aparatur penyelenggara pelayanan publik tersebut telah melanggar asas ini. Konsepsi pelayanan publik yang berarti melayani masyarakat luas maupun umum merupakan suatu yang paten dan harus ditanamkan dalam jiwa pejabat maupun aparatur birokrasi di lengkungan pemerintah daerah. b)
Kepastian hukum; Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
pelayanan. Hal ini berati bahwa pemerintah daerah khususnya dalam hal pembuatan suatu kebijakan mengenai pelayanan publik maka kebijakan yang dibuat haruslah menjamin terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaran pelayanan publik. Dengan kepastian hukum, maka hukum harus di tegakkan sehingga dengan adanya kepastian hukum ketertiban dalam masyarakatpun akan tercapai (N.A Martana 2009:57) c)
Kesamaan hak; Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender, dan status ekonomi. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik harus adil daam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kesamaan hak yang diperoleh dalam pelaynan publik tidak dapat di halangi oleh perbedaan suku, ras, agama, golongan, gender maupun status ekonomi. Beberapa hal yang kita temui dilapangan bahwa banyak pelayanan yang berikan pemerintah masih memandang suku, ras, agama, golongan, gender dan terutama status ekonomi. Sebagai contoh dilapangan, masih banyak orang dengan satus ekonomi yang tinggi mendapatkan kemudahan dan pelayanan publik dibadingkan dengan status ekonomi yang lebih rendah. Kasus seperti ini diharapkan tidak akan terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah dengan memperhatikan ketentuan asas kesamaan hak ini. d)
Keseimbangan hak dan kewajiban; lxxvii
lxxviii
Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan. Pemerintah daerah sebagai pemberi atau pnyelenggara pelayanan publik, dan msayarakat
sebagai
penerima
layanan
publik
diharapkan
terjadi
keseimbangan antara hak yang di terima maupun kewajiban yang dilakukan oleh penelenggara. Dalam pelaksanaannya, ketentuan asas ini sangat sulit untuk diterapkan, akan tetapi apabila pemerintah daerah dan masyaraat sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing maka pelaksanaan pelayanan publik sesuai dengan asas ini tidak akan sulit. e)
Keprofesionalan; Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai
dengan bidang tugas. Faktor keprofesional ini lebih ditekankan pada aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik yang mempunyai kompentensi yang cukup dalam bidangnya, agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik sesuai tugasnya dan mencapai tujuan yang di harapkan. Keprofesionalan juga sangat berpengaruh dalam menentukan suatu kualitas dari pelayanan publik. Dengan aparatur yang profesinal maka kualitas dari pelayanan publik pun akan lebih baik, dan akan berpengaruh kepada kinerja pelayanan publik yang semakin baik pula. f)
Partisipatif; Pertisipasif berarti peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Melaluai konsep desentralisasi di daerah, maka desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan masyarakat setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini sangat penting bagi pelaksanaaan pelayanan publik di
lxxviii
lxxix
daerah, yaitu dalam hal pembuatan suatu kebijakan dan tindakan pelayanan berkaitan dengan pelayanan publik. Partisipasi masyarakat khususnya masyarakat lokal di harapkan akan mengakomodir aspirasi, kebutuhan serta harapan-harapan dari masyarakat dari suatu pelayanan publik, yang kemudian oleh pemerintah daerah diakomodir dan di tuangkan dalam suatu pembuatan kebijakan dan tindakan pelayanan. Diharapkan dengan desentralisasi dan pelaksanaan asas ini akan lebih mendekatkan
pemerintah
memberikan/menyediakan
layanan
dengan lebih
baik,
masyarakatnya, mengembangkan
kebebasan, persamaan dan kesejahteraan. g)
Persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif; Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. Asas
ini pada dasarnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sama seperi melaksanakan asas kesamaan hak seperti yang telah dijelaskan di atas. Persamaan perlakuan dan tidak diskrimanatif tersebut tercermin dalam pemberian pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang sama dan adil antara masyarakat yang satu dengan yang lain dala menerima pelayanan, tanpaharus memandang suku, ras, agama, golongan, gender maupun status ekonomi. h)
Keterbukaan; Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan
memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. Kesedian informasi ini sangat penting bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan agar lebih jelas dan mdah mendapat informasi mengenai pelayanan yang di inginkan. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik di daerah berkewajiban mengelola system informasi yang terdiri atas sistem informasi elektronik atau non elektronik seperti yang tercantum dalam Pasal 23 UU No. 25 Tahun 2009 ayat (4) sekurang- kurangnya meliputi:
lxxix
lxxx
1)
profil penyelenggara ;
2)
profil pelaksana;
3)
standar pelayanan;
4)
maklumat pelayanan;
5)
pengelolaan pengaduan; dan
6)
penilaian kinerja. Penyelenggara berkewajiban menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 23 UU No. 25 Tahun 2009 ayat (4) kepada masyarakat secara terbuka dan mudah diakses. i)
Akuntabilitas; Berarti
proses
penyelenggaraan
pelayanan
harus
dapat
dipertanggung-jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Akuntabilitas yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah ini tercermn dengan adanya kualitas pelayanan pulik yang abaik yang diberikan oleh pemerintah daerah, dimana indikator dari suatu kualitas yang di berikan yaitu, ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar, penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya, keinginan melayani konsumen dengan cepat, tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen (Budiman, Arief: 1996). j)
Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; Berarti pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga
tercipta keadilan dalam pelayanan. Pelaksananan asas ini dalam UU Pelayanan Publik di atur dalam Bagian serta Pasal selanjutnya dalam Undang-Undang ini. k)
Ketepatan waktu;
lxxx
lxxxi
Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. l)
Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan
terjangkau oleh masyarakat. Dengan asas desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya di bidang pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah akan dapat menciptakan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah kepada rakyat. Hal ini akan tercapai apabila aparatur birokrasi di daerah mentaati asas-asas pelayanan publik maupun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pelayanan publik. Apabila dalam penyelenggaraan desentralisasi pelayanan publik, pemerintah daerah dapat melaksanakan kesemua asas-asas yang tercantum dalam pelayanan publik, niscaya kualitas pelayanan yang di berikan pemerintah daerah pun menjadi baik. Akan tetapi apabila dalam penyelenggaraan pelayanan publik terjadi penyimpangan terhadap asasasas tersebut maka akan terjadi peluang penyimpangan penyelenggaraan pelayanan publik, baik oleh aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksana publik maupun terhadap kualitas dan kinerja pelayanan publik.
2. Prosedur Evaluasi, Penyelesaian Pengaduan dan Pelanggaran hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di tinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
lxxxi
lxxxii
Dalam Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2009 di atur bahwa Penyelenggara berkewajiban melaksanakan evaluasi terhadap kinerja pelaksana di lingkungan organisasi secara berkala dan berkelanjutan. Berdasarkan
hasil
evaluasi
tersebut
penyelenggara
berkewajiban
melakukan upaya peningkatan kapasitas pelaksana. Evaluasi terhadap kinerja pelaksana pelayanan publik dilakukan dengan indikator yang jelas dan terukur dengan memperhatikan perbaikan prosedur dan atau penyempurnaan organisasi sesuai dengan asas pelayanan publik dan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara berkewajiban melakukan penyeleksian dan promosi pelaksana secara transparan, tidak diskriminatif, dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan. penghargaan
kepada
pelaksana
Penyelenggara wajib memberikan yang
memiliki
prestasi
kerja.
