MEDIA SOSIAL SEBAGAI RUANG PUBLIK ANTARA NETIKET DAN NETIZEN
Sri Ayu Astuti (Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jalan Majapahit 666B, Telp/Fax. 031-8945444 / 031-894333, Sidoarjo. Email:
[email protected])
ABSTRAK Bentuk komunikasi yang berkembang pada media sosial, nitizen ternyata tidak begitu arif menggunakan tutur bahasanya, hingga menimbulkan persoalan etika komunikasi. Persoalan etika komunikasi yang berawal di dunia maya itu berlanjut menjadi persoalan hukum dan pihak yang bersengketa banyak memilih menyelesaikan permasalahan pelanggaran etika komunikasi yang menjadi permasalahan hukum tersebut di ranah peradilan. Media sosial sebagai media baru disebut juga pilar kelima demokrasi karena dipandang mampu menjalankan fungsi dari media mainstream bahkan mampu mengkoreksi keberadaan dari media mainstream yang selama ini sebagai kekuatan nyaris tak tersentuh hukum dan taksatu pun lembaga dari pilar ketiga demokrasi berani mengkoreksi media mainstream tersebut, tetapi berbeda dengan media sosial sebagai pilar kelima demokrasi itu, warga media sosial sangat jeli dan tegas dalam menyikapi kesalahan yang diperbuat media mainstream. Fungsi watch dog, kini telah beralih dalam gengaman warga media sosial dengan masif diruang sunyi sangat aktraktif menjalankan bentuk pengawasan di berbagai lini kehidupan masyarakat dalam kehidupan nyata, dunia tabu untuk mengkoreksi kesalahan para media mainstream kini menjadi satu kenyataan dalam satu sikap dan satu kata menegakan kebenara. Kata kunci : Netiket , netizen, etika komunikasi, ruang publik.
204 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
SOCIAL MEDIA AS A PUBLIC SPACE BETWEEN NETIQUETTE AND NETIZENS
ABSTRACT Form of communication that thrives on social media, users or citizens of social media termed as netizen were not wise enough in using their language style so that it causes the ethical problems of communication. The problem of communication ethics that began in cyberspace continues to be legal issues and many disputing parties choose to solve the problems of communication ethics violations into the legal issues in the realm of justice. Social media as new media is also called as the fifth pillar of democracy as deemed able to perform the functions of the mainstream media and even correct the existence of the mainstream media which has the force of law and untouchable. And there is none of the institutions that belong to third pillar of democracy is dare to correct. It is different with social media as the fifth pillar of democracy, where the social media people are very observant and decisive in response to the mistakes of the mainstream media. The watch dog function, has now moved to citizens social media with massive in the quiet room attractively run the control in various aspects of people’s real life. The world of taboo to correct the mistakes of the mainstream media has now become a reality in one attitude and one word to enforce the truth. Keywords: Netiquett, netizen, communication ethics, public space. PENDAHULUAN Konsekuensi dalam kehidupan globalisasi adalah adanya perubahan pola hidup masyarakat. Pergeseran nilai hidup dalam berkomunikasi antar sesama anggota masyarakatpun terjadi perubahan dalam pemaknaannya. Ini tidak lain disebabkan kehadiran alat komunikasi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dewasa ini semakin memiliki makna tidak hanya sekedar menyampaikan maksud dan tujuan dalam pikiran secara sederhana sebagai tuntutan kebutuhan kehidupan. Tetapi lebih dari itu komunikasi telah menjadi bagian dari gaya hidup, yang didukung lagi dengan kemudahan media dalam melakukan arus lalu lintas komunikasi itu sendiri, melalui berbagai bentuk keberagaman media. Media sosial demikian istilah yang dikenal dikalangan luas masyarakat media di dunia internet, telah memberikan perubahan pada kehidupan manusia dalam bentuk pola interaksi dikehidupan sosial yang menembus batas ruang waktu yang sunyi di dunia maya itu. Kehadiran media sosial membawa dampak yang sangat luar biasa dalam pola kehidupan masyarakat sosial di berbagai
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 205
belahan dunia. Pola komunikasi yang tercipta dari kehadiran media sosial tidak hanya memberikan kemudahan dalam mengakses kepentingan informasi, tapi lewat media sosial sebagai media baru membangun karakter baru pada kehidupan pribadi setiap orang. Bentuk pola komunikasi aktif dengan tanpa jeda waktu ini dapat dilihat dari satu informasi yang ada secara serentak seluruh dunia mengunggahnya hanya dalam hitungan sepersekian detik. Media sosial kini telah tampil sebagai pesaing media yang secara fisik yang telah hadir dalam kehidupan manusia, seperti koran, majalah, buletin, dan televisi yang dikenal selama ini sebagai media mainstream. Media sosial sebagai media baru bahkan mulai menjadi kebutuhan masyarakat luas. Perannya semakin terlihat mulai menggeser peran media mainstream secara fisik. Media sosial sebagai media baru saat ini adalah menjadi bagian dari kebaradaan generasi di era teknologi. Begitu cepat pola bentuk komunikasi baru memasuki ruang kehidupan generasi muda dalam pusaran teknologi, sebut saja facebook, twitter, istagram, dan blogger, merupakan fenomena di masyarakat modern kekinian. Dari fenomena gaya hidup komunikasi di kekinian itu menimbulkan dampak yang tidak sedikit implikasinya dalam kehidupan nyata. Terjadi perubahan gaya bahasa, penulisan bahasa sampai pada bentuk etika bahasa. Perubahan pola komunikasi dalam bentuk gaya bahasa yang banyak menggunakan istilah dalam era teknologi bagi orang awam yang jarang menyentuh media sosial dengan menggunakan teknologi itu memang sangat membingunkan, pun sebagaimana juga penulisan bahasa, pengguna media sosial twitter hanya boleh menggunakan beberapa karakter kata, ada kemungkinan makna yang ditampilkannya juga bias bagi yang membacanya, sedangkan dalam bentuk etika bahasa seringkali kepolosan pribadai terbaca disana, tanpa menggunakan lagi bahasa yang menyiratkan tapi sudah dengan vulgar menabrak rambu-rambu norma dalam kehidupan. Media sosial lebih tepat dikatakan sebagai wadah setiap orang mengekspresikan kehidupan jiwanya, karena apa yang menjadi pengalaman hidupnya dapat diekspose olehnya sendiri, suka dan duka yang dialami. Media sosial juga menjadi wadah bagi masyarakat untuk menggalang kekuatan sosial, melakukan pergerakan sosial bahkan membawa persoalan ke media tersebut bahkan menanggapi setiap peristiwa yang sedang terjadi dan menjadi isu publik dan para nitizen beropini. Situasi di atas justru belakangan menimbulkan persoalan yang tidak menyenangkan hingga membawa dalam situasi pada kehidupan nyata yang sangat runyam menjadi permasalahan hukum atas perbuatan yang dilakukan bagi setiap orang di dalam dunia maya yang ternyata belum memiliki pemahaman akan etika berkomunikasi yang seharusnya dalam kehidupan untuk ditegakkan.
