MEKANISME DAN ALTERNATIF SUMBER PENDANAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
© Andie Wibianto/MPAG
Rony Megawanto
Daftar Isi Bab 1. Pendahuluan................................................................................................................................. 3 Bab 2. Kelembagaan ................................................................................................................................ 6 2.1 Lembaga Wali Amanah (Trust Fund) ............................................................................................... 7 2.2 Badan Layanan Umum ................................................................................................................. 11 2.3 Yayasan ....................................................................................................................................... 14 Bab 3. Alternatif Sumber Pendanaan ..................................................................................................... 16 3.1 Lembaga Donor ........................................................................................................................... 16 3.2 Tanggungjawan Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) ............................................ 20 3.3 Pengalihan Utang Untuk Lingkungan (Debt-for-Nature Swaps) ..................................................... 24 3.4 Pasar Karbon (Carbon Market) ..................................................................................................... 29 3.5 Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Service) ............................................. 35 3.6 Biodiversity Offset ........................................................................................................................ 40 3.7 Denda Kerusakan Lingkungan ...................................................................................................... 44 3.8 Dana Abadi (Endowment Fund) .................................................................................................... 46 Daftar Pustaka ....................................................................................................................................... 51
Bab 1. Pendahuluan Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk perikanan. Teknologi perikanan juga semakin canggih yang mengakibatkan tingkat eksploitasi semakin mengkuatirkan. FAO (2010) melaporkan bahwa persentase stok ikan laut dunia pada tahun 2008 yang status pemanfaatannya telah jenuh, tangkap lebih, dan terkuras mencapai 84%. Semakin menurunnya stok ikan dunia diperparah dengan kegiatan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing) atau kegiatan penangkapan ikan secara illegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Untuk mengatasi persoalan perikanan diatas, beberapa instrumen pengelolaan perikanan telah diterapkan oleh beberapa negara seperti pengendalian output (output control), pengendalian input (input control), dan tindakan teknis (technical measures). Pengendalian output dilakukan dalam rangka membatasi jumlah tangkapan kapal-kapal ikan secara keseluruhan, seperti kuota penangkapan dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catch). Pengendalian input dilakukan untuk membatasi input yang digunakan dalam penangkapan ikan, seperti jumlah armada penangkapan, ukuran kapal, jenis alat tangkap, dan sebagainya. Tindakan teknis dalam rangka membatasi hubungan antara pengendalian input dan pengendalian ouput, seperti pemilihan ukuran dan jenis kelamin ikan tangkapan, serta pengaturan waktu tangkap. Selain instrumen diatas, dikembangkan pula instrumen pengelolaan perikanan baru yang dikenal dengan Marine Protected Area (MPA) atau Kawasan Konservasi perairan, yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik. Menurut Ward (2001), intrumen pengelolaan yang berbasis pada upaya penangkapan dan jumlah tangkapan (effort dan catch) dianggap sudah tidak bisa lagi mengatasi masalah perikanan dunia, seperti over-eksploitasi, ambruknya beberapa perikanan dunia, perubahan sifat (nature) penangkapan ikan, hilangnya biodiversiti, dan kerusakan lingkungan perairan laut. Roberts dan Hawkins (2000) menyusun daftar kemanfaatan Kawasan Konservasi Perairan, yaitu (i) melindungi eksploitasi populasi dan memperbaiki produksi benih yang akan membantu restoking untuk daerah penangkapan, (ii) mendukung usaha perikanan, yaitu dengan adanya spillover ikan dewasa dan juvenil ke daerah penangkapan ikan, (iii) menyediakan perlindungan terhadap spesis-spesis yang sensitif terhadap kegiatan penangkapan, (iv) mencegah kerusakan habitat dan membantu tahap pemulihan habitat, (v) memelihara keanekaragaman dengan cara membantu pengembangan komunitas biologi alami yang berbeda dengan yang ada di daerah penangkapan, dan (vi) membantu pemulihan ekosistem yang rusak oleh gangguan dari manusia dan alam. Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target Kawasan Konservasi Perairan seluas 20 juta hektar tahun 2020 dan dikelola secara efektif pada event Coral Triangle Initiative Summit (Konferensi Tingkat Tinggi Prakarsa Segitiga Terumbu Karang) di Manado tahun 2009 lalu. Pengukuran luasan kawasan konservasi relatif mudah yaitu melalui surat pencadangan kawasan oleh Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Kelautan dan Perikanan. Sementara pengukuran untuk efektifitas pengelolaan relatif lebih sulit sebab melibatkan beberapa indikator. Karena itu, pemerintah mengeluarkan panduan untuk mengukur efektifitas pengelolaan kawasan yang dikenal dengan E-KKP3K. Panduan dan alat ukur E-
KKP3K terdiri dari 5 level secara berurutan, yaitu merah, kuning, hijau, biru, dan emas. Level merah adalah level terendah dan level emas adalah yang tertinggi. Salah satu indikator penting dalam alat ukur E-KKP3K adalah pendanaan berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan konservasi. Terminologi pendanaan berkelanjutan (sustainable financing) umumnya tidak digunakan dalam dunia bisnis melainkan dalam bidang pengelolaan sumber daya alam. Tujuan dari pendanaan berkelanjutan adalah untuk menciptakan aliran kas yang bisa diprediksi melalui berbagai cara, salah satunya dengan mengurangi ketergantungan pada satu sumber saja (SEACAM, 2001). Dengan kata lain, pendanaan berkelanjutan merupakan portofolio dari beberapa sumber pendapatan jangka pendek dan jangka panjang untuk menutupi biaya operasional dan biaya lainnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa mekanisme pendanaan berkelanjutan harus juga bisa memberikan insentif ekonomi, meningkatkan efektifitas pengelolaan biaya, mendukung pengembangan mata pencaharian alternative bagi masyarakat lokal, serta memberikan insentif dan sumber daya untuk kegiatan konservasi (Domeier, 2002). Konsep pendanaan berkelanjutan digunakan untuk mengatasi masalah kekurangan dana dalam bidang konservasi dan pengelolaan sumber daya alam. Di banyak negara, sumber daya alam adalah barang public (public good) yang rentan terhadap masalah free-rider. Free-rider muncul ketika konservasi kawasan menimbulkan biaya yang tidak ditalangi oleh penerima manfaat dari layanan ekologi (ecological services). Dalam konteks ini, pemerintah, masyarakat lokal, dan masyarakat internasional adalah penerima manfaat dari kawasan konservasi tetapi biaya yang dikeluarkan didistribusikan secara tidak merata (Emmerton, 2003). Biaya untuk pengelolaan kawasan konservasi diakui membutuhkan dana yang cukup besar. Studi yang dilakukan Balmford et.al (2007) menyebutkan bahwa rata-rata biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan adalah sebesar 7,75 dollar per hektar atau untuk 20 Juta hektar dibutuhkan sekitar 1.55 Trilyun rupiah per tahun. Studi ini juga memberikan gambaran bahwa idealnya setiap negara menginvestasikan 0.02% dari produk domestik brutonya untuk konservasi yang bila diaplikasikan ke Indonesia, maka setidaknya diperlukan investasi sebesar 1.7 Triliun per tahun (dengan asumsi PDB tahun 2012). Di Indonesia, Kelompok Kerja Pendanaan Berkelanjutan yang dibentuk oleh Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (Ditjen KP3K), Kementerian Kelautan dan Perikanan, memperkirakan kebutuhan biaya untuk pengelolaan kawasan konservasi seluas 15,7 juta hektar saat ini mencapai 225 milyar rupiah per tahun. Pada kenyataanya ketersediaan anggaran dari APBN, APBD, dan LSM sebagai pelaksana program donor sekitar 75 milyar rupiah per tahun. Dengan demikian, terdapat kekurangan anggaran sebesar 150 milyar per tahunnya. Kondisi ini menunjukan bahwa pendanaan berkelanjutan bagi pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia masih perlu dibangun agar jumlah dan kepastian ketersediaan dana cukup memadai dalam jangka panjang. Pembangunan pendanaan berkelanjutan menyangkut setidaknya dua hal yaitu mekanisme pendanaan (financing mechanism) dan institusi pendanaan (financing vehicle). Keduanya perlu dibangun di tingkat nasional dan di tingkat kawasan oleh Pemerintah Daerah. Demikian pula keterlibatan seluruh pemangku kepentingan baik antar unit kerja pemerintah, swasta dan pihak lain merupakan keharusan sebagai bagian dari pengelolaan kolaboratif suatu kawasan.
Di tingkat nasional, perlu dirancang dan dibakukan mekanisme dimana para pemangku kepentingan dapat berkontribusi dalam memenuhi biaya pengelolaan suatu kawasan. Sementara di tingkat daerah, mekanisme pendanaan yang perlu dibangun adalah koordinasi perencanaan anggaran kegiatan SKPD terkait untuk memenuhi biaya pengelolaan. Misalnya untuk kebutuhan infrastruktur kawasan perlu dianggarkan pada Dinas Pekerjaan Umum. Komponen pemanfaatan untuk wisata dapat dianggarkan pada Dinas Pariwisata. Komponen lain seperti pemberdayaan masyarakat pesisir dapat dianggarkan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat, dan seterusnya. Dengan kata lain, pengelolaan kawasan bukan hanya menjadi tanggungjawab Dinas Kelautan dan Perikanan saja melainkan juga tanggungjawab semua SKPD dan stakeholder terkait. Untuk merealisasikan hal ini dibutuhkan leadership yang kuat untuk mengkoordinasikan dan memastikan penganggaran oleh SKPD lain yang terkait selain Dinas Kelautan dan Perikanan.
Bab 2. Kelembagaan Pengelola Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia adalah pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Pemerintah Daerah. Data tahun 2013 menunjukan bahwa Kementerian Kehutanan mengelola 32 kawasan konservasi yang terdiri dari 7 Taman Nasional Laut, 14 Taman Wisata Alam Laut, 5 Suaka Margasatwa Laut, 6 Cagar Alam Laut. Total luasan kawasan tersebut adalah sekitar 4,7 juta hektar. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta Pemerintah Daerah mengelola 99 kawasan yang terdiri dari 1 Taman Nasional Perairan, 3 Suaka Alam Perairan, 6 Taman Wisata perairan, dan 89 Kawasan Konservasi Perairan Daerah. Luasan kawasan konservasi tersebut adalah sekitar 11 juta hektar. Dengan demikian terdapat 131 Kawasan Konservasi Perairan dengan total luasan 15,7 juta hektar sebagaimana terlihat pada tabel berikut: No A
B
Kawasan Konservasi Dikelola Kemenhut Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Laut Cagar Alam Laut Dikelola KemenKP dan Pemda Taman Nasional Perairan Suaka Alam Perairan Taman Wisata Perairan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Jumlah Total
Jumlah Kawasan 32 7 14 6 99 1 3 6 89 131
Luas (Ha) 4.694.947 4.043.541 491.248 154.480 11.069.263 3.521.130 445.630 1.541.040 5.561.463 15.764.210
Sumber: Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (2014) Kementerian Kehutanan memiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam bentuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Balai Taman Nasional (BTN) untuk mengelola kawasan konservasi yang menjadi kewenangannya. Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki UPT dalam bentuk Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) yang berpusat di Kupang dan Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (Loka KKPN) yang berpusat di Pekanbaru. BKKPN Kupang mengelola 8 kawasan di wilayah timur dan Loka KKPN Pekanbaru mengelola 2 kawasn di wilayah barat. Beberapa kawasan konservasi dibawah jurisdiksi Pemerintah Daerah dikelola langsung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan, sedangkan kawasan lainnya dikelola tersendiri oleh Unita Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Dalam konteks pendanaan berkelanjutan bagi Kawasan Konservasi Perairan, pemerintah telah menyediakan dua model kelembagaan khusus yaitu Lembaga Wali Amanah (Trust Fund) di level nasional dan Badan Layanan Umum (BLU) yang bisa digunakan di level nasional maupun daerah. BLU yang dikembangkan di level daerah biasa juga disebut Badan Layanan Umum Daerah atau BLUD. Selain kedua model kelembagaan pemerintah tersebut, bentuk kelembagaan lain adalah Yayasan yang sifatnya di luar sistem kelembagaan pemerintah namun bisa mendukung pendanaan bagi pengelolaan kawasan. Yayasan dalam konteks ini bukan sebagai pengelola kawasan sebab berdasarkan regulasi yang berlaku hanya pemerintah yang memiliki otoritas untuk mengelola kawasan konservasi. Bentuk kelembagaan Yayasan akan berperan sebagai mitra pengelola untuk mendukung peningkatan efektifitas pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan berdasarkan alat evaluasi standar yang sudah ditetapkan yaitu E-KKP3K.
2.1 Lembaga Wali Amanah (Trust Fund) Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2011 diterbitkan untuk mengatur pembentukan Dana Perwalian (Trust Fund) oleh Kementerian/Lembaga sebagai financing vehicle bagi pembiayaan pembangunan termasuk pengelolaan KKP. Trust Fund merupakan bagian dari sistem keuangan pemerintah, dibentuk untuk mendanai kegiatan yang merupakan prioritas dan mendukung capaian target pemerintah. Dengan demikian Trust Fund sebagai instrumen pendanaan dirancang untuk menampung kontribusi dan partisipasi pihak swasta, publik, hibah asing yang semuanya merupakan pelengkap bagi pendanaan Kawasan Konservasi Perairan yang dianggarkan oleh Kemenhut, KemenKP dan pemerintah daerah. Sebelum dikeluarkannya Perpres ini, beberapa lembaga telah menginisiasi pembentukan Trust Fud meskipun tanpa landasan hukum yang kuat. Beberapa lembaga multilateral seperti World Bank, UNDP, dan ADB berperan sebagai trustee, yaitu pengelola dana Trust Fund yang bersumber dari satu atau beberapa donor. Selain itu trustee melakukan pengelolaan operasional, termasuk proses pengadaan, penarikan dana, pembayaran kepada pihak ketiga, dan pelaporan. Sementara pihak pemerintah dari kementerian/lembaga memposisikan diri sebagai Steering Committee (Komite Pengarah) dengan tugas utama memberikan arahan strategis pada program kerja yang akan didanai. Dengan Perpres 80/2011, kelembagaan Trust Fund terdiri dari Majelis Wali Amanat (MWA) dan Pengelola Dana Amanat (PDA). Dengan demikian, tidak ada Komite Pengarah menurut Perpres ini tapi peran-peran Komite Pengarah dilakukan ke Majelis Wali Amanah. Majelis Wali Amanat dalam hal ini dipersamakan dengan Satuan Kerja (Satker) dari kementerian/lembaga dimana Ketua MWA sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (eselon I) dan Seketaris MWA sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (eselon II). Anggota MWA bisa terdiri dari Kementerian Keuangan, Bappenas, pejabat kementerian/lembaga terkait, pihak lain yang terkait dengan pemanfaatan Dana Perwalian, dan/atau pihak yang ditunjuk oleh pemberi hibah. Secara rinci, tugas Majelis Wali Amanat adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
Menetapkan pengelola dana amanat Menetapkan program pengelolaan dana perwalian Melakukan penarikan dana hibah dari pemberi hibah Memerintahkan pembayaran dana perwalian kepada pihak-pihak yang terkait Melakukan proses pengadaan barang/jasa Mengajukan pengesahan dokumen anggaran pendapatan dan belanja majelis wali amanat untuk penyaluran dana perwalian g. Mengajukan pengesahan dokumen realisasi pendapatan dan belanja majelis wali amanat untuk penyaluran dana perwalian h. Menyusun laporan keuangan penyaluran dana perwalian. Sementara itu, Pengelola Dana Amanat dapat berupa Kementerian/Lembaga, Lembaga Multilateral, Organisasi Non Pemerintah, Badan Usaha Nasional, dan/atau Lembaga Keuangan Asing. Tugas Pengelola Dana Amanat adalah sebagai berikut: a. Menangani administrasi dan keuangan Dana Perwalian sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan administrasi dan keuangan yang disepakati dalam Perjanjian Hibah b. Melaporkan penanganan administrasi dan keuangan Dana Perwalian kepada Majelis Wali Amanat.
c. Melakukan pembayaran kepada pihak-pihak yang terkait atas perintah Majelis Wali Amanat. Kotak 1. Madagascar Biodiversity Fund Madagascar Biodiversity Fund didirikan tahun 2005 dengan tujuan untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di negara tersebut melalui pendanaan dan promosi perlindungan efektif kawasan konservasi dan menciptakan kawasan konservasi baru. Pendirian yayasan ini merupakan langkah maju untuk menjamin pendanaan berkelanjutan bagi sistem kawasan konservasi dan mengurangi ketergantungan terhadap pendanaan eksternal. Dengan dasar kelembagan yang kuat, yayasan ini berhasil menarik komitmen yang cukup signifikan dari pemerintah nasional, lembaga-lembaga bilateral, dan LSM. Yayasan mampu melampaui target dana sebesar $50 juta tahun 2012 yaitu dengan memperoleh $53 juta komitmen. Keberhasilan ini dicapai sebagian besar melalui dua Debt-For-Nature Swaps (DNS), yaitu dari pemerintah Prancis sebesar $20 juta dan pemerintah Jerman sebesar $13 juta. Selain itu diperoleh juga hibah dari beberapa donor swasta dan publik, termasuk World Bank, MacArthur Foundation, WWF, dan Conservation International. Sumber: WWF
Trust Fund merupakan wujud pelaksanaan Jakarta Commitment yaitu tekad Pemerintah Indonesia dalam mengelola dan mengkoordinasikan dana hibah asing secara lebih efektif, leadership ada pada pemerintah, transparan dan akuntabel, serta berorientasi pada hasil akhir. Hal ini berarti bahwa penyaluran dan pemanfaatan Dana Perwalian akan diselaraskan dengan program dan kegiatan yang didanai oleh anggaran Pemerintah. Penyelarasan ini dimungkinkan karena organ Trust Fund yaitu Majelis Wali Amanah sebagai pemegang otoritas pengelolaan Trust Fund tertinggi diangkat oleh Menteri Teknis. Melalui Trust Fund akan terjadi sinergi dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang didukung oleh pendanaan dari berbagai sumber sebab keanggotaan Majelis Wali Amanah bukan hanya didominasi oleh satu kementerian teknis, melainkan bisa dari kementerian lain, LSM lokal dan internasional serta anggota lainnya. Sebagai rangkuman karakteristik Trust Fund menurut Perpres 80/2011 adalah sebagai berikut: -
Pembentukan Trust Fund dilakukan oleh menteri setelah adanya komitmen pemberi hibah.