Penyelenggara wajib memberikan hukuman kepada pelaksana yang melakukan pelanggaran ketentuan internal penyelenggara. Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pemberian penghargaan dan hukuman ditentukan oleh penyelenggara. Dengan evaluasi yang berpedoman dengan pendekatan Pendekatan sasaran (goal approach) maka akan memusatkan perhatiannya dalam mengukur efektivitas ada aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan melalui evaluasi maka organisasi publik diharapkan dapat mencapai tingkatan output yang direncanakan. Untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat atas kualitas maupun kinerja terhadap pelayanan publik yang diberikan aparatur pemerintah, perlu disediakan akses kepada masyarakat untuk memberikan informasi, saran/pendapat/tanggapan, complaint/pengaduan dalam bentuk kotak pengaduan, kotak pos, atau satuan tugas penerima pengaduan yang berfungsi menerima dan menyelesaikan pengaduan masyarakat.
lxxxii
lxxxiii
Setiap orang yang menyampaikan pengaduan, baik secara tertulis maupun secara langsung kepada pejabat/petugas penerima pengaduan diberi surat/formulir tanda bukti pengaduan. Pada surat/formulir tanda bukti pengaduan disebutkan nama dan jabatan pejabat atau petugas yang berwenang untuk menyelesaikan masalah atau pengaduan tersebut dan jangka waktu penyelesaiannya. Masukan masyarakat, baik merupa informasi, saran, pendapat, tanggapan dan atau pengaduan hendaknya ditindaklanjuti dengan langkahlangkah upaya perbaikan dan evaluasi pelayanan oleh unit pelayanan instansi pemerintah yang bersangkutan. Apabila dalam pengaduan terdapat masyarakat
yang
dirugikan,
perlu
dipertimbangkan
pemberian
kompensasi. Pengaduan tertulis baik melalui surat maupun media elektronik oleh masyarakat harus disampaikan secara jelas dan bertanggungjawab dengan menyebutkan nama, alamat dan indentitas yang sah (bukan “surat kaleng”). Apabila dalam pengaduan ternyata terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh petugas pelayanan, maka perlu diberikan sanksi kepada petugas yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah diatur mengenai mekanisme pengaduan yang datang dari masyarakat mengenai kinerja aparatur maupun kualitas pelayanan publik yang diterimannya. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 50 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Di
jelaskan
bahwa
masyarakat
berhak
mengadukan
penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota. Masyarakat yang
melakukan
pengaduan
dijamin
perundang-undangan.
lxxxiii
hak-haknya
oleh
peraturan
lxxxiv
Pengaduan dapat dilakukan terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan, dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan, maupun terhadap hal-hal yang menyimpang yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara maupun pelaksana pelayanan publik. Masyarakat sebagai pengguna layanan publik yang diselenggrakan oleh pemerintah daerah sebagai penyedia layanan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara apabila terindikasi adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah maupun aparat birokrasi penyelenggara pelayanan publik. Hal ini telah di atur dalam Pasal 51 UU No. 25 Tahun 2009. Pengajuan gugatan yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah daerah sebagai penyelengara layanan publik tidak akan menghapus kewajiban pemerintah daerah sebagai pihak penyelenggara. Pengajuan gugatan disampaikan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan mekanisme yang berlaku dalam hukum acara Peradian Tata Usaha Negara. Pengajuan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan,
pelayanan
publik
merupakan
salah
satu
bentuk
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, dimana penyelenggara maupun pelaksana adalah aparatur pemerintah (ketentuan umum UU Peayanan publik, penyelenggra dapat berupa institusi penyelenggara Negara) sehingga apabila dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat penyimpangan maupun pelanggaran hukum yang dilakukan aparatur pemerintah daerah khususnya dalam hal ini, dapat di ajukan dan di selesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Lalu bagaimana dengan penyelenggara pelayanan publik yang melakukan tindak pidana dalam pelaksanaan pelayanan publik? Secara implisit dalam Pasal 53 UU Pelayanan Publik di sebutkan, bahwa dalam hal penyelenggara melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan
lxxxiv
lxxxv
pelayanan publik sebagaimana di atur dalam UU Pelayanan publik maka masyarakat dapat melaporakan penyelenggara ke pihak berwenang. Dari uraian Pasal tersebut, maka sebuah tindak pidana yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik dapat di selesaikan melalui mekanisme Peradilan umum, dikarenakan pihak yang berewenng menerima laporan dari masyarakat adalah pihak penyidik (Kepolisian) yang dapat selanjutnya melimpahkan perkara ke Peradilan Umum. Ketentuan mengenai sanksi pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik di atur secara lengkap dalam Pasal 54 UU Pelayanan Publik. 3. Standart Pelayanan Kualitas dan kinerja pelayanan publik juga dipengaruhi oleh sesuai atau tidakanya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap standar pelayanan minimal masing-masing daerah. Kewenangan yang didesentralisasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pelayanan publik sesuai Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang, salah satunya yaitu menentuan standar pelayanan minimal diatur dalam PP No.
65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum. Dalam UU No. 25 Tahun 2009 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan (5) di
sebutkan
bahwa
Penyelenggara
berkewajiban
menyusun
dan
menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dalam menyusun dan menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait dan penyelenggara
lxxxv
lxxxvi
berkewajiban menerapkan standar pelayanan Pengikutsertaan masyarakat dan pihak terkait dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung
dengan
jenis
pelayanan,
memiliki
kompetensi
dan
rnengutamakan musyawarah, serta memperhatikan ke beragaman. Dan penyusunan standar pelayanan dilakukan dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Dalam Pasal 21 UU Pelayanan Publik diatur mengenai komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi: a. Dasar hukum: b. Persyaratan c. Sistem, mekanisme, dan prosedur; d. Jangka waktu penyelesaian; e. Biaya/ tarif; f. Produk pelayanan; g. Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas; h. Kompetensi pelaksana; i. Pengawasan internal; j. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan; k. Jumlah pelaksana; l. Jaminan
pelayanan
yang
memberikan
kepastian
pelayanan
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keraguraguan; dan; n. Evaluasi kinerja pelaksana. Adanya standar pelayanan minimal sangat diperlukan baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat konsumen dari pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah adanya standar pelayanan minimal dapat dijadikan tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya ang diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan publik. Sedang bagi masyarakat lxxxvi
lxxxvii
adanya standar pelayanan minimal akan menjadi acuan bagi menentukan mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Standar pelayanan minimum merupakan standar minimum pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat. Adanya standar pelayanan minimum akan menjamin minimum pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat Indonesia dari pemerintah. Disamping standar pelayanan minimum yang merupaan kewenangan wajib, pemerintah daerah dapat mengembangkan dan menerapkan standar kinerja untuk kewenangan daerah yang lain. Kewenangan
wajib
daerah
merupakan
kewenangan
ynag
diwajibkan pelaksanaanya oleh pemerintah kepada daerah. Kewenangan wajib
berkaitan
dengan
penyedianan
pelayanan
dasar
yang
pelaksanaannya mengikuti standar pelayanan minimum yang ditetapkan pemerintah. Pelaksanaan kewenangan wajib menjadi prioritas utama untuk dilaksanankan oleh daerah. Dengan adanya standar pelayanan minimum maka akan terjamin kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan pubik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah. Harus
dibedakan
pemahaman
terhadap
standar
pelayanan
