PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
MEKANISME DAN DINAMIKA SEDIMENTASI FORMASI TAPAK BAGIAN BAWAH DI DAERAH KALISALAK, KECAMATAN MARGASARI, KABUPATEN TEGAL, PROVINSI JAWA TENGAH Syayidu Guntur Ma’arif *, Moch. Indra Novian Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl.Grafika No.2 Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, Tel. 0274-513668, *corresponding author:
[email protected]
ABSTRAK Formasi Tapak bagian bawah berdasarkan penelitian terdahulu pada umumnya memiliki karakteristik yang menunjukkan lingkungan pengendapan pasang surut ataupun zona tidal. Namun pada lokasi penelitian yang merupakan bukit yang berada di daerah Kalisalak, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah menunjukkan karakteristik yang berbeda. Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan dengan menggunakan data pengukuran stratigrafi terukur yang dilakukan pada jalur yang dimulai pada koordinat UTM 49S 9215888S 0277342T dan berakhir pada koordinat UTM 49S 9215962S 0277550T. Pengambilan data stratigrafi terukur dilakukan dengan merekam data berupa geometri, tekstur batuan, struktur sedimen, dan ketebalan batuannya serta dilakukan pula pengambilan sampel batuan untuk pengamatan lebih lanjut untuk petrografi dan paleontologi. Sampel batuan yang diambil untuk pengamatan petrografi berjumlah 5 sampel dan untuk pengamatan paleontologi berjumlah 4 sampel. Berdasarkan data stratigrafi yang diperoleh, lokasi penelitian tersusun atas 5 litofasies, yaitu fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal (mTgS), fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal slump (mT-gS-sl), fasies perulangan batupasir gradasi normal dengan batulanau lentikuler (gS-lensT), fasies batupasir kerakalan gradasi normal (g1GyS), dan fasies batupasir kerikilan gradasi normal (g2GyS). Litofasies ini terbentuk melalui mekanisme pengendapan berupa arus traksi dan suspensi. Berdasarkan data foraminifera plangtonik didapatkan umur litofasies berada pada kisaran umur Pliosen Awal (N18N19), dan berdasarkan data foraminifera bentonik kecil didapatkan lingkungan batimetri berada di batial atas – batial tengah. Lingkungan pengendapan litofasies tersebut berada pada lingkungan kipas laut dalam pada bagian levee, dan middle fan channel.
I.
Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan mengenai Formasi Tapak bagian bawah menghasilkan interpretasi berupa lingkungan pengendapan pada zona tidal atau pasang surut, namun melihat kenampakan fisik di lapangan pada lokasi pengamatan, tidak muncul karakteristik endapan yang mencirikan lingkungan tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui variasi lingkungan pengendapan yang dapat muncul dari batuan-batuan penyusun Formasi Tapak bagian bawah.
PENDAHULUAN Lokasi penelitian secara administratif berada di Daerah Kalisalak, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Lokasi penelitian merupakan bukit yang ditambang oleh perusahaan lokal. Lokasi penelitian terletak 60 Km di barat laut Purwokerto, 31 Km di barat daya Slawi, dan 84 Km di tenggara Kota Cirebon. Untuk mencapai lokasi penelitian dapat menggunakan kereta, bus, ataupun kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat karena letak lokasi penelitian yang berada di pinggir jalan utama Cirebon-Purwokerto. Penelitian dilakukan pada sebuah jalur pengukuran pada lokasi penelitian yang dimulai pada koordinat UTM 49S 9215888S 0277342T dan berakhir pada koordinat UTM 49S 9215962S 0277550T.
II.
