WHITEPAPER AUGUST 2016
MEDIA CONNECTIVITY STRATEGY Connecting the Dots of Customer Voice By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW)
PENDAHULUAN Frasa kalimat “upaya menembak semut dengan senapan mesin” mungkin sudah umum kita temukan di dunia komunikasi pemasaran. Bahwa terkadang biaya yang sangat besar untuk beriklan ternyata tidak sebanding dengan omset penjualan yang kita peroleh. Edisi Whitepaper kali ini akan membahas mengenai bagaimana perusahaan dapat menyatukan beragam upaya komunikasi yang ada, baik ATL (above-the-line), BTL (below-the-line), TTL (through-the-line) sedemikian bisa melakukan promosi berbiaya rendah namun punya impact yang besar. Adapun pendekatan yang lebih pas digunakan untuk menyatukan ragam komunikasi ini adalah bagaimana pesan yang akan dibuat nantinya bukan berasal dari keinginan / target perusahaan, melainkan dari penyatuan suara-suara pelanggan yang beredar di media sosial, khususnya menyatukan komentarkomentar yang positif agar bisa menjadi sebuah pesan viral ke depannya. Dengan terjadinya viral, maka tujuan komunikasi akan tercapai (sebab terkadang berbeda dengan harapan awal perusahaan, contoh kapsul Viagra yang semula gagal untuk mengobati pasien jantung, tapi malah sangat efektif untuk penderita impotensi).
Gambar 1. Suara Customer Tidaklah Sama
Untuk memasarkan satu jenis produk yang sama saja terkadang kita harus menghadapi macam pelanggan yang begitu banyak sifat dan perilakunya, apakah kita akan membuat pesan komunikasi yang customized sesuai masing-masing karakteristiknya? Jika upaya ini dilakukan, maka biaya untuk menjalankannya pasti sangat mahal. Oleh sebab itu, diperlukan pendekatan strategi Media Connectivity, sebuah usulan agar pesan komunikasi kita sangat efektif namun tetap efisien. Contoh untuk menjual suatu unit apartemen berkelas, siapa target segmen konsumen kita? Apakah mereka dari golongan atas yang sudah berusia di atas 50 tahun? Ataukah mereka para profesional / karyawan yang masih di bawah usia 30 tahun? Jawabannya adalah kalau bisa semua segmen kita dekati agar penjualan bisa terjadi sebanyak mungkin. Hal ini nanti bisa disiasati dengan cara pembayarannya, ada cashback bagi yang bayar tunai, adapula yang bayar cicilan DP untuk jangka panjang. Oleh sebab itu, kita tidak bisa hanya mengandalkan media digital saja untuk beriklan, sebab segmen usia di atas 50 tahun bisa jadi masih belum terlalu familiar dengan penggunaan media digital. Sebaliknya kita tidak bisa hanya mengandalkan media konvensional untuk promosi, sebab segmen di bawah 30 tahun belum tentu mereka tiap hari baca koran. Tidaklah salah jika perusahaan kita membuat sebuah profil pelanggan sebagai panduan untuk memudahkan para salesforce atau tim marketing agar bisa menjual produk ke target sasaran yang tepat. Namun terkadang profil pelanggan yang dibuat ini terlalu idealis sedemikian akan menjadi pemicu stress bagi para salesforce saat tidak mendapat closing penjualan dari target profil yang baru saja ditemui. Seharusnya prinsip palugada (apa lu mau gua ada) bisa coba diterapkan untuk kondisi ekonomi saat ini, sedemikian siapa pun yang ditemui oleh tim marketing kita, bisa tetap di follow-up dengan penawaran yang sesuai kantong mereka. Asumsi yang kita gunakan adalah bagi sebagian segmen yang bisa menghasilkan profit margin tinggi, kita ambil, namun bagi sebagian segmen yang hanya menyumbang profit margin kecil, kita pun masih tetap layani, setidaknya untuk menutup omset agar cashflow perusahaan tetap lancar. Nah, sebelum kita membuat pesan komunikasi yang customized untuk masing-masing segmen tertentu, ada baiknya kita pelajari terlebih dulu piramida loyalitas pelanggan di bawah ini, agar kita bisa dengan bijak memilih siapa segmen pelanggan yang harus kita utamakan, mana yang tidak perlu diberi kesempatan spesial. Setidaknya ada 7 tingkatan pelanggan yang sudah kita layani selama ini dan dari sana nantinya bisa kita pilah-pilah, dan akhirnya kita pilih manakah yang terbaik. 1.
