JURNAL KONSTRUKSI REALITAS BERITA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (Analisis Wacana tentang Pemberitaan Kekerasan Seksual dengan Korban Kaum Perempuan pada Harian Kompas Periode 1 September – 31 Oktober 2013)
Oleh : JOHAN ADI PRASETYO WIBOWO D0209046
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2014
2
KONSTRUKSI REALITAS BERITA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (Analisis Wacana tentang Pemberitaan Kekerasan Seksual dengan Korban Kaum Perempuan pada Harian Kompas Periode 1 September – 31 Oktober 2013)
Johan Adi Prasetyo Wibowo Mursito BM
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract Women and the mass media, the two aspects can not be separated from one another. Almost no one type of media at this time were not raised female figures in the news. However, during the production and mass media imagery led to domination over men than women, especially for news of sexual violence. Where women tend to appear in the text as the guilty party, marginal compared to the men. In addition, men are more often shown as being dominant, strong, powerful women while conversely as a weak figure, full of dependence and as a victim or an object in the news, giving rise to gender bias. Coverage of gender bias, especially against women could not be separated from the role of the mass media behind them in constructing a reality or events. The purpose of this research was to determine how the construction of gender-related reality formed in reporting sexual violence with women victims in Kompas. The study was focused on sexual violence news text the period 1 September to 31 October, 2013. This study is a qualitative study using discourse analysis method developed by Teun van Dijk. With discourse analysis, researchers will look at how the gender discourse is constructed and shaped through text analysis, social cognition and social context. This Penitian led to the conclusion that the Compass construct women as victims, not as an object of exploitation. Although in its presentation, women are still portrayed as marginal, weak, helpless and sensitive, but with a more refined language and tidy in accordance with the inherent characteristic of the Compass. Keywords: discourse analysis, news, reality construct, women,gender
3
Pendahuluan Seiring dengan perkembangan zaman, industri media mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Terbukti dengan semakin ketatnya persaingan yang terjadi diantara pelaku usaha media. Dengan semakin ketatnya persaingan yang ada mendorong media untuk berlomba-lomba menyajikan beritaberita yang tajam dan akurat terkait dengan realitas berbagai peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tugas utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas yang akan diinformasikan. Semua unsur peristiwa atau realitas, yang terdiri dari kejadian, opini orang, situasi dan kondisi, dipersepsi dan direkam oleh wartawan. Kemudian wartawan melakukan identifikasi, menyeleksi, mesistematisasi, memberi struktur pada fakta-fakta hasil observasi tersebut. Fakta-fakta hasil persepsi dan observasi, berupa “rekaman” peristiwa merupakan realitas yang selanjutnya akan disusun dan ditulis menjadi berita. Dengan demikian berita merupakan hasil konstruksi realitas dalam bentuk wacana bermakna.1 Dalam penulisan berita di media massa kekerasan menjadi salah satu tema yang memiliki daya tarik sendiri untuk pembaca. Oleh karena itu, terkadang pemberitaan tentang kekerasan dibuat sedikit berlebihan untuk menarik pembaca, terutama kekerasan terhadap perempuan. Berikut contoh pemberitaan tentang kekerasan yang dibuat sedikit berlebihan jika dilihat dari judulnya, Berita Ngakak! Perawan Cewek SMP “Koyak” di Kandang Bebek. Dari pemilihan kata pada judul tersebut terkesan berlebihan karena menggunakan kata “koyak” untuk menggambarkan hilangnya kesucian seorang siswa SMP. Perkembangan media massa di era globalisasi ini berdampak pula bagi peran gender dalam fakta sosialnya. Konsep gender dalam hal ini merupakan semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lainnya. Atau dengan kata lain, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum perempuan dan lakilaki yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender 1
Mursito BM, Jurnalistik Komprehensif (Jakarta: Literate, 2013) hlm. 70-71
4
sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) Namun, yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender melahirkan ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadaup kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai bentuk ketidakadilan seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam mengambil suatu keputusan, pembentukan stereotype melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.2 Kondisi ketidakadilan gender yang terus-menurus berlangsung dan memunculkan anggapan yang salah terhadap gender inilah yang kemudian disebut dengan bias gender. Media massa dan konsep gender selama ini saling memiliki keterkaitan, terutama jika menyangkut masalah perempuan. Perempuan dan media massa, dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hampir tidak ada satu jenis media massa pun saat ini yang tak mengangkat sosok perempuan dalam pemberitaan. Media pun turut andil dalam mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap bias gender yang berkembang selama ini, terutama jika terhadap perempuan. Oleh karena itu, di tengah maraknya pertumbuhan media massa saat ini kajian tentang jurnalisme progender menjadi aktual dan menarik. Dimana jurnalisme progender adalah jurnalisme yang memberi ruang atau kesempatan yang sama terhadap peran gender laki-laki dan perempuan dalam pemberitaannya atau berperspektif gender.
Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa manifestasi
ketidakadilan gender juga mewarnai perkembangan media massa di Indonesia. Dapat dilihat, bagaimana perempuan di media massa digambarkan sebagai objek atau komoditi. Dimana aspek sensasi lebih banyak ditonjolkan dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya terjadi 2
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 12
5
Kompas sebagai surat kabar bersegmentasi nasional tentunya juga turut memberitakan kasus-kasus kekerasan seksual dengan korban kaum perempuan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat selam ini karena fenomena kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan fenomena nasional. Oleh karena itu, untuk melihat bagaimana Kompas mengkonstruksi dan memberitakan kasus kekerasan seksual terhadap kaum perempuan terkait gender akan digunakan analisis wacana. Analisis wacana merupakan metode untuk mengkaji wacana yang terdapat pada pesan komunikasi. Isi pesan komunikasi yang dapat dikaji menggunakan metode ini sebagian diantaranya berupa analisis teks, termasuk dalam berita. Dengan demikian penelitian tentang isi media pada dasarnya diperlukan untuk memahami makna yang terkandung di dalam sebuah pesan komunikasi.
Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana konstruksi realitas terkait gender dibentuk dalam pemberitaan mengenai kekerasan seksual dengan korban perempuan di Harian Kompas periode 1 September – 31 Oktober 2013?
Telaah Pustaka 1.
Berita Berita merupakan laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media online internet. News (berita) mengandung kata new yang berarti baru. Secara singkat sebuah berita adalah sesuatu yang baru yang diketengahkan bagi khalayak pembaca atau pendengar. Dengan kata lain, news adalah apa yang surat kabar atau majalah cetak atau apa yang para penyiar beberkan. Daging berita adalah fakta, demikian selalu dinyatakan setiap kali kita berbicara soal hubungan antara berita dengan fakta. Semua unsur peristiwa,
6
yang terdiri dari kejadian, opini orang, situasi, dan kondisi, dipersepsi dan direkam wartawan.3 Mursito BM dalam bukunya Realitas Media menjelaskan tentang fakta dalam perspektif pemberitaan media:4 Dalam jurnalisme fakta adalah “suci”, terbebas dari subjektivitas wartawan.
Meski
wartawan
yang
menulis
berita,
tetapi
subjektivitasnya tidak boleh mempengaruhi berita yang ditulisnya. Ia tidak boleh berpendapat tentang fakta dalam berita itu, termasuk tidak boleh menilai, berprasangka, atau memperolokannya. Juga nilai-nilai, kepercayaan, atau keyakinan yang dianutnya tidak boleh mewarnai berita. Wartawan harus menjaga “kesucian” fakta, mulai dari ketika ia mendapakannya di lapangan hingga menjadi berita.
2.
Konstruksi Realitas Istilah konstruksi realitas menjadi terkenal sejak dipublikasikan oleh Peter L.Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya The Social Construction of Reality yang didalamnya digambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya dimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. Oleh karena itu, pemahaman terhadap sesuatu bisa terjadi akibat kita berkomunikasi dengan orang lain. Realitas sosial sesungguhnya tidak lebih dari sekedar hasil konstruksi sosial dalam komunikasi tertentu.5 Berger & Luckman berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objeketif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.