minimum dengan persyaratan teknis dari suatu pelayanan. Standar teknis merupakan faktor pendukung untuk mencapai standar pelayanan minimum Contoh standar pelayanan minimum adalah anak-anak Indonesia berhak atas pendidikan minimm 9 tahun. Untuk itu maka setiap daerah berkewajiban menyediakan pendidikan sampai dengan SLTP. Dalam bidang kesehatan contohnya, dalam satu desa minimum harus ada sebuah Pukesmas. Persyaratan teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi
lxxxvii
lxxxviii
dalam penyedianan pelayanan public seperti tebalnya jalan, garis sepadan bangunan atau jalan, teknis bangunan, persyaratn laboratorium dan sebagainya. Standar pelayanan minimum harus mampu menjamin terwujudnya hak-hak individu serta dapat menjamin akses masyarakat mendapat pelayanan dasar yang wajib disediakan pemerintah daerah sesuai ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk itu kriteria kewenangan wajib adalah: a. Melindungi hak-hak konstitusional perorangan maupun masyarakat. b. Melindungi kepentingan national yang ditetapkan berdasarkan konsensus nasional dalm rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kesjahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum. c. Memenuhi komitment nasional yang berkaitan dengan perjanjian dan konvesi nasional. Standar pelayanan minimum bersifat dinamis dan perlu dikaji ulang serta diperbaiki dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan kebutuhan dan perkembangan kapasitas daerah. Standar pelayanan minimum ditentukan oleh pemerintah secara jelas dan konkrit, sesederhana mungkin, tidak terlalu banyak dan mudah diukur untuk dijadikan pedoman oleh pemerintah daerah. Beberapa hal yang dapat dicapai oleh pemerintah daerah dengan adanya standar pelayanan minimum yaitu: a. Dengan adanya standar pelayanan minimum maka masyarakat akan terjamin menerima suatu pelayanan public dari pemerintah darah. b. Standar pelayanan minimum bermanfaat untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik. Dengan adanya standar pelayanan minimum maka akan dapat ditentukan Standard Spensing Assesment (SSA). Dengan adanya SSA akan dapat dihitung biaya untuk suatu pelayanan public. Dengan cara lxxxviii
lxxxix
yang sama maka akan dapat dihitung kebutuhan agregat minimum pembiayaan daerah. c. Standar pelayanan minimum akn menjadi landasan dalam penentuan perimangan keuangan yang lebih adil dan transparan. Standar pelayanan minimum dapat dijadikan dasar untuk menentukan system subsidi yang lebih adil. d. Standar pelayanan minimum dapat dijadikan dasar dalam menentukan anggaran berbasis manajemen kinerja. Standar pelayanan minimum dapat menjadi dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. e. Standar pelayanan minimum dapat membantu penilaian kinerja atau LPJ kepala daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi terjadinnya money politik dan kesewenang-wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Adanya standar pelayanan minimum akan memperjelas tugas pokok pemerintah daerah dan akan merangsang terjadinya check and balances yang efektif antara eksekutif dan legisalatif. f. Standar pelayanan minimum dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat. Masyarakat dapat mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan pelayanan public. g. Standar pelayanan minimum dapat merangsang transparansi dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintah daerah. SPm akan menbantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi
anggaran
secara lebih seimbang sehingga merangsang efisiensi dan efektifitas penyediaan pelayanan public oleh pemerintah daerah. h. Standar pelayanan minimum dapat menjadi argument bagi peningkatan pajak dan retribusi daerah karena baik pemerintah daerah dan masyarakat dapat melihat keterkaitan pembiayaan dengan pelayanan public yang disediakan oleh pemerintah daerah.
lxxxix
xc
i. Standar
pelayanan
minimum
dapat
merangsang
rasionalisasi
kelembagaan pemerintah daerah, kareana pemerintah daerah akan lebih berkonsetrasi pada pembentukan kelembagaan yang beroralasi dengan pelayanan publik. j. Standar pelayanan minimum dapat membantu pemerintah daerah dalam
merasionalisasi
jumlah
dan
kualifikasi
pegawai
yang
dibutuhkan. Kejelasan pelayanan akan membantu pemerintah daerah dalam menentukan jumlah dan kualifikasi pegawai untuk mengelola pelayanan publik. 3.1.
Hubungan antara Kewenangan dan Standar Pelayanan Minimum Penyusunan standar pelayanan minimum akan sulit apabila belum ada kejelasan mengenai kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebagai syarat penyusunan standar pelayanan minimum itu: a.
Adanya pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan pemerintahan (pusat, propinsi, kabupaten dan kota) menjadi prasyarat utama untuk menentukan standar pelayanan minimum.
b.
Pembagian kewengangan baru menunjukan siapa melakukan apa, namun belum menunjukan kewenangan-kewenangan apa saja yang memerlukan standar pelayanan minimum. Oleh karena itu tidak semua kewenangan membutuhkan standar pelayanan minimum.
c.
Otonomi luas telah menimbulkan beralihnya pengaturan otonomi dari prinsip ultra vires (otonomi limitatif atau materiil) menjadi general competence (otonomi luas) dengan asas pelimpahan wewenang (desentralisasi). Dari seluruh kewenangan
luas
yang
xc
dimiliki
daerah,
kewenangan-
xci
kewenangan apa saja yang menjadi kewenangan wajib (obligatory functions) d.
Ada tiga kriteria utama yang dapat dijadikan acuan dalam membagi kewenangan antara tingkatan pemerintahan yaitu eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.
e.
Adanya output pemerintahan daerah yang jelas dalam bentuk pelayanan public dari kewenangan wajib tersebut. Pelayanan publik terbagi dua varian yaitu public goods dan public regulations.
f.
Public goods dan public regulations harus ada standar minimum yang harus dipenuhi daerah untuk menjamin adanga keseimbangan antardaerah dalam penyediaan pelayanan publik.
g.
Apabila public goods tersebut disediakan oleh swasta (privatisasi), maka pemerintah daerah mengatur pelayanan minimum dari aspek pengaturan (public regulations). Contoh: dalam pendirian pasar swalayan ada minimum tempat parkir yang harus disediakan. Untuk rumah sakit swasta, minimum harus menyediakan pelayanan untuk kelompok kurang mampu.
h.
Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2004 ada sebelas bidang kewenangan wajib yang harus dilakssnankan pemerintah daerah. Untuk itu perlu adanya pembagian atau rincian bagian-bagian urusan apa saja yang harus dikerjakan oleh setiap tingkatan pemerintahan dari urusan tersebut.
i.
UU No. 32 Tahun 2004 belum memperlihatkan pembagian bagian-bagian urusan tersbut ke dalam tingkatan-tingkatan pelerintahan, namun lenih bersifat agregat. Lebih lanjut pembagian kewenangan untukpusat dan daerah diatur dalam PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan Propinsi sebgai daerah otonom.
xci
xcii
j.
Adanya kewenangan wajib akan mewajibkan pemerintah daerah menentukan pelayanan apa saja yang harus disediakan pemerintah daerah berdasarkan kewenangan wajib tersebut. Untuk itu pemerintah daerah perlu membuat list of services yang disediakan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Hal ini akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah terhadap warganya.
3.2.
Mekanisme dan Koordinasi Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimum Pencapaian
standar
pelayanan
minimum
akan
mencerminkan tingkat akuntabilitas daerah dalam menyediakan pelayanan public terhadap masyarakat. Untuk itu diperlukan adanya mekanisme dan koordinasi yang optimal di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten atau kota. Pusat a.
Pemerintah menetapkan kewenangan wajib dan standar pelayanan minimum yang berlaku secara nasional dan wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota.
b.
Pemerintah melakukan supervisi atau pengawasan terhdadap pelaksanann kewenangan wajib dan standar pelayanan minimum.
c.
Pemerintah melakukan penilaian terhadap pelaksanaan standar pelayanan minimum di daerah.
d.
Pemerintah melakukan fasilitasi bagi daerah yang belum mampu mecapai standar pelayanan minimum maupun melaksanaka kewenangan wajib.
e.
Pemerintah melakukan sosialisasi, pelatihan, bimbingan dan workshop mengenai standar pelayanan minimum.
Propinsi
xcii
xciii
a.
Gubernur sebagai wakil pemerintah bersama kabupaten atau kota menetapkan program dan kurun waktu pencapaian standar pelayanan minimum sesuai kondisi masing-masing daerah
b.
