MEDIA DAN KONSTRUKSI REALITAS (Suatu Tinjauan Teoretis) Oleh: Dr. Farid Hamid U., M.Si.
ABSTRACT Media discourse influences human being to formulate their view of world. The world-view in mass media is making to frame describing about what and how to understand the reality. Without clear and distinct view and frame, all the moments or realities seem to be chaotic. Ideally, a media system suitable for a democracy ought to provide its readers with some coherent sense of the broader social forces that affect the conditions of their everyday lives. The media do not present simple reflections of external reality. My main objective in this article is to give a selective account of previous work on media discourse. I discuss the following approaches in turn: possible relation between mass media and media constructions on reality. Key word: mass media, construction reality
I. Pendahuluan Kebebasan informasi dan komunikasi adalah hak setiap orang, bukan hanya pers atau media massa. Pers mempunyai kewajiban terhadap kemaslahatan dan kesejahteraan umum. Pers dituntut untuk menyajikan berita atau informasi yang transparan, benar, akurat, dan jujur. Jika pers tidak menyajikan berita atau informasi
yang
benar,
membohongi
masyarakat,
maka
berarti
terjadi
penyalahgunaan kebebasan (abuse of freedom) yang tentu merugikan masyarakat (negative freedom). Kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi yang diperlukannya (public’s right to know) adalah bagian yang tak terpisahkan (part and parcel) dari kebebasan komunikasi. Oleh karena itu, kebebasan pers bukan sekedar untuk kebebasan itu saja (liberte pour liberte), melainkan demi memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang diperlukannya (public’s right to know). Menjadi masalah adalah apabila kita memandang media sebagai entitas yang netral dan objektif. Berita dianggap sebagai kenyataan dan kebenaran tanpa reserve. Bagaimanapun media tidaklah netral. Melalui penciptaan realitas imajiner
yang dibingkai dengan kata-kata dan berbagai argumentasi, baik yang ilmiah, teoritis maupun fiksi. Sesuatu yang sebenarnya hanya fantasi dan imajiner berubah menjadi fakta yang bisa mengarahkan kesadaran masyarakat.
II. Media Massa Di tengah Kekuatan Sosial Organisasi media tidak dapat mengabaikan berbagai hubungan di dalam maupun di luar ruang lingkup organisasi tersebut.
Gerbner, (dalam McQuail,
1991:141) menggambarkan para komunikator massa dalam situasi yang tertekan. Tekanan yang mereka hadapi berasal dari pelbagai kekuatan luar, termasuk dari klien (misalnya para pemasang iklan), penguasa (khususnya penguasa hukum dan politik), pakar, institusi lain dan khalayak. Gambar 1 Organisasi Media Di Tengah Kekuatan Sosial Peristiwa + penyediaan informasi dan budaya secara berkesinambungan
Kekuatan Ekonomi
Pesaing Agen Berita /Informasi Manajemen Pemasang Iklan Pemilik Serikat Kerja
Teknik
Pelaksana Media
Kontrol hukum/politik
Kekuatan Sosial -Budaya
Institusi sosial lainnya
Kepentingan/tuntutan khalayak
Sumber: Denis McQuail, 1991:142 Berdasarkan gambar di atas memungkinkan kita mengidentifikasi lima bentuk hubungan yang perlu mendapat perhatian, karena hal-hal tersebut di atas dapat untuk mempelajari kondisi yang mempengaruhi sebuah organisasi. Kelima hubungan tersebut adalah : a. Hubungan dengan masyarakat
Sistem dalam masyarakat akan mempengaruhi sistem media/komunikasi massa yang ada. b. Hubungan dengan klien, pemilik, dan pemasok (supplier) Hubungan
ini memberi tekanan tersendiri
bagi media, terutama untuk