3
Mursito BM, Jurnalisme Komprehensif (Jakarta: Literate, 2013) hlm. 70 Mursito BM, Realitas Media (Solo: Smart Media, 2012) hlm. 21 5 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2012) hlm. 91 4
7
Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia kedalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Proses ini merupakan bentuk ekspresi diri untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai produk manusia (society is a human product). Objektifikasi, adalah hasil yang telah dicapai, baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil itu berupa realitas objektif yang hadir dalam wujud yang nyata. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjeketif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang. Pada tahap ini masyarakat dilihat sebagai realitas yang objektif (society is an objective reality), atau proses interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses institusionalisasi. Internalisasi, lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas diluar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (man is a social product). Eksternalisasi, objektifikasi dan internalisasi adalah tiga dialektis yang simultan dalam proses (re)produksi. Secara berkesinambungan adalah agen sosial yang mengeksternalisasi realitas sosial. Pada saat yang bersamaan, pemahaman akan realitas yang dianggap objektif pun terbentuk. Pada akhirnya, melalui proses eksternalisasi dan objektifasi, individu dibentuk sebagai produk sosial. Sehingga dapat dikatakan, tiap individu memiliki pengetahuan dan identitas sosial sesuai dengan peran institusional yang terbentuk atau yang diperankannya.
3.
Media Massa dan Bias Gender Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dan seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau
8
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti berikut ini: laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan mempunyai saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagi ketentuan Tuhan atau kodrat.6 Sedangkan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, jantan dan perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada lakilaki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender.7 Perbedaan konsep gender antara laki-laki dan perempuan tidak akan menjadi masalah sepanjang tidak terjadi ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender melahirkan ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadaup kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender terwujud dalam berbagai 6
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) hlm. 7 7 Ibid. hlm. 8
9
bentuk ketidakadilan seperti marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam mengambil suatu keputusan, pembentukan stereotype melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden) serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.8 Kondisi ketidakadilan gender yang terus-menurus berlangsung dan memunculkan anggapan yang salah terhadap gender inilah yang disebut dengan bias gender. Media massa – yang secara sederhana didefinisikan sebagai media yang digunakan dalam komunikasi massa, dalam hal ini surat kabar dan konsep gender selama ini saling memiliki keterkaitan, terutama jika menyangkut masalah perempuan. Perempuan dan media massa, dua aspek yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hampir tidak ada satu jenis media massa pun saat ini yang tak mengangkat sosok perempuan dalam pemberitaan. Media pun turut andil dalam mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap bias gender yang berkembang selama ini, terutama jika terhadap perempuan. Selama ini produksi dan pencitraan media massa lebih mengarah pada dominasi
laki-laki
dibandingkan
perempuan.
Laki-laki
lebih
sering
ditampilkan sebagai sosok pemimpin, kuat, berkuasa, mandiri sementara perempuan sebaliknya sebagai sosok lemah, penuh ketergantungan. Penggambaran laki-laki di media massa – baik media massa cetak maupun media massa elektronik – tidak banyak menyimpang dari gagasan patriarki tradisional tentang laki-laki. Media massa telah merefleksi dan mereproduksi rangkaian stereotipe sejalan dengan perubahan gender itu sendiri. Media massa telah mencitrakan perempuan dan laki-laki dari sudut pandang tertentu.9
8
Ibid. hlm. 12 Haryati, “Konstrukvisme Bias Gender dalam Media Massa”, Jurnal Citra Perempuan dalam Media, Volume 10 Nomor 1 (2012) hlm. 43 9
10
Menurut Sita Aripurnani ada kecenderungan redaktur media massa – dalam hal ini pers, memahami persoalan perempuan dalam konteks “news value” yang dianggap penting adalah berkaitan dengan hal-hal berikut:10 a.
Kekerasan terhadap perempuan, seperti perkosaan, penyiksaan isteri atau penganiayaan pembantu rumah tangga.
b.