206 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
Permasalahan etika komunikasi dalam ruang dunia maya seringkali menjadi permasalahan serius karena tak jarang kalimat yang ditulis pada akun menimbulkan kata-kata pedas yang tak pantas dituturkan itu berlanjut ke ranah peradilan. Dapat kita lihat kasus yang pernah menimpa artis Indonesia, sebut saja Luna Maya dengan kalangan Pers, termasuk juga artis Marissa Haq dan kondektur kenamaan Indonesia Adi MS yang berseteru pada giliranya media mainstream memanfaattkan situasi itu mempublikasikannya. Bila sudah demikian maka bak kicauan burung, saling sindir antara Marisa Haq dan Adi MS melaju kencang di dunia maya, dan semakin ramai dengan opini yang berkembang. Dari kejadian itu dapat terlihat bahwa tidak semua warga dunia maya mampu memanfaatkan sebaik-baiknya kehadiran media baru tersebut sebagai media yang memiliki kemanfaatan yang positif, seharusnya media sosial sebagai media baru itu yang menawarkan kemudahan dapat memberikan perubahan dalam karakter kepribadian setiap nitizen menjadi positif menjadi hal baru dalam pengembangan transformasi keilmuan dalam kehidupan setiap pelaku di media sosial. Disinilah pentingnya sikap mental dan keribadian yang baik dalam kehidupan setiap orang yang memasuki dan menjadi bagian keberadaan media sosial itu. Media sosial sebagai media baru dengan tampilan yang beragam itu telah hadir sebagai pilar kelima demokrasi yang mengeksiskan diri dengan menyerap pengguna dunia baru bagitu banyak dalam setiap harinya dengan capaian satu juta orang. Media sosial mendapat julukan sebagai pilar kelima demokrasi disebabkan setiap warga di dunia maya atau di media sosial itu tidak hanya mampu menjalankan tugas pelaporan terhadap setiap peristiwa yang terjadi dalam hitungan waktu seketika secara serentak, tapi juga setiap warga media sosial sekaligus menjalankan perannya sebagai fungsi pengawas (watch dog) bagi pilar ketiga sebutan untuk eksekutf, legislatif dan yudikatif dan bahkan pilar keempat demokrasi yang dikenal sebagai sebutan pers. Masyarakat media sosial dalam media baru itu telah menampilkan dan meyakinkan dunia dengan kekuatan ruang maya sebagai sebuah keniscayaan bahwa dunia maya itu ada dan isu yang dikemas dalam bentuk opini, informasi dan tulisan panjang merupakan sebuah informasi yang dapat dipercaya. Kenyataan itu dapat dibuktikan bahwa aturan ketentuan main didunia akademisi pun telah bergeser membolehkan bahkan mengharuskan setiap mahasiswa dalam tugas akhirnya harus dipublikasikan melalui dunia maya itu, dan tentunya diharapkan dapat menjadi isu publik yang dapat mewarnai perkembangan dunia pendidikan sarat ilmu pengetahuan baru pada dinamika kehidupan yang sengaja dilakukan atau pun hanya menjadi bagian dari perkembangan kebutuhan informasi dunia.
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 207
1. Media Sosial Sebagai Media Baru (New Media) Pilar ke-Lima Demokrasi New Media adalah teknologi informasi dan komunikasi dan kontekskonteks sosial yang terkait serta infrastruktur yang terdiri dari tiga komponen yakni alat-alat yang digunakan untuk berkomunikasi atau menyampaikan informasi, aktivitas-akitvitas dimana orang terlibat untuk berkomunikasi atau membagikan informasi dan atau pengaturan sosial atau bentuk-bentuk organisasional yang berkembang melalui alat-alat dan aktivitas-aktivitas tersebut (Flew, 2005, p.2). Selain itu new media juga difahami sebagai media digital yang merupakan satu bentuk media yang menggabungkan data, teks, suara, dan gambar dalam bentuk digital dan didistribusikan melalui network. Sedangkan dalam pandangan McLuhan new media adalah suatu konsep yang muncul sejalan dengan perkembangan media. Istilah new media muncul sangat pesat di akhir tahun 1980-an itu memang memberikan dampak luar biasa dalam pola komunikasi masyarakat teknologi ke depannya dalam rangkaian penggunaan konvergensi teknologi media dan komunikasi antara pengguna media di pusaran kemajuan teknology digital. Internet sebagai media baru merupakan bentuk computer mediated communication (CMC) yang memiliki pengertian bahwa proses komunikasi yang dilakukan menggunakan komputer, melibatkan manusia, terjadi pada konteks tertentu di mana di dalamnya melibatkan proses pembentukan media untuk berbagai tujuan (Thurlow, lengel&Tomic, 2007, p. 15). Media sosial sebagai media baru menggunakan medium dalam hal ini adalah komputer dalam proses komunikasinya dan pertukaran informasi. Sebagaimana pandangan pemerhati perkembangan teknologi media Guiin, allen dan Semanik yang melihat media sosial atau media mbaru melakukan proses komunikasi dengan medium komputer itu dalam arti tidak dilakukan dengan tatap muka tetapi lebih pada aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh media (Guiin, Allen & Semanik, 2009. P. 14). Dalam Thurlow juga ditegaskan bahwa dalam praktiknya media sosial dilakukan dengan komunikasi manusia pada, melalui atau menggunakan internet atau web 9Thurlow & Tomic, 2007, p. 16). Media Sosial sebagai media baru masyarakat global dalam menekspresikan diri di ruang publik hadir ditengah masyarakat Indonesia sangat fenomenal disebabkan perkembangannya sangat cepat dalam rentang waktu 8 (delapan) Tahun terakhir ini, yang membawa perubahan dalam perilaku masyarakat pada umumnya. Pergeseran pola perilaku yang memiliki sosialisasi secara fisik dalam realitas di kehidupan nyata kini bergeser membawa masyarakat menjadi
208 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
