BAB 1
PEMBENTUKAN KELOMPOK SOSIAL
Kompetensi Dasar: 3.1 Memahami tinjauan Sosiologi dalam mengkaji pengelompokan sosial dalam masyarakat 4.1 Melakukan kajian, pengamatan dan diskusi tentang pengelompokan sosial dengan menggunakan tinjauan Sosiologi
1.
Pendahuluan
Kehidupan manusia jelas berciri sosial. Kecuali dalam contoh-contoh yang terbilang langka, manusia menjalani hidupnya di dalam kebersamaan dengan sesamanya, dan bahkan dalam kesendirian sekalipun ia membawa kenangan dan imajinasi tentang orang-orang lain yang mempengaruhi pikiran dan tindakannya (Ritzer, 2013, halaman 233). Singkatnya, manusia itu hidup bersama manusia lainnya membentuk kelompok. Kelompok merupakan inti dari kehidupan dalam masyarakat (Henslin, 2006, halaman 120). Hampir setiap aktivitas individu anggota masyarakat dilakukan dalam kelompok. Bahkan, bagi banyak orang, terputusnya hubungan dengan seluruh jaringan kelompok secara total bermakna sama dengan sebuah hukuman mati. Kita menjadi “diri kita” melalui keanggotaan kita dalam kelompok. Cara berfikir, cara berperasaan, dan cara bertindak yang akhirnya menjadi identitas kepribadian kita, dibentuk melalui kelompok, atau tepatnya berbagai kelompok di mana kita menjadi anggotanya, atau kelompok yang kita jadikan rujukan. 2.
Klarifikasi Istilah Kelompok
Dalam kajian ini, yang paling pertama kita lakukan adalah mengklarifikasi istilah kelompok. Dalam pengetian sehari-hari (amic view) kita menggunakan istilah kelompok untuk banyak hal yang dalam studi sosiologi belum tentu memenuhi syarat untuk disebut kelompok. Dengan kata lain, dalam konsep sosiologi (ethic view), tidak semua agregasi atau pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok. Istilah kelompok pun memiliki makna yang bermacam-macam. Horton dan Hunt paling tidak mengemukakan empat macam pengertian kelompok. Pertama, kelompok sebagai setiap kumpulan manusia secara fisik, misalnya sekelompok orang yang sedang menunggu [bus, lampu hijau traffic light menyala, dibukanya loket, dan sebagainya]. Dalam pengertian demikian, kelompok itu tidak memiliki ikatan kebersamaan apa-apa, kecuali jarak fisik yang dekat. Banyak ahli sosiologi menyebut kumpulan yang demikian sebagai agregasi atau kolektivitas. Pengertian yang kedua, kelompok adalah sejumlah orang yang memiliki persamaan ciri-ciri tertentu. Misalnya kaum pria, kaum lanjut usia, anak-anak balita, para jutawan, para perokok, pengguna facebook, dan sebagainya. Istilah yang tepat –menurut Horton dan Hunt—untuk yang demikian ini sebenarnya adalah kategori saja, bukan kelompok. Pengertian ketiga, kelompok merupakan sejumlah orang yang memiliki pola interaksi yang terorganisasi dan terjadi secara berulang-ulang. Batasan ini tidak mencakup segenap pertemuan yang terjadi secara kebetulan dan bersifat sementara, misalnya antrean orangorang yang membeli tiket menonton pertandingan sepak bola atau pertunjukan musik.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
1
Termasuk dalam pengertian yang ketiga ini adalah keluarga, klik persahabatan, klub sepakbola, organisasi remaja masjid, organisasi pemuda gereja, persatuan wartawan, dan sebagainya. Pengertian keempat (Horton dan Hunt cenderung menggunakan ini), kelompok adalah setiap kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Dengan menggunakan definisi ini, maka dua orang atau lebih yang berada di suatu tempat dan sedang menunggu bus tidak dapat disebut sebagai kelompok. Namun, jika mereka kemudian mengadakan percakapan, atau interaksi dalam bentuk apapun, termasuk berkelahi, maka kumpulan orang itu berubah menjadi kelompok. Sebuah ilustrasi. Sebuah bus yang penuh dengan penumpang; apakah menjadikan kumpulan penumpang dalam bus tersebut sebagai kelompok? Bayangkan apabila kemudian para penumpang bus itu mengalami ancaman, misalnya ada seorang pembajak di antaranya? Atau kemudian di antara pemuda dan pemudi yang merupakan bagian dari penumpang itu mulai saling tertarik dan kemudian berinteraksi? Renungkan, mungkinkah orang-orang dalam bus itu akhirnya menjadi kelompok? Kriteria Kelompok Robert Biersted seperti dikutip oleh Kamanto Soenarto dalam bukunya Pengantar Sosiologi, mengemukakan tiga kriteria untuk menganalisis kelompok, yaitu: (1) ada atau tidaknya kesadaran bahwa mereka memiliki jenis atau karakteristik yang sama, (2) ada atau tidaknya interaksi di antara orang-orang di dalamnya, dan (3) ada atau tidaknya organisasi atau ketentuan-ketentuan formal yang mengatur aktivitas-aktivitas dalam kelompok, misalnya tentang rekruitmen anggota, dan proses-proses yang lainnya. Berdasarkan analisis menggunakan tiga kriteria tersebut dalam masyarakat dikenal beberapa jenis atau macam kelompok, yaitu: (1) asosiasi, (2) kelompok sosial, (3) kelompok kemasyarakatan, dan (4) kelompok statisik. Asosiasi Asosiasi merupakan kelompok yang memenuhi tiga kriteria Biersted tersebut. Suatu asosiasi atau organisasi formal terdiri atas orang-orang yang memiliki kesadaran akan kesamaan jenis, ada hubungan sosial di antara warga kelompok dan organisasi. Kelompok sosial (Social Groups) Kelompok yang para anggotanya memiliki kesadaran akan kesamaan jenis serta hubungan sosial di antara warganya, tetapi tidak mengenal organisasi, oleh Biersted disebut sebagai kelompok sosial. Kelompok kemasyarakatan (Societal Groups) Kelompok kemasyarakatan merupakan kelompok yang berisi orang-orang yang memiliki kesadaran jenis saja, tidak ada hubungan sosial di antara orang-orang tersebut maupun organisasi, disebut sebagai kelompok kemasyarakatan (societal groups). Misalnya kelompok laki-laki, kelompok perempuan. Orang sadar sebagai “sesama laki-laki” atau “sesama perempuan”, namun tidak ada organisasi ataupun komunikasi di antara mereka. Kelompok statistik Bentuk terakhir dari kelompok adalah kategori atau kelompok statistik, yaitu kelompok yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kesamaan jenis (misalnya jenis kelamin, umur, pekerjaan, dan sebagainya), tetapi tidak memiliki satu pun dari tiga kriteria kelompok menurut Biersted. Sebenarnya kelompok statistik bukanlah “kelompok”, sebab tidak memiliki tiga ciri tersebut. Kelompok statistik hanyalah orang-orang yang memiliki kategori statistik sama, misalnya kelompok umur (0-5 tahun, 6-10 tahun, dst.) yang dipakai dalam data penduduk Biro Pusat Statistik. Dalam kelompok ini sama sekali tidak ada organisasi, tidak ada hubungan antar-anggota, dan tidak ada kesadararan jenis.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
2
3. Mengapa manusia berkelompok? Pada pembahasan terdahulu telah dibicarakan bahwa manusia tidak seperti binatang yang dapat hidup mengandalkan naluri atau instinknya. Agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, manusia harus belajar dan menggunakan kemampuan berfikirnya. Hampir semua kebutuhan hidup manusia tidak dapat dipenuhi tanpa kehadiran atau keterlibatan orang lain. Karena itulah, manusia hidup dalam kelompok. Sebelum lebih lebih lanjut tentang macam-macam kelompok, berikut ini akan dikemukakan beberapa dasar pembentukan kelompok, yaitu a. Teritorial (wilayah geografik): misalnya komunitas/masyarakat setempat: RT/RW. Desa, Kab/Kota, Provinsi, dan Negara Bagian, Negara), b. Hubungan darah/keturunan (geneaologis): misalnya keluarga inti, keluarga luas/trah, klan/marga, dan sebagainya, dan c. Kepentingan atau dapat juga minat, perhatian, keyakinan, atau ideologi yang sama (semuanya dapat disbeut sebagai interest): sekolah, kelompok arisan, kelompok profesi, kelompok politik, ekonomi, pemerhati budaya, dan sebagainya. 4. Macam-macam Kelompok Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya, agaknya dapat diambil beberapa poin penting sebagai syarat-syarat suatu pengumpulan manusia dapat disebut sebagai kelompok, yaitu a. Setiap individu harus merupakan bagian dari kesatuan sosial, b. terdapat hubungan timbal-balik di antara individu-individu yang tergabung dalam kelompok, c. adanya faktor-faktor yang sama dan dapat memperat hubungan mereka yang tergabung dalam kelompok, seperti nasib yang sama, kepentingan yang sama, tujuan yang sama, tempat tinggal yang sama, dan sebagainya, d. memiliki struktur atau kaidah, sehingga memiliki pola yang teratur tentang perilaku, dan e. bersistem dan berproses. Kelompok yang paling sederhana mungkin adalah keluarga. Atau mungkin sebuah dyadic group (kelompok diadik/dua-an), misalnya orang yang berpacaran. Orang-orang dalam suatu keluarga ataupun orang-orang yang berpacaran merupakan kelompok yang hampir setiap orang memiliki atau mengalaminya. Dalam kelompok yang disebut keluarga, atau orang yang berpacaran, memenuhi persyaratan untuk disebut kelompok, seperti disebut di depan. Macam kelompok dalam keluarga, mulai dari keluarga inti/batih, keluarga luas: bisa trah dalam masyarakat bilateral (menganut perhitungan garis keturunan dari ayah dan ibu), atau klen (semacam trah dalam masyarakat yang menganut sistem unilineal, patrilineal atau matrileneal, kadang disebut marga). Untuk keluarga inti atau batih, pada umumnya masih dapat memenuhi lima syarat tersebut, tetapi kalau keluarga luas, trah atau klen/marga, dapat jadi sudah sekedar memiliki ciri yang sama, yang terkadang juga tidak disadari. 4.1 Kelompok dalam Klasifikasi Merton Robert K. Merton menjelaskan kelompok sebagai a number of people who interact with another in accord with established patterns (sekelompok orang yang saling berinteraksi sesuai dengan pola yang telah mapan). Kelompok tidak sama dengan kolektiva (collectivities), yaitu sejumlah orang yang mempunyai solidaritas atas dasar nilai bersama yang dimiliki serta adanya rasa kewajiban moral untuk menjalankan peran yang diharapkan. —Kelompok tidak sama dengan kategori sosial (social
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
3
categories), himpunan peran yang mempunyai ciri sama, misalnya jenis kelamin atau usia. Dalam kategori sosial tidak terdapat interaksi. 4.2 Kelompok dalam Klasifikasi Emmile Durkheim Durkheim membedakan antara kelompok yang menganut solidaritas mekanik dan kelompok yang menganutsolidaritas organik. — Solidaritas mekanik merupakan ciri pada masyarakat yang masih sederhana di mana masing-masing anggota dapat menjalankan peran yang dilakukan oleh orang lain (difusseness: bersifat umum dan serba meliputi), sehingga tidak ada spesialisasi atau pembagian kerja. — Solidaritas organik merupakan ciri pada masyarakat modern/industri/kota/kompleks di mana masing-masing anggota memiliki fungsi dan peran yang khusus dalam hal tertentu saja. Dalam solidaritas organik terdapat kesalingtergantungan antar-bagian/anggota dalam kelompok. 4.3 Klasifikasi Ferdinan Tönnies Tönnies membedakan antara “Gemeinschaft” dengan Gesellschaft”. Gemeinschaft merupakan hubungan-hubungan yang all intimate, private, and exclusive living together … is understood as life in Gemainschaft (community). Terdapat 3 macam Gemainschaft: (1) by blood, (2) of place, dan (3) of mind. Gesselschaft (society) is public life, bersifat sementara (kontraktual), berdasarkan kepentingan tertentu, dan bersifat semu. Tönnies juga menggunakan istilah kelompok mekanik dan organik, tetapi dengan makna yang berbeda dari Durkheim. Bagi Tönnies, gemainschat merupakan kelompok organik, sedangkan gesselschaft merupakan kelompok mekanik. 4.4 Klasifikasi Charles Horton Colley Colley menjelaskan tentang primary group (kelompok primer), yaitu kelompok yang ditandai oleh pergaulan dan kerjasama face to face (tatap muka) yang intim (menjamin kesejahteraan emosional). Contohnya: keluarga, teman bermain pada anak kecil, geng, rukun warga serta komunitas pada orang dewasa. Kondisi fisik kelompok primer: (1) tidak cukup hanya hubungan saling mengenal saja, akan tetapi yang terpenting adalah bahwa anggota-anggotanya secara fisik harus berdekatan, (2) jumlah anggotanya harus kecil, sehingga mereka dapat saling kenal dan saling tatapmuka, (3) hubungan di antara anggota-anggotanya relatif permanen. Sifat-sifat hubungan primer: (1) kesamaan tujuan, masing-masing anggota mempunyai tujuan dan sikap yang sama, sehingga masing-masing rela berkorban untuk kepentingan anggota kelompok lainnya, (2) hubungan primer bersifat sukarela, sehingga pihak-pihak yang bersangkutan merasa tidak ada tekanan-tekanan melainkan kebebasan, (3) hubungan primer melekat pada kepribadian orang, sehingga tidak dapat digantikan oleh yang lain, dan hubungan berlangsung di segenap aspek kepribadian, termasuk perasaan. Kelompok sekunder lebih besar daripada kelompok primer, lebih bersifat anonim, lebih formal, dan lebih tidak mempribadi (personal). Pada umumya kelompok sekunder didasarkan pada kepentingan, dan berinteraksi atas dasar status sepesifik, misalnya kelompok berdasarkan profesi, partai politik, organisasi siswa, organisasi mahasiswa, dll. Berbagai cara orang memperoleh pendidikan, mencari nafkah, dan menggunakan uang atau waktu luang cenderung melibatkan kelompok sekunder. Walaupun demikian, kelompok primer juga sering dijumpai dalam kelompok sekunder. Meskipun kelompok sekunder penting bagi kehidupan masa kini kita, tetapi kelompok sekunder sering gagal dalam memberikan kesejahteraan emosional (terkait kebutuhan akan ikatan-ikatan intim/perasaan). Oleh karena itu, kelompok sekunder cenderung terbagi-bagi
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
4
ke dalam kelompok primer. Maka: di sekolah dan di tempat kerja orang-orang menjalin persahabatan. 4.5 Klasifikasi Sumner: ingroup dan outgroup Sumner menyatakan bahwa di antara anggota INGROUP dijumpai persahabatan, kerjasama, keteraturan, dan kedamaian. Istilah lain: fraksi intern, qliques/klik. Sedangkan terhadap OUTGROUP dijumpai adanya antogonisme, berupa kebencian, permusuhan, bahkan perampokan, pembunuhan, ataupun perang. 4.6 Robert K Merton: kelompok membership dan reference. Membership group: merupakan kelompok di mana seseorang secara fifik tercatat sebagai anggota. Reference group/ kelompok acuan merupakan kelompok yang menjadi ukuran (acuan) bagi seseorang yang bukan anggota kelompok untuk membentuk pribadi dan perilakuannya. Seorang anggota partai politik tertentu yang perolehan suara dalam pemilu memenuhi untuk menjadi anggota DPR, akhirnya menjadi anggota DPR. Secara fisik ia tercatat sebagai anggota DPR, sehingga DPR merupakan membership group baginya. Tetapi rujukan perilaku, bahkan jiwa dan pikirannya tetap terikat oleh partai, maka PARPOL di mana ia berasal merupakan reference group baginya. Robert K Merton, membedakan dua macam reference group (1) tipe normatif (normative), dan (2) tipe perbadingan (comparison). Tipe normatif merupakan sumber nilai, dan tipe perbandingan merupakan rujukan untuk memberikan status kepada seseorang/kelompok. 4.7 Klasifikasi Weber: Kelompok formal dan informal Kelompok formal, atau biasanya disebut sebagai perkumpulan formal atau asosiasi merupakan kelompok yang memiliki struktur organisasi dan tata cara tertulis untuk mengatur aktivitas para anggotanya, misalnya bagaimana rekrutmen anggota harus dilakukan, hak dan kewajiban anggota, prosedur operasi standard, dan sebagainya, yang semuanya dimaksudkan untuk tercapainya tujuan kelompok secara efektif dan efisien. Contohnya adalah sebuah birokrasi, yang ciri-cirinya antara lain a. Tugas-tugas organisasi didistribusikan dalam beberapa posisi yang merupakan tugastugas jabatan b. Tanggung jawab dan posisi dalam organisasi merupakan bagian dari hirarkhi struktur wewenang, bisasanya berbentuk piramida c. Memiliki mekanisme atau prosedur pengambilan keputusan dan pelaksanaannya d. Memiliki staf administrasi yang memelihara organisasi khususnya keteraturan komunikasi dengan dokumen tertulis e. Bersifat impersonal f. Bersifat kedinasan g. Jenjang karier h. berkesinambungan Sedangkan kelompok informal tidak memiliki struktur organisasi tertentu, walaupun dalam praktiknya dapat memiliki pemimpin, dan bersifat personal. Anggota kelompok saling mengenal secara pribadi. Biasanya terbentuk karena pertemuan-pertemuan yang berulang, yang fungsinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial seperti berkawan/persahabatan, kasih-sayang, perhatian, tetapi juga dapat berfungsi untuk pembinaan dan pendidikan atau sosialisasi. Suatu gejala yang menarik adalah adanya keterkaitan antara KELOMPOK FORMAL dengan INFORMAL, bahwa dalam KELOMPOK FORMAL dapat terbentuk KELOMPOK INFORMAL, dan nilai serta aturan kelompok informal dapat bertentangan dengan kelompok formal.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
5