Piramida terbawah : terdiri atas “target prospect” dan “prospect”. Piramida terbawah ini biasanya terdiri atas orang-orang yang masih baru tahap tanya-tanya akan produk
yang kita jual, apakah hanya sekedar mengirim pertanyaan via email, telepon, walk-in, dll. Mereka belum bisa dikatakan sebagai pelanggan, oleh sebab belum pernah membeli produk kita sama sekali. Bedanya seorang calon pembeli disebut sebagai “target
prospect” atau “prospect” saja adalah terletak pada punya atau tidaknya daya beli. Jadi hanya calon pembeli yang punya daya beli saja yang disebut sebagai “prospect”.
Gambar 2. Pyramid of Customer Loyalty
2. Piramida tengah bawah : terdiri atas “customer” dan “client”, adalah jenis pelanggan yang minimal pernah sekali membeli produk yang kita jual. Beda antara seorang pelanggan disebut “customer” dan “client” adalah terletak pada variabel RFM yang kita analisis. R = Recency (kapan terakhir dia beli) ; F = Frequency (berapa sering dia beli dalam waktu tertentu) ; M = Monetary (berapa rata-rata uang yang dikeluarkan untuk sekali beli). Jika RFM seorang pelanggan dikategorikan baik, maka kita bisa memasukkan ke dalam klasifikasi “client”. 3. Piramida tengah atas : terdiri atas “supporter” dan “advocate”, adalah para pelanggan loyal yang sudah masuk dalam kategori “client” atau nilai RFM-nya cukup tinggi, namun belum tentu mereka mau memberikan testimoni akan layanan dan produk yang mereka telah rasakan. Bagi para “client” yang bersedia untuk memberikan testimoni atau mengijinkan foto dirinya dijadikan promotional tools perusahaan, maka bisa kita
sebut sebagai “supporter”. Namun bagi “client” yang tidak hanya memberikan testimoni, melainkan juga mereka tidak pernah selingkuh membeli produk dari pesaing kita, maka kita bisa sebut mereka sebagai “advocate”. 4. Piramida teratas : terdiri atas “partner”, yaitu mereka para pelanggan loyal yang punya karakteristik lebih dari sekedar seorang “advocate”, oleh sebab mereka juga mau bersedia untuk melakukan word of mouth kepada para koleganya untuk membantu pemasaran produk kita walau tidak dibayar sekali pun.
Pertanyaan yang bisa kita tanyakan pada diri kita masing-masing adalah seberapa besar fokus kita selama ini dalam melayani para pelanggan kita? Apakah kita melayani semuanya dengan baik tanpa ada pembedaan, ataukah kita sudah menyeleksi terlebih dulu manakah pelanggan yang potensial saja untuk kita dekati sedemikian mereka bersedia melakukan word-of-mouth untuk perusahaan kita, sehingga upaya strategi Media Connectivity yang kita lakukan sungguh akhirnya dapat menjadi “connecting the dots of customer voice” yang berdampak viral marketing. Setelah kita melakukan pemilihan mana pelanggan yang potensial dan mana yang tidak (tentunya yang potensi adalah mereka yang berada di piramida bagian atas), maka selanjutnya adalah menilik kembali kompetensi kita dalam melakukan komunikasi dengan para pelanggan tersebut selama ini. Apakah cara komunikasi yang kita lakukan hanya 1 arah, atau sudah 2 arah, apakah kita hanya menggunakan media konvensional saja seperti telepon, SMS, dll ataukah sudah menggunakan media digital juga (email, online chat, dll) untuk berkomunikasi dengan mereka. Lantas juga perlu diklarifikasi apakah kita mampu membalas setiap pertanyaan atau permintaan yang mereka butuhkan dalam waktu yang secepat mungkin ( real-time) atau malah membuat mereka menunggu balasan kita sampai berhari-hari? Matrix di bawah ini bisa digunakan sebagai alat bantu untuk mengkaji pendekatan apa yang selama ini kita gunakan dalam berinteraksi dengan para customer kita dan hal-hal apa saja yang bisa kita gali dari para pelanggan jika kita menggunakan pendekatan tersebut.