-
Menteri akan mengangkat ketua, sekretaris, dan anggota Majelis Wali Amanat. Ketua dan sekretaris merupakan pejabat kementerian sementara anggota boleh dari pemangku kepentingan termasuk lembaga donor, LSM, dan lainnya.
-
Majelis Wali Amanat adalah satuan kerja (Satker) kementerian/lembaga yang berarti sebagai unit anggaran terkecil dalam system keuangan pemerintah.
-
Dana Perwalian tidak mengenal Komite Pengarah (Steering Committee) dimana fingsinya digantikan oleh Majelis Wali Amanat sebagai organ pemegang kekuasaan tertinggi dalam Trust Fund.
-
Pengelola Dana Amanat menangani aspek administrasi dan keuangan termasuk melakukan pembayaran dan menyampaikan laporan penggunaan dana perwalian ke Majelis Wali Amanat. PDA bisa berupa lembaga multilateral, Badan Usaha Nasional seperti bank komersial, kementerian/lembaga, LSM, dan lembaga keuangan asing. Peran ini berbeda dengan peran trustee pada lembaga Trust Fund sebelumnya.
-
Perjanjian hibah (grant agreement) menyediakan fleksibilitas yang tinggi. Perjanjian ini menyediakan ruang bagi lembaga donor untuk menetapkan calon penerima dana hibah luar negeri, lokasi kegiatan, kegiatan yang akan didanai dan lainnya berdasarkan kesepakatan dengan kementerian/lembaga. Hal ini dirancang untuk mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
Mekanisme penyaluran, penentuan kegiatan, dan operasional yang didanai Dana Perwalian diputuskan dalam mekanisme partisipatif berupa Majelis Wali Amanat, yang menjamin keterwakilan para pemangku kepentingan. Mekanisme pengelolaan penerimaan dan pengeluaran Dana Perwalian didesain untuk fleksibel, yang memungkinkan pengalokasian ke berbagai lokasi geografis, berbagai penerima (pemerintah lokal, LSM, perusahaan, kementerian), dan berbagai jenis program selaras dengan arahan dari pihak pemberi dana (Donor). Sederhananya, mekanisme kerja Lembaga Wali Amanah dapat dilihat pada diagram berikut: Majelis wali Amanat Ketua: Eselon 1 (KPA) Sekretaris: Eselon II (PPK) Anggota: Kementerian/Lembaga, Donor, dll
1 Proposal
Perintah Bayar
Pengelola Dana Amanat
2
4
Kementerian/ Lembaga
Pemda
Persetujuan
3
Pembayaran
PENGUSUL
LSM
Swasta
Sumber: MPAG (2014) Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengantisipasi terwujudnya pendanaan yang berkelanjutan bagi pengelolaan KKP di Indonesia sebagai instrumen pelengkap pendanaan pemerintah. Melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KemenKKP bulan Maret tahun 2011 telah dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) dengan tugas utama merancang mekanisme serta insititusi yang dapat mewujudkan Pendanaan Berkelanjutan bagi pengelolaan KKP termasuk yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Pokja memiliki keanggotaan lintas kementerian/lembaga seperti Kementerian Keuangan, Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Bappenas, begitu pula beberapa LSM serta pakar konservasi. Direktur KKJI sebagai ketua Pokja telah mendorong beberapa output penting seperti: 1. Perhitungan secara rinci tentang biaya pengelolaan kawasan konservasi yang diperlukan per tahunnya untuk level minimum, moderat maupun ideal bagi pengelolaan MPA yang ada di Indonesia saat ini. 2. Kajian terhadap Perpres No. 80/2011 tentang Dana Wali Amanat serta peraturan-peraturan lain yang terkait dengannya, yang dituangkan dalam bentuk background paper.
3. Desain terperinci tentang kelembagaan dan kelengkapan tata kerja Trust Fund, yang tercermin dalam rancangan Struktur organisasi, Deskripsi Tugas pokok dan fungsi serta Mekanisme kerja. 4. Rancangan Standard Operating Procedures atau Manual Kerja untuk Majelis Wali Amanah (Ketua, Sekretaris, Anggota), trustee dan sekretariat pelaksana harian untuk pengadministrasian Dana Wali Amanah, Penyaluran dana berbasis pengajuan proposal kepada calon penerima hibah termasuk prosedur persetujuan dan mekanisme pertanggungjawabannya. Lembaga Wali Amanah yang sedang dikembangkan ini merupakan instrumen pendanaan tambahan yang memberikan manfaat penting bagi pencapaian komitmen pemerintah 20 (dua puluh) juta hektar pada tahun 2020 dan terkelolanya secara efektif kawasan konservasi perairan yang ada. Beberapa diantara manfaat tersebut adalah: 1. Pemerintah memiliki sumber dana tambahan selain APBN/APBD. Dana ini berasal dari bantuan hibah baik dari lembaga donor asing maupun dari dalam negeri. Sumber dana ini merupakan pelengkap bagi sumber pendanaan pemerintah yang sudah berjalan. Namun sumber dana tambahan ini tetap merupakan bagian dari sistem Pemerintah. 2. Pemerintah memiliki kesempatan untuk mensinkronkan program atau kegiatan-kegiatan yang akan didanai oleh Trust Fund dengan pengaturan struktur organisasi yang menempatkan kementerian sebagai institusi yang memiliki otoritas dalam penetapan arahan strategis dan pelaksanaan operasional Trust Fund seperti penetapan kegiatan yang akan didanai. 3. Tingkat kepercayaan pemberi dana terhadap pengelola dana akan lebih tinggi karena akuntabilitas dan transparansi pengelolaan program dan kegiatan melibatkan pihak selain pemerintah. Para wakil pemangku kepentingan diwakili dalam struktur berupa Majelis Wali Amanat, sehingga terlibat dalam penetapan arahan strategis dan operasionalisasi pendanaannya. Demikian juga adanya kewajiban pelaporan akan membuat seluruh organ kerja Trust Fund akan lebih transparan dan dapat meningkatkan kepercayaan donor pemberi hibah akan efektifitas serta efisiensi penggunaan dana yang diberikannya. 4. Terbukanya kesempatan untuk penggalangan sumber-sumber dana untuk melengkapi pendanaan dari pemerintah.
2.2 Badan Layanan Umum Terminologi Badan Layanan Umum (BLU) terdapat pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Menurut UU ini, BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Sepintas definisi tersebut mengindikasikan bahwa BLU sama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tapi sebenarnya terdapat perbedaan penting antara keduanya, yaitu kekayaan Negara dalam BUMN dipisahkan sementara kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU yang bersangkutan. Berkenaan dengan itu, rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah. Dengan ketentuan tersebut, maka pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan. Hal ini berbeda dengan BUMN dimana pembinaannya dilakukan oleh Kementerian BUMN. Selain dari pendapatan yang diperoleh dari hasil layanan penyediaan barang/jasa, BLU dapat juga memperoleh dana hibah dari masyarakat atau badan lain. Menariknya, pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum yang bersangkutan. Penggunaan langsung hasil pendapatan merupakan hal yang tidak diperbolehkan dalam pengelolaan keuangan Negara pada kondisi normal. Artinya, BLU merupakan desain kelembagaan khusus yang dibentuk oleh pemerintah. BLU merupakan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan sektor publik yaitu dengan mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) dimana pelayanan kepada masyarakat dikelola ala bisnis (business like) agar lebih efisien dan efektif. Dengan BLU, pengelola dapat mempekerjakan staf bukan hanya dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) tapi juga Non-PNS profesional sesuai kebutuhan. Peluang ini secara khusus disediakan bagi satuan-satuan kerja pemerintah yang melaksanakan tugas operasional pelayanan publik, seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, dan lisensi. Ketentuan tentang pengelolaan keuangan BLU diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Selain pemerintah pusat (kementerian/lembaga), pemerintah daerah juga dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU yang sering juga disebut BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Secara prinsip tidak ada perbedaan signifikan antara pengelolaan BLU dan BLUD. Namun untuk BLUD menggunakan acuan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Secara umum keuntungan pola pengelolaan keuangan BLU/BLUD adalah sebagai berikut: -
Pendapatan BLU/BLUD dapat langsung masuk ke rekening BLU/BLUD. Dalam mekanisme keuangan normal, semua pendapatan wajib melalui rekening kas umum Negara/daerah.
-
Pendapatan BLU/BLUD dapat digunakan langsung. Dalam mekanisme keuangan normal, pendapatan tidak boleh langsung digunakan melainkan harus melalui mekanisme APBN/APBD.
-
BLU/BLUD dapat membayar gaji non-PNS. Dalam mekanisme keuangan normal, dana APBN/APBD tidak bisa digunakan untuk membayar gaji non-PNS.
-
Penentuan tarif BLU/BLUD cukup dengan Surat Keputusan pimpinan kementerian/lembaga/SKPD. Dalam mekanisme keuangan normal, tarif pungutan daerah harus melalui Peraturan Daerah (Perda) yang memerlukan persetujuan DPRD.
Terdapat tiga jenis persyaratan penerapan BLU/BLUD, yaitu persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Persyaratan substantif terpenuhi apabila tugas dan fungsi SKPD atau Unit Kerja bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum yang menghasilkan semi barang/jasa publik (quasipublic goods) yang berhubungan dengan hal-hal berikut: a. b. c. d. e. f.
Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan kualitas. Kuantitas pelayanan masyarakat. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian. Masyarakat atau layanan umum. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi. Pelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis terpenuhi apabila: a. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU/BLUD b. Kinerja keuangan pengelola kawasan yang sehat. Sementara persyaratan administratif terpenuhi apabila unit pengelola membuat dan menyampaikan dokumen yang meliputi: a. Surat pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat. b. Pola tata kelola. c. Rencana strategis bisnis. d. Standar pelayanan minimal. e. Laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan. f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen. Saat ini kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem BLUD adalah KKPD Raja Ampat. Proses pembentukan BLUD Raja Ampat sendiri tidaklah mudah sebab sebelumnya belum ada kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem baru ini. Hampir semua BLUD yang dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk pengelolaan rumah sakit dan moda transportasi umum. Satu-satunya model yang paling mendekati adalah pengelolaan kawasan konservasi ex-site yaitu Kebun Binatang Ragunan. Pengelolaan kawasan konservasi ex-situ seperti Kebun Binatang Ragunan dan kawasan in-situ sebenarnya sangat jauh berbeda sebab yang pertama relatif terisolir dan tidak melibatkan masyarakat
luas sementara yang kedua lebih terbuka dan melibatkan begitu banyak stakeholder. Namun demikian, tetap ada pembelajaran yang bisa diperoleh dari pengelolaan ala BLUD Kebun Raya Ragunan. Bupati Kabupaten Raja Ampat telah mengeluarkan keputusan Bupati Nomor 61 Tahun 2014 tentang Penetapan Unit Pelaksana Teknis Daerah KKPD pada Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat Sebagai Unit Kerja Yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Keputusan Bupati tersebut ditandatangani tanggal 28 Maret 2014. Namun demikian masih ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu dipersiapkan, seperti pengembangan struktur organisasi pengelola, Standard Operating Procedures (SOPs), alokasi dana hasil tiket masuk kawasan, peningkatan kapasitas pengelola BLUD, dan sebagainya. Pekerjaan rumah tersebut saat ini masih dalam proses dan sudah menunjukan kemajuan yang cukup berarti.
2.3 Yayasan Yayasan merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang sifatnya diluar sistem kelembagaan dan sistem keuangan pemerintah. Yayasan merupakan opsi bagi kawasan yang belum dikelola dengan model BLU/BLUD sehingga mengalami kesulitan untuk mengelola dana non-APBN/APBD. Hal ini disebabkan oleh sistem keuangan pemerintah yang belum memberikan fleksibilitas bagi instansi pemerintah untuk mengelola dana yang berasal dari sumber pendanaan lain. Yayasan juga bisa menjadi pilihan bagi daerah yang ingin mengembangkan Trust Fund sebab Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Wali Amanat hanya memberi mandat bagi pemerintah pusat untuk membentuk Trust Fund. Dengan kata lain, pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) tidak memiliki payung hukum untuk membentuk kelembagaan Trust Fund ini. Yayasan dapat mengelola dana abadi (endowment fund) yang berasal dari donor, baik donor lembaga maupun donor individu. Hasil investasi dari dana abadi inilah yang kemudian digunakan untuk mendukung upaya pengelolaan kawasan. Jika pengelola kawasan yang notabene adalah instansi pemerintah mengalami kesulitan mengelola dana dari Yayasan ini, maka yayasan dapat memberikannya kepada mitra pengelola seperti LSM, kelompok masyarakat, dan pihak lainnya dengan catatan bahwa pengelola kawasan memberikan persetujuan atas dukungan pendanaan ini. Karena itu, diperlukan semacam Memorandum of Understanding (MoU) antara pengelola kawasan dan Yayasan untuk memastikan bahwa dana yang akan diberikan kepada mitra harus sesuai dengan rencana pengelolaan kawasan dan mendapat persetujuan dari pengelola. Dasar hukum pembentukan Yayasan adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan. Menurut Undang-Undang ini yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Ketiga bidang tersebut menunjukan bahwa Yayasan bukan organisasi profit yang mencari keuntungan meskipun dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Hal yang membedakan Yayasan dengan organisasi profit adalah Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas. Pembina, Pengurus, dan Pengawas adalah organ Yayasan yang harus ada dalam pembentukan Yayasan. Pembina memiliki kewenangan yang meliputi keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar, pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas, penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan Anggaran Dasar Yayasan, pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan, dan penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan. Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Artinya, pengelolaan harian (day to day management) Yayasan dilakukan oleh Pengurus Yayasan. Sementara Pengawas adalah organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada Pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Perlu dicatat bahwa anggota Pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas, demikian pula sebaliknya.