GEOLOGI REGIONAL
Lokasi penelitian termasuk kedalam Zona Perbukitan Serayu Utara bagian barat. Perbukitan Serayu Utara membentang dari barat ke timur dimulai dari Gunung Slamet di 291
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA bagian barat hingga Kompleks Pegunungan Dieng dan Ungaran di sisi timur (Bemmelen, 1970). Zona Perbukitan Serayu Utara merupakan geanticlinal culmination yang menghubungkan Zona Bogor di sisi barat dengan Zona Perbukitan Kendeng di sisi timur (Bemmelen, 1970). Batas antara Zona Perbukitan Serayu Utara dengan Zona Bogor membentang sepanjang Prupuk-BumiayuAjibarang.
napalan (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi ini berumur Miosen Tengah (Marks, 1957; Bemmelen, 1970) hingga Miosen Akhir (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi Kumbang tersusun oleh batuan vulkaniklastik andesitik yang berubah menjadi perlapisan tuff yang berseling dengan breksi pumis, breksi andesit dan tuff pasiran pada bagian atas (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi Tapak terbagi menjadi dua bagian. Formasi Tapak bagian bawah tersusun atas batupasir kasar dan konglomerat yang disisipi breksi andesit yang semakin keatas ukuran butirnya semakin menghalus dan muncul sisipan napal (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi Tapak bagian atas merupakan batugamping terumbu yang muncul secara setempat (Kastowo, 1975). Formasi Tapak berumur Pliosen Awal (Oostingh, 1935 dalam Marks, 1957). Formasi Kalibiuk terusun oleh batulempung dan napal berwarna biru pada bagian bawah yang kemudian muncul sisipan batupasir pada bagian tengah dan atas serta batugamping moluska pada bagian atas (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi ini berumur akhir Pliosen Awal hingga awal Pliosen Akhir (Bemmelen, 1970). Formasi Kaliglagah tersusun oleh batuan sedimen berukuran butir kasar pada bagian bawah yang menghalus kearah atas dan kemudian mengkasar kembali. Formasi ini berumur Pliosen Akhir.
Stratigrafi regional Serayu Utara pada lokasi penelitian menurut Kastowo (1975) tersusun atas Formasi Pemali, Formasi Rambatan, Formasi Lawak, Formasi Halang, Formasi Kumbang, Formasi Tapak, Formasi Kalibiuk, dan Formasi Kaliglagah (Gambar 2). Formasi Pemali tersusun atas lapisan napal berwarna biru keabu-abuan dan hijau keabu-abuan yang banyak mengandung foraminifera kecil, dibeberapa bagian terdapat sisipan batugamping pasiran dan batupasir (Kastowo, 1975; Lunt, 2008). Menurut Kastowo (1975) formasi ini berumur Miosen Tengah, namun menurut Lunt (2008) formasi ini berumur N17N21 atau Miosen Akhir hingga Pliosen. Formasi Rambatan tersusun atas batupasir karbonatan dan konglomerat yang disisipi oleh napal dan batulempung (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi ini berumur Miosen Awal (Bemmelen, 1970) hingga Miosen Tengah (Marks, 1957; Kastowo, 1975). Formasi Lawak tersusun atas napal berwarna kehijauan yang bersisipan dengan batugamping foraminifera dan batupasir gampingan pada bagian bawah. Pada bagian atas formasi ini tersusun oleh napal yang kaya akan Globigerina dengan sisipan batupasir (Kastowo, 1975). Formasi ini berumur Miosen Awal (Bemmelen, 1970) hingga Miosen Akhir (Kastowo, 1975).
III.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan mekanisme dan dinamika sedimentasi yang memiliki akhir untuk penentuan lingkungan pengendapan dari Formasi Tapak bagian bawah yang terdapat pada lokasi penelitian berdasarkan karakteristik litologi yang ada. Penentuan lokasi penelitian termasuk kedalam Formasi Tapak bagian bawah dilakukan berdasarkan peneliti terdahulu berupa Peta Geologi Regional Lembar Majenang (Kastowo, 1975) yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi.