memperhatikan apa yang “laku” atau diinginkan masyarakat. c. Hubungan dengan sumber Hubungan dengan sumber terutama terjadi saat media melakukan seleksi dan pemilihan sumber-sumber yang banyak. Tekanan memilih sumber berita terjadi ketika media dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti pemodal atau tetap pada pilihan media yang bebas dan kredibel. d. Hubungan antar peran yang berbeda dalam organisasi Dalam suatu organisasi pun
terdapat pembagian peran karena adanya
keanekaragaman fungsi dalam organisasi media, yang terdiri dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda serta saling bersaing. e. Hubungan dengan khalayak Komunikator (dalam hal ini media) sebenarnya tidak ingin terlalu memperhatikan publik. Jadi media berusaha untuk independen, namun adanya tekanan dari klien, pemilik modal dan khalayak membuat perkembangan publik dinilai penting oleh media. Adanya hubungan-hubungan tadi menunjukkan bahwa media massa tidak bisa begitu saja lepas dari pengaruh institusi lainnya yang ada disekitarnya, seperti halnya dalam media. Ada hal-hal yang sangat menarik, mengenai hubungan antara media dengan sub sistem lainnya. Menurut Ashadi Siregar (dalam Rahayu, 2000:108), pers dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu paradigma struktural fungsional dan paradigma forum masyarakat. Paradigma struktural fungsional bertolak dari fungsi media pada sistem sosial. Pers dalam paradigma ini dipandang sebagai salah satu komponen penting dalam struktur sosial. Pada posisinya, pers berfungsi memelihara stabilitas dan harmoni antar komponen yang lain
dalam
masyarakat
dengan
cara
menyampaikan
informasi.
Dalam
kedudukannya ini, pers dikenal sebagai institusi sosial yang berada di antara institusi budaya, politik, dan ekonomi dalam struktur sosial. Dalam menjalankan
fungsinya, pers berada dalam upaya tarik menarik di antara dua tuntutan, di satu pihak memenuhi keinginan pengelola, dan di pihak lain memenuhi tuntutan yang datang dari institusi politik, ekonomi atau sosial kultural dan masyarakat. Walaupun demikian, dalam paradigma ini keberadaan pers selalu dilihat dalam kerangka kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang mapan dalam sistem sosial. Paradigma kedua adalah paradigma pers sebagai forum masyarakat. Berdasarkan paradigma ini, pers berfungsi sebagai informing, influencing, entertaining and providing a marketplace for good and services. Dalam pandangan ini, pers dituntut untuk dapat merespon kebutuhan khalayak (Ashadi Siregar, dalam Rahayu, 2000:108). II. Isi Media Sebagai Hasil Konstruksi Realitas Setiap upaya konseptualisasi sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun juga adalah usaha mengkonstruksikan realitas. Seseorang yang menceritakan
keadaan
dirinya
atau
pengalamannya
pada
dasarnya
ia
mengkonstruksikan realitas dirinya sendiri. Seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality). Dikatakan demikian karena sifat dan faktanya bahwa tugas redaksional media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa. Laporan-laporan jurnalistik di media pada dasarnya tak lebih dari hasil penyusunan realitas-realitas dalam bentuk sebuah “cerita”. Berita adalah realitas yang telah dikonstruksikan. (Tuchman dalam Sudibyo dkk, 2001: 65). Persoalan realitas yang akan diliput oleh wartawan (media) setidaknya ada dua pandangan dari dua kubu yang berbeda, yaitu kubu pluralis yang berpendapat bahwa apa yang terjadi (terlihat) adalah fakta yang sebenarnya yang dapat diliput oleh wartawan. Hal ini kemudian disanggah oleh kubu kritis, yang menyatakan bahwa realitas yang hadir di depan wartawan sesungguhnya adalah realitas yang telah terdistorsi. Realitas tersebut telah disaring dan disuarakan oleh kelompok yang dominan yang ada dalam masyarakat. Menurut kubu ini, realitas pada dasarnya adalah pertarungan antara berbagai kelompok untuk menonjolkan basis penafsirannya masing-masing. Sehingga realitas yang hadir pada dasarnya bukan
