eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2014, 2(4): 893-904 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2014
MEDIASI ORGANISASI KERJASAMA ISLAM (OKI) DALAM PENGEMBALIAN HAK-HAK ASASI ETNIS ROHINGYA 2012-2013 Ferly Juniar1 NIM. 1002045179
Abstract December 10th, 1948 Universal Declaration of Human Rights was formed as milestone for the guarantee of human rights. Although the protection of human rights violations have been declared but it still occur directly or indirectly. Nowadays, Myanmar is one of the countries that have committed human rights violations. Human rights violations in Myanmar, would not be separated by the Rohingya case that became one of the most humanitarian violations happened a long time in the country. Military government does not acknowledge them as a part of the indigenous people in Myanmar. This has been strengthened by the establishment of Burma Citizenship Law 1982. Violations against ethnic Rohingyas, making international organizations to act and provide assistance such as the Organization of Islamic Cooperation (OIC). OIC as an international organization is doing its part to protect the Muslims in the world, and oppose racial discrimination. OIC as a third party to help resolve issues involving Myanmar's government and ethnic Rohingya using mediation methods. This study discuss how the mediation process undertaken by the OIC in the case settlement. Keywords : Rohingya, Violence of Human Rights, OIC, Myanmar. Pendahuluan Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal dan tidak memandang perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan. HAM harus dijunjung tinggi serta dihormati. Deklarasi Universal HAM 10 Desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak asasi manusia. Meskipun perlindungan terhadap HAM sudah dideklarasikan namun pelanggaran HAM masih sering terjadi secara langsung maupun tidak. Pelanggaran HAM 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2 Nomor 4, 2014: 893-904
terjadi ketika tindakan oleh negara (atau non-state) melakukan pelecehan, mengabaikan, atau menolak hak asasi manusia (termasuk hak sipil, politik, hakhak budaya, sosial, dan ekonomi). Pada prinsipnya negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam memberikan perlindungan, apabila negara tidak melakukan hal tersebut maka negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM. Salah satu negara yang disoroti dunia internasional karena pelanggaran HAM yang dilakukannya adalah Myanmar. Sejak tahun 1962, Myanmar dipimpin oleh Junta militer dan bersifat sangat otoriter. Sejak saat itu pula telah terjadi pelanggaran HAM kepada etnis-etnis minoritas seperti etnis Kachin dan etnis Rohingya. Etnis Rohingya merupakan etnis minoritas yang tinggal di Arakan, Myanmar Barat yang berbatasan dengan Bangladesh yang berjumlah 3 juta jiwa. Etnis Rohingya sudah ada di Arakan, jauh sebelum Burma atau Myanmar merdeka yaitu sejak abad ke 7 Masehi. Jika dilihat dari postur fisiknya, etnis Rohingya berbeda dengan masyarakat Myanmar yang merupakan keturunan ras Cina. Nenek moyang etnis Rohingya berasal dari campuran Arab, Turk, Persian, Afghan, Bengali dan Indo-Mongoloid. (Heru Susetyo & Nurul Islam, 2012) Pelanggaran HAM terlihat lebih signifikan ketika dikeluarkannya undang-undang kewarganegaraan oleh pemerintah Myanmar pada tahun 1982 yang secara tidak langsung telah menyatakan bahwa etnis Rohingya bukan warga negara Myanmar. Di dalam undang-undang tersebut, warga negara dibedakan dalam 3 kategori yaitu : (1) warga negara penuh; (2) warga negara tidak tetap; dan (3) warga negara naturalisasi. Kewarganegaraan penuh diberikan kepada 135 etnis tidak termasuk etnis Rohingya. Kewarganegaraan bisa diberikan kepada etnis Rohingya jika mereka bisa membuktikan bahwa nenek moyang mereka sudah tinggal di Myanmar sebelum tahun 1823, yaitu sebelum terjadinya penjajahan Inggris. Selain itu, kewarganegaraan naturalisasi diberikan jika seseorang bisa membuktikan bahwa ia lahir di Myanmar dan orang tuanya telah tinggal di Myanmar sebelum tanggal 4 Januari 1984. Etnis Rohingya dianggap oleh pemerintah Myanmar tidak bisa memenuhi semua persyaratan tersebut. (www.amnesty.org) Melihat terjadinya kasus pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya, hal ini menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak temasuk OKI. Dalam rangka melindungi umat muslim di dunia seperti yang tercantum dalam piagam OKI, OKI berperan untuk mengupayakan penyelesaian atas kasus yang melibatkan etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar dengan cara damai yakni mediasi. Penelitian ini akan membahas proses mediasi yang dilakukan oleh OKI dalam penyelesaian kasus tersebut.