Persoalan marginalisasi perempuan di dunia kerja, buruh buruh perempuan, posisi perempuan didunia hukum, kesehatan dan pendidikan.
c.
Persoalan pandangan yang stereotipe dan diskriminatif terhadap perempuan.
d.
Gerakan pemberdayaan kaum perempuan dan isu isu gender lainnya. Gejala demikian, jelas menunjukkan bahwa secara sadar atau tidak,
media belum secara adil memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dengan laki laki. Terlebih jika dicermati identifikasi berita surat kabar yang dilakukan oleh May Lan (2002:9-10), sebagai berikut:11 a.
Perempuan dalam berbagai berita di surat kabar masih menunjukkan bahwa mereka belum mengalami kesetaraan. Perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang terbelakang, tertindas dan tidak memiliki otoritas dirinya, apalagi terhadap masyarakat.
b.
Materi berita tentang perempuan yang disajikan dalam surat kabar masih sering menampilkan perempuan sebagai obyek yang dieksploatasi.
c.
Frekuensi berita berkaitan dengan isu perempuan dan pemberdayaan tidaklah bersifat kontinyu, tetapi lebih mengarah kepada monumental, misalnya: Hari Kartini dan Hari Ibu.
d.
Dalam konteks berbagai berita di surat kabar, perempuan dan masalahnya
e.
mendapat porsi yang amat kecil, bahkan seringkali pemunculan itu hanya sebatas materi yang menjadi bahan tertawaan atau ejekan.
10
Hamid Arifin,” Representasi Perempuan dalam Pers”, Jurnal Komunikasi Massa, Volume 1 Nomor 1 (2007) hlm. 14 11 Ibid, hlm. 15
11
Krini Kafiris mengungkapkan ada beberapa cara untuk mengenali bias gender pada teks media massa, yaitu dengan mengamati bahasa, angle berita, konteks (context), narasumber (source), dan gambar (visual).12
4.
Konsep Analisis Wacana Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari analisis isi, selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai. Jika analisis isi kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. Bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, analisis wacana juga melihat bagaimana pesan disampaikan. Lewat analisis wacana kita bisa melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks. Banyak model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh para ahli. Eriyanto dalam buku Analisis Wacana-nya, menyajikan model-model analisis wacana yang dikembangkan, misalnya oleh Roger Fowler dkk. (1979), Theo Van Leeuwen (1986), Sara Mills (1992), Norman Fairclough (1998) dan Teun A. Van Dijk (1998). Dari sekian banyak model analisis wacana itu, model Van Dijk adalah model yang paling banyak dipakai. Karena Van Dijk mengolaborasikan elemen-elemen wacana sehingga bisa diaplikasikan secara praktis. Model yang dipakai Van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi sosial”. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Dijk. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu praktik produksi yang harus juga diamati.
12
Haryati, “Konstrukvisme Bias Gender dalam Media Massa”, Jurnal Citra Perempuan Dalam Media, Volume 10 Nomor 1 (2012) hlm. 44
12
Disini harus dilihat juga bagaimana bagaiman suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh pengetahuan mengapa teks bisa semacam itu. 13 Lebih lanjut, Encarnacion Hidalgo Tenorio dalam tulisannya menjelaskan analisis Van Dijk sebagai berikut:14 Van Dijk‟s Socio-Cognitive Discourse Analysis is an approach characterised by the interaction between cognition, discourse and society. It began in formal text linguistics and subsequently incorporated elements of the standard psychological model of memory, together with the idea of “frame” taken from cognitive science. A large part of van Dijk’s practical investigation deals with stereotypes, the reproduction of ethnic prejudice, and power abuse by elites and resistance by dominated groups. Istilah kognisi sosial van Dijk diadopsi dari pedekatan dari lapangan psikologi