4.8 Kelompok Tidak Teratur Beberapa kelompok tidak teratur dapat disebut di sini: kerumunan (crowd), massa, dan public. Beberapa yang lain mungkin jejaring sosial (social networks). 4.8.1 Kerumunan (crowd) Kerumunan (crowd) merupakan bentuk kelompok teratur, dengan ciri-ciri: a. Ukuran utama kerumunan adalah kehadiran orang secara fisik (berkumpul pada range sejauh mata melihat dan telinga mendengar) b. Tidak terorganisasi, tetapi dapat mempunyai pemimpin c. Identitas seseorang tenggelam dalam kerumunan d. Sifatnya spontan dan sementara, kerumunan akan bubar dengan perginya orangorang dari kerumunan e. Tidak memiliki alat pengendalian sosial, norma yang berlaku besifat permukan Tipe-tipe kerumunan a. Khalayak penonton (pendengar formal/formal audience) Kerumunan demikian mempunyai perhatian dan tujuan yang sama, misalnya penonton bioskop, pengunjung khotbah agama, dsb. b. Kelompok ekspresif yang direncanakan (planned expressive group) Kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang mempunyai tujuan sama tetapi pusat perhatiannya berbeda-beda, misalnya kerumunan orang-orang yang berpesta c. Kumpulan orang yang kurang menyenangkan (inconvinent aggregations) Dalam kerumunan semacam ini kehadiran orang lain merupakan halangan bagi seseorang dalam mencapai tujuan. Misalnya: antre tiket, kerumunan penumpang bus, dst. d. Kumpulan orang-orang yang panik (panic crowd) Ialah kerumunan yang terdiri atas orang-orang yang menghindari bencana/ancaman. Misalnya pengungsi e. Kerumunan penonton (spectator crowd) Yaitu kerumunan orang-orang yang ingin melihat sesuatu atau peristiwa tertentu. Kerumunan semacam ini hampir sama dengan formal audience, tetapi tidak terencana f. Lawless crowd Yaitu kerumunan orang-orang yang berlawanan dengan hukum, misalnya: acting mobs, yakni kerumunan orang-orang yang bermaksud mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik. Contoh lain: immoralcrowd, seperti formal audience, tetapi bersifat menyimpang. 4.8.2 Massa Massa merupakan kelompok tidak teratur yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan kerumunan, tetapi terbentuknya disengaja atau direncanakan dengan persiapan (tidak spontan). Misalnya aksi protes/demontrasi, orang-orang yang mengikuti kegiatan tertentu, seperti sepeda gembira 4.8.3 Publik Publik merupakan kelompok yang tidak merupakan kesatuan. Interaksi terjadi tidak langsung melainkan melalui alat-alat komunikasi, seperti radio, televisi, internet, film, dsb. Alat-alat komunikasi menjadikan publik sebagai kelompok semu yang sangat besar, meskipun tidak merupakan kesatuan. Dasar ikatan publik dapat berupa nilai-nilai sosial atau tradisi tertentu 4.8.4 Jejaring social (social networks)
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
6
Jika Anda adalah anggota dari sebuah kelompok besar, mungkin akan menjalin hubungan yang teratur dengan “beberapa orang “ dari kelompok tersebut. Kaitan antara orang-orang dengan orang-orang dalam klik mereka, keluarga, teman, kenalan, termasuk juga “temannya teman”, dalam studi sosiologi disebut social networks (jejaring sosial). Suatu jejaring sosial dapat dibayangkan dengan garis-garis yang menjulur keluar dari diri Anda, yang secara bertahap semakin mencakup banyak orang. Para perwira intelejen AS menggunakan analisis social networks untuk penangkapan Sadam Hussein. Perwira-perwira itu menyusun “people map”, dengan foto SH di pusat sasaran dan foto-foto orang dekat SH di sekitarnya, ada yang di lingkaran dalam (intim) dan luar. Informasi keberadaan SH diperoleh dari orang-orang yang berada di luar lingkaran intim, karena orang-orang di dalam lingkaran intim akan menyimpan rahasia. 4.9
Komunitas = Masyarakat Setempat
Komunitas memiliki sejarah perdebatan yang panjang dalam sosiologi. Pada kehidupan sehari-hari, konsep komunitas digunakan untuk menyatakan ide mengenai pengalaman umum dan kepentingan bersama. Sekarang ini, pengertian popular dari komunitas meninggalkan pengertian tradisionalnya yang terkait dengan lokalitas dan lingkungan bersama, tetapi juga ide-ide solidaritas dan hubungan antara orang-orang yang memiliki karakteristik sosial dan identitas yang sama, misalnya komunitas kulit hitam, atau bahkan komunitas waria atau gay. Dalam pengertian aslinya, komunitas merupakan bagian masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah (geografik) dengan batas-batas tertentu dengan faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar di antara anggota-anggotanya daripada interaksi mereka dengan orang-orang dari luar wilayah (Robert mciver dan Charles Horton Page) Satuan sosial yang disebut komunitas memiliki dua dasar utama, yaitu: (1) Lokalitas: satuan wilayah (geografik), dan (2) Community sentiment: perasaan saling dekat engan orang-orang yang sekomunitas. Lokalitas menunjuk pada wilayah dalam arti geografik, bahwa interaksi di antara para anggota-anggotanya cenderung lebih besar dan intensif dengan orang-orang yang berada dalam wilayahnya daripada dengan orang-orang yang berada di luar wilayahnya. Sedangkan, community sentiment menunjuk pada adanya perasaan sekomunitas yang unsur-unsurnya, adalah (1) seperasaaan, unsur ini muncul akibat dari warga komunitas mengidentifikasikan dirinya dengan sebanyak mungkin orang yang ada di dalam komunitas, sehingga muncul kelompok kami dan perasaan kami yang pada giliran berikutnya memunculkan altruisme, kepentingan-kepentingan diri diselaraskan dengan kepentingan komunitas), (2) Sepenanggungan, setiap individu sadar akan perannya dalam kelompok, dan (3) Saling memerlukan, bahwa individu satu memerlukan individu lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Sebagai mana telah dikemukakan di depan, bahwa penggunaan istilah komunitas dalam masyarakat berkembang menjadi tidak hanya untuk satuan sosial dengan kategori utama kesatuan wilayah, tetapi juga kesukaan (hobi), minat dan perhatian yang sama, dll. Faktor utamanya: hubungan yang lebih dekat/interaksi yang lebih besar di antara para anggotaanggotanya 4.10 Kelompok Formal (Asosiasi) Terakhir akan disampaikan tekanan pengertian tentang kelompok formal atau asosiasi, agar para siswa mudah membedakannya dengan kelompok sosial.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
7
Kelompok Sosial
Perkumpulan (asosiasi)
1. Kelompok primer
Perkumpulan sekunder
2. Gemainschaft
Gesellschaft
3. Hubungan familistik
Hubungan kontraktual
4. Dasar organisasi adat
Dasar organisasi buatan
5. Pimpinan berdasarkan kewibawaan/charisma
Pimpinan berdasarkan wewenang dan hukum
6. Hubungan berasas perorangan
Hubungan berasas guna/kepentingan dan anonim
Robert M.Z. Lawang mengemukakan ciri-ciri organisasi formal (asosiasi) sebagai berikut: (1) (2) (3) (4) (5)
bersifat persistent (tetap/terus menerus), memiliki identitas kolektif yang tegas, memiliki daftar anggota yang rinci, memiliki program kegiatan yang terus menerus, dan memiliki prosedur keanggotaan.
Rujukan: 1. Agus Santosa. 2010. Seri Bimbingan Belajar: Sukses Ujian Sosiologi. Bogor: PT Yudhistira 2. George Ritzer. 2013. Sosiologi (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 3. Henslin, James M. 2006. Sosiologi Dengan Pendekatan Membumi Edisi 6. Jakarta: Penerbit Erlangga. 4. Horton, Paul B, dan Hunt Chester L. 1984. Sosiologi Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga. 5. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed). 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua. Jakarta: Prenada Media Group. 6. Kamanto Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yasayan penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 7. Soerjono Soekanto. 1987. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Revisi 1987. Jakarta: Rajawali Pers.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
8
BAB 2
PERMASALAHAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT
Kompetensi Dasar: 3.2 Mengidentifikasi berbagai permasalahan sosial yang muncul dalam masyarakat 4.2 Melakukan kajian, pengamatan dan diskusi mengenai permasalahan sosial yang muncul di masyarakat
1. Definisi atau Batasan Sosiologis mengenai Permasalahan Sosial Sama dengan gejala-gejala sosial lainnya, permasalahan sosial merupakan gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya interaksi sosial di antara para warga masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhan atau kepentingan dalam hidupnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa interaksi sosial dalam masyarakat dapat berlangsung mendekatkan (asosiatif) atau pun menjauhkan (disosiatif). Kalau interaksi sosial yang bersifat asosiatif menghasilkan gejala-gejala sosial yang normal sehingga dalam masyarakat terjadi keteraturan sosial, interaksi sosial disosiatif menghasilkan gejala-gejala abnormal atau gejala-gejala yang sifatnya patologis sehingga masyarakat mengalami ketidakteraturan sosial dalam bentuk disorganisasi atau disintegrasi sosial. Gejala-gejala abnormal itu terjadi karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehinga menciptakan kekecewaan-kekecewaan atau kesulitankesulitan yang dialami oleh para warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan hidupnya. Gejala demikian dapat menimbulkan penderitaan pada sebagian besar warga masyarakat. Dalam kajian Sosiologi, gejala-gejala abnormal demikian dinamakan masalah sosial. Tentu para siswa sudah tidak asing dengan pengertian masalah, bahwa masalah adalah gejalagejala yang terjadi (das sein) tidak sebagaimana yang diharapkan (das sollen) oleh sebagian besar warga masyarakat. Masalah tersebut disebut sosial karena berhubungan dengan hubungan di antara warga masyarakat dan menyangkut tentang nilai-nilai sosial dan lembaga-lembaga kemasyarakatan (pranata atau institusi sosial). Apa bedanya masalah sosial dengan perilaku menyimpang? Apakah bunuh diri (suicide), perceraian, penyalahgunaan narkotika, perjudian, banyaknya gelandangan di kota-kota besar, dan semacamnya merupakan masalah sosial? Berdasarkan nilai-nilai dan normanorma yang berlaku di sebagian besar warga masyarakat, perilaku-perilaku tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial dan melanggar norma-norma sosial. Maka gejala-gejala tersebut dapat dikategorikan sebagai gejala-gejala yang menyimpang. Tetapi apakah gejalagejala tersebut membahayakan kehidupan kelompok atau masyarakat, menyebabkan terjadinya kepincangan dalam ikatan-ikatan sosial, atau menghambat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok warga masyarakat sehingga menimbulkan keresahan sosial (social unrest)? Pertanyaan-pertanyaan ini digunakan untuk menjawab apakah suatu gejala sosial merupakan permasalahan sosial atau bukan.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
9
Sumber gambar: http://www.fahdisjro.com/2014/09/permasalahan-sosial.html (Minggu, 5 Oktober 2015, pukul 07.38) Apakah sempitnya lapangan kerja merupakan masalah sosial? 2.
Ukuran-ukuran Sosiologis terhadap Masalah Sosial
Dalam menentukan apakah suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat (masalah masyarakat) merupakan permasalahan sosial atau bukan, beberapa ukuran yang digunakan adalah a.
Kriteria utama Kriteria utama masalah sosial adalah terjadinya ketidaksesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan atau tindakan-tindakan sosial, dengan kata lain adanya kepincangan-kepincangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang terjadi dalam kenyataan pergaulan hidup. Hanya saja, tidak ada ukuran yang pasti sejauhmana kepincangan yang terjadi itu dapat diklasifikasikan sebagai permasalahan sosial atau bukan, sangat tergantung pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dan kepekaan masyarakat atas hal tersebut. Ukuran umum yang dipakai adalah apakah gejala tersebut tersebut (telah) menimbulkan social unrest atau tidak (belum).
b.
Sumber Pada awalnya, masalah sosial dibatasi pada masalah yang bersumber dari gejala-gejala sosial, tidak saja perwujudannya yang bersifat sosial, tetapi harus juga bersumber dari kondisi-kondisi dan proses-proses sosial. Hal demikian tidak memuaskan pada banyak ahli Sosiologi, karena kepincangan-kepincangan yang bersumber dari gempa bumi, banjir, letusan gunung api, mewabahnya suatu penyakit, dan semacamnya tidak dapat disebut sebagai permasalahan sosial. Dapat saja kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh gagalnya panen. Akhirya sumber permasalahan sosial tidak dibatasi pada kondisi-kondisi dan proses-proses sosial saja, tetapi yang palin pokok adalah gejala-gejala tersebut menimbulkan masalah sosial.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
10
c.
Pihak yang menentukan suatu masalah merupakan masalah sosial atau bukan Barangkali dapat dinyatakan bahwa orang banyaklah yang berhak menentukan suatu masalah merupakan masalah sosial atau bukan. Tetapi segolongan orang yang berkuasa (elite) pun dapat menentukannya, karena golongan tersebut walaupun jumlahnya sedikit memiliki kekuasaan dan kewenangan yang lebih besar dari orangorang lain untuk membuat dan menentukan kebijakan sosial. Tidak mudah dibayangkan apabila setiap orang harus menentukan sendiri nilai-nilai atau ukuranukuran tertentu kemudian dilebur menjadi satu pendapat. Terdapat stratifikasi, diferensisasi, dan juga kepentingan-kepentingan, sehingga jika hal tersebut dilakukan akan timbul berbagai konflik kepentingan. Seorang sosiolog atau pihak yang berwenang mengambil keputusan/kebijakan harus bisa menangkap sikap-sikap masyarakat, karena sebenarnya sikap-sikap masyarakat itu sendirilah yang menentukan suatu masalah merupakan masalah sosial atau bukan.
d.
Permasalahan sosial manifest dan laten Permasalahan sosial manifest adalah permasalahan sosial yang memang dianggap masalah oleh masyarakat. Namun, ada masalah-masalah sosial yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat tetapi tidak diakui bahwa hal tersebut merupakan masalah. Yang demikian disebut sebagai permasalahan sosial latent.
e.
Perhatian masyarakat terhadap permasalahan social Suatu kejadian yang merupakan permasalahan sosial belum tentu mendapat perhatian oleh masyarakat, sebaliknya kejadian yang mendapat perhatian penuh oleh masyarakat belum tentu merupakan masalah sosial. Tingginya tingkat pelanggaran lalu lintas oleh masyarakat mungkin tidak banyak mendapat perhatian masyarakat, tetapi kecelakaan kereta api yang memakan korban banyak jiwa mendapatkan perhatian penuh masyarakat. Perhatian masyarakat atas masalah sosial dipengaruhi antara lain oleh (1) jarak sosial, jarak sosial yang dekat lebih mampu menimbulkan simpati masyarakat, (2) manifest social problems lebih mendapat perhatian dari masyarakat daripada latent social problems, karena yang pertama masyarakat memiliki keyakinan akan mampu mengatasinya, sedang yang kedua masyarakat merasa tidak berdaya untuk mengatasinya.
3.
Klasifikasi Masalah Sosial dan Sebab-sebabnya
Soerjono Soekanto mengklasifikasikan permasalahan sosial menurut faktor-faktor yang menjadi sumbernya, yaitu a. b. c. d.
Faktor ekonomi, misalnya kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya Faktor Biologis, misalnya penyakit menular Faktor Biopsikologis, misalnya neurosis, disorganisasi jiwa, bunuh diri, dan sebagainya Faktor Kebudayaan, misalnya perceraian, kejahatan, kenakalan anak-anak, konflik ras, konflik etnis, konflik keagamaan, terorisme, dan sebagainya.
Klasifikasi lainnya didasarkan pada kepincangan-kepincangan yang terjadi karena warisan fisik (misalnya masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh terbatasnya sumberdaya alam), warisan biologis (misalnya bertambah dan berkurangnya penduduk, migrasi, dan sebagainya) dan warisan sosial dan kebijakan sosial (misalnya depresi, pengangguran, hubungan minoritas dengan mayoritas, pendidikan, politik, pelanggaran hokum, agama, pengisian waktu luang, perencanaan sosial, dan sebagainya). 4.
Beberapa Masalah Sosial Penting
Masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat ada bermacam-macam, seperti kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam masyarakat modern, peperangan, pelanggaran terhadap norma-norma sosial, seperi pelacuran, delinkuensi anakanak, alkoholisme, penyimpangan seksual, berbagai masalah kependudukan, masalah lingkungan hidup, birokrasi, dan sebagainya. Tidak mungkin semua dibahas di kelas XI
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
11
ilmu-ilmu Sosial, hanya beberapa dari berbagai masalah tersebut yaitu kemiskinan, kejahatan, kesenjangan sosial dan ekonomi, serta ketidak-adilan. 4.1 Kemiskinan Kemiskinan (poverty) merupakan suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok, dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental dan fisiknya. Pada masyarakat sederhana, kemiskinan bukanlah merupakan masalah sosial, karena masyarakat tersebut beranggapan bahwa keadaan mereka sudah merupakan takdir, sehingga tidak ada upaya-upaya untuk mengatasinya. Kemiskinan baru merupakan masalah sosial ketika ditetapkannta taraf hidup. Pada masyarakat modern, kemiskinan merupakan masalah sosial, karena sikap masyarakat yang tidak menginginkan adanya keadaan tersebut. Miskin dalam masyarakat kota tidak selalu berarti kurang makan, pakaian, atau perumahan, melainkan karena kondisi ekonominya tidak dapat cukup untuk memenuhi taraf hidup. Macam-macam kemiskinan a. Menurut jenisnya, terdapat tiga jenis kemiskinan, yaitu 1) Kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang terjadi karena perbandingan di antara kelas ekonomi dalam masyarakat 2) Kemiskinan subjektif, yaitu kemiskinan menurut perasaan individu 3) Kemiskinan absolut, merupakan kemiskinan yang terjadi ketika tingkat hidup seseorang tidak memungkinnya untuk dapat memenuhi keperluan-keperluan hidupnya yang mendasar, sehingga kesehatan fisik dan mentalnya terganggu. Yang dimaksud kebutuhan hidup mendasar adalah kebutuhan hidup yang diperlukan agar dapat hidup layak, seperti pangan (makanan), sandang (pakaian), papan (rumah tempat tinggal), kesehatan, dan pendidikan. Di antara kebutuhan-kebutuhan tersebut yang paling mendasar adalah pangan. Jika tingkat nutrisi dan gizi konsumsi pangan seseorang rendah, maka berdampak pada rendahnya harapan hidup dan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Atas dasar hal tersebut, Prof. Sayogya menentukan garis kemiskinan berdasarkan kebutuhan gizi menimal yang diperlukan oleh rata-rata setiap orang. Dari penelitiannya, ditentukan garis kemiskinan adalah tingkat konsumsi per kapita per tahun yang setara dengan 240 kg beras di perdesaan dan 360 kg beras di perkotaan. IMF menetapkan garis kemiskinan pada pendapatan per kapita US D 50 di perdesaan dan US D 75 di perkotaan (1974). Garis tersebut dinilai banyak orang adalah garis pada keadaan yang sangat miskin, sehingga dalam perkembangannya, Kementerian dalam negeri pernah menggunakan ukuran sembilan bahan pokok (sembako), atau yang sekarang dikenal dengan Upah Minimum Propinsi, dengan asumsi kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum bagi sebuah keluarga yeng terdiri atas seorang suami, seorang isteri, dan dua orang anak.
