MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2014
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
PENANGGUNG JAWAB : R. Aryawan Soetiarso Poetro, Direktur Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, selaku Project Board SCDRR Phase II. TIM PENGARAH : Oswar Muadzin Mungkasa, Direktur Tata Ruang dan Pertanahan TIM PENULIS : Gita Chandrika TIM SUPERVISI : Mia Amalia Rinella Tambunan Santi Yulianti Aswicaksana
Indra Ade Saputra Nana Apriyana Togu Pardede Astri Yulianti
Agung Dorodjatun Gina Puspitasari
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
iii
Kata Pengantar Penyelenggaraan penataan ruang seperti yang tercantum Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkeianjutan. Aman dapat diartikan sebagai aman dari bencana alam, bencana sosial, dan bencana kegagalan teknologi. Saat ini, baik Pemerintah maupun pemerintah daerah provinsi, masing-masing telah dan tengah menyusun rencana tata ruang Kawasan Strategis Nasional [KSN) dan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Provinsi. Sebagai bentuk perwujudan ruang yang aman dan berkeianjutan, proses perencanaan tata ruang ini periu memperhatikan aspek mitigasi bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan pengajian risiko bencana yang meliputi tingkat ancaman, kerentanan, kapasitas, risiko serta kebijakan penanggulangan bencana. Namun demikian, hingga saat ini, perencanaan tata ruang belum banyak memanfaatkan hasil kajian dan peta risiko bencana dalam penyusunan materi teknisnya. Dalam pedoman penyusunan rencana tata ruang, baik untuk RTRW Provinsi maupun RTR KSN, belum sepenuhnya mengintegrasikan seluruh aspek mitigasi bencana, baik secara proses, muatan. dan kelembagaan. Materi buku ini merupakan kelanjutan dari hasil kajian Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional [Bappenas) tentang Tinjauan Kebencanaan KSN Jabodetabekpunjur, dengan memasukkan lebih luas aspek mitigasi bencana dan merumuskan penerapannya secara teknis agar terintegrasi ke dalam rencana tata ruang. Kajian ini diharapkan dapat menyempurnakan pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada dan dapat berkontribusi dalam penyempurnaan proses perencanaan tata ruang sebagai instrumen mitigasi bencana maupun proses penyusunan kajian pengurangan risiko bencana. Tentunya hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi berbagai pihak, baik pemerintah pusat, maupun provinsi, yang sedang dalam proses menyusun atau meninjau kembali rencana tata ruang wilayahnya. Saran dan masukan yang konstruktif akan kami terima dengan senang hati untuk peningkatan kualitas penataan ruang nasional dan daerah.
Jakarta, Desember 2014
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
iv
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Daftar Isi KATA PENGANTAR.................................................................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................................................................ v DAFTAR TABEL .......................................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... ix DAFTAR SINGKATAN................................................................................................................. xi RINGKASAN EKSEKUTIF........................................................................................................... xxiii Bab 1 Pendahuluan................................................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang.................................................................................................................................... 1 1.2 Maksud dan Tujuan........................................................................................................................... 3 1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis........................................................................................................ 3 1.4 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan............................................................................................ 4 1.5 Kedudukan Materi Teknis ............................................................................................................... 6 1.6 Sistematika Materi Teknis ............................................................................................................... 8 Bab 2 Mitigasi Bencana Dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) Dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)............................ 13 2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil....................................................................................................... 13 2.1.1 Dasar Hukum..................................................................................................................... 13 2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.............................................................................................................. 14 2.1.3 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil..................................................................................................... 15 2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K)......................................................................................... 23 2.1.5 Contoh Aplikasi Mitigasi Bencana dalam Perencanaan PWP3K...................... 26 2.1.6 Keterkaitan RZWP3K dengan RTRW Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana.............................................................................................................. 29 2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana.................................................................... 32
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.2.4
v
Dasar Hukum..................................................................................................................... 32 Penyelenggaraan KLHS dalam Rencana Tata Ruang........................................... 33 KLHS dan Mitigasi Bencana dalam Rencana Tata Ruang................................... 39 Contoh Kajian Kebencanaan dalam KLHS untuk Rencana Tata Ruang........ 42
Bab 3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi................................................. 49 3.1 Dasar Hukum Pengintegrasian.................................................................................................. 49 3.2 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan Penataan Ruang.............................................................................................................................. 51 3.3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi........................................................... 57 3.4 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Ketentuan Teknis Muatan RTRW Provinsi.................................................................................................... 64 3.5 Contoh Peran Penataan Ruang dalam Pengurangan Risiko Bencana......................... 74 3.6 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi......................................................................................................... 75
Bab 4 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.................................................... 81 4.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)............................................................ 81 4.2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional............................................................... 102 4.3 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional........................................................................................................ 113 4.4 Contoh Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam RTR KSN Tipologi Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur.................................................... 123 4.5 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam RTR Kawasan Strategis Nasional................................................................................................ 130 Bab 5 Pemetaan Pemangku Kepentingan........................................................................... 137 5.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.............................................................................................................................................. 137 5.1.1 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Tingkat Nasional........................ 137 5.1.2 Kelembagaan dalam Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB)......................................................................................................... 141 5.1.3 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Daerah.......................................... 143
vi
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTRW Provinsi.................... 145 5.3 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional........................................................................................................................... 149
Bab 6 Arahan Untuk Implementasi...................................................................................... 155 6.1 Arahan Implementasi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN melalui Integrasi Dokumen/Proses........ 157 6.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi)...................................... 157 6.1.2 Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN)............................ 162 6.2 Arahan Penguatan Muatan.........................................................................................................164 6.2.1 Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)................................................................................ 164 6.2.2 Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik....................................... 167 6.3 Arahan Penguatan Kelembagaan.............................................................................................170 6.3.1 Kerangka Regulasi........................................................................................................... 170 6.3.2 Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)...................... 172 6.3.3 Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)............................ 174 6.3.4 Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan................................................................. 174 6.4 Rencana Tindak Lanjut..................................................................................................................175
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
vii
Daftar Tabel 2.1 Perbandingan Jenis-jenis Bencana......................................................................................................... 14 2.2 Mitigasi Bencana secara Fisik dan Nonfisik.......................................................................................... 17 2.3 Kegiatan Struktur/Fisik untuk Mitigasi terhadap Setiap Jenis Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil..................................................................................................................... 18 2.4 Mitigasi Bencana berdasarkan Tingkat Risiko..................................................................................... 21 2.5 Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana.................... 40 2.6 Keterkaitan Komoditas Unggulan dengan Rawan Bencana di KAPET Bima............................ 43 3.1 Perbandingan Jenis Bencana.................................................................................................................... 54 3.2 Perbandingan Cakupan Jenis-jenis Bencana yang Dibahas Dalam RPB dan RTRW Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten......................................................................... 57 3.3 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Jenis Bencana dalam Analisis Karakteristik Tata Ruang....................................................................................................................................................... 61 4.1 Isu Strategis Nasional dan Fokus Penanganan Setiap Tipologi Kawasan Strategis Nasional.......................................................................................................................................... 86 4.2 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Tipologi KSN............................................................................. 102 4.3 IRBI Provinsi Bali............................................................................................................................................. 106 4.4 IRBI Provinsi DKI Jakarta.............................................................................................................................. 109 4.5 Skala Peta RTR KSN berdasarkan Tipologi KSN................................................................................... 114 4.6 Standar Minimal Peta Dasar untuk Peta Bahaya dan Peta Risiko Bencana Berdasarkan Jenis Bencana........................................................................................................................ 117 4.7 Bencana Prioritas di Jabodetabekpunjur.............................................................................................. 124 4.8 Aspek-aspek Kebencanaan yang Perlu Diperhatikan pada Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang.............................................................................................................. 125 5.1 Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Pelaksanaan Penanggulangan Bencana............................................................................................................................................................. 138 5.2 Pemangku Kepentingan dalam Prosedur Penyusunan RTR KSN................................................. 150 5.3 Keterlibatan Sektor berdasarkan Tipologi KSN................................................................................... 151 6.1 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN............................................................................................. 156 6.2 Kesesuaian antara Jangka Waktu RPB Provinsi dengan Waktu Peninjauan Kembali Perda RTRW Provinsi..................................................................................................................................... 157 6.3 Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi........................ 159 6.4 Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013...................................................................................................................................................... 176
viii
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Daftar Gambar 1.1 1.2 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 2.12 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9
Kedudukan Materi Teknis terhadapPeraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang dan Bidang Penanggulangan Bencana.......................................................... 7 Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana........................ 8 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil...................................................................................................................................... 17 Diagram Alir Penentuan Alokasi Ruang WP3K............................................................................... 24 Ilustrasi Pembagian Zona yang Mempertimbangkan Aspek Kebencanaan....................... 25 Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami................................................................................................. 27 Contoh Sabuk Hijau di Lahan Reklamasi untuk Meredam Tsunami...................................... 28 Keterkaitan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecildengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Penataan Ruang........... 30 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR...................................................................................... 37 Penjabaran Proses dan Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR ............................................ 39 Kedudukan KLHS dalam Tata Cara Proses Peyusunan RTR KSN ............................................. 40 Keterkaitan KLHS dan Kajian Risiko Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang................................................................................................................................ 42 Kerangka Pikir Penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima............................................................ 45 Peta Overlay Rawan Bencana dan Komoditas............................................................................... 46 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan Penataan Ruang........................................................................................................................................ 52 Pendekatan Kajian Risiko Bencana.................................................................................................... 53 Keterkaitan Peta Rencana Tata Ruang dengan Peta Risiko Bencana..................................... 66 RPB sebagai Masukan dalam Peninjauan Kembali RTRW.......................................................... 60 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTRW Provinsi.................................................................................................................. 64 Bagan Alir Tata Cara Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang....................................................................................................... 66 Metode Pengkajian Risiko Bencana................................................................................................... 67 Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana.................................................................................... 68 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan RTRW Provinsi.......................... 70
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6
Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 1 (a) KSN dalam Satu Wilayah Kabupaten/Kota.............................. 104 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 1 (b) KSN Lintas Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi................. 107 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 2 KSN Berbasis Kawasan/Objek Strategis.......................................... 111 Peta Ancaman Bencana Banjir............................................................................................................. 127 Peta Kerentanan Bencana Banjir......................................................................................................... 127 Peta Risiko Bencana Banjir.................................................................................................................... 128
ix
x
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Daftar Singkatan A Amdal : Analisis Mengenai Dampak Lingkungan B BAKORSURTANAL: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional BAPPEDA: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah BAPPENAS: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Base map: Peta dasar BATAN: Badan Tenaga Nuklir Nasional BG: Badan Geologi BGN: Badan Geologi Nasional BIG: Badan Informasi Geospasial, sebelumnya bernama Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKORSURTANAL). BKPRN: Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional BMKG: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofi sika BNPB: Badan Nasional Penanggulangan Bencana BPPT: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPS: Badan Pusat Statistik D DAMKAR: Pemadam Kebakaran DAS: Daerah Aliran Sungai DISHIDROS: Dinas Hidro Oseanografi TNI AL (TNI Angkatan Laut), merupakan lembaga survei pemetaan hidro-oseanografi dibawah TNI AL. Dit. KKDT: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal Dit.TRP: Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan DKI Jakarta: Daerah Khusus Ibukota Jakarta E EWS: Early Warning System/Sistem Peringatan Dini G GIS: Geographis Infrmation System atau Sistem Informasi Geografi s/SIG H HFA: Hyogo Framework for Action I IAB: Indeks Ancaman Bencana IG: Informasi Geospasial
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xi
IGD: Informasi Geospasial Dasar IGT: Informasi Geospasial Tematik IRBI: Indeks Rawan Bencana Indonesia J JABODETABEKPUNJUR: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur JORR 2: Jakarta Outer Ring Road 2 K KAPET: Kawasan Pembangunan Ekonomi Terpadu KDB: Koefi sien Dasar Bangunan KEK: Kawasan Ekonomi Khusus Kemendagri: Kementerian Dalam Negeri Kemenhub: Kementerian Perhubungan Kemenhut: Kementerian Kehutanan Kemenkes: Kementerian Kesehatan Kemenperind: Kementerian Perindustrian Kemen-PU: Kementerian Pekerjaan Umum Kemensos: Kementerian Sosial Kementan: Kementerian Pertanian K/L: Kementerian/Lembaga KKP: Kementerian Keluatan dan Perikanan KLB: Koefi sien Lantai Bangunan KLH: Kementerian Lingkungan Hidup KLHS: Kajian Lingkungan Hidup Strategis KPBPB: Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas KRB: Kajian Risiko KSN: Kawasan Strategis Nasional KTC: Kepadatan timbulnya campak KTDB: Kepadatan timbulnya demam berdarah KTHIV/AIDS: Kepadatan timbulnya HIV/AIDS KTM: Kepadatan timbulnya malaria KZB: Koefisien Zona Bangunan L LAPAN: Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional M MATEK: Materi Teknis MP3EI: Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia P PB: Penanggulangan Bencana PDF (Portable Document Format): adalah sebuah format berkas yang dibuat oleh Adobe, meliputi: teks, huruf, citra dan grafik vektor dua dimensi PDRB: Produk Domestik Regional Bruto PEMKAB: Pemerintah Kabupaten
xii
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
PEMKOT: Pemerintah Kotamadya PEMPROV: Pemerintah Provinsi Perka BNPB: Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Perpres: Peraturan Presiden Peta KRB: Peta Kerentanan Bencana PRB: Pengurangan Risiko Bencana PKN: Pusat Kegiatan Nasional PP: Peraturan Pemerintah R RTH : Ruang Terbuka Hijau RPB: Rencana Penanggulangan Bencana RPWP3K: Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RTH Publik: merupakan ruang terbuka hijau yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. RTR KSN: Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional RTRWN: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional RTRWP: Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi RZPW3K: Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil S SCDRR: Safer Communities through Disaster Risk Reduction SDA: Sumber Daya Alam SNI : Standar Nasional Indonesia U UNDP: United Nations of Development Programme UTM: Universal Transverse Mercator/sistem koordinat yang terproyeksi
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xiii
Ringkasan Eksekutif I. Latar Belakang Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia memiliki kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Upaya pencegahan dan mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko bencana yang mungkin timbul. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang PenanggulanganBencana telah mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai perencanaan penanggulangan bencana yang menjadi acuan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal tersebut, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya dapat efektif dan terintegrasi. Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan, tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah. Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Mengingat pentingnya upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen perencanaan daerah, maka kerjasama UNDP dengan BNPB, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri melalui Proyek Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SCDRR) Fase II berupaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Sejalan dengan Prioritas Aksi 4 dari Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015 yakni “Reduce the underlying risk factors”, proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih, salah satunya penataan ruang.
xiv
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Rencana tata ruang, dengan fungsinya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka panjang, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan sosial ekonomi, dan sarana prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah untuk letusan gunung api, gempa bumi, dan reklamasi pantai. Salah satu output proyek ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan kebijakan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. II. Tujuan Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan terhadap pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang dapat menjadi acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN). Pedoman ini nantinya dapat melengkapi pedoman yang telah ada saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN). Perumusan pedoman tersebut harus dilakukan sesuai dengan arahan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. III. Metodologi Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, terdapat 3 hal yang harus dilakukan, yaitu: a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xv
b. Integrasi spasial. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. c. Koordinasi Kelembagaan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Materi Teknis ini lebih difokuskan pada pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan, dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB). Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1. Gambar 1 Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Integrasi Dokumen/ Proses
Materi Teknis
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Integrasi
Integrasi Spasial/Muatan Spasial/ Muatan
Koordinasi Kelembagaan
Melengkapi Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi
Melengkapi Pedoman Penyusunan RTR KSN
Sumber: Hasil Analisis
IV. Hasil Kajian dan Analisis Kegiatan ini dilakukan melalui perumusan serangkaian output, sebagai berikut: 1. Output 1: Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN).Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang
xvi
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
lainnya.Selain itu juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup.Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai keterkaitan Kajian Risiko Bencana (KRB) dengan KLHS dalam rencana tata ruang, khususnya dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN.Hasil kajian ini juga menjadi masukan dalam mengintegrasikan KRB ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional. 2. Output 2: Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil (RPWP3K). Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundang-undangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan.Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai posisi mitigasi bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Output 3: Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN). Output ini dicapai dengan melakukan desk study. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN. 4. Output 4: Pemetaan KelembagaanPengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. Output ini dicapai melalui: (i) Hasil dari Output 3; dan (ii) Pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara dengan stakeholder yang relevan.Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan. 5. Output 5: Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Output ini dilakukan melalui: Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD) dan lokakarya. Hasil dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draft materi teknis.Lokakarya diselenggarakan untuk mendiseminasikandraft materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder yang lebih luas. Hasil dari lokakarya ini juga menjadi masukan dalam menyempurnakan draft materi teknis yang akan diberikan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). V. Kesimpulan Pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dimulai sejak tahap persiapan penyusunan RTR, yaitu dengan mengkaji muatan kebencanaan yang ada di RTR. Tahap paling penting adalah tahap pengolahan dan analisis data, pada tahap ini dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana yang ada dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam analisis penyusunan RTR. Pengintegrasiannya adalah: (i) Peta Kerawanan yang sifatnya jangka panjang, dijadikan dasar perumusan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xvii
tujuan, kebijakan, strategi, serta perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang; dan (ii) Peta Kerentanan, Peta Kapasitas, dan Peta Risiko yang bersifat jangka menengah (5 tahun) dijadikan masukan bagi perumusan arahan pemanfaatan ruang (indikasi program utama). Seperti dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR
Sumber: Hasil Analisis
Salah satu isu yang muncul dalam upaya pengintegrasian adalah adanya perbedaan jangka waktu antara periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR. Idealnya, pada saat peninjauan kembali/ penyusunan RTR, RPB sudah tersedia.
xviii
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3 Waktu Pengintegrasian PRB ke dalam RTR
Sumber: Hasil Analisis
1. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi a. Integrasi pada saat proses penyusunan RTRW Provinsi Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU, maka sebaiknya segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 20122016 sebelum RTRW menjadi Perda. Hal ini signifikan karena 6 (enam) dari 8 provinsi tersebut memiliki kelas risiko tinggi, dan hanya Provinsi Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau yang memiliki kelas risiko sedang. Lihat Tabel 1.Bila dilihat dari IRBI 2013, maka dari 33 provinsi yang ada, sebanyak 26 provinsi memiliki kelas risiko tinggi, dan hanya 7 provinsi yang memiliki kelas risiko sedang, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Papua. Tabel 1 Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi No
Provinsi
Skor
Kelas Risiko
1
Sumatera Utara
150
Tinggi
2
Riau
147
Tinggi
3
Kepulauan Riau
116
Sedang
4
Sumatera Selatan
142
Sedang
5
Kalimantan Barat
157
Tinggi
6
Kalimantan Selatan
152
Tinggi
7
Kalimantan Timur
165
Tinggi
8
Sulawesi Tenggara
169
Tinggi
Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013
Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan peninjauan kembali akan terlalu lama.Mengingat hampir semua provinsi tersebut masuk dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xix
Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 2012-2016, sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi masalah. Alternatifnya adalah:(i)Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2 tahun terakhir (2014-2016);(ii)Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru disusun (jangka waktu 2017-2022); atau(iii) SKPD segera menyusun pengkajian risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW. Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (i) dan (iii), dengan pertimbangan berikut ini: (a) Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta indikasi arahan peraturan zonasi; (b) Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya; (c) Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut. Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya pada saat proses persetujuan substansi. Seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda, pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali RTRW tersebut. Untuk itu, diperlukan penyesuaian periode antara RPB dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi.Mengingat adanya keterbatasan kapasitas BNPB/BPBD, maka penyesuaian penyusunan RPB ini dilakukan dengan pemrioritasan berdasarkan kelas risikonya, semakin tinggi kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin diprioritaskan penyusunannya. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka SKPD, berkoordinasi dengan BPBD, menyiapkan pengkajian risiko bencana secara mandiri yang jangka waktunya disesuaikan dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. Peninjauan kembali
xx
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
rencana tata ruang dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Namun, PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang pasal 82 (2) menetapkan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang dapat segera dilakukan tanpa menunggu 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa (a) bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; (b) perubahan batas territorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang; atau (c) perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-undang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi.Hal ini sangat signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan kelas risiko suatu daerah.Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013, kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, danrendah, dimana 322 kabupaten/kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/ kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas. Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni: a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan lingkungan (ha). Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas. Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bila RTRW sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah.Karena tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat nonteknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari Daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xxi
melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak menetapkan perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTRW adalah ketersediaan konsultan yang paham dan siap untuk melakukan hal tersebut. Seperti diketahui, penyusunan RTRW di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan). Dengan demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus dipastikan terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan dapat melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk melakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR. 2. Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi, tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN. a. Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana. Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN, dengan memperhatikan jangka waktunya.
Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: (a) Bila RPB Provinsi/ Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN;dan (b) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD untuk: (i) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR KSN; atau (ii) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut, tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal Raperpes.Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
xxii
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan masing-masing tipologi.
b. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali. Langkah-langkah sebagai berikut: (i) Periksa apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah jangka waktunya sesuai. Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan; (ii) Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana; (iii) Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada. 3. Percepatan Ketersediaan dan Peningkatan Kualitas Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33 provinsi (kecuali Kalimantan Utara) serta 63 kabupaten/kota.Apabila kegiatan upayapenyusunan RPB pada tingkat kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendakan secarateratur dan konsisten setiap tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota lagi akanselesai kurang lebih dalam 9 tahun lagi (33 kabupaten/kota per tahun)1. Sementara saat ini, status per 30 Mei 2014,sudah 25 provinsi yang mempunyai perda RTRW Provinsi (75%), 290 kabupaten memiliki perda RTRW Kabupaten (72,9%), dan 75 kota memiliki perda RTRW Kota (80,6%)2. Saat peninjauan kembali tentunya diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia. Hal yang masih menjadi tantangan utama yang dihadapi yaitu bagaimana mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/Kota.Semua hal tersebut di atas menjadi signifikan dalam penyusunan RTR KSN, karena pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN dilakukan berdasarkan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada,
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78. Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
1 2
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xxiii
kecuali untuk tipologi tertentu yang membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus (seperti KSN rawan bencana). Hal ini menjadi tantangan utama BNPB dalam: (i) Memperkuat BPBD Provinsi sehingga dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan memfasilitasi BPBD Kabupaten/ Kota; dan (ii) Memperkuat BPBD Kabupaten/Kota sehingga dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang. Apabila pada saat hendak menyusun atau melakukan peninjauan kembali RTRW/ RTR KSN, RPB belum ada, memang dimungkinkan bagi K/L atau SKPD untuk melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/ BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Namun bila hal ini dilakukan, maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu: i. Tugas BPBD akan berkurang. Dalam Permendagri No. 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD pasal 4 disebutkan bahwa BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas, antara lain, menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana; serta menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. Sementara dalam Perka BNPB No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD (Bab 4) disebutkan bahwa koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan secara horizontal pada tahap prabencana antara lain dilakukan dalam bentuk penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, penyusunan perencanaan penanggulangan bencana, penentuan standar kebutuhan minimum, pengurangan risiko bencana, dan pembuatan peta rawan bencana. Bila hal ini berlanjut terus, dikhawatirkan tugas BPBD menyempit hanya fokus pada hal-hal operasional saat tanggap darurat dan pascabencana. Padahal secara struktur organisasi, BPBD memiliki bidang pencegahan dan kesiapsiagaan. ii. Kualitas RPB yang dihasilkan. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, BNPB harus sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan dapat dijamin bahwa kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB. 4. Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik Ketersediaan peta dasar untuk pelaksanaan pengkajian risiko bencana yang akan diintegrasikan ke dalam muatan rencana tata ruang merupakan tantangan yang
xxiv
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
harus segera ditangani, terutama untuk peta-peta skala besar. Saat ini peta-peta yang sudah ada, sebagai berikut3: (i) Skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi; (ii) Skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten; (iii) Skala 1:25.000 sudah ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi4; (iv) Skala 1:10.000 sedang dibuat untuk kota-kota di P. Jawa; (v) Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu 1:5.000, 1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).Tantangannya adalah bagaimana agar Badan Informasi Geospasial (BIG) dapat memenuhi kebutuhan tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Anggaran adalah salah satu kendala utama, di samping ketersediaan SDM dengan kapabilitas yang dibutuhkan. Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga peta tematik.Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait. BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta yang disusun oleh K/L atau SKPD terkait.Berdasarkan peta kerawanan tersebut disusun peta ancaman/bahaya (hazard).Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-langkahnya adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2) peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko. Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala 1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan) yang siap dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.0005. Permasalahannya adalah bagaimana menyusun peta bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru peta tematik skala 1:250.000. Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini: a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk membuat peta skala 1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal yang mudah karena berdasarkan IRBI 2013 terdapat 322 kabupaten/kota (65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara sisanya 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/kota BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014. BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014. 5 BNPB, Ibid. 3 4
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xxv
dengan kelas risiko semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya. Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi di Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan BKPRN mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan petanya. b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasankawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana. c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.000. Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan Citra Tegak Resolusi Tinggi6. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter. Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: (i) Radiometrik, koreksi dilakukan oleh LAPAN; dan (ii) Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG.Peta yang telah dikoreksi dapat digunakan oleh daerah sebagai peta dasar.Pemerintah Daerah dapat mengirim surat ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan. 5. Pemetaan Pemangku Kepentingan a. Kerangka Regulasi Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan turunannya, sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu pada UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan turunannya. Saat ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang, dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN, adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009 dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012.Namun peraturan tersebut belum secara jelas memberikan arahan bagi penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Namun demikian, perlu
6
BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
xxvi
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (sudah pada tahap legal drafting).
Sehubungan dengan hal tersebut, maka langkah-langkah berikut ini dapat dijadikan alternatif solusi: 1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Saat ini sudah terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman tersebut, antara lain: a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun pedoman penerapan informasi kebencanaan geologi untuk penyusunan rencana tata ruang; b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, berkoordinasi dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah mencapai proses legal drafting; dan c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II yang tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana, khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional. 2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat melakukan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus jelas dan dapat diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat satu pedoman saja mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang yang mengkombinasikan antara pedoman yang telah dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri.Selain itu perlu dipertimbangkan bahwa pedoman tersebut tidak hanya menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, tetapi juga rencana tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW Kota, serta rencana rinci lainnya).
Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah. Pada dasarnya Daerah hanya melaksanakan arahan dari Pemerintah Pusat.Namun sebaiknya harus ada integrasi antara arahan-arahan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sehingga tidak membingungkan buat Daerah.Salah satunya adalah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xxvii
antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri. Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan disinkronkan, sehingga tidak membingungkan buat daerah. 3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan: a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L. Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini bersifat sementara. b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Tata Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki dasar hukum yang lebih kuat. 4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas. Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk diseminasi dan mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk memberikan masukan bagi penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.Selain itu dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah dengan memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga muatannya dapat saling melengkapi.
xxviii
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
b. Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota).Berarti masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD.Untuk kabupaten/ kota yang belum memiliki BPBD,tugas dan fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana.
Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan kebencanaan dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya. Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah eselon 2, 3, atau 4. Misalnya, sebagai contoh, di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) kebencanaan menjadi bagian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat(Kesbanglinmas), di mana kebencanaan berada di bawah Bidang Pengamanan dan Penanggulangan Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana7, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD.
Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini. Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas BPBD.Bila dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama, maka kapasitas BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan. Isu kapasitas ini antara lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu diperkuat antara lain agar mampu menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan. c. Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)8. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar
7 Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014. 8 Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xxix
Pemerinah Daerah mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah terbentuk, mau memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan sumber daya manusia maupun anggaran.
Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan.
d. Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Ada beberapa alternatif yang dapat diambil: (i) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (ii) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; atau (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.
Dari hasil lokakarya, khusus untuk isu kelembagaan, dihasilkan beberapa butir penting berikut ini: 1. Terkait dengan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, diperlukan pelibatan BPBD dan BKPRD. Dalam konteks tersebut maka penting agar BPBD menjadi anggota BKPRD. Penguatan BKPRD dan BPBD dalam penanganan aspek kebencanaan menjadi hal yang penting pula. 2. Penguatan BKPRD dalam aspek kebencanaan, antara lain dengan cara (dapat dilakukan ketiganya): (i) eselon 2 masuk sebagai anggota BKPRD; eselon 3 masuk dalam pokja BKPRD; dan masuk dalam tim teknis BKPRD. 3. Bila BPBD direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRD, dan BNPB direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRN, maka perlu dipikirkan bagaimana mekanismenya karena ada peraturan yang perlu diubah. Misalnya, Keppres tentang BKPRN perlu direvisi. Sebelumnya tentu harus ada kesepakatan terlebih dahulu mengenai keanggotaan tersebut. Hal ini penting karena salah satu tujuanpenyelenggaraan penataan ruang adalah mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman (UU No. 26 tahun 2007 pasal 3), di mana kebencanaan adalah salah satu isu strategis.
xxx
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
4. Mendagri bersama para Menteri anggota BKPRN berkewajiban untuk melakukan fungsi dan pembinaan BKPRD dalam penyelenggaran penataan ruang terkait upaya pengurangan risiko VI. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah sebagai berikut: 1. Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Jika hal ini disepakati seluruh stakeholders terkait, maka implikasinya adalah: (i) Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti langsung mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana; (ii) Rencana tata ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan substansi), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ini; (iii) Rencana tata ruang yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda atau sudah Raperpres dan sudah Perpres, segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana pada saat dilakukan peninjauan kembali yang pertama; (iv) Daerah-daerah yang memiliki kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan kriterianya), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya. 2. Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013. No
Kabupaten/Kota
Provinsi
Skor
Kelas Risiko
Status RT/RW
1
Cianjur
Jawa Barat
250
Tinggi
Perda 2012, PK RT/RW 2017
2
Garut
Jawa Barat
238
Tinggi
Perda 2011 PK RT/RW 2016
3
Sukabumi
Jawa Barat
231
Tinggi
Perda 2012 PK RT/RW 2017
4
Lumajang
Jawa Timur
231
Tinggi
5
Tasikmalaya
Jawa Barat
225
Tinggi
Perda 2012 PK RT/RW 2017
6
Halmahera Selatan
Maluku Utara
224
Tinggi
Perda 2012 PK RT/RW 2017
7
Maluku Barat Daya
Maluku
223
Tinggi
Perda 2013 PK RT/RW 2018
8
Majene
Sulawesi Barat
221
Tinggi
Perda 2012 PK RT/RW 2017
9
Malang
Jawa Timur
219
Tinggi
10
Jember
Jawa Timur
219
Tinggi
PK RT/RW 2014
PK RT/RW 2015 Belum Perda
Sumber: IRBI 2013 dan Roadmap (draft), Bappenas
3. Pengurangan risiko bencana menjadi salah satu muatan yang dikaji pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. Pengurangan risiko bencana ini mencakup: (a) kajian risiko bencana pada tahap analisis, dan (b) muatan pengurangan risiko bencana dalam kebijakan, rencana, dan indikasi program utama.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
xxxi
4. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, apabila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang. 5. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar. 6. Perlu membuat pemrioritasan dalam pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya. 7. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut: i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000 untuk seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi; ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi. 8. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. 9. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah daerah. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional. 10. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan menjadi (ii) Peraturan Menteri PU. 11. Alternatif penguatan BKPRD terhadap kebencanaan dilakukan dengan cara: (i) Memasukkan BPBD sebagai salah satu anggota BKPRD; (ii) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; (iii) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana. 12. Perlu dilakukan penguatan BKPRN dengan melibatkan BNPB.
xxxii
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
VII. REKOMENDASI Dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya RTRW Provinsi dan RTR KSN, maka usulan rekomendasi disampaikan pada BKPRN dan BNPB, adalah sebagai berikut: A. BKPRN BKPRN melaksanakan rapat eselon II BKPRN untuk menyepakati pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi: 1. Dibutuhkan pedoman pengarusutamaan PRB ke dalam RTR, baik untuk RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota, dan RTR KSN. Perlu pula disepakati: (i) Kerangka regulasi pedoman; dan (ii) Muatan pedoman. 2. Pengurangan risiko bencana (PRB) menjadi salah satu muatan yang dikaji pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar; 3. Membuat prioritas pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko suatu daerah; 4. Penguatan BKPRD untuk materi kebencanaan. BPBD diusulkan menjadi anggota BKPRD; 5. Dibuat satu pedoman untuk memudahkan implementasi oleh pemerintah daerah. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional. B. BNPB 1. Berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah-daerah yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar dan peta tematiknya berdasarkan kelas risiko suatu daerah; 2. Mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan penguatan BPBD (sumber daya manusia maupun anggaran); 3. Mendorong percepatan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di kabupaten/kota; dan 4. Merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
BAB 1 Pendahuluan
xxxiii
xxxiv
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
1
BAB 1
Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana. Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan sumberdaya alam. Dengan kondisi sebagai negara rawan bencana, dan mengingat bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, maka dikeluarkanlah UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. UU ini menjadi acuan bagi upaya penanggulangan bencana di Indonesia. Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3(tiga) tahap, yang meliputi tahap prabencana, tanggap darurat, dan pasca bencana. Penyelenggaraan untuk ketiga tahap tersebut harus dilakukan secara terintegrasi. Kompleksitas penyelenggaran penanggulangan bencana memerlukan suatu penataan dan perencanaan yang matang, terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan selama ini belum didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana, sehingga seringkali terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya penting yang tidak tertangani. Pemaduan dan penyelarasan arah penyelenggaraan penanggulangan bencanapada suatu kawasan membutuhkan dasar yang kuat dalam pelaksanaannya. Hal ini dapat dilakukan melalui kajian risiko bencana. Kajian risiko bencana merupakan perangkat untuk menilai kemungkinan dan besaran kerugian akibat ancaman yang ada. Dengan mengetahui kemungkinan dan besaran kerugian, fokus perencanaan dan keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan bencana menjadi lebih efektif. Dapat dikatakan kajian risiko bencana merupakan dasar untuk menjamin keselarasan arah dan efektivitas penyelenggaraan penanggulangan bencana pada suatu daerah. Sebagai negara rawan bencana, sangat penting bagi Indonesia untuk memiliki kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana untuk dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dalam hal ini upaya pencegahan dan
2
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
mitigasi bencana menjadi sangat penting untuk mengurangi risiko bencana yang mungkin timbul. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah mempunyai perencanaan penanggulangan bencana yang menjadi acuan dalam upaya penanggulangan bencana. Sehubungan dengan hal tersebut, sangatlah penting bagi setiap daerah untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen-dokumen perencanaan daerah, seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Tata Ruang (RTR) untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif dan terintegrasi. Mengingat pentingnya upaya mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen perencanaan daerah, maka kerjasama UNDP dengan BNPB, Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri melalui Proyek Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SCDRR) Fase II berupaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Sejalan dengan Prioritas Aksi 4 dari Hyogo Framework for Action (HFA) 2005-2015 yakni “Reduce the underlying risk factors”, proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih. Salah satu output proyek ini adalah terselenggaranya dukungan bagi pengarusutamaan kebijakan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan di daerah, termasuk dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sehubungan dengan itu, proyek ini memberikan dukungan kepada Pemerintah Pusat untuk memasukkan perspektif pengurangan risiko bencana (Disaster Risk Reduction/ DRR) ke dalam sektor-sektor pembangunan terpilih melalui perumusan materi teknis bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam sektor-sektor pembangunan, khususnya penataan ruang. Rencana tata ruang, dengan fungsinya untuk mengarahkan pemanfaatan ruang jangka panjang, sangat berguna dalam mereduksi keterpaparan jumlah penduduk, kegiatan sosial ekonomi, dan sarana prasarana dari ancaman bencana. Saat ini, pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada yang relevan dengan kebencanaan adalah untuk letusan gunung api, gempa bumi, dan reklamasi pantai. Berdasarkan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, semua pemerintah daerah (provinsi, kabupaten dan kota) wajib menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang selanjutnya dilegalisasikan menjadi Peraturan Daerah (Perda), dengan masa berlaku selama 20 tahun dan ditinjau kembali setiap 5 tahun. Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana, rencana tataruang saat ini juga perlu memasukkan kajian risiko bencana untuk mengidentifikasikan kerawanan, tingkat ancaman, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas di suatu wilayah. Memasukkan upaya pengurangan risiko bencana kedalam penataan ruang, yang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
3
meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, harus menjadi prioritas Pemerintah dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan rentan, serta berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup. 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari kegiatan ini adalah untuk menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana. Sementara tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan masukan perbaikan terhadap pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang (RTR) yang telah ada saat ini untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Materi teknis yang dihasilkan akan diusulkan kepada Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKRN) sebagai masukan dalam merumuskan pedoman yang dapat menjadi acuan bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN). Pedoman ini nantinya dapat melengkapi pedoman yang telah ada saat ini, khususnya (a) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, dan (b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 15 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN). Perumusan pedoman tersebut harus dilakukan sesuai dengan arahan dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sebagai landasan untuk mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. 1.3 Ruang Lingkup Materi Teknis Adapun ruang lingkup kegiatan penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana meliputi: l Mengkaji peraturan perundang-undangan yang terkait, khususnya Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (Permen PU No 15 Tahun 2009) dan Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (Permen PU No 15 Tahun 2012); l Mengkaji dan mengintegrasikan hasil dua studi yang telah dilakukan, yaitu “Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur” dan “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia”;
4
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
pengumpulan data dan informasi dari stakeholder yang relevan, khususnya Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana melalui diskusi bilateral; l Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional; l Mengkaji mitigasi bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP3K) dan keterkaitan kajian risiko bencana dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam penataan ruang; l Melakukan pemetaan stakeholder; l Menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus untuk mendapatkan masukan terhadap materi teknis yang disusun dari stakeholder yang relevan; l Menyelenggarakan lokakarya untuk mendiseminasikan materi teknis yang telah disempurnakan dan menyepakati rencana tindak lanjut; dan l Menyusun Materi Teknis bagi Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana l Melakukan
1.4 Metodologi Pelaksanaan Pekerjaan Kegiatan ini dilakukan melalui perumusan serangkaian output, sebagai berikut: 1. Output 1: Keterkaitan Kajian Risiko Bencana dengan KLHS dalam RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundangundangan tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), pengurangan risiko bencana, Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, dan Pedoman Penyusunan RTR KSN dan dokumen-dokumen penunjang lainnya.Selain itu juga dilakukan diskusi dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai keterkaitan Kajian Risiko Bencana (KRB) dengan KLHS dalam rencana tata ruang, khususnya dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN.Hasil kajian ini juga menjadi masukan dalam mengintegrasikan KRB ke dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan kawasan strategis nasional. 2. Output 2: Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RPWP3K) Output ini dicapai dengan melakukan kajian terhadap peraturan perundangundangan tentang rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RPWP3K), pengurangan risiko bencana, dan dokumen-dokumen penunjang lainnya, serta diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dari diskusi dan kajian ini dapat diperoleh gambaran mengenai posisi mitigasi bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. 3. Output 3: Integrasi Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
5
Output ini dicapai dengan melakukan desk study, yang mencakup: a. Mengkaji pedoman-pedoman yang ada tentang penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN serta pedoman terkait lainnya; b. Mengkaji peraturan perundang-undangan serta dokumen tentang penanggulangan bencana. c. Mengkaji dokumen-dokumen penunjang lainnya, termasuk dua studi yang telah dihasilkan oleh SCDRR II, yaitu “Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur” dan “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia”. Berdasarkan hasil kajian tersebut, dan diskusi dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dilakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN. 4. Output 4: Pemetaan KelembagaanPengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang Output ini dicapai melalui: a. Hasil dari Output 3; dan b. Pengumpulan data dan informasi dalam bentuk diskusi dan wawancara dengan stakeholder yang relevan. Stakeholder yang relevan meliputi: Bappenas, Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Hasil diskusi dengan berbagai stakeholder yang relevan, dikombinasikan dengan hasil dari output 3, dilakukan pemetaan kelembagaan. 5. Output 5: Penyusunan Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana Penyusunan materi teknis terdiri atas dua tahap, yaitu: a. Penyusunan draft materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR Draft materi teknis disusun berdasarkan output 1 sampai dengan output 4. Untuk mempertajam pengintegrasian kajian risko bencana (KRB) ke dalam pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN), serta pemetaan kelembagaan, dilakukan Diskusi Terarah (Focus Group Discussion/FGD). Hasil dari FGD ini menjadi masukan dalam perumusan draft materi teknis. b Penyusunan materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR (final) Lokakarya diselenggarakan untuk mendiseminasikan draft materi teknis revisi pedoman penyusunan RTR yang telah disusun dan membangun kesepakatan rencana tindak lanjut dengan mengundang berbagai stakeholder yang lebih luas. Hasil dari lokakarya ini juga menjadi masukan dalam menyempurnakan draft materi teknis yang akan diberikan kepada
6
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Peserta lokakarya meliputi anggota BKPRN, pemerintah provinsi DKI Jakarta, dan pemerintah daerah dalam Bodetabekpunjur. 1.5 Kedudukan Materi Teknis Materi Teknis ini ditujukan untuk memberikan masukan bagaimana mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang, khususnya penyusunan RTRW Provinsi dan penyusunan RTR KSN. Diharapkan hal ini dapat memperbaharui paradigma perencanaan tata ruang berbasis mitigasi bencana, sehingga rencana tata ruang yang disusun nantinya telah memuat upayaupaya pengurangan risiko bencana. Materi Teknis ini bersifat komplementer terhadap Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan Pedoman Penyusunan RTR KSN yang ada. Selain itu Materi Teknis ini juga akan melengkapi aturan yang lebih rinci yang saat ini sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, yaitu Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB).Kedudukan Materi Teknis terhadap pedoman-pedoman yang telah ada dapat dilihat pada Gambar 1.1. Dalam mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, terdapat 3 hal yang harus dilakukan, yaitu: a. Integrasi dokumen/proses. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam dokumen rencana tata ruang (RTR) dalam proses penyusunan rencana tata ruang. Dalam hal ini, terdapat masalah perbedaan jangka waktu antara penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang dengan periode Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). b. Integrasi spasial. Mengatur bagaimana mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan rencana tata ruang. Hal ini sudah diatur dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. c. Koordinasi Kelembagaan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka Materi Teknis ini lebih difokuskan pada pembahasan mengenai integrasi proses/dokumen dan koordinasi kelembagaan, dengan tambahan pembahasan mengenai integrasi spasial/muatan yang menjadi irisan dengan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR KRB).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
7
Integrasi spasial/muatan telah dibahas secara detil dalam Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana. Lihat Gambar 1.2. Gambar 1.1 Kedudukan Materi Teknis terhadap Peraturan Perundang-undangan Bidang Penataan Ruang Dan Bidang Penanggulangan Bencana
Perka BNPB No. 2/2012 Pedoman Umum
8
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 1.2 Keterkaitan Materi Teknis dengan Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, serta Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Materi Teknis
Integrasi Dokumen/ Proses
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana
Integrasi
Integrasi Spasial/Muatan Spasial/ Muatan
Koordinasi Kelembagaan
Melengkapi Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi
Melengkapi Pedoman Penyusunan RTR KSN
Sumber: Hasil Analisis
1.6 Sistematika Materi Teknis Materi teknis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: Bab 1
PENDAHULUAN Bab 1 yang merupakan pendahuluan membahas mengenai latar belakang penyusunan materi teknis, maksud dan tujuan penyusunan, ruang lingkup pembahasan, metodologi penyusunan, dan kedudukan materi teknis ini terhadap pedoman penyusunan rencana tata ruang yang ada.
Bab 2
MITIGASI BENCANA DALAM RENCANA PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL (RPWP3K) DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Bab 2 ini terdiri atas dua subbab, yaitu subbab pertama membahas mitigasi bencana dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sedangkan subbab kedua membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam penataan ruang. Subbab pertama membahas dasar hukum mitigasi bencana dan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Selain itu juga dibahas mitigasi bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
9
dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) serta contoh aplikasi mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Subbab ini juga membahas keterkaitan antara perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan perencanaan tata ruang. Subbab kedua membahas tentang penyelenggaraan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional, serta keterkaitannya dengan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan tata ruang. Bab 3
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA KE DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI Sesuai dengan tujuan materi teknis ini, maka Bab 3 membahas langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang provinsi. Hal-hal yang dibahas meliputi dasar hukum, penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam penataan ruang, pengintegrasian perspektifpengurangan risiko bencana ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi, serta pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam ketentuan teknis muatan RTRW Provinsi. Pembahasan dalam bab ini ditutup dengan pembahasan mengenai tantangan yang dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi.
Bab 4
PENGARUSUTAMAAN PENGURANGAN RISIKO BENCANA KE DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG KAWASAN STRATEGIS NASIONAL Pembahasan dalam Bab 4 diawali dengan perumusan kriteria bagi penentuan perlu/tidaknya melakukan kajian risiko bencana khusus bagi setiap tipologi KSN yang ada. Kriteria ini dirumuskan dengan memperhatikan bentuk KSN serta isu strategis nasional dan fokus penangangan setiap tipologi KSN. Setelah itu dilakukan pembahasan terhadap pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam proses penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis nasional (RTR KSN). Dilanjutkan dengan pembahasan mengenai pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan RTR KSN. Kemudian diberikan contoh pengintegrasian KRB tersebut ke dalam RTR KSN dengan Tipologi Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur. Terakhir dibahas tantangan yang dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana tersebut ke dalam penyusunan RTR KSN.
Bab 5
PEMETAAN PEMANGKU KEPENTINGAN Bab 5 membahas tentang pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan tata ruang. Sebagai pendahuluan dibahas mengenai pemetaan pemangku kepentingan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana, yaitu kelembagaan penanggulangan bencana di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Setelah itu dilakukan pemetaan pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Stategis Nasional (KSN).
10
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Bab 6
IMPLEMENTASI Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas langkahlangkah yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN dengan mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
BAB 2 Mitigasi Bencana dalam Rencana
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
11
12
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
13
BAB 2
Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil (RPWP3K) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Pada bab ini dibahas mitigasi bencana dalam rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan bagaimana keterkaitannya dengan penataan ruang. Selain itu bab ini juga membahas kajian lingkungan hidup strategis dalam perencanaan tata ruang dan kaitannya dengan mitigasi bencana. 2.1 Mitigasi Bencana dalam Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil 2.1.1 Dasar Hukum Mitigasi Bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil (PWP3K) mengacu pada UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K)Pasal 56 yang mengamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil wajib memuat mitigasi bencana sesuai dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencananya. Upaya mitigasi bencana harus dilaksanakan sejak tahap perencanaan. UU No. 27 tahun 2007 menitikberatkan pada upaya preventif pada tahap prabencana.Amanat ini mengandung makna bahwa paradigma penanganan bencana yang selama ini dilakukan perlu direformasi dari pendekatan fatalistik-reaktif melalui manajemen krisis menjadi pendekatan terencana pro-aktif melalui pengurangan risiko. Pengurangan risiko dilakukan melalui tiga upaya: pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ketiga upaya tersebut dalam UU No. 27 Tahun 2007 disebut mitigasi. Mitigasi bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana baik secara struktur atau fisik
14
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Atas dasar itu maka diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai kegiatan pengurangan risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sesuai dengan jenis, tingkat risiko, dan wilayah bencana. Mitigasi bencana ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2.1.2 Jenis, Tingkat Risiko, dan Wilayah Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau pulau Kecil Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat diakibatkan karena peristiwa alam dan/atau perbuatan orang.Perbandingan jenis-jenis bencana yang ditetapkan oleh BNPB dan PP No. 64 tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbandingan Jenis-jenis Bencana Jenis-jenis Bencana dalam PP No. 64 tahun 2010 No
Jenis Bencana
Jenis-jenis Bencana dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 Penyebab
No
Jenis Bencana
1.
Gempa Bumi
Peristiwa Alam
1.
Gempa Bumi
2.
Tsunami
Peristiwa Alam
2.
Tsunami
3.
Gelombang Ekstrim
Peristiwa Alam
3.
Gelombang Ekstrim dan Abrasi
4.
Gelombang Laut Berbahaya
Peristiwa Alam
4.
Letusan Gunung Api
5.
Letusan Gunung Api
Peristiwa Alam
5.
Banjir
6.
Banjir
Peristiwa Alam Perbuatan Orang
6.
Tanah Longsor
7.
Kekeringan
8.
Cuaca Ekstrim
9.
Kebakaran Hutan dan Lahan
10.
Kebakaran Permukiman
11.
Epidemi dan Wabah Penyakit
12.
Gagal Teknologi
7.
Kenaikan Paras Muka Air Laut
Peristiwa Alam Perbuatan Orang
8.
Tanah Longsor
Peristiwa Alam Perbuatan Orang
9.
Erosi Pantai
Peristiwa Alam Perbuatan Orang
10.
Angin Puting Beliung
Peristiwa Alam
Jenis bencana lainnya
Gedung
dan
Sumber: PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
15
Tingkat risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dikelompokkan menjadi: a. risiko tinggi; b. risiko sedang; dan c. risiko rendah. Tingkat risiko bencana ditentukan berdasarkan analisis bahaya dan kerentanan dan ditetapkanoleh BNPB sesuai dengan ketentuan dalam Perka BNPB no 02/2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Wilayah bencana merupakan luasan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang diprediksi terkena dampak bencana dalam rentang waktu tertentu dan ditentukan berdasarkan: a. identifikasi jenis bencana; b. pengkajian ancaman bencana; dan c. analisis mengenai daerah yang diprediksi terkena dampak bencana. Wilayah bencana dikelompokkan dalam skala nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. 2.1.3 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau - pulau Kecil Dalam menyusun perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memuat mitigasi bencana yang merupakan bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana (RPB). Muatan aspek kebencanaan dalam setiap dokumen perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut: 1. Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K) wajib memuat isu, visi, misi, strategi, kebijakan, dan program yang memasukkan mitigasi bencana. Jangka waktu RSWP3K Pemerintah Daerah selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali. RSWP3K ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota). 2. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) wajib mempertimbangkan peta rawan bencana dan peta risiko bencana yang disusun dan ditetapkan oleh instansi yang berwenang (BNPB atau BPBD). RZWP3K provinsi dibuat dalam peta dengan skala 1:250.000 atau lebih besar. Jangka waktu berlakunya RZWP3K selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. RZWP3K ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
16
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
3. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) wajib memasukkan rencana mitigasi bencana. Rencana mitigasi bencana tersebut menjadi bagian dari Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPB Daerah). Bila RPB Daerah belum ditetapkan, satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun rencana mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RPWP3K. RPWP3K berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurangkurangnya sebanyak 1 (satu) kali. RPWP3K ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. 4. Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K) wajib memasukkan kegiatan mitigasi bencana yang ada dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB). Bila RAD PRB belum ditetapkan, SKPD yang membidangi kelautan dan perikanan menyusun kegiatan mitigasi bencana untuk dimasukkan ke dalam RAPWP3K. Kegiatan mitigasi bencana meliputi kegiatan struktur/fisik dan/atau non struktur/ non fisik mitigasi bencana yang berdampak langsung dalam pengurangan risiko. RAPWP3K provinsi atau kabupaten/kota berlaku selama 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga) tahun dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Secara umum mitigasi bencana dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan melalui kegiatan (i) struktur/fisik, dan/atau (ii) nonstruktur/nonfisik. Pendekatan secara struktur/fisik dapat dilakukan melalui manipulasi atau teknis, baik secara alami maupun buatan. Mitigasi secara nonstuktur/nonfisik dapat dilakukan melalui upaya nonteknis yang berkaitan dengan penyesuaian dan pengaturan kegiatan manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun upaya lainnya. Mitigasi bencana secara fisik dan nonfisik dapat dilihat pada Tabel 2.2. Kegiatan struktur/fisik dilakukan sesuai dengan jenis bencana yang dihadapi (Untuk lengkapnya lihat Tabel 2.3).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
17
Gambar 2.1 Mitigasi Bencana dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Sumber: Disarikan dari PP No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan PP No. 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Tabel 2.2 Mitigasi Bencana secara Fisik dan Nonfisik No
Fisik
Non Fisik
1.
ALAMI Terumbu karang, sand dunes, vegetasi (hutan)
2.
BUATAN Pemecah gelombang (breakwater), tembok laut (seawall), krib (groin), jetty, tanggul, sudetan, kolam, resapan air, konstruksi pelindung bencana, shelter, Instalasi Pengolah Limbah
a. Pembuatan Peta Rawan Bencana b. Penyusunan Peta Kerentanan c. Analisis dan Penyusunan Peta Risiko Bencana d. Peraturan Perundangan e. Rencana Aksi Penanggulangan Bencana f. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan g. Sistim Peringatan Dini h. Relokasi, Tata Ruang, Zonasi, Tata Guna Lahan i. Penyadaran Masyarakat j. Pelatihan/Penyuluhan k. AMDAL l. Pengentasan Kemiskinan m.ICZM n. Kelembagaan mitigasi bencana
Sumber: DiposaptonoS. & Budiman (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Bogor: Sarana Komunikasi Utama
Gempa Bumi
Tsunami
Gelombang Ekstrim
2
3
Jenis Bencana
1
No
dan
Penyediaan evakuasi.