sosial,
terutama
untuk
menjelaskan
struktur
dan
proses
terbentuknya suatu teks. Suatu teks yang cenderung memarjinalkan posisi wanita, misalnya, lahir karena kognisi atau kesadaran mental di antara wartawan bahkan kesadaran dari masyarakat yang memandang wanita secara rendah. Sehingga teks disini hanya bagian kecil saja dari praktek wacana yang merendahkan wanita. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa mengeksklusifkan seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah bagaian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan kognisi sosial membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan. Selain melalui koginisi sosial, ada konteks sosial yang mempengaruhi proses produksi teks. Dimana konteks sosial secara sederhana dipahami sebagai wacana yang berkembang dalam masayarakat, sehingga untuk meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat.15
13
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 221 Encarnacion Hidalgo Tenorio, “Critical Discourse Analysis, An Overview”, Journal University of Granada (2011) hlm. 190 15 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LkiS, 2001) hlm. 271 14
13
Sajian dan Analisis Data Penulis memaparkan hasil temuan data yang terdapat dalam berita tentang kekerasaan terhadap perempuan di Harian Umum Kompas Periode 1 September 2013–31 Oktober 2013, yakni Senin 2 September 2013, Rabu 4 September 2013,
Senin 16 September 2013, Selasa 1 Oktober 2013 dan Kamis 31 Oktober 2013. Penulis mencoba menerangkan per-edisi sesuai dengan teori yang dibahas, dalam menganalisis teks, penulis memfokuskan pada strategi wacana model Teun Van Dijk yang menggambarkan sruktur pragmatik atau struktur kebahasaan dalam berita pemberitaan kekerasaan terhadap perempuan di Harian Umum Kompas. Mengenai peristiwa pemberitaan kekerasaan terhadap perempuan menurunkan lima buah judul, antara lain: 1.
Kami Sudah Tak Tahan Dilacurkan
2.
Keceriaan FF Dirampas Ayah Tirinya
3.
Perempuan Penjual Kopi Itu Disekap dan Dianiaya
4.
SMS Nyasar Berujung Pemerkosaan
5.
Kerap Dicabuli Guru, Siswi SD Enggan Sekolah Menurut Van Dijk, menganalisis wacana dari segi teks, kognisi sosial, dan
konteks sosial. Segi teks
di bagi menjadi tiga bagian yaitu: struktur makro
(tematik), superstruktur (skematik), dan struktur mikro (tematik, sintaksis, stilistik, dan retoris). Berikut adalah analisis data dari salah satu berita di atas:
Analisis Data Kami Sudah Tak Tahan Dilacurkan a.
Struktur Tematik Tema atau gagasan inti dari judul di atas adalah penipuan terhadap perempuan, padahal tujuannya untuk mendapat kehidupan yang layak. Sub topik yang terdapat dalam berita ini adalah sebagai berikut: 1) Kebutuhan Ekonomi Kebutuhan ekonomi semakin meningkat, sementara penghasilan di daerah sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Keinginan wanita-wanita muda untuk dapat membatu orang tua mendapatkan
14