Gubernur melakukan supervisi, monitoring dan evaluasi terhdap pelaksanaan standar pelayanan minimum.
c.
Gubernur melaporkan hal-hal yang penting yang berkaitan dengan pelaksanaan standar pelayanan minimum.
d.
Gubernur melakukan sosialisasi, pelatihan, bimbingan dan workshop mengenai standar pelayanan minimum.
Kabupaten/Kota a.
Pemerintah
kabupaten
atau
kota
menetapkan
Perda
pelaksanaan standar pelayanan minimum. b.
Pelaksanaan standar pelayanan minimum dilakukan oleh perangkat daerah atau Badan Usaha Milik Daerah bermitra dengan swasta.
c.
Mengakomodasikan standar pelayanan minimum ke Renstra Daerah sebgai dasar melaksnakan anggran kerja.
d.
Memprioritaskan
kewenangan
wajib
yang
menyentuh
langsung pelayanan publik. e.
Melakukan
sosilisasi
tentang
pelayanan
publik
yang
disedianakan oleh pemerintah daerah. f.
Secara periodik melakukan survey penilaian atas pelayanan publik yang telah diberikan pemerintah daerah. Dari uraian yang telah di sampaikan maka pelaksanaan
SPM pertama-tama menuntut adanya distribusi kewenangan antara tingkatan pemerintahan (pusat, propisi, kabupaten atau kota) secara objekctif atas kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Langkah
berikutnya
adalah
disusunnya
standar
pelayanan
minimum oleh departemen atau LPND sebagai acuan bagi
xciii
xciv
pemerintah daerah dalam melaksakan pelayanan publikberbasis standar pelayanan minimum. Standar pelayanan minimum akan menciptakan berbagai rasionalisai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan dilaksankannya standar pelayanan minimum akan membantu pmerintah
daerah
dalam
melakukan
rasionalisasi
terhadap
kelembagaan, personil, keuangan sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan asas desentralisasi.
C. Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik ditinjau UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pelaksaanaan kewenangan pemerintah daerah sebagai penyelenggara di bidang pelayanan publik hingga saat berjalan dengan baik di sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini salah satunya dikarenakan karena dalam pelaksanaanya pemerintah daerah berpegangan dengan apa saja yang telah di atur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dari pelaksanaan pelayanan publik melalui mekanisme desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah menurut asas-asas maupun ketentuan yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009 ternyata mempunyai sisi positif dan juga sisi negatif. Hal-hal tersebut diantaranya: 1.
Apabila dalam menjalankan pelayanan publik, aparatur pemerintah daerah berpegangan denagn asas-asas maupun ketentuan dalam UU Pelayanan publik, niscaya tujuan dari pelayanan publik pun akan tercapai, yakni pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel.
2.
Sedangkan apabila pelaksanaan pelayanan publik tidak sesuai dengan asas-asas dan ketentuan dalam UU Pelayanan Publik, maka akan terjadi peluang-peluang yang negative seperti penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan berdampak pada kualitas pelayanan publik.
3.
Ketentuan-ketentuan dalam UU Pelayanan publik, meskipun telah dilaksanakan dengan asas-asas dan tujuan yang baik, ternyata masih
xciv
xcv
memberikan peluang negatif bagi para aparatur penyelenggra pelayanan publik. Misalnya: kewenangan diskresi yang dilakukan aparatur pemerintah merpakan hal yang positif demi pelaksanaan pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel, akan tetapi juga memberikan peluang bagi para aparatur pemerintah daerah untuk melakukan penyimpangan terhadap kewenangan itu. Hal-hal yang diperhatikan bahwa dalam pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah yaitu aparatur pelaksana pelayanan publik harus berpenggangan dengan asas-asas maupun tujuan dari penyenggaraan pelayanan publik, tujuan pelayanan publik diantaranya terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggungjawab, kewajiban,
dan
kewenangan
seluruh
pihak
yang
terkait
dengan
penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya system penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terpenuhinya penyenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Berdasarkan
beberapa
hal
yang
penulis
soroti
dalam
hal
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik apabila tidak memenuhi asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik maupun ketentuan lain yang ada dalam UU Pelayanan Publik, ternyata mempunyai beberapa peluang terhadap beberapa hal yaitu: 1. Penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang Konsep dari pelimpahan wewenang (desentralisasi) di daerah apabila di kaitkan dengan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, sangat membawa implikasi yang besar. Bahwa UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dibuat bertujuan agar dalam pemberian pelayanan publik oleh pemerintah pusat pada umumnya dan pemerintah daerah khususnya (desentralisasi), dalam pelaksanaanya di
xcv
xcvi
harapkan sesuai dengan asas-asas pelayanan publik yang telah ditentukan dan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang maupun tindakan sewenang-wenang di dalamnya, khususnya pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik di daerah melalui aparatur birokrasinya. Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara salah satu isinya menyebutkan bahwa ada dua
jenis
penggunaan wewenang, yaitu penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang (willkeur). Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c berbunyi sebagai berikut: b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikan wewenang tersebut. c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana
di
maksud
dalam
ayat
(1)
telah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut. Apabila di kaitkan dengan Pelayanan publik maka penyalahgunaan wewenang merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam hal ini aparatur daerah sebagai pelaksana pelayanan publik dimana orang atau aparatur tersebut melakukan suatu tindakan untuk tujuan lain dari maksud wewenang tersebut maupun suatu tindakan yang melebihi kewenangan yang dimilikinya. Sedang tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dalam hal ini aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksana pelayan publik dimana tindakan yang dilakukannya tersebut seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut atau merupakan suatu tindakan yang sebenarnya bukan kewenangannya namun tetap dilakukan melebihi kewenangan yang sesungguhnya.
xcvi
xcvii
Dalam pelaksanaan pelayanan publik di daerah menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dengan adanya desetralisasi penulis mengamati terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan organ pemerintah di daerah khususnya aparatur pelaksana pelayanan publik di daerah. Beberapa hal yang mempengaruhi timbulnya penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang, dintaranya dipengaruhi oleh: 1. Dalam pelaksanaan pelayanan publik tidak berdasarkan pada asas-asas maupun aturan-aturan yang ada dalam UU Pelayanan Publik. Perubahan paradigma sebagai akibat desentralisasi, lebih berorientasi pada hak yang menekankan pada proses pembuatan kebijakan dan tindakan pelaksanaan. Dalam proses pembuatan kebijakan maupun tindakan pelaksanaan, pemerintah daerah harus berpedoman dengan asas-asas pelayanan publik. Dalam pembuataan suatu kebijakan misalnya harus memperhatikan asas kepentingan
umum dan
partisipasi masyarakat. Asas kepentingan umum ini, bertujuan agar dalam pembuatan suatu kebijakan pelayanan publik memperhatikan kepentingan-kepentingan umum masyarakat daerah, bukan di buat untuk sekelompok golongan saja. Sedangkan partisipasi yang tercermin dlam pembuatan suatu kebijaka pelaynan publik, tercermin dari apa yang di atur dalam kebijakan yang di buat pemerintah daerah merupakan hasil akomodir dari apa saja aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. Apabila asas ini dilanggar dalam proses pembuatan kebijakannya, maka aparatur pemerintah daerah yang membuat kebijakan tersebut dapat dikatakan telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Sedangkan dalam proses tindakan pelaksanaan pelayanan publik, dapat di contohkan misalnya seorang aparatur pemerintah daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik, berlaku diskriminatif terhadap masyarakat yang menerima pelayanan publik, yaitu dengan memperlakukan masyarakat secara diskrimanatif antara golongan masyarakat yang satu engan yang lain, antara orang-
xcvii
xcviii
orang yang dekat dengan dirinya dengan masyarakat lainya. Hal ini tentu melanggar asas perlakuan tidak diskriminatif dalam pelayanan publik, dan aparatur yang melakukan tindakan tersebut dapat dikatakan telah melakukan penyalahgunaan wewenang. 2. Secara umum berdasarkan tinjauan kesejarahan dapat terlihat bahwa perilaku dan masalah birokrasi yang di lakukan oleh aparat pemerintah sebagai pelaksana pelayanan publik di Indonesia bahnyak dipengaruhi oleh faktor sejarah pembentukan birokrasi dari masa ke masa. Birokrasi semenjak zaman kerajaan sampai masa kolonial tidak pernah di rancang untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Birokrasi sepenuhnya mengabdi pada kepentingan kekuasaan, yakni sultan atau raja. Demikian pula pada masa pemerintahan kolonial, birokrasi dipergunakan sebagai instrument bagi kepentingan kekuasaan. Bahkan berlanjut sampai masa pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan politik dari pemerintah selalu menempatkan birokrasi sebagai sentral pengaturan kehidupan masyarakat. Dari kebiasaan birokrasi yang dijalankanpada masa ke masa tersebut kemudian menjadi faktor pendorong adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparatur pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik. 3. Kebiasaan yang tumbuh subur semenjak zaman kerajaan hingga orde baru maupun pada masa reformasi seperti sekarang ini, masih ditemukannya
banyak
terjadi
penyalahgunaan
wewenang.
