KORELASI ANTARA PATUNG RUANG PUBLIK DAN IDENTITAS BUDAYA MASYARAKAT PURWAKARTA Zendy Sundany Pemimbing :
1. Dr. Yustiono 2. Irma Damajanti, M.Sn.
Program Studi Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email:
[email protected] Kata Kunci: identitas budaya, patung, Purwakarta, seni ruang publik.
Abstrak Pembangunan patung ruang publik di Purwakarta sejak tahun 2008 menuai pro dan kontra. Satu pihak berpendapat pembangunan patung tidak sesuai dengan Kota Purwakarta yang religius. Sementara, di pihak lain berpendapat bahwa pembangunan ini merupakan usaha untuk memperkuat ciri atau karakter Kota Purwakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji simbol-simbol yang ada pada patung ruang publik dengan tujuan merumuskan korelasi dengan budaya Kota Purwakarta. Pendekatan keilmuan yang digunakan adalah metode kritik seni dari Feldman yang kemudian dilengkapi dengan teori ruang publik dari Stephen Carr,dkk, serta teori identitas budaya dari Stuart Hall. Metode pengumpulan data berupa observasi objek penelitian di lapangan dan studi kepustakaan, serta wawancara. Figur patung yang digunakan beragam namun dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu, tokoh pewayangan, tokoh sejarah, figur hewan, dan benda tradisi dan budaya. Sosok yang digambarkan berusaha untuk mengedepankan tradisi melalui unsur-unsur visualnya. Sebagian patung dibangun dengan merespons suatu kebutuhan sementara yang lain hanya mengisi ruang saja. Belum ada patung yang dapat benar-benar mewakili identitas budaya Purwakarta, namun Patung Prabu Kian Santang dianggap sebagai yang paling mendekati identitas budaya tersebut.
Abstract The construction of public sculptures since 2008 has raised controversies. One group believes that the construction of public sculptures contradicts religious nature of Purwakarta. Meanwhile, on the other side, another group believes that these public sculptures pose as an effort strengthen characteristic of Purwakarta. The purpose of this study is to understand the symbols used in the public sculptures and correlates them to Purwakarta’s own cultural identity. This study uses Feldman’s methods of art critic, complemented with Stephen Carr’s public space theory, and a theory of cultural identity by Stuart Hall. Data used in this study collected from field observation, literature studies, and interviews. Figure used in the sculptures varies but can be categorized into four main type; wayang characters, historical figures, animal figures, and traditional cultural items. Portrayed figures try to bring tradition as its basic premise through its visual elements. Some of the sculptures constructed to respond to its space while the others constructed only to fill empty space. None of these sculptures adequately represents Purwakarta’s cultural identity. On that note, Prabu Kian Santang sculpture is considered to be the closest to the ideals.
1. Pendahuluan Pemerintah Kabupaten Purwakarta mengadopsi pembangunan ruang publik sebagai salah satu kebijakan pariwisata. Pembangunan terutama terlihat dari pembangunan sejumlah patung ruang publik yang diikuti dengan pembangunan taman kota. Selain itu, gedung-gedung pemerintahan pun direnovasi sehingga memiliki ciri-ciri yang serupa. Kebijakan ini mendapat berbagai reaksi dalam masyarakat, terutama pembanguna patung ruang publik. Golongan ulama dan santri berpendapat bahwa pembangun patung tersebut tidak sesuai dengan Kota Purwakarta yang relijius. Mereka juga menambahkan pembangunan tersebut tidak bermanfaat dan hanya menghamburkan anggaran. Di lain pihak, golongan pemuda justru mendukung kebijakan tersebut. Mereka