komunikator yang masif dalam ruang yang sunyi tetapi aktif melakukan komunikasi mendunia. Media sosial eksistensinya di ruang publik (public sphere) semakin mendapat perhatian semua kalangan usia, bahkan dalam berbagai tingkatan profesi. Lebih memberikan nilai karena media sosial memiliki kekuatan sebagai media baru yang punya pengaruh sangat besar dalam menjalankan kekuatannya sebagai pengkritik dan pengawas dalam dunia inforrmasi dan komunikasi dari berbagai kegiatan yang berlangsung yang datang dari berbagai belahan dunia dalam ketentuan hitungan waktu tercepat dari para jurnalis profesional dan media mainstream yang telah ada. Ini menunjukan dalam ruang era konvergensi teknologi media keberadaan media sosial sebagai media baru (new media) mendapat istilah sebagai pilar demokrasi kelima, setelah pilar keempat demokrasi “pers” dan pilar demokrasi ketiga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Dalam Ilmu Politik Modern, dikenal konsep “Trias Politica” dari pemikir politik Perancis Charles Louis de Secondat Baron de Montesquieu (16891755), Trias Politica memiliki tiga pilar demokrasi yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang kesemuanya tercermin dalam fungsi pemerintahan dalam suatu negara yang berjalan yaitu masing-masing Eksekutif sebagai pengambil keputusan, Legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang dan Yudikatif sebagai lembaga peradilan yang memberi pertimbangan dari sisi hukum. Selanjutnya Fred S. Siebert, Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm lewat buku mereka Four Theories of the Press (1963) memperkenalkan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ketiga penulis teori pers itu menginginkan adanya kontrol terhadap tiga pilar “Trias Politica” Montesquieu (Pepih Nugraha, 2012: 168 ). Pilar keempat ini melesat tajam sebagai teori yang diterima di kalangan pers dan masyarakat sipil, ini dibuktikan dalam koreksi tulisan dalam media cetak, dan penyiaran hingga di kekinian dalam media baru yang lebih dikenal sebagai media sosial. Bahkan media sosial menempatkan dalam pikiran baru perkembangan masyarakat sipil yang menyebut media sosial ini sebagai pilar kelima. Perjalanan pers disebut sebagai pilar keempat demokrasi berawal dari pers yang meliput di ruang sidang di parlemen Inggris. Pers yang meliputi dan menempati balkon sering disebut dengan fraksi Balkon, dan dari sini timbul olok-olokan bahwa pers sebagai pilar keempat demokrasi yang memiliki fungsi mengkoreksi (Siebert, Fred S, Wilbur Shcramm Four Theories of the Press : 1963).
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 209
Pers sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki kekuatan yang dianggap lembaga “superbody” disebabkan memiliki fungsi tidak saja sebagai “watch dog” menjalankan pengawasan, sekaligus juga dapat mengkritik tiga pilar demokrasi sebelumnya yang lebih dikenal dengan institusi resmi negara yang berdaulat. Media Baru (new media) begitu istilah menyebut keberadaan media sosial yang berkembang pesat di Indonesia, sekitar Tahun 2004 media baru dalam ruang media sosial itu seperti blog, twitter, facebook, dan akses internet lain sebut saja android, gedget, berkembang merambah ruang publik (public sphere) meramaikan geliat ruang maya (cyber sphere). Pengguna media baru sangat meningkat tajam dalam kisaran pengguna usia 15 hingga 64 tahun sebagai riset yang dilakukan Hermawan Kartajaya dari delapan kota besar di Indonesia bersama MarkPlus Insight (Hermawan Kartajaya dan Hasanuddin; Pilar Kelima Demokrasi; 2010). Penggunanya sendiri yang mengisi content ruang maya itu adalah para jurnalis warga dalam pusaran media indie, yang mepenetrasi bentuk personal blog, social blog, situs jejaring sosial facebook dan jejaring sosial ruang publik maya yang bergerak tanpa jeda. Artikel yang yang ditulis Hermawan Kartajaya dan Hasanuddin dalam Kompas.com (17 Desember 2010) bertajuk “Media Sosial sebagai Pilar Kelima Demokrasi”, meletakan pemikiran bahwa social media berperan sebagai “pilar kelima” yang melengkapi tiga pilar demokrasi “trias politica” plus pers sebagai “pilar keempat. Disebutkan Hermawan kehadiran internet dan media sosial menyebabkan dinamika kehidupan demokrasi di suatu negara berubah total seraya menyebut sisi buruk dan baiknya yang terlihat. Menurutnya internet disatu sisi memberi dampak yang bermanfaat dalam kehidupan manusia dalam kemudahan perkembangan komunikasi sedangkan sisi buruknya internet dapat digunakan teroris meneror belahan dunia yang tidak sesuai dengan ideologi mereka. Peran media sebagai pilar keempat demokrasi keberadaannya semakin terancam. Hal ini sangat beralasan karena tingginya partisipasi rakyat sipil (civilization partisipation) dengan hanya dalam hitungan sepersekian detik telah mampu melakukan analisa dari persoalan berkaitan dengan isu publik, dan saling menanggapi dengan berbagai macam komentar kita lihat kata “Anas dan Monas”, sangat populer diruang maya menghiasi dunia maya. Baik yang simpati, antipati atau menjadi bahan guyonan dan ejekan, menjadi perbincangan hangat sampai berita itu berhenti dalam ketentuan situasi dan kondisi informasi itu sendiri. Media sosial (social media) tidak hanya mampu mengkritik tiga pilar demokrasi (Esekutif, Legislatif, dan Yudikatif) tapi juga sekaligus memiliki
210 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
