MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 82/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN PRESIDEN, DPR, MPR, DAN PIHAK TERKAIT (III)
JAKARTA SELASA, 23 SEPTEMBER 2014
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 82/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014 PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014 PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, Pasal 152] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 92 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 245] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 165, Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 174 ayat (4), ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245 ayat (1), Pasal 249 huruf b, Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 281, Pasal 305, dan Pasal 307 ayat (2) huruf d] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014 1. Megawati Soekarno Putri 2. Tjahjo Kumolo 3. Dwi Ria Latifa
4. Junimart Girsang 5. Sigit Widiarto
PEMOHON PERKARA NOMOR 82/PUU-XII/2014 1. 2. 3. 4. 5.
Khofifah Indar Parawansa Rieke Diah Pitaloka Aida Vitayala Sjafri Hubeis Yuda Kusumaningsih Lia Wulandari
6. Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP) 7. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) 8. Perkumpulan Mitra Gender i
PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: 1. Supriyadi Widodo Eddyono 2. Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: 1. Febi Yonesta 2. Rizal PEMOHON PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014: 1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ACARA Mendengarkan Keterangan Presiden, DPR, MPR, dan Pihak Terkait (III) Selasa, 23 September 2014, Pukul 14.07 – 17.23 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Hamdan Zoelva Arief Hidayat Anwar Usman Aswanto Muhammad Alim Maria Farida Indrati Wahiduddin Adams Patrialis Akbar
Rizki Amalia Achmad Edi Subiyanto Hani Adhani Cholidin Nasir Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014: 1. Dwi Ria Latifa 2. Trimedya Panjaitan B. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Andi Muhammad Asrun Vivi Ayunita Kusumandari Sugeng Teguh Santoso Yanuar Prawira Wasesa Al Latifah Fardhiyah Edison Panjaitan
C. Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014: 1. Harjono 2. Saldi Isra D. Saksi dari Pemohon Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014: 1. Daryatmo Sumaryanto E. Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Supriyadi Widodo Eddyono F. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014: 1. Alfeus Jebabun 2. Robert Sidauruk G. Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014: 1. I Wayan Sudirta 2. Murmawati Bantilan 3. Anang Prihartono H. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014: 1. 2. 3. 4.
Alexander Lay Aan Eko Widiarto Muspani Hestu Cipto Handoyo
iii
I. Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014: 1. Endang Widiastuti 2. Yuda Kusumaningsih 3. Lia Wulandari J. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014: 1. Veri Junaidi 2. Maweswara Prabandono K. Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Rizal 2. Febi Yonesta L. Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014: 1. Ichsan Zikri M. Kuasa Hukum Pihak Terkait PKS: 1. Zainudin Paru N. Kuasa Hukum Pihak Terkait Golkar: 1. Heru Widodo 2. AH. Wakil Kamal O. Kuasa Hukum Pihak Terkait Demokrat: 1. Arsi Divinubun 2. Robinson P. Kuasa Hukum Pihak Terkait Nasdem: 1. Taufik Basari 2. Regginaldo Sultan Q. Kuasa Hukum Pihak Terkait PPP: 1. Unoto Dwi Yulianto 2. Iwan Gunawan R. Pemerintah: 1. Agus Hariadi ii
2. Wahyu Chandra 3. Mualimin Abdi S. DPR: 1. 2. 3. 4.
Aziz Syamsudin Ahmad Yani Beni Karman Fahri Hamzah
T. MPR: 1. Eddie Siregar 2. Maruk Cahyono
iii
SIDANG DIBUKA PUKUL 14.07 WIB 1.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 73, 76, 79, 82, dan 83/PUU-XII/2014, dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Saya mau absen dulu siapa saja yang hadir? Perkara Nomor 73, Pemohon?
2.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Ya, Yang Mulia. Dari Pemohon 73 hadir, Kuasa Hukum sebelah kiri saya Saudara Yanuar Prawira. Kemudian, di belakang ada Saudara Sugeng Teguh Santosa. Kemudian, selanjutnya Saudara Vivi Ayunita Kusumandari dan Saudari Al Latifah Fardhiyah, Edison Panjaitan dan saya sendiri Muhammad Asrun, serta hadir juga Prinsipal Dwi Ria Latifa, S.H., M.Sc., dan Ketua PDIP bidang Hukum dan Ham Trimedya Panjaitan, serta sesuai dengan surat kami, Yang Mulia, kami juga sudah membawa dua orang Ahli, Pak Dr. Harjono dan juga Profesor Saldi Isra, serta satu orang saksi/fakta Ir. H. Daryatmo Sumaryanto. Demikian, Yang Mulai. Terima kasih.
3.
KETUA: HAMDAN ZOELVA 76?
4.
Ya, terima kasih, selanjutnya Perkara ... Pemohon Perkara Nomor
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 76/PUU-XII/2014: ROBERT SIDAURUK Ya, terima kasih, Yang Mulia. Kami dari Pemohon Nomor 76 saat ini diwakili oleh saya Robert Sidauruk sebagai Kuasa Hukum, rekan saya di sebelah Alfeus Jebabun dan Prinsipal Bapak Supriyadi Widodo di belakang kami.
5.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Pemohon Nomor 79?
1
6.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014: ALEXANDER LAY Hadir, Yang Mulia. Dari Prinsipal Bapak I Wayan Sudirta, Ibu Murmawati Pantilan, Bapak Anang Prihartono, dari Kuasa Hukum saya sendiri Alexander Lay. Kemudian di sebelah kanan saya Pak Aan Eko Widiarto, Bapak Muspani, dan Bapak Hestu Cipto Handoyo di belakang, terima kasih, Yang Mulia.
7.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, 82 Pemohon?
8.
KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 82/PUU-XII/2014: VERI JUNAIDI Hadir, Yang Mulia. Pemohon Prinsipal ada Endang Widyastuti, Ibu Yuda Kusumaningsih dan Lia Wulandari, saya sendiri Veri Junaidi sebagai Kuasa Hukum dan Maweswara Prabandono. Terima kasih, Yang Mulia.
9.
KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Nomor 83, Pemohon?
10. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 83/PUU-XII/2014: ICHSAN ZIKRI Hadir, Yang Mulia. Saya sendiri Ichsan Zikri, Kuasa Hukum, lalu Prinsipal hadir sebelah kanan saya, Saudara Rizal, dan di belakang ada Saudara Febi Yonesta. 11. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Dari Pemerintah yang mewakili Presiden? 12. PEMERINTAH: AGUS HARIADI Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat sore salam sejahtera untuk kita semua, hadir dari Pemerintah mewakili Presiden, saya sendiri Agus Hariadi (Staf Ahli Menteri Hukum dan HAM bidang lingkungan hidup dan pertanahan). Sebelah kiri saya, Saudara Chandra dari Kementerian Dalam Negeri dan yang paling ujung Bapak Mualimin Abdi (Kabalibang HAM) sekaligus nanti akan membacakan keterangan presiden. Terima kasih, Yang Mulia.
2
13. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, DPR? 14. DPR: AZIZ SYAMSUDIN Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Dari DPR, saya sendiri Aziz Syamsudin, terima kasih. 15. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih, hadir semua, ya? MPR, ya? Juga diundang, Ya MPR silakan? 16. MPR: EDDIE SIREGAR Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Kami diberikan kuasa oleh Pimpinan MPR, Eddie Siregar, Sekertaris Jendral MPR, dan Saudara Maruk Cahyono (Kepala Pusat Pengkajian). Demikian, Yang Mulia. Terima kasih. 17. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Sebelum sidang dilanjutkan, Mahkamah terlebih dahulu menyampaikan bahwa terhadap Perkara Nomor 73, ada para pihak yang mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait, yaitu pertama Djoko Purwanto yang diwakili oleh Kuasanya Hamid Dwi Hudaya cs. Kemudian, yang kedua, yang diajukan oleh Didik Mukrianto yang memberi kuasa kepada Arsi Divinubun dan kawan-kawan. Kemudian, Muhammad … kemudian, selanjutnya Djoko Purwanto sudah tadi, ya? Ya kemudian Didik Mukrianto dari Demokrat tadi dari PPP. Kemudian Fahri Hamzah, Nasir Jamil dan Sa’duddin, dan Hadi Mulyadi, mengajukan sebagai Pihak Terkait terhadap Perkara 73, 76, 82, dan 83, serta dari Partai Nasdem terhadap Perkara 73, 76, 79, 82, 83 terhadap semua permohonan dari para pihak ini Mahkamah … Majelis sudah memutuskan untuk diterima sebagai Pihak Terkait. Kemudian selanjutnya, hari ini agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari DPR, dari MPR, dari Presiden, dan juga dari Pihak Terkait langsung, ya. Setelah itu, kita akan melihat perkembangan setelah ini, sampai jam berapa kita sidang. Rupanya Pihak Terkaitnya banyak. Baik, kita mulai.
3
18. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: AH. WAKIL KAMAL Mohon izin, Yang Mulia. Ada Pihak Terkait yang belum disebutkan, yaitu dari perseorangan Muhammad Sarmuji dan Didik Prihantono. 19. KETUA: HAMDAN ZOELVA Tadi sudah. Partai Golkar, kan? Didik Sarmuji dan Didik Prihantono, ya. 20. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: AH. WAKIL KAMAL Muhammad Sarmuji. 21. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, Muhammad Sarmuji? 22. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: AH. WAKIL KAMAL Ya, Yang Mulia. Perlu diklarifikasi, Yang Mulia, kami tidak mewakili institusi partai politik, tapi kami paham betul bahwa partai politik dalam beberapa putusan Mahkamah telah menyatakan tidak mempunyai legal standing. Jadi kami mewakili perorangan warga (…) 23. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, perseorangan ya. Cuma memang catatan saya di sini karena … karena apa … calon anggota terpilih kalau tidak salah dari Partai Golkar. Gampangnya dari Partai Golkar, walaupun bukan Partai Golkar, ya. Bukan Partai Golkar, ya? 24. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Izin, Yang Mulia. 25. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sebentar, sebentar. Ini Kuasa dari Muhammad Sarmuji dan Didik Prihantono, tanggal Surat Kuasanya tanggal 27 September 2014?
4
26. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: AH. WAKIL KAMAL Ada kesalahan, mohon dikasih kesempatan untuk merenvoi bulannya, Yang Mulia. Salah ketik itu, Yang Mulia. 27. KETUA: HAMDAN ZOELVA Oh, bulannya? Bukan tanggal? 28. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: AH. WAKIL KAMAL Bukan tanggalnya, bulannya harus di Agustus, Yang Mulia. 29. KETUA: HAMDAN ZOELVA Agustus. Direnvoi, ya? 30. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: AH. WAKIL KAMAL Ya, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia. 31. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. Pemohon 73? 32. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Mohon izin, Yang Mulia. Ini terkait dengan persidangan perkara ini, kami tentunya berharap pertama-tama Mahkamah bisa memberikan putusan lebih cepat dan kemudian sebelum tanggal 1 Oktober, sebelum pelantikan, Yang Mulia, karena untuk pemanfaatan putusan itu sendiri. Kemudian, kami jelas-jelas telah meminta untuk uji formil dan uji materiil sekalian. Dan kemudian, saya kira, Yang Mulia, kalau seandainya memang diperkenankan, maka kiranya diberikan putusan sela terlebih dahulu terhadap perkara ini agar kami dapat … apa namanya … menunda, meminta kepada DPR penundaan untuk pemilihan pimpinan dan alat kelengkapan dewan, Yang Mulia. Demikian Yang Mulia, terima kasih banyak. 33. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, permohonan Saudara kami catat dan kita dengarkan dulu keterangan dari DPR dan Presiden dan Pihak Terkait. Nanti biar Majelis yang akan pertimbangkan, ya. 5
Saya persilakan dulu dari MPR. MPR ada? Anggota MPR-nya tidak hadir? Sebenarnya bisa diwakili oleh anggota DPR juga sebenarnya karena sekaligus anggota MPR, tapi enggak apa-apa ya, silakan. 34. MPR: EDDIE SIREGAR Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Pertama, mohon izin pimpinan MPR sedang ada kegiatan, sehingga kami ditugaskan dan diberikan surat untuk mewakili. Yang bisa kami sampaikan dalam hal ini adalah ketika pimpinan MPR memberikan sumbangan pemikiran kepada pansus, MPR mengusulkan agar undang-undang tersendiri diadakan bukan disatukan tapi mengingat Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ini yang kami usulkan adalah supaya undang-undang itu tidak disatukan tapi MPR mem … diatur dalam undang-undang … dengan undang-undang tersendiri. Demikian juga semua yang ditetapkan dengan … diatur dengan … itu dalam undang-undang tersendiri. Kemudian usul berikutnya yang diajukan oleh pimpinan MPR adalah tentang penguatan lembaga MPR dengan memberikan wewenang yang lebih luas, dalam arti untuk menetapkan atau memperankan tugas MPR sebagai lembaga dalam memasyarakatkan Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila, GBHN … kami ulangi, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, serta juga mengusulkan agar ada reformulasi perancangan pembangunan nasional model GBHN. Dan kami kira demikian yang bisa kami sampaikan, Yang Mulia, terima kasih. 35. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Ya. Dari DPR, silakan. Pak Aziz. 36. DPR: AZIZ SYAMSUDDIN Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum wr. wb. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atas permohonan pengujian Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014, Nomor 76/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014, dan Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014, dan Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014. Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berdasarkan surat keputusan pimpinan DPR RI yang telah menugaskan anggota DPR 6
RI, kami yang hadir dalam kesempatan ini Dr. Aziz Syamsuddin dengan nomor anggota A197 dan beserta Saudara Ahmad Yani, S.H., M.H., Saudara Dr. Beni K. Harman, dan Saudara Fahri Hamzah, S.E., baik dalam hal bersama-sama maupun dalam hal sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR. Majelis Hakim Yang Mulia, berdasarkan keterangan yang ada secara tertulis kami berikan, maka kami mohon izin untuk dalam kesempatan ini apakah diperkenankan kami membaca secara pokok-pokok poinnya saja (...) 37. KETUA: HAMDAN ZOELVA Silakan, pokok-pokoknya saja ya. 38. DPR: AZIZ SYAMSUDDIN Baik. Terima kasih, Yang Mulia. 39. KETUA: HAMDAN ZOELVA Majelis.