Gambar 3. Media Connectivity Bagian pojok kanan atas adalah harapan setiap perusahaan dan para pelanggan yang membeli produk / jasa dari perusahaan tersebut. Ini adalah kondisi ideal yang diharapkan semua orang, bahwa perusahaan mampu menciptakan “Engagement” yang kuat dengan para pelanggannya oleh sebab komunikasi yang dilakukan adalah bersifat 2 arah dan ragam komunikasi yang disediakan cukup banyak pilihan bagi pelanggan, mana yang nyaman bagi pelanggan, mereka menyediakannya semua. Begitupula dengan respon perusahaan dalam menanggapi pertanyaan pelanggan, perusahaan ini akan menjawab pertanyaan secara langsung (real-time). Jika perusahaan mampu menciptakan “Engagement” kuat dengan para pelanggannya, maka akan terjadi terobosan inovasi oleh sebab pelanggan merasa intim dan tidak segan memberikan saran/kritik agar perusahaan bertumbuh. Sebaliknya berbeda dengan keadaan di bagian pojok kiri bawah matrix tersebut. Perusahaan yang tidak bisa menyediakan akses komunikasi beragam untuk para pelanggannya, serta tidak bisa pula memberikan respon tanggapan yang cepat, maka akan timbul sikap “apathy” atau pelanggan merasa apatis terhadap perusahaan kita. Akibatnya akan terjadinya silo-silo antar departemen karena jarang adanya pertukaran informasi akan suara / kritik pelanggan, lamakelamaan muncul ketidakpedulian akan pertumbuhan perusahaan kita, khususnya para frontliners yang mungkin stress karena sering kena marah pelanggan sebab komplainnya tidak kunjung ada jawaban.
Dua macam kuadran berikutnya adalah kombinasi positif dan negatif antara Collaboration
Suites dan Real-time Device Interaction yang bisa kita lihat sebagai sumbu vertikal dan sumbu horisontal matrix tersebut. Sebenarnya kata “Suites” di sini bukan menunjukkan kata benda / lokasi, melainkan sebuah proses kerja. Suites is a set of programs with a uniform design and the
ability to share data. Jadi semakin tinggi Colaboration Suites-nya, maka semakin mudah dilakukannya pertukaran akses informasi eksternal-internal, atau dengan kata lain bisa dikatakan bahwa komunikasi 2 arah tercipta dengan baik. Kuadran pojok kiri atas (Loyalty) terjadi karena komunikasi 2 arah yang tercipta dengan baik walau respon tanggapan perusahaan tidak terlalu real-time. Setidaknya pelanggan masih diberikan kesempatan untuk memberikan feedback berupa saran dan kritik agar brand image perusahaan tetap terjaga baik di mata pelanggan. Kuadran pojok kanan bawah disebut hanya bisa menciptakan “satisfaction” saja, sebab respon real-time hanya bisa dirasakan oleh segmen pelanggan tertentu yang menggunakan media digital, sedangkan segmen pelanggan yang menggunakan media komunikasi konvensional akan merasa kesulitan saat ingin berkomunikasi 2 arah, oleh karena mungkin perusahaan ini tidak lagi menggunakan media konvensional seperti call
center / kode pos untuk korespondensi surat yang notabene mahal karena menggunakan begitu banyak tenaga manusia dan mahal secara maintenance (perusahaan sedang melakukan cost saving
