MEDIA DAN PEMBENTUKAN REALITAS (Studi Kasus Penanaman Nilai-Nilai Sosial Video Game “ Call Of Duty Modern Warfare 2 & 3” Terhadap Pemahaman Persenjataan Dikalangan Gamers Kota Bekasi)
Disusun Oleh :
HERU TOPAN AJI WIBOWO D1211039
JURNAL Diajukan Guna Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014
MEDIA DAN PEMBENTUKAN REALITAS (Studi Kasus Penanaman Nilai-Nilai Sosial Video Game “ Call Of Duty Modern Warfare 2 & 3” Terhadap Pemahaman Persenjataan Dikalangan Gamers Kota Bekasi) Heru Topan Aji Wibowo Dwi Tiyanto Prahastiwi Utari Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract Gamers are the ones who daily and parcel of playing video games, and always play in high intensity. From the habit of playing like that, some gamers can not distinguish between real weapons objects and that are not. Therefore, the perception that appears different from one another. Therefore, to determine the perception of gamers this research was conducted, so as to provide knowledge and advice to other researchers or the public how someone who is drunk will be the technology of military weaponry in the game. Professor George Gebner in cultivation theory argues that the mass media inculcate certain attitudes and values. Media also maintain and disseminate the attitudes and values among members of the community and then tie it together anyway. Based on the opinion of this theory, it was made of this qualitative descriptive study, with the aim of finding out the perception of gamers on the understanding that military weapons in the game call of duty modern warfare 2 and 3. To analyze the problem, a case study is used as a method to analyze, because proceeded to conduct interviews with the primary of data can be obtained. From the analysis conducted, it turns out that the reality created by the media in this video game can form a subjective reality where gamers is a person who lacks knowledge of objective reality weaponry. And those who do not form a subjective reality is a gamers who have a broad enough knowledge regarding the weapons, so as to differentiate between actual reality with the reality created by the media in this regard is the game developers themselves. Keywords: Gamers, Military Weapons, Cultivation Theory
1
Pendahuluan Gamers atau sebutan lain bagi penggemar berat video game adalah seseorang yang memiliki kesenangan khusus atau hobi untuk memainkan segala jenis video game yang ada. Jika dilihat dari frekuensi bermainnya, gamers berbeda dengan orang yang bermain game dalam tingkat frekuensi yang rendah, dengan kata lain, orang yang disebut gamers adalah seseorang yang kesehariannya hidup berdampingan dan tak terpisahkan dari video game dan memainkan video gamenya dalam intensitas yang tinggi (heavy gamers). Dalam teori kultivasi yang dikemukakan oleh Profesor George Gebner (Nurudin, 2007: 168-169), para pecandu berat televisi (heavy viewer) akan menganggap bahwa apa yang terjadi di televisi adalah dunia senyatanya. Dengan kata lain, penilaian, persepsi, opini, penonton televisi digiring sedemikian rupa agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya. Gebner selanjutnya berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antaranggota masyarakat kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan masing-masing penonton meyakininya. Jadi, para pecandu televisi akan memiliki kecenderungan sikap yang sama satu sama lain. Jika dikaitkan dengan permasalahan yang peneliti angkat dalam penelitian yang melibatkan media video game maka teori kultivasi yang dikenalkan oleh Profesor George Gebner tersebut sangat mirip atau sesuai untuk menjelaskan keadaan yang terjadi pada gamers yang berada pada tingkat kecanduan tersebut. Pasalnya dalam video game “Call Of Duty Modern Warfare 2 dan 3” tersebut, para developernya juga menanamkan sikap dan nilai tertentu pada diri seorang gamers atau komunikannya. Sehingga akan tercipta satu realitas atau persepsi yang sama dibenak para gamers, bahwa Amerika Serikat dan Inggrislah yang memiliki angkatan bersenjata yang paling elit di dunia. Hal tersebut dibuktikan dalam jalan cerita yang dibangun dalam game tersebut. Menurut teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi
2
apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Ini berarti, melalui kontak penonton dengan televisi, ia belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya, serta adat kebiasaannya (Nurudin, 2007: 167). Hal seperti inilah yang peneliti temukan dalam game tersebut, developer kiranya mencoba memberikan gambaran dan pelajaran kepada seluruh dunia lewat media video game tentang budaya perang negara NATO, dan budaya perang negara pakta warsawa di masa modern saat ini. Setelah gamers merasakan game tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar, arah pemikiran mereka telah tersetting dalam benaknya masing-masing. Sehingga kini yang membedakan gamers yang satu dengan yang lain adalah terletak pada frame of reference dan experience masing-masing gamers. Seperti yang dikatakan oleh