Inti pokok-pokoknya saja, nanti tertulis diserahkan kepada
40. DPR: AZIZ SYAMSUDDIN Tertulis kami serahkan. Baik. Terima kasih, Yang Mulia. Keterangan DPR terhadap dalil-dalil Para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut. 1. Tentang kedudukan hukum/legal standing A. Terhadap kedudukan legal standing Para Pemohon dalam Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014, DPR berpendapat sebagai berikut. 1. Bahwa dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah menentukan bahwa anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Bahwa peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR adalah partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa anggota partai politik yang terpilih dikelompokkan dalam fraksi-fraksi di DPR. Pemohon I, yaitu ketua umum dewan pimpinan pusat dikelompokkan dalam fraksi ... ketua umum fraksi-fraksi Pemohon I, yaitu Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, dan Pemohon V sebagai Anggota Partai PDI Perjuangan telah terwakili di dalam fraksi di DPR. Sedangkan Sekretaris Dewan Pimpinan Pusat PDI 7
Perjuangan berstatus sebagai anggota DPR yang mempunyai hak konstitusional berdasarkan Pasal 20A ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota dewan perwakilan rakyat mempunyai hak untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas.” Begitu pula hak konstitusional DPR untuk melaksanakan fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar 1945 ini, dewan perwakilan rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.” Sementara pada Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 juga telah memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan undang-undang yang selengkapnya menyatakan anggota dewan perwakilan rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. 2. Bahwa berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22E ayat (3) UndangUndang Dasar 1945, maka Para Pemohon sebagai partai politik yang telah terwakili dalam Fraksi PDI Perjuangan dan anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, selaku Pemohon menjadi bagian yang terpenting ketika pembuatan undang-undang a quo. Oleh karenanya DPR berpendapat, tidak ditemukan adanya tindakan diskriminasi terhadap diri Pemohon. Selaku partai politik dan anggota DPR ketika undang-undang a quo dibentuk, sehingga tidak tepat ketika setelah menjadi undang-undang justru dipersoalkan konstitusionalnya yang berarti mempersoalkan tindakan fraksi dan anggotanya sendiri di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi yang mulia. Dengan demikian Para Pemohon dalam Perkara 73/PUU-XII/2014 tidak memiliki kedudukan hukum legal standing karena sebagai partai politik telah diwakili oleh fraksi dan anggotanya, hal ini sesuai dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Putusan Nomor 151/PUUVII/2009 dalam halaman 84-85 dan seterusnya. Pertimbanganpertimbangan yang b, yaitu terhadap kedudukan hukum legal standing Para Pemohon dalam Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014, Perkara Nomor 82/PUUXII/2014, dan Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014, DPR menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua Majelis Hakim dan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007. Adapun 8
tentang pengujian atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tertera dalam jawaban kami secara tertulis, yaitu poin a dan seterusnya sampai dengan poin b, maka setelah mendapat izin dari Majelis maka kami masuk ke dalam tentang pengujian materiil. Di dalam hal tentang pengujian materiil, sebelum kami menyampaikan keterangan terhadap pengujian materiil di atas, beberapa pasal yang dimohonkan Pemohon, perkenankan kami menyampaikan secara ringkas berkaitan dengan prinsip demokrasi hak memilih dan dipilih, independesi lembaga, perbandingan pengisian pimpinan lembaga negara, dan tata cara pengisian pimpinan DPR, dan pimpinan alat kelengkapan DPR, lainnya sejak DPR dibentuk sampai dengan DPR periode 2009-2014. Pertama. Bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui dan dipraktikkan sejak lama, dalam sistem demokrasi rakyat memilih hak dan kedudukan sebagai penentu dalam penyelenggaraan pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei), rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan pemerintahan. Demokrasi melahirkan sistem perwakilan yang mempunyai … yang menjadi latar belakang munculnya ide lembaga perwakilan dan lembaga parlemen. Parlemen mewakili suara mayoritas rakyat dan sebagai tempat bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh C.F. Strong bahwa sistem government in which the majority if the grown members of the political community participate through the methode of the representation which secure the government ultimate responsibility for the action out to majority. Konsep negara demokrasi di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 1 ayat (1), ayat (2), yang menyatakan bahwa kedaulatan rakyat … kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Indonesia juga menganut konsep negara, sehingga demokrasi Indonesia dibatasi oleh hukum, demokrasi, sebagaimana dimaksud dinyatakan di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya, pemilihan merupakan mekanisme pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, diatur Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dipilih melalui pemilihan umum juncto Pasal 22 ayat (2), pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Wakil Presiden dan Perwakilan Rakyat Daerah. Selanjutnya, pemilihan umum menghasilkan besaran perolehan majority pada negara yang menganut sistem dwi partai … partai yang 9
memperoleh mayoritas suara dinyatakan sebagai pemenang pemilu dan menguasai parliament majority rule. Berbeda dengan negara yang menganut sistem multipartai. Untuk memperoleh suara mayoritas yang melebihi 50% untuk dicapai, dalam hal seperti ini koalisi antarbeberapa partai, sulit opsi untuk mencapai majority rule. Terciptanya koalisi membuka ruang kompromi dan kompetisi antarberbagai partai politik di parlemen, termasuk dalam hal pemilihan pimpinan. Dan seterusnya Saudara … Majelis Hakim Yang Mulia. Kami masuk ke dalam pokok-pokok permohonan pengujian dalam Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, dan Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UndangUndang MD3, DPR memberikan keterangan sebagai berikut. Pertama. Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya, menghendaki agar pimpinan DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik dengan perolehan kursi terbanyak di DPR, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, sehingga Pemohon sebagai pemenang pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/kota tahun 2014 merasa berhak menjadi Ketua DPR RI, akan tetapi ketentuan tersebut diubah dalam Pasal 84 Undang-Undang MD3. Yang kedua. Para Pemohon beranggapan sudah menjadi hal yang umum untuk mengadopsi konvensi partai politik pemenang pemilu legislatif menjadi ketua parlemen, sebagaimana dilaksanakan di Amerika Serikat. Terhadap anggapan Para Pemohon tersebut, DPR berpendapat bahwa justru pola kepemimpinan di Kongres Amerika Serikat dikuasai oleh partai pemenang pemilu atau partai majority, Thomas Jeverson, kemudian dan seterusnya dimana partai majority sering memiliki agenda pribadi terselubung, serta mengabaikan suara dari partai minoritas, dan suara rakyat itu sendiri. Tirani majoritas juga dialami oleh Yunani, ketika demokrasi perwakilan yang dilaksanakan … yang dijalankan tidak disertai dengan pembatasan sehingga mengurangi esensi demokrasi. Yang ketiga. Bahwa dalam penyelenggaraan pemerintah yang demokrasi harus menerapkan asas prinsip check and balances, apabila pemerintah dan parlemen berasal dari satu partai politk yang sama, prinsip check and balances kurang menjadi efektif dalam pemerintahan serta akan terjadi pemusatan kekuatan partai politik. Yang keempat. Bahwa ketentuan Pasal 84 Undang-Undang MD3 mengatur pemilihan pimpinan dari dan oleh anggota DPR merupakan pilihan kebijakan yang menegakkan prinsip demokrasi di parlemen. Model yang diadopsi oleh Undang-Undang MD3 ini telah sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat yang mengakui hak anggota lembaga perwakilan untuk tetap memilih ... memiliki hak memilih dan dipilih di dalam lembaga perwakilan DPR. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 80 huruf d Undang-Undang MD3, ketentuan dalam pasal a quo sekaligus memberikan 10
perlindungan terhadap hak dan kepentingan partai minoritas. Meskipun demikian, pengisian pimpinan DPR melalui pemilihan tetap memberikan ruang musyawarah dan mufakat yang merupakan ciri demokrasi. Bahwa sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 011 sampai dengan 017/PUU-I/2003, tanggal 24 Februari 2004, hak memilih dan dipilih, right to vote and right to be candidate, dijamin oleh konstitusi untuk undang-undang dan konvensi internasional. Perbatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara, dalam menentukan pimpinan DPR pun tidak diperlukan pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak bagi setiap anggota untuk memilih dan dipilih. Pemilihan pimpinan DPR secara demokrasi menjamin kualitas sesuai dengan keinginan yang diinginkan oleh para anggota DPR, bukan keinginan fraksi semata yang akhirnya memperlemah citra DPR di mata publik. Bahwa diaturnya tata cara pengisian pimpinan DPR UndangUndang MD3 melalui mekanisme dipilih dan oleh anggota tidak merupakan ... tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusi Para Pemohon sebagai partai politik yang memperoleh suara dan kursi terbanyak pada pemilu legislatif 2014. Karena Pemohon tetap memiliki kesempatan untuk menjadi pimpinan DPR. Selanjutnya poin tujuh. Bahwa sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara, DPR memiliki hak untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri menurut konsitusi. Pengisian pimpinan DPR merupakan pilihan kebijakan untuk memberikan pengakuan dan penegakan independensi secara kelembagaan. Yang kedelapan. Bahwa praktik pengisian pimpinan lembaga negara independen juga diberlakukan pada lembaga negara lainnya, berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Selanjutnya perkenankan kami memberikan catatan tata cara pimpinan lembaga negara yang kami sebutkan sebagai berikut. Yang pertama, lembaga MPR. Berdasarkan Pasal 15 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, dan DPR, DPD, dan DPRD, pimpinan dipilih dari dan oleh anggota MPR. Kedua, tentang DPD. Pasal 260 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pemilihan DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD. Badan Pemeriksa Keuangan. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota Badan Pemeriksa Keuangan. Yang keempat, Mahkamah Agung. Pasal 24A ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 8 ayat (7) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, 11
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dan oleh Hakim Agung. Yang kelima, Mahkamah Konstitusi. Pasal 24C ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi. Yang keenam, Komisi Yudisial. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial. Maka berdasarkan hal-hal tersebut, kami juga bisa menjelaskan beberapa hal tentang penetapan ketua DPR dari dan ... dari anggota partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR bukan hanya merupakan konvensi ketatanegaraan karena praktik periode ke DPR hanya dilakukan periode 2009-2014. Berikut ini kami sampaikan tata cara pengisian pimpinan DPR, pimpinan alat kelengkapan DPR, dan lainnya sejak DPR dibentuk sampai dengan DPR periode 2009-2014. Yang pertama, periode Komite Nasional Pusat (KNP) dan Badan Pekerja KNP periode DPR dan senat RIS, dasar hukumnya peraturan tata tertib KNP, Badan Pekerja KNP tanggal 1 Desember 1949 bahwa pemilihan ketua Badan Pekerja ialah Komite Nasional wakil ketua 1 dan wakil ketua 2 dipilih Badan Pekerja di antara anggota-anggotanya. Kemudian, periode DPR sementara, yaitu tanggal 16 Agustus 1950 sampai dengan 25 Maret 1956, Pasal 1 sampai dengan Pasal 26 peraturan tata tertib senat RIS, ketua, dan wakil ketua senat dipilih dari dan oleh anggota senat. Yang ketiga, periode DPR hasil pemilu 1955, Pasal 5 sampai dengan Pasal 17, Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) keputusan DPR sementara Nomor 30/K/1950 tentang Peraturan Tata Tertib DPRS, ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh anggota DPRS dan pimpinan dan lainnya, seksi-seksi bagiannya dipilih dari dan oleh anggotanya. Selanjutnya periode DPR hasil pemilu 1955 Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Putusan DPR Nomor 8/DPR-1945 sampai 1959 tentang Peraturan Tata Tertib DPR, yaitu menyangkut ketua dan wakil ketua dipilih dan oleh anggota DPR, pimpinan AKD badan alat kelengkapan perlengkapan DPR ditetapkan oleh AKD yang bersangkutan. Kemudian periode DPRGR tahun 1960 sampai dengan 1965 Pasal 2 dan Pasal 12 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1960 tentang Peraturan Tata Tertib DPR juga pimpinan DPR diangkat dan 12
diberhentikan oleh presiden, kemudian pimpinan AKD ditetapkan oleh AKD, yaitu oleh anggota yang bersangkutan. Kemudian DPRGR minus PKI, 15 November 1965-November 1966 periode DPRGR zaman orde baru 19 November 1966 dan Oktober 1971, Pasal 2, Pasal 12, dan Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun (suara tidak terdengar jelas) tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR juga pimpinan DPR diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan pimpinan AKD badan (suara tidak terdengar jelas) diangkat oleh pimpinan DPR, adapun pimpinan DPRGR diangkat dan diberhentikan oleh presiden sebagai mandataris. Periode DPR hasil pemilu 19 Tahun 1971 sampai yaitu tanggal 28 Oktober 1971 sampai dengan 30 September 1977, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1966 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR Lembaran Negara Nomor 91 Tahun 1964 dan seterusnya, ketua dan wakilwakil ketua DPRGR dipilih dari dan oleh anggota. Pimpinan AKD badan perlengkapan DPRGR ditetapkan oleh pimpinan DPRGR dengan mempertimbangkan kelompok-kelompok dari anggotanya. Kemudian Pasal 1 Keputusan DPRGR, pimpinan DPR, dipilih oleh dan dari anggota DPRGR. Kemudian, periode DPR RI hasil pemilu 1987, periode DPR RI hasil pemilu 1982, yaitu Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1966, ketua dan para wakil ketua DPRGR dipilih oleh dan dari anggota. Kemudian Pasal 27 dan Pasal 30 Keputusan DPRGR Nomor 10/DPR-GR/III/1967 sampai 1968 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR pimpinan badan alat kelengkapan DPRGR ditetapkan oleh pimpinan DPRGR. Kemudian periode DPR RI hasil pemilu 1997, periode DPR RI hasil pemilu 1999, Pasal 16 Undang-Undang 16 Tahun 1969 tentang Kedudukan dan … Susunan dan Kedudukan MPR dan DPR, serta DPRD, pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR. Kemudian Pasal 35, Pasal 43, dan Pasal 45 Keputusan DPR Nomor 7/DPR-RI/III/1971-1972, tanggal 8 Januari 1972, pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR. Pimpinan panitia rumah tangga ditetapkan oleh badan musyawarah dan pimpinan komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Periode DPR RI hasil pemilu 2004, berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR dan DPR, kemudian Pasal 44 dan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 59, Pasal 63 ayat (1), berdasarkan keputusan DPR RI Nomor 17 DPR RI tentang Peraturan Tata Tertib DPR sebagaimana diubah dalam keputusan DPR-RI Nomor 14 DPR RI/IV Tahun 1978-1979 tentang penyempurnaan tata tertib DPR bahwa pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR. Kedua, pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan anggota AKD yang bersangkutan. 13
Periode selanjutnya kami persingkat, kemudian periode MPR RI hasil pemilu tahun 1982 berdasarkan Pasal 82 dan Pasal 27 Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pimpinan DPR berasal dari partai politik, yaitu hanya kejadian pada … berdasarkan kursi terbanyak tahun … di DPR. Kemudian Pasal 95, Pasal 101 dan 102 dan Pasal 119 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR dan DPR berdasarkan pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, Perkara Nomor 76 dan Perkara Nomor 83/PUU-XII/2014 terhadap permohonan Pengujian Pasal 245 Undang-Undang MD3 Perkara Nomor 76/PUU-XII/2014 dan Perkara 83/PUU-XII/2014, DPR memberikan penjelasan sebagai berikut. 1. Bahwa terkait dalil Pemohon perlu diperhatikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 73/PUU-IX/2011 halaman 73 yang berbunyi, “Menurut Mahkamah, pejabat negara dalam menjalankan tugas dan kewenangan terkait jabatan nagara yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara.” 2. Memperhatikan pertimbangan hukum, maka Mahkamah Konstitusi dalam putusan Perkara 73/PUU-IX/2011 halaman 75 yang menyebutkan, menurut Mahkamah memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan martabat pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan sembrono dan sewenangwenang, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana apalagi menyampai … berakibat terhambatnya proses hukum dan seterusnya. Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia, berdasarkan hal-hal tentang pengajuan Perkara Nomor 79 dan seterusnya karena ini merupakan bagian yang tertulis dan tidak terpisahkan, maka kami persingkat dengan persetujuan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi di awal, maka kami menyampaikan hal-hal sebagai berikut. Yang pertama, yaitu mengenai perkara khusus dalam Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014 terhadap pengujian Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), dan Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), dan Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2) Undang-Undang MD3 dalam Perkara Nomor 82/PUU-XII/2014, DPR memberikan penjelasan sebagai berikut. Bahwa pengaturan mengenai keterwakilan perempuan tidak diatur dalam Undang-Undang MD3 tetapi diatur dalam peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata tertib karena menyangkut kewenangan DPR. Keterwakilan perempuan sudah diatur di dalam tata tertib DPR sebagaimana amanat dari Pasal 84 ayat (10), Pasal 97 ayat (7), Pasal 104
14
ayat (7), Pasal 109 ayat (7), Pasal 115 ayat (7), dan Pasal 121 ayat (7), dan terakhir Pasal 153 ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang MD3. Bahwa ketentuan mengenai keterwakilan perempuan dalam perataturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2014 tentang tata tertib sebagai berikut. a. Dalam Pasal 27 ayat (1) tentang tata cara pemilihan DPR. b. Pasal 57 ayat (5) mengenai tata cara pemilihan pimpinan komisi. c. Pasal 64 ayat (5) mengenai tata cara pemilihan pimpinan Baleg (Badan Legislasi). d. Pasal 69 ayat (5) tentang tata cara pemilihan pimpinan badan anggaran. e. Pasal 74 ayat (5) mengenai tata cara pemilihan pimpinan BKSAP. f. Pasal 80 ayat (5) mengenai tata cara pemilihan pimpinan MKD. g. Pasal 89 ayat (5) tentang tata cara pemilihan pimpinan BURT. Peraturan DPR merupakan salah satu jenis peraturan perundangundangan yang diakui keberadaannya, mempunyai kekuatan hukum mengikat karena diperintahkan oleh Undang-Undang MD3. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan, diakui keberadaan dan … keberadaan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Demikian keterangan DPR untuk menjadi bahan pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia untuk memeriksa, memutus, mengadili perkara a quo, dan dapat memberikan putusan sebagai berikut. 1. Menolak permohonan Para Pemohon atau setidaknya menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. 2. Menyatakan keterangan DPR diterima untuk seluruhnya. 3. Menyatakan Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, Pasal 152, Pasal 165, Pasal 166 ayat (2), 167 ayat (1), Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 174 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245, Pasal 249 huruf b, Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 278 ayat (1), Pasal 305, dan Pasal 307 ayat (2) huruf d UndangUndang Nomor 17 tentang tata tertib … tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak bertentangan dengan undang-undang tahun … UndangUndang Dasar Tahun 1945. 4. Menyatakan Pasal 71 huruf c, Pasal 72, Pasal 84, dan Pasal 97, serta Pasal 104, Pasal 105, Pasal 115, Pasal 121, Pasal 152, Pasal 165, Pasal 166 ayat (2), Pasal 167 ayat (1), Pasal 170 ayat (5), Pasal 171 ayat (1), Pasal 174 ayat (4) dan ayat (5), Pasal 224 ayat (5), Pasal 245, Pasal 246 huruf d, Pasal 250 ayat (1), Pasal 252 ayat (4), Pasal 276 ayat (1), Pasal 277 ayat (1), Pasal 281, Pasal 305, Pasal 307 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tetap mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat. 15
Demikian, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan, pandangan dan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kami dari Tim Kuasa Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Wassalamualaikum wr. wb. 41. KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih. Keterangan selengkapnya dimuat dalam keterangan tertulis, ya. Serahkan, sudah ada? Sudah ada. Kalau ada nanti diserahkan kepada Kepanitaraan hari ini juga. Terus tata tertib apa sudah ada dibawa? Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2014 tadi yang disebutkan ada? Ada sekarang? 42. DPR: AZIZ SYAMSUDDIN Melalui proses paripurna tingkat II. 43. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, segera dimajukan ke sini, ya. 44. DPR: AZIZ SYAMSUDDIN Baik. 45. KETUA: HAMDAN ZOELVA
ya.