Formasi Halang terbagi menjadi dua, Formasi Halang bagian bawah tersusun atas batupasir andesitik yang berlapis dan konglomerat tufaan (Marks, 1957). Sedangkan Formasi Halang bagian atas tersusun atas batugamping terumbu berwarna abu-abu dan batugamping 292
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA Karakteristik litologi pada lokasi penelitian direkam melalui pengukuran stratigrafi terukur pada lokasi penelitian. Pengukuran stratigrafi terukur ini merekam karakteristik litologi diantaranya geometri, tekstur batuan, struktur sedimen, ketebalan lapisan, arah arus purba, dan kandungan fosil. Disamping itu pada jalur pengukuran stratigrafi dilakukan pengambilan sampel batuan untuk pengamatan petrografi dan paleontologi. Jumlah sampel petrografi yang diambil untuk diamati secara mikroskopis berjumlah 5 sampel, dan sampel paleontologi yang diamati kandungan fosilnya berjumlah 4 sampel. Penentuan nama fosil foraminifera dan penentuan umur fosil menggunakan acuan Bolli (1985) dan Postuma (1971).
gradasi normal (mT-gS), fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal slump (mT-gS-sl), fasies perulangan batupasir gradasi normal dengan batulanau lentikuler (gS-lensT), fasies batupasir kerakalan gradasi normal (g1GyS), dan fasies batupasir kerikilan gradasi normal (g2GyS) (Gambar 3). Fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal (mT-gS) tersusun atas batulanau dan batupasir yang saling berseling dengan ketebalan batulanau yang semakin menipis kearah atas (Gambar 4). Fasies ini tidak menerus secara vertikal, melainkan terbagi menjadi beberapa bagian pada interval ketebalan 0-3,2 meter, 5,3-10,3 meter, dan 21,4-28,5 meter. Batas antara perlapisan batupasir dan batulanau bervariasi, pada bagian bawah cenderung rata tanpa adanya bidang erosi, namun pada bagian atas mulai muncul bidang erosi diantara kedua penyusun fasies ini (Gambar 4A). Batupasir yang menyusun fasies ini memiliki kenampakan lapangan berwarna abu-abu hingga abu-abu kecokelatan dengan ukuran butir pasir halus hingga kasar (fragmen), dan lanau sebagai matriks (Gambar 4B). Sortasi yang dimiliki baik. Grain supported pada bagian bawah dan berubah menjadi matrix supported pada bagian atas. Bentuk butir fragmennya very angular - subrounded. Tersusun atas kuarsa, plagioklas, ortoklas, litik, piroksen, hornblende, mineral opak, foraminifera, gelas vulkanik, dan material silisiklastik berukuran lain. Struktur sedimen yang dimiliki litologi ini adalah gradasi normal.
Setelah didapatkan data stratigrafi terukur, dilakukan analisis fasies dengan membagi data stratigrafi tersebut menjadi beberapa litofasies. Pembagian litofasies diutamakan berdasarkan karakteristik tekstur dan struktur batuannya dengan mempertimbangkan data fosil serta arah arus purba sebagai data penunjang. Pengkodean litofasies mengacu kepada kodefikasi fasies Ghibaudo (1992). Selanjutnya setelah didapatkan litofasies penyusun lokasi penelitian, dilakukan analisa mekanisme sedimentasi dengan melihat karakteristik setiap fasies. Kemudian litofasies ini dibandingkan dengan model fasies yang sudah ada dan disusun oleh peneliti terdahulu seperti Mutti (1979 dalam Nilsen dan Nelson, 1989) untuk melihat mekanisme pengendapan serta lingkungan secara umum dan Walker (1992) untuk membagi lingkungan menjadi lebih mendetil.
IV.
Batulanau yang menyusun fasies ini memiliki karakteristik lapangan berwarna abu-abu dengan ukuran butir lanau hingga pasir halus. Memiliki komposisi penyusun berupa foraminifera, kuarsa, plagioklas, ortoklas, hornblende, gelas vulkanik dan material silisiklastik berukuran lanau. Kandungan foraminifera kecil pada litologi ini sangat melimpah yang dapat terlihat pada sayatan petrografi (Gambar 4C). Struktur sedimen yang dimiliki adalah masif. Pada batulanau
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengambilan data stratigrafi terukur, didapatkan litologi yang menyusun lokasi penelitian memiliki ketebalan mencapai 48,65 meter (Gambar 3). Berdasarkan karakteristik litologi seperti tekstur dan struktur sedimen, didapatkan 5 litofasies yaitu fasies perselingan batulanau dengan batupasir 293
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA yang berada pada interval 5,3-10,3 meter kandungan fosil foraminifera kecil nampak berwarna kecokelatan hingga hitam seperti efek terbakar yang mencirikan gelas vulkanik yang terdapat pada batulanau merupakan hasil endapan vulkaniklastik primer.