Baudrillard, tidak ada tempat yang lebih hiperrealistis selain di padang pasir, dan padang pasir ini adalah Amerika (Piliang, 2003: 138). Kalimat tersebut merupakan metafora yang digunakan Baudrillard untuk menerangkan aspek-aspek halusinasi, khayalan, dan fatamorgana yang telah menguasai kebudayaan Amerika. Totalitas hidup seseorang seperti perasaan gembira, sedih, keberanian, ketakutan, dan sebagainya secara tidak sadar sudah terperangkap di dalam dunia hiperrealitas media, namun apabila seseorang tersebut mencoba melihat media dengan penuh kesadaran, maka ia akan menyadari bahwa apa yang ia saksikan tidak lebih dari sebuah fantasi, fiksi, atau fatamorgana yang semu belaka. Dalam Piliang 2003, Baudrillard pun tanpa ragu mengemukakan bahwa dunia realitas dan dunia hiperrealitas media/televisi sudah sulit dibedakan, kedua-duanya sama-sama nyata. Pendapat tersebut juga didukung oleh Arthur Kroker dan David Cook (Piliang, 2003: 139) yang menyatakan bahwa televisi telah berkembang menjadi sebuah realitas kedua. Bahkan, televisi lebih nyata dari dunia realitas itu sendiri, sebab tidak saja karena televisi mampu membuat pemirsanya tenggelam dalam citra simulakrumnya. Di dalam televisi, realitas, fantasi, halusinasi, ilusi atau fatamorgana telah melebur menjadi satu. Perumusan Masalah 1. Bagaimana persepsi Gamers terhadap realitas persenjataan yang ada saat ini?
3
2. Bagaimana persepsi Gamers dalam melihat persenjataan militer dalam game Call Of Duty Modern Warfare 2 & 3? 3. Bagaimana Gamers dapat membedakan antara realitas objektif sama dengan realitas yang ada dalam game Call Of Duty Modern Warfare 2 & 3? 4. Bagaimana keterkaitan antara realitas objektif dan realitas media dalam membentuk realitas subjektif dalam diri gamers?
Tujuan 1. Untuk mengetahui persepsi Gamers terhadap realitas persenjataan yang ada saat ini . 2. Untuk mengetahui persepsi Gamers dalam melihat persenjataan militer dalam game Call Of Duty Modern Warfare 2 & 3. 3. Untuk mengetahui pandangan Gamers dalam membedakan realitas objektif dengan realitas yang ada dalam game Call Of Duty Modern Warfare 2 & 3. 4. Untuk mengetahui keterkaitan antara realitas objektif dan realitas media dalam membentuk realitas subjektif dalam diri gamers Tinjauan Pustaka a. Komunikasi K Carl I Hovland menyatakan pendapatnya dalam (Mulyana, 2007:68) komunikasi
adalah
sebuah
proses
yang
memungkinkan
seseorang
(komunikator) menyampaikan rangsangan (biasanya lambang-lambang verbal) untuk mengubah perilaku orang lain (komunikate). Harold D. Laswell dalam Deddy Mulyana (2001: 62-64) komunikasi yaitu
mengemukakan tentang sebuah model
model komunikasi yang dapat menggambarkan proses
komunikasi dan komponennya yang menggambarkan cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi serta menjawab pertanyaan sebagai berikut : who say what in which channel to whom with what effect. b. Komunikasi Massa Cangara (1998:37) mendefinisikan komunikasi massa sebagai proses komunikasi yang berlangsung di mana pesannya dikirim dari sumber yang
4
melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi, surat kabar, dan film. Cangara (1998:37) menjabarkan karakteristik komunikasi massa antara lain bersifat melembaga, satu arah, meluas dan serempak, mekanis dan bersifat terbuka. Sean MacBride, ketua komisi masalah-masalah komunikasi UNESCO (1980) dalam cangara (1998:62) mengemukakan bahwa komunikasi massa memiliki delapan fungsi sebagai berikut : fungsi komunikasi, sosialisasi, motivasi, bahan diskusi, pendidikan, memajukan kebudayaan, hiburan, dan integrasi. c. Sosiologi Komunikasi Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 1992), sosiologi komunikasi merupakan kekhususan sosiologi dalam mempelajari interaksi sosial yaitu suatu hubungan atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruhmempengaruhi antara para individu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok. Secara komprehensif sosiologi komunikasi mempelajari tentang interaksi sosial dengan segala aspek yang berhubungan dengan interaksi tersebut seperti bagaimana interaksi (komunikasi) itu dilakukan dengan menggunakan media, bagaimana efek media sebagai akibat dari interaksi tersebut, sampai dengan bagaimana perubahan-perubahan sosial di masyarakat yang didorong oleh efek media berkembang serta konsekuensi sosial macam apa yang ditanggung masyarakat sebagai akibat dari perubahan yang didorong oleh media itu. d. Teori Kultivasi Teori kultivasi pertama kali diperkenalkan oleh Profesor George Gerbner dalam penelitiannya yang lebih menekankan pada dampak yang diterima oleh penonton televisi setelah menonton acara di televisi tersebut. Menurut teori kultivasi, televisi menjadi media atau alat utama dimana para penonton televisi belajar tentang masyarakat dan kultur di lingkungannya. Persepsi apa yang terbangun di benak penonton tentang masyarakat dan budaya sangat ditentukan oleh televisi. Artinya penonton mempelajari tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adat istiadatnya dari tayangan di televisi.