Segera dimajukan ke Mahkamah. Selanjutnya, saya persilakan dari Pemerintah mewakili presiden,
46. PEMERINTAH: MUALIMIN ABDI Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, Para Pemohon yang jumlahnya lumayan banyak, wakil dari DPR, kemudian rekan-rekan dari Pemerintah. Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Terkait dengan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dimohon … sebagaimana dimohonkan ... sebagaimana tercatat di 16
dalam Register Nomor 73, 76, 79, 82, 83/PUU-XII/2014, Presiden Republik Indonesia memberikan kuasa kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsuddin, yang kemudian Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan kuasa kepada saya sendiri, dan Saudara Agus Hariadi yang sudah hadir di hadapan Bapak, Ibu. Kemudian yang kedua, menteri … presiden juga memberikan kuasa kepada Menteri Dalam Negeri, Bapak Gamawan Fauzi, yang juga telah memberikan kuasa substitusi kepada yang telah ditunjuk untuk mewakili permohonan pengujian ini. Yang Mulia, terkait dengan keterangan Pemerintah, Pemerintah akan memberikan hal-hal atau keterangan sebagai berikut. Yang pertama, Pemerintah keterangannya tidak sebanyak yang disampaikan oleh DPR, keterangan Pemerintah sangat singkat. Kemudian yang kedua, terkait dengan permohonan Pemohon, Pemerintah juga tidak akan bacakan satu per satu karena dianggap telah diketahui oleh Para Pemohon maupun oleh Pemerintah. Kemudian yang ketiga, terkait dengan kedudukan hukum Para Pemohon. Terkait dengan kedudukan Para Pemohon, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memberikan … untuk menilai dan mempertimbangkan apakah Para Pemohon memiliki kedudukan hukum atau tidak sebagaimana ditentukan di dalam ketentuan Pasal 51 UndangUndang Nomor 23 Tahun … Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana juga telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, juga berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang telah diputuskan sebelumnya. Selanjutnya, Yang Mulia, dalam permohonan ini yang pertama adalah Pemerintah mengapresiasi dan menghargai usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat termasuk juga oleh Para Pemohon untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang MD3. Tentunya kesemuanya adalah satu tujuannya adalah dalam rangka menjaga dan memperbaiki demokrasi dan sistem ketatanegaraan agar dapat berjalan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menurut Pemerintah hal ini adalah tepat diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan dan menjadi jalan keluar yang terbaik. Selanjutnya, Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, terkait dengan permohonan pengujian Pasal 84 UndangUndang MD3 yang pada intinya mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan DPR, yaitu bahwa calon pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap, adapun calon pimpinan dapat disampaikan dalam rapat paripurna oleh masing-masing fraksi yang selanjutnya dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan oleh ketua atau keputusan DPR. 17
Yang Mulia Ketua Majelis Hakim, memang pascaperubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan termasuk kelembagaan pemusyawaratan perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan DPD, dan DPRD. Perubahan dimaksud adalah dalam rangka untuk mewujudkan lembaga pemusyawaratan perwakilan yang lebih demokratis, efektif, dan akuntabel. Selanjutnya Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, dapat kita pahami bahwa pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR adalah bagian dari anggota MPR sehingga dapat dimungkinkan adanya proses pemilihan dengan suara terbanyak jika penyelesaian melalui musyawarah mufakat tidak tercapai. Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya pimpinan lembaga permusyawaratan yang lebih demokratis dengan mengedepankan proses musyawarah mufakat dan suara terbanyak. Hal tersebut, Yang Mulia, merupakan suatu proses yang sesuai dengan nilai-nilai demokratis dalam pola pemilihan yang melibatkan seluruh unsur fraksi yang ada di dalam DPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Kemudian Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, lebih lanjut Pemerintah juga dapat menyampaikan bahwa dengan adanya ketentuan yang menjadi objek permohonan a quo, maka tidak menutup kemungkinan bahwa partai politik yang memperoleh suara terbanyak dapat mengajukan calonnya untuk menjadi pimpinan DPR. Selanjutnya bahwa terhadap beberapa pasal yang dimohonkan pengujian terkait dengan keterwakilan perempuan, menurut perimbangan anggota di tiap-tiap partai, yaitu sebagaimana tercantum di dalam Ketentuan Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, kemudian Pasal 115, Pasal 125, dan Pasal 152 yang terkait dengan alat kelengkapan DPR dan keterwakilan perempuan, maka menurut Pemerintah hal ini merupakan salah satu langkah perbaikan demokrasi penataan kelembagaan negara yang berbasis kepada kedaulatan anggota dalam rekrutmen pimpinan secara proporsional. Meskipun dalam ketentuan ini tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan ini menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih menentukan pada lembaga-lembaga negara tersebut. Selanjutnya, Yang Mulia. Terkait dengan Ketentuan Pasal 245 Undang-Undang MD3 yang mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan bagian dari pelaksanaan asas praduga tak bersalah, dan persamaan kedudukan hukum, berkesamaan kedudukan di muka hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum.
18
Pengaturan ini dimaksudkan agar ... untuk tidak menghalanghalangi proses penegakan hukum dalam rangka melakukan penyelidikan dan penyidikan, namun lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis yang kuat. Selanjutnya, di dalam Ketentuan Pasal 245 juga telah memberikan jalan keluar, yaitu apabila dalam kurun waktu 30 hari persetujuan tertulis tidak diberikan, maka proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilaksanakan tanpa persetujuan tertulis dari Dewan Kehormatan Dewan, dan ketentuan ini menurut Pemerintah telah memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya. Kesimpulannya, Yang Mulia. Bahwa berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 untuk memberikan putusan yang bijaksana dan seadiladilnya, ex aequo et bono. Terima kasih, wabilahi taufik wal hidayah wassalamualaikum wr. wb. 47. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Selanjutnya saya persilakan Pihak Terkait atas nama Muhammad Sarmuji dan Didik Prihantono. 48. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: HERU WIDODO Terima kasih, Yang Mulia. Sebelum kami menyampaikan keterangan Pihak Terkait, perkenankan kami menyampaikan kegusaran kami sebenarnya, Yang Mulia dengan melihat papan yang ada di depan sini Partai Golkar, sementara terus terang kami tidak dapat kuasa (...) 49. KETUA: HAMDAN ZOELVA Tadi sudah diklarifikasi, ya, tidak perlu lagi diulang. 50. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: HERU WIDODO Ya, baik. Kemudian yang kedua, Yang Mulia. Dalam keterangan Pihak Terkait atas nama Muhammad Sarmuji, kami ada empat hal yang ingin kami sampaikan persidangan ini. Yang pertama dalam eksepsi, kemudian dalam pokok permohonan, dalam penundaan, dan petitum. Muhammad Sarmuji adalah calon anggota DPR-RI terpilih dari Dapil VI Jawa Timur dari Partai Golkar, kemudian Didik Prihantono adalah Anggota Partai Golkar yang memberikan hak suaranya dalam pemilihan 19
umum legislatif dimana keduanya baik secara langsung maupun tidak langsung berpotensi dirugikan atau terkena dampaknya. Jika undangundang yang diuji dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, sebagaimana tadi sudah disampaikan oleh DPR. Pihak Terkait sependapat dengan dalil-dalil yang disampaikan oleh DPR untuk keseluruhannya, khususnya berkaitan dengan Perkara Nomor 73. Kemudian, ada dua eksepsi yang perlu kami sampaikan oleh Pihak Terkait sehubungan atas tidak terpenuhinya syarat formil permohonan, serta tentang tidak adanya kedudukan hukum atau legal standing Para Pemohon berikut ketiadaan kerugian konstitusional. Argumentasi tentang permohonan prematur atau tidak terpenuhinya syarat formil, oleh karena bahwa saat ketika undang-undang belum resmi atau sempurna sebagai undang-undang yang mengikat untuk umum dan saat ketika undang-undang itu sudah resmi menjadi undangundang. Adalah dua keadaan berbeda. Jika rancangan undang-undang sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya dapat disebut sebagai judicial review. Namun, jika statusnya masih sebagai rancangan undang-undang dan belum diundangkan secara resmi sebagai undang-undang, maka pengujian atasnya tidak dapat disebut sebagai judicial review melainkan judicial preview. Faktanya, Yang Mulia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau Undang-Undang MD3, baru diundangkan di Jakarta oleh Presiden pada Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182 pada tanggal 5 Agustus 2014. Sedangkan permohonan dalam Perkara 73, untuk pertama kalinya didaftarkan pada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Juli 2014. Saat mana objek permohonan yang diuji belum mempunyai kekuatan berlaku dan juga belum mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian, permohonan a quo belum memenuhi syarat formil sebagai permohonan judicial review, sehingga beralasan hukum bagi Pihak Terkait untuk menyampaikan eksepsi bahwa permohonan Para Pemohon prematur, sehingga tidak dapat diterima. Kemudian eksepsi yang kedua, Yang Mulia. Menurut hemat Pihak Terkait bahwa Para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum dan tidak juga mempunyai kerugian konstitusional. Dengan argumentasi bahwa Partai PDI Perjuangan selaku Pemohon I adalah partai politik yang mempunyai kursi dan telah terwakili di dalam fraksi di DPR dan bahkan Saudara Cahyo Kumolo Sekjen PDI Perjuangan adalah anggota DPR aktif yang ikut serta membidangi kelahiran undang-undang yang menjadi objek permohonan. Suka atau tidak suka, Undang-Undang MD3 adalah produk legislatif yang sah. Sedangkan mengenai adanya bagian dari undang20
undang tersebut yang tidak disetujui oleh Pemohon I, tidak lantas mengakibatkan batalnya sebuah produk legislatif. Adalah tidak fair jika Pemohon I yang jelas turut serta menyusun dan membahas Undang-Undang MD3. Kemudian di belakang hari setelah undang-undang tersebut berlaku sebagai hukum positif, meminta pembatalan melalui Mahkamah Konstitusi atas produk yang ia sendiri ikut membuatnya. Sedangkan dalam kedudukan sebagai lembaga legislatif, anggota DPR mempunyai hak konstitusional untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas termasuk pula hak konstitusional untuk melaksanakan fungsinya baik legislasi, anggaran, dan pengawasan termasuk juga hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Berkaitan dengan kedudukan hukum partai politik dalam permohonan pengujian undangundang, telah menjadi perhatian serius Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dipertimbangkan dalam Putusan Nomor 51, 52, 59/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa Pemohon II Partai Bulan Bintang sebagai badan hukum partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Meskipun sebagaimana diterangkan oleh pemerintah telah turut serta dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 dan memberikan persetujuannya di DPR, menurut Mahkamah, Pemohon II memenuhi syarat kedudukan hukum. Sedangkan adanya persetujuan partai Pemohon di DPR atas undang-undang a quo, namun kemudian mempersoalkannya ke Mahkamah, oleh Mahkamah dipandang merupakan masalah etika politik. Meskipun demikian, Mahkamah mempertimbangkan untuk masamasa yang akan datang bagi partai politik dan/atau anggota DPR yang sudah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional atas suatu undang-undang yang dimohonkan pengujian, akan dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Memang setelah putusan Mahkamah tersebut, kejadian pengujian undang-undang oleh partai politik kembali terulang pada tahun 2009. Namun dengan duduk persoalan yang berbeda, yakni bukan soal konstitusionalitas pasal undang-undang, namun sebatas memohon tafsir perolehan suara sebagaimana dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Nomor 110, 111, 112, 113/PUU-VII/2009, di mana Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pemohon IV dalam perkara ini adalah partai politik peserta pemilu yang berbadan hukum dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Akan tetapi, Pemohon adalah partai politik yang berdasarkan Pemilu 2004 memiliki kursi di DPR, dan pernah ikut membahas, dan menyetujui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008. Padahal, Mahkamah pernah memutus permohonan Pengujian Undang21