Penyalahgunaan wewenang tersenbut menimbulkan budaya birorasi yang sangat sentralistik dan berorientasi pada kekuasaan. Praktek penyelenggaraan sentralisasi yang berlebihan terbukti menimbulkan kekecewaan
dan
ketidakpuasan
warga
masyarakat
terhadap
pemerintahannya. Dengan sentralisasi maka rakyat tidak banyak dilibatkan dalam pelayanan publik yang pada akhirnya akan menimpulkan kekecewaan dan ketidak puasan dari suatu pelayanan publik yang diterima masyarakat. Hal ini sangat bertentangan dengan asas partisipasi masyarakat dan ketentuan dalam UU Pelayanan Publik
xcviii
xcix
yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus melibatkan peran serta dari masyarakat (Bab IV dalam Pasal 39 UU No. 25 Tahun 2009). Selain itu, dengan adanya tumpang tindih tugas dan
kewenangan
maka
juga
akan
mendorong
terjadinya
penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlakuan diskriminatif, dan lain sebagainya. 4. Pola pelayanan kekeluargaan yang mendarah daging, juga menjadi faktor yang mengakibatkan tumbuh suburnya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme
yan
sangat
berdampak
pada
penyalahgunaan
wewenang. Aparat pemerintah daerah sebagai pelaksana pelayanan publik bagi masyarakat, apabila dalam dirinya terpatri sikap kekeluargaan yang berlebih maka dapat melakukan penyalahgunaan wewenang dalam kinerja pelayanan publik. Sebagai contoh: adanya pengurusan sertifikat hak atas tanah yang dilakukan oleh salah seorang kerabat maupun orang yang dikenal secara baik, maka seorang aparat pemerintah pelaksana pelayanan publik akan memberpudah birokrasi yang harusnya panjang menjadi lebih mudah. Hal ini hanya salah satu contoh
kecil
apatur
pemerintah
dearah
yang
melakukan
penyalahgunaan wewenang dan bertentangan dengan asas-asas pelayanan publik yaitu asas kepentingan umum, persamaan hak, perlakuan tidak diskriminatif dan profesionalitas. Suatu tindakan penyalahgunaan wewenang oleh seorang pejabat maupun aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik dapat di kenai pidana dengan pasal yang telah di atur dalam KUHP di Indonesia. Beberapa pasal yang dapat menjerat seseorang yang melakukan penyalahgunaan wewenang adalah Pasal 421 dan Pasal 423 KUHP. Pasal 421 berisi bahwa seorang pejabat yang menyalahgunakan wewenang atau kekuasaannya
memaksa seseorang untuk melakukan,
tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan. Sedangkan Pasal 423 menyebutkan bahwa seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
xcix
c
lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya, memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana pejara paling lama enam tahun. Kedua Pasal tersebut memperlihatkan bahwa penyalahgunaan wewenang maupun kekuasaan dapat di ancam dengan pidana. Sedang tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dalam hal ini aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksana pelayanan publik dimana tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya bukan kewenangannya akan tetapi tetap dilakukan melebihi kewenangan yang sesunguhnya, dengan kata lain pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat. Tidakan sewenang-wenang yang dilakukan aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksanan pelayanan publik di daerah misalnya dalam sebuah pengrusan KTP, seorang masyarakat dapat mengurus hingga mendapatkan KTP dalam waktu satu hari, akan tetapi karena sesatu hal apatur penyelenggara birokrasi tidak melakukan tugasnya karena suatu alas an pribadi, sehingga pengurusan KTP tersebut menjadi mundur. Hal ini merupakan salah satu contoh tindakan sewenang-wenang aparatur pemerintah penyelenggara layanan publik.. Aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik yang seharusnya menerapkan salah satu asas-asas pemerintahan yang layak yaitu asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) dan asas-asas yang ada dalam pelayanan publik, apabila dalam tugasnya melanggar ketentuan asas-asas tersebut (khususnya asas larangan detournement de pouvoir) maka akan berpengaruh pada kualitas serta kinerja dari pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang diterima oleh masyarakatpun menjadi kurang maksimal dan tidak dapat memuaskan
c
ci
masyarakat sebagai penerima layanan. Kemudian timbulnya suatu pengaduan yang datang dari masyakat akibat dari kinerja aparatur pemerintahan maupun kualitas pelayanan yang diterima. 2. Kinerja Pelayanan Publik yang di lakukan oleh Pemerintah Daerah menurut UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, mengenai penilaian kinerja pelayanan publik oleh aparatur di daerah telah dicantumkan pengaturan mengenai evaluasi kinerja pelayanan publik. Aparatur pemeintah di daerah sebagai pelaksana pemberi pelayanan publik, dalam tiap bidang kerjannya harus selalu di evaluasi oleh perangkat daerah yang lebih tinggi kedudukannya. Evaluasi tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah kinerja aparatur pemerintah dalam memberi pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan prosedur mapun aturan yang diterapkan atau tidak. Evaluasi tersebut juga membri manfaat sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah dalam melayanai masyarakat di bidang pelayanan publik. Menurut pengamatan penulis, secara garis besar kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah hingga saat ini tampaknya belum maksimal. Setidaknya ada tiga masalah utama yang dihadapi oleh aparatur pemerintah kita, yaitu: a.
Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan. Kita ingat bahwa standar pelayanan minimum dibuat pemerintah sebagai tolok ukur
(benchmark) dalam penentuan biaya ang
ci
cii
diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan publik. Sedang bagi masyarakat adanya standar pelayanan minimal akan menjadi acuan bagi menentukan mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Standar pelayanan minimal dapat membantu penilaian kinerja atau laporan pertanggungjwaban kepala daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga mengurangi terjadinnya money politik dan kesewenangwenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Adanya standar pelayanan minimal akan memperjelas tugas pokok pemerintah daerah dan akan merangsang terjadinya check and balances yang efektif antara eksekutif dan legisalatif, standar pelayanan minimal juga akan menjamin minimum pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat Indonesia dari pemerintah. Sehingga apabila sebagian aparatur pemerintahan
pelaksana
pelayanan
publik
tidak
menjalankan
pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimal, maka jaminan kualitas dan kuantitas pelayanan yang merupakan hak masyarakat pun menjadi tidak diperoleh.