5
Gerbner berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai itu antar anggota masyarakat kemudia mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penilaian, persepsi, dan opini penonton agar sesuai dengan apa yang mereka lihat di televisi, dan masing-masing penontonnya meyakini hal tersebut terjadi pada dunia yang sesungghnya. e. Technological Determinism Theory Teori yang pertama kali dikemukakan oleh Marshall McLuhan pada tahun 1962 dalam tulisannya The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula kebaradaan manusia itu sendiri. Selanjutnya dia menambahkan bahwa teknologi dapat membentuk cara berpikir individu, berperilaku dalam masyarakat, dan pada akhirnya teknologi akan terus mengarahkan manusia untuk terus bergerak dari satu abad teknologi menuju abad teknologi yang lebih maju (Nurudin, 2007). McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita berkomunikasi, dan terbagi menjadi tiga tahapan pokok. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia. Ketiga, sebagaimana kata McLuhan diatas bahwa “kita membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”. Seiring perkembangan teknologi yang terus maju seperti sekarang ini, kemampuan media elektronik menyebabkan perluasan yang lebih baik pada pikiran dan perasaan manusia. Pada era ini manusia tidak hanya mengandalkan pendengaran dan penglihatan, tetapi menggunakan keduanya secara bersamaan dalam menangkap maupun menafsirkan pesan tersebut. f. Persepsi Dedy mulyana dalam buku ilmu komunikasinya menjelaskan bahwa persepsi
adalah
proses
internal
yang
6
memungkinkan
kita
memilih,
mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Menurut mulyana persepsi adalah inti dari komunikasi, sedangkan interpretasi adalah inti dari persepsi yang identik dengan penyandian balik dalam proses komunikasi. Persepsi disebut inti komunikasi karena jika persepsi kita tidak akurat, maka komunikasi yang dihasilkan tidak akan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, maka akan semakin mudah dan semakin sering pula intensitas komuikasi mereka, dan mungkin sebagai konsekuensinya akan semakin cenderung membentuk kelompok budaya atau kelompok identitas. Metodologi Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif untuk menjelaskan fenomena-fenomena apa saja yang terjadi pada gamers setelah memainkan game call of duty modern warfare dua dan tiga tersebut. Alasan dipilihnya metode penelitian kualitatif untuk mengungkap kasus kultivasi video game yang terjadi pada masyarakat karena secara epistimologi, penelitian ini mengharuskan keterlibatan peneliti baik dengan subyek maupun obyek penelitian yang akan diteliti. Dan pada praktek di lapangannya, peneliti memang ikut serta melihat dan memainkan game yang di mainkan oleh narasumber, sehingga peneliti juga merasakan apa yang dirasakan oleh narasumber tersebut. Setelah merasakan pengalaman yang sama dengan narasumber, maka peneliti bisa menceritakan kembali dengan mendeskripsikannya secara kualitatif. Kemudian jika dilihat secara ontologis penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini merupakan realitas dengan fenomena yang jamak bukan tunggal, sehingga peneliti harus menjabarkannya dengan metode kualitatif. Terakhir jika dilihat dari segi aksiologi penelitian ini dipengaruhi oleh nilai dari penelitinya misalkan seperti pemilihan masalah, pemilihan kebijakan, pembatasan, hingga pada pemfokusan masalah. Bahkan nilai-nilai dari narasumber pun ikut masuk dalam perhitungan peneliti, oleh karena itulah penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif.