Vegetasi pantai; dan
Bangunan peredam gelombang ekstrim antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
Penggunaan bangunan gelombang ekstrim;
peredam
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Penyediaan sistem peringatan dini;
Ekosistem pesisir adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme, dan non organism lain di wilayah pesisir serta proses yang menghubungkannya yang membentuk keseimbangan, stabilitas dan produktivitas suatu sistem saling ketergantungan (fungsi dan interaksi) antara hewan, tumbuhan dan organisme serta lingkungan di wilayah pesisir.
sarana
Pengelolaan ekosistem pesisir.
dan
Vegetasi pantai adalah tanaman yang hidup di wilayah pesisir, seperti mangrove, cemara laut, ketapang, waru laut, dan butun.
prasarana
Vegetasi pantai; dan
Penyediaan kesehatan;
Konstruksi bangunan ramah bencana tsunami adalah bangunan dengan bentuk panggung
Penggunaan konstruksi ramah bencana tsunami;
bangunan
Fasilitas penyelamatan diri antara lainshelter, bukit buatan, jalur dan tempat evakuasi, serta papan informasi.
Penyediaan fasilitas penyelamatan diri;
peredam
Bangunan peredam tsunami antara lain tembok laut, break water, tanggul laut.
bangunan
Penggunaan tsunami;
Prasarana dan sarana evakuasi antara lain berpa papan informasi evakuasi, jalur evakuasi, tangga evakuasi, dan tempat penampungan
Prasarana dan sarana kesehatan antara lain rumah sakit, mobil ambulans, obat-obatan, peralatan medis, dan paramedis.
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi yang disediakan oleh instansi yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemberian peringatan dini tsunami sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
sarana
sarana
Keterangan
Penyediaan sistem peringatan dini;
prasarana
dan
bangunan
Penyediaan prasarana kesehatan; dan
Penyediaan tempat logistik;
Penggunaan konstruksi tahan gempa;
Kegiatan Struktur/Fisik
Tabel 2.3 Kegiatan Struktur/Fisik untuk Mitigasi terhadap Setiap Jenis Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
18 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gelombang Laut Berbahaya
Letusan Gunung Api
Banjir
Kenaikan Paras Muka Air Laut
Tanah Longsor
5
6
7
8
Jenis Bencana
4
No
Lanjutan Tabel 2.3
prasarana
dan
sarana
Pembangunan lereng; dan
Perkuatan lereng jaringan
Pengelolaan ekosistem pesisir.
Vegetasi pantai; dan
drainase
Penggunaan konstruksi bangunan yang beradaptasi pada kenaikan paras muka air laut;
Penyediaan pompa air;
Pembangunan bangunan pelindung pantai;
Penyediaan evakuasi.
bangunan
Perkuatan lereng antara lain pemasangan angkur penguat batuan pada bidang-bidang batuan, pemasangan tembok penahan tanah.
Bangunan yang beradaptasi pada kenaikan paras muka air laut antara lain berupa rumah panggung
Bangunan pelindung pantai antara lain tanggul, tembok laut, dan hasil reklamasi.
Bangunan pengendalian banjir antara lain tanggul, sumur resapan, bendungan, waduk, poldier, sudetan, kanal, kolam penampungan, dan pintu air.
sarana
Pembangunan pengendalian banjir; dan
dan
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
prasarana
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi.
Keterangan
Penyediaan sistem peringatan dini;
Penyediaan evakuasi
Pembangunan jalur lahar; dan
Penyediaan bunker;
Penyediaan sistem peringatan dini;
Penyediaan sistem peringatan dini
Pengelolaan ekosistem pesisir
Kegiatan Struktur/Fisik
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
19
Angin Puting Beliung
10
Penanaman vegetasi pantai
Penggunaan konstruksi tahan angin; dan
Penyediaan sistem peringatan dini
Pengelolaan ekosistem pesisir.
Vegetasi pantai; dan
Peremajaan pantai;
Pembangunan bangunan pelindung pantai;
Pengaturan geometri lereng dengan pelandaian lereng atau pembuatan terasering
Kegiatan Struktur/Fisik
Keterangan
Sistem peringatan dini antara lain alat pengirim dan penerima informasi
Sumber: PP No. 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Erosi Pantai
Jenis Bencana
9
No
Lanjutan Tabel 2.3
20 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
21
Sedangkan kegiatan nonstruktur/nonfisik untuk mitigasi bencana meliputi: a. penyusunan peraturan perundang-undangan yang meliputi kegiatan penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) mitigasi bencana; b. penyusunan peta rawan bencana yang dilakukan berdasarkan potensi bencana atau ancaman bahaya; c. penyusunan peta risiko bencana yang dilakukan berdasarkan aspek kerentanan, potensi bencana atau ancaman bahaya dan tingkat kemampuan serta kapasitas pemangku kepentingan dan kelembagaan; d. penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang meliputi kegiatan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan.atau kegiatan; e. penyusunan tata ruang yang meliputi kegiatan penyusunan rencana tata ruang yang terdiri atas pola ruang dan struktur ruang daratan berbasis mitigasi bencana; f. penyusunan zonasi yang meliputi kegiatan penyusunan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di perairan berbasis mitigasi bencana; dan g. pendidikan, penyuluhan, dan penyadaran masyarakat yang dilakukan melalui latihan, gladi, simulasi, lokakarya serta peningkatan kesiapsiagaan masyarakat mengenai upaya mengurangi risiko bencana.
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan tingkat risikonya dapat dilihat pada Tabel 2.4 Tabel 2.4 Mitigasi Bencana berdasarkan Tingkat Risiko
No
Tingkat Risiko
Fokus Kegiatan Mitigasi Bencana
1.
Tinggi
Kegiatan nonstruktur/nonfisik
2.
Sedang
Kombinasi kegiatan nonstruktur/nonfisik dengan fisik/ struktur sesuai dengan kondisi dan karakter wilayah
3.
Rendah
Kegiatan struktur/fisik
Sumber: PP No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Penanggulangan bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada dasarnya mengadopsi salah satu atau kombinasi strategi-strategi berikut : 1) Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara langsung “menahan proses alam yang terjadi”.
22
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
2) Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir dengan perubahan alam yang terjadi. 3) Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan proses dinamika alami yang terjadi, tetapi “mengalah” pada proses alam dan menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi perubahan alam yang terjadi. Berdasarkan PP Nomor 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil dan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2012) tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, analisis yang dibutuhkan dalam penentuan risiko bencana adalah sebagai berikut: 1) Analisis bahaya untuk mengidentifikasi luasan lokasi yang akan terkena dampak bencana. Keluaran dari analisis ini adalah Indeks Ancaman Bencana dan Indeks Penduduk Terpapar. 2) Analisis kerentanan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya bencana baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Analisis ini dibagibagi menjadi kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan ekologi/lingkungan. Kerentanan sendiri dapat didefinisikan sebagai exposure dikalikan dengan sensitivity. Aset-aset yang terekspos termasuk kehidupan manusia (kerentanan sosial), wilayah ekonomi, struktur fisik dan wilayah ekologi/lingkungan. Setiap aset memiliki sensitivitas sendiri, yang bervariasi berdasarkan masing-masing bencana. 3) Analisis tingkat ketahanan untuk mengidentifikasi kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya untuk merespon terjadinya bencana sehingga mampu mengurangi dampaknya. Analisis ini menghasilkan Indeks Kapasitas. Indeks ini diperoleh berdasarkan tingkat ketahanan daerah pada suatu waktu. Tingkat Ketahanan Daerah bernilai sama untuk seluruh kawasan pada suatu kabupaten/kota yang merupakan lingkup kawasan terendah kajian kapasitas ini. Ketiga analisis diatas selanjutnya diformulasikan sehingga menghasilkan
risiko bencana. Secara matematis, hubungan ketiga analisis tersebut untuk menghasilkan risiko bencana dapat dilihat dalam persamaan berikut: Dimana:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
R H V C
23
: risiko bencana (risk) : ancaman bahaya (hazard) : kerentanan (vulnerability) : kemampuan merespon(capacity)
Selanjutnya, bentuk spasial dari data risiko bencana alam ini digunakan sebagai input data tematik dalam penyusunan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil. 2.1.4 Mitigasi Bencana dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) (sumber: Modul 3 – RZWP3K Berbasis Mitigasi Bencana, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan) UU No. 27 Tahun 2007 mengamanatkan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun perencanaan pengelolaan WP3K dengan memasukkan dan melaksanakan mitigasi bencana. Dari empat dokumen perencanaan (RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAWP3K), dokumen RZWP3K perlu mendapatkan perhatian khusus, karena dalam penentuan alokasi ruang digunakan data spasial (peta) risiko bencana sebagai salah satu masukannya. Dengan menggunakan peta risiko bencana sebagai salah satu masukan, dapat dikatakan bahwa alokasi ruang dalam RZWP3K telah memasukkan aspek mitigasi bencana.Mitigasi bencana harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan RZWP3K, karena merupakan salah satu upaya dari fungsi perlindungan yang menjadi dasar pertimbangan penyusunan rencana ini. RZWP3K merupakan salah satu perangkat nonfisik (nonstruktur) dari mitigasi bencana. Penerapan konsep mitigasi bencana dapat dilihat pada saat proses penentuan alokasi ruang yang optimal dimana peta risiko bencana menjadi data tematik utama sebagai input dalam proses ini. Penggunaan peta risiko bencana dalam penyusunan alokasi ruang RZWPK dapat dilihat pada Gambar 2.2.
24
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 2.2. Diagram Alir Penentuan Alokasi Ruang WP3K
Sumber: Modul 3 – RZWP3K Berbasis Mitigasi Bencana, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Zona-zona yang dihasilkan dalam proses penyusunan RZWP3K (lihat kembali Gambar 2.2) wajib telah mempertimbangkan aspek kebencanaan, sehingga terwujud rencana alokasi ruang WP3K yang tahan terhadap bencana seperti diilustrasikan dalam Gambar 2.3. Dengan penerapan konsep mitigasi bencana, RZWP3K tidak hanya mampu memberikan arahan pemanfaatan sumberdaya secara spasial akan tetapi juga mampu memberikan perspektif yang unggul dalam menanggulangi dampak dari bencana dan melestarikan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
25
Gambar 2.3 Ilustrasi Pembagian Zona yang Mempertimbangkan Aspek Kebencanaan
Sumber : Diposaptono S., Budiman, dan F. Agung (2009). Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Bogor: Sarana Komunikasi Utama.
Salah satu aplikasi penerapan mitigasi bencana dalam pengalokasian ruang WP3K adalah sempadan pantai. Sempadan pantai berfungsi sebagai perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami; perlindungan pantai dari erosi atau abrasi; perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir, dan bencana alam lainnya; perlindungan terhadap ekosistem pesisir, seperti lahan basah, mangrove, terumbu karang, padang lamun, gumuk pasir, estuaria, dan delta.Batas sempadan pantai ditetapkan berdasarkan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lain yang mempertimbangkan aspek-aspek mitigasi bencana, diantaranya adalah tingkat risiko bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Contoh RZWP3K yang telah memasukkan mitigasi bencana adalah RZWP3K Kota Pekalongan yang sudah memasukkan mitigasi bencana rob dan RZWP3K Provinsi Sumatera Barat yang sudah memasukkan mitigasi bencana tsunami1. Selain itu, dalam rencana tata ruang Kota Padang sudah ditetapkan jalur-jalur evakuasi.
Diskusi denganBapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
1
26
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
2.1.5 Contoh Aplikasi Mitigasi Bencana dalam Perencanaan PWP3K Greenbelt, Salah Satu Upaya Mitigasi Bencana Tsunami (sumber: Mitigasi Bencana Tsunami, Dr. Ir. Subandono Diposantono, Direktur Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) Sebagian wilayah pesisir Indonesia merupakan wilayah yang rawan tsunami. Gambar 2.4 menunjukan wilayah pesisir dengan indeks risiko bencana tsunami yang tinggi, mulai dari pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan Nusa Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, sebagian Kalimantan, Sulawesi, dan sebagian Papua. Wilayah pesisir tersebut memiliki pantai yang didominasi oleh pasir dengan energi gelombang laut yang cukup tinggi.Kondisi ini kurang cocok ditanami mangrove (Diposaptono S.,2008). Padahal hutan mangrove merupakan greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan wilayah pesisir dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut. Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami adalah sebagai berikut: 1. Sebagai perangkap, yaitu untuk menghentikan kayu yang hanyut (pohon tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang hancur, dll.) dan puing lainnya (perahu, dll); 2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek untuk mengurangi kecepatan aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman genangan air; 3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri bagi orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan pada cabang-cabang pohon; 4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat pohon dari tanah atau dari suatu bangunan; 5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk mengumpulkan pasir yang tertiup angin dan membentuk gumuk/bukit, yang bertindak sebagai penghalang alami terhadap tsunami.
27
Sumber: IRBI (draft), 2013.
Gambar 2.4 Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
28
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Contoh sabuk hijau pantai untuk meredam tsunami dapat dilihat pada Gambar 2.5. Gambar 2.5 Contoh Sabuk Hijau di Lahan Reklamasi untuk Meredam Tsunami
Sumber: Dr. Ir. Subandono Diposantono, Mitigasi Bencana Tsunami.
Saat ini kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran vegetasi pantai sebagai pelindung daerah pantai masih tergolong sangat kurang dilakukan di Indonesia yang diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008).Wilayah pesisir yang kurang cocok ditanami mangrove tetap dapat memiliki sabuk pantai. Pada wilayah pesisir tersebut lebih cocok untuk vegetasi non mangrove, seperti cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya. Dengan konfigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan tertentu, sabuk pantai yang terbentuk akan bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Aspek yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini adalah peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menjaga lingkungan, memelihara keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan memberikan informasi jika terjadi bahaya dan/atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
29
Salah satu contoh kegiatan mitigasi bencana tsunami yang telah dilakukan adalah di Pacitan2. Kawasan pesisir Pacitan memiliki potensi tsunami 6-10 meter. Kawasan pesisir yang memiliki tingkat kerawanan tsunami yang tinggi sebaiknya tidak dijadikan kawasan budidaya (zona pemanfaatan umum), tetapi menjadi zona konservasi. Kegiatan mitigasi yang dilakukan antara lain adalah membuat vegetasi pantai dengan penanaman cemara udang. Kawasan tersebut masih diperbolehkan sebagai kawasan pariwisata, tetapi yang berbasis konservasi. Saat ini kawasan tersebut berkembang menjadi kawasan ekowisata. 2.1.6 Keterkaitan RZWP3K dengan RTRW UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 6 ayat (5) menyatakan ruang laut dan ruang udara, pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri. Berdasarkan ayat ini maka keluarlah UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil3. Sesuai dengan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terdapat tiga struktur yang menyusun pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yakni perencanaan; pemanfaatan; serta pengawasan dan pengendalian. Khusus struktur perencanaan memuat perencanaan yang bersifat spasial (keruangan), yaitu rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K)4. Lebih lanjut sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) UU No. 27 tahun 2007, RZWP3K diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW provinsi atau kabupaten/ kota (lihat Gambar 2.6).
2 Diskusi dengan Bapak Andi Rusandi, Kasubdit Pengelolaan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil (PEP2K), Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014. 3 Diskusi dengan Bapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014. 4 Dr. Ir. Subandono Diposaptiono, M.Eng, Direktur Tata Ruang Pesisir dan Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan.“Penyelarasan RZWP3K dan RTRW”.dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, edisi I tahun 2013.
30
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 2.6 Keterkaitan Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Penataan Ruang
Sumber: Hasil Analisis
Sesuai dengan arahan dalam UU tersebut di atas, maka pengaturan ruang darat di wilayah pesisir mengikuti muatan penataan ruang dalam RTRW Kabupaten/Kota yang sesuai secara administratif.Sementara untuk wilayah perairan, RZWP3K berposisi sebagai dokumen pengelolaan tersendiri yang memuat alokasi detail dari kawasan laut sesuai kebutuhan pengelolaan WP3K5.Hal ini sesuai dengan pertimbangan karakteristik dan cakupan kepentingan pengelolaan sumberdaya laut yang dinamis dan saling terkait, sehingga untuk perairan laut di wilayah pesisir menggunakan acuan UU No. 27 tahun 2007. Dengan demikian sesuai UU tersebut, dalam RZWP3K di perairan laut wilayah pesisir menggunakan istilah pola ruang yang ada dalm UU No. 27 tahun 2007; sedangkan dalam RZWP3K di daratan wilayah pesisir digunakan istilah pola ruang yang ada dalam RTRW sesuai UU No. 26 tahun 20076. Penyerasian, penyelarasan, dan penyeimbangan antara RZWP3K dengan RTRW dilakukan pada saat proses penyusunan RZWP3K khusus untuk
Ir. Iman Soedradjat, MPM, Direktur Penataan Ruang Wilayah Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum. “Penyelarasan RZWP3K dan RTRW”.dalam Buletin Tata Ruang dan Pertanahan, edisi I tahun 2013. 6 Dr. Ir. Subandono Diposaptiono, M.Eng. Ibid. 5
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
31
perbatasan alokasi ruang daratan – perairan dan alokasi ruang daratan pesisir (kecamatan pesisir) dengan pengaturan sebagai berikut7: n Guna menghindari tumpang tindih pengaturan ruang maka alokasi ruang daratan pesisir dalam RZWP3K mengacu pada Perda RTRW. Dalam diskusi di BKPRN, diarahkan agar RZWP3K mengadopsi semua arahan yang telah ada dalam RTRW untuk kecamatan pesisir. n Apabila terdapat perbedaan hasil rencana dari hasil kajian RZWP3K pada alokasi ruang daratan pesisir RTRW, diperlukan proses integrasi pada saat peninjauan kembali Perda RTRW. n Dalam hal perda RTRW sedang disusun, maka hasil kajian RZWP3K dapat memberi masukan/rekomendasi dalam menentukan alokasi ruang daratan pesisir RTRW. Sedangkan untuk ruang laut (ruang daratan-perairan), RZWP3K dapat menjadi rencana zonasi untuk kawasan laut, yang kemudian dapat menjadi masukan bagi proses penyusunan atau peninjauan kembali RTRW provinsi, kabupaten/kota, khususnya untuk ruang laut8. Salah satu contoh adanya konflik/perbedaan antara arahan RTRW dengan RZWP3K adalah kasus Kabupaten Batang. Pemerintah dan swasta berniat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Sementara Pemerintah Daerah Kabupaten Batang sudah menyusun rencana kawasan konservasi perairan daerah. Kasus ini sampai dibawa ke PTUN. Dokumen final dari rencana kawasan konservasi tersebut harus dikirim ke Menteri KKP. Akhirnya diarahkan untuk direvisi dengan memberikan ruang bagi pembangunan PLTU dan alur laut pelayarannya. Isu yang juga muncul terkait dengan RTRW dan RZWP3K adalah mengenai penetapannya. Apakah ditetapkan terpisah dalam Peraturan Daerah (Perda) RTRW dan Perda RZWP3K, atau dapat ditetapkan dalam satu Perda RTRW mengingat pada saat pembahasan di Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu anggotanya? Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat 2 (dua) opsi untuk penetapan RTRW dan RZWP3K dengan Perda9:
Diskusi dengan Bapak Aris Kabul, Kasubdit Informasi dan Evaluasi Spasial, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulaupulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir, dan PPK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, 7 April 2014 8 Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ibid. 9 Diskusi Bapak Aris Kabul, 7 April 2014. 7
32
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
n Saat keduanya belum disusun, maka penetapan RTRW maupun RZWP3K dapat diintegrasikan dalam satu (1) Perda. Contoh: RTRW dan RZWP3K Sumatera Barat yang diintegrasikan dalam satu Perda. n Apabila salah satu sudah disusun, sementara satunya lagi belum, maka masing-masing ditetapkan dalam Perda tersendiri. Dalam upaya meningkatkan harmonisasi, sinergitas, dan integrasi antara RZWP3K dengan RTRW, maka akan dilakukan perubahan ke depan dalam proses penyusunan RZWP3K. Dalam Rakornas BKPRN dibahas bahwa untuk ke depannya sebaiknya RZWP3K juga dibahas di dalam BKPRN10. Hal ini memang tidak diatur dalam UU No. 27 tahun 2007. UU No. 27 tahun 2007 pasal 14 mengatur bahwa dokumen final perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil harus diberikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mendapatkan tanggapan dan/atau saran (bukan persetujuan substansi seperti dalam proses penyusunan RTRW). Namun rencananya ke depan hal tersebut akan diubah, yaitu dokumen final dibahas dalam forum BKPRN dulu, baru kemudian setelah itu Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan tanggapan berdasarkan hasil pembahasan di BKPRN tersebut. Rencananya tahun 2014 akan dikeluarkan SOP baru terkait hal tersebut. 2.2 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam Rencana Tata Ruang dan Keterkaitannya dengan Mitigasi Bencana 2.2.1 Dasar Hukum Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) menurut UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dalam UU No. 32 tahun 2009 disebutkan bahwa KLHS merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (pasal 14).Oleh karenanya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program (pasal 15 ayat 1).
10
Diskusi Bapak Aris Kabul, 7 April 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
33
Sebagai acuan untuk pelaksanaan KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengeluarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 9 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Peraturan ini mengatur mekanisme umum penyusunan KLHS. Berdasarkan pedoman umum tersebut, Kementerian/Lembaga terkait menyusun pedoman pelaksanaan KLHS yang spesifik untuk masingmasing Kementerian/Lembaga. Kementerian Dalam Negeri telah menyusun Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah. Saat ini Kementerian Pekerjaan Umum juga sedang dalam proses penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang. 2.2.2 Penyelenggaraan KLHS dalam Rencana Tata Ruang I. Umum Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; b. rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan c. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. Untuk penyusunan dan evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program yang terkait penataan ruang, kewajiban penyelenggaraan KLHS melekat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Dalam PP ini telah diatur bahwa penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa rumusan konsepsi rencana tata ruang wilayah harus memperhatikan salah satunya faktor daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (pasal 27 untuk RTRW Provinsi, pasal 32 untuk RTRW kabupaten, dan pasal 35 untuk RTRW Kota). Selanjutnya KLHS menjadi alat dalam penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (pasal 27, 32, 35, 61 dan 67). Hal tersebut sesuai dengan UU PPLH yang mewajibkan penyelenggaraan KLHS dalam penyusunan dan evaluasi atau peninjauan kembali rencana tata ruang dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
34
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sedangkan pengintegrasian KLHS secara teknis untuk RPJP/RPJM pada tingkat nasional akan ditentukan lebih lanjut oleh Bappenas, dan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota oleh Kementerian Dalam Negeri (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah). Penyelenggraan KLHS mengacu pada pedoman yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 09 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan Permeneg LH No. 09 tahun 2011, tahapan pelaksanaan KLHS terdiri atas dua tahap, yaitu tahap penapisan dan tahap pelaksanaan KLHS. A. Tahap Penapisan Tahapan Penapisan KLHS diawali dengan mengidentifikasi apakah perlu dilakukan KLHS terhadap suatu kebijakan, rencana, dan/atau program. Kebijakan, rencana, dan/atau program yang wajib KLHS tanpa proses penapisan adalah RTRW dan rencana rincinya, serta RPJP dan RPJM nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Secara teknis, proses penapisan dilakukan dengan mempertimbangkan isu-isu pokok sebagai berikut: 1. perubahan iklim 2. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati 3. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan; 4. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam 5. peningkatan alih fungsi kawasan hutan dan/atau lahan 6. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat; dan/atau 7. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia. B. Tahap Pelaksanaan KLHS KLHS dilaksanakan dengan mekanisme sebagai berikut: 1. Pengkajian Pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Perencanaan, dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan sebagai berikut: a. Identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya; b. Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan; c. Identifikasi kebijakan, rencana, dan/atau program; dan d. Telaahan pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
35
Isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan dan kebijakan/rencana/ program ditelaah berdasarkan 6 (enam) kajian yang dimuat dalam pasal 16 UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yaitu: a) Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b) Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c) Kinerja layanan/jasa ekosistem; d) Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam; e) Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f ) Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. 2. Perumusan Alternatif Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program Tujuan perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program untuk mengembangkan berbagai alternatif perbaikan muatan kebijakan, rencana, dan/atau program dan menjamin pembangunan berkelanjutan. Setelah dilakukan kajian, dan disepakati bahwa kebijakan, rencana dan/atau program yang dikaji potensial memberikan dampak negatif pada pembangunan berkelanjutan, maka dilakukan pengembangan beberapa alternatif untuk menyempurnakan rancangan atau mengubah kebijakan, rencana dan/atau program yang ada. 3. Rekomendasi Perbaikan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program dan Pengintegrasian Hasil KLHS. Tujuan rekomendasi adalah mengusulkan perbaikan muatan kebijakan, rencana dan/atau program berdasarkan hasil perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program. Rekomendasi perbaikan rancangan kebijakan, rencana, dan/atau program ini dapat berupa: a. perbaikan rumusan kebijakan; b. perbaikan muatan rencana; dan c. perbaikan materi program. Selain berdasarkan pengaturan di atas, ada juga pengecualian Kebijakan/ Rencana/Program (K/R/P) yang boleh ditetapkan tanpa melakukan KLHS, yaitu K/R/P untuk (a) tanggap darurat bencana, dan (b) tanggap darurat pertahanan negara. Hal ini diatur dalam RPP tentang Penyelenggaraan KLHS yang saat ini masih dalam proses penyusunan11.
11
Diskusi denganIbu Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014
36
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
II. KLHS dalam RTRW Provinsi Bila ditelaah lebih lanjut, muatan KLHS berbeda dengan muatan analisis aspek fisik dan lingkungan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR). Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam PenyusunanRencana Tata Ruang menyebutkan bahwa analisis aspek fisik dan lingkungan adalah analisis untuk mengenali karakteristik sumber daya alam dengan menelaah kemampuan dan kesesuaian lahan agar pemanfaatan lahan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem. Sementara KLHS dalam penyusunan RTR lebih memfokuskan pada kajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap keberlangsungan lingkungan hidup yang tidak hanya menyangkut ketersediaan sumber daya lahan. KLHS juga meliputi kajian pengaruh terhadap kinerja ekosistem dan keanekaragaman hayati12. Dalam Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang (RTR), disebutkan kedudukan pelaksanaan KLHS dalam penyusunan rencana tata ruang adalah sebagai berikut (lihat Gambar 2.7): 1. Masukan pertimbangan lingkungan hidup pada tahap analisis penyusunan RTR; 2. Masukan untuk perumusan kebijakan dan strategi RTR; dan 3. Pemberi rekomendasi alternatif rencana dan indikasi program, dan/ atau upaya pencegahan atau mitigasi dari rencana dan indikasi program setelah kebijakandan strategi penataan ruang, rencana jaringan infrastruktur dan arahan polaruang dirumuskan.