1
Upah Minimum Beberapa Propinsi di Indonesia 2014 UMP PROVINSI 2013 (Rp) 2014 (Rp) 2015 (Rp) NANGGROE ACEH D 1,550,000 1,750,000 1,900,000
2 3 4 5 6 7
SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT RIAU KEPULAUAN RIAU JAMBI SUMATERA SELATAN
1,375,000 1,350,000 1,400,000 1,365,087 1,300,000 1,350,000
1,505,850 1,490,000 1,700,000 1,665,000 1,502,300 1,825,600
1,625,000 1,615,000 1,875,000 1,954,000 1,710,000 1,974,000
8
BANGKA BELITUNG
1,265,000
1,640,000
2,100,000
NO.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
12
PROVINSI
UMP 2013 (Rp) 2014 (Rp)
2015 (Rp)
9 10 11 12 13 14
BENGKULU LAMPUNG JAWA BARAT DKI JAKARTA BANTEN JAWA TENGAH
1,200,000 1,150,000 850,000 2,200,000 1,170,000 830,000
1,350,000 1,399,037 1,000,000 2,441,301 1,325,000 910,000
1,500,000 1,581,000 2,987,000 2,700,000 1,600,000 1,685,000
15 16 17 18 19 20
DI YOGYAKARTA JAWA TIMUR BALI NTB NTT KALIMANTAN BARAT
947,114 866,250 1,181,000 1,100,000 1,010,000 1,060,000
988,500 1,000,000 1,542,600 1,210,000 1,150,000 1,380,000
1,302,500 2,710,000 1,621,000 1,330,000 1,250,000 1,560,000
21 22 23 24 25 26
KALIMANTAN SELATAN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR MALUKU MALUKU UTARA GORONTALO
1,337,500 1,553,127 1,752,073 1,275,000 1,200,622 1,175,000
1,620,000 1,723,970 1,886,315 1,415,000 1,440,746 1,325,000
1,870,000 1,896,000 2,026,000 1,650,000 1,557,000 1,600,000
27 28 29 30 31 32
SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI SULAWESI PAPUA
1,550,000 11,25,207 995,000 1,440,000 1,165,000 1,710,000
1,900,000 14,00,000 1,250,000 1,800,000 1,400,000 1,900,000
2,150,000 1,652,000 1,500,000 2,000,000 1,655,000 2,193,000
NO.
UTARA TENGGARA TENGAH SELATAN BARAT
*)
*) *) *)
33 PAPUA BARAT 1,720,000 1,870,000 2,015,000 Sumber: bisnis.liputan6.com dan beberapa sumber lainnya. *) Data 2015 untuk daerah ini tidak lagi UMP tetapi UMK, yang dicantumkan UMK tertinggi di daerah ybs. b. Menurut sumber/faktor penyebabnya Berdasarkan sumber atau faktor penyebabnya dapat diindentifikasi tiga macam kemiskinan, yaitu kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural. 1) Kemiskinan natural Kemiskinan natural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh kelangkaan atau ketiadaan sumberdaya alam, juga oleh sebab-sebab natural yang lain seperti cacat fisik bawaan lahir, sakit, usia lanjut, atau karena bencana alam. Beberapa ahli menyebutnya sebagai persistent poverty. 2) Kemiskinan kultural Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh berkembangnya the culture of poverty (kebudayaan kemiskinan), yang meliputi sikap, tindakan, dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat yang tidak tidak produktif dalam arti ekonomi. Oscar Lewis mengemukakan beberapa dari kebudayaan kemiskinan, yaitu sikap malas dan rendahnya etos kerja sikap pasrah menerima nasib
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
13
mengutamakan status dari pada fungsi dan prestasi mentalitas meremehkan mutu sikap tidak disiplin dan tidak menghargai waktu sikap tidak jujur hidup bermewah-mewah (hedonis) dan boros; ketidakmampuan menunda kesenangan (affectivity) tiadanya sikap percaya diri (mentalitas bangsa terjajah) prasangka buruk terhadap perubahan dan pembangunan
3) Kemiskinan struktural Kemiskinan struktural disebabkan oleh faktor-faktor yang bersumber dari struktur sosial masyarakat, misalnya kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi asep produksi yang tidak merata, korupsi, kolusi, serta tatanan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih menguntungkan kelompok masyarakat tertentu. Menurut Bagong Suyanto, dkk., kemiskinan struktural terjadi karena eksploitasi kelas sosial di atasnya, bukan karena kesalahan internal si miskin. Berbeda dengan para penganut teori modernisasi yang menyatakan bahwa kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor dari si miskin seperti kemalasan dan rendahnya kompetensi dan keterampilan, tidak dimilikinya etika kewirausahaan, budaya yang tidak terbisa dengan kerja keras, dan sebagainya (lihat: the culture of poverty), kemiskinan struktural bersumber pada struktur yang tidak adil dan tindakan kelas sosial yang berkuasa yang dengan kekayaan dan kekuasaanya mengeksploitasi orang-orang dari kelas yang tidak berkuasa. Ciri-ciri kemiskinan struktural a) Kecil peluang terjadinya mobilitas sosial naik di kalangan masyarakat kelas bawah (miskin) b) Ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial-ekonomi di atasnya c) Terjadi apa yang disebut deprivation trap (perangkap kemiskinan), yang terdiri atas lima unsur, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima hal ini kaitmengait satu dengan lainnya sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang meminimalkan peluang hidup orang (keluarga) miskin. 4.2 Kejahatan Kejahatan merupakan gejala sosial yang bisa terjadi di hampir semua masyarakat. Secara sosiologis, orang menjadi jahat diperoleh dengan cara yang sama dengan orang berperilaku baik, yaitu melalui proses belajar (EH Sutherland), yaitu prosesproses seperti imitasi, pelaksanaan peran sosial, asosiasi diferensial, kompensasi, indentifikasi, pembentukan konsep diri, atau kekecewaan-kekecewaan yang agresif. Perilaku jahat dipelajari melalui interaksinya dengan orang lain, yaitu orang-orang dengan kecenderungan perilaku menyimpang, merusak, atau melawan hukum. Ada perbedaan pengertian kejahatan menurut hukum dan kejahatan menurut kriminologi. Menurut hukum kejahatan adalah perilaku yang melanggar undangundang pidana. Sedangkan menurut kriminologi, kejahatan tidak hanya yang melawan undang-undang pidana, tetapi semua perbuatan yang menimbulkan cidera pada pihak lain atau ancaman bagi masyarakat, atau menghambat kelancaran tatanan dalam masyarakat. Contoh perilaku yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan: penganiayaan, perkosaan, pembunuhan, pencurian tanpa atau dengan kekerasan, penipuan, dan sebagainya. Para ahli sosiologi membuat klasifikasi yang berbeda, sehingga dalam Sosiologi dikenal adanya kejahatan tanpa korban (crime without victims), kejahatan terorganisasi (organized crime), dan kejahatan kerah putih (white collar crime).
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
14
Crime without victim Tidak semua kejahatan menimbulkan penderitaan pada pihak lain. Kejahatan demikian dinamakan kejahatan tanpa korban (victimless Crime), contohnya berjudi, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, bermabuk-mabukan, hubungan seksual tidak sah yang dilakukan secara sukarela oleh orang-orang dewasa, Walaupun tidak menimbulkan penderitaan bagi orang lain secara langsung, tetapi oleh sebagian besar warga masyarakat atau oleh pihak yang berkuasa dianggap sebagai perbuatan tercela. Perbuatan-perbuatan tersebut secara tidak langsung sebenarnya juga bisa menimbulkan penderitaan bagi pihak lain, seperti tindakan pemabuk di jalan raya bisa menimbulkan cidera pihak lain, pekerja seks komersial dapat menyebarkan penyakit menular seksual, AIDS, dan sebagainya. Organized Crime Kejahatan terorganisasi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh komplotan berkesinambungan untuk memperoleh uang, kekuasaan, atau keuntungankeuntungan lainnya, yang dilakukan dengan halan menghindari hukum, melalui penyebaran rasa takut, tindakan korupsi, monopoli secara tidak sah atas jasa tertentu, pemutaran uang hasil kejahatan dalam bentuk saham, penyediaan barangbarang secara melanggar hukum, seperti penjualan barang-barang hasil kejahatan, bisnis pelacuran, perjudian gelap, peminjaman uang dengan bunga tinggi, dan sebagainya. Kejahatan-kejahatan demikian bahkan bisa lintas negara (transnational organized crime), seperti kejahatan oleh organisasi-organisasi dengan jaringan global. Misalnya penyelundupan senjata, bahan nuklir, obat terlarang, money laundering, perdagangan anak-anak dan perempuan, penyelundupan tenaga asing, dan sebagainya. White Collar Crime Kejahatan kerah putih merupakan konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh EH Sutherland dan merujuk pada kejahatan yang dilakukan oleh orang terpandang atau orang berstatus tinggi dalam rangka pekerjaannya. Termasuk kejahatan kategori ini adalah penghindaran pajak, penggelapan uang perusahaan atau negara, penipuan, dan sebagainya. Pada awalnya, kejahatan ini disebut business crime atau economic criminality. Memang white collar crime pada umumnya dilakukan oleh penguasa atau pengusaha di dalam menjalankan peran dan fungsinya. Keadaan keuangan yang relatif kuat memungkinkan mereka untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat dan hukum dikualifikasikan sebagai kejahatan. Golongan orang-orang ini kebal terhadap hukum dan sarana-sarana pengendalian sosial lainnya, karena keuangan dan kekuasaannya yang kuat. Para pelaku white collar crime pada umumnya berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak mengalami gangguan, pada masa anak-anak dan remajanya tidak mengalami hambatan dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkannya, terpenuhi kebutuhan gizi dan nutrisinya sehingga memiliki kecerdasan yang tinggi, bersifat praktis pragmatis, tetapi tidak atau kurang memiliki prinsip-prinsip moral yang kuat. Tetapi yang menjadikan kejahatan jenis ini spesifik, adalah kedudukan dan peranan yang melekat pada pelakunya. Corporate Crime Corporate crime merupakan kejahatan yang dilakukan atas nama organisasi formal (perusahaan) dengan tujuan menaikkan keuntungan atau menekan kerugian. Karena tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan oleh badan hukum, pelakunya tidak dapat dipidana. Ada empat jenis corporate crime: (1) kejahatan terhadap
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
15
konsumen, (2) kejahatan terhadap public, (3) perusahaan, dan (4) kejahatan terhadap karyawan.
kejahatan
terhadap
pemilik
Contoh kejahatan terhadap konsumen adalah kasus biscuit beracun di Indonesia pada tahun 1989 (Tempo, 4 November 1989 dan 6 Januari 1990), sebabnya adalah pemekar biscuit ammonium bikarbonat tertukar dengan sodium nitrit yang beracun. 4.3 Kesenjangan Sosial-Ekonomi Kesenjangan atau gap merujuk pada perbedaan jarak sosial atau tingkat pendapatan antara dua kelas sosial atau ekonomi. Pembangunan masyarakat yang terlalu sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang cukup jauh di antara kelas-kelas dalam masyarakat. Kesenjangan ekonomi dapat meliputi kesenjangan luas pemilikan atau penguasaan lahan pertanian di perdesaan, kesenjangan pemilikan alat-alat produksi di perkotaan, kesenjangan peranan dalam proses produksi, dan kesenjangan tingkat pendapatan. Secara nasional, kesenjangan ekonomi yang terjadi dalam masyarakat dapat dilihat dari distribusi pendapatan nasional. Jika 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah mendapatkan kurang dari 12 persen pendapatan nasional, berarti masyarakat tersebut mengalami kesenjangan ekonomi yang tinggi. Apabila 40 persen penduduk perpendapatan rendah tersebut mendapatkan 12 sampai dengan 17 persen pendapatan nasional, berarti masyarakat tersebut mengalami kesenjangan yang sedang, dan apabila 40 persen penduduk berpendapatan rendah mendapatkan lebih dari 17 persen pendapatan nasional, berarti kesenjangan ekonominya rendah. Jika kesenjangan ekonomi merupakan perbedaan atau jarak di antara kelas-kelas pendapatan, maka kesenjangan sosial terwujud pada perbedaan gaya hidup, perbedaan aspirasi sosial, dan jarak sosial. Perbedaan gaya hidup antara lain tampak pada bentuk rumah, gaya bahasa, gaya pakaian, pemilikan kendaraan, dan sebagainya. Perbedaan aspirasi sosial misalnya tampak pada perbedaan sikap politik dan pandangan tentang pendidikan, kesehatan, pembangunan. Perbedaan aspirasi sosial dapat berdampak pada perbedaan peluang hidup di antara kelas sosial yang berbeda. Sedangkan perbedaan jarak sosial terwujud dalam kesediaan menerima orang-orang yang berasal dari lapisan atau kelas sosial yang berbeda dan solidaritas (kesetiakawanan sosial). 4.4 Ketidakadilan Hampir semua bangsa dan umat manusia di dunia mendambakan perdamaian, harkat kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan dalam hubungan antar anak bangsa, antar warga negara dan penguasa, antar bangsa, dan antar manusia sedunia. Penyelenggara pemerintahan di manapun selalu dibebani tugas untuk menciptakan dan memelihara perdamaian, harkat kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol3827/ketidakadilan-dankekerasan). Namun, dalam hubungan antar manusia, perorangan atau kelompok terjadi peristiwa-peristiwa yang berupa ketidakadilan, misalnya diskriminasi, rasialisme, seksisme, dan lain-lainnya. Diskriminasi merupakan perlakuan yang berbeda terhadap orang atau kelompok dengan ciri-ciri tertentu. Misalnya diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam hal pendidikan. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan tertentu sering dijumpai norma-norma, adat, atau kebiasaan yang tidak mendukung atau bahkan melarang
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
16
kaum perempuan untuk berpartisipasi seluas-luasnya dalam pendidikan formal. Perlakuan yang semacam juga terjadi dalam hal pekerjaan, penghasilan, kekuasaan atau peluang politik. Dalam interaksinya dengan kaum laki-laki perempuan juga sering mengalami bentuk kekerasan, seperti pelecehan seksual, perkosaan, atau kekerasan domestik (domestic violelence). Sumber bahan: 1. J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (Ed). 2006. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group. 2. Kamanto Soenarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yasbit FE UI. 3. Moh Amaluddin. 1987. Kemiskinan dan Polarisasi Sosial. Jakarta: UI Pers. 4. Moh Soerjani, Rofiq Ahmad, dan Rozy Munir. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan. Jakarta: UI Pers. 5. Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
17
BAB 3
PERBEDAAN, KESETARAAN, DAN HARMONI SOSIAL
Kompetensi Dasar: 3.3 Memahami penerapan prinsip-prinsip kesetaraan dalam menyikapi keberagaman untuk menciptakan kehidupan harmonis dalam masyarakat 4.3 Merumuskan strategi dalam menciptakan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat berdasar prinsip-prinsip kesetaraan
1. Pendahuluan Perbedaan merupakan kenyataan yang sudah ada sejak dari awal kehidupan umat manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia maka perbedaan merupakan suatu kenyataan yang dianugerahkan (as given) dan akan senantiasa melekat dan tetap ada di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Bentuk perbedaan yang harus dihadapi oleh setiap individu warga masyarakat dalam realitas sosialnya sangatlah beragam. Ketika berinteraksi dengan individu lain maka setiap individu akan menjumpai perbedaan fisiologis, pola perilaku, pola pikir, cara pandang, standar hidup, hingga yang paling kompleks dan sistematis adalah perbedaan budaya. Perwujudan perbedaan budaya adalah menempatkan individu manusia hidup dalam sistem sosial dengan keberagaman budaya yang kemudian dikenal dengan sistem sosial yang bersifat multikultur. Di dalam system sosial yang multikultur, setiap individu akan cenderung semakin sering dan intensif berinteraksi dengan individu lain yang berbeda budaya, terlebih dalam situasi saat ini di mana perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta transportasi telah berkembang dengan begitu dahsyat. Situasi demikian menimbulkan cara pandang, cara berperasaan, dan cara bertindak yang merespon perbedaan-perbedaan itu. Lahirlah faham multikulturalisme. Membicarakan multikulturalisme memang tidak akan ada habisnya. Hal ini karena permasalahan yang muncul pasti ada, karena dalam masyarakat ada bagian yang pro dengan multikulturalisme, tetapi tentu saja ada bagian lain dari masyarakat yang kontra atau tidak suka dengan multikulturalisme. Apakah multikulturalisme? Bikhu Parekh menjelaskan bahwa multikulturalisme adalah faham yang terkait dengan perbedaan atau pluralitas kebudayaan dan cara merespon pluralitas itu. Sehingga memang, multikulturalisme sangat dekat dengan pluralisme. Pluralisme merujuk pada kondisi apa adanya dari sebuah realitas sosial yang majemuk (plural), sedangkan multikulturalisme adalah kondisi normative yang seharusnya dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah masyarakat yang plural (majemuk). Dan yang menjadi masalah adalah bahwa pluralism tidak menjadi cara pandang yang dianut oleh semua warga masyarakat. Akibatnya persoalan-persoalan yang terkait dengan keadaan masyarakat yang plural baik secara horizontal maupun vertikal adalah bagaimana menciptakan harmoni sosial di antara elemen-elemen masyarakat yang berbeda-beda itu.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
18
Agar lebih mudah dalam memahami tentang topik yang berjudul perbedaan, kesetaraan, dan harmoni sosial ini, yang paling pertama harus difahami adalah tentang apa yang disebut struktur sosial. Struktur sosial merupakan salah satu konsep dasar dalam sosiologi. Selo Soemardjan mendefinisikan struktur sosial sebagai susunan, tatatanan, atau jalinan di antara unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat. Unsur-unsur sosial yang pokok meliputi antara lain nilai-nilai dan norma sosial, kelompok sosial, kelas sosial, dan lembaga sosial. Perhatikan gambaran tentang struktur sosial dengan visualisasi berikut.