berpendapat bahwa pembangunan patung ruang publik merupakan salah satu usaha untuk memperkuat ciri atau karakter budaya Purwakarta. Salah satu penyebabnya adalah tidak adanya rasa memiliki terhadap karya ruang publik. Karya-karya yang menghiasi wajah kota tersebut dianggap sesuatu yang asing dan bukan merupakan bagian dari identitas mereka. Identitas asing ini bagi sebagian masyarakat, terutama para ulama dan santri, menghimpit identitas mereka. Sementara dari kalangan pendukung menilai bahwa identitas asing ini dianggap akan memperkaya identitas kebudayaan mereka menuju identitas baru yang lebih baik. Perbedaan persepsi identitas ini sebenarnya bisa dijembatani apabila terdapat suatu identitas budaya yang mencakup Purwakarta secara umum, suatu identitas yang mewakili seluruh atau sebagian besar masyarakat Purwakarta. Tujuan dari penelitian adalah untuk megetahui nilai-nilai estetis yang terkandung dalam patung ruang publik terutama dalam kaitannya dengan identitas budaya Purwakarta. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu mengetahui peranan patung ruang publik tersebut terhadap pembangunan kota secara keseluruhan. Ruang lingkup penelitian adalah wilayah Kabupaten Purwakarta dengan member perhatian khusus pada Kota Purwakarta, di mana sebagian besar patung dibangun. Penelitian ini mengambil 6 sampel dari keseluruhan 15 patung yang dibangun, yaitu Patung Badak, Patung Kujang, dua Patung Arjuna, dan dua Patung Kian Santang. Pendekatan keilmuan yang digunakan adalah estetika melalui metode kritik seni yang mencakup deskripsi, analisis formal, dan intepretasi (Feldman, 1967:444). Metode ini kemudian dielaborasi dengan teori ruang publik berdasarkan poin responsif, demokratis, dan bermakna (Carr, dkk, 1992:19). Kemudian hasil dari elaborasi dikolerasikan dengan teori identitas budaya. Sedikitnya ada dua cara pandang terhadap identitas budaya, yaitu sebagai sesuatu yang absolut, sejati, esensial, dan sebagai sesuatu yang terus menerus berubah sesuai dengan posisinya (Hall. 1990:223). Sementara itu, data diperoleh melalui observasi objek penelitian di lapangan, kajian pustaka, serta wawancara.
2. Paparan Data Purwakarta dahulu bernama Sindang Kasih, sebuah pemukiman yang merupakan bagian dari wilayah Karawang (Hardjasasputra. 2004:26). Nama Sindang Kasih diganti menjadi Purwakarta ketika ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Karawang tahun 1831. Purwakarta sebagai kabupaten baru terbentuk pada masa Demokrasi Liberal (1950-1959) dengan beribukotakan Subang. Kabupaten Purwakarta yang dikenal sekarang baru terbentuk sekitar tahun 1968 ketika Kabupaten Subang didirikan dan terpisah dari Kabupaten Purwakarta. Ibukota Kabupaten Purwakarta pun berpindah menjadi di Kota Purwakarta. Jumlah total patung yang dibangun adalah 15 buah yang dijabarkan dalam tabel berikut:
Tabel 1. Daftar Patung Ruang Publik di Purwakarta. No
Nama
Lokasi
Kondisi Terakhir
1
Patung Badak
Pintu utama Situ Buleud
Baik
2
Patung Kujang
Alun-alun Kian Santang
Baik
3
Patung Arjuna
Persimpangan Jl. Jendral Sudirman
Termodifikasi
4
Patung Arjuna*
dekat Situ Wanayasa
Baik
5
Patung Bima
Jl. Terusan Ibrahim Singadilaga
Rusak
6
Patung Jaka Tawang
bagian tengah Situ Buleud
Baik
7
Patung Kreshna
Persimpangan Jl. R.E. Martadinata
Rusak
8
Patung Gatot Kaca
Persimpangan Jl. Jendral Ahmad Yani
Rusak
9
Patung Semar
Persimpangan Jl. Basuki Rahmat
Rusak