kemampuan mengkritik pilar keempat demokrasi yaitu media arus utama itu sendiri yang selama ini memegang peranan sebagai “watchdog” terhadap tiga pilar demokrasi dan keberadaannya disegani. Dapat kita lihat bagaimana kasus Luna Maya berseteru dengan menyerang pilar keempat demokrasi “pers” itu yang berkembang dari perseteruan di twitter dan akhirnya bermuara dalam permasalahan hukum yang menunjuk pada ketentuan Pasal 27 Ayat (3) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 yang bermuatan pencemaran nama baik. Dalam kasus tersebut bagaimana dengan rasa kebencian yang sangat luna maya memaki dan menghujat pers sebagai hal yang tak terpuji ditulis di ruang maya itu. Pers sebagai pilar keempat demokrasi mengajukan gugatan kepada Luna Maya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 Ayat (3) mengenai muatan pencemaran nama baik. Terjadi pemahaman yang berbeda dalam menyikapi etika komunikasi yang menjadi pangkal permasalahan perseteruan karena saling hujat antara luna maya dan pers dari pandangan PWI dan IJTI. Selanjutnya kasus tersebut berakhir dengan bermuara dan dimediasi oleh Dewan Pers. Masyarakat pengguna dunia maya kini semakin apresiatif dan aktif dalam ruang dunia maya itu. Sosial media menjadi wadah yang dirasakan sangat tepat bagi para netizen untuk berkounikasi melakukan kegiatannya berselancar dengan informasi. Keberadaan media sosial tidak hanya sekedar berkomunikasi seputar kehidupan yang dilalui dengan penyampaian opini. bahkan begitu mudah mengomentari isu – isu publik dalam pandangan dan pemikiran terkait dengan isus-isu aktual yang terjadi. Media sosial yang kehadirannya semakin mudah diakses dan semakin tinggi penggunanya itu, mampu membangun kekuatan sosial untuk melakukan penekanan terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa tidak adil termasuk mampu menggerakan partisipasi masyarakat untuk menggalang partisipasti aktif melakukan penolakan ketentuan kebijakan pilar ketiga demokrasi. Kasus “Cicak vs Buaya” melalui gerakan “2 juta facebooker bebaskan Bibit – Chandra”, terjadi penggalangan opini netizen berhasil memaksa pengambil kebijakan tertinggi negeri ini mengikuti arus masyarakat “warga maya” di internet. Hampir bersamaan dalam situasi kasus “Bibit-Chandara”, kasus “Prita vs RS Omni Internasional”, juga berhasil menggerakan partisipasi masyarakat menyumbangkan koin untuk prita. Gerakan masif di Internet itu khususnya anggota facebook yang hampir mencapai satu milyar (data 2010) tampak membias pengaruhnya pada hasil persidangan hingga majelis hakim membebaskan Prita Mulyasari dari segala tuduhan.
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 211
Media sosial dan warga dalam lingkup internet kini berada dalam kekuatan tersembunyi yang mampu memainkan perannya untuk menarik simpati, antipati sampai menggalang dana bagi korban yang terkena bencana alam bahkan membangun kekuatan untuk melakukan tindakan makar hingga melakukan penyerangan kritik terhadap lembaga keempat demokrasi “pers”. Ini berarti menunjukan keterancaman keberadaan pilar keempat demokrasi dalam ruang komunikasi publik yang selama ini menjalankan fungsinya mengkritik keberadaan dan kebijakan pilar ketiga demokrasi (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif). Sebelum Media Sosial merambah dunia maya, media massa arus utama sebagai pilar keempat demokrasi tak ada yang mengkritik kerja dan kinerja para jurnalis maupun editor di media tempat mereka bekerja. Ada masa ada perubahan dalam kultur masyarakat yang berkembang diarus globalisasi komunikasi saat ini, dalam hal menjalankan fungsi pengawasan dalam arus lalu lintas komunikasi di ruang publik, kini warga sebagai pengguna media sosial dapat menjalankan fungsinya melakukan kritikan terhadap pilar keempat demokrasi “pers”, tersebut. Ini dibuktikan dengan fitur Facebook yang memiliki “share, comment , dan like”, yang berfungsi sebagai penggelinding pesan berantai sebagaimana yang dimiliki Twitter. Contoh kasus bagaimana warga menggunakan media sosial saat mengkritik harian Kompas di Twitter akibat salah kutip berita sosok Deswita Maharani, karena keteledoran dalam editor dikarenakan berita tentang artis itu diambil dari Wikipedia edisi bahasa Indonesia yang sudah tercemar tangan-tangan usil kaum vandalis, hingga beita yang publikasikan tidak lagi akurat, maka Kompas mendapat kritik pedas habis-habisan di Twitter. Tidak ada kata lain kalau situasi pilar kelima demokrasi ini sudah terbangun menjalankan fungsi pengawasan terhadap ilar keempat demokrasi “pers” maka prinsip kehati-hatian harus ditegakan dalam melakukan pemberitaan. Media sosial sebagai pilar kelima demokrasi di era globalisasi komunikasi telah menggenggam dunia komunikasi dalam pusaran konvergensi komunikasi yang memiliki kekuatan masif ini tidak hanya mengawasi keberadaan pilar ketiga demokrasi “trias politica” tapi juga penyandang pilar keempat demokrasi “pers”. Dapat menjadi parameter adalah kasus peristiwa berdarah yang merupakan serangan teroris di “Mumbai” yang menewaskan 100 warga lebih yang tersandera. Membuktikan efektifnya laporan warga di media sosial dengan melaporkan jalannya peristiwa terseebut dari detik ke detik, menit ke menit, dengan mekanisme “running news” hasilnya sangat luar biasa pencapaian informasi itu bergerak dengan kecepatan tak terduga hanya hitungan detik dan menit informasi itu telah dikonsumsi masyarakat diberbagai
212 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
belahan dunia, dan media arus utama yang mengerahkan wartawan profesional kalah cepat dalam menyampaikan laporan dengan warga di media sosial. Revolusi dunia komunikasi telah terjadi dalam penggunaan kemanfaatan teknologi komunikasi (konvergensi komunikasi) dalam pusaran arus gelombang informasi baru dari warga biasa yang menulis berita dan melaporkan peristiwa merupakan sebuah tantangan dalam penegakan etika komunikasi menyampaikan beritayang disebarluaskan keberbagai penjuru ruang terbuka tanpa hitungan jeda. Pemerintah harus melakukan gerakan mempercepat akan pembentukan undang-undang yang baru dalam mengapresiasi permasalahan dari ruang media sosial. Sedangkan pers dan media arus utama tak dapat mengelak dari upaya membangun kecerdasan para pelaku pers untuk melek media dalam ruang konvergensi teknologi komunikasi dan media yang terus menerus melakukan revolusi di bidang komunikasi dan informasi. Revolusi sunyi (silence revolution) istilah yang digunakan oleh para pemerhati perkembangan media dalam Tajuk majalah The Economist, (26 Agustus 2006) menunjuk pada kegiatan media sosial sebagai media baru saat ini perlahan dan pasti akan menggeser peran media mainstream dan mematikan keberadaannya. Terlebih lagi persaingan antar media terjadi yang sangat ketat, media mainstream harus pandai melakukan perubahan tampilannya dalam kecepatan akses berita untuk sampai ke ruang publik. 