Selain itu rendahnya kualitas pelayanan
publik juga dipengaruhi oleh adanya kesetaraan dan hubungan antara masyarakat prngguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan pelayanan (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007:36). Pelayanan publik hanya akan baik apabila masyarakat yang mengurus sesuatu
jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang
sebanding dengan
posisi
tawar petugas
yang
melaksanakan
pelayanan. Artinya dalam pelayanan publik tidak memposisikan seseorang yang lebih tinggi status atau kewenangan maupun pangkat yang lebih tinggi akan memperoleh pelayanan yang lebih baik atau didadulukan dibanding masyarakat yang lain. Sebagai contoh: lancarnya pengurusan sertifikat tanah oleh Siti Hardianti Rukmana (mbak Tutut) di kawasan Tawangmangu, kabupaten Karanganyar membuat
iri
Himpunan
Pemilik
cii
Tanah
Persil
di
kawasan
ciii
Tawangmangu, pasalnya Himpunan Pemilik Tanah Persil tersebut lebih dahulu mengurus sertifikat tanah belum juga berhasil, akan tetapi mbak Tutut yang belangkangan mengurus sertifikat lebih dimudahkan dalam pengurusannya. Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor kekuasaan yang dimiliki Soeharto. Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa, pentingnya posisi tawar antara petugas dan instansi pemberi layanan di satu sisi dengna masyarakat penggunan jasa di sisi lainnya adalah mutlak untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas. Selain itu rendahnya Sumber daya manusia juga sangat mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan oleh apparatus pemerintah dalam menjalankan tugas untuk melayanani masyarakat. b.
Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelitbelit, sehingga besar kemungkinan timbul ekonomi biaya tinggi. Birokrasi yag panjang dan berbelit-belit tidaklah heran kita jumpai dalam kehidupan masyarakat kita selama ini. Birokrasi yang panjang dan berbelit-belit sudah menjadi kultur dalam pelayanan publik di Indonesia.
c.
Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control) terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja mereka. (http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id)
3. Budaya Korupsi Kolusi dan Nepotisme dalam Birokrasi Pelayanan Publik Aparatur Pemerintah Daerah
ciii
civ
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara
melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara. Tindak korupsi secara politik adalah suatu perbuatan yang menggunakan atau memanfaatkan kekuasaan pemerintah yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang secara tidak sah untuk menguntungkan dirinya sendiri maupun . Aparatur penyelenggara pelayanan publik yang memiliki jabatan tertentu memiliki wewenang yang berupa kekuasaan dengan membuat kebijakan atau keputusan yang tujuannya secara sepihak menguntungkan secara materi si pemegang jabatan tersebut. Keuntungan yang di dapat di sini adalah keuntungan secara ekonomi berupa tambahan kekayaan secara tidak sah. Kultur budaya di Indonesia yang lebih menekankan aspek kekeluargaan dapat menjadikan salah satu faktor tumbuhnya budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam praktek pelayanan publik. Sebuah pelayanan publik yang harusnya sama diterima oleh masyarakat, akan menjadi berbeda atau timpang apabila aparatur penyelenggara pelayanan publik melakukan koupsi, kolusi, dan nepotisme. Birokrasi yang seharusnya panjang menjadi singkat dengan adanya koupsi, kolusi, dan nepotisme di dalamnya. Budaya koupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut, tumbuh subur dengan adanya perilaku aparatur pemerintah daerah yang tidak taat dan
civ
cv
patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang di atur dalam UU Pelayanan Publik. 4. Kewenangan Diskresi Salah satu konsep mengenai efisiensi dan efektifitas menjadi identitas pertama aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik. Dalam UU Pelayanan Publik pun tercermin dalam asas kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan dalam pelayanan publik dan asas akuntabilitas pelayanan publik. Dari asas-asas dan konsep efisiensi serta efektifitas
pelayanan
publik
inilah
yang
mendorong
aparatur
penyelenggara pelayanan publik melakukan kewenangan diskresi. Diskresi adalah kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di masyarakat.dalam konteks tersebut. Diskresi berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan aparatur penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. Pertimbangan melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat keterbatasan prediksi para astakkeholder dalam proses perumusan kebijakan. Pelimpahan wewenang (desentralisasi) dari aparat yang lebih tinggi kepada aparat yang lebih rendah mendorong dilakukannya diskresi. Diskresi menjadi isu krusial dalam pelayanan publik seiring adanya tuntuttan kepada aparat birokrasi untuk memberikan pelayanan publik yang efisien, efektif,
responsif, dan akuntabel kepada publik atau
masyarakat. Dari data sebuah survei memperlihatkan bahwa masih tingginya tingkat ketergantungan aparat pelayanan kepada pimpinan dalam
cv
cvi
pemberian pelayanan publik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa diskresi belum dilakukan di lingkungan birokrasi pelayanan. Adanya ketakutan pada sebagian kalangan aparat pelayanan di semua tingkatan pelayanan untuk melakukan diskresi membawa implikasi pada pola pengambilan keputusan pelayanan yang merugikan masyarakat. Aparat pelayanan ketika menemui suatu kasus lebih memilih untuk melakukan tindakan penundaan pelayanan dan menunggu petunjuk pimpinan untuk mememutuskannya (Agus Dwiyanto,dkk, 2006:147). Beberapa alasan diskresi secara umum maupun dalam pelayanan publik yaitu: a. Mendesak
dan
alasannya
mendasar
serta
dibenarkan
motif
perbuatannya; b. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum; c. Untuk
lebih
cepat,
efisien,
dan
efektif
dalam
mencapai
penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta kesejahteraan masyarakat. Sebuah
contoh
tindakan
diskresi
yang
dilakukan
aparat
penyelenggara pelayann publik di Kantor Dinas Pelayanan Perijinan: ada seorang penguasaha dealer motor asal Kota A yang membuka usaha di Kota B. Dia sudah mempunyai SILIP yang disahkan oleh Dinas Perdagangan Kota A. Setelah diteliti, ternyata SILIP menujukkan ada sedikit kekurangan, yakni tidak dicantumkan dimana tempat usahanya. Apabila seorang aparatur penyelenggara pelayanan publik kaku maka akan menyuruh pengusaha tersebut untuk kembali ke Kota A untuk mengurus kekurangan dan menunggu satu minggu lagi dan harus mengeluarkan biaya lagi. Namun, Kepala Kantor Dinas Pelayanan Perijinan Kota B
cvi
cvii
mempunyai inisiatif untuk memenuhi kekurangan datanya di kantor dinas tersebut dan kemudian menandatanganinya, dan semua urusan pun menjadi selesai tanpa harus pengusaha kembali ke Kota A untuk mengurusnya. Dan terdapat kepuasan dari pengusaha tersebut karena diberikan kemudahan dalam pengurusan perijinan. Tanpa adanya inisiatif maupun diskresi dari Kepala Kantor Dinas Pelayanan Perijinan tersebut maka urusan perijinan pengusaha tersebutpun menjadi berbelit-belit dan kurang efisien. Tindakan inisiatif pelayanan pada kasus di atas, seharusnya sudah membudaya di lingkungan birokrasi. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa tindakan inisiataif di lingkungan birokrasi masih sulit diakukan. Salah satu faktor yang turut mempengaruhinya adalah mentalitas sebagian aparat birokrasi yang korup. Tindakan penundaan pelayanan, seperti pada kasus pelayanan perijinan usaha, merupakan peluang bagi aparat pelayanan untuk melakukan pungli atau menekan pengusaha dengan meminta imbalan sejumlah uang. Aparat pelayanan publik yang menerapkan prosedur pelayanan alternatif, yaitu selain aturan formal, pada umumnya tela memiliki tingkat kesadaran tinggi pada pentingnya kelancaran pelayanan yang dibutuhkan masyarakat.