realitas yang alamiah, tetapi sudah melalui proses pemaknaan kelompok yang dominan (Eriyanto, 2001:35). Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, dalam menyusun realitas pada dasarnya, para wartawan dibekali oleh bermacam-macam tuntutan jurnalisme. Pertama, tuntunan teknis. Sebuah laporan seyogyanya mempunyai kelengkapan berita yang terangkum dalam rumusan 5 W + 1 H. Secara teknis, laporan berupa berita langsung (straight news) dituntut mengambil pola struktur piramida terbalik. Sedangkan berita ringan (soft news) yang bisa berkembang menjadi feature) disarankan memakai struktur buah benteng dalam papan permainan catur (Agus Sudibyo, dkk, 2001:66). Kedua, tuntutan idealisme. Sejalan dengan fungsi sosialnya, secara normatif, kebebasan media dalam masyarakat demokratis tidak berarti kebebasan yang “liar” atau “tanpa batas”. Melainkan kebebasan yang dilandasi oleh kriteria atau standard profesionalisme tertentu yang sesuai dengan sistem nilai atau norma-norma sosial budaya dan politik yang dipegang masyarakat. Dalam hal ini, McQuail (1987:125) menyebutkan adanya 4 (empat) prinsip dasar sebagai berikut: a. Kebebasan dan independensi Prinsip kebebasan dan indepedensi yang dimaksud di sini secara garis besarnya menunjuk pada tidak adanya kontrol atau pengendalian formal (UU, peraturan, dll) atas media khususnya yang menyangkut isi redaksional. Atas dasar ini maka praktek pembreidelan pers oleh pihak pemerintah tidak dibenarkan. Namun demikian, praktek kebebasan isi redaksional ini perlu mengikuti kriteria dan standar profesionalisme tertentu. Salah satu kriteria yang berlaku umum adalah para wartawan harus secara jelas memisahkan mana yang menjadi opini mereka dan mana yang benar-benar menjadi merupakan opini dari para narasumber yang diwawancarai. Kebebasan dan indepedensi dalam hal isi redaksional seyogyanya dilandasi oleh adanya upaya kreatif dalam mengemukakan hal yang baru atau belum diketahui masyarakat luas, eksperimentasi, otentitas, dan individualisme. Sementara praktek-praktek yang hanya didasarkan atas kebiasaan rutin, predictable (dapat diperkirakan
sebelumnya), pengulangan serta penyampaian hal-hal
yang sifatnya
“stereotip” perlu dihindari. Kebebasan media, menurut McQuail, lebih lanjut perlu berada dalam suasana yang “independen” dalam arti menolak tekanan kontrol eksternal atau konformitas dengan pihak atau kelompok kepentingan tertentu. Dengan demikian konsep kebebasan dan indepedensi di sini lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat luas. b. Ketertiban dan solidaritas Prinsip ini, apabila tidak dijalankan secara tepat dapat bertabrakan dengan prinsip kebebasan dan indepedensi. Karena dalam prakteknya terdapat perbedaan antara ketertiban yang dipersepsikan oleh kalangan “atas” (pemerintah, elit politik, dll) dengan ketertiban yang diinginkan oleh kalangan “bawah” (masyarakat banyak). Oleh karena itu, penjabaran dari prinsip ini seyogyanya merujuk pada peran serta media dalam memelihara dan mendukung ketertiban dan solidaritas sosial. Implikasinya, isi pemberitaan seyogyanya menghindari hal-hal yang dapat memicu konflik antar kelompok masyarakat (SARA); mendorong tidak meluasnya perilaku menyimpang (perkelahian, narkoba, dll), serta hal-hal lainnya yang dipandang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban sosial. Di lain pihak media juga harus memperhatikan aspek solidaritas