12
Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
37
Gambar 2.7 Kedudukan KLHS dalam Penyusunan RTR
Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR
Dalam Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang (RTR), pelaksanaan KLHS dalam perencanaan tata ruang dibagi menjadi beberapa tahap yang meliputi: a. Tahap Persiapan Tahap persiapan ini meliputi antara lain penyiapan dokumen rancangan rencana yang akan dikaji; penyusunan format data dan informasi yang akan dikumpulkan; penyiapan peta dasar guna lahan yang sesuai dengan skala RTR; dan penyusunan jadwal kegiatan pengumpulan data serta penyiapan tim survey ke lapangan. b. Tahap Pra-pelingkupan Tahap pra-pelingkungan bertujuan untuk menyusun informasi dasar, melakukan kajian terhadap RTR, dan perumusan isu strategis lingkungan hidup awal. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pra-pelingkupan ini meliputi: 1. Kegiatan penyusunan dan penyajian informasi dasar; 2. Kajian konsep pengembangan; 3. Perumusan isu lingkungan hidup awal.
38
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
c. Tahap Pelingkupan Tahap pelingkupan bertujuan untuk memantapkan isu-isu strategis lingkungan hidup dengan melakukan penilaian terhadap isu-isu lingkungan hidup awal dan menetapkan isu strategis yang disepakati oleh semua pemangku kepentingan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pelingkupan adalah: 1. Penilaian dan penetapan isu strategis; dan 2. Konsultasi publik (pelibatan pemangku kepentingan). d. Tahap Kajian Pengaruh Tahap kajian pengaruh merupakan tahap analisis lanjutan setelah isu-isu strategis disepakati dan betujuan untuk memperkirakan dan menghitung besaran dampak dari isu strategis tersebut. Tahap ini akan menghasilkan masukan alternative perbaikan muatan rencana tata ruang, termasuk mencegah atau mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan hidup. e. Tahap Perumusan Alternatif dan Rekomendasi Tahap perumusan alternatif dan rekomendasi dilakukan terhadap rencana yang disusun dengan pertimbangan hasil analisis dampak lingkungan setelah tahap kajian pengaruh dilakukan. Rekomendasi KLHS dapat bersifat spasial dan non-spasial. Rekomendasi tersebut dapat berupa: 1. Alternative scenario perencanaan guna lahan dan infrastruktur, atau 2. Mitigasi terhadap dampak lingkungan yang potensial ditimbulkan dari suatu rencana yang ditetapkan.
Proses pelaksanaan KLHS dapat dilakukan dengan 3 (tiga) pendekatan yang terintegrasi, yakni satu kesatuan (embedded), parallel, dan setelah (post).Dalam pelaksanaannya dapat dilakukan variasi dari ketiga pendekatan tersebut yang disesuaikan dengan jadwal, anggaran, dan karakter dari RTR (lihat Gambar 2.8).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
39
Gambar 2.8 Penjabaran Proses dan Integrasi KLHS dalam Penyusunan RTR
Sumber: Rapermen PU tentang Pedoman Pelaksanaan KLHS dalam Penyusunan atau Peninjauan Kembali RTR
III. KLHS dalam RTR Kawasan Strategis Nasional Khusus untuk Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), integrasi KLHS diatur dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN. KLHS dilakukan dalam tahap kegiatan pengolahan dan analisis data yang meliputi, antara lain: a. Analisis daya dukung kawasan dan optimasi pemanfaatan ruang; dan b. Analisis daya tampung kawasan. Penyusunan KLHS ini dilakukan sesuai dengan tipologi KSN. Kedudukan KLHS dalam tata cara proses penyusunan RTR KSN dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Secara umum tahap-tahap pelaksanaan KLHS pada penyusunan RTR KSN ini sama dengan tahap-tahap pelaksanaan KLHS pada penyusunan RTRW Provinsi di atas. Namun kedetilan informasi dasarnya dan muatan KLHS berbeda tergantung jenis rencana dan skala rencana yang akan disusun. Untuk RTR KSN berbasis objek, kedalaman informasinya lebih detil sehingga dalam konsultasi publik sebaiknya melibatkan lapisan masyarakat yang merasakan dampak pembangunan secara langsung.
40
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 2.9 Kedudukan KLHS dalam Tata Cara Proses Peyusunan RTR KSN
Sumber: Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN
2.2.3 KLHS dan Mitigasi Bencana dalam Rencana Tata Ruang Terkait dengan kebencanaan, Permen LH No 09 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum KLHS tidak secara eksplisit menunjukkan keterkaitannya dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Namun, secara substansial 7 (tujuh) isu-isu pokok yang dipertimbangkan dalam penapisan KLHS sangat relevan dengan komponen-komponen kebencanaan. Hal ini mengindikasikan bahwa KLHS sejalan dengan perencanaan penanggulangan bencana. Keterkaitan penapisan KLHS (7 isu pokok) dengan perencanaan penanggulangan bencana tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.5. Untuk RTRW, tidak perlu melalui tahap penapisan, tetapi langsung ke tahap pelaksanaan KLHS.Tahap pelaksanaan KLHS terdiri atas (a) tahap persiapan; (b) tahap pra-pelingkupan; (c) tahap pelingkupan; (d) tahap kajian pengaruh; dan (e) tahap perumusan alternatif dan rekomendasi. Keterkaitan KLHS dengan upaya pengurangan risiko bencana melalui kajian risiko bencana terutama terjadi pada tahap pra-pelingkupan, khususnya pada kegiatan penyusunan dan penyajian informasi dasar yang meliputi aspek fisik lingkungan dan lingkungan hidup, ekologis, serta sosial ekonomi. Pada tahap pra-pelingkupan ini KLHS menjadi masukan pertimbangan lingkungan hidup
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
41
pada tahap analisis penyusunan RTR (lihat kembali Gambar 2.7).Dengan demikian keterkaitan KLHS dengan rencana penanggulangan bencana dalam penyusunan rencana tata ruang terjadi pada tahap pengumpulan, pengolahan dan analisis data. Pada tahap ini pelaksanaan KLHS adalah baselinedata dan pra-pelingkupan, sedangkan rencana penanggulangan bencana dilakukan melalui kajian risiko bencana (Lihat Gambar 2.10).
Tabel 2.5 Keterkaitan Penapisan KLHS dengan Perencanaan Penanggulangan Bencana
Isu-isu Pokok Penapisan KLHS (Permen LH 09/2011)
Perencanaan Penanggulangan Bencana (PP 21/2008)
Perubahan iklim
Perubahan Iklim berpotensi untuk menimbulkan bencana “Hydrometrology” yang meliputi: banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, tanah longsor, abrasi dan cuaca ekstrim.
Kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati
Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal tersebut juga dapat merupakan salah satu dampak negatif kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh bencana
Peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan
Merupakan peningkatan ancaman bencana banjir,longsor,kekeringan,dan/atau kebakaran hutan dan lahan yang merupakan komponen ancaman dalam kajian risiko bencana.
Penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam
Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah
Peningkatan alih fungsikawasan hutandan/atau lahan
Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah terhadap ancaman bencana banjir, tanah longsor, dan kekeringan
Peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan sekelompok masyarakat
Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah. Hal ini juga mengindikasikan peningkatan indeks jiwa terpapar dan kerugian harta benda dari bencana.
Peningkatan risikoterhadap dankeselamatan manusia
Mempengaruhi tingkat kerentanan wilayah.
kesehatan
Sumber: disadur dari “Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia” dengan perubahan.
42
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 2.10 Keterkaitan KLHS dan Kajian Risiko Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
Pada tahap pra-pelingkupan ini juga dirumuskan isu-isu awal lingkungan hidup yang kemudian akan dinilai dan dimantapkan menjadi isu-isu strategis lingkungan hidup melalui pelibatan pemangku kepentingan pada tahap pelingkupan. Aspek kebencanaan adalah salah satu isu strategis dalam pembangunan berkelanjutan. Isu stategis terkait kebencanaan tersebut antara lain dapat dilihat dari historical data, misalnya di suatu kawasan terjadi banjir terus menerus setiap tahun dan memiliki kecenderungan semakin parah dampaknya dan semakin luas lingkupnya13. Maka banjir di daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai isu strategis, dan karenanya menjadi salah satu hal yang dikaji dalam pelaksanaan KLHS. Penyelenggaraan KLHS bertujuan memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Melalui KLHS, potensi dampak dan/atau risiko lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu kebijakan, rencana, dan/atau program, sebelum pengambilan keputusan dilakukan, dapat diantisipasi. Dengan demikian, melalui KLHS dapat diminimalkan timbulnya dampak negatif suatu kebijakan, rencana, dan/atau program. Hal ini tentunya sejalan dengan atau bahkan menguatkan upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek kebencanaan sangat relevan dengan KLHS dalam penataan ruang.
13
Diskusi dengan Ibu Rima Yulianti, Kasubdit KLHS, Kementerian Lingkungan Hidup, 23 April 2014
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
43
2.2.4 Contoh Kajian Kebencanaan dalam KLHS untuk Rencana Tata Ruang Sebagai contoh berikut ini disarikan penyelenggaraan KLHS dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) KAPET Bima (2003). Mekanisme yang digunakan sesuai dengan UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 9 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan KLHS yang meliputi: i. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di wilayah perencanaan, dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan sebagai berikut: 1. Identifikasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya; 2. Identifikasi isu pembangunan berkelanjutan; 3. Identifikasi kebijakan, rencana, dan/atau program; 4. Telaah pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah. ii. Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program, dengan tujuan untuk mengembangkan berbagai alternatif perbaikan muatan kebijakan, rencana, dan/atau program dan menjamin pembangunan berkelanjutan. Bentuk alternatif penyempurnaan tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Kebutuhan pembangunan; 2. Lokasi; 3. Proses, metode dan teknologi; dan 4. Jangka waktu dan tahapan pembangunan. iii. Rekomendasi perbaikan kebijakan, rencana, dan/atau program dan pengintegrasian hasil KLHS, yang dapat berupa: 1. Perbaikan rumusan kebijakan; 2. Perbaikan muatan rencana; dan 3. Perbaikan materi program. Kerangka pikir penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima dapat dilihat pada Gambar 2.11. Dari kerangka pikir tersebut terlihat pembahasan kebencanaan dalam KLHS dilakukan pada (i) pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup, khususnya pada pengkajian kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, serta (ii) tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim. Kebencanaan yang ada di KAPET Bima adalah Gempa Bumi, Tsunami, Letusan Gunung Berapi, Longsor, Banjir, dan Erosi.
44
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Ancaman bencana ini perlu diperhatikan dalam pengembangan komoditas unggulan, yaitu dengan memperhatikan perilaku dan pengaruh bencana tersebut sehingga dapat dirumuskan mitigasi bencananya. Lihat Tabel 2.6 dan Gambar 2.12. Tabel 2.6 Keterkaitan Komoditas Unggulan dengan Rawan Bencana di KAPET Bima Komoditas Sapi
Jagung
Jenis Bencana Gempa Bumi
Lokasi
Program
- Kota Bima - Tambora Diberikan informasi, peramalan dan peringatan - Dompu - Pulau Sangeang dini
Letusan Gunung - Kota Bima berapi - Dompu Longsor - Tambora - Ranggo Banjir - Raba - Sori Wawo - Maria - Sape Tsunami - Dompu - Maria - Raba
- Tambora - Pulau Sangeang - Paradowane - Kota Bima - Karumbu - Lambu - Wera
Diberikan informasi, peramalan dan peringatan dini Pemilihan lokasi peternakan/kandang pada areal datar - sistem pembuatan kandang bertingkat didaerah rawan banjir - pembuatan saluran drainase/sodetan
- Kilo - Hu'u - Sape
- Diberikan informasi, peramalan dan peringatan dini - Pembuatan tanggul pemecah ombak untuk mencegah abrasi air laut Letusan Gunung - Kota Bima - Tambora Diberikan informasi, peramalan dan peringatan berapi - Dompu - Pulau Sangeang dini Longsor - Tambora - Paradowane - Agroforestri dengan penanaman tanaman - Ranggo - Kota Bima pohon penahan erosi/longsor penahan erosi/ longsor - Sistem terasiring pada areal yang kemiringanya > 15% - Penanaman vetiver disekitar tebing Banjir - Raba - Karumbu Pembuatan saluran drainase/sodetan daerah - Sori Wawo - Lambu rawan banjir - Maria - Wera - Sape Kekeringan - Pupu - Paradowane - Diberikan informasi, peramalan dan peringatan - Hu'u - Sape dini - Pembuatan embung/waduk Tsunami - Hu'u - Lambu - Diberikan informasi, peramalan dan peringatan - Sape dini - Pembuatan tanggul pemecah ombak untuk mencegah abrasi air laut
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013
Kajian kebencanaan ini merupakan salah satu masukan dalam perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program dalam RTR KSN KAPET Bima.
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013
Gambar 2.11 Kerangka Pikir Penyusunan KLHS RTR KSN KAPET Bima
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
45
Sumber: KLHS RTR KSN KAPET Bima, Kementerian Pekerjaan Umum, DJ. Penataan Ruang, 2013
Gambar 2.12 Peta Overlay Rawan Bencana dan Komoditas
46 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
BAB 3 Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana ke dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
47
48
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
49
BAB 3
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 3.1 Dasar Hukum Pengintegrasian Perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Provinsi dilandaskan pada peraturan perundang-undangan, sebagai berikut: 1. Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; a. Pasal 3 beserta penjelasannya. Pasal 3 menyebutkan “Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional …..” Dalam penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “aman” adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. b. Penjelasan umum butir 2 dari Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berbunyi: “……, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi, terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup.” 2. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana; a. Pasal 35 (f) menyebutkan “Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana meliputi (salah satunya) pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang.” Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 42 ayat (1): “Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar, keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar.”
50
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
b. Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 47 ayat (2) juga mengatur “Kegiatan mitigasi bencana dilakukan melalui (a) pelaksanaan penataan ruang.” 3. Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional; a. Pasal 2 beserta penjelasannya: “Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan (a) ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;” dan yang dimaksud dengan “aman” adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman. b. Pasal 7 ayat (3) “Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: butir (g) mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.” c. Pasal 8 ayat (3) “Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi: (a) membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana;” d. Pasal 51: “Kawasan lindung nasional terdiri atas: (d) kawasan rawan bencana alam;” e. Pasal 52 ayat (4) “Kawasan rawan bencana alam terdiri atas kawasan rawan tanah longsor; kawasan rawan gelombang pasang; dan kawasan rawan banjir” dan ayat (5) Kawasan lindung geologi terdiri atas kawasan cagar alam geologi; kawasan rawan bencana alam geologi; dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.” Hal ini kemudian dijelaskan lebih lanjut pada pasal 58. Kawasan rawan bencana alam geologi dijelaskan pada pasal 53 ayat (2), meliputi “kawasan rawan letusan gunung berapi; kawasan rawan gempa bumi; kawasan rawan gerakan tanah; kawasan yang terletak di zona patahan aktif; kawasan rawan tsunami; kawasan rawan abrasi; dan kawasan rawan bahaya gas beracun” yang dijelaskan lebih lanjut pada pasal 61. f Pasal 80 yang menetapkan kawasan rawan bencana alam nasional sebagai salah satu kriteria penetapan kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. 4. Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dalam kaitannya dengan jenis/klasifikasi kawasan lindung serta bentuk penggunaan ruang di kawasan lindung. Khusus tentang Kawasan Rawan Bencana Alam ditetapkan pada pasal 32 dan 33.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
51
3.2 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan Penataan Ruang
Mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, peran pelaksanaan penataan ruang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama pada tahap prabencana, baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupunterdapat potensi terjadinya bencana. Dalam situasi tidak terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan salah satunya melalui pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang (pasal 35). Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana yang mencakup pemberlakuan peraturan tentang penataan ruang, standar keselamatan, dan penerapan sanksi terhadap pelanggar (pasal 42). Dalam pelaksanaan penataan ruang, hal tersebut meliputi pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana dilakukan antara lain melalui mitigasi bencana (pasal 44). Mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Kegiatan mitigasi bencana ini dilakukan salah satunya melalui pelaksanaan penataan ruang (pasal 47). Dalam hal ini, upaya pengurangan risiko bencana dilakukan melalui perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Lihat Gambar 3.1. Dengan demikian terlihat bahwa peran pelaksanaan penataan ruang dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama adalah untuk mengurangi risiko bencana, khususnya bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Upaya mengurangi risiko bencana ini dapat dilakukan dengan cara mempengaruhi besaran komponen-komponen yang mempengaruhi tingkat risiko bencana suatu kawasan. Dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, disebutkan bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada: (a) tingkat ancaman kawasan; (2) tingkat kerentanan kawasan yang terancam; dan (3) tingkat kapasitas kawasan yang terancam (lihat Gambar 3.2). Atas dasar itu, maka upaya pengurangan risiko bencana berupa: a. Memperkecil ancaman kawasan; b. Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam; dan c. Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.
52
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Pelaksanaan Penataan Ruang
Sumber: Hasil Analisis
Tingkat risiko bencana suatu kawasan diperoleh berdasarkan pengkajian risiko bencana di kawasan tersebut.Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 (tiga) komponen risiko tersebut (ancaman, kerentanan, kapasitas) dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun nonspasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan penyelenggaraan penanggulangan bencana di suatu kawasan. Oleh karenanya pengintegrasian pengkajian risiko bencana ini ke dalam perencanaan tata ruang menjadi sangat penting.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
53
Gambar 3.2 Pendekatan Kajian Risiko Bencana
Sumber: Perka BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
Aspek kebencanaan dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dituangkan dalam rencana pola ruang wilayah nasional sebagai bagian dari jenis dan sebaran kawasan lindung nasional (Pasal 51-52), yaitu sebagai: a. Kawasan rawan bencana alam, yang terdiri atas (i) kawasan rawan tanah longsor; (ii) kawasan rawan gelombang pasang; dan (iii) kawasan rawan banjir. b. Kawasan rawan bencana alam geologi, yang terdiri atas (i) kawasan rawan letusan gunung berapi; (ii) kawasan rawan gempa bumi; (iii) kawasan rawan gerakan tanah; (iv) kawasan yang terletak di zona patahan aktif; (v) kawasan rawan tsunami; (vi) kawasan rawan abrasi; (vii) kawasan rawan bahaya gas beracun. Bila dibandingkan dengan jenis bencana di Indonesia yang ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, terlihat ada perbedaan jenis-jenis bencana yang diidentifikasi (lihat Tabel 3.1). Kajian kebencanaan juga sudah menjadi salah satu aspek yang dipertimbangkan dalam penyusunan RTRW Provinsi (Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi), khususnya pada tahap pengumpulan data (peta-peta masukan untuk analisis kebencanaan) serta pengolahan dan analisis data (karakteristik fisik wilayah: potensi rawan bencana alam). Kajian kebencanaan ini juga sudah dimuat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang khususnya dalam analisis aspek fisik dan lingkungan. Pembahasan terkait bencana alam ini dilakukan pada tahap:
54
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 3.1 Perbandingan Jenis Bencana A 1. 2. 3. B 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Kawasan Rawan Bencana dalam RTRWN Kawasan rawan bencana alam Kawasan rawan tanah longsor Kawasan rawan gelombang pasang Kawasan rawan banjir Kawasan rawan bencana alam geologi kawasan rawan letusan gunung berapi kawasan rawan gempa bumi kawasan rawan gerakan tanah kawasan yang terletak di zona patahan aktif kawasan rawan tsunami kawasan rawan abrasi kawasan rawan bahaya gas beracun -
Jenis Bencana menurut BNPB 1. 2. 3.
Tanah Longsor Gelombang Ekstrim Banjir
4. 5.
Letusan Gunung Api Gempa Bumi Tsunami Cuaca Ekstrim & Abrasi Kekeringan Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran Gedung dan Permukiman Epidemi & Wabah Penyakit Gagal Teknologi Konflik Sosial *
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sumber: PP No. 26 tahun 2008 tentang RTRWN dan Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Keterangan: * Dengan keluarnya UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, maka konflik sosial tidak lagi dimasukkan sebagai bencana.
1. Pengumpulan data Berbagai jenis bencana alam dan daerah pengaruhnya adalah data bencana alam yang dibutuhkan.Bila perlu, masing-masing jenis bencana disajikan dalam peta terpisah sesuai dengan ketersediaan datanya. 2. Analisis kemampuan lahan Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap bencana alam dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam menerima bencana alam khususnya dari sisi geologi, untuk menghindari/mengurangi kerugian dan korban akibat dari bencana tersebut. Sasaran kegiatan analisis kemampuan lahan ini adalah (i) mengetahui tingkat kemampuan wilayah perencanaan terhadap berbagai jenis bencana alam beraspekkan geologi; (ii) mengetahui daerah-daerah yang rawan bencana alam dan mempunyai kecenderungan untuk terkena bencana alam, termasuk bahaya ikutan dari bencana tersebut; dan (iii) mengetahui pola pengembangan dan pengamanan masing-masing tingkat kemampuan lahan terhadap bencana alam.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
55
Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum juga sudah mengeluarkan dua pedoman penataan ruang yang terkait dengan kebencanaan, yaitu: 1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi. 2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22/PRT/M/2007 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana Longsor. Terkait dengan hal ini, perlu dilakukan kajian untuk melihat kesesuaian arahan yang diatur dalam kedua pedoman tersebut dengan arahan kajian risiko bencana yang dikeluarkan oleh BNPB. Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka bila penyusunan RTRW Provinsi dilakukan dengan mengacu pada Permen PU No. 15/PRT/M/2009 (Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi) dan Permen PU No. 20/PRT/M/2007 (Pedoman Teknik Analisis), seharusnya RTRW Provinsi yang disusun tersebut telah mencakup kajian tentang kebencanaan di wilayah provinsi tersebut. Bila dibandingkan dengan arahan BNPB, maka terlihat muatan kebencanaan yang ada dalam pedoman penyusunan RTRW provinsi saat ini baru meliputi komponen kerawanan dan ancaman, tetapi belum sampai pada kajian risiko bencana yang juga mencakup kerentanan dan kapasitas kawasan yang terancam. Oleh karena itu perlu dilakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi sesuai dengan arahan dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada tahun 2011, BNPB telah memfasilitasi penyusunan Kajian Risiko Bencana (KRB) dan Peta Risiko Bencana di 33 provinsi yang menggambarkan banyaknya bencana yang mengancam Indonesia. Peta Risiko Bencana yang telah dihasilkan mengikuti ketelitian skala peta RTRW Provinsi, yaitu 1: 250.000. Kajian Risiko Bencana ini menjadi dasar penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tingkat Provinsi. Masa berlaku Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) adalah 5 tahun, yang akan ditinjau kembali setiap 2 tahun, atau jika terjadi bencana. Pada tahun 2012 BNPB telah memfasilitasi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk kabupaten/kota di 33 provinsi, dan pada tahun 2013 BNPB memfasilitasi penyusunan RPB di 30 kabupaten/kota rawan tsunami. Pada dasarnya Kajian Risiko Bencana (KRB) dapat dibuat berdasarkan ketelitian skala tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Skala Komunitas, dengan skala ketelitian peta 1:10.000 untuk meningkatkan kapasitas di tingkat rumah tangga (lihat Gambar 3.3). Namun sampai saat ini BNPB baru menyelesaikan seluruh KRB di tingkat Provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Utara dengan peta skala 1:250.000 (tahun 2011) dan satu kabupaten/kota di 33 provinsi dengan peta skala 1:50.000 (tahun 2012), serta
56
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
30 kabupaten/kota rawan tsunami (tahun 2013). Dengan demikian, saat ini Kajian Risiko Bencana belum dapat dijadikan sebagai instrumen baku untuk mendukung penyusunan RTRW Kabupaten dan RTRW Kota yang berbasis mitigasi bencana di Indonesia, namun sudah dapat mendukung penyusunan RTRW Provinsi berbasis mitigasi bencana di 33 provinsi (kecuali Provinsi Kalimantan Utara). Namun, apabila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Kabupaten/Kota ternyata Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota tersebut belum disusun, maka SKPD yang bersangkutan dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD dan mengacu pada Perka No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana14. Sebagai contoh, untuk melihat seberapa jauh kajian kebencanaan dalam RTRW Provinsi telah sesuai dengan kajian risiko bencana yang dilakukan oleh BNPB dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), berikut ini diberikan perbandingan cakupan pembahasan jenis-jenis bencana yang terdapat dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan RTRW dari tiga provinsi di Jabodetabekpunjur, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Lihat Tabel 3.2. Gambar 3.3 Keterkaitan Peta Rencana Tata Ruang dengan Peta Risiko Bencana
Sumber: Kaji Ulang Pedoman Perencanaan Tata Ruang dalam rangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB) di Indonesia, 2013.
Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB dalam Diskusi Terarah Materi Teknis- SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
14
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
57
Tabel 3.2 Perbandingan Cakupan Jenis-jenis Bencana yang Dibahas Dalam RPB dan RTRW Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten No
Jenis Bencana
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Gempa Bumi Tsunami Banjir Tanah Longsor Letusan Gunung Api Gelombang Ekstrim & Abrasi Cuaca Ekstrim Kekeringan Kebakaran Hutan & Lahan Kebakaran Gedung & Permukiman Epidemi & Wabah Penyakit Gagal Teknologi
11 12
Prov DKI Jakarta RPB RTRW √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
Prov Jawa Barat RPB RTRW √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
Prov Banten RPB RTRW √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
-
Sumber: Diringkas dari Tabel 34 – 36 dalam “Perencanaan Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional: Tinjauan Kebencanaan, Studi Kasus Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur”, 2013.