10
Patung Nakula
bagian depan Gedung Kembar
Baik
11
Patung Sadewa
bagian depan Gedung Kembar
Baik
12
Patung Ir. Soekarno
Persimpangan Jl. Veteran
Baik
13
Patung Antareja
Persimpangan Jl. Taman Makam Pahlawan
Baik
14
Patung Prabu Kian Santang
Pintu utama stasiun kota
Termodifikasi
15
Patung Kian Santang
sebelah timur Alun-alun Kian Santang
Baik
Keterangan : *) Patung dikenal dengan nama sama
Patung ruang publik yang dibangun tidak memiliki nama resmi dari Pemerintah Kabupaten Purwakarta selaku pihak otoritas dan hanya dikenal dari figur yang digambarkan. Lima belas patung tersebut dapat dibedakan menjadi empat kategori berdasarkan figur yang diwakilkannya. Kategori yang pertama adalah kategori tokoh pewayangan. Kategori ini mencakup sebagian besar patung ruang publik yang dibangun. Patung yang termasuk dalam kategori ini adalah: Patung Bima, kedua Patung Arjuna, Patung Jaka Tawang, Patung Kreshna, Patung Gatot Kaca, Patung Semar, Patung Nakula, Patung Sadewa, dan Patung Antareja. Kategori yang kedua adalah kategori tokoh sejarah. Patung yang termasuk dalam kategori ini adalah: Patung Ir. Soekarno dan dua Patung Kian Santang. Kategori yang ketiga adalah ketegori figur hewan. Patung yang termasuk ke dalam kategori ini hanyalah Patung Badak. Kategori keempat adalah kategori benda tradisi dan budaya. Patung yang termasuk kategori ini hanya satu, yaitu Patung Kujang.
3. Hasil Analisis Dalam sampel Patung Badak, figur yang digambarkan adalah badak jawa. Penggambaran badak jawa ini tidak berkaitan dengan usaha pelestarian hewan langka tersebut. Pengambilan badak sebagai figur lebih berkaitan dengan legenda asal-usul Situ Buleud, lokasi Patung Badak tersebut. Pembangunan patung tersebut juga berkaitan dengan pengembangan Situ Buleud sebagai lokasi wisata. Selain menjadi ikon lokasi wisata tersebut, pembangunan Patung Badak juga berfungsi menjadi poros persimpangan yang menegaskan lintasan laju kendaraan.
Gambar 1. Patung Badak
Gambar 2. Gerbang Situ Buleud Unsur-unsur yang ditemukan dalam Patung Kujang berisikan simbol-simbol tradisional. Contohnya adalah bilah kujang dan kelopak melati, serta pedestal yang menyerupai punden berundak. Selain itu Patung ini pun memiliki empat bentuk mahkota yang mengelilingi bentuk utama kujang. Patung Kujang adalah satu-satunya patung yang memiliki penjelasan resmi dari pihak otoritas. Akan tetapi penjelasan tersebut lebih cenderung digunakan untuk mengasosiasikan simbol pada patung dengan pemerintah yang berkuasa dibandingkan dengan kebudayaan masyarakat Purwakarta. Pembangunan Patung Kujang beserta taman memberi nilai rekreatif pada lokasinya yaitu Alun-alun Kian Santang. Lokasinya yang semula hanya digunakan untuk upacara, kini terbuka untuk rekreasi.
Gambar 3. Patung Kujang Patung Arjuna diambil sebagai sampel dari kategori tokoh pewayangan. Meskipun dibangun di dua lokasi berbeda, secara visual kedua Patung Arjuna relatif sama. Patung menggambarkan sosok Arjuna yang memegang dan merentangkan busur panah. Keduanya berwarna hitamd an putih namun berbeda variasi detailnya. Seperti halnya patung-patung tokoh pewayangan lainnya, Patung Arjuna mengenakan kain yang memiliki motif menyerupai papan catur, atau yang juga dikenal dengan istilah poleng. Sosok Arjuna dikenal sebagai simbol raja yang sempurna dan sering digunakan sebagai
pengukuh kekuasaan raja pada masa kerajaan Hindu di Pulau Jawa (Miksic, 1996:139). Penggunaan sosok Arjuna mengindikasikan adanya usaha pengukuhan kewenangan pemerintah selaku pemrakarsa.