Aparat
pelayanan
publik
yang
mempunyai
diskresi
kewenangan yang tinggi akan lebih mampu memahami kesulitan-kesulitan masyarakat pemohon. Hal ini merupakan sisi positif dari dilaksanakannya kewenangan diskresi. Akan tetapi terdapat pula sisi negatif dari pelaksanaan kewenangan diskresi, yaitu dalam pelayanan publik seorang pejabat sangat rentan untuk melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig/ondoelmatig) terutama saat menggunakan kewenangan untuk melakukan diskresi, oleh karenanya sangat diperlukan pengawasan dan pembatasan pola-pola penggunaan diskresi secara menyimpang. Dalam teori unsur kewenangan dalam diskresi menurut M. Hadjon mengandung dua kewenangan yaitu, kewenangan untuk memutus sendiri cvii
cviii
dan kewenangan untuk interpretasi sendiri. Kewenangan untuk memutus maupun kewenangan untuk interprstasi sendiri inilah yang memberikan peluan
aparatur
penyelenggara
pelayanan
publik
melakukan
penyalahgunaan wewenang maupun tindakan sewenang-wenang. Tanpa kewenangan diskresipun apartur penyelenggara pelayanan publik dapat melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Apalagi terdapat kewenangan diskresi, akan lebih besar peluang melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang. Hal ini merupakan sisi negatif dari kewenangan diskresi selain sisi positfnya, yaitu mencapai pelayanan publik yang effisien, efektif dan akuntabel.
BAB IV PENUTUP
cviii
cix
A. KESIMPULAN Dari hasil analisa yang dilakukan penulis pada BAB III sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan menegenai beberapa hal yaitu: 1. Latarbelakang Desentralisasi Pelayanan Publik Pemerintah Daerah 1)
Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan desentralisasi merupakan penyerahan wewenang kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara kesatuan RI, maka penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan wewenang secara delegasi disebut delegation of authority. Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi maka pemerintah pusat akan kehilangan semua kewenangan itu, dan beralih ke pemerintah daerah, maka dalam hal urusan bidang pelayanan publikpun beralih ke pemeintah daerah.
2)
Adanya pembagian urusan pemerintahan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dimana Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan
oleh
pemerintahan
daerah
provinsi
dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar bagi kepentingan publik atau masyarakat, maka pelayanan publikpun menjadi kewenangan pemerintah daerah. 3)
Sebagai hasil proses politik dan hubungan antara hak rakyat dan tanggung jawab pemerintah, maka pelayanan publik memiliki 3 (tiga) unsur penting, yakni: lembaga perwakilan sebagai pengambil keputusan, lembaga eksekutif (pemerintahan) sebagai pemberi layanan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan. Sehingga melalui pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah di harapkan akan tercapai ketiga unsur tersebut.
4)
Peran masyarakat sebagai pengguna layanan dalam transaksi pelayanan publik adalah kemampuannya menunjukkan kehendak,
cix
cx
tuntutan, harapan, serta penilaian kepuasan terhadap pelayanan publik. Melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mengapresiasi dan mengartikulasikan opini publik representatif menjadi salah satu indikator penting bagi upaya peningkatan kualitas layanan publik. 5)
Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit
pemerintahan
di
tingkat
lokal
yang
berfungsi
untuk
menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik. 6)
Desentralisasi pelayanan publik atau pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah dalam hal pelayanan publik sebenarnya telah memenuhi konsep dari asas desentralisasi yaitu dari dari sudut politik, dalam bidang penyelenggaraan desentralisasi, dan dari sudut teknik organisatoris pemerintahan.
2. Mekanisme Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik a.
Pengaturan Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 1)
Pemerintah daerah sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik di daerah ada dalam Pasal 8 UU No. 25 Tahun 2009 dan sebagai pelaksana teknis di daerah kewenangan pemerintah daerah di atur selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2)
Pemerintah daerah sebagai organisasi penyelenggara pelayanan publik di daerah harus memperhatikan asas-asas yang ada dalam pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan pelayanan public diatur dalam Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
cx
cxi
3)
Kuliatas dan kinerja pelayanan publik juga dipengaruhi oleh sesuai atau tidakanya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap standar pelayanan minimal, Pasal 21 UU No. 25 Tahun 2009 mengatur tentang komponen standar pelayanan.
b.
Prosedur Evaluasi, Penyelesaian Pengaduan dan Pelanggaran hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di tinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 1)
Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2009 di atur bahwa Penyelenggara berkewajiban
melaksanakan
evaluasi
terhadap
kinerja
pelaksana di lingkungan organisasi secara berkala dan berkelanjutan.
Berdasarkan
hasil
evaluasi
tersebut
penyelenggara berkewajiban melakukan upaya peningkatan kapasitas pelaksana. Evaluasi terhadap kinerja pelaksana pelayanan publik dilakukan dengan indikator yang jelas dan terukur dengan memperhatikan perbaikan prosedur dan atau penyempurnaan organisasi sesuai dengan asas pelayanan publik dan peraturan perundang-undangan. 2)
Mekanisme pengaduan yang datang dari masyarakat mengenai kinerja aparatur maupun kualitas pelayanan publik yang diterimannya, terdapat dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 50 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
3)
Mekanisme penyelesaian pelanggaran hukum mapun adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah maupun aparat birokrasi penyelenggara pelayanan publik di atur dalam Pasal 51 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
c.
Standart Pelayanan 1) Kualitas dan kinerja pelayanan publik juga dipengaruhi oleh sesuai atau tidakanya pelayanan publik yang diberikan oleh
cxi
cxii
pemerintah daerah terhadap standar pelayanan minimal masingmasing daerah. 2) Dalam UU No. 25 Tahun 2009 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan (5) di sebutkan bahwa Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Dalam
menyusun
dan
menetapkan
standar
pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait dan penyelenggara berkewajiban menerapkan standar pelayanan Pengikutsertaan masyarakat dan pihak terkait dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung dengan
jenis
rnengutamakan beragaman.
pelayanan,
memiliki
kompetensi
dan
serta
memperhatikan
ke
musyawarah,
Dan penyusunan standar pelayanan dilakukan
dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. 3) Adanya standar pelayanan minimal sangat diperlukan baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat konsumen dari pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah adanya standar pelayanan minimal dapat dijadikan tolok ukur
(benchmark)
dalam penentuan biaya ang diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan publik. Sedang bagi masyarakat adanya standar pelayanan minimal akan menjadi acuan bagi menentukan mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. 4) Dengan adanya standar pelayanan minimum maka akan terjamin kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh masyarakat, dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan pubik dan menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.
cxii
cxiii
5) Standar pelayanan minimum akan menciptakan berbagai rasionalisai
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan
daerah.
Dengan dilaksankannya standar pelayanan minimum akan membantu pmerintah daerah dalam melakukan rasionalisasi terhadap kelembagaan, personil, keuangan sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan asas desentralisasi. 3. Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik ditinjau UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pelaksaanaan
kewenangan
pemerintah
daerah
sebagai
penyelenggara di bidang pelayanan publik hingga saat berjalan dengan baik di sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini salah satunya dikarenakan karena dalam pelaksanaanya pemerintah daerah berpegangan dengan apa saja yang telah di atur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dari
pelaksanaan
pelayanan
publik
melalui
mekanisme
desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah menurut asas-asas maupun ketentuan yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009 ternyata mempunyai sisi positif dan juga sisi negatif. Hal-hal tersebut diantaranya: 1.
Apabila dalam menjalankan pelayanan publik, aparatur pemerintah daerah berpegangan denagn asas-asas maupun ketentuan dalam UU Pelayanan publik, niscaya tujuan dari pelayanan publik pun akan tercapai, yakni pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel.