sosial. Salah satu perwujudannya antara lain dengan cara memberikan dukungan terhadap eksistensi dan aktivitas kelompok sosial tertentu termasuk kelompok minoritas, serta memberikan himbauan agar tetap mengutamakan kepentingan bersama atau keharmonisan apabila terjadi pertentangan antar kelompok. c. Keanekaragaman dan akses Salah satu esensi dari demokrasi adalah adanya jaminan kebebasan bagi munculnya berbagai ragam opini (pluralitas). Ini berarti isi pemberitaan media seyogyanya merefleksikan keseragaman opini tersebut. Keragaman yang bersifat refleksif ini, menunjuk pada adanya keterbukaan akses yang sama bagi berbagai pihak yang berkepentingan. Tanpa memperhitungkan besar kecilnya kelompok termasuk jumlah pendukungnya,
media seyogyanya
memberikan kesempatan yang sama pada setiap kelompok yang ada. Hal
lainnya yang berkaitan dengan prinsip ini adalah peran media sebagai wacana publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini maka media seyogyanya tidak hanya getol mengungkapkan berbagai opini dari kalangan elit, tetapi juga mengemukakan apa yang dipikirkan masyarakat lapisan bawah. Karena dalam prakteknya sering terdapat kesenjangan antara konsep pemikiran kalangan elit dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi masyarakat. d. Objektivitas dan kualitas informasi Prinsip ini terutama berkenaan dengan isi informasi yang disampaikan media massa. Objektivitas merupakan nilai dasar yang seyogyanya dipegang teguh oleh para wartawan. Objektivitas mempunyai korelasi dengan independensi. Menurut Westershal (dalam McQuail, 1987: 130), konsep objektivitas dalam pemberitaan mencakup dua komponen pokok: faktualitas dan imparsialitas. Komponen pertama, faktualitas, mengandung dua dimensi: kebenaran dan relevansi. Dari dimensi kebenaran, suatu berita tentang suatu peristiwa disebut dengan faktual, apabila isinya benar dalam arti sesuai dengan realitas dari peristiwa tersebut. Dengan demikian, seorang wartawan seyogyanya tidak membuat interpretasi subjektif yang menyalaharahkan fakta yang ada. Dimensi relevansi relatif lebih dicapai secara objektif, karena berkaitan dengan interpretasi tentang keterkaitan antara hal/peristiwa yang diberitakan dengan aktualitas dan kepentingan persoalan yang dihadapi masyarakat. Komponen kedua, imparsialitas mencakup dua dimensi: keseimbangan dan netralitas. Ini berarti bahwa seorang wartawan seyogyanya bersikap netral, dalam arti menghindarkan diri dari penilaian subjektif pribadinya, serta seimbang dalam menyajikan adanya perbedaan-perbedaan. Keseimbangan juga berkaitan dengan pemberian waktu, ruang dan penekanan yang proporsional oleh media. Ketiga, tuntutan pragmatisme. Ini terkait erat dengan dinamika internal dan eksternal sebuah media. Diakui atau tidak, setiap media memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, entah itu ekonomi, politik, ideologis, atau apapun namanya. Motif-motif inilah yang menjadi “ruh” sebuah laporan. Motif-
motif ini akan menjadi kompas kemana laporan akan mengarah. Berkaitan dengan pemberitaan media, Parni Hadi (dalam Bimo Nugroho, dkk, 1999:240) membuat pemetaan yang paling gampang, yaitu; pro kekuasaan, oposisi atau yang mengeritik kekuasaan dan yang berada diantara keduanya. Pada konteks inilah pembuatan laporan tidak sekedar mengkonstruksikan realitas, tapi dipercaya membungkus satu atau sejumlah kepentingan. Dalam dunia jurnalistik, langkah ini dikenal dengan politik mengemas atau framing, berita dengan hasil akhirnya adalah sebuah wacana (discourse). Wacana yang dimaksud di sini adalah penyajian fakta tertentu dan mengabaikan fakta lainnya sehingga terlihat kemana arah pembicaraan yang terdapat dalam sebuah laporan (Agus Sudibyo, dkk, 2001:67). Diantara ketiga tuntutan ini, media massa sering terlibat dalam tarik menarik antara tuntutan idealisme dan tuntutan pragmatisme. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi konstruksi realitas oleh media, mengingat media massa sesungguhnya tidak hidup dalam situasi yang vakum. Faktor eksternal maupun internal media ikut menentukan struktur penampilan isi media. Faktor-faktor dibalik konstruksi berita antara lain dapat disebutkan (Agus Sudibyo, 1999:36): a. Praktek-praktek institusional organisasi pemberitaan b. Sistem ekonomi c. Sistem politik d. Sistem sosial dan budaya e. Kepentingan spesifik kelompok yang berada dibelakangnya f. Ideologi kelompok dominan g. Otonomi relatifnya terhadap campur tangan pemerintah dan kaum pemilik modal. Dalam banyak kasus, sistem politik merupakan faktor eksternal yang sangat berpengaruh terhadap struktur dan penampilan isi media. Sebabnya adalah, kehidupan media massa tak dapat dipisahkan dari kehidupan politik dimana media itu berada. Sistem politik yang diterapkan oleh sebuah negara ikut menentukan
mekanisme kerja media massa negara itu: mempengaruhi cara media massa tersebut mengkonstruksikan realitas. Dalam sistem politik yang cenderung bebas (liberal), seorang wartawan akan lebih leluasa dalam penyajian suatu peristiwa dibandingkan rekannya dalam sistem politik yang mengarah pada otoritarian. Dalam sistem politik yang komunis, kebenaran dimonopoli oleh partai komunis; pembeberan fakta tidak dapat dilakukan dengan bebas. Hanya fakta yang mendukung partai komunis yang boleh disiarkan kepada masyarakat. Faktor lain yang mempengaruhi adalah faktor internal media. Wujud faktor internal tersebut adalah kepentingan-kepentingan yang bisa bersifat tumpang tindih pada tingkat perorangan atau kelompok dalam sebuah organisasi media, entah itu kepentingan bisnis, politik (partisan), ideologis, teknis, ataupun yang bersifat primordialisme agama, kedaerahan, aliran, dan kepercayaan, serta struktur organisasi media itu sendiri. Bagaimanapun
juga,
wartawan
yang
merupakan sosok yang paling disorot, adalah bagian tekecil saja dari struktur sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar. Pengaruh modal dan kepemilikan, politik keras, sangat mempengaruhi fakta apa yang harus diambil dan bagaimana berita itu dibahasakan. Struktur yang secara umum menindas tersebut yang mempengaruhi dalam pemberitaan (mengkonstruksi realitas). Menurut Lippman, (dalam Eriyanto, 2001:45) wartawan cenderung memilih apa yang ingin dilihat, dan menulis apa yang ingin ditulis. Ketika melihat peristiwa dan menulis sesuatu, wartawan bahkan tidak bisa menghindari diri dari stereotipe. Ini merupakan hal yang wajar karena bagaimanapun juga sebagai makhluk sosial, seorang wartawan juga mempunyai sikap, nilai, kepercayaan dan orientasi tertentu terhadap politik, agama, ideologi dan aliran. Semua komponen itu berpengaruh terhadap hasil kerjaannya (media content). Di samping itu, latar belakang pendidikan, jenis kelamin, etnisitas, akan turut pula mempengaruhi wartawan itu dalam mengkonstruksi realitas. Atau dengan kata lain, menurut Deddy Mulyana, berita yang disajikan pers, merupakan “serangkaian pesan yang diciptakan oleh orangorang” yang memiliki “historitas tertentu, perangkat nilai yang mereka serap, kondisi fisiologis dan psikologis yang situasional”, turut mempengaruhi perumusan dan penyampaian berita. (Septiawan, 2000:32). Di sini media berada
di antara dua sasaran: usaha menjalankan misi atau ideologi tertentu dan memuaskan diri sebagai profesional.