Undang Nomor 42 Tahun 2008 dalam … dengan Putusan Nomor 51, Nomor 52, Nomor 59/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa partai politik yang terlibat dalam pembentukan suatu undang-undang tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undangundang bersangkutan. Namun dalam perkara a quo, Pemohon tidak mempermasalahkan konstitusionalitas Pasal 205 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, melainkan hanya mempersoalkan berbagai penafsiran terhadap pasal a quo yang berpotensi memengaruhi perolehan kursi dan merugikan Pemohon IV pada Pemilu 2009. Oleh karenanya Mahkamah berpendapat Pemohon IV memiliki kedudukan hukum dalam perkara a quo. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Dengan mencermati permohonan Para Pemohon dalam perkara ini, teramat terang dan jelas bahwa Para Pemohon, baik Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, maupun Pemohon V mempermasalahkan konstitusionalitas ketentuan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 Undang-Undang MD3, sehingga berdasarkan yurisprudensi putusan Mahkamah Konstitusi di atas, terhadap partai politik yang sudah ambil bagian, dalam hal ini adalah Partai PDI Perjuangan yang turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan terhadap undang-undang yang dimohonkan, menurut hemat Pemohon … menurut hemat Pihak Terkait, mohon maaf, beralasan hukum untuk dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Lagipula bahwa Para Pemohon pun tidak mempunyai kerugian konstitusional. Dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan oleh Para Pemohon, tidaklah menghapus dan menghilangkan hak PDI-P untuk menjadi ketua DPR. Pasal 84 undang-undang yang dimohon … UndangUndang MD3 tetap memberikan kesempatan yang sama kepada semua Anggota DPR RI dari partai mana pun yang duduk sebagai anggota DPR untuk dipilih dan memilih. Bahkan, Pemohon II dan Pemohon III sebagai Calon Anggota Terpilih DPR RI 2014 dan 2019 sesungguhnya mempunyai atau terbuka hak konstitusionalnya untuk menuju kursi pimpinan DPR RI yang diuntungkan, bukan dirugikan. Atas dasar argumentasi tersebut, maka eksepsi Pihak Terkait sangat beralasan untuk disampaikan kepada Mahkamah dan kiranya Mahkamah memutus dengan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Selanjutnya, Yang Mulia, masuk kepada pokok permohonan. Pertama, dalam pokok permohonan, kami sampaikan mengenai penafsiran frasa diatur dengan undang-undang yang oleh Para Pemohon harus dimaknai dengan satu undang-undang tersendiri. Menurut Pihak Terkait, hal tersebut merupakan kebijakan hukum yang terbuka. Yang mana oleh karena yang diatur adalah suatu kekuasaan legislatif, maka tidaklah melanggar konstitusi apabila kekuasaan tersebut diatur dalam satu undang-undang yang sama. Justru apabila pengaturan tersebut 22
dipisahkan akan mengakibatkan ketiadaan harmonisasi dan sinkronisasi kewenangan ketiga lembaga tersebut. Praktik ketatanegaraan menunjukkan bahwa sejak DPR hasil pemilu 1971 sampai dengan 2014, pengaturan tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD selalu dimuat dalam satu-kesatuan undang-undang. Sebagaimana fakta hukum, ketika Pemilu 1971 diatur dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969, Pemilu 1977 dan 1982 diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975, Pemilu 1987 dan 1992 diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985, Pemilu 1997 diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1995, Pemilu 1999 diatur dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, Pemilu 2004 diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, Pemilu 2009 diatur dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, dan Pemilu 2014 diatur dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Kemudian, Yang Mulia, terhadap dalil permohonan halaman 8 yang menyatakan bahwa sejarah mencatat bahwa PDI Perjuangan meraih suara terbanyak pertama pada Pemilu Legislatif Tahun 1999 sebesar 33,3% suara sah atau 154 kursi DPR dan Pemilu 2014 meraih 18,95% atau 109 kursi DPR. Pihak Terkait tidak hendak membantah fakta sejarah tersebut. Namun yang menarik untuk dicermati adalah ketika Pemilu Legislatif Tahun 1999, meskipun PDI Perjuangan dinobatkan sebagai partai pemenang pemilu, namun sejarah pun mencatat bahwa kemenangan PDI Perjuangan di Tahun 1999 yang jauh lebih besar dari tahun 2014 pun ternyata posisi Ketua DPR RI terpilih periode 1999-2004 tidak otomatis dipegang oleh PDI Perjuangan, tetapi hasil pemilihan dari dan oleh anggota DPR terpilihnya Saudara Ir. Akbar Tanjung. Oleh karena tata cara pemilihannya menggunakan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999. Kemudian, Yang Mulia. Perkenankan kami menyampaikan keterangan khusus terhadap alasan-alasan formil Pemohon sebagaimana disampaikan dalam permohonan dan perbaikannya bahwa sebagaimana dalil-dalil permohonannya, Pemohon tidak ada sama sekali menguaraikan alasan-alasan pengujuan formil mengenai mengambil keputusan atas rancangan undang-undang untuk menjadi undang-undang apakah sudah dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat dan apabila cara pengambilan keputusan dengan cara musaroh … musyawarah mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak sah atau tidak? dan apakah sudah memenuhi korup atau tidak? Atau apakah lembaga yang mengambil keputusan berwenang atau tidak? Rancangan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 telah dibahas oleh DPR dan presiden dan mendapat persetujuan bersama, pengambilan keputusan oleh DPR dalam pembentukan dan pengesahan rancangan undang-undang telah dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang tata tertib dan peraturan dewan DPR RI nomor 1 tahun 2009, Tentang tata tertib, pengambilan keputusan DPR telah 23
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga secara formil menurut Pihak Terkait tidak memiliki persoalan secara konstitusional. Adapun proses perdebatan yang terjadi, sebagaimana dalam uraian dalil permohonan Pemohon, hal itu merupakan suatu kewajaran dalam proses pembentukan suatu undang-undang bahkan Pemohon I yang merupakan representasi oleh Pemohon II sampai dengan Pemohon V telah memberikan pandangan dan pendapatnya atas rancangan Undang-Undang Nomor 17 sebelum disahkan, kalaupun pendapatnya ternyata tidak terakomodir dan kalah dalam pemungutan suara sebagai bagian dari kekuasaan legislatif, harusnya menurut hemat Pihak Terkait tunduk dan patuh, karena untuk memberikan pendidikan politik yang cerdas dan dewasa kepada rakyat Indonesia. Kemudian, Yang Mulia. Bahwa alasan-alasan formulir yang diuraikan dalam permohonan Pemohon di dasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan padahal dalam pengujian formil suatu undangundang tidaklah didasarkan kepada undang-undang. Hal ini dikarenakan bisa jadi undang-undang yang dijadikan dasar tersebut dapat diuji di hadapan Mahmakah Konstitusi. Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 halaman 91 dan 92 yang menyatakan bahwa Mahkamah berpendapat bahwa pengujian undang-undang dilakukan antara undang-undang terhadap UndangUndang Dasar 1945 bukannya diuji dengan undang-undang atau yang lain dalam hal ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Materi UndangUndang Nomor Tahun 2004 di antaranya dimaksudkan untuk mengatur tata cara pembentukan undang-undang yang baik. Adanya kekurangan dalam sesuatu pembentukan undang-undang karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tidak dengan serta merta menyebabkan undang-undang tersebut batal. Kemudian, Yang Mulia. Mengenai dalil permohonan tentang pasalpasal yang dimohonkan pengujian tidak ada dalam naskah akademis RUU MD3, menurut hemat Pihak Terkait hal tersebut bukanlah merupakan keharusan konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang, ketiadaan naskah akademis bukanlah merupakan cacat hukum yang mengakibatkan fatalnya undang-undang. Polemik tentang naskah akademis bukanlah hal yang pertama yang dibawa ke meja persidangan Mahkamah Konstitusi dan sebagaimana telah di yurisprudensi dalam Putusan Perkara Nomor 12/PUU-I/2003 halaman 102, Mahkamah menyikapinya bahwa meskipun adanya naskah akademis penting untuk memberi dasar dan pertimbangan ilmiah bagi satu undang-undang yang dirancang agar tidak terjadi salah perhitungan dan kesalahan logika, keberadaan naskah akedemis bukanlah merupakan keharusan konstitusional dalam proses pembentukan undang-undang.
24
Oleh karena itu, ketiadaan naskah akademis RUU ketenagakerjaan bukanlah merupakan cacat hukum yang mengakibatkan fatalnya undangundang a quo sebagaimana didalilkan Para Pemohon atas dasar uraian argumentasi tersebut di atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 menurut hemat Pihak Terkait telah memenuhi ketentuan formil sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, sehingga dalil-dalil permohonan sepanjang pengujian formil tidak beralasan menurut hukum karenanya harus ditolak. Kemudian, Yang Mulia. Terhadap alasan materiil Pemohon perkenankan kami menyampaikan tanggapan Pihak Terkait (…) 51. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ringkasannya saja, ya. 52. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: HERU WIDODO Ya? 53. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ringkasan saja. 54. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: HERU WIDODO Baik, Yang Mulia. Bahwa dalam alasan materiilnya, tidak ada satu pun menguraikan pasal-pasal yang diujinya bertentangan dengan pasalpasal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon, justru mengujinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal-pasal UndangUndang Dasar 1945 yang dijadikan batu uji hanya disebutkan Pemohon di dalam Bab Kedudukan Hukum dan Kerugian Konstitusional. Kemudian Yang Mulia, Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak mengatur hal-hal yang sifatnya detail dan taknis, sehingga pengaturan tentang mekanisme pemilihan ketua DPR yang sifatnya detail dan teknis diserahkan kepada pembentuk dan pembuat undang-undang. Yang Mulia, mengenai mekanisme penentuan pimpinan DPR beserta alat kelengkapannya yang dilakukan secara musyawarah dan mufakat yang dipilih dari dan oleh anggota DPR merupakan bentuk pilihan hukum terbuka atau open legal policy dari sifat kepemimpinan lembagalembaga negara yang dibentuk oleh konstitusi yang bersifat kolektif, kolegial seperti di Lembaga Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan yang dipilih dan … dari dan oleh anggota. Kekeliruan pada masa lalu yang menetapkan kepemimpinan
25
DPR berdasarkan perolehan kursi dan hasil suara pemilu legislatif menjadi catatan untuk dilakukan penyempurnaan dalam penentuan kepemimpinan. Mengenai alasan dari Pemohon bahwa mekanisme penentuan pimpinan sudah berdasarkan konvensi ketatanegaraan, menurut hemat Pihak Terkait konvensi ketatanegaraan itu sendiri bukanlah hukum, di sinilah letak perbedaan antara ketentuan hukum dengan konvensi ketatanegaraan. Bahwa ketentuan undang-undang yang mengatur tentang mekanisme pemilihan DPR berdasarkan undang-undang yang selama ini berlaku, baik sejak orde lama, orde baru sampai dengan orde reformasi hanya satu periode di masa reformasi yakni 2009-2014 sebagaimana telah disampaikan oleh DPR dalam keterangannya. Kemudian Yang Mulia, yang keempat, dalam penundaan. Pihak Terkait tidak sependapat dengan Pemohon bahwa argumentasi Pemohon untuk meminta penundaan tidak mempunyai alasan yang kuat. Lagi pula bahwa terhadap undang-undang yang dimohonkan belum dapat dipastikan, apakah bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar 1945? Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, salah satunya adalah menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bukan menunda berlakunya undang-undang, sehingga tidak pula pada waktu dan tempatnya bagi Mahkamah Konstitusi untuk menunda berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon. Termasuk pula permohonan bahwa pemeriksaan cepat sebagaimana disampaikan oleh Pemohon, Pihak Terkait juga tidak sependapat oleh karena tidak ada alasan konstitusional yang cukup bagi Pemohon dan tidak ada kerugian konstitusional bagi Para Pemohon untuk meminta pemeriksaan cepat tersebut. Yang terakhir, petitum. Berdasarkan alasan-alasan hukum sebagaimana Pihak Terkait uraikan, dengan ini kami mohon berkenaan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memberikan putusan dengan amar dalam eksepsi, menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya, menyatakan permohonan Para Pemohon tidak dapat diterima. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Terima kasih, Yang Mulia. 55. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Masih ada tiga lagi, empat ya. Sudah masuk waktu Ashar, jadi kita rehat dulu untuk salat Ashar untuk setengah jam. Sidang akan dibuka kembali pada pukul 16.00 WIB nanti untuk mendengarkan keterangan dari Pihak Terkait yang lain. 26
Sidang diskorsing sampai pukul 16.00 WIB. KETUK PALU 1X SIDANG DISKORS PUKUL 15.25 WIB SKORS DICABUT PUKUL 16.04 WIB 56. KETUA: HAMDAN ZOELVA Skorsing sidang dicabut kembali. KETUK PALU 1X Selanjutnya, saya persilakan dari Pemohon ... Pihak Terkait atas nama Fahri Hamzah, Muhammad Nasir Jamil, dan Sa’duddin, dan Hadi Mulyadi. Ya, silakan. 57. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PKS: ZAINUDIN PARU Baik. Terima kasih, Majelis Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selaku Pihak Terkait kami akan memberikan tanggapan terhadap empat permohonan sekaligus dan kami akan bacakan secara ringkas dan tidak terpisahkan dari permohonan tertulis ... keterangan Pihak Terkait tertulis yang disampaikan pada hari ini. Majelis Yang Mulia, yang pertama, kami menyampaikan keterangan Pihak Terkait terkait dengan permohonan Nomor 73 yang diajukan oleh Pemohon I, PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Tjahjo Kumolo selaku ketua dan sekjen, kemudian Dwi Ria Latifa dan sampai dengan Pemohon V. Dalam kaitan dengan permohonan itu yang kami berikan tanggapan yang pertama tentang kedudukan hukum atau legal standing, kemudian yang kedua bahwa permohonan Pemohon prematur, yang ketiga terkait dengan formil dan materiil dan selanjutnya tentang petitum. Yang pertama tentang kedudukan hukum dari Para Pihak Terkait. Adalah keempat Pihak Terkait adalah anggota DPR terpilih periode 20142019 dan karenanya sangat berkaitan langsung dengan permohonan Pemohon. Yang kedua, permohonan Pemohon addalah prematur. Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon telah mengajukan permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu yang belum genap 45 hari sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27 PUU Tahun 2009 tanggal 30 Desember Tahun 2009 yang mana bahwa uji materiil terhadap satu undang-undang dapat diajukan permohonannya dalam tenggat 27