7
Sajian Data Pembentukan Realitas Obyektif Persenjataan Fenomena yang memliki keberadaan (being), menurut Berger, adalah hasil obyektivikasi (1999). Dalam realitas persenjataan obyektif kita bisa melihat pistol, senapan serbu, senapan mesin, panser dan lain-lain itu sudah diberi nama dan maknanya. Kita melihat sebuah perang sudah diberi nama demikian dengan "definisinya", dengan aturan-aturannya. Pemahaman kita tentang makna obyekobyek itu relatif sama. Inilah "realitas obyektif", yang dengannya membuat kita lebih mudah berkomunikasi. Realitas obyektif dibangun secara sosial, artinya maknanya
diperoleh
berdasarkan
kesepakatan
sosial,
berdasarkan
intersubyektifitas. Jika komunitas forum militer atau sebuah kalangan militer tertentu menyebut sebuah nama benda militer misalkan F-22 Raptor, maka kita tidak bisa seenaknya saja menyebut pesawat tersebut dengan kode nama yang lain misalkan F-16 untuk bentuk pesawat tersebut. Fakta yang berupa dokumentasi para jurnalis tersebut dijadikan dasar untuk membuat sebuah film ataupun video game, yang nantinya dikembangkan oleh imajinasi para developer. Developer pun tidak sendirian dalam membuat realitas obyektif di dalam produknya, mereka biasanya juga melibatkan ahli di bidang persenjataan, maupun veteran perang yang akan mengangkat cerita tersebut menjadi produk hiburan seperti film maupun video game. Jika ditelusuri dari latar belakang seorang gamers, maka ada dua macam gamers yang memainkan video game bergenre FPS bertemakan peperangan. Pertama adalah gamers yang dari awalnya memang menyukai berbagai jenis senjata, kedua adalah gamers yang memainkan game murni untuk bersenangsenang belaka. Memahami persenjataan infanteri secara umum Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan kepada tujuh orang narasumber yang memainkan Call of Duty Modern Warfare 2 dan 3 maka dapat diketahui bahwa orang yang memainkan game perang Call of Duty Modern Warfare 2 dan 3 hanya untuk bersenang-senang belaka maka mereka hanya dapat menjelaskan secara umum. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan, “ bisakah
8
anda menceritakan senjata infanteri macam apa saja yang anda ketahui?”. Ratarata dari mereka, mayoritas menjawabnya dengan jawaban umum, misalnya seperti assault rifle atau senapan serbu, SMG atau sub machine gun, machine gun, handgun atau pistol, shotgun, sniper rifle, dan sebagainya, tanpa dijelaskan lebih jauh tentang model maupun tipe beserta karakteristik senjata tersebut.. Hal tersebut bisa diketahui dari pemahaman mereka tentang persenjataan yang sangat minim. Memahami persenjataan infanteri secara khusus Jawaban umum yang masih sedikit mendapat penjelasan tentang macam model dari jenis senjata yang disebutkan yaitu assault rifle, SMG, handgun, dan sniper rifle. Model senjata yang disebutkan lagi-lagi merupakan senjata yang memiliki tingkat eksposure tinggi di media sehingga mereka sangat familiar dengan senjata dengan model tersebut. Selain legendaris dan battle proven, publikasi di media tentang penyebaran senjata senjata ini di seluruh dunia membuat setiap orang khususnya gamers mengenal dengan baik senjata tersebut. Senjata yang masuk kategori assault rifle, mayoritas gamers akan sangat akrab dengan model senjata-senjata sebagai berikut, pertama adalah AK-47. Bandel dan gampang dioperasikan, itulah klise yang biasa dilontarkan prajurit TNI untuk sedikit memuji kehebatan Avtomat Kalashnikov (AK)-47. Alasan itu pula yang mendasari sang maestro Mikhail Timofeevich Kalashnikov mendesain AK-47 pada awal tahun 1940. Karena ketangguhannya, akhirnya AK-47 diterima secara luas di saentero jagat. (Majalah Angkasa, edisi IX). Senapan serbu buatan Rusia ini hampir dapat dipastikan setiap orang khususnya gamers akan sangat paham dari bentuk senjata ini. Seperti yang diutarakan Herry, Adi dan Andy berikut. “Untuk senapan serbu yang paling familiar yang biasa saya main game itu dan yang saya tau itu cuman AK-47”. (Sumber: Herry, 24 tahun, wawancara tanggal 5 November 2013) “Truus AK-47 yang terkenal...”. (Sumber: Adi, 23 tahun, wawancara tanggal 26 Oktober 2013) “Dan yang paling terkenal mungkin kalo di game-game itu namanya AK47 itu termasuk jenis assault rifle yah?” (Sumber:Andy, 2 tahun, wawancara tanggal 3 November 2013) 9