foraminifera bentonikya, ditemukan spesiesspesies seperti Dentalina subsoluta, Uvigerina bradyana, dan Lamarckina ventricosa pada interval ketebalan 0-3,2 meter dan 5,3-10,3 meter yang melambangkan batimetri kedalaman batial tengah. Pada interval ketebalan 21,4-28,5 meter ditemukan spesiesspesies seperti Siphonina tubulosa, Subreophax monile, Fissurina annectens, dan Praeglobobulimina pupiodes yang melambangkan batimetri batial atas.
Fasies ini terbentuk melalui dua mekanisme sedimentasi yang berbeda antara batulanau dan batupasirnya, dimana batulanau terbentuk melalui mekanisme suspensi pada material halus dan batupasir terbentuk melalui mekanisme arus traksi. Perulangan mekanisme suspensi dan traksi ini semakin kearah atas semakin terjadi dalam jangka waktu yang cukup cepat yang dicirikan dengan bidang batas lapisan yang menggerus dan kemas batupasir yang menjadi matrix supported. Mekanisme arus traksi dan suspensi ini merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dengan waktu yang bertambah dari arus turbid (Nilsen dan Nelson, 1989).
Fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal slump (mT-gS-sl) memiliki karakteristik yang hampir mirip dengan fasies mT-gS, perbedaannya terletak pada struktur slump yang dimiliki fasies ini (Gambar 5). Fasies ini tidak menerus secara vertikal, melainkan terbagi menjadi dua bagian yang berada pada interval ketebalan 3,2-5,3 meter dan 28,5-30,05 meter. Fasies ini tidak memiliki bidang batas yang jelas dengan fasies dibawahnya pada bagian interval 3,2-5,3 meter, sedangkan pada bagian yang berada di interval 28,5-30,05 meter memiliki bidang batas yang tegas dan menggerus fasies dibawahnya. Secara tekstural dan komposisi, fasies ini sama dengan fasies mT-gS, namun pada bagian yang berada di interval 28,5-30,05 meter tidak mengandung material karbonatan. Pada fasies mT-gS-sl bagian bawah didapatkan data sayap-sayap slump dengan arah N45oE/ 26o pada sisi selatan, N 328oE/ 44o pada sisi timur, dan N 226oE/ 30o pada sisi utara. Sedangkan pada fasies mT-gS-sl bagian atas didapatkan data arah sayap slump dengan arah N 46oE/ 66o, N 40oE/ 19o, dan N 61oE/ 39o. Dilihat dari kedua data tersebut, dapat terlihat bahwa arah suplai sedimen pada fasies mT-gSsl bagian bawah cenderung berarah barat daya-timur laut dengan tinggian paleogeografinya berada di sisi barat daya, sedangkan pada fasies mT-gS-sl bagian atas, arah suplai sedimen berarah tenggara-barat laut, namun pada bagian atas ini tidak dapat ditentukan arah tinggian paleogeografinya karena data sayap yang didapat merupakan data secara vertikal. Berdasarkan perbedaan
Jika dilihat dari karateristik litologinya dan pembentukannya yang termasuk kedalam endapan turbidit, fasies ini memiliki kesamaan karakteristik dengan Fasies D dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989). Kesamaan karaketristik ini dilihat dari kesamaan penyusun kedua fasies ini yaitu batulanau dan batupasir dengan perbandingan ketebalan batulanau dan batupasir diantara 2:1 hingga 9:1. Pada fasies ini dilakukan pengambilan sampel paleontologi sebanyak 4 sampel yang dilakukan pada ketiga bagian fasies ini. Berdasarkan pengamatan fosil foraminifera plangtoniknya ditemukan spesies-spesies seperti Pulleniatina primalis, Globorotalia margaritae, Globorotalia humerosa humerosa, Globorotalia acostaensis acostaensis, Globorotalia pseudoopima, Globorotalia tumida, dan Neogloboquadrina deutertrei deutertrei yang melambangkan umur yang berkisar antara N18-N19 pada bagian interval 0-3,2 dan 5,3-10,3 meter, serta N19 pada bagian yang berada di interval 21,4-28,5 meter. Berdasarkan pengamatan pada fosil 294
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA kedua bagian fasies tersebut, terlihat bahwa terjadi perubahan arah suplai sedimen yang mempengaruhi kondisi lingkungan pengendapannya. Berdasarkan karakteristik utama dari fasies ini yaitu kehadiran struktur slump, fasies ini memiliki kesebandingan dengan fasies F dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989).