waktu 45 hari setelah rancangan undang-undang disahkan menjadi undang-undang dan dimasukkan dalam lembara negara. Bahwa Pemohon mendaftarkan permohonannya pada tanggal 25 Juli 2014 yang kemudian diregister dengan Nomor Perkara 73, kemudian belum dimasukkan dalam lembaran negara, bahkan meskipun perbaikan permohonan Para Pemohon tertanggal 29 Agustus 2014 secara formil yuridis masih belum masuk dalam jangka waktu yang di ... sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang diundangkan dan dicatat dalam lembaran negara 5 Agustus 2014 Nomor 82 secara formil terbukti permohonan a quo adalah prematur karena undang-undang ini masih tidak cukup untuk menjadikan permohonan yang diajukan oleh Pemohon dan karenanya tidak dapat diterima. Yang kedua tentang legal standing dari Pemohon. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi serta persyaratannya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10 Tahun 2005, Pihak Terkait berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional Para Pemohon atau kerugian yang bersifat potensial akan tejadi dengan berlakunya Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2), ayat (3), kemudian Pasal 20 ayat (2), kemudian Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), kemudian Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang dijadikan dasar oleh Para Pemohon untuk mendalilkan adanya kerugian konstitusional Para Pemohon adalah tidak terbukti karena pada prinsipnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 a quo sudah masuk dalam pasal-pasal yang diuraikan dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang dianggap merugikan Pemohon yaitu Pasal 84 sebagaimana permohonan a quo. Oleh karenanya jelas dapat dipastikan tidak ada kerugian konstitusional yang spesifik dan aktual yang dialami oleh Para Pemohon. Selanjutnya, Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum, Pihak Terkait berpendapat karena Pemohon I sebagai partai politik telah menempatkan kader-kadernya sebagai wakil dan menjadi anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan yang memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang a quo dengan kata lain partai politik yang menempatkan kadernya sebagai anggota DPR tentulah menjadi bagian yang menggodok, yang merumuskan, dan membahas sampai kemudian menyetujui undangundang a quo. Dengan demikian, Pemohon I tidak dapat dan tidak tepat sebagai pihak yang mengajukan permohonan terhadap permohonan a quo karena substansi persoalan dalam permohonan ini adalah terkait dengan pengaturan yang bersifat open legal policy yang kewenangannya dimiliki oleh anggota DPR itu sendiri. Sehingga menurut kami, alangkah tepatnya jika Pemohon I melalui wakilnya melakukan usul untuk melakukan perubahan undang28
undang tersebut in casu permohonan yang diajukan uji materiil sebagaimana yang dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 20/PUUVI/2007, sehingga Pihak Terkait berkeyakinan bahwa tidaklah keliru pula Pemohon mengajukan permohonan judicial review Pasal 84. Tetapi, Pihak Terkait melalui kelembagaan DPR RI sebagai anggota terpilih berkeyakinan bahwa di sinilah tempatnya untuk kemudian menempatkan aturan dan landasan yuridis yang tepat mengenai dan untuk mendudukkan pimpinan dewan sebagaimana mestinya. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan mengemukakan, Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan merujuk juga menjadikan dasar sandingan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Bahwa PDIP sebagai partai politik yang memperoleh suara terbanyak di DPR, serta merta menjadi ketua DPR RI, sementara dengan diberlakukannya ketentuan Pasal 84 ayat (1) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2004, menurut Pemohon bahwa hak itu kemudian menjadi hilang. Namun harus pula disadari bahwa seharusnya Pemohon menyandingkan pula dengan undang-undang yang lahir jauh tahun 2014 maupun tahun 2009, yaitu undang-undang yang lahir pada tahun 1999, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999, demikian juga Pasal 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, sehingga kemudian kita mendapatkan fakta bahwa tidak semestinya pemenang pemilu kemudian menjadikan kadernya sebagai pimpinan di DPR RI. Tetapi melalui proses pembahasan yang kemudian melalui tata tertib menyetujui penempatan para anggota DPR, berdasarkan suara terbanyak yang dipilih di internal 560 anggota DPR terpilih, yang menentukan siapa yang kemudian layak menjadi pimpinan DPR. Bahwa dengan mekanisme pemilihan DPR sebagaimana diatur Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004, maka pemilihan pimpinan DPR menjadi lebih demokratis, dan mempunyai prinsip pengakuan hak yang sama bagi setiap anggota DPR untuk memilih dan dipilih. Demikian juga mengenai alasan formil dan materiil. Kami berkeyakinan bahwa permohonan Pemohon tentang pengujian formil atas Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, dilakukan dengan mempertimbangkan proses … prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, sehingga menurut Pihak Terkait Pemohon telah keliru untuk memahami doktrin dan asas-asas pengujian formil. Dalam pengujian formil atas suatu undang-undang, maka objek pengujiannya adalah proses pembentukan undang-undang dalam arti 29
suatu undang-undang dan bukan ketentuan dalam undang-undang secara parsial, apakah telah sesuai atau tidak dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya? Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Sehingga ... bahwa oleh karena itu maka objectum litis Pemohon tidak sesuai dengan doktrin asas pengujian formil yaitu Pasal 84 yang merupakan bagian dari ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 karena objectum litis pengujian formil adalah terhadap prosedur pembentukan suatu undang-undang dalam hal ini prosedur dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Dengan demikian, maka objek permohonan Pemohon dalam perkara Nomor 73 tidak berdasarkan hukum dan tidak memiliki alasan yang dibenarkan oleh hukum atau obscuur libel dan karena itu harus ditolak. Selanjutnya tentang alasan materi. Bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi, “Susunan Dewan Perwakilan Rakyat diatur dengan undang-undang.” Jadi konstitusi tidak menentukan bagaimana cara pengisian pimpinan DPR. Oleh karena itu, mekanisme pemilihan ketua dan wakil ketua DPR merupakan open legal policy yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya karena hal ini untuk mewujudkan dan memaksimalkan DPR dalam melaksanakan fungsi sebagai pengawasan terhadap anggaran pembentukan undang-undang dan dibolehkan memilih mekanisme apa yang dibuat untuk menentukan atau memilih ketua dan wakil ketua DPR, serta pimpinan kelengkapan DPR, sehingga norma yang terkandung dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimaksud menganut absolute majority system, sebagaimana telah pula dipraktikkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bahwa partai pemenang pemilu atau kursi terbanyak otomatis menjadi ketua DPR biasanya terdapat pada sistem dua partai, sebagaimana juga seperti di Amerika. Karena pemenang pemilu dapat dipastikan sebagai pemenang secara absolute majority, sedangkan sistem demokrasi yang menganut multipartai pengisian pimpinan DPR melalui musyawarah mufakat dan suara terbanyak menjadi rasional karena merupakan wujud dari kedaulatan rakyat. Justru menjadi kurang legitimasinya apabila ketua DPR dan kelengkapannya dipimpin oleh partai pemenang pemilu yang dalam pemilu perolehan suaranya hanya 18,95% jumlah kursi DPR. Artinya, ketua dan wakil ketua DPR adalah simbol dari kekuasaan legislatif yang mengontrol eksekutif untuk mewujudkan aspirasi dan memastikan kedaulatan rakyat tidak dinegasikan. Maka pemilihan melalui musyarawah mufakat dan pemilihan menjadi niscaya dan penting. Ini sebagai upaya untuk melaksanakan tugas dan fungsi kedewanan berdasarkan prinsip saling mengimbangi check and balances. Karena itulah maka kita meyakini, sebagaimana juga undangundang Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 bahwa 30
segala warga negara bersamaan kedudukan hukumnya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, maka di situlah setiap anggota DPR melalui kedudukan yang sama di hadapan hukum dan tidak berdasarkan peringkat pemenangan dari hasil pemilu yang ada. Sehingga dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan yang (suara tidak terdengar jelas) di atas, perkenankan kami menyampaikan petitum dalam eksepsi; menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Demikian juga dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selanjutnya terhadap keterangan Pihak Terkait terhadap permohonan Nomor 82. Sama legal standing-nya Pemohon, (suara tidak terdengar jelas) Pihak Terkait, juga kami mengajukan eksepsi terkait dengan tenggat waktu pengajuan permohonan sebelum undang-undang disahkan dan yang berikut adalah tentang legal standing dari Para Pemohon. Sebagaimana juga Pasal 51 bahwa Mahkamah sebagaimana sudah kami bacakan dalam permohonan ... keterangan Pihak Terkait sebelumnya. Selanjutnya bahwa ketentuan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan dasar oleh Para Pemohon untuk mendalilkan adanya kerugian konstitusional Para Pemohon adalah tidak terbukti karena pada dasarnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 a quo sudah masuk dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang dianggap merugikan Para Pemohon, yaitu Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan Pasal 158 ayat (2). Oleh karenanya sudah jelas dan dapat dipastikan tidak ada kerugian konstitusional spesifik atau khusus dan aktual yang dialami oleh Para Pemohon dan karenya kami juga menyampaikan bahwa Pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum karena menurut Pihak Terkait, Pemohon I sebagai partai ... Pemohon II adalah anggota DPR terpilih yang saat ini duduk dan akan duduk kembali sebagai anggota DPR periode 2014-2019. Bahwa dengan memegang prinsip sebagaimana kekuasaan untuk membentuk undang-undang berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945, DPR sebagai institusi atau lembaga, sehingga sungguh janggal kemudian undang-undang yang dibuatnya sendiri menjadi kekuasaan DPR dan kemudian diujikan oleh dirinya sendiri untuk mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan pada saat sebuah undang-undang disahkan. Sehingga tidak tepat kemudian Pemohon II sebagai pihak yang mengajukan permohonan, karena substansi persoalan dan permohonan a quo adalah persoalan legislatif review bukan ... dan apalagi berkaitan dengan pengaturan yang bersifat open legal policy yang kewenangannya dimiliki oleh anggota DPR sendiri,
31
sehingga menurut Pihak Terkait adalah tidak tepat Pemohon II dalam permohonan a quo. Dan Pihak Terkait menyatakan bahwa posita dalam permohonan Pemohon yang mendalilkan Pasal 97 ayat (2), Pasal 104 ayat (2), Pasal 109 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 152 ayat (2), dan 158 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun Pemohon dalam petitumnya hanya saja menyebutkan Pasal 97 ayat (2) dan Pasal 158 ayat (2) yang dimohonkan untuk ditafsirkan dan diputuskan oleh Mahkamah. Sehingga dengan demikian, permohonan Pemohon menjadi tidak jelas (obscuur libel) karena tidak menguraikan tentang korelasi antara pasalpasal yang dimohonkan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dilanggarnya. Karenanya, berdasarkan eksepsi obscuur libel ini, maka sudah sepatutnya Mahkamah Yang Mulia menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Selanjutnya tentang pokok permohonan, bagaimana Pasal 97 dan seterusnya sampai dengan Pasal 158 yang dikaitkan dan disandingkan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1), 28H, 28J menjadi penting untuk diyakini bahwa kuota keterwakilan perempuan dalam politik merupakan kebijakan yang konstitusional dengan mengacu pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana Putusan Nomor 22 sampai dengan 24/PUU/2008 dan 20/PUU/2013 yang menegaskan bahwa pemberian kuota keterwakilan perempuan 30% sebagai diskriminatif positif dalam rangka untuk menyeimbangkan antara keterwakilan perempuan dan laki-laki untuk menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD di provinsi, kabupaten, maupun kota. Bahwa kemudian, upaya untuk memberikan jaminan konstitusionalitas keterwakilan perempuan telah diupayakan melalui proses dan perjuangan panjang dan telah melahirkan banyak regulasi yang memberikan jaminan perlindungan terhadap keterwakilan perempuan, dalam hal ini Pemohon mencontohkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 di mana disebutkan di dalamnya bahwa kepengurusan partai politik harus memperhatikan keseteraan dan keadilan gender. Demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menggunakan rumusan kuota minimal 30% keterwakilan dalam daftar calon anggota legislatif untuk pemilu 2014. Sejalan dengan undang-undang tersebut, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan di dalamnya keterwakilan perempuan untuk tiap-tiap alat kelengkapan dewan.
