Media Sosial dan Pembentukan Watak Publik
17 Februari 2015
Makalah Islam Media Sosial dan Pembentukan Watak Publik
Dr. H. Thobib Al-Asyhar, M. Si. (Dosen Luar Biasa Psikologi Islam pada Prodi Kajian Timteng dan Islam PPs Universitas Indonesia)
Kemajuan teknologi informasi telah merubah kita. Merubah kebiasaan. Merubah pola pikir (mindset). Bahkan merubah sikap (watak) sehari-hari. Kebiasaan manual menjadi serba digital. Pola pikir yang rumit menjadi lebih sederhana. Sikap hati-hati menjadi permisif, kurang sensitif, bahkan reaktif. Perubahan kebiasaan dan pola pikir, saya kira sudah cukup banyak dibahas. Tapi yang terakhir, media sosial benar-benar merubah sikap (watak) masyarakat kita. Ini yang menarik. Kenapa? Melalui media sosial, seperti FB, Twitter, Path, WA, BBM, Line, dan lain-lain, orang dengan mudah mengungkapkan sikapnya. Suka atau tidak. Puas atau kecewa. Melalui teks, simbol, dan gambar lucu atau “meme”, seseorang bisa nyindir dan menertawakan pihak lain. Sekali pencet atau klik, pihak satu bisa dengan gampang menghina pihak lainnya. Bahkan sekali klik orang bisa menganggap seseorang sebagai tokoh sesat, bahkan kafir. Ingat, kasus pak Quraish Shihab salah satu contoh. Astaghfirullah! Iya, itulah yang saya sebut sebagai budaya “share”. Budaya instan, sepele, mudah, dan cepat melalui media daring. Sadarkah kita bahwa budaya itu nyatanyata merubah watak publik? Yang awalnya hati-hati menjadi ceroboh. Yang awalnya sabar jadi cepat marah. Yang tadinya santun jadi urakan. Yang tadinya pendiam jadi “ngomong” melulu. Yang tadinya baik jadi suka mencela. Yang tadinya toleran jadi suka menyalahkan, dan sebagainya. Masa kampanye Pilpres tahun lalu menjadi bukti. Luar biasa! Ga usah jauhjauh, kasus kisruh Polri-KPK saat ini juga sama. Hampir setiap orang berebut opini. Masing-masing pendapat merasa benar dan orang lain salah. Bagi yang tidak menggunakan “medsos” mungkin kurang terasa. Tapi bagi pengguna “medsos” aktif begitu terasa. Caci maki, fitnah, kebohongan, intrik, analisa “gaje” alias gak jelas tumplek bleg di situ. Cerita dan berita baik dan bohong saling memperebutkan frekuensi publik. Sebagain orang bilang itu sebagai “budaya jahiliyah” karena baik dan buruk menjadi tidak jelas batasnya. Masing-masing ingin pihaknya diakui.
Dulu, ketika orang ingin ngomongin keburukan orang lain perlu upaya. Perlu ketemu dan janji terlebih dulu, baru kemudian “ngerumpi”. Ya sekarang juga masih dilakukan sih. Tapi, makin bervariasi dan mudah. Mau ngomongin orang cukup via grup di “medsos”. Dengan modal jari, klik, dan sedikit berfikir, kejelekan orang tersebar tak terkontrol. Meski dengan hal sama kebaikan atau petuah baik bisa dilakukan. Dengan bergesernya “cara” dan “fenomena” ini tentu menjadikan makna “ghibah” sangat luas. Kalau ghibah biasa diartikan dengan “ngomongin” kejelekan orang lain, sekarang “ngeklik” atau “ngeshare” tentang keburukan orang juga sama. Sama-sama dosa! Bisa dibayangkan jika nge-share dalam grup yang melibatkan ratusan atau ribuan orang! Intinya, semakin hari, semakin mudah bikin dosa. Perspektif Psikologi Ada pertanyaan sederhana, kenapa budaya “share” itu demikian marak? Kita ini sedang berada di era apa sih? Aspek-aspek psikologi apa saja sih yang membuat orang dengan mudah melakukan “share” informasi yang belum jelas benar tidaknya. Bagaimana psikologi melihat fenomena ini? Ada satu prinsip umum dalam Islam yang sering kita yakini, jangan percaya begitu saja terhadap cerita atau berita dari orang lain. Apalagi belum kita kenal. Islam mengajarkan kita untuk tetap hati-hati dalam mencerna info yang kita dapat. Info yang benar saja bisa dipahami salah, apalagi info yang salah. Itu prinsip umumnya. Tapi apa yang terjadi? Info yang disebar-luasakan diaykini seakanseakan benar. Seakan-akan positif. Yang penting