Dari perbandingan tersebut terlihat bahwa masih terdapat perbedaan yang cukup besar antara jenis-jenis bencana yang dibahas dalam RTRW dan RPB: - Dari 12 jenis bencana yang ada, di DKI Jakarta hanya 8 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB, sedang 4 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RTRW tetapi tidak ada di RPB, dan sebaliknya). - Di Provinsi Jawa Barat hanya 7 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB, sedang 5 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RPB tetapi tidak ada di RTRW). - Di Provinsi Banten hanya 5 bencana yang sinkron antara RTRW dan RPB, sedang 7 jenis bencana yang lain tidak sinkron (ada di RPB tetapi tidak ada di RTRW). Padahal perbandingan tersebut hanya melihat kesamaan dalam jenis-jenis bencana yang dibahas, belum melihat lebih dalam sampai muatan kajiannya. Oleh karenanya, sangat penting untuk melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW ke depan. Hal ini dilakukan dengan berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam RTRW.
58
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
3.3 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang dilakukan melalui serangkaian proses dan prosedur penyusunan, dan kemudian dilanjutkan dengan proses dan prosedur penetapan (legalisasi) rencana tata ruang. Namun, pembahasan dalam bagian ini hanya difokuskan pada proses penyusunan rencana tata ruang saja, karena pengintegrasian aspek kebencanaan dalam rencana tata ruang paling relevan di bagian ini. Proses penyusunan RTRW provinsi meliputi: a. Persiapan penyusunan RTRW provinsi; b. Pengumpulan data yang dibutuhkan; c. Pengolahan dan analisis data; d. Perumusan konsepsi RTRW Provinsi; dan e. Penyusunan naskah raperda.15 Sedangkan prosedur penyusunan RTRW Provinsi meliputi (a) pembentukan tim penyusunan RTRW Provinsi, (b) pelaksanaan penyusunan RTRW Provinsi, (c) pelibatan peran masyarakat di tingkat provinsi dalam penyusunan RTRW Provinsi, serta (d) pembahasan (raperda RTRW Provinsi).16 Pengintegrasian Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTRW Provinsi Dalam perencanaan tata ruang, kajian kebencanaan menjadi salah satu aspek yang harus dilakukan dalam penyusunan RTRW Provinsi. Kajian kebencanaan ini dilakukan pada seluruh tahapan dalam proses penyusunan RTRW provinsi, dimulai dari tahap persiapan penyusunan RTRW Provinsi sampai dengan tahap penyusunan konsepsi RTRW Provinsi. Integrasi kajian kebencanaan pada setiap tahapan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Persiapan Penyusunan RTRW Provinsi Pada tahap persiapan ini, kajian kebencanaan dilakukan pada saat Tim Penyusunan melakukan kajian awal data sekunder yang mencakup review RTRW provinsi sebelumnya dan kajian kebijakan terkait lainnya.
Dalam Permen PU 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi, tahap kelima dari proses penyusunan RTRW Provinsi adalah penyusunan Raperda RTRW Provinsi (halaman 47). Namun di sini hal tersebut diubah disesuaikan seperti arahan dalam Permen PU 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN, yaitu penyusunan naskah raperpres. Sedangkan penyusunan Raperda RTRW menjadi bagian dari prosedur penetapan RTRW Provinsi yang merupakan tindak lanjut dari prosedur penyusunan RTRW Provinsi sebagai satu kesatuan proses. 16 Sesuai dengan catatan no.1 di atas, maka pembahasan raperda RTRW Provinsi menjadi bagian dari prosedur penetapan RTRW Provinsi.Sedangkan dalam prosedur penyusunan RTRW Provinsi, prosedur terakhir adalah pembahasan-pembahasan yang meliputi pembahasan di tahap persiapan, pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis data, perumusan konsepsi RTRW, dan penyusunan naskah raperda. 15
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
59
Kajian yang dilakukan meliputi antara lain: a. Kondisi umum kebencanaan di wilayah provinsi tersebut secara historis; b. Ada atau tidaknya kawasan rawan bencana yang ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi; dan c. Konsep pengembangan dan rencana yang telah disusun untuk mengantisipasi dan mengatasi isu kebencanaan tersebut; Hasil: a. Gambaran awal aspek kebencanaan di wilayah provinsi yang bersangkutan; dan b. Hasil kajian awal berupa isu-isu strategis terkait kebencanaan. Informasi tersebut menjadi masukan dalam penyiapan metodologi serta perangkat survei yang akan digunakan (checklist data yang dibutuhkan, panduan wawancara dan observasi, dan lain-lain) yang telah mencakup aspek kebencanaan di wilayah provinsi tersebut.
2. Pengumpulan Data yang Dibutuhkan Mengingat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan ditinjau secara berkala setiap 2 (dua) tahun, maka RPB tersebut harus menjadi salah satu dokumen yang dikumpulkan pada tahap pengumpulan data ini. Pada saat pengumpulan data ini juga dilakukan diskusi dengan BPBD agar diperoleh gambaran yang lebih jelas dan komprehensif mengenai aspek kebencanaan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) tersebut sudah terdapat: - Kajian Risiko Bencana untuk setiap jenis bencana di wilayah provinsi yang bersangkutan, beserta peta-petanya (peta ancaman, peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko); - Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB). Ke depannya, RAD PRB akan diintegrasikan ke dalam RPB17. - Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI). Saat ini IRBI baru ada di tingkat nasional saja. Namun ke depannya, semua RPB juga harus memuat Indeks Risiko Bencana di daerah tersebut. Di tingkat provinsi, lingkup analisis IRBI sampai tingkat kecamatan18. Saat ini sudah terdapat RPB untuk 33 provinsi yang disusun pada tahun 2011 dengan difasilitasi oleh BNPB. RPB merupakan kesepakatan dari pihak-pihak untuk penanggulangan bencana di provinsi yang bersangkutan.
Diskusi dengan Bpk. Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, 14 April 2014. 18 Ibid. 17
60
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BPBD sudah terbentuk di 33 provinsi, hanya Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki BPBD. Untuk provinsi yang belum memiliki BPBD, maka penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dapat difasilitasi oleh BNPB dan disusun oleh Tim Penyusun sebagai berikut19: - Tim Substansi yang terdiri atas SKPD terkait penanggulangan bencana. Tim ini terdiri dari wakil-wakil SKPD yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Daerah (SK KDH), antara lain Bappeda, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Dinas ESDM, BLH, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan, dan lain-lain yang dirasa perlu (BMKG, Polda, Danrem, PMI, dst). Tim ini yang memutuskan muatan substansi RPB. - Tim Penulis yang menuliskan hasil diskusi Tim Substansi. Tim ini terdiri dari perwakilan dari Perguruan Tinggi, LSM, juga Pemda. - Tim Asistensi yang menyiapkan bahan-bahan pendukung/yang terkait. Untuk tingkat provinsi, Tim Asistensi ini berasal dari Tim Asistensi Nasional (BNPB).
Perlu digarisbawahi di sini bahwa RPB memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun. Dengan demikian, pada saat dilakukan proses peninjauan kembali (PK) RTRW Provinsi, juga dilakukan pemutakhiran berdasarkan RPB yang terbaru.Lebih jelasnya lihat Gambar 3.4. Gambar 3.4 RPB sebagai Masukan dalam Peninjauan Kembali RTRW
Sumber: Hasil Analisis
19
Ibid.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
61
3. Pengolahan dan Analisis Data Secara garis besar terdapat 2 (dua) rangkaian analisis utama yang harus dilakukan dalam penyusunan RTRW provinsi, yaitu: a. Analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah provinsi; dan b. Analisis untuk menyusun rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah provinsi. Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, disebutkan bahwa analisis karakteristik tata ruang wilayah provinsi digambarkan melalui 4 (empat) analisis, yaitu (1) karakteristik fisik wilayah, (2) karakteristik sosial-kependudukan, (3) kemampuan keuangan pembangunan daerah; dan (4) kedudukan provinsi di dalam wilayah lebih luas.
Kajian risiko bencana untuk setiap jenis bencana di wilayah provinsi menjadi bagian dari analisis karakteristik fisik wilayah, kecuali untuk jenis bencana epidemi dan wabah penyakit menjadi bagian dari analisis karakteristik sosialkependudukan. Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 digunakan istilah ‘potensi rawan bencana alam’. Sementara, kajian yang dilakukan BNPB adalah kajian risiko bencana. Sesuai dengan terminologi yang digunakan BNPB, potensi rawan bencana alam menggunakan historical data berdasarkan kejadian bencana yang lalu (existing), sedangkan kajian risiko bencana bersifat prediksi ke depan, dan sudah mempertimbangkan ancaman, kerentanan, dan kapasitas di wilayah provinsi yang bersangkutan.Dengan demikian sebaiknya analisis potensi rawan bencana alam dalam penyusunan RTRW ditambah dengan kajian risiko bencana. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 3.3.
Hasil kajian karakteristik wilayah provinsi ini akan menjadi dasar bagi perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta menjadi masukan bagi seluruh penyusunan rencana tata ruang selanjutnya.
62
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 3.3 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Jenis Bencana dalam Analisis Karakteristik Tata Ruang No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis Bencana Tanah longsor Gelombang ekstrim Banjir Letusan gunung api Gempa bumi Tsunami Cuaca ekstrim dan abrasi Kekeringan Kebakaran hutan dan lahan Kebakaran gedung dan permukiman Epidemi dan wabah penyakit
12. Gagal teknologi
Analisis Karakteristik Tata Ruang
Karakteristik fisik wilayah: analisis potensi rawan bencana alam + kajian risiko bencana
Karakteristik sosial-kependudukan: analisis kualitas SDM (kesehatan) + kajian risiko bencana Karakteristik fisik wilayah: analisis potensi rawan bencana alam + kajian risiko bencana
Sumber: Hasil analisis
Penyusunan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan penetapan kawasan strategis provinsi juga didasarkan pada karakteristik tata ruang wilayah provinsi tersebut dengan penajaman analisis, di mana salah satunya adalah analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah serta optimasi pemanfaatan ruang.Kajian risiko bencana juga menjadi masukan dalam melakukan analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan.Pada tahap ini terjadi integrasi antara kajian risiko bencana dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) dalam rencana tata ruang.
4. Penyusunan Konsepsi RTRW Provinsi Kegiatan perumusan konsepsi RTRW provinsi terdiri atas perumusan konsep pengembangan wilayah dan perumusan rencana tata ruang wilayah provinsi itu sendiri. Konsep pengembangan wilayah dilakukan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan sebelumnya dengan menghasilkan beberapa alternatif konsep pengembangan wilayah.Dengan demikian, apabila aspek kebencanaan telah menjadi muatan dalam analisis yang dilakukan, maka perumusan konsep pengembangan wilayah dilakukan dengan telah mempertimbangkan kajian risiko bencana.
Muatan kebencanaan yang merupakan hasil dari kajian risiko bencana pada tahap analisis tersebut harus tercakup dalam RTRW provinsi, terdiri atas: a. Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
b. c. d. e. f.
63
Rencana struktur ruang wilayah provinsi; Rencana pola ruang wilayah provinsi; Penetapan kawasan-kawasan strategis provinsi; Arahan pemanfaatan ruang; dan Arahan pengendalian pemanfaatan ruang.
Dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana (KRB) dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) ke dalam Rencana Tata Ruang perlu memperhatikan jangka waktunya. RPB memiliki jangka waktu 5 tahun dan merupakan rencana jangka menengah, mengikuti RPJMD.Sedangkan RTR memiliki jangka waktu 20 tahun. Dengan demikian integrasi dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut ini: a. Peta kerawanan pembuatannya diserahkan ke K/L yang terkait sesuai dengan tupoksinya. Jenis peta kerawanan yang telah memiliki SNI adalah gempa bumi (tim 9 revisi gempa), tanah longsor (ESDM), letusan gunung api (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi/ PVMBG), banjir (Kemen PU dan BIG), dan kekeringan (BMKG). Peta kerawanan ini kemudian menjadi dasar pembuatan peta ancaman; b. Peta kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang (20 tahun) sehingga digunakan untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta peraturan zonasi; c. Sedangkan peta risiko bersifat jangka menengah dan dapat berubah dengan waktu, karena ada faktor kerentanan dan kapasitas yang dapat berubah seiring dengan pembangunan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Oleh karenanya peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko digunakan untuk acuan perumusan indikasi program 5 tahun dalam arahan pemanfaatan ruang.
20
Dalam merumuskan arahan pemanfaatan ruang juga harus mengintegrasikan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) yang ada.Dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana, maka penyusunan RAD PRB harus dilakukan dengan mempertimbangkan konsep pengembangan wilayah dalam RTRW. Saat ini RAD PRB disusun oleh BPBD setiap 3 tahun. Namun, adanya dua dokumen yaitu RPB dan RAD PRB ternyata membingungkan bagi Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, untuk periode berikutnya RAD PRB akan diintegrasikan ke dalam RPB dalam 1 (satu) dokumen saja.20
Ibid.
64
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5. Penyusunan naskah Raperda Penyusunan naskah raperda RTRW Provinsi merupakan proses penuangan naskah teknis RTRW provinsi ke dalam pasal-pasal raperda yang mengikuti tatacara penulisan sesuai ketentuan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada tahap ini sudah tidak ada masukan dari kajian kebencanaan.
Untuk lebih jelasnya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam proses penyusunan RTRW Provinsi dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTRW Provinsi
Sumber: Hasil Analisis
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
65
3.4 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana (KRB) ke dalam Ketentuan Teknis Muatan RTRW Provinsi RTRW Provinsi memuat tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, rencana struktur ruang wilayah provinsi, rencana pola ruang wilayah provinsi, penetapan kawasan strategis provinsi, arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. Secara garis besar terdapat dua rangkaian analisis utama yang harus dilakukan dalam penyusunan RTRW Provinsi, yaitu: a. Analisis untuk menggambarkan karakteristik tata ruang wilayah provinsi; dan b. Analisis untuk menyusun rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah provinsi. Pengenalan karakteristik wilayah provinsi ini akan menjadi dasar bagi perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta menjadi masukan bagi seluruh penyusunan rencana tata ruang selanjutnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk melakukan pengintegrasian kajian risiko bencana pada tahap analisis ini. Analisis karakteristik fisik wilayah/kawasan dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Menteri PU No. 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang. Sementara kajian risiko bencana dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Pada saat BPBD menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), di dalamnya sudah dilakukan kajian risiko bencana terhadap wilayah provinsi yang bersangkutan. Salah satu outputnya adalah Indeks Risiko Bencana setiap kecamatan di wilayah provinsi tersebut. Analisis Fisik dan Lingkungan dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Salah satu analisis fisik dan lingkungan yang dilakukan dan penyusunan rencana tata ruang wilayah adalah satuan kemampuan lahan (SKL) terhadap bencana alam. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan dalam menerima bencana alam, untuk menghindari/mengurangi kerugian dan korban akibat bencana tersebut.Keluaran dari analisis ini meliputi (1) Peta Satuan Kemampuan Lahan (SKL) terhadap bencana alam; (2) deskripsi masing-masing tingkatan kemampuan lahan terhadap bencana alam tersebut; dan (3) batasan pengembangan pada masingmasing tingkat kemampuan terhadap bencana alam tersebut. Dalam melakukan analisis juga dilakukan analisis penggunaan lahan yang ada saat ini yang memperbesar kemungkinan terkena bencana alam, seperti penggalian sumber mineral atau bahan galian golongan C, peningkatan aktivitas perkotaan pada daerah-daerah rawan
66
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
bencana, pengupasan hutan/bukit, gangguan pada keseimbangan tata air baik air permukaan maupun tanah. Tahap selanjutnya adalah analisis kemampuan lahan untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan untuk dikembangkan sebagai perkotaan. Dari sini kemudian dilakukan analisis kesesuaian lahan untuk mengetahui arahan-arahan kesesuaian lahan, sehingga diperoleh arahan kesesuaian peruntukan lahan untuk pengembangan kawasan berdasarkan karakteristik fisiknya. Baru setelah itu dilakukan rekomendasi kesesuaian lahan.Dari uraian tersebut terlihat bahwa pengintegrasian dengan kajian risiko bencana dapat dilakukan pada tahap analisis kemampuan lahan. Dengan demikian risiko bencana dan dampaknya sudah menjadi bagian yang dipertimbangkan dalam melakukan analisis kesesuaian lahan dan rekomendasi kesesuaian lahan. Bagan alir tata cara analisis aspek fisik dan lingkungan dapat dilihat pada Gambar 3.6. Gambar 3.6 Bagan Alir Tata Cara Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
Sumber: Permen PU No. 20/PRT/M/2007 tentng Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik & Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
67
Metode Pengkajian Risiko Bencana Pengkajian risiko bencana dilakukan dengan persyaratan sebagai berikut: 1. Memenuhi aturan tingkat kedetailan analisis (kedalaman analisis di tingkat nasional minimal hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis di tingkat provinsi minimal hingga kecamatan, kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota minimal hingga tingkat kelurahan/desa/kam-pung/nagari). 2. Skala peta minimal adalah 1:250.000 untuk provinsi; peta dengan skala 1:50.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi; peta dengan skala 1:25.000 untuk kabupaten/kota di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. 3. Dapat digunakan untuk menghitung jumlah jiwa terpapar bencana (dalam jiwa). 4. Dapat digunakan untuk menghitung kerugian harta benda, (dalam rupiah) dan kerusakan lingkungan. 5. Menggunakan 3 kelas interval tingkat risiko, yaitu tingkat risiko tinggi, sedang dan rendah. 6. Menggunakan GIS dalam pemetaan risiko bencana. Pengkajian risiko bencana disusunberdasarkan komponen ancaman, kerentanan dan kapasitas, sebagai berikut (lihat Gambar 3.7): a. Komponen Ancaman disusun berdasarkan parameter intensitas dan probabilitas kejadian; b. Komponen Kerentanan disusun berdasarkan parameter sosial budaya, ekonomi, fisik dan lingkungan; dan c. Komponen Kapasitas disusun berdasarkan parameter kapasitas regulasi, kelembagaan, sistem peringatan dini, pendidikan pelatihan keterampilan, mitigasi dan sistem kesiapsiagaan. Gambar 3.7 Metode Pengkajian Risiko Bencana
Sumber: Perka BNPB No.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
68
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Hasil pengkajian risiko bencana terdiri dari 2 (dua) bagian yaitu: 1. Peta Risiko Bencana, yang menghasilkan landasan penentuan tingkat risiko bencana dan digunakan sebagai landasan perumusan kebijakan teknis, meliputi a. Pencegahan dan mitigasi bencana; b. Kesiapsiagaan; c. Tanggap darurat; dan d. Pemulihan pasca bencana. 2. Dokumen Kajian Risiko Bencana, yang menghasilkan kebijakan administratif yang menyajikan kebijakan minimum penanggulangan bencana daerah yang ditujukan untuk mengurangi jumlah jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan akibat kejadian bencana pada suatu kawasan. Mekanisme penyusunan Peta Risiko Bencana saling terkait dengan mekanisme penyusunan Dokumen Kajian Risiko Bencana (lihat Gambar 3.8). Gambar 3.8 Metode Umum Pengkajian Risiko Bencana
Sumber: Perka BNPB No.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
69
Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana (KRB) ke dalam Muatan RTRW Provinsi Pengintegrasian kajian risiko bencana dalam muatan RTRW Provinsi dilakukan dengan memadukan kedua pendekatan tersebut di atas (analisis fisik dan lingkungan dengan kajian risiko bencana) yang dapat dilihat pada Gambar 3.9. Peta ancaman menjadi masukan dalam melakukan satuan kemampuan lahan terhadap bencana alam, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis kesesuaian lahan dan rekomendasi kesesuaian lahan sesuai dengan tata cara analisis aspek fisik dan lingkungan yang diatur dalam Permen PU No. 20/PRT/M/2007. Dari rekomendasi kesesuaian lahan ini dilakukan perumusan konsep RTRW Provinsi, yang meliputi perumusan konsep pengembangan wilayah dan perumusan RTRW Provinsi itu sendiri.Perumusan berdasarkan kajian tersebut menghasilkan rumusan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi, serta rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah provinsi. Pada saat yang sama juga dilakukan pengkajian risiko bencana yang menghasilkan kajian risiko bencana dan peta risiko bencana yang menjadi dasar perumusan kebijakan pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif dan kebijakan teknis per bencana.Kebijakan pengurangan risiko bencana membutuhkan alokasi ruang pada wilayah yang dikaji untuk tindakan-tindakan yang dipilih, yaitu tindakan relokasi, adaptasi, dan proteksi.Kajian risiko bencana ini dilakukan sesuai dengan arahan dalam Perka BNPBNo.02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Untuk lebih jelasnya, pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi ini dapat dilihat pada Gambar 3.9.
70
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Gambar 3.9 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan RTRW Provinsi
Sumber : Hasil Analisis
Dengan pendekatan seperti yang digambarkan pada Gambar 3.9 di atas, dilakukan perumusan RTRW Provinsi yang meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi; rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah provinsi; penetapan kawasan strategis wilayah provinsi; arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi; dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi. a. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Provinsi Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi merupakan terjemahan dari visi dan misi pengembangan wilayah provinsi dalam pelaksanaan pembangunan untuk mencapai kondisi ideal tata ruang wilayah provinsi yang diharapkan.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
71
Tujuan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arahan perwujudan ruang wilayah provinsi yang diinginkan pada masa yang akan datang. Tujuan penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan berdasarkan 4 (empat) hal, di mana salah satunya adalah isu strategis tata ruang wilayah provinsi.Perlu ditekankan di sini bahwa pada wilayah yang memiliki risiko bencana, penanggulangan bencana merupakan salah satu isu strategis yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan.
Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi merupakan arah tindakan yang harus ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah provinsi. Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan antara lain berdasarkan tujuan penataan ruang wilayah provinsi yang telah bermuatan mitigasi bencana dan karakteristik tata ruang wilayah provinsi yang telah memuat kajian risiko bencana. Kebijakan penataan ruang wilayah provinsi dirumuskan dengan kriteria, salah satunya, mampu menjawab isu-isu strategis tata ruang baik yang ada sekarang maupun yang diperkirakan akan timbul di masa yang akan datang. Seperti dalam perumusan tujuan, isu-isu strategis tersebut juga memuat isu kebencanaan.
Berdasarkan hasil pengkajian risiko bencana dapat dirumuskan kebijakan pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif yang berfokus pada pengurangan faktor risiko dasar dan kebijakan teknis yang berfokus pada pencegahan dan mitigasi bencana (lihat kembali Gambar 3.9). Kebijakan pengurangan risiko bencana ini antara lain dapat berupa kebijakan yang terkait dengan penetapan kegiatan pada kawasan-kawasan yang memiliki risiko bencana dengan alternatif tindakan yang meliputi21:
Tindakan Relokasi Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya pemindahan aktivitas berikut sarana prasarana penunjang aktivitas ke zona aman dari bencana; (a) Tindakan Adaptasi Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui rekayasa teknis, ketentuan khusus untuk konstruksi bangunan, serta sistem peringatan dini. (b) Tindakan Proteksi Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya preservasi dapat berupa proteksi terhadap kawasan dengan risiko bencana guna meningkatkan kualitas lingkungan alami. Misalnya dengan pembangunan waduk, tanggul, sea wall, atau tembok pemecah gelombang.
Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2014.
21
72
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Strategi penataan ruang wilayah provinsi merupakan penjabaran masingmasing kebijakan penataan ruang wilayah provinsi ke dalam langkah-langkah operasional untuk mencapai tujuan penataan ruang yang telah ditetapkan. Strategi penataan ruang wilayah provinsi ini dirumuskan salah satunya berdasarkan kebijakan penataan ruang wilayah provinsi. Bila kebijakan penataan ruang yang dirumuskan telah memuat upaya pengurangan risiko bencana, maka strategi yang dirumuskan juga akan mencakup strategi pengurangan risiko bencana.
b. Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang Wilayah Provinsi Rencana struktur ruang wilayah provinsi merupakan rencana kerangka tata ruang wilayah provinsi yang dibangun oleh konstelasi pusat-pusat kegiatan (sistem perkotaan) yang berhirarki satu sama lain dan dihubungkan oleh sistem jaringan prasarana wilayah provinsi terutama jaringan transportasi. Rencana pola ruang wilayah provinsi merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah provinsi yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana struktur ruang wilayah provinsi dan rencana pola ruang wilayah provinsi dirumuskan dengan mempertimbangkan rekomendasi kesesuaian lahan (lihat kembali Gambar 3.9). Rekomendasi kesesuaian lahan menghasilkan satu rekomendasi untuk pengembangan wilayah yang menjadi masukan bagi penyusunan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah. Rencana struktur ruang dan rencana pola ruang ini juga dirumuskan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup wilayah provinsi. Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan ini telah mencakup kemungkinan dampak yang ditimbulkan oleh bencana serta kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).
Dalam rencana pola ruang wilayah provinsi dilakukan penetapan kawasan dengan risiko bencana sebagai kawasan lindung. Kajian risiko bencana menghasilkan penentuan kelas risiko bencana untuk setiap jenis bencana yang dibedakan menjadi kelas risiko bencana tinggi, kelas risiko bencana sedang, dan kelas risiko bencana rendah.Berdasarkan penentuan kelas risiko bencana tersebut, dapat dirumuskan kawasan-kawasan dengan risiko bencana yang harus ditetapkan menjadi kawasan lindung dan/atau yang dapat ditetapkan menjadi kawasan budidaya dengan persyaratan-persyaratan khusus.Kawasan dengan kelas risiko bencana rendah, misalnya, dapat menjadi kawasan budidaya dengan persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam pengembangannya. Sementara kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan lindung.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
73
c. Penetapan Kawasan Strategis Wilayah Provinsi Kawasan strategis provinsi merupakan bagian wilayah provinsi yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi, baik di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Penentuan kawasan strategis provinsi ini lebih bersifat indikatif.
Kawasan dengan risiko bencana dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi. Bila IRBI (Indeks Risiko Bencana Indonesia) sudah menjadi bagian dari semua RPB Provinsi, maka IRBI ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan untuk mendelineasi kawasan dengan risiko bencana di provinsi yang bersangkutan. Di tingkat provinsi, unit analisis IRBI sampai tingkat kecamatan. Kecamatan-kecamatan dengan kelas risiko bencana yang tinggi dan/atau mempunyai kecenderungan terus meningkat dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai kawasan strategis provinsi rawan bencana. Untuk tingkat provinsi, maka penetapan kawasan rawan bencana sebagai kawasan strategis provinsi bila bencana tersebut bersifat lintaskota/kabupaten. Sebagai contoh kawasan strategis rawan bencana banjir di daerah aliran sungai yang lintas kota/ kabupaten.
c. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi merupakan upaya perwujudan rencana tata ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama penataan/ pengembangan provinsi dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun perencanaan (20 tahun).
Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilakukan berdasarkan: (a) Rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang telah memuat kebijakan mitigasi bencana; (b) Ketersediaan sumber daya dan sumber dana pembangunan, termasuk untuk upaya mitigasi bencana; (c) Kesepakatan para pemangku kepentingan dan kebijakan yang ditetapkan, termasuk kebijakan mitigasi bencana; (d) Prioritas pengembangan wilayah provinsi dan pentahapan rencana pelaksanaan program sesuai dengan RPJPD; dan (e) Sinkronisasi program dengan kebijakan nasional dan daerah yang berbatasan dalam satu kerangka program terpadu pengembangan wilayah provinsi.
74
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
d. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi adalah arahan yang diperuntukkan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi dalam rangka perwujudan rencana tata ruang wilayah provinsi.
Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilakukan untuk mewujudkan tertib tata ruang melalui penyusunan indikasi arahan peraturan zonasi berbasis mitigasi bencana, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi berdasarkan rencana tata ruang yang berbasis mitigasi bencana.
Indikasi arahan peraturan zonasi dalam RTRW Provinsi antara lain mencakup: 1. Indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi sebagai ketentuan pemanfaatan ruang sistem provinsi yang berbasis mitigasi bencana; 2. Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang berisikan kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan pada setiap kawasan dengan telah mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana; 3. Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yang akan menjadi arahan minimal dalam menetapkan besaran kawasan lindung, intensitas pemanfaatan ruang di kawasan budi daya, dan besaran ruang terbuka hijau dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana; dan 4. Ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai dasar fisik lingkungan guna mendukung pengembangan kawasan agar dapat berfungsi secara optimal dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana.
Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan rencana tata ruang wilayah provinsi (Integrasi spasial) secara lebih rinci dapat dilihat pada Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
3.5 Contoh Peran Penataan Ruang dalam Pengurangan Risiko Bencana Berikut ini diberikan contoh peran penataan ruang dalam pengurangan risiko bencana, khususnya bencana tsunami. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengurangan risiko bencana dilakukan dengan cara memperkecil ancaman (hazard) kawasan, mengurangi kerentanan (vulnerability) kawasan yang terancam, dan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
75
meningkatkan kapasitas (capacity) kawasan yang terancam. Dengan memperhatikan ketiga komponen tersebut, maka upaya pengurangan risiko bencana tsunami di suatu kawasan yang terancam dapat dilakukan antara lain dengan cara-cara berikut ini22: 1. Untuk memperkecil ancaman (hazard) kawasan dilakukan upaya pencegahan melalui Penyusunan Panduan Penataan Ruang Kawasan Pantai Rawan Tsunami; 2. Untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) kawasan dilakukan upaya mitigasi bencana tsunami antara lain melalui: a. Pemutakhiran peta risiko tsunami secara berkala dan berkelanjutan; b. Pembangunan infrastruktur mitigasi bencana tsunami; c. Sinkronisasi kebijakan RTR (RTRW dan RDTR), IMB, dan perencanaan pembangunan daerah lainnya berbasismitigasi bencana tsunami; dan d. Pembangunan dan pemeliharaan gedung penyelamatan/pengungsian (escape building) untuk masyarakat di daerah rawan bencana tsunami. 3. Untuk meningkatkan kapasitas (capacity) kawasan dilakukan upaya kesiapsiagaan bencana tsunami yang meliputi antara lain: a. Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana evakuasi masyarakat pada kawasan rawanbencana tsunami; b. Pembangunan sistem peringatan dini bencana tsunami; c. Penyusunan dan penetapan rencana evakuasi tingkat kabupaten hingga ketingkat desa; dan d. Pengembangan budaya siaga bencana dan kemandirian masyarakat dalam memobilisasi sumber daya dalam menghadapi risiko bencana tsunami. Dalam upaya pengurangan risiko bencana ke depan terdapat beberapa isu strategis yang perlu dipertimbangkan, yaitu: (a) bencana akibat faktor geologi; (b) perubahan iklim yang mengglobal; (c) bertambahnya degradasi lingkungan; dan (d) laju demografi. Berikut ini contoh internalisasi isu-isu tersebut dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang23: 1. Bencana akibat faktor geologi Pengurangan risiko bencana dalam penataan ruang dilakukan dengan prinsip: ancaman (hazard) yang tidak dapat dicegah, harus dihindari mengembangkan kawasan terancam tersebut sebagai permukiman atau kawasan pertumbuhan ekonomi. Namun bagaimana bila hal tersebut tidak dapat dihindari?Misalnya kawasan terancam tersebut sudah merupakan kawasan permukiman padat.Apa yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko bencana? Pengurangan risiko Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana, BNPB, “Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014. 23 Ibid. 22
76
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
bencana dapat dilakukan antara lain melalui penerapan kebijakan tindakan relokasi, adaptasi, atau proteksi. 2. Perubahan iklim yang mengglobal Pengurangan risiko bencana dalam penataan ruang dilakukan dengan memperhatikan bahwa: ancaman (hazard) merupakan kombinasi dari faktor alam yang tidak dapat dicegah dan faktor manusia yang dapat dikendalikan. Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya yang tidak akan memperparah perubahan iklim, yaitu dengan mengendalikan kegiatan manusianya. Bagaimana caranya dan dapatkah ini dilakukan? 3. Bertambahnya degradasi lingkungan Pengurangan risiko bencana dalam penataan ruang dilakukan dengan memperhatikan bahwa: ancaman (hazard) merupakan pengaruh manusia, yaitu kebutuhan akan permukiman serta pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terkendali, termasuk pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Kebijakan seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana pengendaliannya? 4. Laju demografi Laju demografi mempengaruhi faktor kerentanan dan kapasitas.Pengurangan risiko bencana dilakukan dengan mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas. 3.6 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi Beberapa tantangan yang dihadapi oleh pemerintah provinsi dalam menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dengan perspektif Pengurangan Risiko Bencana diantaranya adalah: 1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dengan perspektif pengurangan risiko bencana. 2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Provinsi yang dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam penyusunan RTRW Provinsi. Saat ini telah ada Rencana Penanggulangan Bencana untuk 33 Provinsi (kecuali Kalimantan Utara) untuk periode 2012-2016.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
77
3. Penyelesaian Perda RTRW Provinsi berbasis mitigasi bencana sesuai amanat UU No. 26 tahun 2007. Dari status Perda RTRW Provinsi per 30 Mei 201424, sudah 25 provinsi yang telah mempunyai perda RTRW Provinsi, yaitu Provinsi Bali, Sulawesi Selatan (2009), Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat (2010), Banten, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo (2011), Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Timur (2012), Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat (2013), Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara (2014). Sementara 8 (delapan) provinsi sisanya sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU.
Mengingat RPB untuk provinsi baru ada pada tahun 2012, maka kemungkinan besar kajian risiko bencana belum diintegrasikan ke dalam muatan RTRW yang telah menjadi Perda tersebut. Proses pengintegrasian baru dapat dilakukan pada saat dilakukan peninjauan kembali pada tahun kelima. Hal ini menjadi tantangan karena RPB provinsi yang ada untuk periode 2012-2016.Misalnya untuk RTRW Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan yang telah menjadi Perda pada tahun 2009, seharusnya peninjauan kembali dilakukan pada tahun kelima, yaitu tahun 2013. Sementara jangka waktu RPB yang ada hanya sampai tahun 2016. Berarti ada dua tahun (2017-2018) yang tidak tercakup dalam RPB sampai waktu peninjauan kembali berikutnya pada tahun 2018. Apabila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka SKPD penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
4. Kualitas RPB yang ada. Apakah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang ada (1) sudah memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan, dan (2) muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat digunakan sebagai acuan pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam muatan RTRW Provinsi? Selain itu bila SKPD melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, bagaimana agar kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan?
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014
24
78
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5. RTRW Provinsi saat ini ada yang sudah menjadi Perda, sedang proses Raperda, dan sudah mendapatkan persetujuan substansi. Bagaimana dan kapan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi tersebut harus dilakukan? 6. Di tingkat provinsi, ketersediaan peta rupa bumi tidak menjadi masalah karena RPB sudah tersedia untuk semua provinsi, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Namun hal ini merupakan tantangan dalam penyusunan RTRW kabupaten/kota. 7. Kapasitas dan peran kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi. 8. Kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin pemanfaatan ruang yang berbasis mitigasi bencana dan mengoptimalkan pengendalian pemanfaatan ruang terutama di kawasan-kawasan dengan risiko bencana.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
BAB 4
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
79
80
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
81
BAB 4
Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional 4.1 Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) menetapkan 10 tipologi KSN, yaitu 1. Tipologi kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan); 2. Tipologi kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan; 3. Tipologi KAPET; 4. Tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET); 5. Tipologi kawasan warisan budaya/adat tertentu; 6. Tipologi kawasan teknologi tinggi; 7. Tipologi kawasan SDA di darat; 8. Tipologi kawasan hutan lindung-taman nasional; 9. Tipologi kawasan rawan bencana; dan 10. Tipologi kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan. Setiap tipologi memiliki kekhususan dalam karakteristik maupun fokus penanganannya. Saat ingin mengarusutamakan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN, perlu ditelaah terlebih dulu seberapa relevannya melakukan kajian risiko bencana (KRB) untuk setiap tipologi KSN. Hal ini karena ada tipologi yang berbasis kawasan dan ada yang berbasis objek strategis. Ada yang meliputi kawasan yang luas, lebih dari satu provinsi (misalnya Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur) dan ada yang merupakan kawasan yang kecil (misalnya Kawasan
82
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Teknologi Tinggi). Selain itu, mengingat KSN tersebut ada yang termasuk dalam wilayah administrasi tertentu, yaitu provinsi/kabupaten/kota, maka pertanyaannya adalah apakah dibutuhkan kajian risiko bencana khusus untuk KSN tersebut, atau sudah tercakup dalam kajian risiko bencana di RTRW provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan? Penentuan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa apabila tersedia informasi yang lebih detil, maka sebaiknya digunakan informasi yang lebih detil tersebut dalam penyusunan RTR KSN. Artinya, apabila RPB kabupaten/kota telah tersedia, maka sebaiknya RPB kabupaten/kota tersebut yang digunakan sebagai dasar dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kedalaman analisis di tingkat nasional adalah minimal hingga kabupaten/kota, kedalaman analisis di tingkat provinsi minimal hingga tingkat kecamatan, dan kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota minimal hingga kelurahan/desa/kampong/nagari. Semakin detil informasi dan kedalaman analisis, maka semakin baik bagi penyusunan RTR KSN. Beberapa kriteria yang dapat digunakan sebagai dasar penentuan pengkajian risiko bencana pada suatu tipologi KSN diantaranya adalah: 1. Cakupan wilayah KSN, apakah masuk dalam suatu wilayah administrasi tertentu (provinsi/kabupaten/kota) atau lintasadministrasi (lintas provinsi/lintas kabupaten-kota) a. Bila masuk dalam satu wilayah administrasi kabupaten/kota: - Tidak diperlukan kajian risiko bencana khusus, tetapi dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada di dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, dengan asumsi RTRW tersebut telah memuat kajian risiko bencana. Bila belum, maka dapat digunakan kajian risiko bencana dalam Rencana Penanggulangan Bencana kabupaten/kota yang bersangkutan. - Mengingat kedalaman analisis di tingkat kabupaten/kota minimal sampai kelurahan/desa/kampung/negeri, maka untuk kajian risiko bencana di RTR KSN ini dapat dilakukan dengan mengambil hasil kajian risiko bencana untuk kelurahan-kelurahan/desa-desa yang terkait saja. Misalnya, untuk Kawasan Industri Lhokseumawe, maka cukup diambil kelurahan-kelurahan yang terkait dengan kawasan industri tersebut dengan memperhatikan keterkaitannya dengan kawasan yang lebih luas (keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
83
- Bila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN, RPB yang dibutuhkan belum ada, maka K/L terkait dapat melakukan pengkajian risiko bencana sendiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. b. Bila wilayah KSN tersebut dalam wilayah satu provinsi tetapi terdiri atas lebih dari satu kabupaten dan/atau kota (lintas kabupaten/kota dalam satu provinsi): - Dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan dengan asumsi RTRW tersebut telah memuat kajian risiko bencana. Bila belum, maka dapat digunakan kajian risiko bencana dalam Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan, karena kedalaman analisis di tingkat provinsi minimal sampai kecamatan, sehingga cukup memadai. - Namun bila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di tingkat kabupaten/kota sudah tersedia, maka sebaiknya digunakan kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota, sehingga dapat diperoleh kajian yang lebih rinci untuk KSN tersebut. Hal ini penting terutama untuk wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. - Apabila wilayah KSN tersebut tidak mencakup seluruh wilayah administrasi, maka dilakukan delineasi sampai unit administrasi terkecil yang memungkinkan. Bila unit administrasi terkecil adalah kecamatan, maka dapat menggunakan RPB Provinsi, sementara bila unit administrasi terkecil adalah kelurahan, maka harus menggunakan RPB Kabupaten/Kota. - Fokus kajian terutama pada keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan bencana di kawasan tersebut, terutama untuk melindungi kawasan-kawasan yang strategis. Sebagai contoh, Kawasan Perkotaan Sarbagita yang terdiri atas Kota/ Kabupaten Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. c. Bila wilayah KSN tersebut lintas provinsi, pada dasarnya sama dengan butir (b) di atas, yaitu: - Bila delineasi menggunakan unit adminisrasi kecamatan, maka dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RPB Provinsi; - Sedangkan bila delineasi menggunakan unit administrasi kelurahan/ desa, maka sebaiknya menggunakan kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota, bila sudah tersedia. - Kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota juga dapat digunakan untuk mempertajam analisis pada kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi.
84
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
- Bila RPB-RPB Provinsi/Kabupaten/Kota tidak memiliki jangka waktu (periode) yang sama atau belum ada, sehingga sulit untuk diintegrasikan, maka K/L terkait melakukan pengkajian risiko bencana secara khusus berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. - Fokus kajian terutama pada penyelenggaraan penanggulangan bencana lintasprovinsi yang dilakukan secara terpadu serta upaya perlindungan bagi kawasan-kawasan yang strategis. Hal ini dikarenakan masing-masing wilayah provinsi telah melakukan kajian risiko bencana di dalam RPBnya masing-masing, sehingga kajian risiko bencana di RTR KSN difokuskan terutama pada keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan bencana lintas administrasi (provinsi) dengan tujuan melindungi kawasan-kawasan yang strategis. Sebagai contoh, bencana banjir di Kawasan Perkotaan Jabodetabekpunjur. Mengingat kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur mencakup 3 (tiga) wilayah provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten, maka rencana penanggulangan bencana di kawasan tersebut sebaiknya difokuskan pada penanggulangan bencana banjir lintas administrasi yang terpadu dan tidak tumpang tindih dengan penanggulangan bencana di masing-masing provinsi, dengan fokus pada pengamanan dan perlindungan kawasan-kawasan yang strategis. 2. KSN berbasis kawasan/objek strategis: a. Mengingat cakupan wilayahnya yang tidak terlalu luas dan umumnya terdapat dalam satu wilayah administrasi, maka tidak memerlukan kajian risiko bencana khusus, dan dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada di dalam RPB kabupaten/kota yang bersangkutan. b. Namun demikian, bila KSN tersebut dirasakan membutuhkan perlindungan khusus dari ancaman bencana (karena fungsi atau nilainya), dan muatan kajian risiko bencana dalam RPB kabupaten/kota yang bersangkutan dirasakan kurang spesifik mengakomodasi kebutuhan KSN tersebut, maka dapat dilakukan pengkajian risiko bencana secara khusus yang spesifik sesuai dengan karakteristik KSN tersebut dengan memperhatikan keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga. c. Bila RPB kabupaten/kota yang bersangkutan belum ada, maka K/L terkait dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara khusus berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Sebagai contoh adalah KSN Tipologi Kawasan Teknologi Tinggi dan Kawasan Warisan Budaya/Adat Tertentu.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
85
3. KSN yang merupakan kawasan lindung tidak membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus, dan dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada di dalam RPB provinsi/kabupaten yang bersangkutan, terutama bagi kawasan-kawasan permukiman/terbangun yang ada di kawasan lindung tersebut. Pengendalian pemanfaatan ruang sangat penting untuk dilakukan secara tegas di kawasan-kawasan ini untuk mengendalikan laju konversi lahan hutan dan menurunnya daya dukung lingkungan. 4. KSN yang rawan terhadap bencana membutuhkan pengkajian risiko bencana secara khusus yang lebih rinci sesuai kebutuhan. KSN yang termasuk dalam kategori ini adalah KSN dengan tipologi Kawasan Rawan Bencana dan Kawasan Ekosistem termasuk Kawasan Kritis yang memiliki tingkat potensi bencana yang tinggi dikarenakan telah menurunnya daya dukung lingkungan.
Penentuan kriteria tersebut di atas dilakukan dengan mempertimbangkan isu strategis nasional dan fokus penanganan setiap tipologi KSN seperti yang dimuat dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 4.1
Sudut Kepentingan dan Tipologi Pertahanan & Keamanan Tipologi Kawasan Pertahanan dan Keamanan (Kawasan Perbatasan Negara dan Wilayah Pertahanan)
Bentuk
KSN berbasis Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 2 pulau kawasan kecil terluar (P. Rondo dan Berhala) dengan India/ Thailand/Malaysia (Provinsi NAD dan Sumatera Utara) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar dengan negara Malaysia/Vietnam/Singapura (Provinsi Riau & Kepulauan Riau) Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Timor Leste (Provinsi NTT) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 5 pulau kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia (Provinsi NTT) Kawasan Perbatasan Darat RI dengan Jantung Kalimantan (Provinsi Kalbar, Kaltim, dan Kalteng) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 18 pulau kecil terluar dengan negara Malaysia dan Philipina (Provinsi Kaltim, Sulteng, dan Sulut) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia (Provinsi Maluku dan Papua) Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 8 pulau kecil terluar dengan negara Palau (Provinsi Maluku Utara , Papua Barat, dan Papua) Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Papua Nugini (Provinsi Papua) Kawasan Perbatasan Negara termasuk 19 pulau kecil terluar yang berhadapan dengan laut lepas (Prov NAD, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, NTB)
KSN dalam RTRWN (PP 26/2008)
pembangunan kawasan perbatasan masih terbatas pada security approach belum tuntas garis batas negara dibeberapa kawasan perbatasan laut kerusakan atau pergeseran pilar batas perlunya pengamanan 92 pulau terluar konflik pemanfaatan ruang pada kawasan yang diperuntukkan bagi wilayah pertahanan ancaman kedaulatan negara yang dapat mengakibatkan gangguan diplomatik terjadi pelanggaran hukum di kawasanperbatasan negara minimnya prasarana dan sarana pengamanan dan pengawasan perbatasan negara keterisolasian masyarakat dan kesenjangan tingkat kesejahteraan kawasan perbatasan dengan negara tetangga minimnya pelayanan prasarana dan sarana, serta dukungan kependudukan di kawasan perbatasan negara
Isu StrategisNasional
Tabel 4.1 Isu Strategis Nasional dan Fokus Penanganan Setiap Tipologi Kawasan Strategis Nasional
kawasan perbatasan negara: pengaturan pada aspek pertahanan untuk kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara berdasarkan geostrategi nasional dengan memperhatikan bagian kawasan perbatasan yang diperuntukkan untuk fungsi militer, meliputi basis militer, daerah latihan militer, gudang amunisi, daerah pembuangan amunisi, dan instalasi peralatan pertahanan. pengaturan pada aspek kesejahteraan (dalam rangka ketahanan nasional) dari sisi sosial, ekonomi, dan budaya: a) pengaturan sistem pelayanan b)pengaturan kependudukan (populasi, sebaran, dan ketenagakerjaan) c) pengaturan kegiatan ekonomi utama dan penunjang d) pengaturan penyediaan sistem prasarana dan sarana yang setara baik dengan wilayah RI di luar kawasan perbatasan maupun dengan negara yang berbatasan pengaturan pada aspek pelestarian lingkungan termasuk pengamanan SDA b. wilayah pertahanan: berdasarkan ketentuan peraturanperundangundangan
Fokus Penanganan
86 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Tipologi Pertumbuhan Ekonomi Tipologi Kawasan Perkotaan Kawasan Perkotaan Mebidangro (Provinsi Sumatera KSN berbasis yang Merupakan Kawasan Utara), kawasan Metropolitan Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Provinsi Jawa Barat), Kawasan Perkotaan Kedung Sepur (Provinsi Jawa Tengah), Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila (Provinsi Jawa Timur), Kawasan Perkotaan Sarbagita (Provinsi Bali), Kawasan Perkotaan Mamminasata (Provinsi Sulawesi Selatan)
Lanjutan Tabel 4.1 Fokus Penanganan
pengaturan sistem perkotaan yang mencakup penetapan fungsi dan peran kawasan perkotaan inti dan kawasan perkotaan di sekitarnya pengaturan kegiatan ekonomi utama perkotaan yang mendukung sistem perkotaan yang direncanakan dan mendukung pertumbuhan ekonomi regional, nasional, serta berorientasi pada perdagangan internasional pengaturan sistem jaringan prasarana dan sarana yang mendukung berfungsinya sistem perkotaan pengaturan pola ruang yang serasi antara peruntukan kegiatan budi daya dan kegiatan lindung untuk pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat pengaturan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan perkotaan pengaturan kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan
Isu StrategisNasional
lemahnya interaksi ekonomi antarwilayah serta lemahnya keterkaitan aktivitas ekonomi hulu-hilir lemahnya nilai tambah produk unggulan wilayah strategis, rendahnya standardisasi kualitas produk nasional, dan belum terintegrasi dengan teknologi, kualitas SDM, dan industri unggulan masih rendahnya ketersediaan prasarana dan sarana nasional masih tingginya tingkat kemiskinan belum optimalnya kawasan perkotaan terutama kawasan metropolitan sebagai mesin penggerak ekonomi nasional
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
87
Sudut Kepentingan dan Tipologi Tipologi KAPET
Lanjutan Tabel 4.1
Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun 1996 tentang Pembentukan KAPET Biak. Keppres 11/1998 tentang Pembentukan KAPET Batulicin. Keppres 12/1998 tentang Pembentukan KAPET Sasamba. Keppres 14/1998 tentang Pembentukan KAPET Manado Bitung. Keppres 15/1998 tentang Pembentukan KAPET Mbay. Keppres 164/1998 tentang Pembentukan KAPET Parepare. Keppres 165/1998 tentang Pembentukan KAPET Seram. Keppres 166/1998 tentang Pembentukan KAPET Bima. Keppres 167/1998 tentang Pembentukan KAPET Batui. Keppres 168/1998 tentang Pembentukan KAPET Bukari. Keppres 170/1998 tentang Pembentukan KAPET DAS Kakab. Keppres 171/1998 tentang Pembentukan KAPET Sabang Kapet Khatulistiwa
KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) KSN berbasis kawasan
Bentuk kesenjangan ekonomi KBI, KTI, dan kawasan perbatasan negara, serta rendahnya interkonektivitas domestik intrawilayah di KBI, KTI, dan kawasan perbatasan negara lemahnya interaksi ekonomi antarwilayah serta lemahnya keterkaitan aktivitas ekonomi hulu-hilir lemahnya nilai tambah produk unggulan wilayah strategis, rendahnya standardisasi kualitas produk nasional, dan belum terintegrasi dengan teknologi, kualitas SDM, dan industri unggulan lemahnya dukungan insentif fiskal dan nonfiskal kawasan ekonomi masih rendahnya ketersediaan prasarana dan sarana nasional kurangnya daya dukung pengembangan aktivitas ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja
Isu StrategisNasional
pengaturan faktor-faktor pendukung pengembangan ekonomi unggulan yang terdiri atas industri/usaha inti, industry pendukung, jasa penunjang, penelitian, pelatihan,pendidikan, informasi, teknologi, sumber daya alam, serta lembaga-lembaga terkait pengaturan pengembangan usaha (bussiness development)yang berisi antara lain bussiness plan dan pengembangan khusus pada minimal 1 (satu) komoditas unggulan pengaturan sistem pusat pelayanan kegiatan ekonomi kawasan yang terintegrasi dengan kebijakan sistem perkotaan pada RTRW pengaturan ketenagakerjaan pengaturan sistem jaringan prasarana utama dan jaringan prasarana pendukung yang terintegrasi dengan sistem jaringan prasarana dalam RTRW pengaturan arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, dan arahan pemberian insentif pada kawasan ekonomi unggulan wilayah pengaturan kelembagaan pengelolaan kawasan
Fokus Penanganan
88 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sosial Budaya Tipologi Kawasan Warisan Budaya/Adat Tertentu
Sudut Kepentingan dan Tipologi Tipologi Kawasan Ekonomi dengan Perlakuan Khusus (Non KAPET)
Lanjutan Tabel 4.1
Kawasan Adat Tertentu Kawasan Toraja dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan)
KSN berbasis kawasan/ objek strategis
KSN berbasis kawasan/ objek strategis
Kawasan Industri Lhokseumawe, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (Provinsi Kep Riau) Kawasan Selat Sunda
Kawasan Warisan Budaya: Kawasan Borobudur dan sekitarnya (Provinsi Jawa Tengah), dan Kawasan Candi Prambanan (Provinsi Jawa Tengah)
Bentuk
KSN dalam RTRWN (PP 26/2008)
pelindungan dan pengamanan warisan budaya dunia pelindungan objek budaya sebagai objek vital nasional pelindungan nilai adat istiadat, dan tradisi budaya bangsa
lemahnya nilai tambah produk unggulan wilayah strategis, rendahnya standardisasi kualitas produk nasional,dan belum terintegrasi dengan teknologi,kualitas SDM, dan industri unggulan lemahnya dukungan insentif fiskal dan nonfiskal kawasan ekonomi masih rendahnya ketersediaan prasarana dan sarana nasional kurangnya daya dukung pengembangan aktivitas ekonomi dalam penyerapan tenaga kerja
Isu StrategisNasional
pengaturan kawasan inti: pengaturan zonasi dan kegiatan yang difokuskan pada pelindungan/ pelestarian warisan budaya/adat tertentu pengaturan jenis dan kualitas pelayanan prasarana pendukung berbasis nilai-nilai warisan budaya dan adat tertentu pengaturan kawasan penyangga: pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan inti pengaturan zonasi dan kegiatan di kawasan penyangga pengaturan prasarana pendukung pengembangan kawasan penyangga, termasuk antisipasi bencana banjir dan kebakaran
pengaturan kegiatan ekonomi yang berdaya saing internasional pengaturan penyediaan lapangan pekerjaan pengaturan sistem pusat pelayanan dengan memperhatikan sistem perkotaan yang telah ditetapkan dalam RTRW; pengaturan kawasan inti: pengaturan zonasi dan kegiatan pengaturan standardisasi pelayanan minimal sistem jaringan prasarana pengaturan kawasan penyangga yang meliputi pengaturan zonasi dan kegiatan pengaturan pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan penyangga pengaturan kelembagaan pengelolaan kawasan
Fokus Penanganan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
89
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Bentuk Tipologi Pendayagunaan SDA dan/atau Teknologi Tinggi Tipologi Kawasan Teknologi Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Kototabang KSN berbasis objek strategis Tinggi (Provinsi Sumatera Barat) Kawasan Instalasi Lingkungan dan Cuaca (Provinsi DKI Jakarta) Kawasan Fasilitas Pengolahan Data dan Satelit (Provinsi DKI Jakarta) Kawasan Fasilitas Uji Terbang Roket Pamengpeuk (Provinsi Jawa Barat) Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pamengpeuk (Provinsi Jawa Barat) Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Tanjung Sari (Provinsi Jawa Barat) Kawasan Stasiun Telecomand (Provinsi Jawa Barat) Kawasan Stasiun Bumi Penerima Satelit Mikro (Provinsi Jawa Barat) Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Watukosek (Provinsi Jawa Timur) Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat) Kawasan Stasiun Bumi Sumber Alam Parepare (Provinsi Sulawesi Selatan) Kawasan Stasiun Bumi Satelit Cuaca dan Lingkungan (Provinsi Papua) Kawasan Stasiun Telemetry Tracking and Command Wahana Peluncur Satelit (Provinsi Papua)
Lanjutan Tabel 4.1 Fokus Penanganan
pengaturan kawasan inti: pengaturan zonasi dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pengaturan pembangunan prasarana pendukung sesuai dengan peraturan perundang-undangan pengaturan kawasan penyangga: pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan inti dan pelindungan keselamatan penduduk di sekitar kawasan inti pengaturan zonasi dan kegiatan di kawasan penyangga pengaturan prasarana pendukung pengembangan kawasan penyangga pengaturan pelindungan kawasan inti dari ancaman bencana, yang antara lain dapat berupa pelindungan dari potensi gangguan sosial, cahaya, suara, getaran, kebakaran, banjir, dan bencana akibat posisi geografis.