894
Mediasi OKI dalam hak-hak asasi etnis Rohingya (Ferly Juniar)
Kerangka Dasar Teori dan Konsep Organisasi Internasional Organisasi Internasional didefinisikan sebagai suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota-anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama. Dengan kata lain, organisasi internasional merupakan wadah yang menjadi tempat bekerjasama antara negara satu dengan negara lainnya. Organisasi internasional tidak pernah dibuat untuk saling memerangi atau memusuhi antar anggota. Terdapat dua kategori utama organisasi internasional, yaitu: (A, Le Roy Bennet, 1997 : 2) 1. Organisasi antar pemerintah (inter-Governmental Organizations/IGO), yang anggotanya terdiri dari delegasi resmi pemerintah negara-negara. 2. Organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organizations/NGO), yang anggotanya terdiri dari kelompok-kelompok swasta di bidang keilmuan, keagamaan, kebudayaan, bantuan teknik atau ekonomi, dan sebagainya. Menurut Situmorang berdasarkan peranan organisasi internasional, dapat disimpulkan bahwa peran utama organisasi internasional adalah inisiator, fasilitator, mediator, rekonsiliator, dan determinan. Organisasi internasional dalam isu-isu tertentu berperan sebagai aktor yang independen dengan hak-haknya sendiri. Organisasi internasional juga memiliki peran yang lain yaitu memonitoring dan menengahi perselisihan yang timbul dari adanya keputusankeputusan yang dibuat oleh negara. (Situmorang dalam Andre Pareira, 1999 : 135) Pihak Ketiga (Third Party) Mediasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. (Syahrzial Abbas, 2009 : 23). Pihak ketiga akan ikut dalam bernegosiasi yang dilakukan antara pihak-pihak yang bertikai untuk mencari caracara kompromi yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bertikai. Pihak ketiga tidak akan memaksakan kemauannya kepada pihak-pihak yang bertikai tanpa menghilangkan kepercayaan dan sikap netral.(Sumaryo Suryokusumo, 1987 : 10). Dalam menjalankan tugasnya, ada beberapa campur tangan yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga sebagai berikut : (John M. Ivancevich dkk, 2007 : 63) 1. Arbitrasi yaitu keterlibatan pihak ketiga sebagai wasit atau hakim yang akan memutuskan keputusan tersebut dibuat setelah pihak ketiga mendengarkan dengan baik pendapat kedua belah pihak. 2. Mediasi yaitu keterlibatan pihak ketiga yang netral dengan menggunakan penalaran, pemberian usulan, dan persuasi dalam kapasitasnya sebagai mediator. Mediator ini memfasilitasi penyelesaian masalah dengan mempengaruhi bagaimana pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi berinteraksi. Mediator tidak memiliki otoritas yang mengikat, pihak-pihak yang
895
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2 Nomor 4, 2014: 893-904
terlibat bebas mengacuhkan usaha mediasi ataupun rekomendasi yang dibuat oleh pihak ketiga. 3. Konsultasi antar pihak yaitu pihak ketiga dalam kapasitasnya sebagai konsultan dan penengah pihak-pihak yang sedang berkonflik dengan cara mengembangkan hubungan dan kemampuan mereka dalam memecahkan konflik yang terjadi. Adapun motif mediasi yakni antara lain : (Chester A. Crocker, dkk, 2001 : 428) 1. Mediasi oleh negara (Mediation by State) 2. Mediasi oleh negara berkekuatan kecil atau menengah (Mediation by small and medium-sized power) 3. Mediasi oleh Organisasi Internasional dan NGO (Mediation by International Organization and NGOs) Adapun proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu antara lain : (Syahrzial Abbas, 2009 : 23) 1. Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi dimulai. Pada tahap ini mediator akan melakukan beberapa langkah seperti membangun kepercayaan, menhubungi para pihak, dan menggali informasi. 