32
Bahwa yang dijadikan dasar Pemohon untuk mendalilkan penghapusan atau tidak adanya klausul keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah menjadi penting untuk melihat kembali putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22 sampai dengan 24 Tahun 2008 dan 20 Tahun 2013, Pihak Terkait tidak sependapat dengan Pemohon … permohonan Pemohon karena putusan a quo terkait dengan pemilihan anggota legislatif dan DPD dimana partisipasi perempuan dalam menentukan wakilnya di legislatif dijamin oleh konstitusi sehingga logis apabila keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif harus mendapatkan jaminan dan perlakuan khusus. Namun demikian, dalam hal untuk menempatkan pimpinan, menempatkan dan memilih pimpinan dewan sebagaimana prinsip open legal policy justru memberikan peluang yang sama bagi siapa pun yang berkualitas dan berintegritas untuk menduduki posisi sebagai pimpinan dari masing-masing alat kelengkapan dewan tanpa dibatasi apakah dia laki-laki ataukah perempuan. Dengan alasan ini pulalah, maka alasanalasan Pemohon dalam permohonan di atas tidak mempunyai alasan hukum yang kuat dan tidak bertentangan antara apa yang ada … terkandung dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dengan konstitusi yang berlaku di negara ini. Dengan demikian, maka Pihak Terkait menyatakan bahwa dalam eksepsi menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya. Dan dalam pokok permohonan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Selanjutnya, kami bacakan secara ringkas pengajuan Nomor 76 dan 83 yang kami buat dalam satu jawaban yang sama. Langsung kepada keterangan Pihak Terkait. Bahwa Para Pemohon dalam permohonan a quo pada pokoknya mengemukakan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang dalam pasal-pasal itu … dalam Pasal 245 bahwa ketentuan tersebut oleh Para Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1), juga Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa terkait dengan Pasal 245 perlu dipahami bahwa prosedur penyidikan terhadap anggota DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sama sekali tidak dimaksudkan untuk menghambat proses penegakan hukum (due process of law), akan tetapi dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bagi anggota DPR kapan dimulai penyidikan serta untuk melindungi harkat, martabat, dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan secara hati-hati, cermat, independen, dan tidak sewenang-wenang. Pejabat negara dan lembaga negara dalam hal ini DPR, merupakan personifikasi dari negara, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahwa juga Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 telah memberikan kepastian hukum dikarenakan di dalamnya jelas diatur mengenai jangka waktu yang diberikan oleh undang-undang bagi 33
Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan persetujuan tertulis dilakukannya pemeriksaan bagi anggota dewan yang diduga melakukan tindak pidana serta konsekuensinya apabila Mahkamah Kehormatan Dewan tidak memberikan perstujuan tertulis sebagaimana yang kita lihat dalam Pasal 245 ayat (2). Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana yang dimaksud ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1), maka penyidik dapat melakukan. Sehingga dengan demikian, Pasal 245 Undang-Undang a quo juga mengatur syarat yang diberlakukannya persetujuan tertulis dari Mahkamah Dewan … Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 245 ayat (3). Namun bahwa yang memberikan izin penyidikan kepada anggota DPR sebagaimana juga yang didalilkan Pemohon, yang diduga melakukan tindak pidana adalah Mahkamah Kehormatan Dewan tidak lagi oleh Presiden, ataupun Jaksa, atau lembaga lain. Hal ini dikarenakan DPR sebagai lembaga … sebagai legislatif yang memliki kedudukan hukum sederajat dengan Presiden selaku eksekutif. Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana diatur dalam Pasal 119, bertujuan untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Sehingga, DPR mempunyai hak sebagaimana diatur Pasal 20 ayat (1), Pasal 20A Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentang bahwa mereka memegang kekuasaan membentuk undang-undang. DPR memiliki fungsi legislasi anggaran dan fungsi pengawaasan, dan seterusnya. Demikian juga tentang kewenangan penyidik, baik dari kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga penyidik dari institusi yang berwenang sebagaimana yang dimaksudkan oleh KUHAP, penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Sehingga menurut KUHAP, untuk keperluan penyidikan, penyidik dapat melakukan tindakan penangkapan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan, pemeriksaan, dan juga penahanan. Undang-undang ini sebagaimana dimaksud Pasal 245 juga secara tegas diatur terhadap anggota dewan yang tertangkap tangan yang kemudian terlibat diduga dalam tindak pidana khusus, tidak perlu membutuhkan keterangan tertulis dari Dewan Kehor … dari Mahkamah Kehormatan Dewan, dan itu serta merta termasuk juga tertang … serta merta menjadi kewenangan penyidik untuk melakukan tugas penyelidikannya. Artinya dengan kata lain, apabila dugaan melakukan tindak pidana secara jelas atau minimal dengan dua alat bukti, maka tinggal menunggu waktu bagi anggota dewan itu untuk melewati proses
34
hukum sesuai dengan undang-undang yang berlaku terhadap perbuatan pidana yang dilakukannya. Demikian Majelis Yang Mulia, keterangan kami. Dan karenanya dalam eksepsi, kami menyatakan memohon untuk menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya dan dalam pokok permohonan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya tentang Pasal 245 UndangUndang Dasar … Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Demikian, Majelis Yang Mulia. 58. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, terima kasih. Pihak Terkait atas nama Didik Mukriyanto? Ada? 59. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT DEMOKRAT: ROBINSON Terima kasih, Majelis. Kami dari Pihak Terkait atas nama Didik Mukriyanto langsung kepada legal standing. Pihak Terkait atas nama Didik Supriyanto adalah perseorangan Warga Negara Indonesia yang merupakan calon legislatif dari Partai Demokrat, dapil 9 Provinsi Jawa Timur yang ditetapkan oleh KPU sebagai Calon Legislatif DPR RI terpilih periode 2014 -2019. Dalam pokok permohonan Pemohon dan petitum yang dimohonkan secara jelas dan nyata sangat merugikan hak konstitusional dan kepentingan Pihak Terkait , di mana kepentingan hukum Pihak Terkait dalam menggunakan haknya untuk dipilih sebag … dipilih sebagai … maupun memilih pimpinan DPR RI, berpotensi dirugikan hak-hak dan kepentingan hukumnya apabila permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh Para Pemohon diperiksa dan diadili dalam persidangan Mahkamah Konstitusi tanpa kehadiran dan mendengarkan Pihak Terkait. Yang kedua, eksepsi. Yang pertama, permohonan Pemohon prematur. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 disahkan pada tanggal 5 Agustus 2014, sementara tanggal 8 Juli 2014 adalah tanggal persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden terhadap RUU MD3. 60. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, jadi samalah tadi ya? 61. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT DEMOKRAT: ROBINSON Sama, Yang Mulia. 62. KETUA: HAMDAN ZOELVA Tidak usah diulangi ya. 35
63. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT DEMOKRAT: ROBINSON Baik. 64. KETUA: HAMDAN ZOELVA Sudah semuanya menyampaikan itu. 65. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT DEMOKRAT: ROBINSON Terkait dengan legal standingnya juga, para Pemohon ini hampir sama, cuma penekanannya sedikit. Bahwa terkait kedudukan hukum Pemohon II, Dwi Ria Latifa, dalam kedudukan hukum sebagai calon legislatif terpilih dari Kepulauan Riau dan Pemohon III dari Junimart Girsang, S.H., MBA., M.H. dalam kedudukan hukum sebagai caleg terpilih dari Dapil Sumatera Utara III, serta Pemohon IV, Rahmayani Yahya, dan Pemohon V, Sigit Widiarto, menurut Pihak Terkait keempatnya tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan uji formil dan pula tidaklah mempunyai kerugian konstitusional untuk mengajukan uji materiil. Bahwa Pemohon II dan Pemohon III adalah calon anggota DPR terpilih periode 2014-2019 yang justru dengan berlakunya pasal-pasal yang dimohonkan pengujiannya mempunyai hak konstitusional untuk memilih pimpinan dan untuk dipilih sebagai pimpinan, sehingga kondisi yang sesungguhnya terjadi dan dialami oleh Pemohon II dan Pemohon III saat ini adalah terbukanya hak konsitutional untuk menuju kursi pimpinan DPR RI yang justru diuntungkan, bukan dirugikan. Selanjutnya dalam pokok permohonan. Terkait dalil permohonan Pemohon dalam halaman 15 sampai dengan 23 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dalam pengesahannya dipaksakan dan mengandung … dan mengandung iktikad tidak baik. Bahwa tidak ada iktikad buruk … tidak ada iktikad buruk dalam pembentukan pembahasan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Bagaimana dapat dikatakan ada iktikad buruk dalam pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, sementara undang-undang tersebut telah mendapatkan persetujuan bersama oleh DPR dan presiden sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang … Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya keterangan Pihak Terkait terhadap alasan formulir … formil Pemohon. Bahwa para anggota DPR adalah wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat yang harus membawa dan menyuarakan aspirasi masyarakat dalam segala tindakannya, termasuk dalam pembentukan undang-undang dan/atau tidak ada naskah akademik.
36
Menilai pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sudah memenuhi syarat formil. Kami ulangi, Yang Mulia, bahwa Pihak Terkait menilai bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sudah memenuhi syarat formail … formil karena dibentuk oleh DPR bersama-sama dengan presiden. Dalam undang-undang a quo dinyatakan antara lain, dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia. Persyaratan sebagaimana diatur oleh undang-undang maupun oleh tatib … tata tertib DPR yang mencakup mekanisme dan forum dalam pembahasan undang-undang a quo telah dipenuhi. Yang kedua, tanggapan Pihak Terkait terhadap alasan materiil Pemohon. Bahwa alasan materiil yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonannya tidak ada satu pun yang menguraikan pasal-pasal yang diujinya bertentangan dengan pasal-pasal yang diatur dalam UndangUndang Dasar 1945. Pemohon justru hanya menguji … mengujinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak diatur mengenai hal-hal yang sifatnya detail dan teknis. Oleh karena itu, pengaturan tentang mekanisme pemilihan ketua DPR RI yang sifatnya detail dan rinci diserahkan kepada pembentuk dan pembuat undang-undang itu sendiri. Selanjutnya. Undang-Undang Dasar 1945 tidak menentukan bagaimana cara pengisian pimpinan DPR. Oleh karena itu, mekanisme pemilihan ketua dan wakil ketua merupakan open legal policy yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Selanjutnya. Bahwa pemilihan pimpinan DPR RI yang diatur dalam pengaturan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, ketentuan tersebut menunjukkan setiap anggota DPR RI memiliki hak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku selama ini, baik itu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969, UndangUndang Nomor 4 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009. Bahwa berdarkan ketentuan undang-undang tersebut selama ini tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR RI tidak ada ketentuan yang seragam yang mengatur mekanisme pemilihan … pemilihan pimpinan DPR RI. Bahwa argumentasi konstitusional Pihak Terkait sebagaimana diuraikan di atas, terhadap Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tersebut di atas berlaku secara mutatis mutandis pada ketentuan Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, dan Pasal … Pasal 121, dan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014.
37
Petitum dalam eksepsi, menerima eksepsi Pihak terkait untuk seluruhnya, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, dan dalam pokok permohonan menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Demikian, Majelis. 66. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik, terima kasih. Selengkapnya dimuat dalam keterangan tertulis, ya, ini ringkasannya. Sama selanjutnya saya persilakan Pihak Terkait atas nama Joko Purwanto, sama ringkasannya saja, ya, ini 36 halaman masalahnya. 67. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PPP: UNOTO DWI YULIANTO Baik, terima kasih Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera. Perkenankan kami Iwan Gunawan, S.H., M.H., Unoto Dwi Yulianto, S.H., M.H., M. Sattupali, S.H., M.H., Advokat dan Konsultan Hukum yang berkantor pada Hamid Dwi Hudaya Law Office, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Joko Purwanto, caleg terpilih yang dalam hal ini akan memberikan keterangan selaku Pihak Terkait dalam Perkara Pengujian Undang-Undang dengan register Perkara Nomor 73/PUUXII/2014. Kami akan membacakan pokok-pokoknya saja, Yang Mulia. 68. KETUA: HAMDAN ZOELVA ini?
Sebentar, sebentar. Ini klarifikasi dulu, calon terpilih untuk apa
69. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PPP: UNOTO DWI YULIANTO Anggota DPR RI dari Partai PPP. 70. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, baik, terima kasih. 71. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PPP: UNOTO DWI YULIANTO Kami akan membacakan pokok-pokok keterangan dan mohon segala yang termuat di dalam keterangan tertulis Pihak Terkait dianggap dibacakan. Tentang kedudukan hukum atau legal standing. Bahwa Pihak Terkait adalah perseorangan Warga Negara Republik Indonesia yang merupakan Calon Legislatif DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan 38
Dapil Jawa Barat III yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai Calon Anggota Legislatif DPR RI terpilih periode 2014-2019 berdasarkan SK KPU 416/KPTS/KPU/2014. Bahwa Pihak Terkait adalah calon anggota terpilih pada pemilu legislatif 2014-2019 yang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan untuk memilih dan dipilih menjadi pimpinan DPR-RI, pimpinan komisi, pimpinan badan legislasi, pimpinan badan anggaran, BKSAP, badan kehormatan dewan, dan pimpinan BURT sesuai amanah Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa dengan diajukannya Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 oleh Para Pemohon, maka Pihak Terkait berkepentingan langsung yang hak dan kewenangannya terpengaruh dengan pokok permohonan. Eksepsi. Terkait dengan yang pertama tentang premature. Bahwa eksepsi Para Pemohon prematur. Bahwa meskipun Para Pemohon mengajukan perbaikan permohonan hingga berkali-kali namun tanggal permohonan yang tercatat dan diakui untuk diuji secara formil adalah tanggal ketika diajukan permohonan, dan dibuktikan dengan tanda bukti diterimanya permohonan oleh Kesekretariatan Mahkamah Konstitusi. Sebagaimana yang kita ketahui, Yang Mulia bahwa Pemohon mendaftarkan permohonannya tanggal 24 Juli 2014. 72. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, samalah tadi tidak usah diulangi lagi. 73. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PPP: UNOTO DWI YULIANTO Bahwa dengan demikian untuk dapat diuji permohonan Para Pemohon apakah prematur atau telah kadaluarsa, bukan merujuk pada tanggal diregisternya sebuah permohonan, melainkan kapan sebuah permohonan diajukan, dengan kata lain tenggang waktu apakah sebuah permohonan kedaluwarsa atau prematur dihitung sejak diterima oleh kesekretariatan. Tentang Pemohon tidak memiliki legal standing bahwa sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51, 52, 59/PUU seperti yang tadi sudah dibacakan dan kita dengar bersama-sama bahwa Mahkamah mempertimbangkan untuk masa-masa yang akan datang bagi partai politik dan/atau anggota DPR yang sudah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional atas suatu undang-undang yang dimohonkan pengujiannya akan dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum.