Salah satu contoh Yayasan yang mengelola endowment fund di Indonesia adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI). Yayasan ini mendapat dana dari pemerintah Amerika pada tahun 1995 sebesar $ 19 juta untuk kemudian diinvestikan di beberapa portofolio investasi. Hasil dari investasi tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan konservasi di Indonesia. Organisasi Yayasan KEHATI mengikuti Undang-Undang Yayasan yaitu terdiri dari Pembina (Governing Board), Pengurus (Executive Board), dan Pengawas (Supervisory Board), dan unit lainnya sebagaimana ditunjukan pada bagan berikut: Pembina Governing Board Pengawas Supervisory Board Pengurus Executive Board Internal Control Unit
Grantmaking Committee Investment Committee Resource Development Committee
Executive Director Special Program MFP II TFCA Sumatra
Directorate Conservation and Sustainable of Biodiversity
Policy/Planning, Monev Unit Executive Secretary
Directorate Communication and Resourcse Development
Directorate Finance and Administration
Bab 3. Alternatif Sumber Pendanaan Sumber utama pendanaan dalam pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan saat ini adalah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini terjadi karena semua Kawasan Konservasi Peraiarn di Indonesia dikelola oleh pemerintah. Pada kenyataannya, jumlah alokasi anggaran pemerintah relatif masih sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan pengelolaan. Seperti disebutkan sebelumnya, ketersediaan anggaran dari APBN, APBD, dan LSM sebagai pelaksana program donor hanya sekitar 75 milyar rupiah per tahun sementara kebutuhan pengelolaan kawasan mencapai 225 milyar rupiah per tahun. Terdapat kekurangan anggaran sebesar 150 milyar per tahunnya. Dengan kondisi tersebut dibutuhkan sumber pendanaan lain untuk menutupi biaya pengelolaan kawasan. Beberapa potensi sumber pendanaan dapat berasal dari program lembaga donor, Corporate Social Responsibility (CSR) termasuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) BUMN, Pengalihan Utang untuk Lingkungan (Debt-for-Nature Swaps), Pasar Karbon (Carbon Market), Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Ecological Services), Biodiversity Offse, Denda Kerusakan Lingkungan, dan Dana Abadi (Endowment Fund). Uraian tentang potensi sumber pendanaan tersebut adalah sebagai berikut:
3.1 Lembaga Donor Lembaga donor yang membiayai kegiatan lingkungan umumnya dibagi kedalam 3 kelompok besar, yaitu yayasan swasta, lembaga multilateral, dan lembaga bilateral. Yayasan swasta yang dimaksud adalah yayasan (foundation) yang dimiliki oleh korporasi atau pemilik korporasi yang didirikan khusus untuk memberikan bantuan pendanaan dalam bidang pembangunan tertentu, termasuk bidang lingkungan. Beberapa yayasan swasta yang bekerja di Indonesia diantaranya adalah Ford Foundation, Packard Foundation, Walton Foundation, McArthur Foundation, Cargill Foundation, Toyota Foundation, Gates Foundation, dan lain-lain. Donor multilateral umumnya membiayai program pembangunan dengan cakupan geografis yang luas atau merefleksikan prioritas beberapa negara. Selain memberikan hibah, beberapa lembaga donor multilateral, seperti bank pembangunan regional, juga memberikan pinjaman kepada pemerintah. Beberapa lembaga donor kadang melakukan kolaborasi (membentuk konsorsium) untuk membiayai program konservasi dan mengkombinasikan antara pinjaman dan hibah. Program COREMAP, misalnya, dibiayai oleh World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Global Environment Facility (GEF). World Bank dan ADB memberi dukungan pembiayaan konservasi dalam bentuk pinjaman masing-masing untuk wilayah timur dan barat, sementara GEF memberikan dukungan pembiayaan dalam bentuk hibah. Lembaga donor multilateral biasanya memiliki mekanisme atau prosedur yang rumit, memakan banyak waktu, sangat birokratis, dan persyaratan yang ketat. Beberapa contoh lembaga donor multilateral adalah Global Environment Facility (GEF), World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan beberapa lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti United Nations Development Programme (UNDP) dan United Nations Environment Programme (UNEP). Lembaga donor bilateral berasal dari negara-negara maju yang menyediakan bantuan langsung kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, melalui kedutaan besar masing-masing negara. Beberapa lembaga donor bilateral yang telah lama bekerja di Indonesia adalah USAID dari pemerintah
Amerika, Australian AID (sebelumnya AUSAID) dari pemerintah Australia, GIZ dari pemerintah Jerman, JICA dari pemerintah Jepang, DANIDA dari pemerintah Denmark, dan CIDA dari pemerintah Kanada. Setiap negara atau lembaga donor bilateral memiliki prioritas program yang berbeda-beda dan secara umum mencakup bidang kesehatan, pendidikan, penanggulangan bencana, dan lingkungan. Selain prioritas program, donor bilateral juga memiliki prioritas wilayah kerja. Lembaga-lembaga donor yang bekerja di Indonesia, baik multilateral maupun bilateral, telah menandatangani Jakarta Commitment pada tahun 2009 yaitu kesepakatan bersama antara pemerintah Indonesia dan lembaga donor untuk meningkatkan efektifitas pinjaman/hibah luar negeri menuju tercapainya efektifitas pembangunan nasional. Langkah ini merupakan tindak lanjut beberapa kesepakatan internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia, seperti Paris Declaration tentang efektivitas bantuan tahun 2005, Accra Agenda for Action tahun 2008, dan Doha Conference: Review on Financing for Development tahun 2008. Setelah Komitmen Jakarta ditandatangani pada 12 Januari 2009, Pemerintah membentuk Sekretariat Aid for Development Effectiveness (A4DES) sebagai komponen untuk melaksanakan Komitmen Jakarta. A4DES mengelola "pooled resources facility" yang disediakan oleh Pemerintah dan Mitra Pembangunan di bawah pimpinan langsung Deputi Menteri bidang Pendanaan Pembangunan, BAPPENAS. A4DES dipimpin oleh Tim Pengarah/Steering Committee (SC) yang terdiri dari pejabat eselon I dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kordinator Perekonomian, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan Sekretariat Negara. Tim ini bertanggung jawab atas pencapaian sasaran kegiatan A4DES dan pengelolaan sumberdaya yang ada secara efektif dan bertanggung-jawab. Sekretariat A4DES memberikan dukungan, fasilitas, dan pemantauan dalam pelaksanaan matriks aksi peta jalan (roadmap) Komitmen Jakarta. A4DES juga memfasilitasi pengembangan kapasitas para pejabat Pemerintah yang berpartisipasi dalam pelaksanaan roadmap, memberikan usulan kebijakan kepada Pemerintah tentang isu efektivitas bantuan luar negeri, serta dukungan teknis kepada unit pemerintah yang melaksanakan elemen lain di luar roadmap. Di samping itu, A4DES juga mengupayakan dan memfasilitasi perluasan dialog dan kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dan mitra pembangunan. Jakarta Commitment pada intinya mendorong peran aktif pemerintah dalam mengelola dan mengkoordinasikan bantuan luar negeri pada berbagai sektor. Menurut Sekretariat A4DES (2010), komitmen ini juga menjabarkan standar baru bantuan kerjasama pembangunan dan mensyaratkan enam hal berikut ini: 1. Kepemilikan nasional yang lebih kuat dalam mendefinisikan arsitektur dan proses bantuan. Dalam hal ini harus terlihat bahwa pengelolaan kerjasama pembangunan yang lebih efektif dan efisien, dan prosesnya tidak perlu bersifat donor-driven lagi. Pemerintah Indonesia sudah harus menerapkan sikap kepemilikan yang lebih kuat. Dengan demikian hibah luar negeri akan berjalan lebih selaras. 2. Pergeseran hubungan donor-penerima menjadi paradigma kemitraan yang sederajat dan inovatif. Ini dapat menciptakan harmonisasi yang lebih baik, tidak hanya dalam bantuan teknis dan keuangan semata-mata namun juga dalam aspek lainnya. Upaya melakukan exit strategy sebagai bagian dari keberlanjutan program, apabila bantuan bantuan teknis dan keuangan berakhir, perlu untuk
3.
4.
5.
6.
diperhatikan. Maka dari itu, sikap sederajat seperti ini yang dapat menjadi bekal bagi Kementerian/Lembaga dalam mengedepankan paradigma tersebut. Beranjak dari bantuan keuangan menuju bantuan yang lebih strategis dan berperan sebagai katalis. Ini akan menghasilkan dampak bantuan yang maksimal dan efektif karena seluruh stakeholder akan terkonsentrasi pada output yang diharapkan. Hal ini akan sejalan dengan inisiatif yang sudah digariskan oleh Pemerintah Indonesia. Peralihan dari bantuan berdasarkan proyek menjadi bantuan dengan pendekatan program. Dengan pendekatan ini maka level of acceptance bagi mitra lokal akan menjadi tinggi. Disamping itu akan tercipta juga tingkat pencapaian hasil yang lebih baik. Lebih fokus pada pengembangan kapasitas dan berorientasi pada hasil yang melekat pada programprogram nasional. Pengembangan kapasitas ini juga ditekankan pada kapabilitas dari personal dan kekuatan programnya. Dengan demikian hasilnya akan dapat ditindak lanjuti dan terintegrasi. Peningkatan akuntabilitas dan keselarasan antara Pemerintah Indonesia dan development partner. Penekanan dalam konteks ini adalah agar kedua belah pihak akan menarik manfaat yang lebih harmonis satu dengan yang lain.
Setiap lembaga donor, baik yayasan swasta, lembaga multilateral, maupun lembaga bilateral, memiliki prosedur dan persyaratan yang berbeda-beda. Informasi detail tentang prosedur dan persyaratan setiap donor dapat dilihat melalui website masing-masing lembaga ataupun melalui publikasi lainnya. Namun secara umum, terdapat beberapa tahapan utama dari proses persetujuan usulan pendanaan seperti yang dirangkum oleh Brown dan Dunais (2005) sebagai berikut: 1. Tahap Pra-pendanaan. Dalam tahap ini diperlukan penilaian dan pembahasan awal terhadap lembaga donor. Lembaga donor umumnya mempublikasikan kriteria persyaratan dan evaluasi, serta tenggat waktu pengajuan usulan. 2. Tahap Pengembangan Konsep. Pada tahap ini lembaga donor mungkin akan melakukan peninjauan gagasan yang diusulkan oleh calon penerima potensial. Beberapa lembaga donor menyediakn bantuan teknis atau dana perencanaan dalam fase ini, khususnya untuk mitra yang telah mapan. 3. Tahap Usulan Proyek. Dalam tahap ini dilakukan pengajuan proposal secara resmi untuk dilakukan peninjauan kembali. Kemungkinan akan banyak dilakukan pembahasan terhadap berbagai hal dalam fase ini, khususnya pada saat mulai bergerak dari proses usulan ke proses perencanaan kerja. 4. Tahap Pengesahan Formal dan Implementasi. Setelah disetujui, berbagai aspirasi dari penerima dana maupun lembaga donor dituangkan dalam dokumen resmi, yang antara lain memuat kesepakatan anggaran, hasil-hasil yang diharapkan, dan tanggungjawab staf. 5. Tahap Pemantauan dan Evaluasi. Selama fase implementasi berlangsung, lembaga donor akan melakukan pemantauan terhadap kegiatan, prosedur, dan hasil-hasil kegiatan. Proses ini dapat meliputi kunjungan tidak resmi ke lokasi, self-evaluation, pemeriksaan formal, dan evaluasi eksternal. Brown dan Dunais (2005) juga merangkum persyaratan umum lembaga donor dalam pemberian dana, meskipun perlu ditekankan sekali lagi bahwa setiap lembaga donor memiliki persyaratan yang berbeda satu sama lain. Rangkuman persyaratan umum tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian Kontribusi. Persyaratan ini berarti penerima dana diharuskan untuk menyediakan sebagian dari sumberdaya yang diperlukan untuk implementasi proyek. Kontribusi dapat berupa ‘non-finansial’ seperti tenaga relawan, material, atau ruang perkantoran. Bisa juga dalam bentuk kerjasama pendanaan dengan sumber-sumber lain. Semakin besar dana yang diusulkan, semakin besar kemungkinan kesesuaian kontribusi yang dipersyaratkan. 2. Persyaratan Kinerja. Lembaga donor dapat menetapkan persyaratan agar penerima dana melakukan sertifikasi sistem keuangannya, atau melaksanakan pelatihan tertentu untuk meningkatkan ketrampilan di bidang manajemen, fasilitasi, dan sebagainya. Beberapa persyaratan tersebut dapat terkait dengan peningkatan kapasitas manajemen organisasi dan sebagian lagi untuk memenuhi peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah negara setempat. 3. Staf. Lembaga donor dapat menetapkan persyaratan agar penugasan staf tertentu di dalam proyek yang didukung pendanaannnya dilakukan atas persetujuannya. Jika lembaga donor memiliki banyak sumberdaya keahlian yang dapat disumbangkan atau jaringan mitra aktif, lembaga donor dapat meminta lembaga penerima dana untuk menjalin kerjasama dengan individu atau mitra tertentu. 4. Pelaporan dan Evaluasi. Lembaga donor biasanya akan meminta laporan kemajuan proyek, laporan keuangan, dan laporan akhir. Laporan-laporan ini digunakan untuk mengetahui proses proyek dan kinerja penerima dana. Lembaga donor juga dapat menentukan persyaratan bagi monitoring dan evaluasi proyek, khususnya untuk dana bantuan jangka panjang.
3.2 Tanggungjawan Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility) Ada beragam definisi tentang Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial korporasi, salah satunya dikembangkan oleh World Business Council for Sustainable Development (WBCSD). Menurut organisasi bisnis ini, CSR adalah komitmen berkelanjutan dari bisnis untuk berperilaku etis dan berkontribusi bagi pembangunan ekonomi, sekaligus meningkatkan kualitas hidup karyawannya beserta keluarga, serta masyarakat lokal ataupun masyarakat luas. Definisi ini memberikan arah baru dalam pengelolaan perusahaan yaitu bukan hanya berkontribusi ke shareholder (pemegang saham) tapi lebih luas lagi ke stakeholder, termasuk dalam hal ini masyarakat lokal dimana lokasi bisnis beroperasi. Komisi Eropa (European Comission) memberikan definisi yang cukup sederhana tentang CSR, yaitu tanggungjawab perusahaan terhadap dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat. Namun demikian, Komisi ini memberikan penjelasan lanjutan bahwa untuk memenuhi CSR, perusahaan harus mampu mengintegrasikan urusan sosial, lingkungan, etika, hak asasi manusia, dan pelanggan ke dalam operasi bisnis dan strategi inti melalui kolaborasi yang erat dengan stakeholder. Dengan demikian, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line yaitu kondisi finansial saja, tapi harus berpijak pada triple bottom lines, yaitu finansial, sosial, dan lingkungan yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan 3P, yaitu Profit, People, dan Planet. Menurut sejarahnya, gagasan CSR berkembang pesat setelah adanya keprihatinan terhadap perilaku korporasi yang lazim mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis, dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi demi memaksimalkan laba. kampanye dalam skala global melawan perilaku buruk tersebut pada gilirannya menjatuhkan reputasi perusahanperusahaan ini, termasuk korporasi transnasional. Dengan latar belakang tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa program CSR pada dasarnya harus dilakukan untuk kepentingan keberlanjutan bisnis perusahaan. Setidaknya terdapat beberapa manfaat bagi perusahaan yang menjalankan program CSR, yaitu mendapat citra positif dari masyarakat, lebih mudah memperoleh akses terhadap modal, dapat mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas, dan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal kritis serta mempermudah pengelolaan resiko. Pelaksanaan CSR di dunia juga diakselerasi oleh beberapa kesepakatan internasional, seperti Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro-Brasil tahun 1992, Pertemuan Yohannesburg tahun 2002, dan pertemuan UN Global Compact di Jenewa-Swiss tahun 2007. Earth Summit menyepakati paradigma baru pembangunan yang dikenal dengan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dimana pembangunan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan, tidak boleh mengorbankan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pertemuan Yohannesburg memunculkan konsep tanggungjawan sosial, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu keberlanjutan ekonomi dan lingkungan. Sementara pertemuan UN Global Compact secara gamblang meminta perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan Corporate Social Responsibility. Dalam perkembangannya, perhatian pelanggan perusahaan-perusahaan dunia terhadap isu sosial dan lingkungan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Kombinasi antar berbagai akselarator tersebut pada gilirannya mempengaruhi paradigma berpikir para pemilik dan pengelola korporasi untuk
mengintegrasikan isu sosial dan lingkungan tersebut ke dalam operasi bisnis mereka. Dengan kondisi ini, the International Organization for Standardization (ISO) atau organisasi internasional untuk standarisasi berinisiatif membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun sektor swasta baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan ISO 26000 ini akan memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang saat ini dengan cara: 1) mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan isunya; 2) menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatan-kegiatan yang efektif; dan 3) memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk kebaikan komunitas atau masyarakat internasional (Daniri, 2008). Namun perlu digarisbawahi bahwa ISO 26000 bukan merupakan standar untuk sertifikasi yang memuat persyaratan yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan/organisasi, melainkan lebih kepada penyediaan panduan teknis bagi perusahaan/organisasi dalam menerapkan social responsibility. Selain ISO 26000, terdapat beberapa standard CSR yang bisa diterapkan oleh perusahan seperti AccountAbility’s (AA1000) standard, Global Reporting Initiative’s (GRI), Social Accountability International’s SA8000 standard, dan ISO 14000 Environmental Management Standard. Untuk lembaga perbankan dan keuangan dunia umumnya menerapkan the Equator Principles yang merupakan prinsip pendanaan dan manajemen risiko proyek yang mendorong (atau setidaknya tidak mengganggu) kemakmuran ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, dan keadilan sosial. Prinsip-prinsip ini terutama diterapkan pada jenis pendanaan proyek-proyek yang besar, kompleks, dan mahal seperti penghasil daya, pertambangan, infrastruktur transportasi, dan pengelolaan wilayah. Tren global lainnya dalam pelaksanaan CSR di bidang pasar modal adalah penerapan indeks yang memasukkan kategori saham-saham perusahaan yang telah mempraktikkan CSR. Sebagai contoh, New York Stock Exchange memiliki Dow Jones Sustainability Index (DJSI) bagi saham-saham perusahaan yang dikategorikan memiliki nilai corporate sustainability dengan salah satu kriterianya adalah praktik CSR. Begitu pula London Stock Exchange yang memiliki Socially Responsible Investment (SRI) Index dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) yang memiliki FTSE4Good sejak 2001. Inisiatif ini mulai diikuti oleh otoritas bursa saham di Asia, seperti di Hanseng Stock Exchange dan Singapore Stock Exchange. Konsekuensi dari adanya indeks-indeks tersebut memacu investor global seperti perusahaan dana pensiun dan asuransi yang hanya akan menanamkan dananya di perusahaan-perusahaan yang sudah masuk dalam indeks ini (Daniri, 2008).