2. Tahap pelaksanaan mediasi adalah tahap di mana pihak-pihak yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi serta menemukan butir kesepakatan. 3. Tahap akhir implementasi hasil mediasi adalah tahap di mana para pihak menjalankan hasil kesepakatan yang telah disetujui bersama. Hak Asasi Manusia (HAM) Hak asasi manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal, yang dimiliki oleh manusia sematamata karena ia adalah manusia. Pandangan ini menunjukkan bahwa karakteristik seperti ras, jenis kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan untuk mempersoalkan seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM dan hal ini dapat diterapkan di seluruh dunia. Pada awalnya konsep HAM mulai direncanakan pada tahun 1215 di Inggris yang dikenal dengan sebutan Magna Carta. Sejak masa ini, manusia sama derajatnya di mata hukum dan tidak ada perbedaan lagi antara bangsawan maupun rakyat biasa. Isi Magna Carta yang menjelaskan bahwa adanya hak untuk hidup, hak untuk beropini, hak untuk beragama, dan hak untuk mendapatkan kebahagiaan dengan cara memiliki kekayaan. Semua ini merupakan konsep dasar yang nantinya akan melahirkan rumusan HAM yang bersifat Universal.
896
Mediasi OKI dalam hak-hak asasi etnis Rohingya (Ferly Juniar)
Perkembangan selanjutnya melalui Deklarasi Universal HAM 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Naskah tersebut merupakan pernyataan sedunia tentang hak-hak asasi manusia, sehingga tanggal 10 Desember sering diperingati sebagai hari hak asasi manusia. Hak- hak yang diatur menurut Piagam PBB tentang deklarasi Universal Human Rights 1948 itu adalah: (Yahya Ahmad Zein, 2012 : 16) 1. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan bebas dari diskriminasi. 2. Hak untuk mendapatkan kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi. 3. Bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia. 4. Hak untuk mendapatkan pendidikan. 5. Hak untuk kemerdekaan hidup. 6. Hak untuk kebebasan beragama dan memiliki kepercayaan. 7. Hak untuk memperoleh pekerjaan. 8. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Meskipun perlindungan terhadap HAM sudah dideklarasikan namun pelanggaran HAM masih sering terjadi secara langsung maupun tidak. Pelanggaran HAM terjadi ketika tindakan oleh negara (atau non-state) melakukan pelecehan, mengabaikan, atau menolak hak asasi manusia (termasuk hak sipil, politik, hakhak budaya, sosial, dan ekonomi). Pada prinsipnya negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban dalam memberikan perlindungan, apabila negara tidak melakukan hal tersebut maka negara dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran HAM. (Yahya Ahmad Zein, 2012 : 172) Sebab-sebab terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dibagi menjadi tiga kategori seperti berikut : (Walter Carlsnaes dkk, 2013 : 1075) 1. Politik: memusatkan perhatian pada jenis rezim dan ancaman nyata atau dirasakan pada rezim seperti perang sipil dan internasional, gerakan separatis dan terorisme. 2. Ekonomi: yang menyoroti faktor-faktor umum seperti tingkat pembangunan ekonomi, ketimpangan materi, atau globalisasi di bidang perdagangan dan keuangan. 3. Budaya, ideologi dan psikologi: fokus pada pola-pola yang tertanam kuat akan kebencian antar-masyarakat atau ‘balas dendam’ terhadap pelanggaran masa lalu. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik yang memaparkan secara jelas dan sistematis mengenai proses mediasi yang dilakukan oleh OKI pada tahun 2012-2013 dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder
897
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2 Nomor 4, 2014: 893-904