2. Netiket di Ruang Media Sosial Etika dalam pandangan Bertens etika dirumuskan sebagai sistem nilai (2007:6), sebagai sistem nilai dapat berfungsi dalam hidup manusia perorangan maupun pada taraf sosial. Bertens juga membedakan antara etika sebagai praksis dan etika sebagai reflektif. Etika sebagai praksis berarti nilai-nilai dan norma – norma moral yang seharusnya dipraktikan atau tidak (2000: 32-33), artinya ini menunjukan bahwa sejauhmana sebenarnya etika dapat berkesesuaian dengan nilai dan norma moral. Sedangkan etika reflektif adalah pemikiran moral, yaitu seseorang yang berpikir tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Dalam hal mengenai etika media massa dalam ruang publik yang berjalan mengggunakan parameter level mikro, meso, dan makro (Mulharnetti Syas, 2012 : 158). Ketiga level tersebut berkaitan dengan kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan industri medea massa. Pada level mikro etika difokuskan pada individu dalam hubungannya dengan profesinya sebagai wartawan. Pada level meso etika mengkaji masalah etik di level organisasi
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 213
kemudian pada level makro, etika mengkaji aspek moral dari sistem media massa secara keseluruhan. Etika di dalam media massa sangat penting, ini berkaitan dengan isi media massa saat dipublikasikan memiliki dampak sangat luas kepada masyarakat sebagai konsumen media. Maka etika media massa sebagai upaya untuk melindungi kedua belah pihak konsumen media dan media itu sendiri sebagai pengolah informasi yang menyebarkannya ke ruang publik. Kepada masyarakat diharapkan media dapat melindungi masyarakat dari kekerasan, manipulasi, pornografi, dan dari segala bentuk negatif media, sebaliknya untuk media sendiri adalah dapat menjadi media massa yang memiliki kredibilitas dalam pengolahan berita yang berkualitas dalam publikasinya. Etika yang digunakan dalam media sosial sebagai media baru adalah etika komunikasi sebagai implementasi perilaku manusia yang beradab dan meletakan kebebasan berpikir yang sehat dalam mengolah kalimat dan mempublikasikannya ke ruang publik yang dikonsumsi dari berbagai lapisan masyarakat tanpa ada batas ruang dari pola komunikasi yang bergulir satu dan yang lain diantara nitizen. Setidaknya para nitizen yang masuk dalam pusaran arus komunikasi di media sosial memiliki bentuk tanggungjawab moral dari komunikasi yang diolahnya untuk selanjutnya disebar dalam ruang publik. Ada pertimbangan yang seharusnya diperhatikan bagi pengguna media sosial dalam hal penggunaan etika komunikasi sekaligus melakukan penegakan etika komunikasi dalam arus lalu lintas komunikasi yang berkembang di media sosial itu. Para nitizen atau warga media sosial sebagai makhluk sosial yang memiliki kultur dalam kehidupannya dan dan sebagai bentuk membangun komunikasi yang sehat harus memahami bagaimana memanfaatkan penggunaan media tidak saja hanya menggunakan tetapi harus ada pemahaman tentang etika mengkomunikasikan maksud dan tujuan di ruang media sosial sebagai warga yang cerdas dalam berkomunikasi. Dengan kecerdasan itu kita tidak terjebak dalam permasalahan hukum akibat kesalahan berkomunikasi hingga menimbulkan persoalan dengan dan sesama pengguna media sosial, tetapi kita juga tidak terjebak dengan orang-orang yang memanfaatkan kemasifan media sosial untuk tujuan yang tidak baik. Kalau para pelaku pewarta di media mainstream memiliki tata aturan dalam etika membuat informasi diruang publik dan terikat secara tegas dengan etika komunikasi yang jelas tertera dalam ketentuan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik 2006, yang berbunyi :
214 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Di dalam media sosial yang terbuka tanpa batas itu, tak ada ketentuan aturan tertulis sebagai legalitas mengikat dan memiliki daya paksa bagi para warga media sosial, bila tak menegakan etika komunikasi dalam menyampaikan informasi bahkan melakukan percakapan di ruang media sosial itu. Hanya peringatan secara lisan dalam tulisan di media sosial dari para warga lain sesama penguna media sosial yang saling mengingatkan dan mengkoreksi, dan menyadarkan seseorang di dunia maya bila sedang melakukan penyimpangan komunikasi sekalipun berita itu adalah isi dari pengalaman hidupnya dan bahkan tempat mencurahkan perasaan hati. Daya paksa dalam menegakan etika komunikasi adalah ketentuan dari sesama pengguna media sosial tersebut, dan norma-norma dalam etika komunikasi didasari oleh kebiasaan dalam kehidupan nyata yang mewarnai pribadi dari para warga yang terbawa di ruang maya. Banyak memang para warga media sosial mulai mengelompokan diri dalam satu kelompok atau yang dinamakan group, dan disini biasanya ruang pribadi mereka berekspresi lepas menunjukan karakter diri pribadi. Maka tak salah Jean K. Min mengatakan “Komunikasi dalam media sosial merupakan percakapan yang akhirnya menjadi berita diantara sesama warga dalam dunia maya.”Jean K. Min, Direktur OhmyNews Internasional juga menegaskan bahwa khalayak di dunia maya (netter atau netizen) adalah konten yang paling nyata di ranah web. Itu berarti apa yang menjadi concern para netizen dalam berkomentar dan melemparkan gagasan merupakan berita