Kotak 2. Aqua Benahi Hutan Mangrove Pemerintah Kabupaten Pasuruan dan Aqua Danone menggulirkan dana sebesar Rp3 miliar untuk membenahi hutan mangrove. Penataan itu diharapkan mampu membuat hutan mangrove daerah ini menjadi kawasan konservasi, wisata, dan pengembangan ilmu pengetahuan. "Dana itu diharapkan mampu membenahi hutan mangrove di Pasuruan dan sekitarnya. Banyak peneliti datang ke Pasuruan untuk meneliti mangrove," ujar Wakil Bupati Pasuruan Eddy Paripurna. Salah satu langkah awal yang dilakukan ialah menggelar Festival Mangrove 2010 dan gelar budaya dan usaha kecil mandiri di Nguling, Pasuruan. Direktur Utama PT Aqua Golden Mississipi Parmaning-sih Hadinegoro mengatakanfestival mangrove adalah sarana pembelajaran dan penyadaran bagi masyarakat bahwa penanaman dan pemeliharaan pohon mangrove sangat penting. "Ini bisa jadi embrio wisata mangrove di pesisir Pasuruan, yang ada di sekitar Pantai Nguling." Program untuk Pasuruan bukan untuk pertama kalinya. Beberapa tahun silam, Danone Aqua telah memulai dengan melakukan penanaman pohon mangrove di pantai. Hingga saat ini, jumlah pohon yang sudah ditanam sekitar 10.000 dan sampai 2012 ditargetkan bakal mencapai 180.000 pohon. Manajer CSR PT Tirta Investama Arifatullah mengatakan festival mangrove diharapkan bisa menjadi cikal bakal terbentuknya kampung wisata budaya mangrove. Sumber: Media Indonesia
Di Indonesia, CSR merupakan kewajiban sebagimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan terbatas. Menurut Undang-Undang Penanaman Modal, setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan yaitu tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, noma, dan budaya masyarakat setempat. Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas hanya memberi kewajiban CSR pada Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Terminologi yang digunakan oleh Undang-Undang ini adalah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang didefinisikan sebagai komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Ketentuan tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan dalam Undang-Undang Perseroran Terbatas ini dimaksudkan untuk mendukung terjalinnya hubungan Perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat, maka ditentukan bahwa Perseroan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Untuk melaksanakan kewajiban Perseroan tersebut, kegiatan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan harus dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kegiatan tersebut dimuat dalam laporan tahunan Perseroan. Dalam hal Perseroan tidak melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan maka Perseroan yang bersangkutan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang lain yang terkait dengan CSR di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Undang-Undang ini memang tidak secara spesifik menggunakan istilah tanggungjawab sosial perusahaan, namun dalam ketentuannya mewajibkan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk menyusun rencana dan melaksanakan program
pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat yang dimaksud adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. Terdapat juga ketentuan khusus bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melaksanakan CSR melalui Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Peraturan Menteri (Permen) Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/Mbu/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan. Permen ini mewajibkan BUMN (Perusahan Umum dan Persero) untuk melaksanakan PKBL. Peraturan Menteri BUMN ini bahkan menyebutkan bahwa BUMN harus mengalokasikan dana untuk PKBL sebesar maksimal 2% dari laba perusahaan setelah pajak.
3.3 Pengalihan Utang Untuk Lingkungan (Debt-for-Nature Swaps) Konversi utang atau debt conversion secara umum dapat dipahami sebagai pertukaran utang dengan ekuitas atau dana dalam mata uang lokal untuk pembiayaan suatu proyek atau program (OECD, 2000). Berdasarkan peruntukannya, skema debt conversion dibedakan menjadi debt for equity dan debt for development swap. Debt for equity adalah skema yang lebih diarahkan untuk mendukung program privatisasi dan investasi bagi perusahaan-perusahaan milik negara yang dikaitkan dengan upaya pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sementara debt for development swap diarahkan sebagai upaya untuk membantu negara-negara debitor dalam mencapai sasaran-sasaran jangka panjang pada bidang-bidang yang lazimnya mengalami kesulitan pendanaan akibat tekanan-tekanan atau kesulitan keuangan jangka pendek. Debt-for-Nature Swaps (DNS) adalah salah satu skema dari debt for development swap, selain Debt for Poverty Swap, Debt for Education Swap (Mukherjee, 1992). Dalam sejarahnya, skema Debt-For-Nature Swaps mulai berkembang pada awal dasawarsa 1982 ketika terjadi krisis utang yang dialami negaranegara di kawasan Amerika Latin. Pada waktu itu kaum environmentalist/conservationist gencar mempromosikan skema ini. Argumen yang mereka kemukakan adalah bahwa upaya negara-negara tersebut mengakumulasi devisa dalam rangka pembayaran utang luar negeri (debt service) telah menyebabkan kerusakan dan penurunan daya dukung lingkungan dan sumber daya alam, terlebih bagi negara-negara yang mengandalkan ekspornya pada produk-produk primer (Occhiolini, 1990). Thomas Lovejoy, salah seorang environmentalist/conservationist, menulis artikel di New York Time pada tahun 1984 bahwa krisis utang di negara-negara Amerika Latin merupakan katalis dalam pengembangan konsep Debt-for-Nature Swaps. Dia kemudian mendorong kelompok konservasi untuk memanfaatkan mekanisme ini. Pada tahun 1987, Conservation International (CI) dan pemerintah Bolivia menandatangani kesepakatan Debt-For-Nature Swaps pertama di dunia, yaitu penghapusan utang luar negeri Bolivia sebesar $650.000 yang ditukar dengan program perlindungan Kawasan Biosfir Beni senilai $100.000 pada mata uang lokal. Dengan kata lain, terdapat diskon utang pemerintah Bolivia yang cukup signifikan yaitu sebesar hampir 85%. Sebagai tambahan, pemerintah Bolivia membentuk dana abadi (endowment fund) senilai $250.000 pada mata uang lokal untuk menangani biaya operasional pengelolaan Kawasan Biosfir Beni. Dalam kesepakatan ini, pemerintah Bolivia bekerjasama dengan NGO lokal melindungi sekitar 2 juta hektar hutan dan padang rumput di Taman Biosfir Beni yang berlokasi di lembah sungai Hutan Hujan Amazon dengan perlindungan maksimum. Pertukaran ini juga menciptakan tiga kawasan perlindungan yang berdekatan sebagai kawasan penyangga (buffer zone). Kesepakatan ini membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 8 bulan yang disebabkan sebagian oleh lemahnya partisipasi terbuka dari organisasi-organisasi di Bolivia dan sebagian lagi karena kesalahpahaman tentang mekanisme kerja DNS. Sebagi contoh kesalahpahaman adalah banyak masyarakat Bolivia berpandangan bahwa lahan-lahan lokasi program konservasi ini akan dialihkan kepemilikannya kepada CI. CI sendiri berperan sebagai penasehat resmi pemerintah Bolivia dalam merancang dan merencanakan Kawasan Biosfir Beni, serta bekerjasama dengan pengelola kawasan. Pada tahapan berikutnya CI bertanggungjawab dalam menyediakan dukungan teknis, keuangan, sains, dan pengelolaan kawasan. Dalam hal ini termasuk berperan dalam penyediaan dana awal (start-up funding), pengembangan
kelembagaan, pelatihan, dan melakukan koordinasi dengan lembaga internasional lainnya dalam pengelolaan kawasan Biosfir ini. Kotak 3. Pengalaman Beberapa Negara Menerapkan Skema DNS 1.
Conservation International (CI) membeli utang pemerintah Bolivia sebesar $ 650.000 dengan harga yang disetujui sebesar $ 100.000. Sebagai gantinya pemerintah Bolivia menetapkan tiga kawasan konservasi untuk dikelola dan menyuntik dana lokal sebesar $ 250.000.
1.
Dari utang sebesar $ 50 juta, pemerintah Ghana, di Afrika berhasil berunding untuk mengalihkan sebagian utang yang dialihkan kepada lembaga-lembaga nirlaba dalam kegiatan kesehatan, pendidikan dan pengentasan kemiskinan.
2.
Pemerintah Filipina juga berhasil mengkonversi utang bilateral Perancis, Jerman dan Swiss serta utang komersial untuk DNS pada tahun 1986 – 1996 sehingga rasio utang dan kemampuan pembayaran utang menjadi lebih baik.
3.
Di Peru, tiga lembaga internasional CI, TNC dan WWF masing-masing menyumbang $370.000 sehingga diperoleh dana total $1.100.000 sebagai jaminan untuk pelaksanaan kegiatan konservasi. Pemerintah AS menyediakan $5,5 juta untuk mengurangi sebagian utang Peru ke AS. Dengan perjanjian ini Peru menghemat utang sebesar $14 juta dengan menyediakan dana lokal senilai $10.6 juta untuk pelaksanaan konservasi selama 12 tahun dari jadwal pembayaran utang selama 16 tahun ke depan. Dengan cara ini sebagian beban utang pemerintah diganti dengan komitmen untuk konservasi. Pemerintah menyediakan sebagian dana dalam bentuk uang lokal yang akan disalurkan kepada lembaga-lembaga konservasi lokal.
Sumber: CIFOR (2003)
Tahapan pelaksanaan DNS pada kasus Bolivia adalah tipe Three-party DNS yang melibatkan pihak ketiga, dalam hal ini organisasi lingkungan seperti CI, TNC, dan WWF. Dalam Three-party DNS, organisasi lingkungan berperan sebagai donor yang membeli utang dari komersial bank di pasar sekunder. Organisasi lingkungan ini kemudian mentransfer utang ke negara yang berutang (debitor) dan sebagai gantinya negara debitor tersebut setuju untuk melakukan kebijakan lingkungan atau menempatkan dana abadi (endowment fund) untuk tujuan program konservasi. Secara total tercatat three-party DNS telah mengumpulkan hampir $140 juta untuk dana konservasi dalam kurun waktu 1987-2010 (Sheikh, 2010). Mekanisme kerja Three-party DNS dalam kasus Bolivia digambarkan pada bagan berikut: Lembaga Kreditor
USD 650.000
Organisasi Lingkungan
USD 100.000 Debitor Pemerintah
Trust Fund Endowment Fund dalam mata uang lokal setara dengan USD 250.000 Program Konservasi Lingkungan
Tipe lainnya adalah Bilateral DNS yang hanya melibatkan dua pemerintahan. Dalam bilateral DNS, negara pemberi utang (kreditor) menghapuskan sebagian hutang pemerintah negara yang berutang (debitor) dan sebagai gantinya negara debitor memberikan komitmen terhadap penyelamatan lingkungan. Sebagai contoh, pemerintah Amerika menghapus sebagian utang pemerintah Jamaika dan memperkenankan pembayaran utang melalui dana nasional untuk membiayai konservasi lingkungan. Selain itu, dana ini juga digunakan untuk mendirikan Yayasan Lingkungan Jamaika tahun 1993. Terdapat juga tipe Multilateral DNS yang sebenarnya mirip dengan Bilateral DNS tapi melibatkan lebih dari dua pemerintahan. Tercatat Bilateral dan Multilateral DNS telah menghasilkan hampir $900 juta bagi dana konservasi selama tahun 1987-2010 (Sheikh, 2010). Mekanisme kerja Bilateral DNS digambarkan pada bagan berikut: Kreditor Pemerintah
USD 500.000 USD 250.000
Program Konservasi Lingkungan
Debitor Pemerintah Alokasi pembiayaan dalam mata uang lokal yang jumlahnya setara dengan USD 250.000
Di Indonesia, penerapan DNS telah diamanatkan oleh Tap MPR RI No. X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001. Tap MPR ini menugaskan kepada Presiden sebagai berikut: “Hutang Luar Negeri Indonesia wajib dibayar tetapi Pemerintah perlu mengupayakan program restrujturisasi hutang luar negeri baik melalui penjadwalan hutang (pokok dan bunga), penukaran hutang yang relatif mahal dengan hutang yang sangat lunak (IDA/International Development Agency), program debt to poverty swap maupun debt to nature swap dalam rangka mengurangi beban APBN”. Salah satu implementasi DNS di Indonesia adalah Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA-Sumatera) atau disebut juga Aksi Nyata Konservasi Hutan Tropis Sumatera. Program ini adalah sebuah skema pengalihan utang untuk lingkungan (Debt-For-Nature Swaps) yang dibuat oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia yang ditujukan untuk melestarikan kawasan hutan tropis di Sumatera yang tingkat deforestasinya sangat tinggi. Kesepakatan antara kedua negara dan para pihak yang terlibat (Yayasan KEHATI dan Conservation International Indonesia) ditandatangani pada tanggal 30 Juni 2009 bertempat di Manggala Wanabhakti, Jakarta. Pemerintah Amerika Serikat sepakat untuk menghapus hutang luar negeri Indonesia, sebesar hampir 20 juta dolar AS selama 8 tahun. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menyalurkan dana pembayaran hutangnya bukan ke Pemerintah Amerika Serikat namun dialihkan untuk mendukung penyediaan dana hibah bagi perlindungan dan pebaikan hutan tropis Indonesia. Kesepakatan yang merupakan pengalihan hutang (debt-swap) ini terlaksana dengan melibatkan dua Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai mitra pelaksana kegiatan (swap partner) yaitu Conservation International dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) yang masing-masing berkontribusi sebesar $1 juta sehingga program ini juga
disebut Subsidized Debt-For-Nature Swaps. Ini merupakan skema yang pertama kalinya dilakukan di Indonesia dan merupakan pengalihan hutang lingkungan dalam jumlah terbesar yang dibuat Amerika Serikat dengan negara-negara lainnya. Program ini dikelola oleh suatu badan yang bernama Oversight Committee (OC) dengan anggota tetap terdiri dari Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Kehutanan, Pemerintah Amerika Serikat yang diwakili oleh USAID dan wakil-wakil dari swap partners yaitu CI dan KEHATI. Dalam pelaksanaannya, untuk memberikan keputusan-keputusan yang lebih transparan dan akurat maka keanggotaan OC ditambah dengan tiga anggota tidak tetap (designated member) dari lembaga-lembaga independen dengan masa jabatan 3 tahun. Sejak akhir tahun 2009 hingga 2012 perwakilan anggota OC tidak tetap telah ditunjuk dari lembaga-lembaga Transparency International Indonesia, Indonesia Business Link, dan Univerversitas Syiah Kuala. Oversight Committee memegang kewenangan tertinggi dalam pengelolaan dana hibah yang dalam pelaksanaan hariannya dibantu oleh Administrator dan merangkap sebagai Sekretariat OC (KEHATI). Selain program DNS dengan pemerintah Amerika melalui skema TFCA diatas, beberapa program debt swap lainnya disajikan pada tabel berikt ini: Country Germany
Debt Swap/Project Name Debt Swap I - for Elementary Education Debt Swap II - for Junior Secondary Education
Amount
Commitment
Realization
EUR 12.782.297,03 EUR 25,564,594.06 Telah dihapuskan sebesar EUR 25,564,594.06 (Selesai) EUR 11.500.000,00 EUR 23,000,000.00 Telah dihapus sebesar EUR 23,000,000.00 (Selesai)
Debt Swap III EUR 6,250,000.00 EUR 12,500,000.00 Proses review audit report oleh KfW Strengthening the Development of National Parks in Fragile Ecosystems Debt Swap IV for Education EUR 10,000,000 EUR 20,000,000.00 Telah dihapuskan EUR 20,000,000.00 –school Reconstruction and (Selesai) Rehabilitation in Earthquake Area in Yogyakarta and Central Java Debt Swap V through EUR 25,000,000.00 EUR 50,000,000.00 Telah dihapuskan sebesar EUR 40 juta atas Global Fund to Fight AIDS, realisasi tahun 2008 dan 2009, 2010, dan Tubercolosis and Malaria 2011 (GFATM) Debt Swap VI-Climate EUR 20,000,000.00 EUR 20,000,000.00 Dalam proses persiapan. Change (Indikasi) (Indikasi)
Australia
Italia
Debt Swap VII-(IndonesianEUR 9,384,468.12 EUR 18,768,936.24 Telah ditandatangani pada tanggal 15 German Scholarship Desember 2011, dalam proses Program) pelaksanaan kegiatan. Debt2Health Australia AUD 37,500,000.00 AUD 75,000,000.00 Realisasi sampai saat ini sebesar AUD Through The Global Fund 7,460,020.94 Debt for Development Swap EUR 5,752,584.23 EUR 5,752,584.23 EUR 1,425,329.32 Realisasi Fase I (Tahun USD24,200,545.66 USD24,200,545.66 USD 5,027,070.66 2007)
Total Realisasi:
USA
Debt for Development Swap Realisasi Fase II (Tahun 2009) Debt for Development Swap Realisasi Fase III (Tahun 2010) Debt Development Swap Tropical Forest Conservation Act/ TFCAUSD
EUR 2,497,955.11 USD 11,635,232.25
EUR 5,752,584.23 USD24,200,545.66 (Selesai)
EUR 1,829,299.80 USD 7,538,243.20
USD 20,000,000
USD 22,000,000
USD 22,000,000
Sumber: Kementerian Keuangan 2012 Tabel diatas menunjukan bahwa saat ini belum ada skema DNS khusus untuk program pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Untuk mewujudkan skema tersebut langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Pembahasan skema Debt Swap yang dipimpin Deputi Menko Perekonomian. 2. Pihak kreditor menyampaikan usulan secara resmi. Perlu digarisbawahi bahwa usulan formal pengurangan utang melalui skema DNS ini tidak berasal dari pemerintah Indonesia sebagai debitor sebab jika hal ini dilakukan dapat diartikan oleh dunia internasional bahwa Indonesia sedang tidak mampu membayar utang. 3. Kementerian Keuangan melakukan pembahasan teknis perjanjian dengan pihak kreditor. 4. Kementerian/Lembaga sebagai pelaksana kegiatan akan melaksanakan kegiatan sesuai perjanjian debt swap yang dilakukan melalui mekanisme APBN. 5. Penghapusan utang akan diberikan ketika kegiatan telah melalui tahapan implementasi, evaluasi akhir, dan proses audit berdasarkan sistem pengelolaan APBN yang berlaku.