dengan menggunakan literatur buku-buku dan sumber dari internet. Teknik analisis data yang digunakan yaitu teknik analisis kualitatif. Hasil Penelitian Etnis Rohingya telah mengalami tindakan kekerasan oleh junta militer dikarenakan etnis Rohingya dianggap sebagai imigran illegal. Kekerasan yang dilakukan junta militer tersusun dan sistematis untuk memusnahkan etnis Rohingya seperti pembunuhan sewenang-wenang, pemerkosaan, kerja paksa dan perbudakan serta penyitaan tanah. Akibat dari kekerasan ini, membuat etnis Rohingya ketakutan dan melarikan diri dari Myanmar ke negara-negara tetangga menjadi pengungsi. Mereka melarikan diri sebagian besar menggunakan perahu sehingga mereka mendapat julukan “manusia perahu”. Tidak jarang manusia perahu tenggelam dan mati kelaparan di tengah laut. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya diantaranya seperti; (1) Anak-anak etnis Rohingya tidak bisa bersekolah di luar Arakan sedangkan institusi pendidikan professional berada di luar Arakan; (2) bagi kaum perempuan etnis Rohingya tidak diperbolehkan menggunakan jilbab dan dipaksa untuk bekerja di barak-barak Nasaka dijadikan buruh paksa; (3) Etnis Rohingya tidak dibenarkan untuk terlibat dalam segala bentuk perdagangan dan terjadi isolasi ekonomi, para Biksu akan memukul penduduk Arakan yang memberi makan atau menjual makanan kepada etnis Rohingya, sehingga sebagian besar penduduk Arakan tidak ingin lagi menjual makanan mereka kepada etnis Rohingya. Kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya mengakibatkan dampak yang cukup signifikan bagi etnis Rohingya diantaranya; (1) sumber-sumber ekonomi etnis Rohingya menjadi target serangan sehingga mereka kehilangan pekerjaan dalam jangka waktu yang tidak bisa ditentukan; (2) kehilangan tempat tinggal sehingga etnis Rohingya harus pergi untuk mengungsi mencari tempat yang aman di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Indonesia, Bangladesh, Jepang dan lain-lain. Masalah etnis Rohingya bukan hanya masalah internal tetapi sudah menjadi masalah global karena menyangkut tentang keamanan kemanusiaan yang sedang terancam. Tekanan internasional datang kepada pemerintah Myanmar seperti dari ASEAN, UNHCR maupun OKI yang telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada etnis Rohingya. Keterlibatan OKI untuk membantu etnis Rohingya merupakan tanggung jawab OKI selaku organisasi Islam yang melindungi umat Islam di dunia. Selain itu, OKI juga telah di undang oleh pemerintah Myanmar untuk melihat kondisi etnis Rohingya yang ada di Myanmar. Atas undangan ini, OKI merespon positif untuk ikut terlibat membantu memecahkan masalah secara bersama-sama.
898
Mediasi OKI dalam hak-hak asasi etnis Rohingya (Ferly Juniar)
Dalam masalah yang melibatkan pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya, OKI menjalankan perannya sebagai pihak ketiga yang membantu penyelesaian permasalahan dengan cara damai seperti mediasi. Adapun proses mediasi yang dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) untuk membantu dalam pengembalian hak-hak asasi etnis Rohingya tahun 2012-2013 adalah sebagai berikut : 1. Tahap Pramediasi Tahap ini merupakan langkah awal dalam persiapan mediasi. Di dalam tahap ini mediator akan membangun kepercayaan diri agar mampu menyelesaikan permasalahan dan mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi ketika menghubungi para pihak yang terlibat dalam permasalahan. Tahap awal ini penting karena menentukan berjalan atau tidaknya proses mediasi selanjutnya. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) telah melihat bahwa peristiwa yang terjadi khususnya terhadap etnis Rohingya merupakan tindakan kekerasan yang telah dilakukan secara sistematis oleh pemerintah dan masyarakat Myanmar. Dikatakan secara sistematis karena tindakan pemerintah Myanmar tersusun dan direncanakan seperti operasi Naga. Tindakan seperti ini tidak bisa diacuhkan karena mengancam jiwa manusia. Langkah awal OKI dalam menangani permasalahan ini yakni membangun kepercayaan dengan membantu pemerintah Myanmar atas dasar kemanusiaan. Pemerintah Myanmar juga melihat, jika konflik ini terus terjadi akan memberikan citra yang buruk terhadap negara Myanmar yang sedang melakukan perubahan dan pemerintah Myanmar memutuskan untuk mencari solusi dengan mengundang organisasi internasional. Salah satu organisasi internasional yang diundang oleh pemerintah Myanmar yaitu OKI, pemerintah Myanmar mengizinkan masuknya OKI serta organisasi internasional lainnya seperti PMI dan Bulan Sabit Merah. OKI bekerjasama dengan PMI dan Bulan Sabit Merah pada bulan Agustus 2012 mengunjungi barak pengungsi Thet Kay Pyin di Sittwe kemudian bertemu dengan Menteri Urusan Perbatasan Myanmar Letjen Thein Htay. Dalam kunjungan tersebut, OKI beserta organisasi internasional lainnya berkomitmen bersama Palang Merah Myanmar untuk memberikan bantuan kepada masyarakat setempat secara merata. Itikad baik dari OKI ini diterima oleh pemerintah Myanmar untuk membantu mereka menangani permasalahan. Dengan diundangnya OKI oleh pemerintah Myanmar maka OKI mengatur agenda untuk bertemu dan berdialog mengenai permasalahan yang sedang dihadapi. Hal ini menunjukkan awal proses mediasi berjalan lancar karena diterima oleh berbagai pihak untuk meredakan konflik yang sedang terjadi. OKI menggali informasi awal mengenai persoalan utama sehingga akan memudahkan untuk menyusun penyelesaian permasalahan. Oleh karena itu, OKI yang memiliki 57 negara anggota mengadakan pertemuan untuk mendengarkan pendapat dari negara-negara anggota mengenai permasalahan yang akan mereka hadapi. Pada 5 Agustus 2012, diadakanlah pertemuan diantara negara-negara anggota untuk
899
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2 Nomor 4, 2014: 893-904
membahas mengenai etnis Rohingya di Jeddah, Saudi Arabia. Dalam pertemuan ini menghasilkan Final Communique yang mengutuk kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya dan mengutip Resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis umum PBB No. 238/64 of 26 March 2010 bahwa etnis Rohingya merupakan penduduk yang telah lama berada di Myanmar barat. Berdasarkan ini, Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu membuat sebuah tim pencari fakta untuk melihat situasi faktual yang terjadi di Arakan, Myanmar. Tim pencari fakta ini dikenal dengan sebutan OIC Contact Group on Myanmar yang terdiri dari pejabat level kementerian negara-negara anggota OKI. Kemudian OKI juga melakukan koordinasi dengan perwakilan anggota ASEAN yang juga merupakan anggota OKI yaitu Brunei, Indonesia, dan Malaysia. OKI menekankan pemerintah Myanmar harus mengembalikan hak kewarganegaraan etnis Rohingya. OKI juga merekomendasikan agar negara-negara anggota dapat menggunakan kekuatan diplomasi masing-masing negara untuk membantu etnis Rohingya. Pada 14-15 Agustus 2012, KTT Luar Biasa OKI dilaksanakan di Mekkah, Arab Saudi. Dalam KTT ini, OIC Contact Group telah diresmikan dan melaksanakan tugasnya untuk mendapatkan informasi dan menelaah mengenai permasalahan yang terjadi. Selain itu, KTT ini menghasilkan Resolusi 3/4-EX (IS) untuk masalah etnis Rohingya di Myanmar dan menyepakati Final Communique yang memuat tentang sumbangan dari Raja Abdullah sebesar 50 juta US$ untuk membantu etnis Rohingya. OKI juga kembali menekankan agar pemerintah Myanmar segera mengembalikan hak kewarganegaraan etnis Rohingya yang telah diambil ketika keluarnya undang-undang 1982. 