39
Dan menurut kami, menurut hemat kami selaku Pihak Terkait, Yang Mulia bahwa Tahun 2014 masuk dalam apa yang dimaksud dengan masa-masa yang akan datang oleh Mahkamah tersebut. Tentang legal standing Pemohon II dan Pemohon III. Bahwa kerugian konstitusional yang dimaksud oleh Para Pemohon khususnya Pemohon II dan Pemohon III tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi karena konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur kerugian yang dimaksud oleh Pemohon II dan Pemohon III karena Pemohon II dan Pemohon III hanya membandingkan antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, sehingga kemudian Pemohon II dan Pemohon III menafsirkan adanya kerugian dari yang semula otomatis menjadi berubah harus melalui tahapan. Dengan demikian, Pemohon II dan Pemohon III masih berpeluang besar menjadi pimpinan DPR RI maupun alat kelengkapan dewan lainnya, sehingga tidak ada sama sekali kerugian konstitusional yang dialami Pemohon II dan Pemohon III. C. Legal standing Pemohon IV dan Pemohon V. Bahwa terhadap kedudukan Rahmani Yahya selaku Pemohon IV dan Sigit Widiarto selaku Pemohon V, yang merupakan perseorangan Anggota PDIP Perjuangan yang telah memberikan suaranya pada Pemilu Legislatif Tahun 2014, juga tidak ada mengalami kerugian konstitusional. Hal ini dikarenakan dalam pemilihan umum legislatif hanya untuk memilih Anggota Legislatif DPR RI dan DPRD bukan untuk memilih pimpinan DPR maupun alat kelengkapan dewan. Bahwa Pemohon IV dan Pemohon V adalah sebagaimana anggota partai lainnya dan pemilih umum lainnya yang memilih atau mencoblos untuk memenangkan calon anggota legislatif dari dapilnya agar terpilih dan partai politik yang dipilihnya menang dan faktanya Pemohon I telah memenangi pemilu legislatif, sehingga dengan demikian tidak ada kerugian konstitusional yang dialami Pemohon IV dan Pemohon V. Adapun mengenai partai politik yang dipilihnya menjadi pimpinan dewan, hal tersebut tentu dan terkait dengan aturan serta mekanisme yang berlaku yang mana Pemohon I masih berkesempatan menjadi pimpinan DPR dan alat kelengkapan dewan lainnya. Keterangan Pihak Terkait. Bahwa Pemohon I adalah partai politik yang sebagian anggotanya adalah merupakan anggota DPR RI yang dalam hal ini bertindak mewakili kepentingan Pemohon I. Dengan demikian dalam perkara a quo, secara mutatis mutandis Pemohon I haruslah dianggap masuk dalam kekuasaan legislatif yang mana telah turut serta membahas dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tersebut. Terlepas dari hasil voting menang atau kalah, faktanya Pemohon I berkepentingan dan hak-haknya secara institusional telah terwakilkan oleh anggotanya di DPR. Bahwa Pemohon II sampai Pemohon V sebagai kader partai, Pemohon I aspirasinya telah terfasilitasi dan terwakili dengan keberadaan 40
Pemohon I di DPR. Dan Pemohon I sebelum pengambilan keputusan oleh DPR RI telah diberikan ruang untuk melakukan lobi dan memberikan pendapat. Tanggapan Pihak Terkait atas alasan formil Pemohon. Bahwa Pemohon sebagaimana dimaksud dalam permohonannya sama sekali tidak menguraikan alasan-alasan pengujian formil mengenai pengambilan keputusan atas rancangan undang-undang untuk menjadi undangundang. Apakah sudah dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat atau tidak? Dan apabila cara pengambilan keputusan dengan cara musyawarah mufakat tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak sah atau tidak, dan apakah sudah memenuhi kuorum atau tidak atau apakah lembaga yang mengambil keputusan berwenang atau tidak? Bahwa adapun terkait dengan proses (suara tidak terdengar jelas) dan perdebatan yang terjadi dalam pembahasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana dalam uraian dalil permohonan Pemohon. Hal itu merupakan suatu keniscayaan dan kewajaran dalam proses pembentukan undang-undang. Bahkan Pemohon I yang merupakan representasi dari Pemohon II sampai dengan Pemohon V telah memberikan pandangan dan pendapatnya atas rancangan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 sebelum disahkan. Bahwa jikapun pandangan pendapat serta usul Pemohon I ternyata tidak terakomodir dan kemudian kalah dalam pemungutan suara, maka sebagai bagian dari institusi yang sama yakni DPR, tentunya Pemohon I harusnya tunduk dan patuh kepada hasil keputusan yang dibuat bersama. Sebagai bagian dari proses demokratisasi. Bahwa terkait dengan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang tidak ada dalam naskah akademik RUU MD3. Hal tersebut bukan merupakan suatu keharusan sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 12 Tahun 2003 halaman 102, tidak kami bacakan. Bahwa Pemohon juga keliru dalam memahami doktrin dan asasasas pengujian formil dalam pengujian formil atas suatu undang-undang, maka objek pengujiannya adalah proses pembentukan undang-undang dalam arti suatu undang-undang dan bukan ketentuan dalam undangundang secara parsial atau pasal demi pasal. Apakah telah sesuai atau tidak dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya sebagai pelaksana perintah konstitusi? Bahwa oleh karena objektumlitis Pemohon tidak sesuai dengan doktrin dan asas pengujian formil yaitu Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang merupakan bagian dari ketentuan UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014, padahal objektumlitis pengujian undangundang adalah terhadap prosedur pembentukan suatu undang-undang, dalam hal ini prosedur pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Dengan demikian, objek permohonan Perkara Nomor 73 tidak berdasarkan hukum dan tidak memiliki alasan yang dibenarkan hukum atau obscuur libel. 41
Bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, proses pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang disahkan pada tanggal 5 Agustus Tahun 2014 dan diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182 telah sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku. Keterangan dan tanggapan Pihak Terkait terhadap alasan materiil Pemohon akan dilanjutkan oleh rekan kami, Yang Mulia. 74. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT PPP: IWAN GUNAWAN Kami lanjutkan, Yang Mulia. Bahwa dalam permohonannya, Para Pemohon hendak menguji Pasal 84 Tahun 97, 104, 109, 115, 121, Pasal 152, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD yang disahkan tanggal 5 Agustus Tahun 2014 dan diundangkan pada tanggal 5 Agustus dalam Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 182. Bahwa adapun pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang dijadikan batu uji dalam permohonan Para Pemohon adalah Pasal 1 ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) yang kami anggap dibacakan. Bahwa permohonan Para Pemohon dalam pengujian materiil di Pasal 84, 97, 104, 109, 115, 121, dan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 di sana dinyatakan bahwa dalil Para Pemohon yang menyebutkan bahwa partai politik pemenang pemilu harus menjadi Ketua DPR sebagai sebuah konvensi yang tidak boleh berubah dan jika partai pemenang pemilu tidak menjadi ketua DPR, maka telah melanggar prinsip keadilan dan kepastian hukum. Jelas bahwa dalil tersebut tidak lebih dari sebuah asumsi yang tidak berdasar karena jika merujuk pada sejarah terpilihnya ketua DPR beberapa periode belakangan pascareformasi berdasarkan kebutuhan yang mendasari … yang mendasarinya, yaitu Periode Tahun 1999, 2003, 2009, dan 2004 … 2014, secara singkat saya ingin … kami ingin sebutkan di sini, di mana ada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999, ada Pasal 17 di sana dikatakan … dianggap dibacakan. Faktanya, partai pemenang pemilu pada tahun 1999 adalah PDI Perjuangan. Mekanisme pemilihan ketua berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dipilih berdasarkan usulan fraksi yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi dan Ketua DPR RI Periode 19992004 tersebut adalah Ir. Akbar Tanjung dari Fraksi Golkar. Bahwa terpilihnya Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR RI Periode 1999-2014 dianggap konstitusional oleh semua pihak hingga saat ini, meskipun terdapat nomenklatur mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besaran jumlah anggota fraksi. Bahkan, beberapa Hakim Mahkamah Konstitusi menjadi pelaku sejarah proses dialektika, kontestasi Ir. Akbar Tanjung tersebut, di mana sejarah mencatat dari 491 anggota dewan, yang hadir memberikan suara secara tertutup, Akbar Tanjung 42
berhasil meraih 411 suara, Sutarjo Suryo Guritno (PDIP) 54 suara, Hamzah Haz=enam suara, Khofifah=13 suara, dan A. M. Fatwa=dua suara. Selanjutnya, di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003, Pasal 21 dianggap dibacakan. Faktanya dalah partai pemenang Pemilu Tahun 2004 adalah Partai Golkar. Mekanisme pemilihan ketua berdasarkan Pasal 21 ayat (1) tersebut dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam Sidang Paripurna. Bahwa pemilihan Ketua DPR RI periode tersebut bersifat terbuka dan bisa dimenangkan Anggota DPR RI dari partai mana saja. Bahwa terjadi proses dialektika, kontestasi, dan (suara tidak terdengar jelas) pada proses pemilihan ketua DPR dan yang terpilih pada saat itu adalah Paket A yang terdiri dari Dr. H. R. Agung Laksono dari Fraksi Golkar dengan empat wakil ketua, yaitu Sutarjo Suryo Guritno, Muhaimin Iskandar, Zainal Maarif yang dicalonkan koalisi kebangsaan. Bahwa meskipun partai pemenang pemilu tidak otomatis menjadi Ketua DPR RI, namun peluang dan kesempatan partai pemenang pemilu tetap besar dan sama dengan yang lainnya, sehingga tidak ada calon yang peluangnya tertutup. Kemudian, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 … Tahun 2009 … maaf, Yang Mulia. 2009, di mana ada Pasal 82 ayat (1) dan (2) dianggap dibacakan. Faktanya, partai pemenang pemilu adalah Partai Demokrat. Mekanisme pemilihan Ketua DPR RI berdasarkan Pasal 82 ayat (1) tersebut dipilih dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR. Ketua DPR RI Periode 2009-2014 adalah Dr. Marzuki Alie dari Fraksi Demo … dari Fraksi Demokrat. Bahwa Para Pemohon pada pokoknya mendalilkan bahwasanya Ketua DPR berdasar dari partai politik pemenang pemilu legislatif dan memperoleh kursi terbanyak di DPR adalah sebuah konvensi, hal itu tidaklah benar. Dalil permohonan Pemohon tersebut menunjukkan Para Pemohon tidak paham arti dari konvensi dalam hukum tata negara. Kami tuliskan di sini tentang dalil-dalil dan teori mengenai konvensi. Bahwa konvensi ketatanegaraan itu sendiri bukanlah hukum, di sinilah letak perbedaan antara ketentuan hukum yang sudah tidak diragukan lagi keabsahannya dan daya ikatnya secara hukum. (Suara tidak terdengar jelas) ketatanegaraan, bagaimana pun pentingnya, ia tetap merupakan kebiasaan saja. Kami jabarkan, dianggap di … dalam keterangan sini, Yang Mulia, dianggap dibacakan. Bahwa Para Pemohon dalam permohonannya sama sekali tidak menguraikan pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemohon justru mengujinya dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kami lampirkan di PT-9. Dan Para Pemohon membandingkan sebuah undang-undang yang baru dengan undangundang yang lama dan kemudian mengujinya dengan undang-undang 43
lainnya. Dan kemudian, adapun pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang di … yang diajukan … yang dijadikan batu uji hanya disebutkan Para Pemohon di dalam bab kedudukan hukum dan kerugian konstitusional Pemohon. Selanjutnya, untuk poin nomor 11, 12, 13, kami anggap dibacakan. Bahwa pemilihan Pimpinan DPR RI yang diatur dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 menunjukkan adanya kesempatan yang sama dan mencerminkan setiap Anggota DPR memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan untuk memilih dan dipilih menjadi Pimpinan DPR. Hal itu sesuai amanah segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Di sini ada Pasal 21 ayat (1) undang-undang … Pasal 27 ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 serta sejalan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, di mana setiap Anggota DPR RI, setiap orang memiliki hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Bahwa berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku selama ini tentang mekanisme pemilihan DPR … DPR RI tidak ada ketentuan yang seragam, yang mengatur mekanisme pemilihan. Setiap undang-undang di atas memiliki pengaturan masing-masing terhadap mekanisme pemilihan Pimpinan DPR RI. Hal tersebut menunjukkan bahwa mekanisme pemilihan DPR RI tersebut adalah sebuah open legal policy. Selanjutnya, poin 17 dan 18 dianggap dibacakan. Bahwa di poin 19 kami sampaikan bahwa argumentasi konstitusional Pihak Terkait sebagaimana diuraikan di atas terhadap Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tersebut di atas berlaku secara mutatis mutandis pada ketentuan Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, dan Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Petitum. Berdasarkan argumentrasi dan fakta yuridis di atas, maka kami memohon agar Majelis Hakim berkenan memutus dengan amar putusan sebagai berikut. Dalam eksepsi; menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Dan dalam pokok permohonan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Atau apabila Mahmakah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Demikian keterangan dan tanggapan Pihak Terkait, kami sampaikan atas perhatian kebijaksanaan dan kearifan Mahkamah Konstitusi, kami ucapkan terima kasih. Hormat kami Kuasa Hukum Pihak Terkait. Wassalamualaikum wr. wb.
44
75. KETUA: HAMDAN ZOELVA Waalaikumussalam wr. wb. Ya, terima kasih, selanjutnya saya persilakan Partai Nasdem? 76. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Baik, terima kasih, mohon izin memakai mimbar, Yang Mulia. 77. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ini biar keren, ya? Pakai mimbar, silakan. 78. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Ya. 79. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, selebihnya biar enggak ngantuk. 80. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT NASDEM: TAUFIK BASARI Baik, Yang Mulia. Terima kasih. Kami berbeda dengan keterangan Pihak Terkait lainnya, karena pihak keterangan lain … keterangan Pihak Terkait lainnya dalam posisi menolak permohonan dari Pemohon. Kami justru mendukung permohonan dari Pemohon. Yang Mulia, Pihak Terkait, kami ini adalah Partai Nasdem. Sebelumnya, kami akan sampaikan legal standing dari Partai Nasdem. Partai Nasdem adalah partai politik peserta pemilu tahun 2014, partai yang baru yang setelah hasil pemilu telah melewati ambang batas, sehingga dapat mengirimkan wakil-wakil di DPR dan memiliki fraksi di DPR. Namun Parti Nasdem, ya karena sebagai partai baru, belum terlibat ketika pembahasan Undang-Undang MD3. Dan Undang-Undang MD3 ini yang sedang diuji di Mahkamah, juga akan mengatur keberadaan Fraksi Partai Nasdem nantinya, baik itu fraksinya maupun juga anggota-anggota DPR terpilih dari Partai Nasdem. Yang Mulia, Undang-undang MD3 ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dibahas DPR RI periode 2009–2014 dan disahkan atau ditetapkan DPR RI pada tanggal 8 Juli 2014, setelah perolehan suara pemilu legislatif 2014 diketahui secara nasional dan ditetapkan oleh komisi pemilihan Umum. Jadi menurut Pihak Terkait, terdapat permasalahan konstitusionalitas dalam hal formil maupun materiil atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang akan diuraikan lebih lanjut dalam pokok-pokok keterangan Pihak Terkait. Disamping itu, pengesahan 45
Undang-Undang MD3 yang dilakukan setelah perolehan suara pemilu legislatif ditetapkan, serta adanya beberapa pasal dalam undang-undang MD3 yang langsung berlaku bagi seluruh fraksi dan anggota DPR RI termasuk Partai Nasdem segera setelah pelantikan anggota dewan, menjadikan kami dari Partai Nasdem memiliki kepentingan hukum terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, Tentang MD3 yang sedang diuji Mahkamah Konstitusi ini. Selanjutnya, Yang Mulia. Kami akan sampaikan pokok-pokok keterangan Pihak Terkait. Yang pertama, mengenai pengujian formil undang-undang MD3. Bahwa Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 yang diajuakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menguji prosedur pembentukan undang-undang a quo atau menguji secara formil undang-undang a quo terhadap UndangUndang Dasar Tahun 1945. Terhadap pengujian formil tersebut, Pihak Terkait menerangkan hal-hal sebagai berikut. Yang pertama. Bahwa kekuasaan DPR untuk membentuk undangundang yang diberikan oleh Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 tetaplah harus berpegang teguh pada prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kedua. Bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 adalah undang-undang yang mengatur kewenangan kelembagaan tugas pokok dan fungsi DPR RI sebagai lembaga legeslatif. Oleh karena itu, DPR RI ketika membahas, memutuskan, dan menetapkan undangundang yang mengatur dirinya sendiri harus berpedoman teguh pada prinsip-prinsip hukum universal, sehingga tidak terjadi benturan kepentingan atau conflict of interest bahwa sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang, DPR RI tidak dapat menghindari dirinya untuk membuat undang-undang yang terkait dengan kelembagaan kewenangan tugas pokok dan fungsi DPR, sama seperti Mahmakah Konstitusi yang tidak dapat menghindarinya untuk memeriksa pengujian undang-undang terkait Mahkamah Konstitusi. Untuk menghindari conflict of interest, tetap menjaga asas nemo judex idoneus in propria tidak seorang pun dapat menjadi hakim atas perkaranya sendiri. Dalam memutuskan norma pada undang-undang a quo ini, penting untuk ditelusuri dan dipastikan apakah badan atau lembaga yang memutus terkait aturan ketentuan tentang dirinya tersendiri tersebut, telah melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum, menjaga imparsialitas, mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri, dan menempatakan kepentingan publik, serta amanat konstitusi di atas kepentingan diri atau kelompoknya. Secara khusus pihak Terkait menyampaikan posisi hukumnya terkait dengan munculnya perubahan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Undang-undang … tentang MD3 atau undang-undang yang lama yang kemudian menjadi Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 secara tiba-tiba tanpa melalui prosedur dan 46
tanpa proses yang sesuai dengan hukum konfensi-konfensi penyusunan dan pembahasan undang-undang yang selama ini berlaku di DPR, serta asas-asas hukum dalam pembentukan undang-undang. Usulan mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR yang kemudian dituangkan menjadi Pasal 84 dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tersebut, muncul di masa-masa akhir pembahasan undangundang a quo di mana sebelumnya tidak pernah muncul dan tidak pernah menjadi poin pembahasan. Yang patut digarisbawahi adalah ketentuan mengenai pemilihan pimpinan DPR RI ini baru mulai muncul di dalam daftar isian masalah atau DIM yang baru, yang mengubah DIM 137A pada tanggal 30 Juni 2014 sebagaimana dalil Pemohon, yakni setelah komposisi perolehan secara … suara secara nasional pada tanggal 9 Mei 2014 dan perolehan kursi DPR pada tanggal 14 Mei 2014 ditetapkan oleh KPU. Majelis Hakim Yang Mulia. Ketentuan Pasal 84 Undang-Undang 17 Tahun 2014 tentang MD3 telah dijalankan pada DPR RI periode 20092014 tanpa ada masalah dan tidak terdapat suatu kebutuhan untuk diubah. Namun tiba-tiba, ketentuan baru yang tertuang menjadi Pasal 84 Undang-Undang 17 Tahun 2014 tersebut dimunculkan dan diputuskan setelah hasil pemilu legislatif ditetapkan, dan setelah adanya kesepakatan ‘koalisi’ antarpartai sehingga fraksi-fraksi di DPR dapat melakukan kalkulasi atau hitung-hitungan terlebih dahulu untuk membawa kepentingannya masing-masing sebelum menetapkan adanya ketentuan baru yang mengatur tata cara pemilihan pimpinan DPR. Suatu perubahan norma undang-undang dari yang telah berjalan kemudian digantikan dengan norma yang baru harus didasarkan pada suatu kebutuhan atas perubahan tersebut. Untuk mengkaji dan menilai adanya kebutuhan ini, diperlukan suatu evaluasi terhadap penerapan norma yang selama ini berjalan, apakah sudah berjalan dengan baik atau terdapat kekurangan atau menimbulkan kerugian-kerugian sehingga perlu untuk diubah. Apabila tidak ada penilaian didasarkan pada evaluasi, melainkan hanya didasarkan pada kepentingan politik kekuasaan kelompok tertentu semata, maka syarat perubahan norma undang-undang ini menjadi tidak terpenuhi. Menurut pendapat Pihak Terkait, tidak dibenarkan adanya suatu norma undang-undang yang dibuat didasarkan pada kepentingan diri sendiri, kepentingan politik kekuasaan tertentu, atau kepentingan kelompok semata. Norma undang-undang harus memuat kepentingan publik dan berorientasi terhadap kepentingan jangka panjang menjadi (suara tidak terdengar jelas) buruk apabila norma undang-undang dibuat hanya didasarkan pada kepentingan sesaat, sehingga setiap kepentingan jangka tertentu muncul, maka dibuatlah norma undang-undangnya. Dalam hal inilah, peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi (the guardian of the constitution) dibutuhkan untuk menjaga tegaknya negara hukum di Indonesia.