2.
Sedangkan apabila pelaksanaan pelayanan publik tidak sesuai dengan asas-asas dan ketentuan dalam UU Pelayanan Publik, mka akan terjadi peluang-peluang yang negative seperti penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang, budaya KKN, dan berdampak pada kualitas pelayanan publik.
3.
Ketentuan-ketentuan dalam UU Pelayanan publik, meskipun telah dilaksanakan dengan asas-asas dan tujuan yang baik, ternyata masih
cxiii
cxiv
memberikan peluang negatif bagi para aparatur penyelenggra pelayanan publik. Misalnya: kewenangan diskresi yang dilakukan aparatur pemerintah merpakan hal yang positif demi pelaksanaan pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel, akan tetapi juga memberikan peluang bagi para aparatur pemerintah daerah untuk melakukan penyimpangan terhadap kewenangan itu. Hal-hal
yang
diperhatikan
bahwa
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah yaitu aparatur pelaksana pelayanan publik harus berpenggangan dengan asas-asas maupun tujuan dari penyenggaraan pelayanan publik, tujuan pelayanan publik diantaranya terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya system penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, terpenuhinya penyenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terwujudnya perlindungan
dan
kepastian
hukum
bagi
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan
desentralisasi
yaitu
pelimpahan
wewenang
dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya di bidang pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah akan dapat mencipatakan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah kepada rakyat. Hal ini akan tercapai apabila apartur birokrasi di daerah mentaati asas-asas pelayanan publik maupun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pelayanan publik. Apabila dalam pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik, pemerintah daerah dapat melaksanakan kesemua asas-asas yang
cxiv
cxv
tercantum dalam pelayanan publik, niscaya kualitas pelayanan yang di berikan pemerintah daerah pun menjadi baik. Akan tetapi apabila dalam penyelenggaraan pelayanan publik terjadi penyimpangan terhadap asasasas tersebut maka akan terjadi peluang penyimpangan penyelenggaraan pelayanan pubilk, baik oleh aperatur pemerintah daerah sebagai pelaksana publik maupun terhadap kualitas dan kinerja pelayanan publik. Sedangkan implikasi pelaksanaan pelayanan publik di daerah yang tidak sesuai dengan asas-asas maupun ketentuan dari UU Pelayanan Publik diantaranya: 1.
Penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang
2.
Berdampak pada kualitas dan kinerja pelayanan publik
3.
Budaya KKN dalam birokrasi pelayanan publik aparatur pemerintah daerah
4.
Terjadinya kewenangan diskresi
B. SARAN a. Mengoptimalkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Optimalisasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU Pelayanan publik bertujuan agar pelaksanaan pelayanan publik didaerah dapat tercapai sesuai harapan yaitu pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel. b. Segera di buat ketentuan pelaksana dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 25 Tahun 2009
cxv
cxvi
Dengan aturan pelaksana yang ada (dalam hal ini Peraturan Pemerintah) maka diharapkan dalam pelaksanaan pelayanan publik menjadi lebih terarah sesuai dengan tujuan yang diharapkan. c. Tinjauan terhadap Pasal-pasal dan ketentuan dalam UU No. 25 tahun 2009 agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan peluang penyeimpangan dari Undang-undang tersebut. d. Menyusun Standar Pelayanan Minimum bagi setiap institusi (Dinas) di daerah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa memuaskan masyarakat. e. Perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan: Mempercepat terbentuknya ketentuan pelaksana UU Pelayanan Publik, Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
A Lohman, Roger. 2007. Public Administration Review. Washigntin. Vol. 6.
Agus, Dwiyanto, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Study Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Budiman, Arief. 1996. Gramedia
Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta:
cxvi
cxvii
Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed). 1983. Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countries. London: Sage Publications.
Clarke M, M. dan Steward. 1992. Public Service Orientation Developing The Approach. Policy Studies Journal. Vol. 13. No. 4
Cst. Kansil dan Christine st Kansil. 2001. Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.
Ero H.Rosydi. 1982. Pelimpahan Wewenang. Bandung: Alumni.
Jhonny, Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
J.B Kristiadi. 1992. Administrasi Pembangunan dan Administrasi Keuangan. Dalam JIIS, No. 2.
J, Kaloh. 2007 . Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Joe Fernandes, dkk. 2002. Otonomi Daerah di Indonesia Masa Reformasi: Antara Ilusi dan Fakta, Jakarta: IPOS dan Ford Fondation.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
cxvii
tentang
Pedoman
Umum
cxviii
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis Transaparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimaltunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota
Khairul, Muluk. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing. Lexy, J Maleaong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Luthfi J. Kurniawan dkk. 2007. Corruption Watch.
Wajah Buram Pelayanan Publik. Malang: Malang
_________________. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Bayu Media Publishing.
Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo.
H.M, Laica Marzuki. 2007. Hakekat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Vol. 4 No. 1 Maret 2007.
cxviii
cxix
I Made Suwandi, dkk. Reformasi Pemerintahan Daerah. Surakarta: Pustaka Cakra.
M.R. Khairul, Muluk. 2002. Desentralisasi, Teori, Cakupan dan Elemen. Jurnal Administrasi Negara, Vol II/2, Maret.
Moeljarto, Tjokrowinoto. 2001. Birokrasi dan Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Hubungan Keuangan Daerah antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta: UII Press
N.A, Martana. 2009. Asas Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Majalah Kerta Wicaksana Vol. 15 No. 1 Januari 2009. Nissatulikhsan. Pergeseran Paradigma dalam Pelayanan Publik. Harian Media Indonesia Senin, 21 April 2008). Nurmadi, Achmad. 1999. Manajemen Perkotaan. Yogyakarta : Lingkaran Bangsa.
Nurul
,D Irawati. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Pelayanan Publik. http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=P39_0_13_0_C (24 Maret 2010 pukul 20:00)
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Ratminto, dan Atik Septi Winarsih. 2007. Manajemen Pelayanan Publik (Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen Cararter dan Standar Pelayanan Minimal). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
cxix
cxx
Redaktur. Decentralization and Democratic Local Governance Programming. Handbook Vol 63. www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications (24 Maret 2010 pukul 20:00).
Redaktur. Pelayanan Publik. 2009 pukul 20:00)
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik (1 Desember
Ridwan, HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rohman, Ahmad Ainur. 2008. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Program Sekolah Demokrasi dan Averroes press.
Rondinelli, Dennis A. etc, 1981. Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience. Washington DC: World Bank Staff Working Papers.
Sarundang. S.H. 2001. Pemerintahan daerah diberbagai Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sinambela, Lijan Poltak, dkk. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi.. Jakarta: Bumi Aksara
Smith, Brian C. 1985. Desentralization: The Territorial Dimention of the State. Hamstead: George Allen & Unwin.
Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
cxx
cxxi
Sudikno Mertokusumo, 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti Sutarto. 1993. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suwondo.
Desentralisasi Pelayanan Publik. http:www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/brapub/5Desentralisasi%20Pelaya nan%20Publik-Suwondo.pdf (1 Desember 2009 pukul 20:00)
Sri Susilih. Desentralisasi Public Service dalam Era Otonomi Daerah. Staff Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara, Universitas Indonesia. (http://pdfdatabase.com/index.php?q=desentralisasi+pelayanan+publik) 29 November 2009 pukul 13:00
The, Liang Gie. 1968. Pertumbuhan Pemerintahan daerah di Negara Republik Indonesia. Jilid I-II. Jakarta: Gunung Agung. Willock. 1992. Leslie et.al.Rediscovering Public Services Managemet. Ed. London : McGraw-Hill.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
cxxi