Kedua
adalah
M4A1,
senapan
serbu
ini
merupakan
penyempurnaan dari pendahulunya yaitu M-16. Senapan yang sudah lebih dahulu malang melintang di peperangan pasifik hingga ke vietnam ini memiliki kekurangan yang diperbaiki di senapan serbu M4A1 ini. Bentuknya yang kompak, berdaya sembur hebat, membuat mayoritas gamers hapal dengan senjata ini, bahkan menjadi senjata favorite gamers tersebut, seperti dalam potongan wawancara berikut. “Saya main kedua game tersebut, namun apapun senjatanya yang saya pakai, sudah dipastikan saya akan menggunakan M4A1, itu soalnya favorite saya, walaupun saya dapet senjata yang lain-lain saya akan mencari M4 dari prajurit yang mati”. (Sumber: Muchtar, 23 tahun, wawancara tanggal 3 Oktober 2013) Pembentukan Realitas Persenjataan Dalam Game Semua bentuk realitas yang ada di dunia ini, apakah itu realitas simbolik, realitas obyektif, realitas subyektif maupun realitas sosial adalah bahan yang digunakan untuk membuat sebuah berita di media. (Mursito, 2012: 7). Lebih mudahnya, semua realitas diatas merupakan realitas empirik yang fenomenafenomenanya diakui memiliki keberadaan, baik yang telah diobyektifikasi maupun yang diangkat dalam berbagai bentuk realitas. Dalam kaitannya dengan video game, kini segala bentuk berita peperangan dari seluruh penjuru dunia beserta peralatan perang yang digunakan dalam konflik tersebut merupakan bahan utama yang digunakan sebagai objek dan materi dari game yang akan dibuat oleh developer game. Potongan rekaman video sejarah peperangan maupun potongan siaran berita peperangan di televisi, digunakan sebagai dasar fakta dalam permulaan cerita yang nantinya akan membawa para gamers bergabung dalam sebuah misi peperangan bersejarah tersebut. Cerita yang berdasarkan fakta tersebut, oleh developer game biasanya akan dikembangkan menjadi dua jenis cerita, pertama cerita yang tetap berjalan pada urutan peristiwa sejarah yang sebenarnya dan yang kedua adalah modifikasi cerita yang dipadukan dengan cerita fiksi karangan sang developer. Untuk cerita yang mengikuti urutan peristiwa sejarah, biasanya setiap awal mula permainan akan dilengkapi dengan rekaman video saat peperangan tersebut berlangsung, dan
10
saat bermain para gamers akan berperan sebagai prajurit yang ikut dalam peperangan tersebut, sehingga para gamers akan mengerti dan mengetahui kondisi yang terjadi saat itu, karena memang setting tempat dan misi yang dilakukan itu berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan. Realitas Subjektif Gamers terhadap Persenjataan militer dalam game Realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi (Subiakto, 1997: 93). Sedangkan maksud dari internalisasi itu sendiri menurut Berger dan Luckman (1990: 185) adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya sebagai suatu manifestasi dari proses-proses subyektif orang lain, yang dengan demikian, menjadi bermakna secara subjektif bagi individu itu sendiri. Maka dengan kata lain realitas subyektif merupakan realitas yang terbentuk dari hasil persepsi individu tersebut terhadap peristiwa atau pengalaman secara langsung dengan fenomena-fenomena yang ada. Dalam penelitian yang peneliti lakukan, Individu disini merupakan para gamers yang bermain video game call of duty modern warfare 2 dan 3 secara langsung. Setelah peneliti mengamati secara seksama, hasil jawaban setiap narasumber memiliki persepsi yang sedikit berbeda antara yang satu dengan yang lain mengenai persenjataan militer yang muncul di dalam game tersebut. perbedaan persepsi tersebut sebagian besar peneliti liat berasal dari faktor perhatian yang berbeda pada setiap orang. Setiap narasumber memiliki perhatian dan cara berpikir yang berbeda saat memainkan karakter dalam game tersebut. ada yang bermain sesuai dengan perintah yang diberikan, namun ada pula yang bermain dengan dasar kemauannya sendiri atau dengan kata lain tidak selalu harus mengikuti perintah yang diberikan. Tidak Terbentuknya Realitas Subjektif Dalam penelitian yang telah peneliti lakukan, peneliti menemukan sebagian besar narasumber yang berprofesi sebagai mahasiswa dan karyawan yang mayoritas berumur sekitar 20 tahunan tersebut mengatakan bahwa mereka sadar benar bahwa apa yang mereka mainkan hanyalah game yang dibuat untuk