Isu StrategisNasional
belum tersedianya alokasi ruang dan pengamanan ruang untuk kegiatan pengembangan IPTEK belum dimilikinya penguasaan teknologi ramah lingkungan dan kebijakan alokasi ruang pendukung pemanfaatan potensi SDA yang ada
90 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Sudut Kepentingan dan Tipologi Tipologi Kawasan SDA di Darat
Lanjutan Tabel 4.1
Kawasan Timika (Provinsi Papua) Kawasan Soroako dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan)
KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) KSN berbasis kawasan
Bentuk belum dimilikinya penguasaan teknologi ramah lingkungan dan kebijakan alokasi ruang pendukung pemanfaatan potensi SDA yang ada belum ditetapkannya WPN dengan memperhatikan keseimbangan ekosistem tidak terkendalinya alih fungsi lahan pertanian belum dipertimbangkannya aspek penataan ruang terkait dengan penanggulangan dampak kegiatan saat dan pasca pemanfaatan SDA
Isu StrategisNasional
pengaturan keseimbangan ekosistem kawasan dalam rangka pengamanan WPN untuk kepentingan strategis nasional pelindungan LP2B dari alih fungsi lahan pengaturan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan terkait dengan dampak pemanfaatan SDA pengaturan zonasi dan kegiatan terkait dengan kawasan-kawasan pasca pemanfaatan SDA pengaturan kawasan inti: pengaturan zonasi dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pengaturan sistem prasarana utama dan sistem prasarana lainnya yang terintegrasi denganpengembangan wilayah pengaturan kawasan penyangga: pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan inti pengaturan zonasi dan kegiatan pengaturan prasarana pendukung pengembangan kawasan penyangga untuk mengantisipasi kemungkinan kesenjangan dengan kawasan inti pengaturan keberlanjutan fungsi pusat pelayanan pasca pemanfaatan SDA
Fokus Penanganan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
91
Sudut Kepentingan dan KSN dalam RTRWN (PP 26/2008) Tipologi Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan Hidup Tipologi Hutan LindungKawasan Hutan Lindung Taman Nasional Kawasan Hutan Lindung Mahato (Provinsi Riau) Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh (Provinsi Riau dan Sumatera Barat) Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Teluk Bintuni (Provinsi Papua) Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat (Provinsi Papua Barat) Kawasan Konservasi dan Wisata Daerah Aliran Sungai Tondano (Provinsi Sulawesi Utara) Kawasan Gunung Rinjani (Provinsi Nusa Tenggara Barat) Kawasan Taman Nasional Kawasan Taman Nasional Lorentz (Provinsi Papua) Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa - Watumohai dan Rawa Tinondo (Provinsi Sulawesi Tenggara) Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (Provinsi Kalimantan Tengah) Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (Provinsi Kalimantan Barat) Kawasan Taman Nasional Komodo (Provinsi Nusa Tenggara Barat) Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Provinsi Banten) Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi) Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau) Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi) Kawasan Pangandaran – Kalipuncang – Segara Anakan – Nusakambangan (Pacangsanak) (Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah) Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan) Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya (Provinsi Sumatera Utara) Kawasan Ekosistem Leuser (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Lanjutan Tabel 4.1
KSN berbasis kawasan
Bentuk
pemanfaatan SDA yang memberikan tekanan terhadap keanekaragaman hayati kebutuhan akan penelitian terhadap hutan hujan tropis dampak lingkungan akibat perubahan iklim global menurunnya daya dukung lingkungan tingginya laju konversi lahan hutan
Isu StrategisNasional
pengaturan kawasan inti: pengaturan zona dan kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pengaturan pembangunan prasarana pendukung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pengaturan kawasan penyangga: pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan inti pengaturan zona dan kegiatan pengendalian pusat kegiatan, sistem prasarana utama dan sistem prasarana lainnya yang berpotensi mengganggu kawasan inti
Fokus Penanganan
92 — MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
KSN berbasis kawasan
KSN berbasis kawasan
Kawasan Kritis Lingkungan Buol-Lambunu (Provinsi Sulawesi Tengah) Kawasan Kritis Lingkungan Balingara (Provinsi Sulawesi Tengah)
Bentuk
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (Provinsi Jawa Tengah & DI Yogyakarta)
KSN dalam RTRWN (PP 26/2008)
pemanfaatan SDA yang memberikan tekanan terhadap keanekaragaman hayati kebutuhan akan penelitian terhadap hutan hujan tropis menurunnya daya dukung lingkungan tingginya laju konversi lahan hutan tingginya potensi bencana
tingginya laju konversi lahan hutan tingginya potensi bencana kurangnya pengendalian permukiman di kawasan rawan bencana
Isu StrategisNasional
(2) Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional
Sumber: (1) PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Lampiran X Penetapan Kawasan Strategis Nasional; dan
Tipologi Kawasan Ekosistem termasuk Kawasan Kritis
Sudut Kepentingan dan Tipologi Tipologi Kawasan Rawan Bencana
Lanjutan Tabel 4.1
pengaturan sistem evakuasi pengaturan fungsi lindung dan fungsi budi daya sesuai dengan karakteristik daya dukung pada kawasan rawan bencana pengaturan kegiatan pada kawasan rawan bencana (termasuk hunian sementara) terkait dengan pengelolaan kegiatan pada kawasan rawan bencana pengaturan sistem prasarana pendukung di lokasi evakuasi sesuai dengan standar pelayanan minimal yang ditentukan penetapan kriteria keberlanjutan kawasan ekosistem pengaturan komposisi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang menjamin keserasian kemampuan dan pemanfaatan unsur dalam alam secara timbal balik pengaturan fungsi budi daya terkait dengan daya rusak air khususnya sistem pusat pelayanan, fasilitas ekonomi penting, sistem transportasi, serta sistem jaringan sumberdaya air
Fokus Penanganan
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
93
94
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Berdasarkan kriteria tersebut di atas dan dengan memperhatikan isu strategis nasional dan fokus pengembangan setiap tipologi, maka kebutuhan kajian risiko bencana untuk setiap tipologi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tipologi kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan) Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas kawasan perbatasan laut dan darat sebagai berikut: A. Kawasan Perbatasan Laut RI a. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 2 pulau kecil terluar (P. Rondo dan Berhala) dengan India/Thailand/Malaysia (Provinsi Nnggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara) b. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar dengan negara Malaysia/Vietnam/Singapura (Provinsi Riau & Kepulauan Riau) c. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 5 pulau kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia (Provinsi Nusa Tenggara Timur) d. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 18 pulau kecil terluar dengan negara Malaysia dan Philipina (Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara) e. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 20 pulau kecil terluar dengan negara Timor Leste/Australia (Provinsi Maluku dan Papua) f. Kawasan Perbatasan Laut RI termasuk 8 pulau kecil terluar dengan negara Palau (Provinsi Maluku Utara , Papua Barat, dan Papua); dan g. Kawasan Perbatasan Negara termasuk 19 pulau kecil terluar yang berhadapan dengan laut lepas (Prov NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat). B. Kawasan Perbatasan Darat RI a. Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Timor Leste (Provinsi Nusa Tenggara Timur) b. Kawasan Perbatasan Darat RI dengan Jantung Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah) c. Kawasan Perbatasan Darat RI dengan negara Papua Nugini (Provinsi Papua) Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan pertahanan dan keamanan dilakukan sebagai berikut:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
95
a. Untuk kawasan perbatasan laut dilakukan melalui Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K); b. Untuk kawasan perbatasan darat RI dengan (a) negara Timor Leste (Provinsi NTT) dan (c) negara Papua Nugini (Provinsi Papua) digunakan kriteria 1 (a) atau 1 (b). - Bila wilayah kawasan perbatasan darat masuk dalam satu wilayah kabupaten, maka tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan bila telah memuat kajian risiko bencana; atau bila belum, maka dapat mengintegrasikan kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten yang bersangkutan; - Bila wilayah kawasan perbatasan darat terdiri atas lebih dari satu kabupaten, maka tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan (NTT dan Papua), dan bila dirasa perlu dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan, terutama untuk wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. c. Untuk kawasan perbatasan darat dengan Jantung Kalimantan digunakan kriteria 1 (c), yaitu mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur) dengan penajaman dari RTRW Kabupaten/Kota terkait, terutama untuk kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi. Bila periodenya tidak sesuai/belum ada, maka perlu dilakukan kajian risiko bencana khusus. 2. Tipologi kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. Kawasan Perkotaan Mebidangro (Provinsi Sumatera Utara), b. Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur termasuk Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat), c. Kawasan Perkotaan Cekungan Bandung (Provinsi Jawa Barat), d. Kawasan Perkotaan Kedung Sepur (Provinsi Jawa Tengah), e. Kawasan Perkotaan Gerbangkertosusila (Provinsi Jawa Timur), f. Kawasan Perkotaan Sarbagita (Provinsi Bali), dan g. Kawasan Perkotaan Mamminasata (Provinsi Sulawesi Selatan).
96
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan perkotaan metropolitan dilakukan sebagai berikut: a. Untuk kawasan perkotaan (a) Mebidangro, (c) Cekungan Bandung, (d) Kedung Sepur, (e) Gerbangkertosusila, (f ) Sarbagita, dan (g) Mamminasata digunakan kriteria 1 (b), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan (Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan), dan dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. b. Untuk kawasan perkotaan (b) Jabodetabek-Punjur digunakan kriteria 1 (c), yaitu mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan (Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat), dan dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. Bila periodenya tidak sesuai sehingga sulit untuk diintegrasikan, maka dilakukan pengkajian risiko bencana secara khusus. 3. Tipologi KAPET Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. KAPET Biak (Keppres No. 10 Tahun 1996 jo Keppres 90 Tahun 1996) – Provinsi Papua b. KAPET Batulicin (Keppres 11/1998) – Provinsi Kalimantan Selatan c. KAPET Samarinda, Sanga-Sanga, Muara Jawa, dan Balikpapan/Sasamba (Keppres 12/1998) – Provinsi Kalimantan Timur d. KAPET Manado Bitung (Keppres 14/1998) – Provinsi Sulawesi Utara e. KAPET Mbay (Keppres 15/1998)- Provinsi Nusa Tenggara Timur f. KAPET Parepare (Keppres 164/1998) – Provinsi Sulawesi Selatan g. KAPET Seram (Keppres 165/1998) – Provinsi Maluku h. KAPET Bima (Keppres 166/1998) – Provinsi Nusa Tenggara Barat i. KAPET Batui (Keppres 167/1998) – Provinsi Sulawesi Tengah) j. KAPET Buton, Kolaka, dan Kendari/Bukari (Keppres 168/1998) – Provinsi Sulawesi Tenggara k. KAPET Daerah Aliran Sungai Kahayan Kapuas dan Barito/DAS Kakab (Keppres 170/1998) – Provinsi Kalimantan Tengah l. KAPET Banda Aceh Darussalam (Keppres 171/1998)- Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam m. KAPET Khatulistiwa - Provinsi Kalimantan Barat
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
97
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) dilakukan sebagai berikut: 1. Untuk KAPET yang wilayahnya mencakup lebih dari satu kawasan administratif (kabupaten/kota), digunakan digunakan kriteria 1 (b), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi yang bersangkutan (Papua, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Naggore Aceh Darussalam), dan bila dirasa perlu dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi.
4. Tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET) Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. Kawasan Industri Lhokseumawe (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Sabang (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) c. Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (Provinsi Kepulauan Riau) d. Kawasan Selat Sunda (Provinsi Lampung dan Banten)
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET) dilakukan sebagai berikut: a. Untuk (a) Kawasan Industri Lhokseumawe dan (b) KPBPB Sabang digunakan kriteria 1 (a), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat mengadopsi kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW Kabupaten/ Kota yang bersangkutan. b. Untuk (c) Kawasan Batam, Bintan, dan Karimun digunakan kriteria 1 (b), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus tetapi mengadopsi kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW Provinsi Kepulauan Riau, dengan penajaman dari kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. c. Untuk (d) Kawasan Selat Sunda digunakan kriteria 1 (c), yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana secara khusus tetapi mengadopsi kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW Provinsi Banten dan Lampung, dengan penajaman dari kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan, terutama untuk wilayah-wilayah dengan kelas risiko bencana tinggi. Bila periodenya tidak sesuai sehingga sulit diintegrasikan, maka dilakukan
98
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
pengkajian risiko bencana khusus yang difokuskan pada penyelenggaraan penanggulangan bencana lintasprovinsi yang dilakukan secara terpadu sesuai dengan karakteristik, isu strategis dan fokus penanganan di kawasan Selat Sunda. 5. Tipologi kawasan warisan budaya/adat tertentu Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: Kawasan Warisan Budaya: a. Kawasan Borobudur dan sekitarnya (Provinsi Jawa Tengah), dan b. Kawasan Candi Prambanan (Provinsi Jawa Tengah) Kawasan Adat Tertentu a. Kawasan Toraja dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan) Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan warisan budaya/adat tertentu dilakukan sebagai berikut: a) Untuk (a) Kawasan Borobudur dan sekitarnya dan (c) Kawasan Toraja dan sekitarnya digunakan kriteria 2, yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana khusus, tetapi mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan (Kabupaten Magelang dan Kabupaten Tana Toraja). Namun, bila kawasan tersebut dirasakan membutuhkan perlindungan khusus dari ancaman bencana (karena fungsi atau nilainya), dan muatan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan masih dirasa kurang spesifik mengakomodasi kebutuhan kawasan tersebut, maka dapat dilakukan kajian risiko bencana secara khusus yang sesuai dengan karakteristik KSN tersebut dengan mempertimbangkan keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga. b) Untuk (b) Kawasan Candi Prambanan yang merupakan KSN berbasis objek strategis juga digunakan kriteria 2, yaitu tidak dilakukan kajian risiko bencana khusus, tetapi mengadopsi kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan (Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten). Namun bila dirasakan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten tersebut masih kurang memperhatikan muatan pelindungan dan pelestarian bagi kawasan tersebut dari ancaman bencana, maka dapat dilakukan kajian risiko bencana secara khusus yang dapat mengakomodasi kebutuhan Kawasan Candi Prambanan tersebut dengan mempertimbangkan keterkaitan antara kawasan inti dan kawasan penyangga.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
99
6. Tipologi kawasan teknologi tinggi Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Kototabang (Provinsi Sumatera Barat) b. Kawasan Instalasi Lingkungan dan Cuaca (Provinsi DKI Jakarta) c. Kawasan Fasilitas Pengolahan Data dan Satelit (Provinsi DKI Jakarta) d. Kawasan Fasilitas Uji Terbang Roket Pamengpeuk (Provinsi Jawa Barat) e. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pamengpeuk (Provinsi Jawa Barat) f. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Tanjung Sari (Provinsi Jawa Barat) g. Kawasan Stasiun Telecomand (Provinsi Jawa Barat) h. Kawasan Stasiun Bumi Penerima Satelit Mikro (Provinsi Jawa Barat) i. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Watukosek (Provinsi Jawa Timur) j. Kawasan Stasiun Pengamat Dirgantara Pontianak (Provinsi Kalimantan Barat) k. Kawasan Stasiun Bumi Sumber Alam Parepare (Provinsi Sulawesi Selatan) l. Kawasan Stasiun Bumi Satelit Cuaca dan Lingkungan (Provinsi Papua) m. Kawasan Stasiun Telemetry Tracking and Command Wahana Peluncur Satelit (Provinsi Papua)
Tipologi ini merupakan KSN berbasis objek strategis dan umumnya terletak dalam satu wilayah administrasi (kabupaten/kota). Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan teknologi tinggi dilakukan dengan menggunakan kriteria 2, yaitu tidak memerlukan kajian risiko bencana secara khusus dan dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada dalam RTRW kabupaten/ kota yang bersangkutan. Namun demikian, mengingat dibutuhkan pengaturan khusus untuk kawasan penyangganya, maka bila dirasa penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan masih kurang spesifik sesuai kebutuhan, dapat dilakukan kajian risiko bencana khusus yang mempertimbangkan pengaturan-pengaturan yang dibutuhkan untuk kawasan inti dan kawasan penyangganya. Pengaturan kawasan penyangga untuk kawasan teknologi tinggi ini meliputi: a. pengaturan batas/radius kawasan penyangga untuk pelindungan kawasan inti dan pelindungan keselamatan penduduk di sekitar kawasan inti b. pengaturan zonasi dan kegiatan di kawasan penyangga c. pengaturan prasarana pendukung pengembangan kawasan penyangga d. pengaturanpelindungan kawasan inti dari ancaman bencana, yang antara lain dapat berupa pelindungan dari potensi gangguan sosial, cahaya, suara, getaran, kebakaran, banjir, dan bencana akibat posisi geografis.
100
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
7. Tipologi kawasan SDA di darat Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. Kawasan Timika (Provinsi Papua) b. Kawasan Soroako dan sekitarnya (Provinsi Sulawesi Selatan) Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan SDA di darat dilakukan dengan menggunakan kriteria 1 (a), yaitu tidak dibutuhkan kajian risiko bencana secara khusus, tetapi dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten yang bersangkutan (Kabupaten Timika dan Kabupaten Luwu Timur).Fokus penanganan untuk kawasan ini antara lain mencakup pengaturan keseimbangan ekosistem kawasan, pengaturan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutanterkait dengan dampak pemanfaatan SDA, dan pengaturan keberlanjutan fungsi pusat pelayanan pasca pemanfaatan SDA. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menjadi sangat signifikan untuk kawasan ini. 8. Tipologi kawasan hutan lindung-taman nasional Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: Kawasan Hutan Lindung a. Kawasan Hutan Lindung Mahato (Provinsi Riau) b. Kawasan Hutan Lindung Bukit Batabuh (Provinsi Riau dan Sumatera Barat) c. Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Teluk Bintuni (Provinsi Papua) d. Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Raja Ampat (Provinsi Papua Barat) e. Kawasan Konservasi dan Wisata Daerah Aliran Sungai Tondano (Provinsi Sulawesi Utara) f. Kawasan Gunung Rinjani (Provinsi Nusa Tenggara Barat) Kawasan Taman Nasional a. Kawasan Taman Nasional Lorentz (Provinsi Papua) b. Kawasan Taman Nasional Rawa Aopa - Watumohai dan Rawa Tinondo (Provinsi Sulawesi Tenggara) c. Kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (Provinsi Kalimantan Tengah) d. Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun (Provinsi Kalimantan Barat) e. Kawasan Taman Nasional Komodo (Provinsi Nusa Tenggara Barat) f. Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (Provinsi Banten) g. Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (Provinsi Jambi) h. Kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Provinsi Jambi dan Riau) i. Kawasan Taman Nasional Berbak (Provinsi Jambi)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
101
j. Kawasan Pangandaran – Kalipuncang – Segara Anakan – Nusakambangan (Pacangsanak) (Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah) k. Kawasan Lingkungan Hidup Taman Nasional Kerinci Seblat (Provinsi Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Sumatera Selatan) l. Kawasan Danau Toba dan Sekitarnya (Provinsi Sumatera Utara) m. Kawasan Ekosistem Leuser (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam)
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan hutan lindung-taman nasional dilakukan dengan kriteria 3, yaitu KSN yang merupakan kawasan lindung tidak membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus, dan dapat menggunakan kajian risiko bencana dalam RTRW (masing-masing) Provinsi yang bersangkutan, terutama bagi kawasan-kawasan permukiman/terbangun yang ada di kawasan lindung-taman nasional tersebut. Bila dirasa perlu, untuk kawasan permukiman/ terbangun yang memiliki kelas risiko bencana tinggi, dapat dipertajam dengan kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Pengendalian pemanfaatan ruang sangat penting untuk dilakukan secara tegas di kawasan-kawasan ini untuk mengendalikan laju konversi lahan hutan dan menurunnya daya dukung lingkungan
9. Tipologi kawasan rawan bencana Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (Provinsi Jawa Tengah & DI Yogyakarta)
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan rawan bencana dilakukan dengan menggunakan kriteria 4, yaitu KSN yang rawan terhadap bencana sehingga membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus.Isu-isu strategis di kawasan rawan bencana ini meliputi (a) tingginya laju konversi lahan hutan; (b) tingginya potensi bencana; dan (c) kurangnya pengendalian permukiman di kawasan rawan bencana.
10. Tipologi kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan Berdasarkan Lampiran X tentang Penetapan Kawasan Strategis Nasional dalam PP No. 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, tipologi ini terdiri atas: a. Kawasan Kritis Lingkungan Buol-Lambunu (Provinsi Sulawesi Tengah) b. Kawasan Kritis Lingkungan Balingara (Provinsi Sulawesi Tengah)
102
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Penanggulangan bencana untuk tipologi kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan dilakukan dengan menggunakan kriteria 4, yaitu KSN yang rawan terhadap bencana membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus.Kawasan Ekosistem termasuk Kawasan Kritis memiliki tingkat potensi bencana yang tinggi dikarenakan telah menurunnya daya dukung lingkungan. Isu-isu strategis di kawasan ekosistem (termasuk kawasan kritis lingkungan) diantaranya adalah (a) pemanfaatan SDA yang memberikan tekanan terhadap keanekaragaman hayati; (b) menurunnya daya dukung lingkungan; (c) tingginya laju konversi lahan hutan; dan (d) tingginya potensi bencana. Fokus penanganan untuk kawasan ini meliputi antara lain (a) penetapan kriteria keberlanjutan kawasan ekosistem; (b) pengaturan komposisi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang menjamin keserasian kemampuan dan pemanfaatan unsur dalam alam secara timbal balik. Tabel 4.2 Kajian Risiko Bencana untuk Setiap Tipologi KSN
No
Tipologi
1
Kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan) Kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan KAPET Kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET) Kawasan warisan budaya/adat tertentu Kawasan teknologi tinggi Kawasan SDA di darat Kawasan hutan lindung-taman nasional Kawasan rawan bencana Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kriteria 1 (c) 2
1 (a)
1 (b)
X
X
X
X
X
3
4
X X
X
X X X
X X X X
Keterangan: - Kriteria 1 Berdasarkan Lingkup Wilayah KSN: (a) satu wilayah kabupaten/kota; (b) lintaskabupaten/kota dalam 1 provinsi; (c) lintasprovinsi - Kriteria 2 KSN berbasis Kawasan/Objek Strategis - Kriteria 3 KSN yang merupakan Kawasan Lindung - Kriteria 4 KSN yang Rawan terhadap Bencana Sumber: Hasil Analisis
4.2 PengarusutamaanPengurangan Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam proses penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis nasional dilakukan dengan memperhatikan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya di atas. Berikut ini dijelaskan proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam proses penyusunan RTR KSN untuk setiap kriteria.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
103
1. Kriteria 1: Berdasarkan Lingkup Wilayah KSN. a. Kriteria 1 (a): wilayah KSN masuk dalam 1 (satu) wilayah administrasi kabupaten/kota. KSN yang menggunakan kriteria 1 (a) adalah: (i) sebagian kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan), (ii) sebagian kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET), dan (iii) kawasan SDA di darat.
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (a) ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut (lihat Gambar 4.1): i. Kaji RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota tersebut dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini. ii. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Bila sudah tersedia, maka kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota tersebut dapat diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN. iii. Bila RPB Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012. Mengingat sampai dengan tahun 2014 baru disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota, maka untuk kabupaten/kota lainnya harus dilakukan kajian risiko bencana sendiri. iv. Sebagai gambaran awal, tingkat risiko kabupaten/kota yang bersangkutan dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia yang memuat kedalaman analisis sampai dengan tingkat kabupaten/kota (saat ini yang terbaru adalah untuk tahun 2013). Sebagai contoh, kawasan industri Lhokseumawe di Kota Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (KSN tipologi kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET)). Bila dilihat dari hasil Indeks Risiko Bencana kabupaten/kota tahun 2013, Kota Lhokseumawe mendapatkan skor 175 yang berarti masuk kelas risiko tinggi. Dengan demikian kajian risiko bencana sangat signifikan untuk dilakukan pada KSN ini.
104
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (a) ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5. Gambar 4.1 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 1 (a) KSN dalam Satu Wilayah Kabupaten/Kota
Sumber: Hasil Analisis
b. Kriteria 1 (b): wilayah KSN masuk dalam 1 (satu) wilayah administrasi provinsi dan lebih dari satu kabupaten/kota (lintaskabupaten/kota dalam satu provinsi).