Gambar Struktur Sosial Struktur sosial merupakan susunan atau konfigurasi dari unsur-unsur sosial yang pokok dalam masyarakat, yaitu kelompok, kelas sosial, nilai dan norma sosial, serta lembaga sosial. Agar dapat lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan struktur sosial, maka struktur sosial dapat dianalogikan dengan sebuah ruang geografi. Kalau dalam suatu ruang geografi, seseorang dapat mempunyai alamat geografi, misalnya di Jalan Yos Sudarso 7 Yogyakarta, atau di titik koordinat pada garis lintang berapa dan garis bujur berapa, maka di ruang sosial yang disebut struktur sosial itu pun seseorang dapat mempunyai alamat sosial. Misalnya, apabila menggunakan unsur kelas atau status sosial, dapat diketahui apakah seseorang menjadi anggota kelas menengah, kelas atas, atau kelas bawah. Apabila menggunakan unsur nilai dan norma sosial, dapat diketahui apakah seseorang itu termasuk orang mulia ataukah justru sebagai orang yang hina. Apabila menggunakan unsur lembaga sosial, dapat diketahui mungkin ia adalah pedagang, karena aktivitas sehari-harinya di lembaga ekonomi, atau mungkin guru atau dosen, karena aktivitas sehari-harinya di lembaga pendidikan, mungkin ia seorang politikus, karena aktivitas sehari-harinya di lembaga politik, dan seterusnya.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
19
Dari gambaran tentang struktur sosial tersebut, diketahui bahwa anggota masyarakat dapat dibedakan baik secara vertical maupun horizontal. Secara vertical, pada struktur sosial ditemukan kelas-kelas sosial, atau kelas-kelas ekonomi, misalnya kelas atas, kelas menengah, atau kelas bawah. Sedangkan secara horizontal dapat ditemukan adanya golongan-golongan atau kelompok-kelompok sosial, misalnya kelompok-kelompok keagamaan, ada kelompok Islam, Katholik, Kristen, Hindu, atau Budha. Dapat juga kelompok etnis, misalnya ada kelompok orang-orang Jawa, Orang Sunda, Orang Madura, Orang Batak, dan seterusnya. Bagaimana menempatkan para anggota masyarakat dalam struktur sosial? Dalam strultur sosial tersebut dapat ditemukan parameter-paramater atau ukuran-ukuran. Dengan parameter atau ukuran-ukuran inilah anggota masyarakat ditempatkan pada tempat imajiner yang disebut struktur sosial. Terdapat dua jenis parameter struktur sosial, yaitu: (1) parameter graduated atau parameter berjenjang. Misalnya kekuasaan, kekayaan, kehormatan keturunan, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya, dan (2) parameter nominal atau tidak berjenjang, misalnya sukubangsa, agama, jenis pekerjaan, perbedaan seksual atau jenis kelamin, aliran, dan semacamnya. Dalam peristilahan sosiologi, konfigurasi vertical (graduated) disebut stratifikasi differentiation). Sedangkan konfigurasi parameter nominal atau tidak berjenjang custom (adat) atau diferensiasi fungsi.
struktur sosial berdasarkankan parameter sosial atau diferensiasi rangking (rank struktur sosial berdasarkan parameterdisebut diferensiasi sosial, bisa diferensiasi
2. Perbedaan Vertikal 2.1 Definisi Menurut Weber, para anggota masyarakat dapat dipilah secara vertikal berdasarkan atas ukuran-ukuran kehormatan, sehingga ada orang-orang yang dihormati dan disegani dan orang-orang yang dianggap biasa-biasa saja, atau orang kebanyakan, atau bahkan orang-orang yang dianggap hina. Orang-orang yang dihormati atau disegani pada umumnya adalah mereka yang memiliki jabatan atau profesi tertentu, keturunan dari bangsawan atau orang-orang terhormat, atau berpendidikan tinggi. Istilah yang digunakan dalam sosiologi untuk gejala pemilahan yang demikian, sebagaimana telah disebut di depan, adalah stratifikasi sosial. Dan, gejala stratifikasi sosial demikian memang telah ada sejak lama, sebagaimana dinyatakan oleh Aristoteles yang hidup pada sekitar 384 SM, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat tiga kelas hirarkhis, yaitu mereka yang kaya, mereka yang miskin, dan mereka yang berada di antara keduanya. Ukuran-ukuran penempatan anggota masyarakat dalam stratifikasi sosial yang dapat dikategorikan sebagai kriteria sosial antara lain, (1) profesi, (2) pekerjaan, (3) tingkat pendidikan, (4) keturunan, dan (5) kasta. a. Profesi Yang dimaksud profesi adalah pekerjaan-pekerjaan yang untuk dapat melaksanakannya memerlukan keahlian, misalnya dokter, guru, wartawan, seniman, pengacara, jaksa, hakim, dan sebagainya. Orang-orang yang menyandang profesi-profesi tersebut disebut kelas profesional. Di samping kelas profesional, dalam masyarakat terdapat juga kelas-kelas tenaga terampil dan tidak terampil, yang pada umumnya ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dalam stratifikasi sosial masyarakat.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
20
b. Pekerjaan. Berdasarkan tingkat prestise atau gengsinya, pekerjaan-pekerjaan dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi: (1) pekerjaan kerah putih (white collar), dan (2) pekerjaan kerah biru (blue collar). Pekerjaan kerah putih merupakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menuntut penggunaan pikiran atau daya intelektual, sedangkan pekerjaanpekerjaan kerah biru lebih menuntut penggunaan energi atau kekuatan fisik. Pada umumnya anggota masyarakat lebih memberikan penghargaan atau gengsi yang lebih tinggi pada pekerjaan-pekerjaan kerah putih. Walaupun, tidak selalu bahwa pekerjaan kerah putih memberikan dampak ekonomi atau finansial yang lebih besar daripada pekerjaan kerah biru. c. Pendidikan Pada zaman sekarang ini pendidikan sudah dianggap sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi oleh sebagian besar anggota masyarakat. Orang-orang yang berpendidikan tinggi akan menempati posisi dalam stratifikasi sosial yang lebih tinggi. Sehingga tamatan S-3 dipandang lebih tinggi kedudukannya daripada tamatan S2, S1, SMA/SMK, SMP, SD, dan mereka yang tidak pernah sekolah. d. Keturunan Keturunan raja atau bangsawan dalam masyarakat dipandang memiliki kedudukan yang tinggi. Bahkan, pada masyarakat feodal, hampir tidak ada pengakuan terhadap simbolsimbol yang berasal dari luar istana, termasuk tata kota, arsitektur, pemilihan hari-hari penting, pakaian, seni, dan sebagainya. Penempatan orang dalam posisi-posisi penting dalam masyarakat akan selalu mempertimbangkan faktor keturunan, dan keaslian keturunan dipandang sangat penting. e. Kasta Kasta merupakan pemilahan anggota masyarakat yang dikenal pada masyarakat Hinduisme. Masyarakat dipilah menjadi kasta-kasta, seperti: Brahmana, Ksatria, Weisyia, dan Sudra. Kemudian ada orang-orang yang karena tindakannya dihukum dikeluarkan dari kasta, digolongkan menjadi paria. Sebagian besar orang menganggap pemilahan dalam kasta bersifat graduated atau berjenjang, mengingat orang-orang yang berasal dari kasta yang berbeda akan memiliki gengsi (prestige) dan hak-hak istimewa (privelege) yang berbeda. Namun, tokoh-tokoh Hinduisme menyatakan bahwa kasta bukanlah pemilahan vertikal, melainkan hanyalah merupakan catur warna. 2.2 Kriteria Stratifikasi Sosial 2.2.1 Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi Kriteria ekonomi yang digunakan sebagai dasar stratifikasi sosial dapat meliputi penghasilan dan pemilikan atau kekayaan. Apabila dipilah menggunakan kriteria ekonomi, maka masyarakat akan terdiri atas Kelas atas, yaitu orang-orang yang karena penghasilan atau kekayaannya dengan leluasa dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya Kelas menengah, yaitu orang-orang yang karena penghasilan dan kekayaannya dapat leluasa memenuhi kebutuhan hidup mendasarnya, tetapi tidak leluasa untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya Kelas bawah, yaitu orang-orang yang dengan sumberdaya ekonominya hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup mendasarnyanya, tetapi tidak leluasa, atau bahkan tidak mampu untuk itu.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
21
2.2.2 Stratifikasi sosial berdasarkan kriteria politik Ukuran yang digunakan untuk memilah masyarakat atas dasar dimensi atau kriteria politik adalah distribusi kekuasaan. Kekuasaan (power) berbeda dengan kewenangan (otoritas). Seseorang yang berkuasa tidak selalu memiliki kewenangan. Yang dimaksud kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain dalam masyarakat, termasuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif. Sedangkan wewenang adalah hak untuk berkuasa. Apa yang terjadi apabila orang mempunyai wewenang tetapi tidak memiliki kekuasaan? Mana yang lebih efektif, orang mempunyai kekuasaan saja, atau wewenang saja? Meskipun seseorang memiliki hak untuk berkuasa, artinya ia memiliki wewenang, tetapi kalau dalam dirinya tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain, maka ia tidak akan dapat melaksanakan hak itu dengan baik. Sebaliknya, apabila seseorang memiliki kemampuan mempengaruhi pihak lain, meskipun ia tidak punya wewenang untuk itu, pengaruh itu dapat berjalan secara efektif. Untuk lebih memahami hal ini, dapat diperhatikan pengaruh tokoh masyarakat, seperti seorang tokoh agama atau orang yang dituakan dalam masyarakat. Sudah beradab-abad menjadi pemikiran dalam dalil politik, bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu terdistribusikan tidak merata. Gaetano Mosca (1939) menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat selalu terdapat dua kelas penduduk: satu kelas yang menguasai dan satu kelas yang dikuasai. Kelas pertama yang jumlahnya lebih kecil, menjalankan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang diberikan oleh kekuasaan itu, sedangkan kelas kedua, yang jumlahnya lebih besar, diatur dan dikendalikan oleh kelas pertama itu. Vilfredo Pareto, Gaetano Mosca, dan Robert Michells memberikan pengertian bahwa beberapa asas umum yang menjadi dasar bagi terbentuknya stratifikasi sosial, khususnya yang berkaitan dengan kekuasaan politik, adalah: a. b. c. d. e.
Kekuasaan politik tidak dapat didistribusikan secara merata Orang-orang dikategorikan ke dalam dua kelompok: yang memegang kekuasaan dan yang tidak memilikinya Secara internal, elite itu bersifat homogen, bersatu, dan memiliki kesadaran kelompok Keanggotaan dalam elite berasal dari lapisan yang sangat terbatas Kelompok elite pada hakikatnya bersifat otonom, kebal akan gugatan dari siapa pun di luar kelompoknya mengenai keputusan-keputusan yang dibuatnya
Di dalam masyatakat yang demokratis, pembagian dikotomis antara yang berkuasa dan tidak berkuasa tidak sesederhana yang dikemukakan Mosca dan kawankawannya. Biarpun kelas berkuasa jumlah orangnya selalu lebih sedikit, tetapi pada umumnya distribusi kekuasaan lebih terfragmentasi ke berbagai kelompokkelompok. Dalam masyarakat yang demokratis, kelompok elite tidak memiliki otonomi sebagaimana pada masyarakat diktator. Kekuasaan elite dalam masyarakat demokratis selalu dapat dikontrol oleh kelompok-kelompok yang ada di luar kelompok elite, dan jumlahnya lebih dari satu. Tipe-tipe stratifikasi politik (kekuasaan) a. Tipe Kasta, dalam tipe ini terdapat batas antar kelas yang jelas dan tegas, kedudukan orang-orang dalam suatu lapisan sosial diwariskan secara biologis. Mobilitas sosial pada masyarakat dengan tipe stratifikasi kekuasaan demikian sangat rendah b. Tipe Oligharki, dalam tipe ini keadaannya mirip dengan pada tipe kasta, hanya kalau pada tipe kasta kedudukan sosial diwariskan secara keturunan, pada tipe oligharki kedudukan sosial dipertahankan berdasarkan ideologi atau kekuaran partai politik tertentu.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
22
c. Tipe demokratis, pada tipe ini batas antar kelas tidak masif sebagaimana pada tipe kasta atau oligharki, sehingga mobilitas sosial dapat berlangsung secara leluasa, orang dari lapisan bawah karena perjuangan atau prestasinya dapat menaiki tanggatangga stratifikasi sosial masyarakat. Pemimpin politik dalam tipe demokratis dapat berasal dari lapisan bawah masyarakat. Orang biasa dapat menjadi pemimpin karena banyak yang memilihnya dalam pemilihan umum. Kekuasaan, dominasi, dan hegemoni Dominasi merupakan kekuasaan yang nyaris tidak dapat ditolak oleh siapapun. Kekuasaan yang sifatnya hampir multlak. Kekuasaan dalam masyarakat berdasarkan sumbernya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) kekuasaan tradisional, (2) kekuasaan kharismatik, dan (3) kekuasaan legal-rasional. Kekuasasan tradisional adalah kekuasaan yang sumbernya berasal dari tradisi masyarakat, misalnya raja. Kekuasaan kharismatik bersumber dari kewibawaan atau kualitas diri seseorang, dan kekuasaan legal rasional bersumber dari adanya wewenang yang didasarkan pada pembagian kekuasaan dalam birokrasi, misalnya pemerintahan. Mengapa dominasi? Dominasi dapat terjadi karena unsur-unsur kekuasaan seperti kharisma, tradisi dan legal rasional dimiliki oleh seseorang. Dalam batas-batas tertentu, Sultan Yogyakarta memiliki ketiga unsur kekuasaan tersebut, yaitu kekuasaan tradisional, bahwa beliau adalah raja pewaris kekuasaan dari raja sebelumnya, secara legal-rasional beliau adalah Gubernur DIY, dan merupakan sosok yang berwibawa. Hegemoni Jika pada dominasi penguasaan atas pihak lain masih memerlukan kekuatan yang memaksa, termasuk pengginaan senjata, pada hegemoni, menurut Gramci, agar yang dikuasai mematuhi penguasa, yang dikuasai tidak hanya merasa mempunyai dan menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, lebih dari itu mereka juga harus memberi persetujuan atas sub-ordinasi mereka. Sehingga hegemoni dapat diartikan sebagai penguasaan atas pihak lain secara moral dan intelektual yang disetujui. Hal yang diperlukan oleh penguasa sehingga dapat memiliki hegemoni adalah: (1) perangkat kerja yang mampu memaksa, biasanya dilakukan oleh pranata negara (state) melalui lembaga-lembaga seperti hukum, militer, polisi, dan penjara, dan (2) perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat dan lembaga-lembaganya untuk taat melalui kehidupan beragama, pendidikan, kesenian, keluarga, dan sebagainya. Biasanya dilakukan oleh pranata masyarakat sipil (civil society) melailui lembaga-lembaga masyarakat seperti LSM, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban-paguyuban dan kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). 2.3 Status Sosial sebagai Unsur Stratifikasi Sosial Unsur penting dalam stratifikasi sosial adalah status atau kedudukan sosial. Apakah status? Status adalah posisi atau kedudukan atau tempat seseorang atau kelompok dalam struktur sosial masyarakat. Dalam suatu pola hubungan sosial tertentu, pihakpihak yang terlibat masing-masing memiliki kedudukan, misalnya kakak terhadap adik, suami terhadap isteeri, orangtua terhadap anak, guru terhadap murid, pemimpinan tergadap pengikut, dan sebagainya. Bagaimana seseorang mendapatkan status atau kedudukan sosial? Status seseorang dapat diperoleh sejak kelahirannya. Status demikian disebut ascribed status, atau status yang diwariskan. Misalnya putra mahkota, terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, kebangsawanan, keanggotaan dalam kasta, dan semacamnya.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
23
Status juga dapat diperoleh melalui pemberian karena jasa-jasanya, disebut assigned status, misalnya gelar kehormatan karena jasa-jasanya, gelar doctor kehormatan, pahlawan pembangunan, dan sebagainya. Ada pula status yang diperoleh karena prestasi dan perjuangannya, disebut achived status. Contoh dari status macam ini adalah kedudukan sebagai presiden dalam masyarakat demokratis, kedudukan sebagai ketua OSIS, kedudukan sebagai manajer sebuah perusahaan, dan semacamnya. Masyarakat modern lebih menghargai statusstatus yang diperoleh melalui prestasi atau perjuangan, masyarakat feudal lebih menghargai status yang diperoleh sejak lahir. 2.4 Kelas sosial Apa yang dimaksud dengan kelas sosial? Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa kelas merupakan
Segolongan orang yang menyandang status relatif sama Memiliki cara hidup tertentu Sadar akan privelege (hak istimewa) tertentu, dan memiliki prestige (gengsi kemasyarakatan) tertentu
Istilah kelas semula digunakan oleh Marx dan Engels yang menyatakan bahwa sejarah dari semua masyarakat adalah sejarah perjuagan kelas. Kelas merupakan pembagian ekonomi tertentu yang menjadi dasar atau landasan dari kesempatan hidup, kepentingan, atau bentuk-bentuk kesadaran orang. Kelas terbentuk karena ada yang memiliki dan tidak memiliki (alat-alat produksi). Hubungan antar-kelas adalah relasi antara pemilik dan bukan pemilik, dan hal ini berhubungan dengan pembagian kerja dan distribusi hasil produksi. Adanya kesadaran-kesadara, prestige, dan sebagainya yang melekat pada sebuah kelas, menjadikan kelas bukanlah sekedar orang-orang yang memiliki status, pendapatan, pendidikan, kekayaan, penghasilan, dan seterusnya yang relative sama, tetapi lebih berhubungan dengan gaya hidup dan kesempatan atau peluang hidup. Sehingga secara sederhana dapat dinyatakan bahwa struktur sosial itu identic dengan struktur peluang hidup, bahwa semakin baik posisi orang dalam struktur sosial, maka semakin baik pula kesempatan atau peluang hidupnya. 2.5 Simbol status Simbol merupakan “sesuatu” yang oleh penggunanya diberi makna tertentu. Simbol status merupakan ciri-ciri atau tanda-tanda yang melekat pada diri seseorang atau kelompok yang secara relatif dapat menunjukkan status yang disandangnya. Antara lain: cara berpakaian,cara berbicara, cara belanja, desain rumah, cara mengisi waktu luang, keikutsertaan dalam organisasi, tempat tinggal, kendaraan yang digunakan, cara berbicara, perlengkapan hidup, akses informasi, dan sebainya. 2.6 Bentuk-bentuk Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial terjadi karena dalam masyarakat terdapat sesuatu yang dihargai dan distribusinya tidak merata. Dalam proses mendapatkan sesuatu yang dihargai (tanah, uang, kekuasaan, pendidikan, dan sebagainya) terjadi persaingan atau bahkan konflik, sehingga terdapat pihak-pihak yang dapat memiliki atau menguasai sesuatu yang dihargai tersebut, tetapi ada yang hanya sedikit saja mendapatkan sesuatu tersebut, atau bahkan ada yang sama sekali tidak mendapatkannya. Sesuatu yang dihargai berubah-ubah sesuai perkembangan masyarakat. Pada masyarakat agraris, tanah menjadi seseuatu yang secara dominan dihargai oleh masyarakat. Pada masyarakat feudal, kehormatan keturunan menjadi sesuatu yang
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
24
sangat dihargai, sehingga raja dan keluarganya serta para bangsawan kerabat raja menduduki tempat yang tinggi pada stratifikasi sosial masyarakat feudal. Karena sebenarnya basis kehidupan masyarakat feudal sama dengan masyarakat agraris, yaitu bertumpu pada tanah, maka penguasaan atas tanah melekat pada kehormatan keturunan. Istilah feudal berasal dari kata feudum yang artinya tanah pinjaman. Tanahtanah milik para bangsawan dipinjamkan kepada rakyat untuk diolah, dan hasilnya dibagi antara bangsawan dengan rakyat, tetapi bangsawan mendapat bagian yang lebih besar daripada rakyat yang mengolah tanah. Pada masyarakat industri, karena tidak lagi berbasis pada tanah, maka sesuatu yang dihargai berubah, yaitu modal dan alat-alat produksi. Pemilahannya menjadi antara pemilik alat-alat produksi dan modal dengan para pekerja atau buruh. Pada umumnya terdapat sebagian kecil masyarakat yang mendapatkan sesuatu yang dihargai tersebut dalam jumlah banyak, sebagian yang lebih besar lebih sedikit mendapatkannya, dan sebagian yang lebih besar lagi sangat sedikit mendapatkan sesuatu yang dihargai. Oleh karenanya, dalam banyak masyarakat, terutama pada masyarakat-masyarakat yang masih tradisional atau agraris, stratifikasi sosial dapat digambarkan dalam bentuk kerucut.