11
bersenang-senang belaka, sedangkan persenjataan yang diadopsi dalam game merupakan realitas buatan manusia yang sebagian besar bentuk aslinya dapat dilihat di dunia nyata. Tidak terbentuknya realitas subjektif disini dapat kita lihat dari sebagian besar pendapat narasumber yang sekiranya tidak terlalu terpengaruh maupun percaya sepenuhnya oleh apa yang ditampilkan di dalam game tersebut. Berikut merupakan hasil temuan yang berhasil peneliti dapatkan yang bisa mengindikasikan bahwa tidak adanya pembentukan realitas subjektifitas pada gamers saat dan setelah bermain video game call of duty modern warfare. Game Dengan Penyerbuan Yang Tidak Masuk Akal “Kalo menurut saya sih jelas-jelas ga masuk akal, namanya juga hanya sebuah game, dan yang masuk akal dalam game tuh jarang. masa empat orang bisa menembus markas musuh yang dijaga pasukan dengan persenjataan komplit, ditambah tank trus kamera pengawas ya itu imposible lah mas”. (Sumber: Faris, 22 tahun, wawancara tanggal 22 Oktober 2013) Game Dengan Nyawa Yang Tidak Terbatas “Kalo di game itukan nyawanya banyak jadi ga mungkin tuh orang pasti eeh istilahnya begini kalo di dunia nyata kita ga mungkin kan nyia-nyiain satu nyawa, karena sekali tembak kita ga mungkin pulih lagi seperti di game”. (Sumber: Adrie, 23 tahun, wawancara tanggal 7 November 2 3) Game Perang Tanpa Luka Medis “kalo kita lagi bertempur kita ga tau kapan kita terluka dan kapan kita diobatin sama medik, kalo terlukakan cuman ada tanda merah terus ngga tau diobatinnya kapan, jadi untuk sisi realitasnya untuk beberapa karakter dan hampir semua game tempur pun seperti itu”. (Sumber: Herry, 24 tahun, wawancara tanggal 5 November 2013) Terbentuknya Realitas Subjektif Setelah sebelumnya kita melihat bahwa ternyata untuk beberapa bagian dalam game, mayoritas gamers tidak mempercayai apa yang ditampilkan oleh developer, namun ada juga bagian dalam game seperti persenjataan infanteri, dan kendaraan tempur, yang mereka percayai kebenarannya ada di dunia nyata. Karena seperti yang sudah peneliti katakan di atas bahwa dengan referensi bacaan yang narasumber punya maka ia dapat mengetahui mana yang real dan tidak real. Namun karena kebanyakan dari gamers memiliki pengetahuan yang hanya
12
didasarkan pada apa yang mereka suka saja, maka masih terdapat beberapa ruang untuk terjadinya efek hyperreality pada diri gamers tersebut. Terbentuknya realitas subjektif disini mengandung arti bahwa seorang gamers yang memainkan video game tersebut percaya dengan apa yang ditampilkan atau disajikan dalam video game tersebut tanpa bisa mengetahui dengan pasti mana yang real dan yang tidak. Mayoritas gamers yang peneliti wawancarai sedikit banyak mengerti soal persenjataan militer, namun di beberapa bagian mereka juga belum paham benar, seperti dalam persenjataan militer dan kendaraan militer, mereka percaya dengan apa yang mereka lihat di dalam game itu benar-benar ada di dalam dunia nyata. Berikut merupakan hasil temuan yang berhasil peneliti dapatkan yang bisa mengindikasikan bahwa ada beberapa poin dalam game yang dapat membentuk realitas subjektif pada gamers setelah bermain video game call of duty modern warfare. Representasi Dari Kenyataan Yang Ada “Kalo saya amati kendaraan tempur yang ada di dalam game itu persis kaya yang di dunia nyata, jadi ya ga ada yang beda. Dengan kata lain kendaraan tempur yang ada di video game itu representasi dari kendaraan tempur yang telah ada”. (Sumber: Adrie, 23 tahun, wawancara tanggal 7 November 2013) Superioritas Kendaraan Tempur Amerika Serikat Dan Sekutunya “Saya kok ngerasa kendaraan tempur Amerika di game kuat banget yah, jarang banget yang ancur, padahal kalo ada tank T-80 muncul pasti langsung aja hancur dihajar sama Abrams, apa emang kuat begitu yah?”. (Sumber: Andy, 2 tahun, wawancara tanggal 3 November 2013) Senjata Lengkap Dan Berteknologi Tinggi “Yaaa dalam game ituu senjatanya kalo saya pake cukup lengkap dan canggih, jadi setiap misi itu senjatanya berbeda-beda, disesuaikam dengan senjata memiliki klasifikasi yang mendukung”. (Sumber: Adi, 23 tahun, wawancara tanggal 26 Oktober 2013) Benang Merah Keterkaitan Antara Realitas Objektif Dan Realitas Media Dalam Membentuk Realitas Subjektif Pada Diri Gamers Setelah peneliti amati secara seksama ternyata ada keterkaitan antara realitas objektif dengan realitas media yang dapat mempengaruhi realitas subjektif