III. Wacana dan Ideologi Peter D. Moss (1999), mengartikan ideologi sebagai seperangkat asumsi budaya yang menjadi “normalitas alami dan tidak pernah dipersoalkan lagi”. Pandangan ini sesuai dengan hipotesis Sapir-Whorf yang dikenal dalam linguistik bahwa bahasa itu tidak sekedar deskriptif, yakni sebagai sarana untuk melukiskan suatu fenomena atau lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara kita melihat lingkungan kita (Infante et al., 1990:199). Dalam melihat ideologi media, bahasa memegang peranan penting. Melalui bahasalah ideologi ditampilkan oleh media dan dihadirkan dalam pemberitaan. Keberadaan bahasa dalam media massa bukan hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan muncul di benak khalayak. Bahasa yang dipakai media ternyata mampu mempengaruhi cara melafalkan (pronounciation), tata bahasa (grammar), susunan kalimat (syntax), perluasan dan modifikasi perbendaharaan kata, dan akhirnya mengubah dan atau mengembangkan percakapan (speech), bahasa (language), dan makna (meaning) (Sudibyo dkk, 2001:70). Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru beserta makna asosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam sebuah sistem bahasa (DeFleur dan Ball-Rokeach, dalam Agus Sudibyo, dkk, 2001:70). Oleh karena terdapat persoalan makna itulah, maka penggunaan bahasa berpengaruh terhadap konstruksi realitas. Penggunaan bahasa tersebut bukan hanya tidak netral dan tidak menggambarkan realitas, tetapi juga mengandung penilaian Hal ini disebabkan bahasa mengandung makna. Pada setiap kata, angka, dan simbol lain dalam bahasa yang kita pakai untuk menyampaikan pesan pada orang lain tentulah mengandung makna. Begitu juga, rakitan antara satu kata (angka) dengan kata (angka) lain menghasilkan suatu makna. Penampilan secara keseluruhan sebuah
wacana bahkan bisa menimbulkan makna tertentu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana sebuah peristiwa yang sama dapat dibahasakan dengan bahasa yang berbeda. Bahasa menyediakan alat bagaimana realitas itu harus dipahami oleh khalayak. Lebih dari itu, menurut Giles dan Wiemann, (dalam Sudibyo dkk, 2001:71) bahasa (teks) mampu menentukan konteks, bukan sebaliknya teks menyesuaikan diri dengan konteks. Lewat bahasa, di sini seseorang mencoba mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuasaannya) melalui pemilihan katakata yang secara efektif mampu memanipulasi konteks. Dalam banyak kasus, kita bisa temukan kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan mengendalikan makna di tengah-tengah pergaulan sosial, melalui media massa. Manipulasi atau distorsi dalam menggunakan bahasa oleh media terjadi, menurut Manneke Budiman1 karena adanya ruang kosong antara bahasa dan realitas. Misalnya, tanda pohon memiliki makna bagi orang Indonesia, karena mereka memang memiliki konsep tentang pohon. Sedangkan pohon bagi orang Jerman hanya berbunyi tapi tak bermakna karena pohon tak ada dalam konsep orang Jerman. Singkat kata, bahasa bagaimanapun juga sudah tercemar oleh ideologi yang membawa muatan kekuasaan tertentu. Karena bahasa dalam media dijadikan kelompok dominan sebagai alat untuk merepresentasikan realitas, sehingga realitas yang sebenarnya menjadi terdistorsi. Hal ini dapat dilihat beberapa pemakaian bahasa: 1) penggunaan bahasa yang mengandung penghalusan makna (eufemisme), misalnya, kasus pemecatan buruh, dikatakan sebagai “pemutusan hubungan kerja”; 2) pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme), misalnya dalam sengketa tanah, tindakan para petani disebut dengan “pencaplokan” dan “penyerobotan”; 3) penjulukan (labelling) yang dipakai untuk kelompokkelompok tertentu. 4). Stereotipe, contoh, wanita di-stereotipe-kan sebagai sosok yang tidak mandiri, butuh bantuan dan terlalu mementingkan perasaan. Sebaliknya laki-laki distereotipekan sebagai mandiri, tabah dan rasional.