strategy). Jadi karena perusahaan jenis ini hanya menggunakan 1 jenis komunikasi saja, maka dari itu disebut memiliki Collaboration Suites yang rendah nilainya. Setelah perusahaan kita membenahi sistem komunikasi 2 arah dan meningkatkan kecepatan respon tim frontliners untuk menanggapi para pelanggan eksisting, selanjutnya adalah membuat bagaimana agar komunikasi tersebut tidak hanya sebatas sampai di tataran tanya-jawab saja dengan para pelanggan eksisting tersebut, melainkan memanfaatkan testimoni / percakapan tersebut yang positif (tentu saja dengan seijin mereka) untuk ditampilkan di beragam media komunikasi pemasaran yang kita gunakan, sedemikian membuat para calon pembeli yang masih ragu untuk beli, akhirnya mau beli karena membaca/mendengar/melihat para pelanggan lainnya yang sudah merasakan produknya dan bersedia dijadikan “ambassador” atau “model iklan dadakan”, bukan menggunakan para artis yang notabene bayarannya sangat mahal. Jika yang digunakan sebagai model iklan adalah para artis maka itu sudah terasa biasa bagi masyarakat, bahwa para artis itu mengatakan bahwa produknya berkualitas karena semata-mata mereka dibayar untuk melakukan itu. Tapi tentu akan berbeda jika para pelanggan asli yang
menjadi “model iklan” nya, masyarakat akan merasa bahwa produk itu benar-benar berkualitas karena mereka mengatakan apa adanya. Para “artis dadakan” itu pasti juga akan pamer atau narsis ke social media mereka masing-masing bahwa mereka ingin teman-temannya tahu bahwa dirinya mendadak terkenal jadi artis (apabila sampai iklannya dimasukkan TV segala).
Gambar 4. Marcom Strategy ATL – BTL - TTL
Channel media komunikasi pemasaran kita tahu bersama dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu ATL (above-the-line), BTL (below-the-line), dan TTL (through-the-line), apabila perusahaan kita mampu melakukan ketiga strategi ini sekaligus dan saling terintegrasi satu sama lain, maka “model iklan artis dadakan” kita ini akan menjadi agen WoM (word of mouth) yang luar biasa karena akan melakukan viral marketing ke koleganya tanpa kita suruh. Bayangkan jika kita tidak hanya menggunakan 1 orang pelanggan saja, melainkan banyak pelanggan kita libatkan dalam 1 produksi konten iklan, maka proses viral akan terjadi dengan cepat karena akan terjadi perkalian eksponensial (1 orang minimal punya network sekitar 400 orang di social media masing-masing, maka tinggal dikalikan saja berapa impact yang akan kita peroleh untuk sekali kampanye dengan menggunakan strategi Media Connectivity). Berikutnya terkait pembahasan selanjutnya akan lebih difokuskan kepada bagaimana kita memaksimalkan peran TTL (through-the-line) karena strategi ini lebih pas digunakan apabila kita ingin menjadi perusahaan yang low-cost tetapi high-impact.
Gambar 5. Digital Marketing Strategy
Digital Marketing atau TTL (through-the-line) dalam definisi sederhana, adalah memasarkan produk di internet. Dalam arti luas, adalah kita menjalankan prinsip-prinsip offline
marketing yang sudah kita ketahui secara online. Dalam hal ini, digital marketing juga membutuhkan strategi agar tepat sasaran. Prinsip dasar marketing berikut, bisa membantu kita menentukan taktik yang tepat untuk menjalankan digital marketing / TTL. 1.
Owned marketing. Bisa diartikan sebagai apa yang kita kendalikan. Dalam hal ini adalah situs (website) tempat kita menjual dan sebagai kemudinya adalah konten. Ingat dengan pepatah “Google Loves Content”. Semakin kita rajin memperbarui konten situs, semakin Google mendorong situs kita untuk dikenal pengguna internet. Dalam segmen ini kita bisa bermain-main dengan Search Engine Optimization (SEO).