itu sendiri (Jean K. Min, Jurnal Harvard University, Niemen Report Vol 59 No. 4 winter 2005). Para pekerja jurnalis profesional dilindungi oleh payung hukum normatif dalam code of ethics yang berfungsi tidak saja hanya untuk melindungi pers itu sendiri tapi juga untuk masyarakat bila pekerja jurnalis profesional itu tidak menggunakan etiket dalam karya jurnalistiknya. Seiring dengan ramainya media sosial yang penuh sesak dengan berbagai ekspresi itu dalam menyampaikan berita dari percakapan yang merupakan ruang interaksi antara sesama warga di ruang maya, mulai merumuskan etika berkomunikasi. Beberapa pelaku dalam dunia media sosial itu menyebutnya dengan netiquette atau netiket. Pola ini memang tidak khusus tetapi dapat menjadi pegangan para pengguna media sosial dalam berinteraksi yang sepatutnya menjaga etika berkomunikasi dalam berinteraksi sesama pengguna media sosial.
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 215
Netiket adalah etika berinternet, berasal dari dua kata yang dijadikan satu yakni networks dan etiquette, maka jadilah netiquette dan untuk mudahnya dibahasa indonesiakan menjadi netiket. Kata tersebut lahir dari kehadiran internet, artinya sebelum adanya internet kata tersebut memang tidak dikenal. Kata tersebut mengartikan perilaku sesuai etiket saat tersambung dengan jaringan internet, entah itu saat seseorang berinteraksi di forum mailing list, situs pertemanan, mikroblog maupun blog. Sejatinya memang ada etiket yang wajib dipegang oleh siapapun yang berada di jaringan internet saat mereka berinteraksi (Pepih Nugraha; Jakarta, 2012 : 116-117). Penerapan netiket prinsipnya sama menjalankan sopan santun atau etika berkomunikasi pada umumnya, hanya saja ranahnya di dunia maya, yaitu dalam memberikan komentar atau menanggapi penulisan, percakapan sebagai bentuk kebebasan berekspresi dalam ruang demokratisasi. Tetapi menggunakan kebebasan berekspresi ada ketentuan norma dalam kehidupan itu meski di ruang maya yaitu tetap menggunakan kalimat yang cerdas dalam mengekspresikan diri atas komentar dan percakapan, seperti halnya nyinyir, mendiskreditkan seseorang, bahkan sampai bahasa yang sarkatis, yang seharusnya dihindari karena melanggar ketentuan etika berperilaku termasuk dalam etika berkomunikasi. Berikut ini adalah pandangan dari Richard Craig dalam ketentuan netiket (Richard Craig, Online Journalism: Reporting, Writing and Editing for New Media: 2005): Ingatlah orang, taat kepada standar perilaku online yang sama yang kita jalani dalam kehidupan nyata, ketahuilah dimana kita berada di ruang cyber, hormati waktu dan bandwidth orang lain, buatlah diri kita kelihatan baik ber online, bagilah ilmu dan keahlian, menolong agar api peperangan tetap terkontrol, hormati privasi orang lain, jangan menyalahgunakan kekuasaan, dan maafkan bila orang lain melakukan kesalahan. Berkaitan dengan ketentuan di atas yang perlu juga diperhatikan oleh para pelaku internet dalam media sosial itu adalah menjauhi sikap provokasi dan sikap saling bermusuhan. Kedua sikap itu dikenal dalam istilah trolling dan flaming dalam arti negatif. Trolling diartikan seseorang yang mempostingkan tulisan atau pesan menghasut dan tidak relevan dengan topik yang dibicarakan di komunitas online seperti forum, chatting dan bahkan blog. Tujuannya adalah memprovokasi dan memancing emosi para pengguna internet lainnya agar jalannya diskusi yang tengah berlangsung menjadi kacau. Dalam dunia maya pelaku trolling disebut troller dalam dunia nyata dapat diartikan sebagai provocateur alias provokator. Sedangkan Flaming diartikan sebagai interaksi yang bermusuhan, memancing dengan kata – kata kasar dan bertujuan
216 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
memancing amarah dengan kata-kata yang tidak sepantasnya (Pepih Nugraha, Jakarta, 2012: 140). Etika Komunikasi adalah cerminan dari kepribadian seseorang, dalam menunjukan karakter dirinya dari mana mereka tumbuh dan berkembang dan lingkungan yang mempengaruhi perkembangan komunikasinya, maka sebaiknya dan sangat penting warga dunia maya cerdas dalam mengolah kepribadiannya untuk menegakan etika komunikasi sebagai pribadi yang memiliki keberadaban. 3. Netizen dan Komunikasi di Ruang Publik Menggunakan Media Sosial. Informasi meluber dalam ruang terbuka di media sosial, yang tak lagi dibatasi oleh kemampuan cakap atau tidak cakap seseorang dalam tata kelola komunikasi yang sehat dan tidak sehat. Informasi sebagai asupan berita bagi semua orang yang bertandang di ruang media sosial. Informasi ini tak lagi memandang batas siapa yang mengkonsumsi, dan informasi begitu mudahnya dipercaya oleh orang yang tak berbekal cukup penetahuan tentang informasi yang bergulir begitu cepat setiap hitungan waktu seketika yang terus berganti dengan berbagai informasi yang terbaru bahkan kecepatannya menjadikan setiap individu di yang berselancar di ruang media sosial tak lagi sempat meneliti kebenarannya. Terdapat berbagai kasus penyebaran informasi mengatasnamakan korps, organisasi bahkan sampai institusi tertentu, juga seorang pejabat ternama sampai presiden sekalipun dapat disimpangkan hanya dengan olahan kemudahan teknologi atas sebuah kepentingan. Teramat ironis bila kita harus mencermati perubahan perilaku setiap individu dalam Negeri yang bernama Indonesia yang dikenal dengan tingginya peradaban, kesantunan dalam tutur kata dalam perilaku yang dipuji oleh berbagai bangsa di dunia, kini telah tergeser atas nama sebuah perilaku kehidupan modern dalam era teknologi. Kehidupan yang semula sarat dengan nilai dan norma kehidupan beretika kini berubah berkesesuaian dengan pola perilaku baru yang menyesuaikan dengan tuntutan perilaku teknologi yang merubah pada perilaku manusia yang sejatinya lebih mulia karena menggunakan nurani dan budi pekertinya. Kesadaran warga dalam kemanfaatan teknologi yang dapat merubah perilaku masyarakat tidak terlepas dari Teori Determinisme Teknologi yang dikemukakan oleh Marshall McLuhan pertamakali dikemukakan pada tahun 1962, dalam tulisannya “The Guttenberg Galaxyt : The Making of Tipographic Man.” Ide dasar teori ini adalah bahwa perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi akan membentuk individu bagaimana cara berpikir,