Gambar 4. Patung Arjuna Patung Kian Santang digambarkan dalam dua patung yang menggambarkan dua tahap kehidupannya, yaitu sebagai bagian dari Kerajaan Pajajaran dan sebagai penyebar agama Islam. Motif poleng terlihat pada Patung Kian Santang yang mewakili unsur Kerajaan Pajajaran. Motif poleng lebih identik dengan kebudayaan Bali daripada Purwakarta sehingga penggunaannya dianggap tidak tepat. Patung Prabu Kian Santang yang mewakili sosoknya sebagai penyebar agama Islam digambarkan memegang tasbih yang mengacu pada kata tasbéh (tasbih dalam Bahasa Sunda). Tasbéh adalah motto kota Purwakarta berupa akronim dari tertib, aman, sehat, bersih, elok, hidup. Patung ini mengalami perubahan warna dari seluruhnya berwarna putih menjadi berwarna hitam pada beberapa detail. Selain itu, masyarakat setempat mempercayai tokoh Kian Santang sebagai pendiri Kota Purwakarta.
Gambar 5. Patung Prabu Kian Santang
Gambar 6. Detail Perubahan Patung Prabu Kian Santang
4. Penutup Patung-patung ruang publik di Purwakarta mengutamakan sosok yang digambarkan daripada kualitas visual secara intrinsik. Komposisi unsur visual dan ekspresi yang dibawa kurang diperhitungkan apabila dibandingkan dengan penafsiran sosok yang digambarkan. Patung ruang publik ini memiliki dampak lain di luar seni rupa, dalam hal ini persoalan identitas budaya. Sebagian besar patung memang dibangun bersamaan dengan perombakan ruang publiknya untuk merespon suatu kebutuhan tertentu, terutama perbaikan akses. Akan tetapi terdapat pula patung yang sebetulnya tidak merespon kebutuhan tertentu pada ruang publik tempatnya dibangun. Akses terhadap patung ruang publik di Purwakarta sejatinya tidak dibatasi, dalam artian siapapun dapat mengamati dan mengapresiasi karya tersebut. Akan tetapi, terdapat batas semu yang diciptakan oleh frekuensi publik yang mengakses ruang yang dimaksud. Tidak semua patung berada di lokasi yang umum dikunjungi oleh semua kalangan masyarakat.
Penggambaran sosok pada sebagian besar patung ruang publik di Purwakarta memang menekankan simbolsimbol tradisi dalam bentuk yang digambarkannya. Akan tetapi, simbol-simbol tersebut belum ada yang mampu mewakili identitas budaya Purwakarta. Tradisi yang dimaksud bertitik berat pada kebudayaan masa Kerajaan Hindu-Buddha dan mengabaikan perubahan budaya yang terus terjadi dari masa ke masa. Patung yang paling dekat dengan identitas budaya Purwakarta adalah Patung Prabu Kian Santang. Meskipun demikian, patung tersebut belum ideal sebagai perwakilan dari identitas budaya Purwakarta
Lebih jauh lagi, penggunaan motif poleng justru bertentangan dengan identitas budaya Purwakarta. Motif poleng dapat dikatakan sebagai identitas yang berasal dari Bali. Penggunaannya bukan hanya mengabaikan persepsi identitas lokal tetapi juga memaksakan identitas budaya daerah lain pada Purwakarta
Ucapan Terima Kasih Artikel ini didasarkan kepada catatan penelitian dalam MK Tugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Dr. Yustiono dan Irma Damajanti,M.Sn.
Daftar Pustaka Carr, Stephen, dkk. 1992. Public Space. Cambridge, Cambridge University Press. Feldman, Edmund Burke. 1967. Art As Image And Idea. New Jersey,Prentice Hall. Hall, Stuart. 1990. “Cultural Identity and Diaspora”, dalam Rutherford, Jonathan (ed). Identity: Community, Culture, Difference. London, Lawrence & Wishart. Hardjasaputra, A. Sobana (2004): Sejarah Purwakarta. Purwakarta, Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Purwakarta. Miksic, John (ed). 1996. Indonesian Heritage: Ancient History. Singapore, Grolier International, Inc.