47
Oleh karena itu, Pihak Terkait menyatakan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, khususnya dalam hal pembahasan dan penetapan Pasal 84 melanggar konstitusi secara formil. Selanjutnya, Yang Mulia, tentang pengujian materiil Pasal 84 dan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Selanjutnya, Pihak Terkait akan memberikan keterangan sehubungan Pasal 84 dan Pasal 245. Yang pertama. Bahwa Pihak Terkait pada prinsipnya menyadari bahwa permasalahan mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR memang merupakan pilihan kebijakan hukum yang dapat ditentukan oleh pembuat undang-undang. Namun demikian, kebijakan hukum tersebut harus memperhatikan dua aspek. Yang pertama adalah aspek prinsip negara hukum yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip persamaan hukum di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) … mohon maaf, bukan dua aspek, tiga aspek. Satu lagi, prinsip kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa diubahnya ketentuan mengenai tata cara pemilihan DPR dari ketentuan lama menjadi ketentuan baru dalam Undang-Undang 17 Tahun 2014 tidak didasari atas kepentingan hukum, melainkan kepentingan politik sesaat. Akibatnya, secara materiil norma undangundang yang dibuat tidak berdasarkan hukum, melainkan berdasarkan politik kepentingan. Norma undang-undang tetap harus memiliki dasar legalitas dari segi hukum, tidak boleh norma undang-undang dipandang sebagai alat politik untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi kelompok tertentu. Norma undang-undang yang muatannya mengandung hanya unsur politik kekuasaan semata, tanpa memperhatikan prinsip hukum untuk pemanfaatan publik, menjadikan norma tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa kepentingan politik kekuasaan ini muncul, karena norma baru yang menggantikan norma lama tidak didasarkan pada kebutuhan hukum. Norma baru dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dibuat karena adanya kebutuhan politik, terlebih lagi tidak ada alasan bagi pembuat undang-undang untuk mengganti norma yang baru satu kali dilaksanakan pada saat pemilihan pimpinan DPR RI tahun 2009 menjadi norma baru tanpa adanya evaluasi terhadap penerapan pasal lama tersebut. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan yang lama yakni Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, pimpinan DPR ditentukan berdasarkan urutan perolehan suara kursi terbanyak di DPR sehingga jika pada tahun 2014 ini masih digunakan ketentuan yang lama, maka partai 48
pemenang Pemilu yakni PDI Perjuangan selaku Pemohon Perkara Nomor 73, berhak menjadi ketua DPR. Namun karena ketentuan lama tersebut diubah dengan Pasal 84 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 yang dimunculkan dan ditetapkan setelah diketahui asal pemilu dan setelah adanya kesepakatan koalisi, membuat hak Pemohon menjadi terhalangi oleh sebab politik, bukan oleh sebab hukum. Ada hal yang wajar dalam suatu negara demokratis bahwa partai politik pemenang pemilu menjadi ketua DPR. Terhalanginya hak Pemohon karena sebab politik kekuasaan ini, membuat hak Pemohon untuk mendapatkan jaminan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) sedangkan kepastian hukum dalam jaminan persamaan di hadapan hukum sebagaimana yang dimaksud pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1945 menjadi terhalangi. Meskipun menurut hitungan-hitungan ... menurut hitung-hitungan politik, bagi Partai Nasdem justru ketentuan baru tersebut dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 membuka peluang bagi kami, Partai Nasdem, untuk menjadi salah satu pimpinan, dan sebaliknya, ketentuan yang lama menutup peluang Pihak Terkait untuk menjadi pimpinan. Namun, bagi kami menjalankan fungsi legislasi yang pedoman pada prinsip demokrasi dan konstitusi jauh lebih penting untuk dijaga demi tegaknya negara hukum yang demokratis. Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pihak Terkait alasan Pemohon menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan konstitusi adalah beralasan hukum. Kemudian, mengenai Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, kami menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut. Bahwa ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang mengatur bahwa pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan dan diberikan batas waktu hingga paling lama 30 hari untuk memberikan persetujuan tertulis tersebut nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi. Bahwa Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan jaminan konstitusional bagi warga negara berupa tegaknya prinsip negara hukum, independency peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, serta kepastian hukum yang adil dan jaminan persamaan dihadapan hukum. Bahwa Pasal 245 yang telah menempatkan angggota DPR menjadi pihak yang memiliki keistimewaan dalam proses penegakan hukum karena harus melalui suatu tahapan berupa persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan untuk dapat dipanggil dan diminta keterangan untuk penyidikan, perlakuan khusus terhadap anggota DPR ini merupakan
49
bentuk perlakuan yang berbeda dalam hal penegakan hukum yang tidak diperkenankan oleh konstitusi. Bahwa anggota DPR dalam hal peneggakan hukum mestinya diperlakukan sama seperti warga negara lainnya. Tidak ada alasan yang rasional yang memberikan landasan argumentasi bahwa harus ada tahapan khusus berupa persetujuan tertulis mahkamah kehormatan dewan tersebut bagi suatu pemanggilan dan (suara tidak terdengar jelas) keterangan untuk penyidikan bagi anggota dewan. Kehormatan anggota dewan sebagai wakil rakyat tidak diukur dengan memberikan keistimewaan dalam proses penegakan hukum. Justru semestinya sebagai wakil rakyat, anggota dewan memberikan contoh bagi rakyat dalam menjunjung tinggi hukum, berkomitmen dalam penegakan hukum yang adil tanpa diskrimintif, serta mendukung independency proses hukum. Oleh karena itu, sebagai anggota dewan seharusnya menolak adanya perlakuan khusus dalam hal penegakan hukum karena dapat menjadi contoh yang buruk bagi tegaknya negara hukum. Pihak Terkait yang memiliki fraksi di DPR berkeberatan terhadap adanya ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Pihak Terkait tidak menginginkan anggota DPR dari fraksi Pihak Terkait, dari Fraksi Partai Nasdem, harus diberikan perlakuan yang khusus dalam hal proses penegakan hukum yang berbeda dengan warga negara lainnya dengan terlebih dahulu harus ada persetujuan tertulis dari mahkamah kehormatan dewan. Bagi kami, lembaga perwakilan rakyat harus mendukung penegakan hukum tanpa terkecuali menentang perlakuan yang berbeda dalam proses hukum dan menjadi contoh yang baik bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan hal tersebut di atas menurut Pihak Terkait, alasan Pemohon yang menyatakan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan konstitusi memiliki alasan hukum dan selayaknya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Yang berikutnya Majelis Hakim Yang Mulia, terhadap pengujian pasal-pasal terkait kewenangan DPD RI dan keterwakilan perempuan dalam pimpinan, alat-alat kelengkapan DPR RI. Bahwa DPD RI selaku Pemohon Perkara Nomor 79 mengajukan pengujian formil dan materiil terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Terhadap hal tersebut, kami menyampaikan pandangan sebagai berikut. Bahwa penegasan atas kewenangan DPD RI untuk dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam menyusun suatu undang-undang yang mengatur tentang kewenangan DPD RI. 50
Bahwa kewenangan DPD RI di atas merupakan kewenangan konstitusional berdasarkan Pasal 22D ayat (1) dan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa kewenangan DPD RI tersebut dipertegas kembali oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUUX/2012. Mengacu pada pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka sudah selayaknya dalam pembahasan rancangan undangundang yang mengatur kewenangan DPD RI. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi pertimbangan karena putusan tersebut adalah putusan yang berlaku yang harus diikuti oleh pembuat undang-undang. Dalam hal penyusunan undang-undang, Pihak Terkait berpendapat bahwa legislator harus cermat memperhatikan, mempertimbangkan, dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip negara hukum. Yang Mulia selanjutnya terkait dengan pengujian mengenai keterwakilan perempuan dalam komposisi pimpinan alat kelengkapan DPR RI, Pihak terkait berpandangan sebagai berikut. Bahwa Partai Nasdem sebagai partai baru adalah termasuk partai yang mendukung pengaruh pengarusutamaan gender dalam praktik-praktik politik yang dilakukan oleh Partai Nasdem. Dalam hal pengajuan calon-calon pimpinan alat kelengkapan dewan, sudah semestinya fraksi-fraksi di DPR mempertimbangkan pengajuan keterwakilan perempuan dalam setiap kesempatan untuk memimpin. Pertimbangan ini tentu kembali pada kemauan politik dan perspektif yang dimiliki masing-masing partai politik untuk melaksanakannya. Bahwa semangat pengarusutamaan gender ini sudah seharusnya menjadi perspektif dalam politik dan dijalankan oleh partai-partai politik. Oleh karena itu, menurut Pihak Terkait kesempatan untuk menempatkan dorongan agar partai politik menempatkan perspektif pengarusutamaan gender dalam sikap-sikap politiknya, dapat dilakukan Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan-pertimbangan hukumnya, termasuk dalam perkara yang diperiksa di persidangan ini. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 84 dan Pasal 245 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 yang dimintakan dibatalkan oleh Pemohon, Pihak Terkait berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut inkonstitusional dan harus dinyatakan tidak memiliki hukum ... kekuatan hukum mengikat. Terhadap pasal-pasal lain yang diajukan Para Pemohon terutama yang memuat permohonan bagi Mahkamah untuk memberikan makna konstitusi dengan konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat, Pihak Terkait memberikan pendapat terbatas sebagaimana diuraikan di atas dan menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada Mahkamah Konstitusi. Terakhir Yang Mulia, berdasarkan hal-hal tersebut di atas, mohon Majelis Mahkamah Konstitusi berkenan memutus perkara yang sedang diperiksa diajukan Para Pemohon dengan putusan sebagai berikut.
51
Dalam pengujian formil. Satu, mengajukan permohonan uji formil yang diajukan oleh Pemohon perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 untuk sebagian. Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD, sepanjang untuk Pasal 84 UndangUndang Nomor 17 Tahun 2014 tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menyatakan berlakunya Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPD, dan DPRD. Lima. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Dalam pengujian materiil, mengabulkan permohonan uji materiil yang diajukan Pemohon Perkara Nomor 73, Pemohon untuk Perkara Nomor 79 untuk sebagian, dan Pemohon Perkara Nomor 76, dan Pemohon Perkara Nomor 83 untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Menyatakan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya (ex aequo et bono), terima kasih, Yang Mulia. 81. KETUA: HAMDAN ZOELVA Terima kasih, seluruh pihak sudah didengar keterangannya. Majelis mau mengesahkan dulu bukti yang sudah masuk ya. Bukti Pemohon mengajukan bukti tambahan bukti P-32 sampai P-41 ya? 82. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Betul, Yang Mulia. 83. KETUA: HAMDAN ZOELVA Hanya itu saja ya?
52
84. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Ya, Yang Mulia sampai P-41. 85. KETUA: HAMDAN ZOELVA Baik.Ya, disahkan. KETUK PALU 1X Kemudian Pihak Terkait atas nama Muhammad Sarmuji dan Didik Prihanto bukti PT-1 sampai bukti PT-7? 86. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT GOLKAR: HERU WIDODO Benar, Yang Mulia. 87. KETUA: HAMDAN ZOELVA Betul ya. KETUK PALU 1X Kemudian, Pihak Terkait atas nama Didik Mukriyanto mengajukan bukti PT-1 sampai dengan PT-7? 88. KUASA HUKUM PIHAK TERKAIT DEMOKRAT: ROBINSON Betul, Yang Mulia. 89. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, saya sahkan. KETUK PALU 1X Ya, Saudara Pemohon Para Pihak Terkait dan Pemerintah, terhadap perkara ini Majelis ya kelajutan perkara ini, Majelis akan memusyawarahkan dulu ya, akan musyawarahkan dulu dan untuk sidang selanjutnya akan diberitahukan secara resmi oleh Mahkamah, ya masingmasing perkara ini, ini ada lima … lima permohonan ya, karena itu hari ini tidak ditetapkan dulu jadwalnya sidangnya. Setelah dimusyawarahkan oleh Majelis akan diberitahukan kepada masing-masing pihak, apakah perkara ini akan terus akan mendengarkan keterangan saksi dan ahli? Ataukah bisa juga langsung diputuskan oleh Mahkamah? Ya. 53
90. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Izin, Yang Mulia. 91. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. 92. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 73/PUU-XII/2014: ANDI MUHAMMAD ASRUN Kami kebetulan sudah membawa saksi/fakta dan ada keterangan tertulis. Seandainya bisa diterima keterangan tertulisnya lebih dulu, mohon izin boleh karena yang bersangkutan adalah mantan anggota pansus, Yang Mulia. Terima kasih. 93. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, masalahnya kalau Anda saya berikan, semua berikan hak yang sama, jadi karena itu sama-sama saja ya, nanti akan dimusyawarahkan dulu oleh Majelis, ya. Baik (…) 94. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014: AAN EKO WIDIARTO Izin, Yang Mulia? 95. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya. 96. KUASA HUKUM PEMOHON PERKARA NOMOR 79/PUU-XII/2014: AAN EKO WIDIARTO Dari DPD. Yang Mulia, pada persidangan sebelumnya DPD mengajukan permohonan agar Pemerintah dan DPR menghadirkan dokumen-dokumen pembahasan karena yang kami dapatkan kami masih ragukan apakah itu benar, mengingat naskah akademik yang diberikan DPD masih undang-undang perubahan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, bukan Undangt-Undang MD3. Kalau itu ada di dalam persidangan ini, saya kira menjadi sebuah kebenaran bersama. Terima kasih.
54
97. KETUA: HAMDAN ZOELVA Ya, nanti akan dinilai oleh Mahkamah, ya. Permintaan Saudara akan dimusyawarahkan oleh Mahkamah ya. Baik, dengan demikian sidang ini selesai dan untuk sidang selanjutnya akan diberitahukan oleh Mahkamah. Sidang ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PUKUL 17.23 WIB Jakarta, 24 September 2014 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
55