mengakibatkan perubahan mekanisme dari traksi menjadi suspensi terjadi lebih cepat, sehingga muncul lensa-lensa batupasir pada lapisan batulanau dan menghasilkan struktur lentikuler. Sama dengan fasies mT-gS, mekanisme pengendapan fasies ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari segi waktu dari arus turbid. Jika dilihat dari karakteristik litologi penyusun fasies ini, fasies ini memiliki kesamaan dengan fasies E dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989). Kesamaan ini terlihat dari perbandingan lapisan batulanau dan batupasir yang mencapai 1:1, sortasi batupasir yang tidak lebih baik dari fasies mT-gS, dan kehadiran struktur lentikuler pada lapisan batulanaunya.
Fasies perulangan batupasir gradasi normal dengan batulanau lentikuler (gS-lensT) terletak diatas blank zone yang memisahkan fasies ini dengan fasies mT-gS-sl. Fasies ini memiliki ketebalan batupasir dan batulanau yang hampir sama. Bidang batas kedua litologi penyusun ini di beberapa bagian bergelombang, dan di beberapa bagian lain paralel. Fasies ini tidak menerus secara vertikal melainkan terbagi menjadi beberapa bagian yang berada pada interval 40-40,3; 40,65-41,15; 41,55-42,2; 42,6-44,6; 46,1-46,8; 46,9-47,85; 47,95-48,65 meter. Batupasir yang menyusun fasies ini memiliki kenampakan lapangan berwarna abu-abu kehitaman dengan ukuran butir pasir sangat halus hingga sedang. Sortasi yang dimiliki cukup baik. Tersusun atas litik, hornblende, piroksen, kuarsa, mineral opak, tuff dan beberapa bagian mengandung material karbonatan. Struktur sedimen yang dimiliki litologi ini adalah gradasi normal.
Fasies batupasir kerakalan gradasi normal 1 (g1GyS) berada pada bagian atas dari jalur pengukuran stratigrafi, dan berada diantara bagian-bagian dari fasies gS-lensT. Fasies ini tidak menerus secara vertikal melainkan terbagi menjadi beberapa bagian yang berada pada interval ketebalan 40,3-40,65; 41,1541,55; 42,2-42,6; dan 44,6-46,1 meter. Bagian bawah dari fasies ini memiliki bidang batas yang menggerus fasies dibawahnya yaitu fasies gS-lensT (Gambar 7A). Berdasarkan pengamatan di lapangan dan hasil pengamatan petrografi, fasies ini memiliki karakeristik berwarna putih keabu-abuan dengan ukuran butir pasir halus hingga kerakal. Butir berbentuk angular (butiran kasar) hingga rounded (butiran halus). Matrix supported (Gambar 7B). Tersusun atas kuarsa, litik, piroksen, hornblende, biotit, mineral opak, tuff, dan material silisiklastik berukuran pasir halus. Struktur sedimen pada litologi ini berupa gradasi normal dari fragmen yang berukuran kerakal pada bagian bawah menjadi pasir pada bagian atas tiap lapisannya.