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 217
berprilaku dalam masyarakat, dan teknologi juga akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi lainnya (Marshall McLuhan, 1962). Inti dari teori McLuhan yaitu determinisme teknologi, menyatakan penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itu yang sebenarnya mengubah kebudayaan manusia.McLuhan menegaskan bahwa eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan model komunikasi. Menurut penulis teori ini dapat dibuktikan dengan adanya percepatan perkembangan teknologi yang diresepsi setiap individu hingga terjadi perubahan perilaku komunikasi dan etikanya dalam kehidupan setiap pelaku komunikasi. McLuhan juga menegaskan bahwa media adalah eksistensi dari perpanjangan dari indrawi manusia (extention of man). Media hemat penulis merupakan wadah dalam melewati hidup menjadi lebih efisien, sekaligus memahami berbagai bentuk tafsiran kehidupan nyata yang dilewati setiap orang. McLuhan juga menyatakan “the medium is the massage”, dan Media adalah era massa. Saat ini telah terjadi peralihan era massa itu, yaitu terjadi peralihan dari masa konvensional ke era sosial atau kelompok sosial tertentu. Sejarah peradaban manusia sedang melewati situasi yang sangat teknological yaitu manusia berada dalam pusaran kehidupan era media sosial. Dilematis muncul seiring dengan percepatan kemajuan teknologi yang menyentuh kehidupan dasar manusia yaitu komunikasi dalam interaksi sosial pada kehidupan individu. Manusia sedang berada pada dominasi kekuatan teknologi yang beriring dengan penggunaan komunikasi yang diciptakan. Akhirnya yang terjadi teknologi yang diciptakan dalam ruang komunikasi justru mengontrol manusia, bukan sebaliknya seharusnya manusia menggunakan kekuatan teknologi komunikasi di ruang media sosial yang dikontrol oleh manusia.kenyataan ini dapat kita lihat dalam perilaku manusia di era media, dalam ruang seminar seorang pembicara seringkali diselingi dengan membuka telepon selularnya (hand phone). Sungguh ironis bahwa media sosial dengan segala kemajuan teknologi komunikasi yang seharusnya menjadikan kehidupan manusia lebih baik. Tapi kenyataan membawa pada bentuk perubahan perilaku manusia yang tak sesuai sebagaimana yang diharapkan, bahwa setiap individu dalam ruang media sosial sebagai warga internet (netizen) yang didominasi oleh media sosial dan teknologi komunikasi yang semakin pesat dalam perkembangannya. Kini media dan masyarakat telah berada dalam arus pergerakan media sosial dan perkembangannya menjadi kesatuan dalam kehidupan. Saling membutuhkan dan saling bergantung, informasi yang berkembang dari
218 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
peristiwa datang dari masyarakat demikian sebaliknya membutuhkan media untuk mendapatkan berbagai informasi.
masyarakat
Warga internet mengangkat informasi siruang publik yaitu media sosial dalam mengolahnya dengan menggunakan komunikasi sangat sederhana atau cenderung apa adanya. Dampak komunikasi seperti ini seringkail terlepas dari etika kehidupan pada umumnya, yang dikenal luas oleh masyarakat konvensional. Teknologi memang telah mengubah segalanya, karena teknologi memiliki kekuatan dan potensi untuk mengubah segala bentuk perilaku pengguna media sosial dalam berkomunikasi. Sadar atau tidak dalam eksistensi munculnya teknologi komunikasi yang menyentuh kehidupan warga internet diruang maya seperti nyata dalam aplikasinya, sebagaimana torehan kalimat yang di tulis pada status para warga media sosial. Ini menunjukan secara de fakto bahwa terjadi perubahan yang sangat fundamental dalam kehidupan manusia. Hal tersebut di atas menjadi alasan pembenar yang nyata bahwa internet sebagai media baru (new media) merupakan manifestasi dari media baru itu. Flew mengatakan “New media in the meaning those forms that combine the three Cs; computing and information technology (IT), communications networks, and digitised media and information content, arising out of another process beginning sith a C”, that of convergence (Flew, 2005, p. 2). Pernyataan flew mengenai media baru yang dikaitkan dengan konvergen adalah komunikasi yang terjadi adalah bentuk komunikasi yang diperantarai (mediated communication) , yang bergabung menjadi satu bentuk di dalamnya terdapat komunikasi dengan teknologi digital elektronik yang dijalankan oleh komputer dan difasilitasi dengan teknologi jaringan atau network (Pavlik, 1998, p. 134). Karakteristik new media yang memiliki nilai tambah adalah interaktivitas sebagai konsep utama dalam new media sebagaimana yang dikemukakan flew “interactivity is a central concept in understastanding new media, but different media form possess different degrees of interactivity and some forms of digitised and converged media are not in fact interactive at all” (Flew, 2005, p. 13). Interaktivitas dalam konteks new media menunjukan adanya kemampuan bagi para penggunanya untuk terlibat secara langsung dan mengubah gambar dan teks yang di akses. Warga internet yang menggunakan komunikasi di dalamnya adalah pengguna yang tergolong interaktif sebagaimana pernyataan pavlik bahwa interaktivitas pengguna new media bukan hanya menjadi viewer tapi juga user (Lister, Dovey, Giddings, 2003, p. 21).