Pada masyarakat industri yang lebih maju, stratifikasi sosial masyarakatnya cenderung berbentuk intan (diamond), anggota kelas menengah lebih banyak dari kelas yang di atas atau di bawahnya. Perubahan pekerjaan dari buruh tani pada masyarakat agraris menjadi buruh atau pekerja pabrik pada masyarakat industri, diikuti oleh peningkatan pendaparan yang cukup nyata. Akibatnya, banyak orang dari kelas bawah mengalami mobilitas sosial vertikal naik menjadi kelas menengah (dalam beberapa pembahasan sosiologi orang-orang yang mengalami peningkatan status ini sering disebut sebagai orang kaya baru). Apabila didasarkan pada peluang terjadinya mobilitas sosial, terdapat tiga macam jenis stratifikasi sosial, yaitu stratifikasi terbuka, stratifikasi tertutup, dan stratifikasi sosial campuran. Mobilitas sosial adalah perpindahan posisi atau kedudukan orang-orang dalam struktur sosial, bisa naik posisi atau turun posisi (mobilitas sosial vertikal), atau menempati posisi/kedudukan lain yang sama derajat sosialnya (mobilitas horizontal). Berlangsungnya mobilitas sosial dapat dialami oleh seseoran di sepanjang perjalanan hidupnya (mobilitas intragenerasi), atau berlangsung di antara generasi yang berbeda, misalnya bapaknya seorang petani, tetapi anaknya menjadi seorang direktur perusahaan (mobilitas sosial antar-generasi).
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
25
a. Stratifikasi sosial terbuka Adalah sifat stratifikasi sosial yang memungkinkan terjadinya mobilitas sosial secara lebih leluasa. Biasanya menjadi ciri pada masyarakat perkotaan atau industry yang lebih menghargai status atau kedudukan sosial yang diperoleh melalui perjuangan atau prestasi (achieved status) daripada status-status yang diperoleh karena warisan atau keturunan (ascribed status).
Gambar Stratifikasi Sosial terbuka b. Stratifikasi sosial tertutup Pada stratifikasi ini terjadinya perpindahan status atau kedudukan sosial sangat terbatas. Misalnya pada tipe kasta, di mana orang-orang lebih menghargai status askriptif dari pada yang diperoleh berdasarkan prestasi atau perjuangan.
Gambar Stratifikasi Tertutup c. Stratifikasi sosial campuran
Gambar stratifikasi campuran
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
26
Pada stratifikasi campuran, mobilitas sosial dalam bidang-bidang tertentu terbuka, namun pada bidang tertentu lainnya tertutup. Misalnya pada masyarakat Bali, orang-orang bisa leluasa bermobilitas sosial dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial yang lain. Namun, pada urusan adat kedudukan dalam kasta sangat menentukan. 2.7 Konsekuensi perbedaan status dalam pelapisan sosial masyarakat Cara hidup, yang meliputi cara berfikir, cara berperasaan dan cafra bertinda, yang berbeda-beda dari orang-orang atau sekelompok orang, bisa berupa sikap politik, kepedulian sosial, keterlibatan dalam kelompok sosial, dan sebagainya, berhubungan dengan status atau tempat kedudukan dari orang-orang tersebut dalam struktur sosial masyarakatnya. Ingat: PS = f(S + K), bahwa perilaku sosial pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial dan kebudayaan. Mari kita cari tahu sebab-sebabnya, mengapa seorang individu menyebut orangtuanya sebagai mama dan papa, bukan sebagai ayah dan ibu, bukan bapak dan ibu, atau bapak dan simbok. Coba temukan jawabnya. Apakah di antara yang menyebut orangtuanya dengan mama dan papa memiliki latar belakang kebudayaan dan posisi dalam struktur sosial yang sama? Mana yang identik dengan kebudayaan kota mana yang identik dengan kebudayaan desa. Mana yang menggambarkan kedudukan sosial yang tinggi dan mana yang menggambarkan kedudukan sosial yang lebih rendah. Tidak hanya itu. Konsekuensi perbedaan status dalam pelapisan sosial masyarakat akan meliputi hal-hal yang berhubungan dengan peluang hidup, privilege, prestige atau kehormatan sosial. Agar lebih jelas, bacalah tulisan berikut!
Stratifikasi Sosial: Determinan dan Konsekuensi Pendahuluan Stratifikasi sosial dan kelas sosial adalah dua hal yang berbeda, tetapi seringkali dipergunakan secara bergantian sehingga dalam beberapa bagian menjadi rancu. Stratifikasi sosial sebenarnya lebih merujuk pada pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan-tingkatan atau strata yang berjenjang secara vertikal. Jadi apabila kita berbicara tentang stratifikasi sosial, kita akan berbicara tentang posisi yang tidak sederajat antar-orang atau antar-kelompok dalam masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan atau polarisasi sosial. Sedangkan istilah kelas sosial lebih sempit dari itu. Istilah kelas lebih merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial. Orang-orang yang berasal dari suatu kelas sosial pada umumnya memiliki orientasi politik, nilai dan budaya, sikap, dan perilaku sosial yang –pada umumnya– sama. Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat miskin, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka, seperti cara berpakaian dan saara transportasi yang dipergunakan, atau bahkan mereknya. Tetapi, antarmereka biasanya juga berbeda ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya. Secara sederhana, perbedaan kelas sosial bisa terjadi dan dilihat dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau setiap bulannya. Namun, seperti yang dikatakan oleh Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1984) bahwa terbentuknya stratifikasi dan kelas-kelas sosial di dalamnya sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan uang. Kelas sosial adalah suatu strata atau pelapisan orang-orang yang berkedudukan relatif sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
27
Mereka mempunyai jumlah penghasilan yang relatif sama. Namun, lebih penting dari itu, mereka memiliki sikap, nilai-nilai, dan gaya hidup yang sama. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan sosialnya. Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi dalam jenis organisasi apa pun — klub, organisasi sosial, lembaga formal, atau bahkan lembaga keagamaan– daripada orang-orang yang berasal dari strata atau kelas menengah dan atas. Determinan stratifikasi sosial. Di dalam dunia kemiliteran, kita biasanya dengan mudah dan cepat membedakan strata anggotanya berdasarkan jenjang kepangkatan yang telah terstruktur dengan jelas. Tetapi, apakah kita juga dengan mudah bisa membedakan strata seseorang di dalam masyarakat yang begitu heterogen? Seorang direktur sebuah perusahaan swasta yang terkenal, misalnya, apakah kedudukan lebih tinggi dari seorang rektor sebuah universitas atau perguruan tinggi negeri atau swasta? Seorang artis, apakah lantaran mereka lebih populer kemudian dikatakan kedudukannya lebih tinggi dari dosen, wartawan, atau pengusaha yang sukses? Ukuran atau kriteria apakah yang kita gunakan untuk membedakan seseorang termasuk ke dalam suatu lapisan sosial tertentu? Secara rinci, faktor-faktor yang menjadi determinan stratifikasi sosial memang relatif beragam, yakni dimensi usia, jenis kelamin, agama, kelompok etnis atau ras, pendidikan formal, pekerjaan, kekuasaan, status, tempat tinggal, dan dimensi ekonomi. Berbagai dimensi ini, signifikansi dan kadar pengaruhnya dalam pembentukan stratifikasi sosial sudah tentu tidak sama kuat dan berbeda-beda tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks sosial yang berlaku. Pada masyarakat di zaman dahulu, jenis kelamin, usia, serta penguasaan agama, mungkin sangat dominan sebagai faktor yang mendasari pemilahan anggota sukubangsa tertentu. Dalam cerita seputar kerajaan, lakilaki pada umumnya dipandang lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, sehingga mereka dinilai lebih layak menyandang gelar sebagai putra mahkota. Dalam masyarakat yang makin modern, perbedaan strata yang terbentuk dan berkembang di masyarakat umumnya tidak lagi atas dasar hal-hal yang bersifat kodrati, seperti perbedaan jenis kelamin atau usia, tetapi diterminan stratifikasi sosial menjadi semakin kompleks dan tidak lagi bersifat given (askriptif), melainkan lebib berdasarkan prestasi (achieved). Secara umum, determinan yang menurut para ahli banyak berpengaruh dalam pembentukan stratifikasi sosial di masyarakat yang semakin modern adalah: dimensi ekonomi (kelas-kelas sosial), dimensi sosial (status sosial), dan dimensi politik (penguasa dan yang dikuasai/pemimpin dan pengikut). Hal ini sesuai dengan klasifikasi Jeffris dan Ransford (1980), di dalam masyarakat pada dasarnya dapat dibedakan tiga macam stratifikasi sosial, yaitu: 1. Hirarkhi kelas, yang didasarkan pada penguasaan atas barang dan jasa; 2. Hirarkhi kekuasasan, yang didadasarkan pada kekuasaan, dan 3. Hirarkhi status, yang didasarkan pada pembagian kehormatan dan status sosial. Akumulasi Dimensi. Selain tiga dimensi stratifikasi sosial di atas sudah tentu masih ada sejumlah dimensi yang lain. Namun, lepas berapa jumlah dimensi stratifikasi sosial yang ada, satu hal yang perlu dicermati adalah kemungkinan terjadinya akumulasi dari sejumlah dimensi itu. Artinya, seseorang yang memiliki aset produksi berlimpah, kaya, dan memiliki banyak perusahaan, biasanya ia sebelumnya lahir dari keluarga yang berkecukupan, terhormat, memiliki pendidikan yang tinggi, dan bahkan didukung dengan pemilikan jaringan atau koneksi yang sangat luas. Seseorang yang berpendidikan, misalnya, mestki tidak selalu menjamin, tetapi pada umumnya lebih berpeluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal. Sebagaimana dinyatakan oleh Beteille, bahwa pendidikan berharga karena
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
28
memberikan akses untuk jabatan dengan bayaran atau gaji yang lebih baik (Kuper dan Kuper, 2000: 1059). Mungkin banyak terjadi di cerita-cerita dan sedikit terjadi dalam kenyataan, cerita-cerita seperti “gareng jadi ratu” atau “seorang penggembala kerbau akhirnya menjadi presiden”. Dalam realitas, seseorang yang memiliki kekuasaan politik atau menduduki jabatan tertentu, akan cenderung lebih besar peluangnya untuk meraih fasilitas dan kebutuhan material. Sebaiknya, untuk orang miskin, selain tidak memiliki kekuasaan apapun, mereka biasanya juga tidak berdaya dan mudah dijadikan bahan eksploitasi. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi dalam Setangkai Bunga Sosiologi (1964), menyatakan bahwa anggota masyarakat yang posisinya tinggi akan cenderung mengakumulasikan posisi dalam dimensi yang berlainan. Dalam masyarakat yang terstratifikasi, memang salah satu ciri utama yang menandai adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis kekuasaan sosial. Yang dimaksud basis kekuasaan sosial itu menurut Friedman (1979), meliputi: 1. 2. 3. 4.
Modal produktif atas aset (tanah, rumah, peralatan, dan kesehatan) sumber keuangan (pendapatan dan akses kredit) organisasi sosial dan politik yang digunakan untuk mencapai kepentingan bersam network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai 5. informasi-informasi yang berguna untuk kehidupan Bagi kelas yang memiliki kekayaan atau kekuasaan lebih, peluang untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial menjadi lebih besar. Sebaliknya, bagi kelas sosial menengah ke bawah, apalagi miskin, peluang mereka untuk mendapatkan basis kekuatan sosial juga rendah, sehingga peluang untuk melakukan mobilitas sosial vertikal pun menjadi kecil. Lebih lanjut, dalam kajian ilmu sosial, pengertian stratifikasi sosial tidak sebatas pada pembagian kelas-kelas sosial saja, melainkan juga interaksi atau hubungan timbal-balik antar-kelas. Nah, apa yang terjadi ketika suatu kelas sosial berhubungan timbal-balik dengan kelas sosial lainya, ternyata lebih menunjukkan fenomena yang sifatnya relasional atau interaksional daripada gradual. Kenapa suatu kelompok tetap miskin, dan kenapa pula kelas sosial yang berkuasa senantiasa hidup dalam lingkaran kekayaan, adalah hal yang sering dipertanyakan ketika kita berbicara mengenai relasi atau hubungan antar-kelas sosial. Kita sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Dalam konteks hubungan antarkelas inilah kemiskinan struktural terjadi. Ciri utama kemiskinan struktural adalah tidak terjadinya mobilitas vertikal di kalangan lapisan bawah. Kalau toh ada, maka itu akan lamban sekali. Hal ini karena kemiskinan itu terjadi akibat hubungan antar-kelas, bahwa terjadi kungkungan struktur sosial, sehingga yang miskin tetap miskin, dan yang kaya tetap berada pada lingkungannya yang kaya. Ciri lain kemiskinan struktural adalah adanya ketergantungan dari pihak yang miskin terhadap pihak yang kaya, atau kelas sosial di atasnya. Mohtar Mas’ud (1994: 143) menyatakan bahwa ketergantungan si miskin terhadap kelas sosial di atasnya inilah yang memerosotkan si miskin dalam hal bargaining positionnya, sehingga tetap tidak mempunyai kemampuan tawar terhadap kelas sosial di atasnya. Konsekuensi stratifikasi sosial. Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup dan tindakan, tetapi –seperti yang ditulis oleh Horton dan Hunt (1987), juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
29
berusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik. Apabila dirinci, konsekuensi perbedaan stratifikasi sosial akan terjadi pada 1. Perbedaan gaya hidup 2. Perbedaan peluang hidup dan kesehatan 3. Respons terhadap perubahan 4. Peluang bekerja dan berusaha 5. Kebahagiaan dan sosialisasi dalam keluarga 6. Perilaku politik Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak cuma mempengaruhi perbedaan dalam hal gaya hidup atau tindakan, tetapi –seperti ditulis Horton dan Hunt (1987)– juga menimbulkan sejumlah perbedaan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, seperti peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja danberusaha, respons terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, dan perilaku politik. Gaya hidup. Gaya hidup (life style) yang ditampilkan antara kelas sosial satu dengan kelas sosial yang lain dalam banyak hal tidaklah sama, bahkan ada kecenderungan masing-masing kelas mencoba mengembangkan gaya hidup ekslusif untuk membedakan dirinya dengan kelas sosial yang lain. Berbeda dengan kelas sosial rendah yang umumnya bersikap konservatif di bidang agama, moralitas, selera pakaian, selera makanan, cara baru perawatan kesehatan, cara mendidik anak, dan hal-hal lainya, gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan atas umumnya lebih atraktif dan eksklusif (Dickson, 1968). Mulai dari tutur kata, cara berpakaian, pilihan hiburan, pemanfaatan waktu luang, pola berlibur, dan sebagainya, antar kelas yang satu dengan yang lainnya umumnya tidak sama. Sebuah keluarga yang berasal dari kelas atas, mereka biasanya akan cenderung memilih berlibur ke luar negeri. Setiap bulan atau minimal setiap liburan semester anakanaknya, mereka akan menyembatkan waktu pergi ke Singapura, Australia, Hongkong, Amerika, atau Eropa. Untuk keluarga kelas menengah, tempat untuk berlibur biasanya tidak di luar negeri, tetapi cukup di Bali, Lombok, Yogyakarta, atau Jakarta. Untuk keluarga kelas bawah, biasanya mereka hanya berlibur di kota-kota terdekat yang udaranya lebih sejuk atau sekedar berjalan-jalan di pusat-pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu luang. Di kalangan keluarga yang benar-benar miskin, mereka bahkan hanya mengisi waktu luang dengan menikmati tontonan televisi di rumah, atau sesekali ke kebun binatang, taman hiburan rakyat, pantai, dan sebagainya. Gaya hidup lain yang tidak sama antara kelas sosial satu dengan lainnya adalah dalam hal berpakaian. Atribut-atribut yang sifatnya massal dan dianggap berselera rendahan – pakaian kodian, misalnya– biasanya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi mapan atau berada. Bagi mereka, atribut yang dikenakan adalah simbol status yang mencerminkan dan membedakan statusnya dari kelas sosial lain yang lebih rendah. Di Indonesia, sering terjadi seseorang yang merasa bagian dari kelas menengah atau atas dalam banyak hal akan gengsi atau malu bila disebut sebagai penggemar musik dangdut atau penonton setia film India. Vonis masyarakat yang menempatkan musik dan film goyang pinggul sebagai hiburan kacangan yang banyak diputar di deerah pinggiran atau desa-desa menyebabkan orang-orang dari kelas menengah atau atas seoalah merasa turun derajatnya bila dikategorikan sebagai salah satu penggemar kedua hiburan ini. Dalam memanfaatkan waktu luang di malam minggu, film-film yang banyak ditonton orang-orang dari kelas menengah ke atas biasanya film-film barat baru yang dibintangi oleh bintang-bintang Hollywood terkenal, macam Tom Cruise, Tom Hank, Kevin Costner, Sharon Stone, Mat Dammon, J-Lo, Demi Moore, dan sebagainya. Sedangkan musik yang banyak didengar adalah musik-musik jazz atau pop Barat yang acapkali ditayangkan di
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
30