3.4 Pasar Karbon (Carbon Market) Pasar karbon atau carbon market terkait erat dengan gas rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Gas rumah kaca berperan sebagai selimut yang memanasi dan kemudian mengubah iklim bumi secara global. Karbon dioksida merupakan salah satu gas rumah kaca dengan kontribusi paling besar, lebih dari 50%, selain metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6). Gas rumah kaca merupakan gas yang dilepaskan oleh hasil pembakaran bahan bakar fosil (combustion process), seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam, yang digunakan untuk kendaraan bermotor, pembangkit listrik, dan kegiatan industri oleh hampir semua negara-negara di dunia. Selain itu, tingginya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer diperparah dengan maraknya penebangan hutan (deforestasi) di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Bahkan untuk Indonesia, kombinasi dari kegiatan deforestasi, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, bersama Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Untuk memperlambat laju perubahan iklim dan pemanasan global, maka hal yang perlu dilakukan adalah mengurangi dan atau mencegah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan akibat perbuatan manusia. Tindakan ini disebut dengan tindakan mitigasi yang mencakup pengurangan penggunaan BBM untuk kendaraan, penggunaan energi bersih terbarukan, penghematan pemakaian listrik, mendaur ulang limbah, memelihara hutan, dan sebagainya. Salah satu instrumen ekonomi yang berperan penting memberikan insentif bagi kegiatan mitigasi perubahan iklim adalah pasar karbon. Dalam pasar karbon, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 equivalent). Hak di sini dapat berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca. Pasar karbon berdasarkan pembentukannya terdiri atas pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) dan pasar karbon wajib (compliance market). Pasar Karbon Sukarela Pasar karbon sukarela memungkinkan perusahaan dan individu melakukan pembelian dan penjualan carbon offsets berbasis kerelaan. Perbedaannya dengan pasar karbon wajib, pasar karbon sukarela memperkenankan sektor-sektor yang belum diatur atau di negara yang belum memiliki rejim kewajiban untuk melakukan perdagangan emisi karbon secara sukarela. Pasar ini bisa mengembangkan program secara lebih fleksibel yang tidak bisa dilakukan dibawah rejim pasar karbon wajib. Selain itu memberikan kesempatan kepada perusahaan dan LSM untuk memperoleh pengalaman dalam penghitungan karbon, pengurangan emisi, dan pasar karbon. Perdagangan karbon dalam pasar sukarela ini umumnya bersumber dari program energi terbarukan, pemanfaatan lahan, dan pelestarian hutan. Saat ini telah berkembang program mitigasi perubahan iklim melalui program konservasi ekosistem pesisir, yaitu mangrove, lamun, dan rawa pasang surut (tidal marshes) yang kemudian terkenal dengan istilah blue carbon. Program-program tersebut menghasilkan sumber pendapatan bagi kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dan juga memperoleh keuntungan karbon.
Permintaan (demand) pada pasar karbon ini terbentuk semata karena adanya keinginan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bukan karena adanya kewajiban untuk itu. Keinginan ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara si empunya keinginan dengan penyedia karbon yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter). Dalam beberapa kasus, keinginan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga pasarnya membesar dan dapat menarik keterlibatan pihak lain seperti perantara, investor, maupun layanan bursa. Pasar karbon sukarela menggunakan mekanisme dengan system crediting atau sering juga disebut baseline-and-crediting. Dalam mekanisme ini, penurunan emisi adalah selisih dari skenario emisi tanpa adanya proyek penurunan emisi (baseline) dengan emisi aktual setelah adanya proyek. Komoditi yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang telah disertifikasi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar tersebut. Komoditi ini disebut juga sebagai kredit karbon dimana satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida. Kotak 4. Proyek Karbon Kawasan Konservasi Juma, Brasil Kawassan konservasi Juma mencakup areal seluas 589.000 acre di hutan Amazon Brasil. Melalui inisiatif perdagangan karbon sukarela, pemerintah Brasil menciptakan mekanisme keuangan untuk menghasilkan dana dari kegiatan pengurangan emisi yang disebabkan oleh deforestasi. Dengan mengeluarkan kredit untuk dijual, pemerintah Brasil akan menutupi biasa operasional pengelolaan kawasan, menjamin perlindungan dan pengelolaan kawasan secara berkelanjutan. Proyek Juma ini dilaksanakan oleh the Amazonas Sustainable Foundation (FAS) bekerjasama dengan pemerintah Brasil. FAS mengantisipasi memperoleh hampir 60 persen dari anggaran operasional yang dibutuhkan untuk Juma Proyek melalui kerjasama dengan perusahaan Marriot yang sebelumnya telah memberikan kontribusi awal sebesar $2,5 juta. Marriot sendiri telah meluncurkan program internal yang disebut dengan Green Your Stay for $1.00 Per Day yaitu program bagi tamu hotel untuk mengganti perkiraan karbon footprint selama menginap di hotel. Dana yang terkumpul dari tamu disumbangkan kepada Proyek Juma dan sebagai imbalannya sejumlah kredit akan dibayarkan oleh FAS untuk setiap “guestday”. Marriot memperkirakan memperoleh $4 juta selama 4 tahun program berjalan. Hal yang paling penting adalah bahwa ini bukan merupakan perdagangan resmi melainkan kontribusi sukarela oleh para tamu untuk mengurangi karbon footprint dan mendukung kawasan konservasi hutan hujan yang penting. Proyek Juma dikembangkan dengan menggunakan standar the Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA) untuk menentukan manfaat sosial dan lingkungan dari proyek dan bukan dampak dari emisi karbon. Karena CCBA tidak menyediakan perhitungan dan validasi karbon, kredit karbon ini hanya digunakan oleh Marriot untuk tujuan internal mereka. Dengan demikain, ini lebih merupakan proyek filantropi ketimbang jejak emisi karbon. Pengembang Juma proyek mengusulkan untuk menggunakan Voluntary Carbon Standards (VCS) dalam menghitung dan memvalidasi pengurangan emisi karbon. Estimasi awal adalah sekitar 3,6 juta ton emisi CO2 dapat dihindari selama 10 tahun pertama proyek. Jika divalidasi dan diregistrasi, pengurangan ini dapat dijual sebagai kredit pada pasar karbon sukarela yang dapat memberi kontribusi untuk menutupi biaya pengelolaan dan menyediakan manfaat keuangan bagi masyarakat di sekitar kawasan konservasi Juma. Sumber: www.fas-amazonas.org
Kredit yang dihasilkan dari suatu proyek yang sudah terverifikasi dapat dijual dan digunakan oleh pembeli (buyer) untuk memenuhi target penurunan emisi atau bahkan untuk menjadikan kegiatan yang dilakukan pembeli menjadi “netral karbon” (carbon neutral) atau “nol emisi” (zero emission). Mekanisme system crediting digambarkan pada bagan berikut:
Sumber: DNPI (2013)
Mekanisme tersebut diatas memerlukan proses sertifikasi, baik untuk pasar karbon sukarela maupun pasar karbon wajib. Beberapa program sertifikasi kredit karbon untuk pasar sukarela adalah Verified Carbon Standard (VCS), the Climate, Community and Biodiversity Alliance (CCBA), Gold Standard (GS), Plan Vivo, Panda Standard, American Carbon Registry, dan sebagainya. Mekanisme sistem crediting untuk pasar karbon sukarela menurut DNPI (2013) secara umum mempunyai tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengusulan, dimana proyek menyusun dokumen usulan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Tahap validasi, dimana kesesuaian dokumen usulan dengan persyaratan dan ketentuan diperiksa. 3. Tahap registrasi, dimana proyek dinyatakan memenuhi syarat dan dicatat sebagai peserta skema crediting bersangkutan. 4. Tahap verifikasi, dimana hasil penurunan emisi dalam suatu periode tertentu diperiksa kebenaran dan kesesuaiannya. 5. Tahap penerbitan kredit karbon, dimana sejumlah kredit karbon diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi. Pasar Karbon Wajib Pasar karbon wajib (compliance market) adalah kebalikan dari pasar karbon sukarela, terbentuk karena ada kebijakan yang mewajibkan pengurangan dan atau pembatasan jumlah emisi gas rumah kaca, seperti kewajiban yang diatur dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum (legally binding) bagi negara-negara yang meratifikasinya dan mewajibkan negara-negara maju (Annex-1) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara kolektif sebesar 5,2% selama 5 tahun, antara 2008-2012, dibandingan dengan emisi tahun 1990. Saat ini para pihak sedang mengembangkan protokol baru sebagai pengganti Protokol Kyoto yang sudah selesai sejak tahun 2012 lalu. Protokol Kyoto menggunakan prinsip ‘common but differentiated responsbilities’ yang berarti bahwa negara-negara di dunia mempunyai tanggungjawab bersama tetapi dengan porsi yang berbeda. Dalam hal ini negara-negara maju yang masuk dalam Annex-1 berkewajiban mengurangi produksi gas rumah kaca, sementara negara-negara berkembang yang masuk dalam Non-Annex-1 berkewajiban mencegah gas rumah kaca dilepas ke atmosfir.
Negara-negara yang telah mendapat target emisi karbon berdasarkan Protokol Kyoto kemudian mendistribusikan target tersebut ke perusahaan-perusahaan dengan emisi karbon tinggi yang disebut dengan cap. Umumnya cap diterapkan dalam bentuk pengalokasian kuota (allowance) emisi bagi para peserta pasar yang dilakukan di awal periode. Di akhir periode, para peserta harus menyetorkan (surrender) unit kuota kepada lembaga yang ditentukan sejumlah emisi aktual yang telah mereka lepaskan. Peserta yang melewati cap-nya dapat membeli tambahan unit kuota dari mereka yang kuotanya tidak terpakai sehingga terjadilah perdagangan karbon. Protokol Kyoto memungkinkan kerjasama antara negara maju dan negara berkembang dalam mengurangi gas rumah kaca, yaitu melalui mekanisme Clean Development Mechanism (CDM). Dengan mekanisme ini, negara maju yang belum berhasil mencapai target emisi karbon dapat menggantinya dengan melaksanakan ‘proyek karbon’ di negara berkembang, seperti proyek renewable energy (pembangkit listrik tenaga air, angin, matahari), proyek efisiensi energi, proyek konservasi lingkungan, dan sebagainya. Jumlah gas rumah kaca yang berhasil dicegah untuk tidak lepas ke atmosfir melalui proyek CDM di negara berkembang tersebut kemudian dijadikan sebagai ‘kredit karbon’ oleh negara maju. Kredit karbon selanjutnya diperhitungkan dalam pencapaian negara maju terhadap target emisi karbon. Mekanisme yang digunakan untuk pasar wajib ini dikenal dengan emission trading system (sistem perdagangan karbon). Nama lain dari sistem ini adalah cap-and-trade. Konsep cap-and-trade ini sebelumnya sudah diterapkan di Amerika khususnya bagi perusahaan yang menghasilkan limbah sulfur dioxide (SO2). Mekanisme ini dikembangkan untuk mengurangi terjadinya hujan asam (acid rain) yang disebabkan oleh emisi gas SO2 pada tahun 1990. Sistem ini secara sistematis berhasil mengurangi emisi gas tersebut di Amerika. Dengan mekanisme ini, setiap pihak yang terkena pembatasan emisi harus melaporkan emisi gas rumah kacanya secara periodik (biasanya tahunan) kepada lembaga yang ditentukan. Dari laporan tersebut dapat diketahui apakah emisi pihak tersebut melebihi batas yang ditentukan atau tidak. Untuk pembuat kebijakan, laporan ini juga digunakan sebagai dasar menentukan batas emisi di tahun berikutnya. Mekanisme system trading digambarkan pada bagan berikut:
Sumber: DNPI (2013)
Sertifikasi untuk pasar karbon wajib dalam kerangka Protokol Kyoto dikeluarkan oleh Dewan Eksekutif Clean Development Mechanism (CDM) dalam bentuk Certified Emission Reductions (CER) atau sertifikat pengurangan karbon. Syarat utama untuk bisa memperoleh karbon kredit adalah negara-negara maju mesti bisa membuktikan bahwa mereka benar-benar telah mengupayakan penurunan emisi karbon melalui program pengurangan konsumsi energi, peningkatan efisiensi energi, atau penggunaan energi terbarukan. Persyaratan lain yang juga penting adalah apa yang disebut dengan ‘additionality’. Additionality berarti bahwa proyek karbon di negara berkembang hanya mungkin terealisasi melalui mekanisme perdagangan karbon. Jadi, jika suatu negara berkembang sudah merencanakan dan mengalokasikan anggaran untuk proyek karbon, maka pendanaan proyek melalui mekanisme perdagangan karbon dianggap ‘tidak additional’. Dengan kata lain, proyek karbon dianggap ‘tidak additional’ jika tanpa pendanaan melalui mekanisme perdagangan karbon, proyek tersebut tetap bisa berjalan. Setelah kedua persyaratan tersebut terpenuhi, proses berikutnya adalah menghitung ‘baseline’ yaitu prakiraan emisi karbon jika tidak ada proyek karbon. Karbon kredit dihitung berdasarkan selisih antara baseline dengan emisi karbon yang dihasilkan setelah proyek. Hal yang wajib dilakukan untuk menjamin kredibilitas analisis baseline dan kalkulasi emisi karbon setelah proyek adalah proses verifikasi. Proses ini dilakukan oleh pihak ketiga yang independen untuk memastikan bahwa proyek karbon tersebut betul-betul telah mengurangi emisi karbon. Jika semua persyaratan dan tahapan telah dilakukan, termasuk validasi dan verifikasi, maka Dewan Eksekutif CDM akan mengeluarkan Certified Emission Reductions (CER) atau sertifikat pengurangan karbon kepada negara yang bersangkutan. Skema Karbon Nusantara (SKN) Saat ini Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) sedang mengembangkan Skema Karbon Nusantara (SKN) sebagai mekanisme sertifikasi karbon yang bersifat domestik Indonesia. SKN disusun sebagai aturan main dan penjaminan bahwa kredit karbon yang dihasilkan adalah benar-benar menurunkan emisi gas rumah kaca, prosesnya bersifat transparan, layak mendapatkan insentif dari pasar karbon, serta bermanfaat bagi masyarakat. Dalam prosesnya, pengusul proyek memulai dengan membuat perencanaan dan menyusun dokumen usulan proyek (DUP) sesuai format yang telah ditetapkan. Usulan proyek kemudian divalidasi oleh entitas yang berwenang untuk menjadi dasar penetapan kelayakannya untuk didaftarkan sebagai proyek SKN. Proyek yang telah terdaftar sebagai proyek SKN kemudian melakukan pemantauan dan di-verifikasi jumlah penurunan emisi karbonnya untuk kemudian diterbitkan kredit karbon atas nama proyek tersebut. Unit kredit karbon dalam SKN dinamakan Unit Karbon Nusantara (UKN). Satu UKN setara dengan satu ton karbondioksida. UKN dihasilkan dari proyek-proyek yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan dengan skenario dasar (baseline) bila proyek tersebut tidak dilaksanakan. Bagan berikut adalah skema umum proses pengikutsertaan proyek dalam SKN sampai dengan diterbitkannya UKN:
Dokumen Usulan Proyek
Validasi DUP
Tidak
Laporan Validai Usulan Proyek
Permintaan Pendaftaran
Tidak
Ya
Pemantauan & Verifikasi Proyek
Permintaan Penerbitan UKN
Ya
Penerbitan & Pencatatan UKN
Laporan Verifikasi Proyek
Persyaratan dasar dalam Skema Karbon Nusantara adalah sebagai berikut: Bahasa utama yang digunakan dalam SKN adalah Bahasa Indonesia. Penurunan emisi harus nyata, bersifat tetap (permanen), dapat diukur, dimonitor dan dilaporkan. Kegiatan penurunan emisi dalam SKN harus bersifat additional terhadap praktek business-as-usual. Penurunan emisi yang dihasilkan dalam SKN tidak dapat didaftarkan sebagai kredit karbon dalam standar yang lain. SKN akan mengoperasikan sistem pencatatan (registry) untuk mencatat penerbitan dan kepemilikan Unit Karbon Nusantara dan memastikan kredit karbon yang dihasilkan dalam skema ini tidak dihitung berganda (double counted) sebagai penurunan emisi dalam standar lain. 5. Kegiatan penurunan emisi dalam SKN harus berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan Indonesia.