1
Kompas, Rabu, 14 November 2001
IV. Implikasi Penelitian: Metode Penelitian Kualitatif Clifford Geertz (1973) pernah menyatakan bahwa masa keemasan positivisme, sebagai sebuah dogma metodologis telah usai dalam ilmu-ilmu sosial dan telah digantikan perpektif-perspektif baru (Mulyana, 1999:19). Namun, kenyataan menunjukkan bahwa, khususnya di Indonesia perpektif ini masih cukup dominan. Hasil pengamatan Hidayat (1999:35-36), dominasi positivisme di Indonesia yang tercermin dalam penelitian komunikasi di Universitas Indonesia masih tampak menonjol meskipun sudah mulai bermunculan paradigma lain yang lebih variatif. Menyangkut studi media, selama ini ada semacam pemikiran yang bersumber pada pandangan positivis bahwa wartawan dan media adalah entitas yang otonom, dan berita yang dihasilkan haruslah menggambarkan realitas yang terjadi di lapangan. Berita adalah refleksi dan pencerminan dari realitas. Sehingga wacana (berita) media massa pun bersifat objektif. Oleh karenanya harus menggunakan analisis konvensional (kuantitatif) untuk memahami realitas yang ditampilkan oleh media yang objektif tersebut. Dengan kata lain, pandangan positivis memungkiri ideologi yang berperan bagi wartawan dan media dalam meliput berita. Tetapi sebagaimana kita ketahui metode ini sebenarnya mereduksi wacana media massa menjadi kata-kata dengan mengabaikan nuansa seperti konteks dan situasi yang melekat didalamnya. Pada kenyataan di lapangan, berita bukanlah mencerminkan realitas yang sesungguhnya, karena bagaimanapun tidak ada realitas yang objektif. Realitas yang hadir di depan wartawan sesungguhnya adalah realitas yang telah terdistorsi. Realitas tersebut telah disaring dan disuarakan oleh kelompok yang dominan yang ada dalam masyarakat. Khususnya dalam pandangan Kritis, realitas pada dasarnya adalah pertarungan antara berbagai kelompok untuk menonjolkan basis penafsirannya masing-masing. Sehingga realitas yang hadir pada dasarnya bukan realitas yang alamiah, tetapi sudah melalui proses pemaknaan kelompok yang dominan (Eriyanto, 2001:35). Realitas yang teramati oleh wartawan tersebut sebenarnya merupakan kumpulan dari berbagai realitas simbolik yang ditampilkan dan dipertarungkan
sejumlah media, masing-masing dengan versi dan pandangannya sendiri menurut ideologinya. Atau seperti dikatakan Peter Dahlgren (1991:192), realitas sosial menurut pandangan konstruktivis (fenomenologis), setidaknya sebagian, adalah produk manusia, hasil proses budaya, termasuk penggunaan bahasa. Teun Van Dijk
(dalam
Eriyanto,
2001:13)
menyatakan
bahwa
lewat
kampanye
(dis)informasi kelompok kuat dapat menanamkan ideologi mereka kepada kelompok lemah. Media bukanlah saluran yang bebas dan netral. Media justeru dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Makna suatu peristiwa, yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media, sebenarnya adalah suatu konstruksi makna. Peristiwa-peristiwa yang dilaporkan surat kabar, berita sekalipun, jelas bukan peristiwa sebenarnya. Tetapi melalui suatu tahapan yang panjang. Melalui suatu proses persepsi selektif yang dilakukan wartawan dan editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul berita; sudut-sudut peristiwa yang diliput (angle); penempatan berita di surat kabar yang menandakan penting atau tidaknya berita; panjang atau pendeknya laporan; nara sumber yang diwawancarai dan ditampilkan atau dibuang, sedikit banyak akan menunjukkan keberpihakan surat kabar itu sendiri. Dengan kata lain, berita surat kabar bukan sekedar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna. Bagaimanapun juga dapat dikatakan penelitian komunikasi massa terutama yang digunakan oleh paradigma positivistik yang mengabaikan struktur sosial sebagai penelitian yang ahistoris. Dalam melihat komunikasi, dan proses yang terjadi di dalamnya haruslah dengan pandangan holistik. Menghindari konteks sosial akan menghasilkan distorsi yang serius. Karena komunikasi tidak dapat dilepaskan dari kekuatan-kekuatan yang ada yang mempengaruhi berlangsungnya komunikasi. Aspek ini tidak mendapat tempat yang memadai dalam tradisi paradigma empiris yang lebih melihat proses komunikasi sebagai proses yang netral. Untuk itu kita membutuhkan paradigma alternatif (metode kualitatif) yang lebih kritis untuk melihat realitas lain dibalik wacana (ideologi) media massa.