acara-acara televisi swasta, seperti MTV, Clear Top Ten, dan sebagainya. Beberapa penyanyi yang menjadi pujaan kelas menengah, misalnya adalah Britney Spears, Clay Aiken, J-Lo, Michael Bolton, Michael Jackson, Mariah Carrey, atau Whitney Houston. Sebagai orang kelas sosial bawah, memang terkadang mereka mencoba meniru-niru atribut yang dikenakan sebagai gaya hidup kelas di atasnya. Dalam pemilihan pakaian, sepatu, atau jam tangan, misalnya, banyak orang-orang dari kelas rendah mencoba menirunya dengan cara membeli barang-barang tiruan yang biasa dikenakan kelas menengah ke atas. Salah satu ciri dari kelas sosial bawah adalah mereka acapkali mengapresiasi dan sejauh mungkin ingin tampil seperti kelas sosial di atasnya. Jika orang-orang dari kelas atas memakai kaos merek Hammer atau sepatu merek Nike, maka orang-orang dari kelas bawah akan memakai dengan merek yang sama tetapi tiruan. Demikian ketika orang-orang dari kelas atas memakai tas merk Braun Buffel, Etienne Eigner, dan sejenisnya, maka sebagian orang-orang dari kelas bawah akan menirunya dengan membeli tas “tembakan” buatan Korea atau China. Bagi orang-0rang yang belum berpengalaman dan dipandang sepintas kilas mereknya akan terlihat sama. Selera kalangan bawah yang umumnya lebih menyukai pakaian denngan warna-warna mencolok dalam banyak hal juga semakin mengukuhkan adanya perbedaan penampilan mereka dengan kelas di atasnya. Peluang Hidup dan Kesehatan. Berbagai kajian yang dilakukan ahli sosiologi dan kependudukan telah banyak menemukan kaitan antara stratifikasi sosial dengan peluang hidup dan derajat kesehatan keluarga. Studi yang dilakukan oleh Robert Chambers (1987), misalnya, menemukan bahwa di lingkungan keluarga miskin, tidak berpendidikan, dan rentan, mereka umumnya lemah jasmani dan mudah terserang penyakit. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Brooks (1975) menemukan bahwa kecenderungan terjadinya kematian bayi ternyata dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya kelas sosial orangtua. Semakin tinggi kelas sosial orangtua, semakin kecil kemungkinan terjadinya kematian bayi. Di kalangan kaum ibu yang kurang berpendidikan, terjadinya kematian bayi relatif lebih tinggi karena tinggi-rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat pengertiannya terhadap perawatan kesehatan, hygiene, perlunya pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadarannya terhadap kesehatan anak-anak dan keluarganya (Utomo, 1985). Menurut studi yang dilakukan oleh Antonovsky (1972) dan Harkey (1976), sekurangkurangnya ada dua faktor yang berinteraksi untuk menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehata. Pertama: para anggota kelas sosial yang lebih tinggi biasanya menikmati sanisitas, tindakan-tindakan pencegahan serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua: orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya cenderung untuk “meluncur” ke bawah dan sulit mengalami mobilitas sosial vertikal naik karena penyakitnya menghalangi mereka untuk memperoleh dan mempertahankan berbagai pekerjaan. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika sebuah keluarga miskin suatu saat kepala keluarga yang merupakan tenaga kerja produktif dan andalan ekonomi keluarga tibatiba jatuh sakit hinga berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Berbeda dengan keluarga kelas menengah ke atas yang biasanya memiliki tabungan yang cukup dan ikut asuransi kesehatan, keluarga-keluarga miskin yang bekerja dengan upah harian, tatkala mereka sakit, maka akibat yang segera terjadi biasanya adalah mereka terpaksa jatuh pada perangkap utang, dan pelan-pelan satu per satu barang yang mereka miliki terpaksa dijual untuk menyambung hidup (Suyanto, 2003). Dengan alasan tidak lagi ada uang yang tersisa, sering terjadi keluarga miskin yang salah satu anggota keluarganya sakit akan memilih mengobati seadanya dengan cara tradisional, yang ironisnya kadang justru membuat penyakit yang mereka derita menjadi tidak kunjung sembuh. Singkatnya seperti yang diungkapkan oleh Weber, bahwa semakin tinggi posisi seseorang atau kelompok dalam struktur sosial peluang hidupnya akan semakin baik.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
31
Respon terhadap perubahan. Berbeda dengan orang-orang yang datang dari kelas sosial atas, orang-orang dari kelas sosial bawah merupakan kelompok yang paling terlambat menerapkan kecenderungankecenderungan baru, khususnya dalam hal cara mengambil keputusan. Memang, setiap kali terjadi perubahan, tentu membutuhkan proses adaptasi, dan bahkan respons yang tepat dari warga masyarakat. Orang-orang dari kelas sisial bawah umumnya ragu-ragu untuk menerima pemikiran dan cara-cara baru serta curiga terhadap para pembaharu (pencipta hal-hal baru). Studi yang dilakukan oleh IB Wirawan (1972) mengenai perilaku ber-KB masyarakat desa menunjukkan bahwa KB mandiri lebih banyak dilakukan oleh orang-orang dari kelas sosial atas daripada bawah. Ragu dan curiga terhadap hal baru barangkali merupakan ciri yang relatif tetap pada kelas bawah, misalnya juga terhadap pembaruan cara bertani, penggunaan pupuk tablet menggantikan pupuk tabur di desa kami juga menunjukkan hal itu. Semula para petani menolah penggunaan pupuk tablet, tetapi karena penjualan pupuk tabur dibatasi, akhirnya terpaksa menerima. Dan ketika menghadapi kenyataan bahwa pupuk tablet lebih hemat, mereka baru mau menerimanya. Terbatasnya pendidikan, kebiasaan membaca, dan pergaulan mengakibatkan kebanyakan orang-orang dari kelas sosial bawah itu tidak mampu mengetahui latar belakang pemikiran yang mendasari berbagai program perubahan yang ditawarkan (Horton dan Hunt, 1987). Kelas sosial atas -di mana sebagian besar berpendidikan relatif memadai– cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga acapkali mereka lebih sering bisa memetik manfaat dengan cepat atas program-program baru atau inovasi-inovasi yang diketahuinya. James Scout menyatakan bahwa salah satu ciri masyarakat desa miskin di Asia Tenggara adalah keengganan untuk menempuh resiko atau lebih dikenal dengan istilah prinsip safety first (dahulukan selamat). Petani-petani kecil yang meruasa lebih baik menunggu daripada segera merespon perubahan atau tawaran program baru, karena bagi mereka kelangsungan hidup lebih penting daripada melakukan langkah-langkah terobosan yang menurut mereka belum tentu jelas hasilnya. Peluang bekerja dan berusaha. Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial rendah dengan kelas sosial di atasnya umumnya jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan uang yang dimiliki, kelas sosial atas relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Seseorang yang sejak kecil telah disertakan dalam kursus Bahasa Iggris oleh orangtuanya yang kaya, tentu kemungkinan mereka bersekolah di luar negeri lebih terbuka. Dengan menyandang gelar MBA atau MA dari luar negeri, jelas kesempatan mereka untuk bekerja di perusahaan besar lebih besar. Sementara itu, untuk kelas sosial rendah, akibat belitan atau perangkap kemiskinan dan pendidikannya yang rendah, mereka umumnya rentan, tidak berdaya dan kecil kemungkinan untuk bisa memperoleh pekerjaan yang memadai atau kemungkinan melakukan diversivikasi okupasi. Keluarga-keluarga yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali tidak bisa ikut meramaikan hasil pertumbuhan ekonomi, rapuh, dan sulit meningkatkan kualitas hidupnya. Walaupun orang-orang dari kelas bawah telah sering memperoleh bantuan permodalan dari KUD, KUT, BRI UNIT DESA, Pegadaian, BLT, dst. tetapi acapkali bantuan-bantuan ekonomi itu tidak dapat menyelsaikan masalah kemiskinan secara tuntas.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
32
Kebahagiaan dan sosialisasi keluarga Horton dan Hunt (1984) menyatakan bahwa orang-orang kaya umumnya lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga lebih berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang berada. Fenomena child abuse atau tindak kekerasan dalam keluarga cenderung lebih sering terjadi dan dialami oleh keluarga-keluarga yang secara sosial-ekonomi tergolong miskin. Keluarga-keluara dari kalangan bawah cenderung mengalami kegagalan dalam melaksanakan fungsi-fungsi dasar keluarga, khususnya fungsi afeksi dan sosialisasi, karena setiap harinya mereka masih harus dipusingkan oleh kebutuhan perut yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Dalam kajian Oscar Lewis (Lima Keluarga Miskin di Mexico) dihasilkan informasi bahwa figur ayah dalam keluarga yang serba susah biasanya kasar, tidak berpendidikan, pengangguran, hidup tidak teratur, bahkan tidak mandi atau makan pagi terlebih dulu sebelum pergi, terjepit oleh pekerjaan yang rendah dengan gaji yang rendah pula, dan merupakan keturunan dari seorang ayah yang kejam pula. Dalam konteks ini bahwa “kekerasan” menghasilkan “kekerasan” adalah kebenaran yang tidak mudah disangkal. Seorang anak yang dibesarkan dalam suasana keluarga yang serbakekurangan dan penuh dengan tindak kekerasan, besar kemungkinan ketika ia menjadi dewasa dan berkeluarga, akan menjadi seorang suami atau ayah yang ringan tangan terhadap isteri atau anak-anaknya. Ia akan enggan memberikan kasih sayang dan perasaan cintanya terhadap anggota-anggota keluarganya. Perilaku politik Berbagai studi memperlihatkan bahwa kelas sosial mempengaruhi perilaku politik orang. Studi yang dilakukan oleh Erbe (1964), Hansen (1975), dan lain-lain menyimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial semakin cenderung aktif dalam kehidupan politik, seperti mendaftarkan diri sebagai pemilih, memberikan suara dalam pemilu, tertarik pada pembahasan politik, dan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang lain. Di lingkungan orang-orang yang berpendidikan di kalangan kelas menengah, ditengarai tingkat partisipasi politiknya tinggi daripada orang-orang yang kurang berpendidikan karena ada kaitannya dengan semakin tumbuhnya sikap kritis mereka. Akses mereka terhadap informasi merupakan salah satu faktor penyebabnya. Kelas menengah bahkan diharapkan berperan sebagai motor penggerak perubahan, kendati justru tidak jarang dijumpai orang-orang dari kalangan kelas menengah yang justru menjadi pendukung status quo. Sumber: http://agsasman3yk.wordpress.com/2009/07/30/konsekuensi-stratifikasi-sosial/ https://agsasman3yk.wordpress.com/2009/07/15/stratifikasi-sosial-determinan-dankonsekuensi/ 3. Perbedaan Horizontal 3.1 Batasan Istilah yang digunakan untuk menggambarkan adanya perbedaan horizontal adalah diferensiasi sosial, baik diferensiasi custom atau adat, maupun diferensiasi fungsi. Parameter-parameter yang digunakan dalam pemilahan anggota masyarakat dalam struktur sosial sehingga menghasilkan perbedaan horizontal adalah parameterparameter yang bersifat nominal atau tidak berjenjang. Parameter pokok yang sering digunakan adalah yang sering disebut dengan akronomi SARA, yaitu sukubangsa, agama, ras, dan antar-golongan atau aliran.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
33
Secara das sollen (yang seharusnya, atau yang diharapkan), di antara parameterparameter tersebut benar-benar tidak berjenjang. Sehingga, kelompok penganut agama tertentu tidak berarti lebih rendah atau lebih tinggi derajat sosialnya dibandingkan dengan penganut agama tertentu lainnya. Kelompok sukubangsa tertentu tidak lebih tinggi atau lebih rendah derajat sosialnya daripada kelompok sukubangsa lainnya. Apabila stratifikasi sosial (rank diferentiation) ada dalam masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai dan distribusinya tidak merata, diferensiasi sosial dalam masyarakat terjadi karena adanya perbedaan-perbedaan karakteristik dari para anggota masyarakat. Perbedaan karakteristik itu bisa berupa, (1) perbedaan karakteristik fisiologis, seperti warna kulit dan jenis kelamin, (2) perbedaan karakteristik sosial, seperti pekerjaan atau profesi, (3) perbedaan karakteristik budaya, misalnya perbedaan agama atau keyakinan, perbedaan cara hidup, perbedaan bahasa, subkultur, dan sebagainya. 3.1 Wujud Diferensiasi Sosial Wujud dari diferensiasi sosial dalam masyarakat adalah adanya satuan-satuan sosial berdasarkan sukubangsa, agama, ras, jender, profesi atau pekerjaan. 3.1.1 Diferensasi sukubangsa Sukubangsa adalah golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, yang sering dikuatkan dengan kesatuan bahasa. Diferensiasi sukubangsa di Indonesia terjadi karena antara lain bentuk wilayah Indonesia yang berupa kepulauan, sehingga walaupun semula berasal dari daerah atau nenek moyang yang sama, tetapi karena harus tinggal menetap pada wilayah-wilayah yang saling terpisah, maka satuan-satuan sosial itu mengembangkan subkulturnya masing-masing, sehingga masyarakat Indonesia terdiri atas berarus-ratus sukubangsa. Sukubangsa sering disamakan dengan kelompok etnik (ethnic Group). Namun, kelompok etnik tidak selalu berarti sukubangsa. Misalnya kelompok etnik Tionghoa. Disebut kelompok etnik apabila secara sosial telah mengembangkan SUBKULTUR-nya sendiri. Lima ciri pengelompokan sukubangsa:
Bahasa/dialek yang memelihara keakraban dan kebersamaan di antara warga sukubangsa Pola-pola sosial-kebudayaan (adat istiadat, cita-cita dan ideologi) Ikatan sebagai satu kelompok Kecenderungan menggolongkan diri ke dalam kelompok asli Perasaan keterikatan kelompok karena kekerabatan/genealogis dan kesadaran teritorial di antara warga sukubangsa
Untuk kepentingan administrasi dan politik, di masa orde baru dibedakan antara (1) masyarakat sukubangsa, (2) masyarakat terasing, dan (3) keturunan asing. Masyarakat sukubangsa adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia, dan mampu berinteraksi dan komunikasi dengan dunia luarnya, masyarakat terasing adalah kelompok etnis yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia, tetapi terisolasi atau mengalami keterbatasan hubungan dengan dunia luarnya, sedangkan keturunan asing memiliki daerah asal di luar wilayah Indonesia. Ada tiga keturunan asing yang menonjol, yaitu China, India dan Arab.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
34
TABEL SUKUBANGSA DI INDONESIA TAHUN 2000
3.1.2 Direrensiasi agama Diferensisasi agama merupakan diferensiasi customs, dan di Indonesia terjadi karena letak Indonesia di posisi silang, di antara dua benua dan dua samudera, sehingga lokasnya strategis dalam menerima pengaruh dari luar. Di Indonesia setidaknya terdapat penganut dari lima agama besar dunia, Islam, Kristen, Katholik , Hindu, dan Budha. Juga Konghuchu. Agama-agama tersebut tidak satu pun yang asalnya dari dalam wilayah Indonesia.
Komposisi Penganut Agama di Indonesia (Sensus 2010) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Agama
Jumlah
Persen
Islam Kristen Katolik Hindu Budha Khong Hu Chu Lainnya Tidak Terjawab Tidak ditanyakan
207,176,162 16,538,513 6,907,873 4,012,116 1,703,254 117,091 299,617 139,582 757,118
87,18 6,96 2,91 1,69 0,72 0,05 0,13 0,06 0,32
Jumlah
237,641,326
100 Sumber: BPS 2010
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
35
Emmille Durkheim mendefinisikan agama sebagai sistem terpadu terdiri atas keyakinan dan praktek, berhubungan dengan sesuatu yang dianggap sacred (suci/sakral) menyatukan pengikutnya ke dalam suatu komunitas moral yang disebut umat. Sesuatu yang sakral disebut TUHAN (God, Allah, Elia, Devon, Deva, Devi, dan sebagainya). Dalam antropologi, sebagaimana dikemukakan oleh Rudolf Otto, diketahui bahwa sesuatu yang sacral atau tuhan memiliki tiga ciri, yaitu: (1) tremendous, artinya tidak terkalahkan, (2) mysterious, artinya eksistensi atau keberadaannya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia, dan (3) fascination, artinya memesona. Gambaran tentang tuhan dalam berbagai agama selalu dengan hal-hal yang suci dan memesona. Terkait dengan dampak dalam kehidupan bermasyarakat, wujud dari kehidupan beragama berhubungan dengan lima hal pokok yaitu: (1) system keyakinan, (2) umat beragama, (3) ritus atau peribadatan, (4) alat-alat ritus atau peribadatan, dan (5) sentiment atau emosi keagamaan. 3.1.3 Diferensiasi ras Ras merupakan penggolongan manusia berdasarkan ciri-ciri fisik-biologis manusia dengan kecenderungan yang besar. Penggolongan ras manusia tidak didasarkan pada faktor-faktor sosiologis, tetapi dampaknya dapat bersifat sosiologis. Ciri fisik yang dimaksud adalah, (1) ciri-ciri fenotipe, yaitu ciri-ciri yang tampak luar, dapat berupa ciri-ciri kualitatif, seperti warna kulit, warna dan bentuk rambut, warna dan bentuk mata, dan sebagainya, dan ciri-ciri kuantitatif, seperti tinggi dan berat badan, ukuran kepala, ukuran hidung, dan sebagainya, (2) Ciri-ciri genotype, yaitu ciri-ciri yang tidak tampak luar, seperti golongan darah dan DNA. Dalam penggolongan ras lebih banyak berdasarkan ciri-ciri fisik fenotipe, baik kualitatif maupun kuantitatif. Manusia dari seluruh dunia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ras utama, yaitu (1) Kaukasoid yang berkulit putih, (2) Mongoloid, berkulit coklat atau sawo matang atau kuning, dan (3) Negroid, berkulit hitam. Tentu saja terdapat ras-ras khusus yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar tersebut, seperti Ainu, Polenesia, Veddoid, Bushman, dan Asutroloid. Ras-ras tersebut memiliki ciri-ciri yang tumpang tindih, misalnya Ainu, dari segi struktur tubuh memiliki ciri-ciri mongggoloid, tetapi dari warna kulit, bentuk dan warna mata, memiliki ciri-ciri kaukasoid. Ras Austroloid, dari ciri-ciri struktur seperti Kaukasoid, tetapi warna kulitnya Negroid. Dalam prakteknya terdapat kesulitan penggolongan ras, antara lain karena: (1) ciri fisik yang tumpang tindih, dan (2) terjadinya perkawinan campuran (amalgamasi). Berikut ini adalah jenis – jenis ras yang ada di Indonesia berdasarkan zaman; a. Ras Negroid Ciri ras ini berkulit hitam, bertubuh tinggi, dan berambut keriting. Ras ini datang dari benua Asia, mendiami Papua. b. Papua Melanosoid Ciri ras ini brkulit hitam dan berbibir tebal. Dikenal juga sebagai orang berkulit hitam di Indonesia dengan rambut ikal bergelombang kecil. Mirip dengan Negroid, hanya ras ini memiliki ukuran tubuh yang lebih besar. Mereka berdiam di Papua, Pulau Aru, dan Pulau Kai.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
36
c. Ras Weddoid Ras weddoid memiliki ciri berkulit hitam sampai sawo matang, bertubuh sedang, dan berambut keriting. Ras ini datang dari India bagian Selatan, mendiami kepuluan Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (Kupang). d. Mongoloid Ciri ras ini berkulit hitam sampai sawo matang dan kekuning-kuningan, berambut lurus sampai ikal, dan muka agak bulat. Merupakan kelompok ras terbesar di seluruh Indonesia, dan mereka menganggap sebagai cikal bakal yang melahirkan bangsa Indonesia. Golongan ras ini terbagi dua, yaitu 1) Melayu Muda (Deutero Melayu) Ras ini memiliki ciri berkulit sawo matang, bertubuh tidak terlalu tinggi, dan berambut lurus. Ras ini datang dari Tionghoa bagian Selatan (Yunan), mendiami Sumatra, Jawa, Madura, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan NTB. 2) Melayu Tua (Proto Melayu) Ras ini memiliki ciri berkulit sawo matang agak kuning, bertubuh tidak terlalu tinggi, dan berambut lurus. Ras ini datang melalui Semenanjung Malaya, mendiami Sumatra, Kalimantan (Dayak), dan Sulawesi.