kehidupan yang layak dijadikan sebagai kesempatan bagi para mucikari untuk memberikan rayuan dengan penghasilan yang besar, sehingga menjadikan wanita-wanita sebagai pelacur, seperti yang tertulis dalam teks berikut: “Di rumah berkamar-kamar itulah mereka tinggal salam 1-2 tahun terakhir. Mereka yang lari dari rumah, terjerat rayuan, akhirnya dilacurkan di tempat hiburan, tidak jauh dari rumah penampungan”. (Paragraf 2) Teks ini menunjukkan adanya upaya yang dilakukan olah Ad, Car dan Mei untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dengan bekerja, sehingga dengan rayuan janji-janji manis berupa gaji yang tinggi mereka terjerumus dalam pelacuran. 2) Hutang yang Membengkak Mucikari memberikan beban hutang kepada Ad, Car dan Mei serta teman-teman yang lainnya melalui peraturan-peraturan yang dibuatnya, sehingga menjadikan Ad, Car dan Mei serta teman-teman yang lainnya terlilit hutang yang cukup besar. Hal itu tertuang dalam teks sebagai berikut: “Karena terjerat utang itu, mereka akhirnya tidak bisa keluar dari rumah penampungan. Berdasarkan pengakuan Ad yang berasal dari Lampung Barat, dirinya pernah mencoba kabur, tetapi tertangkap sehingga dianiaya dan didenda jutaan rupiah”. (Paragraf 8) Pada prinsipnya Ad, Car dan Mei serta teman-teman yang lainnya tidak menghendaki bekerja sebagai pelacur. Mereka dipaksa oleh para mucikari untuk melacur dengan aturan-aturan yang tidak manusiawi. Hal itu terungkap dari teks berikut: “Menurut Car, jika saat bekerja mabuk berat sehingga tidak bisa melayani konsumen, ME akan menjatuhkan denda Rp 4 Juta. Sementara itu, jika menolak melayani pelanggan didenda Rp 2 Juta. Ini membuat utang gadis asal Pontianak, Kalimantan Barat ini menjadi membengkak hingga Rp 46 Juta”. (Paragraf 9)
15
Peraturan-peraturan yang dibuat oleh mucikari inilah yang menyebabkan mereka tidak dapat melarikan diri dari bisnis prostitusi ini karena mereka terbebani dengan hutang-hutang yang cukup besar. b. Struktur Superstruktur (Skematik) Pada paragraf 1 dan 2 dalam pemberitaan ini wartawan ingin menjelaskan tentang keadaan Ad, Car dan Mei. Pada paragraf tersebut diungkapkan bahwa Ad, Car dan Mei merasa senang karena mereka berhasil diselamatkan dari jerat bisnis prostitusi pelacuran. Mereka telah tinggal di rumah penampungan tersebut selama 1-2 tahun. Paragraf 3, 4 dan 5 memberikan penjelasan tentang pekerjaan yang mereka lakukan selama di rumah penampungan. Berdasarkan uraian dalam paragraf tersebut wartawan menjelaskan bahwa mereka menjual jasa menemani pengunjung minum dan karaoke hingga memberi jasa layanan seksual. Mereka mendapatkan penghasilan sekitar Rp 5 Juta dalam sebulan. Paragraf 6, 7 dan 8 menunjukkan tentang hutang yang menjerat para wanita muda ini akibat dari aturan-aturan yang dibuat mucikari. Secara umum aturan yang dibuat oleh mucikari sangat memberatkan bagi Ad, Car dan Mei serta teman-teman yang lainnya. Misalnya, jika saat bekerja mabuk berat sehingga tidak bisa melayani konsumen, maka mucikari akan menjatuhkan denda Rp 4 Juta, jika menolak melayani pelanggan didenda Rp 2 Juta. Hal itu yang menyebabkan para wanita muda ini terjerat hutang yang cukup besar. Paragraf 9 dan 10 memberikan penjelasan tentang perilaku kehidupan dari Ad, Car dan Mei. Wartawan menjelaskan bahwa para wanita tersebut sering mengkonsumsi pil pembeku darah. Pil itu mereka konsumsi agar tetap dapat menjalankan aktivitas pekerjaannya selama masa haid. c.
Struktur Mikro (Semantik, Sintaksis, Stilistik) 1) Semantik Pada eleman latar secara umum terdapat dalam paragraf 1, 2, dan 3. Dalam penulisannya, wartawan menjelaskan bahwa pada umumnya para wanita yang dijadikan sebagai pelacur ini tergiur dengan rayuan dan bujukan terhadap gaji yang besar dan kehidupan yang lebih baik.