Sri Ayu Astuti, Media Sosial Sebagai Ruang Publik 219
Berdasarkan interaktivitas tadi maka warga internet sebagai warga media sosial melakukan komunikasi di ruang media sosial tidak memiliki kendala dalam melakukan ekspresi komunikasinya di ruang publik media sosial itu. Warga dan beragam akitifitas, dapat terpantau dalam media sosial dalam mengelola pesan yang ditulis dalam akun miliknya. Pentingnya mengolah pengetahuan sebagai pencerdasan pengguna media kini perlu ditingkatkan. Kecerdasan koumunikasi pengguna media sosial sebagai warga media internet akan memberikan hasil perkembangan perilaku komunikasi pengguna internet atau warga internet dalam penyebaran informasi yang dibutuhkan para pengguna internet lainnya. Ruang publik adalah ranah semua orang dapat menggunakannya. Bila tak pandai mengelola komunikasi yang akan digunakan dalam ruang publik tak jarang akan menjadikan warga internet merugikan orang lain sesama warga pengguna internet yang berujung manjadi situasi yang kurang menyenangkan dan selalu ada permasalahan saling hujat dengan komunikasi yang tak seharusnya. Mulai menulis kalimat dalam ruang publik tersebut dengan sebuah pikiran yang jernih tak melibatkan emosi dan ego yang tidak terkontrol yang dapat menyebabkan kita terjebak dalam tulisan dan pandangan yang tidak menarik dengan sesama pengguna media sosial atau warga internet. Apalagi menanggapi isu publik yang sedang bergulir, disini berlaku ketentuan dalam ilmu hukum dikenal dengan Asas praduga tak bersalah dalam informasi yang ditulis, dengan demikian setiap warga akan terhindar dari jeratan permasalahan hukum.
SIMPULAN Media sosial sebagai media baru disebut sebagai pilar kelima demokrasi karena fungsi media keempat pilar demokrasi yang melekat pada media mainstream, dapat dilakukan oleh media sosial, bahkan media sosial tersebut mampu mengkritisi keberadan media mainstream yang selama ini tak pernah dilakukan oleh siapapun. Kebebasan berekspresi telah nyata mengusung keberadaa media sosial sebagai perangkat yang membawa perubahan dalam setiap orang terhadap perilaku komunikasinya. Namun dengan kemudahan yang ditawarkan oleh kemajuan teknologi dalam pengunaan media sosial untuk melakukan interaksi secara interaktif dalam media sosial yang difasilitasi oleh sistem komputer itu, tidak semua pengguna atau warga media sosial yang disebut sebagai netizen itu mampu menggunakan komunikasi yang beretika. Justru sebaliknya atas nama kebebasan berekspresi warga media sosial lupa akan adanya rambu-rambu manusia melakukan
220 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
komunikasi yang bermuatan etika. Bahwa sebenarnya media sosial sudah nyaris seperti kehidupan nyata, berkomunikasi tanpa pembatasan adanya jarak dan waktu, yang memberikan keterbatasan dalam penyampaian informasi dan mengkomunikasikannya seketika. Ruang publik dan komunikasi menjadi bagian dalam kegiatan warga media sosial dalam rangakaian kegiatan beragam aktivitas yang dilakukan setiap detiknya oleh para nitizen. Ruang publik adalah domain publik yang seharusnya dilakukan upaya prinsip kehati-hatian dalam melakukan aktivitas di media sosial yang saat ini nyaris sebagai kehdiupan nyata atau bahkan sebagai bayangan kehidupan nyata yang dilewati warga media sosial. Disini dituntut kecerdasan dalam mengolah kalimat untuk dikomunikasikan agar terhindar dari permasalahan dengan sesama warga dalam ruang media sosial yang dapat menjadi permsalahan hukum hingga berakhir menjadi bentuk pola komunikasi yang tidak sehat dan kurang pantas menunjukan kurang beradabnya pribadi warga media sosial dalam komunikasi yang berlangsung di media sosial itu.
DAFTAR RUJUKAN Abraham A, 2010. Tersesat di Dunia Maya Dampak Negatif Jejaring Media, Java Pustaka Media Utama, Jakarta. A. Sapto Anggoro, 2012. Detikcom Legenda Media Online, Buku Kita, Jakarta. Diah Wardhani, Afdal Makkuraga Putra, 2012.The Repotition of Communication in The Dynamic of Convergence, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Haryatmoko, 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Kanisius, Jogjakarta. Imam Suwandi, Langkah Otomoatis jadi Citizen Journalist, Dian Rakyat, Jakarta, 2010 Marshall McLuhan, dan Quentin Fiore, 1967. The Medium is the Massage, New York, Bantam. McQuail, D, 2000. MacQuail Mass Communication Theory (4th edition), London, Sage Publication. Pepih Nugraha, 2012. Citizen Journalism, Kompas, Jakarta. Pavplik, J, V, 2001. Journalism and New Media, New York, Columbia University Press. -------------, 2001. News Framming and New Media : Digital Tool to-Reengage an Alienated Citizenry, On S. D. Reese, Framing Publik Life; Perspective on Media and Our Understanding of the Social Media, London, Lawrence Erlbaum Association Publisher.