1. 2. 3. 4.
Proses validasi dan verifikasi berperan sebagai penjamin bahwa proyek SKN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan persyaratan yang berlaku dan menghasilkan penurunan emisi gas rumah kaca dan manfaat bagi pembangunan berkelanjutan secara nyata. Validasi dan verifikasi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip audit penjaminan mutu yang berlaku secara universal. Secara khusus, validasi dan verifikasi dalam SKN mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 14064 tentang Gas Rumah Kaca khususnya Bagian 2: Spesifikasi dengan panduan pada level proyek untuk kuantifikasi, pengawasan dan pelaporan dari pengurangan emisi atau pertukaran gas rumah kaca dan Bagian 3: Spesifikasi dengan panduan untuk validasi dan verifikasi dari pernyataan gas rumah kaca. Proses ini dilakukan oleh pihak independen yang kompeten dan harus mendapatkan otorisasi dari Komite SKN untuk melaksanakan validasi dan verifikasi proyek SKN dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam SNI ISO 14065:2009 tentang Gas Rumah Kaca - Persyaratan bagi lembaga validasi dan verifikasi gas rumah kaca untuk digunakan dalam akreditasi atau bentuk pengakuan lainnya.
3.5 Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Service) Konsep tentang jasa lingkungan (environmental services) diperkenalkan pada tahun 1970an dan 1980an oleh beberapa pakar. Alasan dibalik penggunaan konsep jasa lingkungan utamanya bersifat pedagogis (pedagogic) dan kebanyakan digunakan oleh pakar sumber daya alam dalam rangka mendemonstrasikan bagaimana kehilangan biodiversitas mempengaruhi fungsi-fungsi ekosistem yang menjadi penyokong jasa penting bagi umat manusia. Tujuannya adalah untuk memicu aksi konservasi sumber daya alam. Terminologi jasa lingkungan kemudian mendapat perhatian dunia dengan diterbitkannya laporan studi berjudul Millenium Ecosystem Assessment tahun 2005, sebuah studi yang dilakukan selama 4 tahun dan melibatkan lebih dari 1.300 pakar dari berbagai negara. Laporan ini menyimpulkan bahwa lebih dari setengah jasa lingkungan dunia telah mengalami degradasi atau dimanfaatkan secara tidak berkelanjutan. Publikasi ini menempatkan konsep jasa lingkungan sebagai agenda utama kebijakan biodiversitas dan mendorong terjadinya publikasi terkait jasa lingkungan secara signifikan. Jasa lingkungan sendiri diartikan sebagai manfaat yang diperoleh masyarakat dari hubungan timbal-balik yang dinamis yang terjadi di dalam lingkungan hidup, antara tumbuhan, binatang, jasa renik dan lingkungan non-hayati. Walaupun kekayaan materi dapat membentengi perubahan lingkungan, manusia sangat tergantung pada aliran jasa lingkungan tersebut (UN-ESCAP, 2009). Semakin meningkatnya kesadaran tentang nilai dari jasa lingkungan dan biaya yang harus dikeluarkan dengan hilangnya jasa lingkungan pada gilirannya menciptakan inisiatif program dan kebijakan berbasis pasar yaitu dengan penerapan skema Payment for Environmental Services (PES) atau pembayaran jasa lingkungan. Dalam sejarahnya, Kosta Rika adalah negara pertama di dunia yang merintis program PES, yaitu pada tahun 1996. Sejak itu tercatat lebih dari 280 program PES di seluruh dunia. Meskipun hasil dari program ini ada yang berhasil dan ada yang tidak, banyak negara tetap tertarik untuk melaksanakan program PES.
Kotak 5. Pembiayaan PES: Pelajaran dari Kosta Rika Karena dicemaskan oleh laju pembalakan hutan pada tahun 1970-an, Kosta Rika mengupayakan sejumlah cara baru dalam pengelolaan hutan. Perkembangan strategi pengelolaan ini pada akhirnya mengarah menuju perintisan program PES pada tingkat nasional, yang memuluskan pengakuan atas jasa lingkungan dalam penyusunan peraturan perlindungan hutan pada tahun 1996. Dana Pembiayaan Kehutanan Nasional dibentuk untuk membayar perlindungan jasa lingkungan ini atas nama masyarakat. Sepertiga dari 15% pajak bahan bakar minyak (BBM) dicadangkan untuk dana tersebut. Tetapi, pendanaan menjadi sangat kurang akibat keputusan Kementerian Keuangan yang mengendalikan perolehan pajak pemerintah dan pencadangan proporsinya untuk PES. Hasilnya, peraturan diubah pada tahun 2001, yang mencadangkan langsung 3,5% pajak BBM untuk program PES. Meskipun angka ini merupakan pengurangan sebesar 30% atas pajak efektif, pendapatan untuk PES terus bertambah. Disamping pajak BBM, keputusan pada tahun 2006 menetapkan pungutan kepada pemegang hak pengusahaan hutan atas pemakaian air tanah dangkal dan air tanah dalam guna menutup biaya perlindungan hutan melalui konservasi. Besar pungutan beragam menurut jenis pemakaiannya dimana pengguna komersial dan industri membayar lebih besar daripada pengguna air minum maupun petani. Perusahaan besar milik negara telah menentang pemberlakuan keputusan ini. Pendapatan untuk PES juga diperoleh dari program imbalan sukarela. Perorangan dan perusahaan yang ingin menjalankan program CSR dan/atau mengurangi jejak karbon mereka didorong untuk menyumbang untuk mendanai program PES. Diantaranya perusahaan PLTA swasta, pariwisata, dan penerbangan dalam negeri maupun tim sepakbola nasional Kosta Rika merupakan peserta yang pertama kali ikut serta. Juga telah dibuat sistem perhitungan dan pembayaran untuk perdagangan karbon bagi perjalanan dengan pesawat terbang. Secara keseluruhan, program ini menghasilkan US$2,4 juta per tahun. Pada awalnya, diharapkan bahwa pembayaran dana penyimpanan karbon internasional menjadi sumber utama pendapatan dari program konservasi hutan. Namun tidak ada penjualan besar lain, kecuali bagian terbesar yang sekarang dianggap sebagai pembelian simbolis oleh Pemerintah Norwegia sebanyak 200 juta ton simpanan karbon senilai US$2 juta yang ditambah dengan beberapa perjanjian bilateral dan bantuan kemanusiaan bernilai kecil. Bantuan pembangunan telah berperan besar dalam memajukan program PES di Kosta Rika. Pembiayaan dari Bank Dunia dan hibah dari Global Environmental Facility (GEF) yang dimulai pada tahun 2001, sekarang berjumlah lebih dari US$80 juta. Bantuan bilateral telah diberikan oleh KfW (bank pembangunan milik pemerintah Jerman), Badan Kerjasama Pembangunan Norwegia, dan Pemerintah Jepang. Lebih kurang sepertiga pendapatan program PES berasal dari cara ini. Program PES Kosta Rika menggambarkan bahwa kesabaran dan ketekunan sangat penting untuk melaksanakan strategi PES. Program tersebut telah berkembang selama beberapa dasawarsa dan mengalami banyak tantangan selama itu. Lagi pula, program PES bukan satu-satunya jalan keluar untuk melindungi jasa lingkungan Kosta Rika. Peraturan tentang pewilayahan dan lainnya melengkapi program tersebut. Sumber: UN ESCAP (2009)
Menurut Wunder (2005), PES adalah transaksi sukarela untuk jasa lingkungan yang telah didefinisikan secara jelas (atau penggunaan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut), dibeli oleh sedikit-dikitnya seorang pembeli jasa lingkungan dari sedikit-dikitnya seorang penyedia jasa lingkungan, jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan tersebut memenuhi persyaratan dalam perjanjian dan menjamin penyediaan jasa lingkungan. Dengan pengertian tersebut terdapat kriteria yang harus dipenuhi untuk desain PES, yaitu:
1. 2. 3. 4. 5.
Merupakan suatu transaksi sukarela Jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas untuk ditransaksikan Ada pembeli (minimal satu) Ada penjual (minimal satu) Jika dan hanya jika penjual (penyedia jasa) mengamankan ketentuan-ketentuan jasa secara terus menerus
Dalam sebuah transaksi PES, pemanfaat dari jasa lingkungan membayar atau menyediakan bentuk lain imbalan kepada pemilik lahan atau orang yang berhak menggunakan lingkungan tersebut (lahan atau air tawar, laut), untuk mengelola lingkungan sedemikian rupa sehingga menjamin jasa lingkungan. Pembayaran atau imbalan ini semestinya bersyarat terhadap penyediaan jasa tersebut. Dalam praktiknya, mungkin sulit memenuhi persyaratan PES tersebut, dan mungkin tidak perlu atau tidak tepat melakukan demikian dalam beberapa hal. Sebagaimana terlihat pada bagan alir PES berikut, struktur pemerintahan sebagai mediator merupakan ciri penting mekanisme PES. Struktur Pemerintahan
Pemanfaat Jasa
Mekanisme Pembayaran
Mekanisme Pembiayaan
Penyedia Jasa
Jasa Lingkungan
Salah satu contoh penerapan PES di Indonesia adalah jasa pemanfaatan air di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau, Provinsi Banten. Pemanfaat dalam kasus ini adalah PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) yaitu perusahaan air minum yang memanfaatkan air baku dari Sungai Cidanau untuk memproduksi air bersih. Sementara penyedia jasa lingkungan dalam hal ini adalah masyarakat yang tinggal di hulu DAS Cidanau, yaitu masyarakat Desa Cibojong dan Desa Citaman (dalam perkembanggannya Desa Cibojong diganti dengan Cikumbueun karena melanggar kesepakatan). Di antara pemanfaat dan penyedia jasa lingkungan terdapat Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) sebagai mediator transaksi sekaligus sebagai lembaga pengelola DAS Cidanau yang struktur kepengurusannya terdiri dari instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat. PT. KTI sebagai pemanfaat (buyer) sepakat untuk dengan sukarela (voluntary) membayar Rp. 175.000.000,- (seratus tujuh puluh lima juta rupiah) per tahun dengan masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun. Manfaat yang diperoleh PT. KTI dari transaksi ini adalah mengatasi penurunan debit air sungai Cidanau yang disebabkan oleh degradasi di hulu DAS Cidanau. Sementara masyarakat desa sebagai penyedia (seller/provider) menerima pembayaran sebesar Rp. 1.200.000,-/ha dengan masa perjanjian pembayaran jasa lingkungan selama 5 (lima) tahun. FKDC sebagai mediator memperoleh 15% dari nilai transaksi yang digunakann untuk biaya pengelolaan jasa lingkungan, termasuk menyalurkan pembayaran dari PT. KTI kepada masyarakat desa. Belajar dari pengalaman dalam pengembangan PES di berbagai Negara, UN-ESCAP (2009) merumuskan tahapan-tahapan dalam penerapan PES yaitu sebagai berikut:
Tahap 1: Mengenali permintaan, menetapkan tujuan, dan menentukan nilai -
Menelaah kebutuhan dengan pertimbangan sosial ekonomi dari calon pembeli tertentu (komersial dan perorangan) akan jasa lingkungan tertentu Menetapkan, mengukur, dan melakukan penilaian atas jasa lingkungan tertentu maupun mengenali ancaman pada waktu ini dan mendatang Menentukan apakah PES merupakan alat kebijakan yang tepat, dan alat-alat lain apa saja yang akan diperlukan Menetapkan tujuan Menentukan nilai ekonomi dan nilai jual melalui penilaian lingkungan
Tahap 2: Menilai kemampuan dan kelayakan kelembagaan dan teknis -
-
Menilai segi hukum, kebijakan, dan kepemilikan lahan Memeriksa kebijakan yang ada mengenai PES, misalnya pengguna lahan seharusnya dapat menerima imbalan dan pembeli seharusnya memberi imbalan. Jika ada kewajiban pungutan, biaya atau pajak, itu semua seharusnya dapat diakses dalam program PES Melakukan survei atas jasa penunjang dan organisasi penunjang PES yang tersedia
Tahap 3: Menetapkan kerangka kelembagaan dan perjanjian -
Merancang rencana pengelolaan, usaha, dan komunikasi Menetapkan kerangka kelembagaan berdasarkan lembaga-lembaga yang ada, mencari cara lain untuk mengurangi biaya transaksi, dan meningkatkan kemampuan apabila diperlukan Menentukan cara pemberian imbalan yang tepat dan adil berdasarkan pertimbangan sosial ekonomi dan sosial budaya Menyusun model perjanjian dan dokumen operasional lain
Tahap 4: Pelaksanaan -
Komunikasi, pemasaran, negosiasi, dan pendaftaran perjanjian Melaksanakan pemantauan dan pembuktian Melaksanakan pembiayaan dan pembayaran
Secara umum terdapat empat jenis jasa lingkungan yang sudah dikenal oleh masyarakat global saat ini yaitu jasa lingkungan tata air (hidrologi), jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap. Keempat jenis jasa lingkungan tersebut dijabarkan pada tabel berikut: No 1
Jasa Lingkungan Jasa hidrologi
Pemanfaat Langsung Air untuk kebutuhan sehari-hari Penghasil tenaga air
2
Dukungan keanekaragaman hayati
Kepentingan plasma nutfah (bioprospecting), termasuk perusahaan obat-obatan Kepentingan konservasi internasional
Pemanfaat Tidak Langsung Pengguna air, seluruh sektor ekonomi Pengguna tenaga air, seluruh sektor ekonomi Pembuat obat-obatan
Perorangan, internasional
3
4
Keindahan alam
Jasa penyimpanan karbon Sumber: UN-ESCAP (2009)
Perusahaan penyedia ekowisata dan wisata alam, jasa terkait Perusahaan yang menyedian ekowisata dan wisata alam, jasa terkait Investor pada pasar karbon Penghasil gas rumah kaca
Wisatawan Masyarakat luas dan wisatawan
Pengguna energi tak terbarukan Masyarakat dunia
Di wilayah pesisir dan lautan, Dahuri (1996) mencatat bahwa Indonesia memiliki berbagai macam jasajasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan dan bahkan kelangsungan hidup manusia. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim (climate regulator), kawasan perlindungan (konservasi dan preservasi), dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi ekologis lainnya. Dari sisi regulasi pemerintah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang PES. Menurut Undang-Undang ini, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup. Salah satu instrumen ekonomi tersebut adalah pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup yang didefinisikan sebagai pembayaran/imbal yang diberikan oleh pemanfaat jasa lingkungan hidup kepada penyedia jasa lingkungan hidup. Dalam sebuah media briefing tahun 2013 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan bahwa skema PES dapat dilakukan diantara penyedia dan pemanfaat jasa lingkungan dalam kerangka G to G (Government to Government), G to C (Government to Community), G to P (Government to Privat), C to C (Community to Community), C to P (Community to Privat), P to P (Privat to Privat) dan sebaliknya. Pihak yang dapat bertindak sebagai fasilitator dapat diperankan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO), dan organisasi non profit lainnya. Selain Undang-Undang Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan juga mengatur tentang PES meskipun dengan terminologi yang agak berbeda yaitu ‘pungutan jasa konservasi’. Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa pembiayaan kawasan konservasi dapat berasal dari, salah satunya, pungutan jasa konservasi. Namun peru dicatat bahwa pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah diatur oleh regulasi lainnya. Untuk pemerintah pusat, pungutan selain pajak dikategorikan sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang ketentuannya diatur melalui Peraturan Pemerintah. Sementa untuk pemerintah daerah, setiap pungutan harus melalui Peraturan Daerah (Perda) sehingga membutuhkan pembahasan dan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Semua pungutan tersebut kemudian masuk ke rekening kas umum negara/daerah dan pengelolaannya melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD) yang prosesnya juga membutuhkan pembahasan dan persetujuan parlemen (DPR/DPRD).