Batulanau yang menyusun fasies ini memiliki kenampakan lapangan berwarna abu-abu dengan ukuran butir lanau. Batulanau ini tersusun atas litik, plagioklas, dan material sedimen lanauan. Terdapat struktur lentikuler pada beberapa lapisan batulanau ini (Gambar 6). Fasies gS-lensT terendapkan melalui mekanisme yang hampir sama dengan dengan fasies mT-gS namun perbedaannya terletak pada kecepatan sedimentasi antara batupasir dengan batulanaunya. Ketebalan antara batupasir dan batulanau yang hampir sama serta beberapa batas lapisan yag bergelombang melambangkan kecepatan pengendapan yang tinggi. Hal ini
Fasies g1GyS merupakan hasil dari arus traksi dengan konsentrasi sedimen yang tinggi yang merupakan bentuk lebih lanjut dari arus turbid. Fragmen kerakal yang berada pada bagian bawah dari fasies ini dapat berkembang lebih lanjut menjadi traction carpet. Melihat 295
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA karakteristik fasies ini yang memiliki struktur gradasi normal dan butiran yang kasar yang hampir membentuk traction carpet pada bagian bawah, fasies ini memiliki kesebandingan dengan fasies A dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989).
dalam. Berdasarkan karakteristik mekanisme pengendapannya yang berupa arus traksi dan suspensi yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari mekanisme turbidit, bagian laut dalam yang dapat menghasilkan fasiesfasies ini adalah lingkungan kipas laut dalam.
Fasies batupasir kerikilan gradasi normal (g2GyS) berada pada bagian akhir dari jalur pengukuran stratigrafi. Secara umum hanya terdapat dua lapisan fasies ini yang ketebalannya hanya mencapai 10 cm (Gambar 8A). Kedua lapisan fasies ini berada pada interval ketebalan 46,8-46,9 meter dan 47,8547,95 meter. Karakteristik umum fasies ini mirip dengan fasies g1GyS, namun terdapat perbedaan yaitu fasies ini memiliki warna abuabu terang, berukuran butir pasir sedangkerikil. Memiliki sortasi yang baik dengan bentuk butir angular hingga rounded. Grain supported (Gambar 8B). Memiliki struktur sedimen gradasi normal. Tersusun atas kuarsa, piroksen, hornblende, biotit, dan litik sedimen sebagai fragmen serta mikrit sebagai matriksnya.
Untuk mendapatkan lingkungan yang lebih detil, jika fasies ini dibandingkan dengan fasies model kipas laut dalam milik walker (1992) maka Fasies mT-gS, mT-gS-sl, dan gS-lensT sebanding dengan endapan levee dari kipas laut dalam (Gambar 3). Kemudian fasies g1GyS dan fasies g2GyS yang dapat disebandingkan dengan fasies A dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989) dapat mencirikan sublingkungan pengendapan middle fan channel dari kipas laut dalam (Gambar 3). Urutan dari bawah keatas dalam hasil pengukuran stratigrafi yaitu mT-gS; mT-gS-sl; mT-gS; mT-gS-sl; gS-lensT; g1GyS; gS-lensT; g1GyS; gS-lensT; g1GyS; gS-lensT; g1GyS; gSlensT; g2GyS; gS-lensT; g2GyS; gS-lensT. Melihat urutan tersebut, dapat diinterpretasikan dinamika lingkungan pengendapan pada lokasi ini yaitu pada bagian awal secara umum merupakan sublingkungan levee. Kemudian selama proses pengendapan terjadi beberapa kenaikan suplai sedimen yang mengakibatkan levee mengalami kerusakan sehingga menghasilkan batuan yang mengalami slumping yaitu fasies mT-gS-sl. Peristiwa kenaikan suplai sedimen terjadi hanya dalam waktu yang singkat sehingga saat suplai menurun kembali levee mulai terbentuk kembali pada sisi channel. Kemudian terdapat periode dimana kenaikan dan penurunan muka air laut terjadi dalam waktu yang lebih singkat, sehingga menghasilkan litologi yang berstruktur lentikuler pada fasies gS-lensT.