Diantaranya adalah Analisis wacana, analisis framing maupun semiotika untuk dapat melihat ideologi yang ada dibalik suatu media. Walaupun agak terlambat para penganut metode kualitatif di Indonesia terus bertambah. Termasuk diantaranya mengkaji berbagai pesan dalam komunikasi massa yang diasumsikan mengandung muatan-muatan ideologis atau kepentingan-kepentingan tertentu. Sementara di Barat penggunaan metodologi ini lebih signifikan lagi sejak tahun 1970-an, misalnya analisis-analisis berita mulai memasukkan analisis semiotika. Misalnya dalam disertasi doktor Peter Dahlgren (1977) digunakan semiotika untuk mengungkap makna implisit dalam kata-kata pembukaan Berita Petang CBS, termasuk makna dimasukannya suara mesin teleks kantor berita sebagai suatu latar. Lebih lanjut, pada tahun 1980-an, metode kualitatif memasukkan sarana refleksi sistematik tambahan seperti analisis wacana. Seperti yang banyak dilakukan dalam penelitian mengenai organisasi pemberitaan selama dan sesudah tahun 1960-an, analisis wacana menekankan pada bagaimana signifikansi ideologis berita merupakan bagian dan menjadi paket metode yang digunakan dalam memproses berita. Jadi analisis wacana dan linguistik atas berita memunculkan pertanyaan epistemologis yang sama dengan yang diajukan studistudi observasi partisipan mengenai organisasi pemberitaan tahun 1960-an dan 19790an (Gaye Tuchman, 1999:76).
Penutup Sudah saatnya dalam dunia penelitian lebih memahami paradigma penelitian kualitatif khususnya mengenai studi analisis media untuk menguak ideologi yang dominan sebagai suatu alternatif terhadap kebuntuan-kebuntuan dalam analisis media yang selama ini lebih di dominasi oleh analisis isi konvensional dengan paradigma positivis. Suatu metode ilmiah tidak melulu harus menggunakan analisis statistik, tetapi juga memerlukan metode-metode lain untuk memperkaya khasanah penelitian komunikasi. Keistimewaan bidang komunikasi adalah keanekaragaman metode yang dipergunakan dalam mengkaji fenomena komunikasi (Fisher, 1986:99-101).
Penelitian-penelitian seperti ini
untuk studi media harus dipandang
sebagai sesuatu hal yang positif, agar riset komunikasi di Indonesia tidak stagnasi, selalu terbuka terhadap perkembangan-perkembangan baru, dan tidak terpecahpecah dan saling mengklaim diri sebagai yang paling “metodologis”. Kelemahan atau kelebihan dari metodologi tertentu diharapkan menjadi pijakan untuk menggalakkan kembali perdebatan itu.
Daftar Pustaka Dahlgren, Peter. “Television News Narrative” Dalam Mary S. Mander, ed. Framing Friction. Urbana: University of Illinois Press. 1999:189-214. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS Fisher, B. Aubrey. 1986. Teori-Teori Komunikasi. Penerj. Soejono Trimo. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hidayat, Dedy N., dkk. 2000. Pers dalam “Revolusi Mei” Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Infante, Dominic A., Andrew S. Rancer, and Deanna F. Womack. 1990. Building Communication Theory. Illinois: Waveland Press, Inc. Littlejohn, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. California : Wadsworth Publishing Company. Mc.Quail, Dennis. 1991. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar. Alih Bahasa Agus Dharmawan dan Amiruddin. Jakarta : Penerbit Erlangga. Mulyana, Deddy. 1999. “Kendala-kendala Pengembangan Penelitian Komunikasi di Indonesia”, dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia. Vol. III/April 1999. .........., 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rahayu. 2000. Analisis Dampak Pergeseran Karakteristik Industri Pers Pada Strategi Perusahaaan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia. Dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia Vol. V/Oktober 2000. Bandung: Remaja Rosdakarya Septiawan.2000. “Mengapa Wacana Teks Jurnalistik Itu Unik: Sebuah Esai” dalam Mediator Volume 1 Nomor 1 2000. Sudibyo, Agus, dkk. 2001. Kabar-Kabar Kebencian Prasangka Agama di Media Massa. Jakarta : Institut Studi Arus Informasi (ISAI).