3.6 Biodiversity Offset Biodiversity offset semakin popular dewasa ini meskpin masih dianggap kontroversial sebagai alat konservasi. Popularitasnya terletak pada potensinya untuk mencapai dua tujuan sekaligus, yaitu konservasi biodiversitas dan pembangunan ekonomi. Sementara kontroversinya terletak pada kebutuhan untuk menerima kehilangan ekologis sebagai ganti untuk menfaat yang belum pasti. Biodiversity offset adalah hasil konservasi terukur yang dihasilkan oleh kegiatan yang dimaksudkan untuk memberi kompensasi bagi dampak residual biodiversitas dari proyek pembangunan dan tetap berlangsung setelah upaya pencegahan dan mitigasi yang tepat dilaksanakan (Business and Biodiversity Offset Program, 2009). Tujuan akhir dari biodiversity offset adalah agar tidak terjadi kehilangan bersih (no net loss) dan lebih disukai memperoleh keuntungan bersih (net gain) dari sisi komposisi spesies, struktur habitat, fungsi ekosistem, dan pemanfaatan oleh masyarakat serta nilai budaya yang terkait dengan biodiversitas. Gagasan biodiversity offset telah menciptakan kontroversi bagi sebagian masyarakat konservasi sebab ada kekuatiran bahwa penggunaan skema ini dapat mendorong pemerintah untuk tetap mengizinkan proyek-proyek yang memiliki dampak serius terhadap biodiversitas selama proyek tersebut menawarkan kompensasi dan membolehkan perusahaan meninggalkan dampak signifikan di areal proyek sepanjang perusahaan tersebut melaksanakan kegiatan konservasi di tempat lain. Karena itu penerapan biodiversity offset harus secara ketat mentaati hirarki mitigasi (mitigation hierarchy) yang menempatkan biodiversity offset sebagai benteng terakhir (the last resort), setelah semua upaya yang mungkin telah dilakukan untuk menghindari dan meminimalkan dampak dari proyek pembangunan dan kemudian merestorasi biodiversitas di areal proyek. Hirarki mitigasi tersebut diatas telah dikembangkan oleh Business and Biodiversity Offset Program (BBOP) sebagi berikut: 1. Menghindari (avoidance), yaitu upaya untuk menghindari terjadinya dampak permulaan dari proyek pembangunan, seperti kehati-hatian dalam penempatan elemen-elemen infrastruktur. Hal ini dilakukan agar proyek betul-betul dapat menghindari terjadinya dampak terhadap komponenkomponen tertentu dari biodiversitas. 2. Minimalisasi (minimalization), yaitu upaya untuk mengurangi durasi, intensitas, dan atau perluasan dampak (termasuk dampak langsung, tidak langsung, dan dampak kumulatif) yang tidak bisa dihindari sepenuhnya, sepanjang bisa dilakukan secara praktis. 3. Rehabilitasi/perbaikan (rehabilitation/restoration), upaya untuk merehabilitasi ekosistem terdegradasi atau memperbaiki ekosistem yang sudah terbuka sebagi dampak yang sepenuhnya tidak bisa dihindari dan atau diminimalkan. 4. Offet, yaitu tindakan untuk mengkompensasi semua residual signifikan, dampak serius yang tidak bisa dihindari, diminimalkan, dan atau direhabilitasi/diperbaiki, dalam rangka mencapai kondisi tidak ada kehilangan bersih (no net loss) atau memperoleh keuntungan bersih (net gain) bagi keanekaragaman hayati.
Hirarki mitigasi diatas menunjukan bahwa biodiversity offset bukanlah langkah pertama, melainkan langkah terakhir dalam proses mitigasi biodiversitas yang merupakan dampak dari proyek pembangunan. Dengan kata lain, biodiversity offset adalah the last resort atau benteng terakhir. Dalam penerapannya, terdapat prinsip-prinsip biodiversity offset yaitu: 1. Tidak ada kehilangan bersih (no net loss). Biodiversity offset harus dirancang dan dilaksanakan untuk mencapai hasil konservasi terukur di areal proyek yang diharapkan dapat menghasilkan kondisi tidak ada kehilangan bersih (no net loss) dan lebih baik lagi jika bisa mencapai keuntungan bersih bagi biodiversitas. 2. Penambahan hasil konservasi (additional conservation outcomes). Biodiversity offset harus mencapai hasil konservasi diatas dan melampaui hasil yang mungkin bisa terjadi jika biodiversity offset tidak dilaksanakan. Rancangan dan pelaksanaannya harus bisa menghindari kegiatan pemindahan yang berbahaya bagi keanekaragaman hayati ke lokasi lain. 3. Taat terhadap hirarki mitigasi. Biodiversity offset adalah komitmen untuk mengkompensasi dampak serius terhadap biodiversitas yang teridentifikasi setelah melakukan langkah menghindari, meminimalkan, dan rehabilitasi lokasi proyek secara tepat sesuai dengan hirarki mitigasi. 4. Membatasi apa yang bisa di offset. Terdapat situasi dimana dampak residual tidak dapat sepenuhnya dikompensasi melalui biodiversity offset sebab biodiversitas yang terpengaruh tidak dapat tergantikan dan sangat rentan. 5. Konteks landskap (landscape context). Biodiversity offset harus didesain dan dilaksanakan dalam konteks untuk mencapai hasil konservasi yang terukur mempertimbangkan informasi yang ada terkait biologi, sosial, dan nilai budaya dari biodiversitas serta mendukung pendekatan ekosistem. 6. Partisipasi stakeholder. Di areal yang terpengaruh oleh proyek dan oleh biodiversity offset, partisipasi efektif dari stakeholder harus dijamin dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam hal evaluasi, seleksi, desain, implementasi, dan monitoring. 7. Persamaan (equity). Biodiversity offset harus dirancang dan dilaksanakan dengan cara yang berkeadilan, artinya stakeholder harus berbagi hak dan kewajiban, resiko, dan penghargaan terkait dengan proyek dan biodiversity offset dengan cara yang adil dan seimbang, menghargai hukum dan adat-istiadat. Pertimbangan khusus herus diberikan untuk menghargai hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang telah diakui secara internasional dan nasional. 8. Hasil jangka panjang. Rancangan dan implementasi biodiversity offset harus berdasarkan pada pendekatan pengelolaan adaptif (adaptive management approach), melakukan monitoring dan evaluasi, dengan tujuan untuk mengamankan hasil biodiversitas selama dampak proyek berlangsung dan lebih baik lagi jika bisa selamanya. 9. Transparansi. Desain dan implementasi biodiversity offset dan komunikasi hasilnya kepada publik harus dilaksanakan dengan cara transparan dan tepat waktu. 10. Sains dan pengetahuan tradisional. Rancangan dan implemenasi biodiversity offset harus menggunakan informasi yang berasal dari sains yang baik, termasuk pertimbangan yang tepat dari pengetahuan tradisional.
Kotak 6. Biodiversity Offset dan Lapangan Gas Gorgon, Australia Joint Venture Gordon yang terdiri dari korporasi Chevron, Shell, dan ExxonMobil telah mendapat persetujuan untuk melaksanakan prosesing gas di Pulau Barrow. Pulau Barrow adalah kawasan konservasi kelas A dengan nilai konservasi cukup signifikan, berlokasi di barat laut pantai barat Australia. Lokasi lapangan gas Gordon terletak sekitar 80 mil laut dari pantai barat Australia barat dan bersama dengan lapangan gas lainnya diperkirakan memiliki 40 triliun kubik kaki gas alam. Memiliki kekayaan biodiversitas, areal ini adalah rumah bagi spesies langka Australia, termasuk penyu dan mamalia yang sudah punah di daratan utama. Untuk mengganti dampak biodiversitas ini, joint venture sepakat untuk melakukan investasi sebesar $43 juta selama 30 tahun untuk membiayai inisiatif-inisiatif mengkonservasi populasi penyu dan spesies langka lainnya di pulau tersebut. Menurut kesepakatan tersebut, inisiatif konservasi akan dikelola oleh sebuah Komite Eksekutif yang dibentuk oleh pemerintah dan perwakilan perusahaan. Kegiatan yang akan dilakukan termasuk survey, monitoring, dan penelitian populasi penyu; mitigasi kehilangan penyu dengan mengurangi gangguan pada habitat makan (feeding ground) dan tempat berkembangbiak; dan melakukan kegiatan outreach guna mendukung perlindungan penyu. Jika monitoring menunjukan bahwa kegiatan-kegiatan ini tidak berdampak positif terhadap penyu, joint venture sepakat untuk mendanai kegiatan lanjutan. Tambahan dana akan mencapai $5 juta. Joint venture Gordon juga setuju mendanai berbagai kegiatan konservasi lainnya di pulau tersebut, termasuk program pengenalan kembali (reintroduction) bagi spesies yang terancam punah selama 12 tahun dan penghilangan spesies non-native. Total investasi untuk mengembangkan lapangan gas Gordon diharapkan lebih dari $21 milyar, meskipun beberapa media melaporkan bahwa total investasi mencapai $35 milyar. Investasi tambaham sedang dipertimbangkan. Pada saat lapangan gas ini beroperasi, profit yang dihasilkan kemungkinan besar beberapa milyar dollar per tahun. Pada konteks ini, komitmen offset sebesar $2 juta per tahun dianggap cukup kecil. Sumber: WWF
Perkembangan signifikan dari aplikasi hirarki mitigasi biodiversitas adalah dengan dimasukannya hirarki ini dalam revisi standar kinerja (Performance Standard/PS) oleh the International Finance Corporation (IFC) sejak tahun 2012 lalu. Terdapat 8 standar kinerja yang dikembangkan oleh IFC, salah satunya adalah PS6 berjudul ‘Konservasi Biodiversitas dan Pengelolaan Berkelanjutan bagi sumber daya alam hayati’. PS6 secara spesifik menyebutkan bahwa untuk perlindungan dan konservasi biodiversitas, hirarki mitigasi termasuk biodiversity offset harus menjadi pertimbangan setelah upaya menghindari, meminimalkan, dan perbaikan secara tepat telah dilakukan. Selain itu PS6 mengakui bahwa perlindungan dan konservasi biodiversitas, mempertahankan jasa lingkungan, dan pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hayati adalah fondasi dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangan selanjutnya, standard kinerja PS6 juga menjadi rujukan the equator principles (prinsip-prinsip Ekuator), yaitu kerangka pengelolaan resiko proyek yang telah diadopsi oleh lembaga keuangan dunia di 34 negara. Dalam Prinsip Ekuator disebutkan bahwa untuk proyek di Negara-negara non-OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) dan di Negara OECD dengan pendapatan rendah, penilaian proyek mengacu pada standard kinerja PS6 yang dikembangkan oleh IFC.
Dengan demikian, skema biodiversity offset telah dikenal dan diakui oleh dunia bisnis dan keuangan di berbagai negara.
3.7 Denda Kerusakan Lingkungan Denda bagi pengrusak atau pencemar lingkungan merupakan salah satu penerapan dari prinsip Polluter Pay (polluter pays principle). Prinsip polluter pays adalah siapapun harus bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan dan harus menanggung biaya yang terkait dengan kerusakan tersebut (UNEP, 1995). Prinsip ini bukan hanya prinsip yang baik bagi pihak-pihak yang melakukan pencemaran lingkungan tapi juga merupakan perluasan dari prinsip dasar kejujuran dan keadilan dimana orang harus bertanggungjawab terhadap aksinya. Prinsip polluter pays pertama kali didefinisikan dan diakui sebagai prinsip yang disetujui secara internasional oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development) pada tahun 1972. Pada tahapan selanjutnya Masyarakat Eropa (the European Community) mengadopsi prinsip ini tahun 1987 dan kemudian menjadi salah satu kesepakatan internasional pada Deklarasi Rio (the Rio Declaration) tahun 1992. Beberapa negara kemudian menjadikan prinsip polluter pays sebagai bagian dari legislasi secara eksplisit dan negara lainnya secara implisit. Terdapat dua fungsi utama prinsip polluter pays menurut OECD, yaitu 1. Alokasi biaya pencegahan dan pengawasan pencemaran untuk mendorong penggunaan rasional dari sumber daya lingkungan yang langka dan untuk menghindari distorsi pada perdagangan dan investasi internasional. 2. Pihak yang menghasilkan polusi (polluter) harus menanggung biaya pelaksanaan tindakan yang diputuskan oleh pemerintah untuk menjamin lingkungan berada pada kondisi yang bisa diterima. Sementara Deklarasi Rio untuk lingkungan dan pembangunan menyebutkan bahwa pemerintah nasional harus berusaha mempromosikan internalisasi biaya-biaya lingkungan dan menggunakan instrumen ekonomi, mempertimbangkan pendekatan dimana pihak pencemar harus, secara prinsip, menanggung biaya pencemaran dengan memperhatikan kepentingan umum dan tanpa distorsi terhadap perdagangan dan investasi internasional. Dengan demikian, OECD dan Deklarasi Rio memiliki persamaan dalam memandang prinsip polluter pays. Dewasa ini biaya-biaya yang terkait dengan prinsip polluter pays dipahami dalam konteks yang lebih luas, yaitu mencakup biaya pencegahan dan pengendalian pencemaran, biaya pertanggungjawaban untuk membersihkan kerusakan lingkungan, integrasi pengawasan pencemaran, dan biaya-biaya yang melingkupi prinsip tanggungjawab lingkungan. Gambar berikut menjelaskan konteks prinsip polluter pays (Komisi Eropa, 2012):
Tanggungjawab Lingkungan Upaya pencegahan dan pengendalian
Biaya Pembersihan
Pengendalian Polusi Terintegrasi
Internalisasi Biaya Eksternal
Kotak 7. Tumpahan Minyak Kapal Tanker Exxon Valdez Salah satu kasus kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tumpahan minyak adalah tumpahan minyak dari Kapal Tanker Exxon Valdez di Selat Prince William, Alaska, Amerika, tahun 1989. Kapal tanker ini menumpahkan 260.000 - 750.000 barel (41.000 - 119.000 m3 ) minyak mentah, menjadikannya sebagai salah satu kasus tumpahan minyak terbesar di dunia. Tumpahan minyak ini menutupi garis pantai sepanjang 2.100 km dan perairan laut seluas 28.000 km2. Selat Prince William adalah habitat ikan salmon, berang-berang laut, anjing laut, dan burung laut. Sebuah studi menunjukan dampak ekologi langsung dari tumpahan minyak Exxon Valdez adalah kematian sekitar 100.000-250.000 burung laut, sedikitnya 2.800 berang-berang laut, sekitar 12 berang-berat sungai, 300 anjing laut, 246 elang, dan 22 paus pembunuh (orca). Sementara jumlah kematian ikan salmon dan ikan herring belum diketahui. Pengadilan Amerika kemudian menjatuhkan hukuman denda kepada korporasi Exxon dengan rincian sebagai berikut: -
$150 juta denda pidana, dimana $12 juta diantaranya diserahkan kepada the North American Wetlands Conservation Fund. $100 juta ganti rugi pidana untuk Pemerintah Federal dan Negara Bagian Alaska, digunakan untuk menangani sumber daya ikan, satwa langka, dan lahan yang terkena tumpahan minyak. $900 juta untuk memperbaiki sumber daya yang menderita kehilangan atau penurunan substansial akibat tumpahan minyak, termasuk untuk kegiatan monitoring, penelitian, dan untuk perlindungan habitat di wilayah tumpahan minya.
Sumber: http://www.evostc.state.ak.us
Di Indonesia, denda terhadap pencemar dan perusak lingkungan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut Undang-Undang ini, Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana denda paling sedikit Rp 3 milyar dan paling banyak Rp 10 milyar (Pasal 98). Namun jika hal tersebut dilakukan karena kelalaiannya atau tidak disengaja maka akan dipidana denda paling sedikit Rp 1 milyar dan paling banyak Rp 3 milyar (Pasal 99). Selain Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat juga pidana denda pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-Undang Perikanan ini menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya dipidana denda paling banyak Rp 1,2 milyar (Pasal 84).
3.8 Dana Abadi (Endowment Fund) Dana abadi adalah sebuah kumpulan dana yang dikelola oleh sebuah lembaga untuk tujuan-tujuan sosial yang ditetapkan oleh penyumbang dana (donor) dan pengurus lembaga (Gonzales, 2004). Sementara Winder (2000) mengartikan dana abadi sebagai asset permanen, dalam bentuk uang, sekuritas, atau properti yang diinvestasikan untuk memperoleh pendapatan (income) yang selanjutnya digunakan untuk mendukung kegiatan organisasi. Dana atau aset awal tersebut diharapkan tetap utuh selamanya, untuk periode waktu tertentu, atau sampai terkumpulnya aset yang memadai untuk melaksanakan program yang sudah ditetapkan. Daya beli dana abadi diharapkan menjadi semakin besar dari waktu ke waktu, dan dapat memberikan pendapatan teratur sepanjang hidup lembaga. Konsep dana abadi sudah sangat dikenal di kalangan eksekutif yayasan di Amerika Serikat, Kanada, dan sebagian Eropa, dan makin banyak pimpinan masyarakat sipil di Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang saat ini mendapatkan pengalaman langsung dalam menggalang, mengelola, dan mengembangkan dana abadi seperti itu. Dalam banyak kasus, dana abadi dirasakan membawa keuntungan yang besar bagi lembaga karena menyediakan basis pendapatan yang aman, yang sebagian dapat mengurangi tekanan untuk mencari modal pokok, mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber pendanaan tertentu, dan memudahkan perencanaan keuangan jangka panjang. Secara kelembagaan, dana abadi dapat memperkuat institusi dan semua pihak yang berkepentingan, meningkatkan konsentrasi untuk mencapai tujuan-tujuan program jangka panjang, dan menjaga fleksibilitas program guna mencapai tujuan-tujuan lembaga (Gaberman, 2001). Bagi lembaga donor penggunaan dana abadi sebagai kendaraan pendanan (funding vehicle) juga memiliki keuntungan, seperti yang diidentifikasi oleh Horkan dan Jordan (1996) berikut ini: -
Menyediakan sumber pendanaan yang aman. Dana abadi kadang digunakan untuk menjamin pengamanan sumber dana bagi sebuah organisasi, untuk membantu menuju keuangan berkelanjutan. Dana abadi bisa juga digunakan untuk mengisolasi dana dari fluktuasi anggaran pemerintah dan lembaga donor.