Kajian yang lebih dalam dan detail tentang ras dipelajari dalam somatologi, satu cabang atau bagian dari Antropologi yang mengkaji tentang ciri-ciri fisik-biologis manusia, perkembangan dan persebarannya. Dalam sosiologi kajian tentang ras menitikberatkan pada hubungan antar-ras yang dapat diwarnai oleh stereotype dan prasangka. 3.1.4 Diferensiasi jenis kelamin dan jender Jenis kelamin (seks) merupakan bentuk diferensiasi manusia yang paling mudah dilihat oleh mata sebab perbedaan jenis kelamin sangat mudah untuk diidentifikasi. Diferensiasi jenis kelamin telah melahirkan berbagai pola pembagian kerja yang berdasarkan nilai-nilai dan norma sosial, sehingga terdapat batas-batas antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Fenomena ini melahirkan pembedaan laki-laki perempuan dalam konteks sosial-budaya yang disebut jender.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
37
Kesenjangan Jender Perbedaan konsep antara jenis kelamin dengan jender No
Jenis Kelamin
Jender
1.
Pemilahan bersifat biologis
2.
Merupakan pemberian Tuhan
3. 4. 5.
Bersifat kodrati/alami Tidak dapat diubah Peran seks laki-laki: produksi, peran seks perempuan: reproduksi
Pemilahan bersifat kultural atau adat istiadat Merupakan bentukan setelah lahir, diajarkan melalui sosialisasi dan internalisasi Merupakan konstruksi sosial dan budaya Dapat diubah, dipertukarkan, dinamik Peran gender: memasak, mencuci, merawat anak, mendidik, bekerja di luar rumah, menjadi tenaga profesional, dan sebagainya
3.1.5 Diferensiasi profesi Dari kata “Profess” (Yunani) yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen". Profesi adalah pekerjaan yg membutuhkan keahlian (pelatihan) dan penguasaan pengetahuan khusus. Profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Karakteristik profesi a. b. c. d. e. f. g. h.
Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis Asosiasi profesional Pendidikan yang ekstensif Ujian kompetensi Pelatihan institutional Lisensi Otonomi kerja Kode etik
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
38
i. Mengatur diri j. Layanan publik dan altruisme k. Status dan imbalan yang tinggi Semakin modern suatu masyarakat semakin bervariasi profesi-profesi yang ada. 4. Kesetaraan dan Harmoni Sosial Struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang unik, yaitu (1) secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, serta perbedaan-perbedaan kedaerahan. Sedangkan (2) secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, adat, dan kedaerahan seringkali disebut sebagai ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, suatu istilah yang mula-mula dikenalkan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda. Konsep masyarakat majemuk sebagaimana yang digunakan oleh ahliahli ilmu kemasyarakatan dewasa ini memang merupakan perluasan dari konsep Furnivall tersebut. Masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, demikianlah menurut Furnivall, merupakan suatu masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam kesatuan politik (JS Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambridge at The University Press, 1967, halaman 446-469). Sebagai suatu masyarakat majemuk, Furnivall menyebut Indonesia ketika itu sebagai suatu tipe masyarakat tropis di mana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras. Orang-orang Belanda sebagai golongan minoritas merupakan penguasa yang memerintah bagian amat besar orang-orang Indonesia prubumi yang menjadi golongan kelas tiga di negerinya sendiri. Golongan keturunan Tionghoa, sebagai golongan terbesar di antara orang-orang keturunan Timur Asing lainnya, menempati kedudukan di antara kedua golongan tersebut. Di dalam kehidupan politik, pertanda paling jelas dari masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk itu adalah tidak adanya kehendak bersama (common will); masyarakat Indonesia sebagai keseluruhan terdiri atas elemen-elemen yang terpisah satu sama lain oleh karena perbedaan ras, masing-masing lebih merupakan kumpulan individuindividu daripada sebagai suatu kesuluruhan yang organis. Orang-orang Belanda datang ke Indonesia untuk bekerja saja, mereka tidak menetap di Indonesia. Kehidupannya semata-mata adalah di sekitar pekerjaannya saja. Mereka memandang masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan masalahmasalah kemasyarakatan lainnya di Indonesia, tidak sebagai warga masyarakat, apalagi warga negara, melainkan sebagai kapitalis atau majikan dari buruh-buruh mereka. Banyak memang di antara mereka yang tinggal di Indonesia sampai kira-kira 20 tahun, tetapi kemudian lebih suka menghabiskan hari tuanya di negeri Belanda. Orang-orang Timur Asing, terutama orang-orang Tionghoa, sama dengan orang-orang Belanda. Mereka datang ke Indonesia untuk kepentingan ekonomi. Kehidupan orangorang pribumi pun demikian juga, kehidupan mereka semata-mata adalah kehidupan pelayan di negerinya sendiri. Tiga golongan masyarakat ini merupakan masyarakat kasta yang masing-masing mempertahankan atau memelihara cara berfikir, berperasaan, dan bertindak golongannya, hasilnya adalah tidak adanya kehendak bersama sebagai suatu masyarakat yang utuh atau organis.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
39
Demikianlah gambaran masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda sebagaimana digambarkan oleh Furnivall. Keadaannya pada masa kini sudah tentu berbeda dari pada masa tersebut. Namun demikian, mengikuti beberapa modifikasi atas pengertian masyarakat majemuk yang dicetuskan setelah generasi Furnivall, konsep masyarakat majemuk tetap dapat digunakan untuk menganalisis struktur sosial masyarakat Indonesia. Dengan mengabaikan perwujudannya yang kongkrit di masa kini, esensi dari konsepsi Furnivall tentang masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu terhadap yang lain. Tegasnya, suatu masyarakat disebut majemuk apabila masyarakat tersebut secara struktural memiliki subkebudayaan-subkebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni, serta oleh sering tumbuhnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagianbagiannya. Sehubungan dengan keadaan yang demikian, Clifford Geertz menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam subsistem-subsistem yang masing-masing terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. van den Berghe menyebutkan beberapa karakteristik masyarakat majemuk, sebagai berikut. 1. terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain, 2. memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer, 3. kurang mampu mengembangkan konsensus di antara para anggota-anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar, 4. secara relatif sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, 5. secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi, serta 6. adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain Pluralitas Indonesia sesudah Masa Revolusi Konsep pluralitas/kemajemukan yang dibuat oleh Furnivall sangat tepat digunakan untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa Hindia Belanda, di mana terdapat tiga golongan yang saling berbeda, yaitu orang-orang kulit putih, keturunan Tionghoa, dan pribumi. Lalu, bagaimana apabila digunakan setelah masa revolusi 1945? Sejak Indonesia mencapai kemerdeakaannya pada 17 Agustus 1945, golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan penting, terlempar keluar dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Maka sejak saat itu, pluralitas yang ada adalah pluralitas internal yang terdapat di antara golongan-golongan pribumi, dan memperoleh artinya yang lebih penting daripada apa yang dikemukakan oleh Furnivall. Konfigurasi Etnis Masyarakat Majemuk Dalam makalah yang disampaikan pada seminar Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi Nasional di Surabaya tanggal 23 Juli 1990, Dr. Nasikun menyatakan bahwa
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
40
berdasarkan konfigurasinya, masyarakat majemuk dapat dibedakan ke dalam empat kategori, yaitu: (1) masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, (2) masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, (3) masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, dan (4) masyarakat majemuk dengan fragmentasi. Kategori pertama merupakan masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik yang kurang lebih seimbang, sehingga untuk mencapai integrasi sosial atau pemerintahan yang stabil diperlukan koalisi lintas-etnis. Kategori kedua dan ketiga merupakan varian-varian masyarakat majemuk yang memiliki konfigurasi etnik yang tidak seimbang, di mana salah satu kelompok etnik tertentu (kelompok mayoritas pada kategori kedua dan kelompok minoritas pada kategori ketiga) memilikicompetitive advantage yang strategis di hadapan kelompok-kelompok yang lain. Masyarakat majemuk dengan kategori keempat (dengan fragmentasi) meliputi masyarakat-masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar kelompok etnik, semuanya dengan jumlah anggota yang kecil dan tidak satupun memiliki posisi politik yang dominan dalam masyarakat. Kehidupan politik dalam masyarakat dengan konfigurasi demikian sangatlah labil, karena ketidakmampuan membangun coalition building yang diperlukan untuk mengakomodasi konflik-konflik yang pada umumnya bersifat anarkhis sebagai akibat dari kecurigaan etnik dan hadirnya pemerintahan yang otoriterian. Sebab-sebab pluralitas (Mengapa Majemuk?) Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa pluralitas masyarakat Indonesia yang demikian itu terjadi. Yang pertama, keadaan geografik wilayah Indonesia yang terdiri atas kurang lebih tiga ribu pulau yang terserak di sepanjang equator kurang lebih tiga ribu mil dari timur ke barat, dan seribu mil dari utara selatan, merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya pluralitas sukubangsa di Indonesia. Ketika nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini mula-mula sekali datang secara bergelombang sebagai emigran daru daerah yang kita kenal sebagai daerah Tiongkok Selatan pada kira-kira dua ribu tahun sebelum masehi, keadaan geografik serupa itu telah memaksa mereka harus tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu sama lainnya. Isolasi geografik demikian di kemudian hari mengakibatkan penduduk yang menempati setiap pulau atau sebagian dari pulau di Nusantara ini tumbuh menjadi kesatuankesatuan sukubangsa yang sedikit banyak terisolasi dari kesatuan-kesatuan sukubangsa yang lain. Setiap kesatuan sukubangsa terdiri atas sejumlah orang yang dipersatukan oleh ikatan-ikatan emosional, serta memandang diri mereka sebagai suatu jenis tersendiri. Dengan perkecualian yang sangat kecil, satuan-satuan sosial itu mengembangkan dan akhirnya memiliki bahasa dan warisan kebudayaan yang sama. Lebih dari itu, mereka biasanya mengembangkan kepercayaan bahwa mereka memiliki asal-usul keturunan yang sama, suatu kepercayaan yang seringkali didukung oleh mitosmitos yang hidup dalam masyarakat. Tentang berapa jumlah sukubangsa yang sebenarnya ada di Indonesia, ternyata terdapat berbagai pendapat yang tidak sama di antara para ahli ilmu kemasyarakatan. Hildred Geertz misalnya menyebutkan adanya lebih kurang tiga ratus sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan bahasa dan identitas kultural yang berbeda-beda. Skinner menyebutkan adanya lebih dari 35 sukubangsa di Indonesia, masing-masing dengan adat istiadat yang tidak sama. Lebih dari sekedar menyebutkan banyaknya sukubangsa di Indonesia, Skinner menggambarkan juga perbandingan besarnya sukubangsa-sukubangsa tersebut. Beberapa sukubangsa yang paling besar sebagaimana disebut oleh Skinner adalah Jawa, Sunda, Madura, Minangkabau, dan Bugis. Kemudian ada beberapa sukubangsa yang lain yang cukup besar, yaitu Bali, Batak Toba, dan Sumbawa.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
41
Walaupun angka tersebut dibuat pada waktu yang telah sangat lampau, tetapi melihat angka kelahiran, angka kematian, atau angka pertumbuhan penduduk, mungkin hal tersebut masih dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi saat ini. Mengikuti pengertian sukubangsa yang dikemukakan oleh para ahli antropologi, Dr. Nasikun menggolongkan orang-orang Tionghoa sebagai salah satu sukubangsa di Indonesia, dan berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, dan berdasarkan perkiraan tambahan penduduk golongan Tionghoa 3 persen, serta dengan mengingat kurang lebih 100.000 orang Tionghoa kembali ke Tiongkok selama tahun 1959 dan 1960, diperkirakan jumlah orang Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada tahun 1961 sebanyak 2,45 juta orang, sementara penduduk pribumi waktu itu diperkirakan 90.882 juta orang. Walaupun jumlah orang Tionghoa sangat kecil dibandingkan dengan penduduk pribumi, tetapi mengingat kedudukan mereka yang sangat penting dalam kehidupan ekonomi, mereka sangat mempengaruhi hubungan mereka dengan sukubangsa-sukubangsa yang lain (yang secara keseluruhan disebut pribumi). Faktor kedua yang menyebabkan pluralitas masayarakat Indonesia adalah kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik. Keadaan ini menjadikan Indonesia menjadi lalu lintas perdagangan, sehingga sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Telah sejak lama masyarakat Indonesia memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa lain melalui para pedagang asing. Pengaruh yang pertama kali menyentuh masyarakat Indonesia adalah agama Hindu dan Budha dari India sejak kurang lebih empat ratus tahun sebelum masehi. Hinduisme dan Budhisme pada waktu itu tersebar meliputi daerah yang cukup luas di Indonesia, serta lebur bersama-sama dengan kebudayaan asli yang telah hidup dan berkembang lebih dulu. Namun, pengaruh Hindu dan Budha terutama dirasakan di Pulau Jawa dan Pulau Bali. Pengaruh kebudayaan Islam mulai memasuki masyarakat Indonesia sejak abad ke-13, akan tetapi baru benar-benar mengalami proses penyebaran yang luas pada abad ke15. Pengaruh Islam sangat kuat terutama pada daerah-daerah di mana Hindu dan Budha tidak tertanam cukup kuat. Karena keadaan yang demikian, cara beragama yang sinkretik sangat terasakan, kepercayaan-kepercayaan animisme, dinamisme bercampur dengan kepercayaan agama Hindu, Budha, dan Islam. Pengaruh reformasi agama Islam yang memasuki Indonesia pada permulaan abad ke-17 dan terutama akhir abad ke-19 ternyata tidak berhasil mengubah keadaan tersebut, kecuali memperkuat pengaruh agama Islam di daerah-daerah yang sebelumnya memang telah merupakan daerah pengaruh agama Islam. Sementara itu, Bali masih tetap merupakan daerah agama Hindu. Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki masyarakat Indonesia melalui kedatangan Bangsa Portugis pada permulaan abad ke-16. Kedatangan mereka ke Indonesia tertarik oleh kekayaan rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku, suatu jenis barang dagangan yang sedang laku keras di Eropa pada waktu itu. Kegiatan misionaris yang menyertai kegiatan perdagangan mereka, dengan segera berhasil menanamkan pengaruh agama Katholik di daerah tersebut. Ketika bangsa Belanda berhasil mendesak bangsa Portugis ke luar dari daerah-daerah tersebut pada kira-kira tahun 1600-an, maka pengaruh agama Katholik pun segera digantikan pula oleh pengaruh agama Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak di dalam soal agama apabila dibandingkan dengan bangsa Portugis, telah mengakibatkan pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerahdaerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi oleh agama Islam dan Hindu. Hasil final dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia. Di luar Jawa, hasilnya kita lihat pada timbulnya golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah yang strategis di dalam jalur
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
42
perdagangan internasional pada waktu masuknya reformasi agama Islam, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah pedalaman-pedalaman, dan golongan Kristen (Katholik dan Protestan) di daerah-daerah Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Tapanuli, dan sedikit di daerah Kalimantan Tengah; serta golongan Hindu Bali (Hindu Dharma) terutama di Bali. Di Pulau Jawa dijumpai golongan Islam modernis terutama di daerah-daerah pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kebudayaan pantainya, serta sebagian besar daerah Jawa Barat, golongan Islam konservatif-tradisional di daerah-daerah pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta golongan Kristen yang tersebar di hampir setiap daerah perkotaan Jawa. Faktor ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur yang tidak sama di antara berbagai daerah di kepulauan Nusantara, telah mengakibatkan pluralitas regional. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda, yakni daerah pertanian basah (wet rice cultivation) yang terutama banyak dijumpai di Pulau Jawa dan Bali, serta daerah ladang (shifting cultivation) yang banyak dijumpai di luar Jawa. Struktur Kepartaian Sebagai Wujud Struktur Sosial Masyarakat Indonesia Apabila perbedaan sukubangsa dan regional secara sederhana membedakan antara Jawa dan Luar Jawa, perbedaan agama membedakan golongan Islam Santri, Islam Non-Santri, dan Kristen, perbedaan lapisan sosial membedakan golongan priyayi dan wong cilik yang secara simplitis oleh Edward Shills disederhanakan lagi menjadi kota dan desa, maka konfigurasi semua itu menghasilkan penggolongan masyarakat ke dalam dua belas golongan, sebagai berikut. Golongan/ Daerah Jawa Non-Jawa
Islam Santri Desa Kota 1 2 7 8
Islam Non-Santri Desa Kota 3 4 9 10
Kristen Desa 5 11
Kota 6 12