Meskipun terdapat perbedaan pada kemas dan ukuran butir, namun mekanisme pengendapan dari fasies ini masih sama dengan fasies g1GyS. Pada fasies ini terdapat traction carpet yang mengakibatkan kemas menjadi grain supported. Sama dengan fasies g1GyS, fasies g2GyS jika dilihat dari karakteristik fasiesnya dapat disebandingkan dengan fasies A dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989). Kesebandingan ini ditarik dari kesamaan ukuran butir dan struktur sedimen berupa gradasi normal dan juga kehadiran traction carpet.
V.
DINAMIKA SEDIMENTASI
Berdasarkan karakteristik fasies-fasies yang menyusun jalur stratigrafi dan setelah dibandingkan dengan fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989) serta melihat data hasil pengamatan fosil foraminifera bentoniknya, lingkungan pengendapan lokasi penelitian berada pada kondisi lingkungan laut
Selanjutnya terjadi perubahan arah suplai sedimen yang mengakibatkan bergesernya kipas laut dalam dan membuat lokasi penelitian berada pada sublingkungan middle fan channel yang dicirikan dengan kehadiran fasies g1GyS dan fasies g2GyS. Kedua fasies ini mencirikan proses pengendapan akibat arus 296
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA turbid dengan densitas tinggi yang ditandai dengan ukuran butir pada bagian bawah yang cenderung kasar dan sama besar yang bergradasi kearah atas. Perubahan arah suplai sedimen terjadi secara berulang-ulang sehingga membuat channel berpindah-pindah dan menghasilkan fasies yang berulang antara fasies hasil channel dan levee.
VI.
dengan batulanau lentikuler (gS-lensT), fasies batupasir kerakalan gradasi normal (g1GyS), dan fasies batupasir kerikilan gradasi normal (g2GyS). Mekanisme pengendapan litofasies ini secara umum adalah suspensi dan arus traksi yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari arus turbid. Berdasarkan pengamatan fosil foraminifera plangtonik, didapatkan umur litofasies ini berkisar antara N18-N19 atau Pliosen Awal, dan berdasarkan foraminifera bentonik kecil didapatkan batimetri kedalaman batial atas hingga batial tengah. Lingkungan pengendapan yang dicirikan oleh litofasies ini adalah lingkungan kipas laut dalam pada sublingkungan levee dan middle fan channel.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini didapatkan litologi penyusun lokasi penelitian dapat terbagi menjadi 5 litofasies, yaitu fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal (mT-gS), fasies perselingan batulanau dengan batupasir gradasi normal slump (mT-gS-sl), fasies perulangan batupasir gradasi normal
DAFTAR PUSTAKA Bemmelen, V., 1970, The Geology of Indonesia: Vol IA, Second Edition. The Hague: Batavia. 732p Bolli, H, M,. Saunders, J, B,. Nilsen, K, P., 1985, Plankton Stratigraphy, Cambridge University Press: Cambridge, 1032p. Ghibaudo, G., 1992, Subaqueous sediment gravity flow deposits: practical criteria for their field description and classification, Journal of Sedimentology, p423-454. Kastowo, 1975, Peta Geologi Lembar Majenang: Jawa, Skala 1:100.000, Direktorat Geologi Indonesia: Bandung Lunt, P,. Burgon, G,. & Baky, A., 2008, The Pemali Formation of Central Java and Equivalents: Indicator of Sedimentation on an Active Plate Margin, Journal of Asian Earth Sciences: Amsterdam. p100-113 Marks, P., 1957, Stratigraphic Lexicon of Indonesia, Pusat Djawatan Geologi: Bandung. 233p Nilsen, T, H,. Nelson, C, H., 1989, Modern and Ancient Deep Sea-Fan Sedimentation, Society of Economic Paleontologist and Mineralogist Short Course No.14: Tulsa, 404p Postuma, J,A., 1971, Manual of Planktonic Foraminifera. Elsevier Publishing Company: Amsterdam, 410p Walker, R,G., James, N,P., 1992, Facies Models; Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada: Ontario, 427p