16
Pada elemen detil secara umum terdapat pada paragraf 4, 5 dan 6. Dalam penulisannya, wartawan memberikan penjelasan detil mengenai kegiatan yang dilakukan Ad, Car dan Mei serta teman-temannya di penampungan. Pada elemen maksud secara umum terdapat pada paragraf 7, 8, 9 dan 10. Dalam penulisannya, wartawan memberikan penjelasan mengenai alasan Ad, Car dan Mei serta teman-temannya terpaksa melakukan kegiatan pelacuran. 2) Sintaksis Pada elemen koherensi secara umum terdapat pada paragraf 3, 4, 5, 6, 7 dan 8. Dalam penulisannya, wartawan memberikan koherensi atau jalinan antarkata yang dipakai menandakan penyebab sebab akibat dari kegiatan pelacuran itu senantiasa berlangsung. Pada elemen bentuk kalimat secara umum terdapat pada paragraf 3 dalam penulisannya: Aktif
di tempat hiburan, mereka menjual jasa menemani pengunjung minum dan karaoke hingga memberi layanan seksual
Pasif
Jasa menemani pengunjung minum dan karaoke serta layanan seksual dijual oleh mereka di tempat hiburan Pada elemen kata ganti, secara umum terdapat pada paragraf 11
Kata ganti
Ad, Car, dan Mei termasuk dalam 28
“Ad, Car dan Mei”
perempuan muda yang diselamatkan dari rumah penampungan di Gang Pinang itu
Kata ganti
Mereka termasuk dalam 28 perempuan muda
“Mereka”
yang diselamatkan dari rumah penampungan di Gang Pinang itu
17
3) Stilistik Pada elemen leksikon, secara umum terdapat pada paragraf 2, 3, 6, 7 dan 9. Dalam penulisannya diambil penulis salah satunya yaitu: “Karena terjerat utang itu, mereka akhirnya tidak bisa keluar dari rumah penampungan”. “Karena terkait utang itu, mereka akhirnya tidak bisa keluar dari rumah penampungan”. “Karena terjebak utang itu, mereka akhirnya tidak bisa keluar dari rumah penampungan”.
Selain analisis dari segi teks di atas, ada analisis dari segi kognisi sosial dan konteks sosial yang mengaruhi terbentuknya wacana dalam pemberitaan kekerasan terhadap perempuan di Harian Kompas. Dalam lima berita yang diteliti tersebut teks berita masih dipengaruhi oleh konteks sosial yang berkembang di masyarakat bahwa perempuan masih dianggap sebagai kaum marjinal, lemah dan tidak berdaya, seperti contoh pada paragraf berikut ini: Karena terjerat utang itu, mereka akhirnya tidak bisa keluar dari rumah penampungan. Berdasarkan pengakuan Ad yang berasal dari Lampung Barat, dirinya pernah mencoba kabur, tetapi tertangkap sehingga dianiaya dan didenda jutaan rupiah. (Kami Sudah Tidak Tahan Dilacurkan, paragraf 7) Ketiganya juga menceritakan terpaksa mengkonsumsi pil pembeku darah. Sebab, mereka tidak boleh tidak bekerja karena haid lebih dari lima hari. Jika haid lebih dari lima hari, mereka terpaksa mengkonsumsi pil itu agar bisa melayani pelanggan. (Kami Sudah Tidak Tahan Dilacurkan, paragraf 9) Sedangkan dari segi kognisi sosial, Kompas dalam menyajikan berita kekerasan terhadap korban perempuan penggunaan bahasanya lebih halus. Hal ini sesuai dengan ciri khas Kompas yang penulisannya cenderung rapi dan tidak meletup-letup, meskipun jika dicermati isinya masih dipengaruhi oleh pandangan miring terhadap perempuan seperti contoh berikut ini:
18
Pada berita Kami Sudah Tidak Tahan Dilacurkan paragraf 3, terdapat kata “ … mereka menjual jasa menemani pengunjung minum dan karaoke hingga memberi layanan seksual” untuk menggantikan kata pekerja seks komersil (PSK) ataupun pelacur yang dianggap terlalu vulgar. Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
Kompas
secara
umum
dalam
pemberitaannya masih bias gender. Walaupun dalam penyajian beritanya sudah menggunakan bahasa yang lebih halus dan tidak memojokkan perempuan. Selain itu, dalam pemberitaannya Kompas menempatkan perempuan sebagai korban bukan objek eksploitasi berita.