2. Tahap Pelaksanaan Mediasi Dalam tahap ini, OIC Contact Group melakukan misinya dengan mencari informasi yang terpercaya dan melakukan kunjungan pada 5 sampai 15 September 2012 ke Myanmar dan bertemu dengan Menteri Urusan Perbatasan serta Gubernur Arakan. OIC Contact Group melaporkan hasil dari perjalanan mereka pada 28 September 2012 dalam pertemuan koordinasi tahunan Menteri Luar Negeri OKI di Markas Besar PBB, New York. Dalam pertemuan ini Sekretaris Jenderal OKI menjelaskan perkembangan di Myanmar dan situasi di Arakan. OKI mendukung etnis Rohingya untuk mendapatkan kembali hak-hak asasi mereka seperti hak atas pendidikan, hak kepemilikan, hak kewarganegaraan, hak kebebasan beragama serta hak-hak sosial lainnya. Dialog yang dilakukan oleh OKI dengan pemerintah Myanmar menghasilkan nota kerjasama antara OKI dan pemerintah Myanmar, nota tersebut dikenal dengan MoC (Memorandum of Cooperation). Kesepakatan pada tanggal 11 September 2012 ini dibuat untuk memberikan bantuan melalui Kantor Kemanusiaan OKI yang akan didirikan di Myanmar, penghentian kekerasan terhadap etnis Rohingya serta penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia. Dengan ini, OKI dan pemerintah Myanmar serta organisasi lainnya telah sepakat untuk menyediakan 4000 rumah bagi pengungsi Rohingya. Etnis Rohingya tinggal berdesakan di kamp pengungsi dengan fasilitas santasi dan
900
Mediasi OKI dalam hak-hak asasi etnis Rohingya (Ferly Juniar)
kesehatan yang buruk. Oleh karena itu, pengungsi Rohingya akan direlokasikan ke tempat yang lebih layak. Upaya yang dilakukan oleh OKI ini mendapatkan perkembangan yang positif, sehingga OKI akan terus berusaha untuk membantu. Dalam perkembangan upaya OKI dalam memediasi, mereka melakukan kunjungan sekaligus mempertemukan kedua belah pihak atau kelompok dan mengatur pertemuan sehingga masing-masing pihak berkesempatan mendengarkan pihak lain dan bersama-sama mencari penyelesaiannya. Pada 1416 November 2013, OKI bersama 7 negara anggota lainnya yakni, Indonesia, Bangladesh, Mesir, Malaysia, Arab Saudi, Turki, dan Djibouti melakukan kunjungan selama tiga hari ke Myanmar termasuk Arakan. Dalam kunjungan kali ini, OKI beserta negara anggota lainnya melakukan pertemuan dengan Presiden, Wakil Presiden, Para menteri, pemimpin masyarakat Rakhine, pemimpin Rohingya serta badan-badan PBB. Mereka memulai dialog dan bertukar pendapat tentang konflik di Arakan, OKI memberikan kesempatan kepada para pihak untuk memaparkan kisah mereka masing-masing. Tujuan dilakukannya pertemuan ini, untuk membahas lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut dan memperkuat kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya 3. Tahap Akhir Mediasi Dalam tahap ini, para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukan selama dalam proses dialog. Dalam dialog yang dilakukan, OKI hanya bisa memberikan saran dan tidak memiliki wewenang untuk memaksakan kehendak. Setelah beberapa kali melakukan pertemuan antara OKI dan pihak yang terkait yakni berupa kunjungan OKI ke Myanmar untuk melakukan dialog. Tahap mediasi OKI telah sampai pada penandatangan MoC untuk program kemanusiaan di Myanmar, diantaranya : 1. OKI memberikan dukungan bagi upaya pemerintah Myanmar untuk lebih meningkatkan kerukunan antar masyarakat, toleransi, dan hidup berdampingan yang damai dalam segala lapisan masyarakat. 2. OKI menyambut upaya pemerintah Myanmar guna mengakhiri aksi kekerasan dan melindungi warga sipil dari kekerasan serta menjamin pennghormatan penuh hak asasi manusia dan kebebasan mendasar. 3. OKI bersama PMI dan Bulan Sabit Merah berkomitmen memberikan bantuan dalam pembangunan minimal 4000 dari 8000 unit rumah yang hancur akibat konflik. 2. Pemerintah Myanmar bersama OKI menyepakati untuk membangun Kantor Kemanusiaan OKI di Myanmar guna memberikan bantuan secara langsung dan merata kepada korban konflik yang dipantau langsung oleh perwakilan Myanmar. Dalam implementasi kesepakatan tersebut, poin pertama sudah terlaksana yakni telah terbentuknya Buddhist-Muslim Interfaith Group dimana kelompok ini mengadakan pertemuan di lokasi yang berbeda setiap bulannya. Dalam pertemuan