2. Earned marketing. Merupakan semua hal yang berada di luar kendali kita. Seperti orang atau diskusi yang membicarakan produk maupun layanan kita secara online maupun offline. Semakin sering produk kita dibicarakan (secara positif) semakin besar kemungkinan produk kita menjadi terkenal dan banyak dicari orang. Semakin sering produk kita diulas oleh para blogger, atau diliput di portal berita media massa tertentu (kompas.com, detik.com, dll), maka impact akan semakin besar. 3. Paid
marketing.
Google,
Facebook,
Twitter
menyediakan
ruang
iklan
berbayar. Manfaatkan ini untuk memacu promosi produk kita. Pelajari bagaimana bahasa iklan yang baik untuk memikat pembaca. Kita bisa membayar iklan sesuai
budget harian yang kita sediakan, selanjutnya google adword, atau facebook akan mengaturnya sendiri seberapa besar impact yang akan kita peroleh untuk budget yang tersedia. 4. Shared marketing. Gunakan media sosial sebagai sarana promosi dan manfaatkan orang-orang dengan pengaruh besar di lingkungan online sebagai tangan kanan kita. Tentu saja kita bisa memberikan gimmick tertentu bagi mereka yang bersedia memberikan Like atau Follow, atau melakukan Subscribe laman/ konten iklan yang kita
posting.
Gambar 6. Voice of Customer (VOC) System
Karena perusahaan dengan gencar melakukan strategi digital marketing / TTL, maka akan banyak sekali lead (calon pembeli baru) yang tertarik dan melakukan pembelian secara online (apabila website perusahaan sudah didesain untuk transaksi e-commerce), atau mereka akan melakukan kontak secara konvensional, yaitu melalui telephone, fax, email, atau mencari tenaga sales kita yang bisa melayaninya. Hal ini akan terjadi pula bagi para pelanggan eksisting yang mungkin sedang menghadapi permasalahan akan produk yang baru dibelinya, mereka juga akan melakukan kontak kepada kita untuk meminta pertanggung-jawaban. Bayangkan jika kita belum memiliki sistem untuk menyimpan database suara-suara pelanggan tersebut, maka perusahaan tidak akan maksimal untuk melayani seluruh komplain/permintaan pelanggan. VOC (voice of customer) sharing system adalah platform informasi yang dibuat perusahaan agar saat pelanggan menghubungi kita, entah melalui email (yang akan diterima oleh orang IT), entah melalui telepon (yang akan diterima oleh customer
service), entah pula mereka akan telepon ke HP pribadi tenaga sales yang dulu melayaninya.
Apabila tidak ada platform untuk sharing informasi lintas sub-fungsi/ departemen, maka perusahaan tidak akan bisa memberikan layanan yang terbaik, apalagi skala perusahaan sudah sangat besar dan antar departmen sudah terbentuk semacam silo-silo yang kurang kooperatif. Tujuan dari dibuatnya platform sharing informasi VOC (voice of customer) ini adalah agar manajemen bisa terus memantau kualitas jalannya organisasi sedemikian service yang diberikan ke pelanggan tetap terjaga, inovasi untuk pengembangan produk baru sesuai harapan pelanggan bisa dilakukan, dan tentu saja bisa digunakan sebagai salah satu alat ukur kinerja tiap departemen. Untuk detailnya, apa saja fungsi platform VOC setelah mendapat input informasi dari beragam
channel komunikasi pemasaran, diagram berikut menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 fungsi utama VOC, yaitu untuk menjaga loyalitas customer, peningkatan kualitas produk dan layanan, dan untuk menjaga reputasi perusahaan.