-
Mendukung pengembangan kapasitas lokal. Memberikan dana abadi kepada LSM lokal dapat membantu mengembangkan pengelolaan keuangan, programatik (pemberian hibah), dan kapasitas pencarian dana (fund-raising).
-
Mengembangkan dukungan sektoral. Dana abadi dapat memperluas basis pendanaan untuk kegiatan pada sektor tertentu dan paling sering digunakan dalam sektor lingkungan sebab komitmen jangka panjang diperlukan untuk kemajuan pengelolaan lingkungan.
-
Pengembangan masyarakat madani (civil society). Pembentukan lembaga dana abadi dapat mendorong partisipasi lokal dalam pembangunan dan memperluas lembaga masayarakat madani. Dalam beberapa kasus, kelompok yang berbeda bergabung untuk tujuan bersama. Dewan Direktur dari banyak lembaga dana abadi seringkali terdiri dari mayoritas LSM atau pemimpin masyarakat.
-
Mendorong filantropi lokal. Di banyak negara, masih belum berkembang tradisi filantropi, sehingga pengembangan dana abadi oleh donor luar negeri diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya filantropi.
-
Leveraging sumber funding lain. Beberapa dana abadi dari lembaga donor luar negeri, seperti USAID, dirancang untuk safeguards yang memudahkan organisasi untuk menarik dana dari sumber lain.
-
Dana abadi sebagai warisan (legacy) bagi lembaga donor. Pendirian dana abadi adalah salah cara untuk melanjutkan dukungan bagi kegiatan pembangunan lokal setelah lembaga donor menutup proyeknya.
Ada beberapa sumber pendanaan untuk mengembangkan dana abadi, baik di level lokal maupun leval internasional. Di level lokal, potensi untuk memperoleh dana abadi bisa diperoleh dari pemerintah atau sumber publik lainnya, sektor swasta, individu kaya kara, biaya keanggotaan (membership fees), dan hasil pendapatan (earned income). Sementara di level internasional, dana abadi bisa berasal dari lembaga bilateral/multilateral untuk asistensi pembangunan luar negeri, yayasan internasional di negara maju (Australia, Amerika Utara, dan Eropa), LSM dari negara maju (Australia, Amerika Utara, dan Eropa), korporasi multinasional, dan individu kaya raya. Dana awal dalam pembentukan dana abadi biasanya berasal dari sumber-sumber luar. Donor bilateral, yayasan swasta, korporasi, orang kaya, dan masyarakat umum dapat menyumbang untuk pembentukan dana abadi (Winder, 2000). Lembaga ODA (Official Development Assistence) memperoleh perhatian lebih tinggi dengan menyumbang untuk dana abadi daripada untuk sebuah proyek jangka pendek tertentu. Dengan demikian, donor tidak hanya menjadi bagian dari sejarah pembentukan dana abadi tapi mereka juga memberikan sumbangan terhadap setiap proyek yang didukung dana abadi tersebut. Sumber-sumber luar ini sering ditekankan dalam berbagai kepustakaan mengenai dana abadi, tetapi sebenarnya tabungan yang dikumpulkan sendiri dan pengembalian dana pinjaman yang diberikan kepada masyarakat, mungkin juga bisa menjadi modal awal dana abadi. Bagi lembaga yang melakukan investasi dan memberikan pinjaman, terutama melalui program keuangan mikro, pengembalian dana pinjaman ini bisa menjadi sangat penting. Di bawah ini adalah sebuah diagram sederhana arus dana pada sebuah lembaga yang memiliki dana abadi (Gonzales, 2004): Donor Luar Dana Abadi Tabungan Sendiri dan Pengembalian (pinjaman)
Pengeluaran untuk hibah, Program atau Pelayanan Biaya Administrasi
Horkan dan Jordan (1996) mengidentifikasi beberapa isu umum terkait dengan pembentukan lembaga dana abadi di beberapa negara, yaitu: -
-
Pembentukan dana abadi membutuhkan waktu yang cukup lama dan upaya keras. Beberapa contoh adalah untuk mengatasi isu legal tentang kesepakatan dana abadi dan rancangan struktur pengelolaan. Diperlukan inisiasi keuangan yang cukup. Dana abadi harus cukup besar memperoleh hasil (earnings) guna menangani biaya operasi dan kegiatan program. Dengan adanya hibah awal yang
-
-
-
-
besar dapat menyediakan arus pemasukan yang cukup, mengurangi biaya administrasi, dan menjamin keberlanjutan program. Perhatian utama bagi lembaga donor adalah berapa jumlah dana yang diperlukan untuk dana abadi. Matching Fund seringkali dipersyaratkan. Karena kebutuhan dana abadi yang cukup besar, beberapa lembaga donor sengaja merancang dana abadi melalui leverage dari sumber pendanaan lainnya. Kemandirian organisasi sangat penting. Mendirikan lembaga dana abadi memerlukan organisasi menjadi financially self-sustainable untuk menjamin agar tidak tergantung pada dukungan pemerintah atau kepentingan sekuler. Selain itu, penting juga mengisolasi dana abadi dari arus dan pergantian panggung politik nasional. Diperlukan kelembagaan yang kuat. Terdapat persepsi yang jelas bahwa organisasi yang kuat dan terkelola dengan baik merupakan syarat penting dalam pemberian dana abadi oleh donor. Diperlukan dewan direksi yang memiliki komitmen dan kompeten. Dewan direksi yang kuat diperlukan agar dana abadi dapat dikelola secara efektif dan menjamin keberhasilan kegiatankegiatan program organisasi. Anggota dewan direksi harus komit terhadap tujuan organisasi, mendukung masyarakat dan pembangunan internasional, dan memahami tanggungjawabnya sebagai dewan direksi. Pemisahan tanggungjawab program dan keuangan. Ini merupakan salah satu cara untuk menjamin akuntabilitas terhadap keputusan keuangan program (grant-making). Di beberapa kasus, dewan direktur dibangun khusus semata-mata untuk mengelola dana abadi. Organisasi lainnya memiliki kelompok kecil anggota dewan direksi menangani sub-komite investasi.
Perlu digarisbawahi juga bahwa dana abadi bukanlah sebuah obat mujarab bagi segala masalah keuangan lembaga. Namun dana abadi dapat menjadi aset yang mendukung dan memberdayakan untuk pembangunan sosial. Dana abadi mempunyai makna lebih jauh dari sekedar keberlanjutan finansial. Itu sebabnya dana abadi tidak dapat digalang dan dibentuk hanya melalui sarana finansial. Konstituen sosial, usaha, waktu, negoisasi, serta komitmen bantuan dan politik, diperlukan untuk menggalang dana abadi. Pada akhirnya, dana abadi tidak akan dinilai dalam pengertian proyek atau finansial semata, tetapi dalam arti dampak mereka terhadap kemiskinan, kesehatan dan lingkungan masyarakat, dan terhadap pembangunan pada umumnya (Gonzales, 2004).
Kotak 8. Lahirnya Yayasan KEHATI Terdapat dua kejadian penting yang melatarbelakangi lahirnya Yayasan KEHATI. Pertama, pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Amerika George H.W. Bush dan Perdana Menteri Jepang Kiichi Miyazawa pada tahun 1992 yang menghasilkan agenda bersama untuk program lingkungan dan memilih Indonesia sebagai negara percontohan. Kesepakatan ini dikenal dengan “Deklarasi Tokyo” dimana dana yang disediakan oleh kedua negara tersebut dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan strategi keanekaragaman hayati Indonesia. Kejadian kedua adalah selesainya masa tugas Emil Salim sebagai menteri pada tahun 1993. Pada saat itu, Emil Salim membuat rencana untuk mendirikan lembaga nasional yang bergerak dalam bidang pelestarian lingkungan. Yayasan KEHATI kemudian secara resmi terbentuk pada bulan Januari 1994 dibawah arahan sebuah dewan yang beranggotan orang-orang terkemuka Indonesia dan dipimpin oleh Emil Salim. Pada saat yang sama, USAID yang bertugas melaksanakan komitmen “Deklarasi Tokyo” untuk mendukung konservasi biodiversitas di Indonesia memutuskan untuk menyediakan dana abadi (endowment fund) untuk dikelola oleh lembaga independen nasional. Dan Yayasan KEHATI dipilih untuk mengelola dana abadi tersebut. Sumber: The Synergos Institue
Salah satu lembaga pengelola dana abadi di Indonesia yang cukup terkenal adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati atau Yayasan KEHATI. Melalui Cooperative Agreement dengan USAID, KEHATI menerima $16,5 juta dana abadi untuk mendukung grant-making dalam bidang konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. USAID juga berjanji memberikan tambahan dana sebesar $2,5 juta untuk menangani biaya operasional untuk 5 tahun pertama (1995-2000) dan asistensi teknis atau konsultasi yang diperlukan untuk membantu operasional yang efektif. Dengan demikian total hibah yang diterima sebesar $19 juta untuk kurun waktu 10 tahun (1995-2005). Kesepakatn ini juga menetapkan bahwa KEHATI harus menyiapkan tambahan dana sebesar $6,5 juta dari sumber sendiri. Dari jumlah tersebut, $4,7 juta harus dikontribusikan untuk dana abadi dan sisanya sebesar $1,8 juta digunakan untuk biaya operasional dan program. Setelah perjanjian dengan USAID berakhir tahun 2005, Yayasan KEHATI tetap dipercaya untuk sepenuhnya mengelola dana hibah tersebut sebagai dana abadi yayasan secara mandiri, guna mendukung sumber daya dan memfasilitasi kegiatan berbagai organisasi masyarakat sipil di Indonesia, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok-kelompok masyarakat adat dan lokal, asosiasi profesi, lembaga-lembaga penelitian, pendidikan, kebudayaan, dan komponen masyarakat lainnya. Laporan keuangan KEHATI tahun 2012 menunjukan bahwa total aset yang dimiliki sebesar Rp 198 milyar meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 166 milyar. Sementara dari sisi pendapatan (revenue), KEHATI membukukan Rp 105 milyar yang juga mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar Rp 40 milyar. Hal ini menunjukan bahwa KEHATI berhasil mengelola dana abadi yang awalnya diperoleh dari donor USAID tahun 1995 hingga saat ini. Selain KEHATI, terdapat lembaga lain yanag mengelola dana abadi di Indonesia dengan jumlah dana bervariasi antara Rp 300 juta hingga Rp 190 miliran dengan nilai investasi antara 2 - 88%. Winder (2000) merangkum lembaga-lembaga pengelola dana abadi tersebut sebagai berikut:
% Income from Endowment
Foundation
Endowment
Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI)
RP 300 million
-
Yayasan Sintesa
RP 600 million
5%
Yayasan Satunama
RP 707 million
12%
Sekretariat Bina Desa (SBD)
RP 1 billion
12%
Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS)
RP 1.2 billion
24%
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)
RP 1.4 billion
2%
Dana Mitra Lingkungan (DML)
RP 4.1 billion
27%
Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI)
RP 190 billion
88%
Daftar Pustaka Adler, J.H., 1995. Making the Polluter Pay Common Law Remedies Provide Better Solutions to Environmental Pollution. The Competitive Enterprise Institute. Washington, D.C. Barbe, J.P., 1994. Economic Instruments in Environmental Policy: Lessons from OECD Experience and their relevance to Developing Economies. OECD Development Centre. CRMP II/SeaShield. Jakrta. Brown, T.H., dan Dunais., M-A., 2005. Pendanaan Konservasi Kelautan: Pedoman Dasar Bagi Indonesia, Cara Mendapatkan dan Memanfaatkan Dana untuk Meningkatkan Konservasi Kelautan. Budhi, G.S., Kuswanto SA, Iqbal, M., 2008. Concept and Implementation of PES Program in the Cidanau Watershed: A Lesson Learned for Future Environmental Policy. Business and Biodiversity Offsets Programme (BBOP). 2009. Biodiversity Offset Worked Example: Fictional Letabeng Case Study. BBOP, Washington, D.C. Business and Biodiversity Offsets Programme (BBOP). 2012. Standard on Biodiversity Offsets. Washington, D.C. CDM Watch, 2003. Toolkit Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) Sebuah rujukan untuk stakeholders, aktifis dan LSM. Cordato, R.E., 2001. The Polluter Pays Principle: A Proper Guide for Environmental Policy. The Institute for Research on the Economics of Taxation (IRET). Washington, D.C. Daniri M.A., 2008. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2012. Skema Karbon Nusantara: Persyaratan dan Ketentuan. Jakarta Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2013. Mari Berdagang Karbon! Pengantar Pasar Karbon untuk Pengendalian Perubahan Iklim. Jakarta Doswald, N*., Barcellos Harris, M*., Jones, M*., Pilla, E‡., and Mulder, I§. (2012) Biodiversity offsets: voluntary and compliance regimes. A review of existing schemes, initiatives and guidance for financial institutions. UNEP-WCMC, Cambridge, UK. UNEP FI, Geneva, Switzerland European Commission, 2011. Communication From The Commission To The European Parliament, The Council, The European Economic And Social Committee And The Committee Of The Regions: A Renewed EU Strategy 2011-14 For Corporate Social Responsibility. Brussel. Gonzales, E.M., 2004. Membentuk dan Mengelola Dana Abadi: Pelajaran dari Asia Tenggara. The Synergos Institute. New York. Jordan, P., Horkan, K.M., 1996. Endowments as a Tool for Sustainable Development. U.S. Agency for International Development. Center for Development Infornation and Evaluation. Madsen, Becca; Carroll, Nathaniel; Moore Brands, Kelly; 2010. State of Biodiversity Markets Report: Offset and Compensation Programs Worldwide. Maxim, S., Hadad, I., Sitorus, S., 2003. Building an Endowment for Biodiversity Conservation in Indonesia: The Case of KEHATI. The Synergos Institute. New York. McQuistan, C.I., et al, 2006. Protected Area Funding in Indonesia. State Ministry of Environment of Republic of Indonesia. Jakarta. Megawanto, R., 2009. Pemanasan Global Bukan Hanya Isu Lingkungan. Megawanto, R., 2008. Perdagangan Karbon.
Megawanto, R., 2014. Pendanaan Berkelanjutan Bagi Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Hasyir, D.A., 2009. Praktek Corporate Social Responsibility Yang Terintegrasi Dan Contoh Implementasinya Pada Industri Perbankan. Center For Accounting Development Department of Accounting, Padjadjaran University. Kementerian Lingkungan Hidup, 2013. Media Briefing Pembayaran Jasa Lingkungan. Jakarta. Kurniawan Ariadi, K., 2002. Pemanfaatan Skema Debt Conversion Sebagai Upaya Pengurangan Utang Luar Negeri Pemerintah. Bappenas. Ochiolini, M., 1990. Debt-for-Nature Swaps. InternationaEconomics Department, The World Bank. Washinhton DC. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor Per-05/Mbu/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan Rogers, A., 1995. Taking Action: An Environmental Guide for You and Your Community. UNEP/Earthprint Ruchimat et al, 2012. Pendanaan Berkelanjutan Untuk Kawasan Konservasi Perairan Indonesia - Prospek Dan Tantangan Pelaksanaannya. Makalah disampaikan pada Konferensi Nasional VIII Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil, Mataram, 22-24 Oktober 2012 Sheikh, P. (2010). Debt-for-Nature Initiatives and the Tropical Forest Conservation Act: Status and Implementation. Congressional Research Service Report. March 30, 2010. Soenarno, S.M., 2012. Jasa Lingkungan. The Indonesian Wildlife Conservation Foundation (IWF). Jakarta Sumiyarto, 2012. Program Debt Swap-Jerman Di Indonesia: Lesson Learn, Tantangan, dan Peluang. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang, Direktorat Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen. Ten Kate, K., Bishop, J., and Bayon, R. (2004). Biodiversity offsets: Views, experience, and the business case. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK and Insight Investment, London, UK. UN-ESCAP, 2009. Kebijakan sosial ekonomi inovatif untuk meningkatkan kinerja lingkungan: Imbal jasa lingkungan. Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia dan Pasifik. Bangkok. Warta Kebijakan No. 10, 2003. Pengalihan Utang untuk Pelestarian Hutan. CIFOR-Center for International Forestry Research. Bogor. Winder, D., 2000. Endowment Fund Activities and Investment. the Workshop on Financial Sustainability for Civil Society Resource Organizations in Indonesia, Yogyakarta, 7-9 November 2000. Wunder, S., 2005. Payments for environmental services: Some nuts and bolts. CIFOR-Center for International Forestry Research. Bogor. Yayasan KEHATI, 2012. Laporan Tahunan Yayasan KEHATI 2012. Jakarta. WWF, 2009. Guide to Conservation Finance: Sustainable Financing for the Planet. www.equator-principles.com www.evostc.state.ak.us www.tfcasumatera.org