Pengelompokan masyarakat Indonesia serupa itu membawa akibat yang luas lagi mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat, di bidang politik, ekonomi, hukum, kekeluargaan, dan sebagainya. Timbulnya kematangan kondisi-kondisi teknis, politis, dan sosial sejak permulaan abad ke-20, dan terutama sesudah kemerdekaan, telah berhasil mengubah kelompokkelompok semu tersebut menjadi berbagai kelompok kepentingan. Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus sifatnya adalah yang kemudian kita kenal sebagai partai politik. Pada awal pertumbuhannya di Indonesia, kelompok-kelompok kepentingan semacam itu mula-mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosiokultural daripada yang bersifat politis. Baru di kemudian hari kelompok-kelompok kepentingan tersebut mengubah sifatnya menjadi organisasi yang benar-benar bersifat politis. Beberapa partai politik, seperti Masyumi yang menurut hasil Pemilu 1955 merupakan partai paling besar sesudah PNI, atau Partai Nahdhatul Ulama yang merupakan partai paling besar nomor tiga, kiranya dapat memberikan gambaran tentang struktur kepartaian yang berbasis pada kelompok-kelompok yang ada pada masyarakat. Pada tahun 1943, beberapa organisai keagamaan termasuk Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama bergabung ke dalam suatu organisasi massa dengan nama “Masyumi” (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada permulaan revolusi, organisasi massa tersebut mengubah dirinya menjadi suatu partai politik yang berdiri di atas landasan organisasiorganisasi keagamaan dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai dua di
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
43
antara anggota-anggotanya yang paling besar. Persaingan lama antara Muhammadiyah dan NU, yang bersumber pada perbedaan latar belakang sosio-kultural di antara pendukung Muhammadiyah dan NU pun segera terlihat di dalam tubuh Masyumi. Sebagaimana diketahui bahwa orang-orang Muhammadiyah adalah pendukung gerakan modernisme Islam yang seringkali dihubungkan dengan ajaran-ajaran Muhammad Abduh dari Universitas Al-Azhar di Cairo pada abad ke-19. Sekalipun organisasi Muhammadiyah berpusat di Jawa, tetapi basis pendukungnya terutama berasal dari Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan daerah-daerah sepanjang pantai Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur yang cenderung bersifat kosmopolitan, kekotaan, dan suka berdagang. Kebanyakan warga NU –termasuk para pemimpinnya– merupakan orang-orang yang menolak gerakan modernisme Islam. Kelahirannya sebagai organisasi keagamaan pada tahun 1926 sendiri merupakan reaksi atas munculnya gerakan modernisasi Islam yang dilancarkan oleh Muhammadiyah. Anggota-anggota NU berasal dari daerah-daerah perdesaan Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan kepercayaan yang banyak dipengaruhi oleh kepercayaan yang berasal dari agama Hindu dan kepercayaan Kejawen yang telah hidup jauh sejak sebelum masuknya agama Hindu di Pulau Jawa. Konflik dan ketegangan-ketegangan di antara NU dengan Muhammadiyah pada tubuh Masyumi diakhiri dengan keluarnya NU dari Masyumi, dan pada tanggal 30 Agustus 1952, bersama dengan PSII dan PERTI, NU mendirikan Liga Muslimin Indonesia, dan 30 Agustus 1952 itu sendiri dikenal sebagai tanggal berdirinya NU sebagai sebuah partai politik. Sebuah partai lain yang pernah menempati posisi sangat penting di dalam kehidupan politik Indonesia pada masa-masa silam adalah PNI (Partai Nasional Indonesia). Pada Pemilu 1955 merupakan partai paling besar. Sejak awal kelahirannya (1927), PNI banyak memperoleh dukungan dari golongan elit birokrasi, yang kebanyakan adalah elite golongan Jawa yang berpendidikan. Dukungan yang kemudian menjadi sangat kuat dari lapisan bawah masyarakat Jawa terjadi ketika PNI merumuskan isue tentang Marhaenisme sebagai ideologi partai dan faktor bung Karno sebagai tokoh (Bapak Marhaenisme). Pendukung PNI kebanyakan berasal dari golongan Islam Nominal yang sangat hormat kepada pimpinan birokrasi, dan karena cenderung menganut kepercayaan animisme dan dinamisme menyebabkan golongan ini tidak menyukai partai-partai Islam. Partai lain yang tidak kalah pentingnya adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada Pemilu 1955 partai ini merupakan terbesar ke-empat. Seperti PNI, pendukung PKI terutama dari kalangan Islam Non-Santri di daerah-daerah Jawa Tengah dan Timur. Lebih dari PNI, pendukung (basis massa) PKI terutama di lapisan bawah masyarakat desa, karenanya di antara partai-partai politik yang ada, PKI-lah yang lebih memiliki banyak pemimpin dari lapisan bawah. Popularitas PKI di kalangan bawah, terutama di perdesaan Jawa, setara dengan PNU. Sebuah partai yang lebih kecil dari yang sudah disebut di depan adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia). Partai ini lebih didukung oleh golongan elite berpendidikan, seperti halnya PNI, tetapi PSI kurang populer di kalangan masyarakat bawah atau perdesaan. Sementara itu ada dua partai yang didukung oleh orang-orang dari kotak 11 dan 12 pada diagram di atas, adalah PARKINDO (Partai Kristen Indonesia) dan Partai Katholik Indonesia. Pengaruh kedua partai ini meliputi daerah-daerah yang penduduknya menganut agama Katholik dan agama Protestan, seperti Maluku, Sulawesi Utara, Tapanuli, NTT, dan sedikit di daerah pedalaman Kalimantan, serta di daerah-daerah perkotaan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Melihat struktur politik seperti diuraikan di atas, dapat dimengerti bahwa konflik-konflik di antara partai-partai politik di masa silam itu lebih merupakan konflik di antara
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
44
kelompok-kelompok atau golongan-golongan sosial-kultural berdasarkan perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan stratifikasi sosial, walau sebenarnya tidak sesederhana ini. Konflik-konflik partai politik jauh lebih kompleks dari sekedar bersumber pada perbedaan-perbedaan di atas. Gambaran yang diberikan oleh Herberth Feith berikut barangkali lebih dapat menjelaskan. Feith menjelaskan bahwa konflik-konflik politik di Indonesia lebih merupakan konflik ideologis yang bersumber dari ketegangan-ketegangan yang terjadi antara (1) pandangan-pandangan (ideologi) tradisional (tradisi Hindu-Jawa dan Islam) di satu pihak, dan (2) pandangan-pandangan (ideologi) modern di lain pihak, yang perwujudannya adalah konflik ideologis di antara lima aliran pemikiran politik yang ada, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Nasionalisme Radikal Tradisionalisme Jawa Islam Sosialisme Demokrat, dan Komunisme
dan aliran-aliran tersebut dalam batas-batas tertentu berasosiasi dengan perbedaanperbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan kelas sosial. Pola kepartaian sebagaimana digambarkan di atas tentu saja telah mengalami perubahanperubahan. Dibubarkannya Masyumi, PSI, dan PKI, serta terjadinya fusi partai-partai Islam menjadi faktor penting perubahan-perubahan itu. Namun, dasar-dasar pemikiran politik yang bersumber pada perbedaan-perbedaan sukubangsa, agama, daerah, dan kelas sosial, juga aliran-aliran politik, masih tetap terbaca pada struktur kepartaian dewasa ini. Catatan: Warna dasar kehidupan politik Indonesia yang menurut Geertz lebih merupakan representasi dari tiga varian dalam masyarakat, yaitu (1) Santri, (2) Priyayi, dan (3) Abangan, masih tetap relevan pada masa sekarang ini. Reformasi politik di masa presiden Soeharto (1973) di mana partai-partai politik yang ada ketika itu disederhanakan menjadi hanya tiga partai saja (Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)), seolah-olah justru mengukuhkan kehidupan politik aliran, di mana Golkar identik dengan golongan priyayi, PPP identik dengan golongan santri, dan PDI identik dengan kaum abangan. Struktur Masyarakat Indonesia dan Masalah Integrasi Nasional Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan-persoalan tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal maupun vertikal pada tingkat nasional. Apabila mengikuti pandangan para penganut teori fungsionalisme-struktural, sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal, yaitu: (1) konsensus di antara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental, dan (2) anggota-anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross-cutting affiliation), sehingga tumbuh cross-cutting loyalities, loyalitas yang silang-menyilang dari para anggota masyarakat terhadap kelompokkelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi anggotanya. Ketika hal ini diterapkan di suatu masyarakat majemuk akan berhadapan dengan rendahnya kemampuan elemen-elemen dalam masyarakat majemuk membangun konsensus tentang nilai-nilai dasar sebagaimana dikemukakan oleh van den Berghe. Segmentasi ke dalam bentuk satuan-satuan sosial yang masing-masing terikat oleh ikatan-ikatan yang sifatnya primordial, mudah sekali menimbulkan konflik-konflik yang terjadi baik pada tingkat ideologis maupun politis.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
45
Pada tingkat ideologis, konflik tersebut terwujud di dalam bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh (serta menjadi ideologi) satuan-satuan sosial. Pada tingkat politik, konflik-konflik di antara elemen-elemen dalam masyarakat majemuk terjadi dalam bentuk pertentangan dalam pembagian kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi. Dalam situasi konflik, sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara mengokohkan solidaritas ke dalam di antara sesama anggotanya dengan cara mengokohkan solidaritas ke dalam, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama: mendirikan sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas kultural, bersaing di dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Mengikuti pandangan Parsons, kelangsungan hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang Indonesia, akan tetapi lebih dari itu, nilai-nilai umum tersebut harus pula dihayati benar melalui proses sosialisasi dan internalisasi. Pada derajat tertentu, pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, yang tumbuh sebagai hasil gerakan nasionalisme pada permulaan abad ke-20 yang berjiwa anti-kolonialisme itu, merupakan konsensus nasional yang memiliki daya tiada terkira di dalam mengintegrasikan masyarakat Indonesia sampai pada saat ini. Pandangan para penganut pendekatan konflik, bahwa masyarakat majemuk dapat terintegrasi di atas paksaan (coercion) dari suatu kelompok-kelompok atau kesatuan sosial yang dominan, memperoleh kebenaran paling tidak pada masyarakat Indonesia di zaman kolonial, di mana terdapat sejumlah kecil orang-orang kulit putih dengan kekuasaan politik, militer, dan ekonominya yang mampu menguasai sejumlah besar orang yang terpisah-pisah secara etnis, ekonomi, politik, ideologis, maupun budaya ke dalam satuansatuan sosial yang banyak sekali jumlahnya. Konsensus atau paksaan? Mengikuti pemikiran R. William Lidle, konsensus nasional merupakan prasyarat bagi tumbuhnya integrasi nasional, karena integrasi nasional yang tangguh hanya dapat berkembang apabila, (1) sebagian besar anggota masyarakat sepakat tentang batas-batas teritorial kehidupan politik dalam mana mereka menjadi warganya, dan (2) sebagian besar warga masyarakat sepakat tentang struktur pemerintahan dan aturan-aturan dari proses-proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat di wilayah teritorial tersebut. Dengan kata lain, integrasi nasional hanya dapat tumbuh di atas konsensus mengenai batas-batas suatu masyarakat politik dan sistem politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat tersebut; yang pertama: kesadaran sebagai warga sebuah bangsa dan yang kedua konsensus mengenai bagaimana suatu kehidupan bangsa diselenggarakan, termasuk sistem nilai yang mendasari hubungan-hubungan sosial di antara para anggota suatu bangsa. Pancasila sebagai dasar dan falsafah atau ideologi negara dalam tataran yang sangat umum dapat dinyatakan sebagai kesepakatan nasional tentang nilai-nilai yang bersifat dasar. Kemudian, perundang-undangan yang lahir dari sistem politik yang ada, dapat dikatakan sebagai kesepakatan mengenai bagaimana kehidupan bangsa ini diselenggarakan. Walaupun demikian, seperti berulang disampaikan, pembahasan tentang bagaimana masyarakat majemuk terintegrasi dalam tingkat nasional tidak dapat dilihat dari sudut pandang teori struktural fungsional. Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik-konflik sosial yang sedikit banyak bersifat vicious circle, dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial di atas landasan coercion.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
46
Bentuk struktur sosial dan integrasi nasional Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik di antara golongan-golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah menjadi tidak bersifat eksklusif lagi. Perbedaan sukubangsa, yang pada masa penjajahan lebih merupakan perbedaan ras, tidak lagi jatuh berhimpitan dengan perbedaan-perbedaan agama, daerah, dan pelapisan sosial. Perbedaan antara sukubangsa Jawa dan luar Jawa tidaklah dengan sendirinya merupakan perbedaan antara golongan Islam Santri, golongan Abangan, dan golongan Kristen. Mereka yang berasal dari sukubangsa-sukubangsa berbeda-beda dapat bersama-sama menjadi anggota dari suatu golongan agama yang sama, demikian juga sebaliknya. Struktur demikian, menurut Peter M. Blau disebut struktur sosial yang mengalami interseksi (intersected social structure), yang fungsinya positif atau mendukung terciptanya integrasi sosial. Berbeda dengan struktur sosial yang berhimpitan yang disebut consolidated social structure (struktur sosial terkonsolidasi) yang menghambat terciptanya integrasi sosial. Catatan: Secara sosiologis, terdapat dua pendekatan untuk menjawab persoalan integrasi sosial/nasional dalam masyarakat majemuk, yaitu (1) ada tidaknya konsensus yang lebih menekankan pada dimensi budaya (teori struktural fungsional), dan (2) ada-tidaknya ketergantungan di antara kelompok-kelompok yang ada, atau ada-tidaknya kelompok dominan. Pandangan yang kedua ini lebih menekankan dimensi struktural (teori struktural konflik). Menurut pendekatan konsensus (teori struktural fungsional) integrasi dapat dicapai melalui suatu kesepakatan tentang nilai dasar, atau semacam common platform di antara kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial yang ada; sedangkan menurut pendekatan konflik, integrasi hanya dapat dicapai melalui dominasi satu kelompok atas lainnya, atau adanya saling ketergantungan di antara kelompok-kelompok yang ada. Terciptanya integrasi sosial/nasional dalam masyarakat majemuk dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: (1) struktur sosialnya, apakah mengalami interseksi atau konsolidasi, (2) faham atau ideologi, yang berkembang dalam masyarakat apakah ethnosentrisme, primordialisme, aliran, sektarianisme, dan lain-lain, ataukah faham relativisme kebudayaan, (3) apakah dapat berlangsung koalisi lintas-etnis/kelompok, (4) apakah dapat membangun konsensus tentang nilai dasar, (5) apakah berlangsung prosesproses menuju akulturasi budaya majemuk, (6) adakah dalam masyarakat tersebut kelompok dominan, atau (7) apakah di antara kelompok-kelompok yang ada terdapat saling ketergantungan, terutama di bidang ekonomi. Struktur sosial yang bersifat intersected, berkembangnya faham relativisme kebudayaan, koalisi lintas-etnis, konsensus tentang nilai dasar, akulturasi budaya majemuk, dan adanya kelompok dominan merupakan faktor-faktor yang mendorong berlangsungnya integrasi sosial dalam masyarakat majemuk. Multikulturalisme Multikulturalisme berasal dari dua kata multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami, adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, seni, dan lain-lain. Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
47
Konsep tentang mutikulturalisme, sebagaimana konsep ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang tidak bebas nilai (value free), tidak luput dari pengayaan maupun penyesuaian ketika dikaji untuk diterapkan. Demikian pula ketika konsep ini masuk ke Indonesia, yang dikenal dengan sosok keberagamannya. Muncul konsep multikulturalisme yang dikaitkan dengan agama, yakni ”multikulturalisme religius” yang menekankan tidak terpisahnya agama dari negara, tidak mentolerir adanya paham, budaya, dan orang-orang yang atheis (Harahap, 2008). Dalam konteks ini, multukulturalisme dipandangnya sebagai pengayaan terhadap konsep kerukunan umat beragama yang dikembangkan secara nasional. Multikulturalisme dan integrasi nasional Semangat multikulturalisme menjadikan pemikiran bahwa integrasi nasional harus dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan, dan tidak sesuai lagi dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras. Di masa lalu, memang kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Namun, seiring dengan lajunya demokratisasi cara demikian tidaklah sesuai lagi, kecuali akan menjadikan konflik-konflik di negeri yang memang majemuk ini tak kunjung selesai.
Tabel Perkembangan Multikulturalisme di Indonesia Masa Lalu Multikulturalisme Awal Ethnosentrisme Primordialisme Kebangkitan Nasional Sumpah Pemuda Proklamasi Kemerdekaan
Masa Kini Multikulturalimse dalam masa transisi Pendidikan Globalisasi
Masa Yang Akan Datang Visi Indonesia ke depan Multikulturalimse Perbedaaan dan kesetaraan
Demokratisasi HAM Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Informasi
Model multikulturalisme Mengikuti Bikhu Parekh (2001) dalam Rethinking Multiculturalism [Harvard University Press], bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni (1) terkait dengan kebudayaan, (2) konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan (3) cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Yang masih menjadi pertanyaan besar adalah, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia? Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa,
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
48
agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik-konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri. Sumber: 1. 2.
3. 4.
Nasikun. 1984. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT Grafiti Pers. Nasikun. 1990. Masyarakat Majemuk dabn Dinamika Integrasi Nasional. Suatu Tinjauan Sosiologis. Makalah disampaikan pada Seminar Pluralitas, Kesenjangan Sosial, dan Integrasi Nasional dalam rangka HUT KNPI ke17, 23 Juli 1990 di Surabaya. Budiono Kusumohamidjoyo. 200o. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: PT Grasiondo. https://agsasman3yk.wordpress.com/2011/05/03/pembelajaran-sosiologi-danmultikulturalisme/ diakses pada Sabtu, 27 Juni 2015 pukul 8:34 AM.
AGUS SANTOSA - SOSIOLOGI XI IIS SEMESTER 1
49