13
seorang gamers. Realitas objektif seorang gamers yang dalam hal ini adalah pengetahuan soal persenjataan militer, mayoritas mereka dapatkan bukanlah dari sumber utama atau melihat dengan mata kepala sendiri, melainkan dari sumber kedua yakni melalui media massa. Sumber Pengetahuan Gamers Tentang Persenjataan Militer Media massa-lah yang memberikan pengaruh awal dan memberikan pengetahuan dasar tentang persenjataan militer kepada para gamers tersebut. Mulai dari situlah rasa ingin tahu gamers terus berkembang, mulai dari media massa cetak seperti majalah yang membahas persenjataan militerpun mereka miliki untuk mendapatkan informasi lebih dalam soal persenjataan yang mereka lihat di televisi. Namun seiring perkembangan teknologi, internet merupakan media yang paling cepat, murah dan praktis untuk mendapatkan berbagai informasi tentang hal yang diinginkan oleh masyarakat tersebut. Jadi boleh dikatakan, bahwa media massa-lah yang telah menjembatani antara minat dan keingintahuan masyarakat dengan objek persenjataan militer yang rata-rata informasinya tertutup untuk masyarakat secara luas. Karena biasanya hanya pihak dari media massa sajalah atau pun pihak dari pemegang kepentingan yang diperbolehkan, untuk melihat persenjataan militer yang ada di suatu kawasan tertentu atas seizin komandan militer setempat. Sehingga dari hasil liputan tersebutlah, masyarakat secara luas dapat memperoleh informasi tentang persenjataan militer berdasarkan liputan yang dilakukan secara langsung oleh para wartawan media massa. Jadi bisa dipastikan realitas yang didapat oleh gamers dan masyarakat secara luas merupakan realitas media yang di dapat dari sumber pertama. Dengan banyaknya pemberitaan media massa di bidang kemiliteran, maka diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dalam bidang persenjataan yang tak mungkin di dapatkan secara langsung. Kesimpulan Berdasarkan data dari penelitian yang telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa : 1. Meskipun sebagian besar informasi yang berkaitan tentang persenjataan militer dipasok dari media massa cetak dan internet, mayoritas gamers percaya bahwa
14
apa yang disampaikan dengan detail oleh awak media di dalam buku atau majalah yang diterbitkan media massa cetak tidaklah bohong. Sehingga penulis memberi kesimpulan bahwa sumber pengetahuan utama tentang persenjataan militer gamers adalah media cetak yang berupa buku dan majalah. Sedangkan internet merupakan sumber informasi sekunder yang rata-rata artikelnya juga berasal dari referensi tercetak. Walaupun pada umumnya masyarakat jarang memiliki pengalaman dengan senjata secara langsung, tapi dengan sumber referensi tadi, setidaknya mereka jadi bisa membedakan mana senjata-senjata yang real dan mana yang tidak real. 2. mayoritas gamers sepakat bahwa bentuk, karakteristik, dan suara yang dikeluarkan senjata merupakan representasi dari senjata aslinya. Mereka beranggapan bahwa sebelum seorang developer game memasukan data persenjataan ke dalam game, mereka telah terlebih dahulu melakukan survey dan dan mengambil data dari senjata aslinya terlebih dahulu agar kualitas senjata yang ditampilkan di dalam game bisa sama seperti aslinya atau paling tidak mendekati aslinya. 3. peneliti melihat bahwa gamers dapat membedakan bagian manakah dari senjata yang dilebih-lebihkan oleh developer, dan apakah senjata tersebut bekerja sesuai dengan yang ada ataukah tidak. Dan sebagian besar gamers mengatakan bahwa persenjataan infanteri yang ada dalam game, bentuk dan cara kerjanya menyerupai senjata yang asli. Jika dilihat dari sisi sejarah yang ditampilkan dalam game, maka akan erat hubungannya dengan jalan cerita. Jalan cerita yang dibuat dalam game sangat dimungkinan terinspirasi dari sejarah yang ada, namun sudah barang pasti dengan penambahan dan distorsi disana-sini. Karena memang tujuan awal dari pembuatan video game adalah untuk bersenangsenang sesuai dengan tema yang kenyataannya memang benar terjadi. Dengan kata lain, dengan ilmu pengetahuan dan pengalamanlah para gamers bisa membedakan realitas yang dibuat developer game dengan aslinya.