297
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
GAMBAR
Gambar 1. Lokasi penelitian (kotak hijau pada peta Jawa Tengah) dan jalur pengukuran stratigrafi terukur (garis berwarna merah) yang terletak di daerah Kalisalak, Kecamatan Margasari, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Tpt: Formasi Tapak bagian bawah, Tptl: Formasi Tapak bagian atas, Qls1: Batuan Gunung Api Slamet
Gambar 2. Kolom stratigrafi regional Cekungan Serayu Utara berdasarkan Bemmelen (1970), Kastowo(1975), dan Lunt (2008) 298
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 3. Kolom Stratigrafi lokasi penelitian dan perbandingannya terhadap fasies model Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989) dan Walker (1992). Fasies mT-gS, mT-gS-sl, dan gS-lensT sebanding dengan Fasies D, Fasies F, dan Fasies E Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989) dan melambangkan lingkungan levee berdasarkan Walker (1992). Fasies g1GyS dan Fasies g2GyS sebanding dengan Fasies A Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989) melambangkan lingkungan channel kipas laut dalam pada bagian middle fan. F-U: Finning Upward, C-U: Coarsening Upward. Titik merah pada diagram blok merupakan lokasi lingkungan pengendapan pada kipas laut dalam. Garis merah pada sayatan vertikal channel dan levee merupakan lokasi hasil pengukuran stratigrafi.
299
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 4. Kenampakan fasies mT-gS di lapangan (A) dan di sayatan tipis (B) dan (C). A) pada bagian bawah terlihat batas perlapisan yang paralel (ditunjukkan garis ungu) sedangkan pada bagian atas terlihat batas perlapisan yang mulai bergelombang dan menunjukkan beberapa scour mark (ditunjukkan garis merah). B) Kenampakan sayatan tipis dari batupasir pada kondisi nikol bersilang dari batupasir fasies mT-gS yang menunjukkan komposisi berupa pyx: piroksen, Qz: Kuarsa, Pl: plagioklas, litik, biotit dan matriks. C) Kenampakan sayatan tipis dari batulanau pada kondisi nikol sejajar dari batulanau fasies mT-gS yang menunjukkan komposisi berupa pyx: piroksen, foraminifera, Qz: Kuarsa, Pl: plagioklas, litik, mineral opak dan matriks. Terlihat foraminifera banyak terkandung pada litologi.
Gambar 5. Kenampakan struktur slump pada fasies mT-gS-sl bagian atas yang berada pada interval ketebalan 28,5-30,05 meter.
300
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 6. Kenampakan struktur sedimen lentikuler pada fasies gS-lensT yang menjadi penciri utama kesebandingan fasies ini dengan fasies E dari fasies Mutti (1979; dalam Nilsen dan Nelson, 1989)
Gambar 7. Kenampakan fasies g1GyS di lapangan (A) dan di sayatan tipis (B). A) Terlihat bidang batas antara fasies g1GyS dengan gS-lensT yang tidak jelas akibat efek erosional. Hal ini mencirikan proses pengendapan dan perubahan energi yang cepat. B) Sayatan tipis pada kondisi nikol sejajar dari batupasir kerakalan fasies g1GyS yang menunjukkan komposisi berupa pyx: piroksen, Qz: Kuarsa, Hbl: hornblende, litik, biotit, tuff dan matriks. Terlihat bahwa fasies ini memiliki hubungan antar butir yang matrix supported yang terlihat dari banyak fragmen yang dipisahkan oleh matriks.
Gambar 8. Kenampakan fasies g2GyS di lapangan (A) dan di sayatan tipis (B). A) Terlihat penyebaran fasies g2GyS secara lateral yang tidak luas dan bidang batas yang mengerus fasies dibawahnya. B) Sayatan tipis pada kondisi nikol bersilang dari batupasir kerakalan fasies g2GyS yang menunjukkan komposisi berupa pyx: piroksen, Hbl: hornblende, litik, biotit, dan matriks. Terlihat bahwa fasies ini memiliki hubungan antar butir yang grain supported. 301