sesuai dengan selera, sesuai dengan pilihan politik, sesuai dengan “kebanyakan orang bilang”. Secara psikologis, maraknya budaya “share” informasi di media sosial dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah: Pertama, munculnya unsur “keakuan” dan “kekitaan”. Frizt Kunkel menyebutnya sebagai dorongan dalam diri. Jika dorongan “keakuan” makin membesar, maka dorongan “kekitaan” mengecil. Sebaliknya, jika dorongan “kekitaan” membesar, maka dorongan “keakuan” menurun. Pada prinsipnya, orang itu suka berbagi. Karena berbagi akan membahagiakan. Seorang psikolog sosial dari University of British USA, Elizabet Dunn, mengatakan bahwa berbagi
(yang baik) itu membahagiakan. Sebaliknya, berbagai keburukan atau aib orang justru merusak. Nah, orang yang nge-share informasi melalui media sosial diyakini merasa puas atau setidaknya merasa senang karena dapat berbagi kepada orang lain, apalagi mendapat coment atau feedback. Melalui cara “share” maka dia akan dapat ich ideal atau kepentingan keakuannya. Demikian juga perasaan “kekitaan” akan membuat kebanggaan kelompok, dan mengeluarkan orang lain di luar kelompoknya. Kedua, egosentrisme. Hampir semua orang, secara psikologis, mempunyai kecenderungan merasa bahwa pendapatnya sendirilah yang benar. Pada posisi dimana ada perasaan benar atau lebih dari orang lain, seseorang yang memiliki informasi atau catatan mencoba untuk membagi kepada orang lain. Dalam konteks ini, jenis-jenis orang berbeda satu dengan yang lain. Bagi yang memiliki ego tinggi, apa yang diungkapkan sebagai kebenaran dan alergi terhadap kritik. Bagi sebagian yang lain, kritik merupakan hal baik untuk memperbaiki muatan informasinya. Ketiga, iseng-iseng. Apa yang menyebabkan seseorang itu berbuat iseng menyebarkan informasi lucu, “meme”, simbol, atau informasi lain di media sosial? Banyak faktor tentu saja. Bisa karena waktu luang. Bisa karena memiliki kerpibadian usil. Bisa pula karena ingin mendapatkan perhatian dari orang lain. Orang bilang PHP. Khusus soal ini, dalam psikologi disebut dengan kepribadian histrionik. Yaitu, gangguan kepribadian dengan karakter emosi yang meluap-luap seperti keinginan untuk mendapat pujian atau rayuan yang tidak tepat. Gangguan ini berawal dari masa kanak-kanak hingga menjelang remaja dan terus berlanjut hingga membentuk gangguan kepribadian dikemudian harinya. Keempat, ingin tampil narsis. Penyakit ini tidak sekedar gemar memuji diri sendiri. Narsis merupakan penyakit mental (mental disorder). Dalam istilah ilmiah, narsis disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD).Narsis bisa disebabkan faktor keturunan dan faktor lingkungan sekitar. Biasanya narsis muncul akibat pujian yang diterima terus menerus dari orang lain. Secara umum ciri-ciri orang-orang narsistik antara lain: memiliki fantasi, merasa siperior, tidak (kurang berempati), iri,merasa istimewa, sombong, dan sensitif.
Dari uraian tersebut menjadi jelas, fenomena media sosial dan mudahnya orang nge-share informasi telah membentuk watak publik yang baru. Watak yang mudah cepat percaya. Watak yang ringan membincang kejelekan orang lain. Watak yang lemah karena tidak kritis. Watak yang mudah tersanjung karena komen pujian. Watak yang emosional karena disindir orang lain. Watak simplistis terhadap berita sumir, dan watak-watak lainya. Kalau digambarkan dengan watak publik sebelum perkembangan media sosial rasanya jauh sekali. Yups, semua itu hanya bisa dicegah dengan satu cara, yaitu membekali diri. Banyaknya info dan berita di media daring, baik dan buruk berseliweran. Saling klaim makin menjadi. Narsisme telah mewabah. Fitnah menjadi hal biasa. Hanya dua kata agar kita terhindar dari dosa dan fitnah: waspada dan kritis! Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: bimasislam.kemenag.gi.id-informasi-opini