901
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2 Nomor 4, 2014: 893-904
tersebut, mereka berdialog mengenai pentingnya perdamaian, toleransi dan menghormati hukum. Meskipun demikian, masih ada kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya dalam kehidupan sehari-hari sehingga kerukunan antar masyarakat belum terjalin sepenuhnya. Kemudian penyaluran bantuan yang tidak merata oleh pemerintah Myanmar, sejauh ini 945 rumah sudah dibangun namun ketika perwakilan dari UNHCR mengunjungi Arakan hanya sedikit etnis Rohingya yang menerima bantuan tersebut, padahal yang menjadi korban utama konflik adalah etnis Rohingya. Selain itu, terjadi penolakan terhadap pembangunan kantor kemanusiaan OKI di Myanmar. Penolakan ini terkait adanya protes yang dilakukan oleh para Biksu dan masyarakat Buddha lainnya yang melarang OKI untuk membuka kantor kemanusiaan di Myanmar. Dalam protes yang dilakukan, ribuan Biksu berkumpul di dua kota besar, yakni di Yangon dan Mandalay. Mereka berjalan dari patung perunggu Buddha menuju balai kota dengan beberapa diantara mereka membawa plakat berbunyi “OKI tak dibutuhkan di propinsi Arakan, tidak dibutuhkan di Burma” dan menyuarakan penolakan terhadap aktivitas OKI di Myanmar. Mereka menyatakan bahwa akan terus berdemonstrasi hingga pemerintah setuju dengan tuntutannya. Mereka menganggap bahwa OKI datang untuk menyebarkan syariah agama Islam dan mereka memiliki kecurigaan bahwa OKI hanya melindungi dan memberikan bantuan kepada etnis Rohingya. Dalam kenyataannya, OKI memberikan bantuan secara merata kepada korban konflik yang terjadi di Arakan, tidak hanya kepada etnis Rohingya. Dengan adanya gelombang protes yang cukup besar, pemerintah Myanmar melalui kantor Kepresidenan Thein Sein mengeluarkan pengumuman bahwa pemerintah tidak akan mengizinkan OKI mendirikan kantor perwakilannya di Myanmar. Alasan pemerintah tidak begitu jelas, apakah berkaitan dengan gelombang protes yang begitu besar di Myanmar atau ada rencana lain. pernyataan pemerintah hanya menyatakan karena tidak sesuai dengan keinginan rakyat. OKI jelas kecewa terhadap penolakan pembangunan kantor tersebut, karena sebelumnya kesepakatan telah ditandatangani. Meskipun demikian, OKI masih belum menerima pemberitahuan resmi dari Pemerintah Myanmar. Jika memang benar pemerintah Myanmar telah menolak, OKI akan mengambil tindakan yang tepat untuk menghadapi pemerintah Myanmar. Mediasi OKI juga memiliki hambatan yakni pada masyarakat Myanmar yang cenderung menolak kehadiran OKI dan memilih mengusir etnis Rohingya dari Myanmar. Adanya protes yang dilakukan oleh para Biksu dan masyarakat Buddha lainnya terhadap kehadiran OKI di Myanmar. Mereka menganggap bahwa
902
Mediasi OKI dalam hak-hak asasi etnis Rohingya (Ferly Juniar)
kehadiran OKI telah mengganggu kedaulatan negara mereka. Permasalahan yang menyangkut etnis Rohingya ini mereka anggap sebagai masalah dalam negeri. Mereka tidak hanya menolak kehadiran OKI tetapi mereka juga menolak kehadiran PBB yang cenderung berpihak pada etnis Rohingya. Hambatan juga terdapat pada OKI sebagai pihak yang turut serta dalam penyelesaian masalah yang melibatkan pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya. Pertama-tama kenetralitasan OKI dipertanyakan karena sejatinya OKI merupakan organisasi Islam yang di dalam piagamnya terdapat tugas untuk melindungi umat Islam di dunia. Meskipun, OKI telah menyatakan untuk membantu kedua belah pihak tanpa adanya diskriminasi tetapi tetap saja fokus OKI pada pengembalian hak asasi etnis Rohingya. Selain itu, OKI tidak bisa memberikan sanksi apapun terhadap Myanmar apabila melanggar kesepakatan yang ada. Hal ini dikarenakan Kapasitas OKI hanya sebagai mediator, memberi rekomendasi terkait bagaimana penyelesaian permasalahan bukan sebagai Arbitrasi. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa OKI telah melakukan upaya untuk menangani penyelesaian permasalahan yang melibatkan pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya seperti melakukan kunjungan serta memnbuat kesepakatan bersama. Namun, upaya yang dilakukan sepertinya tidak membawa perubahan yang positif. Hal ini terkait, masih terjadi pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi hasil dari upaya proses mediasi yang dilakukan oleh OKI tersebut, sebagian besar ternyata gagal, dikarenakan faktanya dalam implementasi kesepakatan tersebut ternyata menemukan hambatan di dalam pelaksanaannya. Beberapa hambatan tersebut di antaranya, protes yang berupa demonstrasi dari masyarakat Myanmar yang menolak kehadiran OKI dan pemerintah Myanmar yang tidak punya pendirian kuat terhadap pernyataan maupun kesepakatan yang telah disepakati seperti menolak pembangunan kantor kemanusiaan OKI yang pada awalnya telah tercantum dalam MoC yang telah ditandatangani. Selain itu, OKI juga tidak bisa memberikan sanksi apapun terhadap Myanmar apabila melanggar kesepakatan yang ada. Hal ini dikarenakan kapasitas OKI hanya sebagai mediator, memberi rekomendasi terkait bagaimana penyelesaian permasalahan bukan sebagai Arbitrasi.
Referensi Buku Abbas Syahrial, Mediasi dalam perspektif hukum syariah, hukum adat, dan hukum nasional, Jakarta, Prenada Media Group, 2009. Bennet, Le Roy A, International Organizations: Principles and Issues, New Jersey, Prentice Hall Inc, 1997.
903
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 2 Nomor 4, 2014: 893-904
Carlsnaes Walter, dkk, Handbook Hubungan Internasional, terj. Oleh Imam Baehaqie, Bandung, Nusa Media, 2013. Crocker Chester A, dkk, Turbulent Peace: the Challenges of Managing International Conflict, United States of America, United States Institute of Peace, 2001 Ivancevich John M, dkk, Perilaku dan Manajemen Organisasi edisi 7, terj. Oleh Gina Gania, Jakarta, Erlangga, 2007. Pareira Andre, Perubahan Global dan Perkembangan Studi Hubungan Internasional, Bandung, Citra Aditya Bakti. 1999. Suryokusumo Sumaryo, Organisasi Internasional, Jakarta, UI Press, 1987. Zein Ahmad Yahya, Problematika Hak Asasi Manusia (HAM), Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, 2012. Skripsi/Jurnal: Januari Nani, 2013, Peran United Nation High of Commissioner for refugees (UNHCR) dalam Menangani Pengungsi Rohingya di Aceh Tahun 20092010. Samarinda, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Mulawarman. Soliman M Santos Jr, 2011, The Muslim Dispute in The Southern Philippines: a Case of Islamic Conference Mediation, Australian Internastional Law Journal : (35-65) . Media Internet: Amnesty International, Myanmar, The Rohingya Minority: Fundamental Rights Denied May 2004, Al Index ASA 16/005/2004. Bernstein Danielle,” OKI sesalkan penolakan Kantor perwakilannya di Burma”, diakses dari http://m.voaindonesia.com/a/oki-sesalkan-penolakanperwakilannya-di-burma/1527797.html pada tanggal 30 November 2012. Human Rights Watch, Burma-Rohingya Muslims: Ending a Cycle of Exodus?, September 1996. _________________, “All You Can Do Is Pray”, April, 2013. UNHCR Global Report,”Bangladesh”, 2000. ___________________,” Myanmar/Bangladesh Repatriation and Reintegration Operation”, 1999. UNHCR, “Kemitraan dan Pelayanan Komunitas”, diakses dari http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/kemitraan-a-pelayanankomunitas pada tanggal 10 Desember 2013.
904