Gambar 7. Connecting the Dots of Customer Voice Melalui VOC, kita bisa dengan mudah memetakan siapa sesungguhnya pelanggan kita, masuk ke dalam segmen manakah mereka. Untuk tujuan pengembangan produk, kita bisa memahami apa saja fitur produk dan layanan yang masih kurang bagi pelanggan. Untuk tujuan organisasi perusahaan, bisa digunakan sebagai alat deteksi krisis kepercayaan sejak dini dari para pelanggan yang kurang puas dan bagaimana cara menyikapinya. Setelah kita menyiapkan beragam platform komunikasi 2 arah, meningkatkan kecepatan respon karyawan terhadap input informasi para pelanggan, lalu juga kita menyiapkan platform VOC agar terjadi sharing informasi yang baik antara lintas fungsi / departemen, maka selanjutnya kita akan menutup pembelajaran whitepaper kali ini dengan sub-topik 5 tahapan Connectivity Strategy agar upaya marketing yang kita
jalankan (khususnya jalur TTL/ digital marketing – paid, earned, shared, owned marketing) tidaklah sia-sia, karena bisa jadi setelah kita mendapat banyak pelanggan baru, kita juga akan menuai banyak komplain baru kalau tidak siap-siap sejak dini. Tahap 1 – (LISTEN) adalah proses untuk membaca, mendengar, dan mencatat semua
posting /input informasi pelanggan, baik yang positif dan negatif yang beredar di dunia maya atau yang ditujukan secara langsung ke perusahaan kita. Tahap 2 – (LEARN) adalah proses bagaimana kita mulai memilih informasi yang tercecer itu, memilih mana testimoni yang cocok dengan arah strategi perusahaan. Tahap 3 – (CONNECT), proses kita mengajak kerjasama para pelanggan loyal yang memberikan testimoni tersebut untuk menjadi “model iklan”, dengan cara mendesain secara visual foto mereka dan mem-posting-kan konten testimoni tersebut di channel social media resmi yang perusahaan kita kelola (facebook, twitter, youtube, dll), serta meminta kesediaan mereka juga untuk melakukan word-of-mouth dengan cara posting konten iklan tersebut di social media mereka masing-masing.
Gambar 8. Five Steps of Connectivity Strategy Tahap 4 – (INFLUENCE), adalah proses dimana kita mulai mendesain semua konten komunikasi pemasaran dengan konsep penekanan pada “model iklan” dan testimoni para pelanggan loyal tersebut ke dalam strategi marcom ATL, BTL, dan TTL sedemikian mampu mempengaruhi calon pembeli yang selama ini kurang yakin terhadap produk yang kita jual. Tahap 5 – (OPTIMIZE), adalah proses dimana kita terus memperhatikan keefektifan dan efisiensi ragam
sisi komunikasi 2 arah yang kita gunakan, peningkatan respon karyawan akan input informasi pelanggan, dan terus memantau pemanfaatan VOC sharing system sebagai platform sharing informasi lintas departemen yang kita gunakan. Setelah itu, siklus akan kembali ke Tahap 1 (LISTEN) lagi dengan hasil yang lebih baik daripada siklus sebelumnya oleh sebab kita telah menerapkan kelima tahap dengan hati-hati dan seksama.
PENUTUP Itulah sekilas pemaparan konsep whitepaper berjudul “Media Connectivity Strategy – Connecting the Dots of Customer Voice”. Perusahaan yang belum memiliki software khusus untuk menerapkan konsep Media Connectivity Strategy di dalam perusahaanya, bisa mulai mencobanya dengan cara manual, yaitu setidaknya memiliki beragam form kertas yang ditulis menggunakan tangan, lalu diinput di dalam file excel yang terintegrasi dengan google drive sedemikian semua lintas departemen bisa saling akses dan melakukan revisi informasi secara langsung. Untuk konsultasi lebih lanjut mengenai aplikasi konsep ini di perusahaan Anda dan membangun software otomasi Voice of Customer (VoC) Sharing System, segera kontak tim kami di kantor untuk mendapatkan penjelasan lebih detail akan layanan yang ada di SLC MARKETING, INC.!
ONLY MARKETING CAN DRIVE INNOVATION! By: Dr. Sandy Wahyudi (DSW) Praktisi & Pakar Marketing dan Inovasi Consultant, Trainer, Business Coach, Writer, Speaker Business Development Director SLC MARKETING, INC.