15
Saran Saran yang dapat disampaikan penulis berdasarkan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk penelitian skripsi selanjutnya, penelitian ini bisa dijadikan acuan untuk melakukan sebuah penelitian studi kasus yang bertemakan video game yang ke depannya akan semakin berkembang jenis dan ganre yang akan masuk ke pasaran, dan tentunya akan sangat menarik untuk diteliti, mengingat video game sangat diminati oleh semua kalangan yang menyukainya. Jika pada penelitian skripsi ini narasumbernya mayoritas dari kalangan mahasiswa dan pegawai, maka untuk kedepannya bisa mengambil sampel pada usia sekolah menengah atas atau sekolah menengah pertama. Sehingga bisa terlihat perbedaannya. 2. Bila pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti lebih mengangkat dari aspek pengetahuan yang bersampel dari narasumber dengan umur 20 tahunan, maka pada
penelitian
selanjutnya
diharapkan
bisa
mengembangkan
dan
menyempurnakan penelitian beserta efeknya. 3. Bagi masyarakat pada umumnya dan gamers khususnya diharapkan untuk lebih banyak membaca literasi cetak, ketimbang dari internet dan televisi, karena sumber tercetak biasanya memberikan informasi lebih lengkap dan mendalam tentang apa yang ingin kita ketahui. Sehingga kita dapat mengetahui kebenaran yang diangkat oleh media massa dan mana yang tidak masuk akal dalam video game yang kita mainkan.
16
Daftar Pustaka Ardianto, E., L. Komala dan S. Karlinah. (2007) Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Siambiosa Rekatama Media. Bandung Bungin. Burhan. (2011). Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta. Kencana Prenada Media Group Effendi, Onong uchjana. 2005. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik Remaja. Bandung. Rosdakarya Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta. LKiS Pelangi Aksara Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta. Raja Grafindo Persada Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta. Jalasutra Demartoto, Argyo. 2009. Membedah Gagasan Post Modernisme Baudrillard: Realitas Semu. Jurnal Sosiologi Dilema (Dialektika Masyarakat). Jurusan Sosiologi FISIP UNS Grant, August E. & Jennifer H. Meadow. 2002. Communication Technology Update 8TH Edition. Focal Press. USA Tran, K. (2002, February 7). Video-games sales top film box office. Wall Street Jurnal. Retrieved February 14, 2002 from Grinsven, Van L (2002, March 13). Microsoft brings Xbox to europe. Reuters. Retrieved March 13, 2002, from Naisbitt, Jhon, Nana Naisbitt, & Douglas Philips. 1999. High Tech High Touch Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi. Bandung. Mizan Pustaka Cangara, Hafied. 1998. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Raja Grafindo Persada Caillois, Roger. 1961. Man, Play and Games. The Free Press of Glencoe. USA Salen Katie & Eric Zimmerman. 2003. “Rules of Play: Game Design Fundamentals. MIT Press. USA Clark C. Abt. 1987. Serious Games. University Press of America. USA Avedon Elliot & Brian Sutton-Smith. 1971. The Study of Games. Jhon Wiley & Sons Inc. New York, USA Maroney, Kevin. 2001. My Entire Waking Life, The Games Journal, “A game is a form of play with goals and structure”
17