Kesimpulan Setelah menjalaskan dan menganalisa bahasan-bahasan yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa konstruksi realitas terkait gender yang dibentuk dalam pemberitaan mengenai kekerasan seksual pada korban perempuan di harian Kompas periode 1 September – 31 Oktober 2013 adalah Kompas mengonstruksikan perempuan sebagai korban, bukan sebagai objek eksploitasi. Meskipun dalam penyajiannya, perempuan masih digambarkan sebagai sosok marjinal, lemah, tak berdaya dan sensitif namun dengan bahasa yang lebih halus dan rapi sesuai dengan ciri khas yang melekat pada Kompas. Selain itu, secara struktur wacana pada pemberitaan di harian Kompas terkait kekerasan seksual terhadap perempuan ditemukan sebagai berikut: 1.
Secara struktur makro, rentetan tema berita yang dikamas oleh Harian Kompas enjelaskan bahwa Harian Umum Kompas ikut mengungkapkan kondisi-kondisi realitas kekerasan terhadap perempuan yang menjadi korban penganiayaan dan kekerasan. Harian Umum Kompas juga mengecam para pelaku penganiayaan dan kekerasan.
2.
Secara super struktur, Harian Umum Kompas mengemas alur berita dengan skema tentang kondisi para perempuan yang menjadi korban kekerasan, penyiksaan dan penganiayaan. Seperti As yang sudah tidak mau lagi mengikuti kegiatan pembelajaran, padahal waktu Ujian Nasional sudah dekat.
19
Kasus ini seolah-olah ditutupi oleh pihak sekolah dan menjadikan wartawan sebagai pencari masalah. Sungguh ironis bahwa guru sekolah di Indonesia, orang yang yang dianggap sebagai panutan, tetapi justru menyembunyikan sebuah kejahatan terhadap anak yang merupakan calon penerus bangsa. 3.
Secara struktur mikro, bedasarkan latar, detail, dan maksud pemakaian kalimat pada Harian
Kompas menunjukkan bahwa penyusunan kalimat
memberi
yang
gambaran
tidak
menguntungkan
perempuan
seperti
penggambaran perempuan yang tidak rasional, mudah putus asa, dan selalu disalahkan. Harian ini dalam pemberitaannya melakukan eksklusi dan marginalisasi terhadap perempuan dengan mengucilkan, memandang rendah, dan memberikan penggambaran yang buruk terhadap Penggambaran tersebut menempatkan
perempuan.
perempuan sebagai pihak yang
disalahkan ketika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan adanya pembenaran atas perlakukan kekerasan terhadap perempuan. Saran 1.
Berita yang dipaparkan Kompas dilakukan secara kontinyu dan up to date berkaitan dengan hal-hal terbaru dalam kasus pemberitaan kekerasan pada peremuan, namun kiranya perlu diberitahukan kepada khalayak ramai tentang penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi baik kasus lama ataupun kasus kekerasan terhadap perempuan yang baru dan bagaimana sikap masyarakat terhadap kekerasan yang dialami oleh perempuan.
2.
Untuk memenuhi unsur chack dan balance terhadap suatu berita, Kompas harus secara langsung mencari tahu bagaimana kekerasan itu terjadi baik dengan jalur diplomasi ataupun dengan mewawancarai secara langsung pelaku kekerasan terhadap wanita.
3.
Untuk penelitian dapat dilakukan dengan secara langsung meneliti ke departemen perlindungan anak dan wanita untuk mendapatkan data yang lebih maksimal mengenai kasus kekerasan terhadap wanita.
20
Daftar Pustaka Arifin, Hamid. (2007). Representasi Perempuan dalam Pers. Jurnal Komunikasi Massa Volume 1 Nomor 1. Eriyanto. (2006). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. Fakih, Mansour. (2010). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Harto, Amrosius. (2013). Kami Sudah Tidak Tahun Dilacurkan. Kompas, 2 Sepetember 2013. Haryati. (2012). Konstrukvisme Bias Gender dalam Media Massa. Jurnal Citra Perempuan Dalam Media Volume 10 Nomor 1. Mursito BM. (2013). Jurnalisme Komprehensif. Jakarta : Literate. _________. (2012). Realitas Media. Solo : Smart Media. Sobur, Alex (2012). Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tenorio, Encarnacion Hidalgo. (2011). Critical Discourse Analysis, An overview. Journal University of Granada.