KSN yang menggunakan kriteria 1 (b) adalah: (i) sebagian kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan),
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
105
(ii) sebagian kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan, KAPET, dan (iii) sebagian kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET).
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (b) ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut (lihat Gambar 4.2): i. Kaji RTRW Provinsi yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi tersebut dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini. ii. Bila RTRW Provinsi yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan. Hampir semua provinsi (33) sudah mempunyai Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2012-2016, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dengan demikian kajian risiko bencana dalam RPB tersebut dapat langsung diadopsi dalam penyusunan RTR KSN kriteria 1 (b). iii. Untuk Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki RPB, maka BPBD provinsi segera mengkoordinasikan penyusunan RPB tersebut dengan difasilitasi oleh BNPB. Bila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN, RPB Provinsi yang ada sudah habis masa berlakunya, maka K/L dapat membuat sendiri KRB berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tenang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. iv. Cek tingkat risiko bencana di level kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah KSN untuk mengetahui apakah kajian risiko bencana perlu dipertajam dengan KRB di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013). Sebagai contoh, kawasan perkotaan metropolitan SARBAGITA (lihat Tabel 4.3).
106
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.3 IRBI Provinsi Bali NO.
KABUPATEN/KOTA
SKOR
KELAS RISIKO
1
KARANG ASEM
184
TINGGI
2
KLUNGKUNG
182
TINGGI
3
JEMBRANA
179
TINGGI
4
BADUNG
179
TINGGI
5
TABANAN
174
TINGGI
6
BULELENG
167
TINGGI
7
KOTA DENPASAR
167
TINGGI
8
BANGLI
153
TINGGI
9
GIANYAR
141
SEDANG
Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013, BNPB
Dari tabel 4.3 terlihat bahwa Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Tabanan memiliki kelas risiko tinggi, sementara Kabupaten Gianyar memiliki kelas risiko sedang. Mengingat SARBAGITA adalah kawasan perkotaan metropolitan, maka signifikan untuk mempertajam kajian pada kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi dengan kajian risiko bencana pada level kabupaten/kota.Terlepas dari itu, mengingat nilai strategisnya maka sebaiknya penyusunan RTR KSN menggunakan kajian risiko bencana yang rinci, semakin rinci semakin baik.Dengan demikian sebaiknya menggunakan kajian risiko bencana untuk kabupaten/kota. v. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum memuat kajian risiko bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Mengingat sampai dengan tahun 2014 baru disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota, maka penting untuk mendorong pemerintah kabupaten/ kota lainnya untuk segera melakukan kajian risiko bencana, terutama bagi kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko bencana tinggi.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
107
Gambar 4.2 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 1 (b) KSN Lintas Kabupaten/Kota dalam Satu Provinsi
Sumber: Hasil Analisis
Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (b) ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5. c. Kriteria 1 (c) wilayah KSN mencakup lebih dari satu wilayah provinsi (lintasprovinsi). KSN yang menggunakan kriteria 1 (c) adalah: (i) sebagian kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan), (ii) sebagian kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan, dan (iii) sebagian kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET).
108
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 1 (c) ini dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: i Kaji RTRW Provinsi yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Provinsi tersebut dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini. ii. Bila RTRW Provinsi yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi yang bersangkutan. Hampir semua provinsi (33) sudah mempunyai Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) 2012-2016, kecuali Provinsi Kalimantan Utara. Dengan demikian kajian risiko bencana dalam RPB tersebut dapat langsung diadopsi dalam penyusunan RTR KSN kriteria 1 (c). iii. Untuk Provinsi Kalimantan Utara yang belum memiliki RPB, maka BPBD provinsi segera mengkoordinasikan penyusunan RPB tersebut dengan difasilitasi oleh BNPB. iv. Cek tingkat risiko bencana di level kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah KSN untuk mengetahui apakah kajian risiko bencana perlu dipertajam dengan KRB di tingkat kabupaten/kota. Hal ini dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013). Sebagai contoh, kabupaten/ kota di Provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu wilayah dalam kawasan perkotaan metropolitan Jabodetabekpunjur (lihat Tabel 4.4).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
109
Tabel 4.4 IRBI Provinsi DKI Jakarta
NO.
KABUPATEN/KOTA
SKOR
KELAS RISIKO
1
KOTA JAKARTA TIMUR
127
SEDANG
2
KOTA JAKARTA UTARA
122
SEDANG
3
KOTA JAKARTA BARAT
120
SEDANG
4
KOTA JAKARTA PUSAT
96
SEDANG
5
KOTA JAKARTA SELATAN
88
SEDANG
6
KEPULAUAN SERIBU
65
SEDANG
Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013, BNPB
Dari tabel 4.4 terlihat bahwa kota/kabupaten di Provinsi DKI Jakarta semuanya memiliki kelas risiko sedang.Mengingat Jabodetabekpunjur adalah kawasan perkotaan metropolitan yang perlu dikendalikan perkembangannya, maka signifikan untuk mempertajam kajian pada kawasan-kawasan dengan kelas risiko sedang-tinggi dengan kajian risiko bencana pada level kabupaten/ kota. i. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang bersangkutan belum memuat kajian risiko bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota yang bersangkutan. ii. Bila Rencana Penanggulangan Bencana Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat menyusun kajian risiko bencana berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. iii. Rumuskan isu-isu strategis terkait penanggulangan bencana yang bersifat lintasprovinsi dan upaya pengamanan dan perlindungan kawasan-kawasan strategis dalam KSN. Hal ini menjadi fokus penanganan dalam penanggulangan bencana di KSN lintasprovinsi ini. Hal tersebut dirumuskan secara terpadu dengan memperhatikan penyelenggaraan penanggulangan bencana di masing-masing provinsi, maupun kabupaten/kota yang tercakup dalam KSN lintasprovinsi ini. iv. Proses pengintegrasian kajian risiko bencana untuk kriteria 1 (c) ini kurang lebih sama dengan Gambar 4.2, dengan ditambahkan langkah viii di atas.Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 1 (c) ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.
110
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
2. Kriteria 2: KSN berbasis Kawasan/Objek Strategis KSN yang menggunakan kriteria 2 adalah: (i) Kawasan warisan budaya/adat tertentu, dan (ii) Kawasan teknologi tinggi
Proses penyusunan RTR KSN yang masuk dalam kriteria 2 ini dilakukan melalui langkah-langkah seperti pada kriteria 1 (a) sebagai berikut (lihat Gambar 4.3): i. Kaji RTRW Kabupaten/Kota yang berlaku (existing), apakah sudah memuat kajian risiko bencana sesuai dengan yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila sudah, maka kajian risiko bencana dalam RTRW Kabupaten/Kota tersebut dapat diadopsi dalam penyusunan RTR KSN dalam kriteria ini. ii. Bila RTRW Kabupaten/Kota yang ada belum memuat kajian risiko bencana seperti yang diamanatkan dalam Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, maka dilakukan pengkajian terhadap Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Bila sudah tersedia, maka kajian risiko bencana dalam RPB Kabupaten/Kota tersebut dapat diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN. iii. Bila RPB Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012. Mengingat sampai dengan tahun 2014 baru disusun 63 Rencana Penanggulangan Bencana untuk kabupaten/kota, maka untuk kabupaten/kota lainnya harus dilakukan kajian risiko bencana sendiri. iv. Sebagai gambaran awal, tingkat risiko kabupaten/kota yang bersangkutan dapat dilihat dari Rencana Penanggulangan Bencana Provinsi yang bersangkutan serta Indeks Risiko Bencana Indonesia (2013) Sebagai contoh, Kawasan Candi Prambanan yang merupakan KSN tipologi kawasan warisan budaya/adat tertentu yang terletak di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten. Bila dilihat dari hasil Indeks Risiko Bencana kabupaten/kota tahun 2013, Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah) mendapatkan skor 123 yang berarti masuk kelas risiko sedang. Demikian juga Kabupaten Sleman (Provinsi DI Yogyakarta) mendapatkan skor 154 yang berarti masuk kelas risiko tinggi. v. Bila dirasakan kajian risiko bencana dalam RTRW kabupaten tersebut masih kurang memperhatikan muatan pelindungan dan pelestarian bagi kawasan warisan budaya/adat tertentu dan kawasan teknologi tinggi tersebut dari ancaman bencana, maka dapat dilakukan kajian risiko bencana tambahan secara khusus yang dapat mengakomodasi kebutuhan kawasan warisan budaya/adat tertentudan kawasan teknologi tinggi tersebut.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
111
Gambar 4.3 Proses Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Proses Penyusunan RTR KSN untuk Kriteria 2 KSN Berbasis Kawasan/Objek Strategis
Sumber: Hasil Analisis
Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 2 ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.
3. Kritera 3: KSN yang merupakan Kawasan Lindung KSN yang menggunakan kriteria 3 adalah: (i) Kawasan hutan lindung-taman nasional KSN yang merupakan kawasan lindung tidak membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus dan dapat menggunakan kajian risiko bencana yang ada di dalam RTRW Provinsi/Kabupaten yang bersangkutan, terutama bagi
112
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
kawasan-kawasan permukiman/terbangun yang ada di kawasan lindung tersebut. Dengan demikian langkah-langkah pengintegrasian kajian risiko bencana untuk KSN dalam kriteria 3 ini sama dengan langkah-langkah pada kriteria 1 (a). Bila RTRW Kabupaten belum memuat kajian risiko bencana, atau kabupaten yang bersangkutan belum memiliki RPB, maka dapat digunakan kajian risiko bencana dalam RPB Provinsi yang bersangkutan.Setelah melalui proses tersebut, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 3 ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5. 4. Kriteria 4: KSN yang Rawan terhadap Bencana KSN yang menggunakan kriteria 4 adalah: (1) Kawasan rawan bencana, dan (2) Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan Mengingat KSN dalam kriteria 4 ini memiliki kelas risiko bencana tinggi (baik dari karakteristik fisik lingkungan maupun karena telah menurunnya daya dukung lingkungan), maka sebaiknya dilakukan kajian risiko bencana secara khusus dan rinci untuk kawasan ini.Bila kajian risiko bencana telah dilakukan, maka proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN kriteria 4 ini mengikuti proses penyusunan RTRW Provinsi pada Gambar 3.5.
Sebagai contoh adalah Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan sekitarnya yang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum pada tahun 2011.Penyusunan rencana tata ruang kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan sekitarnya tersebut telah mengintegrasikan pendekatan pengurangan risiko bencana. Hal ini antara lain dapat dilihat dari tujuan penataan ruang kawasan Taman Nasional Gunung Merapi tersebut, yaitu untuk mewujudkan Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang berkualitas dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan MasyarakatKawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang berbasis Mitigasi Bencana.25Tujuan tersebut kemudian dirumuskan dalam ke dalam 2 (dua) kebijakan penataan ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi yang meliputi: a. Pelestarian lingkungan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; dan b. Pengembangan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi Bencana Kebijakan kedua tersebut kemudian diturunkan dalam strategi pengembangan Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi Bencana yang antara
25 Draft Raperpres Rencana Tata Ruang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dan Sekitarnya, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2011.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
113
lain terdiri atas: a. Meningkatkan fungsi Taman Nasional Gunung Merapi yang berbasis Mitigasi Bencana; b. Meningkatkan fungsi Kawasan Lindung dan mengembangkan Kawasan Budi Daya di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi berbasis Mitigasi Bencana; c. Mengembangkan sistem evakuasi bencana yang terintegrasi dengan sistem pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; d. Menyesuaikan pemanfaatan ruang pada Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi yang terdampak langsung di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; e. Melakukan pengendalian yang tinggi pada Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi yang terdapat kantung (enclave) permukiman di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; f. Meningkatkan peran dan kesadaran masyarakat dalam pelaksanaan dan pengembangan sistem evakuasi bencana di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi; dan h. Mengembangkan kelembagaan. 4.3 Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam Muatan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) pada dasarnya dilakukan dengan metode pendekatan yang sama dengan proses pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi seperti yang dijelaskan pada Bab 3, yaitu dengan memadukan pendekatan analisis aspek fisik dan lingkungan yang mengacu pada Permen PU No. 20/PRT/M/2007 dengan kajian risiko bencana yang mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 (Lihat kembali Gambar 3.9).Perbedaan yang mendasar adalah dalam hal kedalaman analisis sesuai dengan kebutuhan dan besaran lingkup wilayah setiap Kawasan Strategis Nasional (KSN).Hal ini dapat dilihat dari skala peta RTR KSN untuk setiap tipologi yang ditetapkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (lihat Tabel 4.5).
114
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.5 Skala Peta RTR KSN berdasarkan Tipologi KSN Tipologi Bentuk Tipologi Kawasan KSN Pertahanan berbasis dan Keamanan kawasan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan)
Tipologi Kawasan KSN Perkotaan yang berbasis kawasan merupakan Kawasan Metropolitan
Skala Peta a. kawasan perbatasan negara: 1) kawasan perbatasan darat: a) yang didominasi kawasan terbangun: 1:25.000–1:10.000 b) yang didominasi kawasan nonterbangun: 1:250.000–1:50.000 2) kawasan perbatasan laut: a) yang keseluruhan merupakan laut, 1:500.000–1:250.000 b) yang mencakup pula pulau-pulau kecil,1:25.000–1:10.000 b. wilayah pertahanan: skala peta ditentukan berdasarkan ketentuanperaturan perundang-undangan minimal 1:50.000
Tipologi KAPET
KSN berbasis kawasan
minimal 1:100.000
Tipologi Kawasan Ekonomi dengan Perlakuan Khusus (non KAPET)
KSN berbasis kawasan/ objek strategis
kawasan inti dan kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000
Tipologi Kawasan KSN Warisan Budaya/ berbasis Adat Tertentu kawasan/ objek strategis
a. kawasan inti: minimal 1:5.000 b. kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000
Tipologi Kawasan KSN Teknologi Tinggi berbasis objek strategis
a. kawasan inti: minimal 1:5.000 b. kawasan penyangga: 1:25.000–1:10.000
Tipologi Kawasan KSN SDA di Darat berbasis kawasan Tipologi Hutan KSN Lindung-Taman berbasis Nasional kawasan
minimal 1:50.000
1:250.000 –1:50.000
Kriteria Pengintegrasian KRB Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 1 (c) berdasarkan RTRW Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000)
Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 1 (c) berdasarkan RTRW Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 1 (b) berdasarkan RTRW Provinsi (1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) 1 (c) berdasarkan RTRW Provinsi(1:250.000) dengan dipertajam RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria (2) berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Bila melakukan KRB tambahan, digunakan skala peta 1: 5.000 untuk kawasan inti dan 1:25.000 – 1:10.000 untuk kawasan penyangga Kriteria (2) berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Bila melakukan KRB tambahan, digunakan skala peta 1: 5.000 untuk kawasan inti dan 1:25.000 – 1:10.000 untuk kawasan penyangga Kriteria 1 (a) berdasarkan RTRW Kabupaten/Kota (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 3 berdasarkan RTRW Provinsi (1:250.000) atau RTRW Kabupaten(1:50.000)
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
115
Lanjutan Tabel 4.5 Tipologi Bentuk Tipologi Kawasan KSN Rawan Bencana berbasis kawasan
Skala Peta 1:50.000–1:25.000
Tipologi Kawasan KSN Ekosistem berbasis termasuk kawasan Kawasan Kritis
a. kawasan kritis lingkungan: 1:50.000– 1:25.000 b. kawasan ekosistem: 1:250.000 –1:50.000
Kriteria Pengintegrasian KRB Kriteria 4, kajian risiko bencana dilakukan dengan skala peta sesuai yang ditetapkan dalam Permen PU No 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN (1:50.000 – 1:25.000) Kriteria 4, kajian risiko bencana dilakukan dengan skala peta sesuai yang ditetapkan dalam Permen PU No 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN (1:50.000 – 1:25.000)
Sumber: Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, dan Hasil Analisis
Dari tabel 4.5 di atas terlihat bahwa terdapat perbedaan untuk skala peta yang diarahkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 dengan arahan berdasarkan kriteria. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tipologi 1 Kawasan Pertahanan dan Keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan) Untuk kawasan perbatasan darat yang didominasi kawasan terbangun, Permen PU No 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:25.0001:10.000. Sementara tipologi 1 ini menggunakan kriteria 1 (a)/1 (b)/ 1 (c) dengan peta skala 1:250.000 – 1:25.000.Untuk kawasan terbangun di kawasan perbatasan darat yang memiliki kelas risiko bencana tinggi, ada baiknya menggunakan peta skala 1:25.000 – 1:10.000, bila memungkinkan. Namun, peta skala 1:25.000 baru tersedia untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi26 dan peta skala 1:10.000 sedang dibuat untuk kota-kota di P. Jawa27. Dengan demikian perlu diprioritaskan pembuatannya oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan prioritas utama adalah untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi. 2. Tipologi 2 Kawasan Perkotaan yang merupakan Kawasan Metropolitan Untuk kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:50.000. Tipologi 2 ini menggunakan kriteria 1 (b)/ 1 (c) dengan peta skala 1:250.0001:25.000. Dengan demikian arahan Permen PU tersebut dapat dipenuhi. 3. Tipologi 3 KAPET Untuk KAPET, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:100.000. Sedangkan Tipologi 3 ini menggunakan kriteria 1
26 27
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 30 Juni 2014. BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
116
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
(b).dengan peta skala 1:250.000-1:25.000. Dengan demikian, arahan Permen PU tersebut dapat dipenuhi.Untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi dapat dipertajam dengan peta skala yang lebih besar. 4. Tipologi 4 Kawasan Ekonomi dengan Perlakuan Khusus (non KAPET) Untuk kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET), Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:25.0001:10.000 untuk kawasan inti dan kawasan penyangga. Sementara Tipologi 4 ini menggunakan kriteria 1 (a)/1 (b)/1 (c) dengan peta skala 1:250.000-1:25.000. Untuk kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus yang memiliki kelas risiko bencana tinggi, ada baiknya menggunakan peta skala 1:25.000 – 1:10.000. Namun, ketersediaan peta-peta skala tersebut, apalagi skala 1:10.000 masih sangat terbatas saat ini.Dengan demikian perlu diprioritaskan pembuatannya oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), dengan prioritas utama adalah untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi. 5. Tipologi 5 Kawasan Warisan Budaya/Adat Tertentu Untuk kawasan warisan budaya/adat tertentu, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:5.000 untuk kawasan inti dan peta skala 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga. Sementara Tipologi 5 ini menggunakan kriteria 2 dengan peta skala 1:50.000-1:25.000. Bila kawasan warisan budaya/adat tertentu memiliki kelas risiko bencana tinggi, sebaiknya dalam melakukan KRB tambahan digunakan skala peta 1:5.000 untuk kawasan inti dan 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga. Ketersediaan peta skala besar tersebut (1:10.000-1:5.000) menjadi isu penting yang perlu segera ditangani. 6. Tipologi 6 Kawasan Teknologi Tinggi Untuk kawasan teknologi tinggi, Permen PU No 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:5.000 untuk kawasan inti dan peta skala 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga. Sementara Tipologi 6 ini menggunakan kriteria 2 dengan peta skala 1:50.000-1:25.000. Bila melakukan KRB tambahan untuk kawasan teknologi tinggi ini sebaiknya digunakan skala peta 1:5.000 untuk kawasan inti dan skala peta 1:25.000-1:10.000 untuk kawasan penyangga, sesuai dengan arahan dalam Permen PU No. 15/ PRT/M/2012. 7. Tipologi 7 Kawasan SDA di Darat Untuk kawasan SDA di darat, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta minimal skala 1:50.000. Sementara Tipologi 7 ini menggunakan kriteria 1 (a) dengan peta skala 1:50.000-1:25.000.Dengan demikian arahan Permen PU tersebut dapat dipenuhi.
TSUNAMI
LONGSOR
BANJIR
LETUSAN GUNUNG API
KEKERINGAN
2
3
4
5
6
1 : 2.500.000
1 : 2.500.000
1 : 2.500.000
1 :2.500.000
1 : 2.500.000
1 : 2.500.000
RTRWN
1 : 50.000
1 : 500.000
1 : 50.000
1 : 500.000 1 : 250.000
1 : 100.000
1 : 1.000.000
1 : 25.0000
1 : 50.000
1 : 50.000 1 : 25.000
1 : 100.000
1 : 2.000
1 : 5.000
1 : 5.000
1 : 2.000
1 : 5.000
1 : 25.000
1 : 50.000
RTRW Kota
1 : 50.000
1 : 5.000
1 : 250.000 1 : 250.000
1 : 25.000
1 : 500.000
1 : 250.000
1 : 25.000 1 : 5.000
1 :800.000
1 : 5.000
1 : 250.000
1 : 500.000
1 : 25.000
1 : 500.000
1 : 250.000
1 : 100.000
RTRW Kab
1 : 1.000.000
RTRWP
SKALA
1 : 5.000
1 : 5.000
1 : 1.000
1 : 2.000
1 : 1.000
1 : 2.000
1 : 1.000
1 : 2.000
1 : 5.000
RDTR
-
-
-
-
-
-
RTRWN
1 : 250.000
1 : 100.000
1 : 250.000
1 : 100.000
1 : 250.000
1 : 100.000
1 : 250.000
1 : 100.000
1 : 250.000
1 : 250.000
RTRWP
Sumber: Standar Penataan Ruang untuk Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2013
GEMPA BUMI
JENIS BENCANA
1
NO
PETA BAHAYA SKALA
1 : 50.000
1 : 100.000
1 : 50.000
1 : 200.000
1 : 5.000
1 : 25.000
1 : 5.000
1 : 25.000
1 : 5.000
1 : 25.000
1 : 100.000
RTRW Kota
1 : 25.000
1 : 50.000
1 :25.000
1 : 50.000
1 : 2.000
1 : 5.000
1 : 5.000
1 : 2.000
1 : 5.000
1 : 25.000
1 : 50.000
PETA RISIKO
RTRW Kab
Tabel 4.6 Standar Minimal Peta Dasar untuk Peta Bahaya dan Peta Risiko Bencana Berdasarkan Jenis Bencana
1 : 5.000
1 : 5.000
1 : 1.000
1 : 2.000
1 : 1.000
1 : 2.000
1 : 1.000
1 : 2.000
1 : 5.000
RDTR
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
117
118
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
8. Tipologi 8 Hutan Lindung-Taman Nasional Untuk kawasan hutan lindung-taman nasional, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:250.000-1:50.000. Sementara Tipologi 8 ini menggunakan kriteria 3 dengan peta skala 1:250.000-1:50.000. Dengan demikian tidak dapat perbedaan dengan arahan Permen PU tersebut. 9. Tipologi 9 Kawasan Rawan Bencana Untuk kawasan rawan bencana, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:50.000-1:25.000. Sementara Tipologi 9 ini menggunakan kriteria 4, yaitu membuat kajian risiko bencana khusus untuk KSN rawan bencana. Kajian risiko bencana tesebut dilakukan dengan skala peta yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012, yaituminimal peta skala 1:50.000-1:25.000 atau lebih rinci. 10. Tipologi 10 Kawasan Ekosistem termasuk Kawasan Kritis Untuk kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis, Permen PU No. 15/PRT/M/2012 mengarahkan untuk menggunakan peta skala 1:50.000-1:25.000 untuk kawasan kritis lingkungan dan peta skala1:250.000-1:50.000 untuk kawasan ekosistem. Sementara Tipologi 10 ini menggunakan kriteria 4, yaitu membuat kajian risiko bencana khusus untuk KSN kawasan kritis. Kajian risiko bencana dilakukan dengan skala peta yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam Permen PU No. 15/ PRT/M/2012 tersebut, yaituminimal peta skala 1:50.000-1:25.000 untuk kawasan kritis lingkungan atau lebih rinci. Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft, 2013) yang disusun oleh Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum mengatur standar minimal peta dasar untuk peta bahaya dan peta risiko bencana berdasarkan jenis bencananya (gempa bumi, tsunami, longsor, banjir, letusan gunung api, kekeringan). Lihat Tabel 4.6. Terlihat dari tabel 4.6 tersebut bahwa untuk jenis bencana tsunami, longsor, dan banjir dibutuhkan skala peta yang lebih besar untuk Peta Risiko Bencana, yaitu 1:25.000 – 1:5.000 untuk RTRW Kabupaten dan 1:5.000 – 1.2.000 untuk RTRW Kota, serta 1:2.000 – 1:1.000 untuk RDTR.Sekali lagi, ketersediaan peta-peta skala besar tersebut (1:5.000-1:1.000) menjadi isu penting yang perlu segera ditangani. Dengan pendekatan seperti yang digambarkan pada Gambar 3.9 dalam Bab 3 serta proses pengintegrasian pada subbab 4.2 di atas, dilakukan perumusan RTR KSN yang meliputi tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah; rencana struktur ruang dan rencana pola ruang wilayah; arahan pemanfaatan ruang wilayah; dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
119
a. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional Tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang kawasan strategis nasional dirumuskan dengan mengacu pada arahan dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional. Hal yang perlu digarisbawahi adalah perlunya perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi tersebut dilakukan dengan memasukkan upaya pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana) sesuai hasil dari kajian risiko bencana yang telah dilakukan pada tahap pengumpulan data dan informasi, serta kegiatan pengolahan dan analisis data.
Perumusan tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana untuk setiap tipologi kawasan strategis nasional dilakukan dengan mengikuti arahan untuk tipologi kawasan rawan bencana seperti yang diatur dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012, sebagai berikut: 1. Tujuan Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional Tujuan disusun sebagai arahan perwujudan KSN yang ingin dicapai pada masa yang akan datang. Perumusan tujuan difokuskan pada mewujudkan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan isu-isu strategis nasional dan fokus penanganan setiap tipologi KSN dengan berbasis pada upaya mitigasi bencana. 2. Kebijakan Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional Kebijakan disusun sebagai arah tindakan dalam rangka mencapai tujuan. Perumusan kebijakan dilakukan dengan mengacu pada arahan perumusan kebijakan untuk setiap tipologi KSN dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2012 dengan ditambahkan upaya mitigasi bencana.Dari kajian risiko bencana yang dilakukan pada tahap analisis telah diketahui kelas risiko bencana untuk setiap kawasan.Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan kebijakan pengurangan risiko bencana yang terdiri atas kebijakan administratif yang berfokus pada pengurangan faktor risiko dasar dan kebijakan teknis yang berfokus pada pencegahan dan mitigasi bencana (lihat kembali Gambar 3.9). Kebijakan pengurangan risiko bencana ini antara lain dapat berupa kebijakan yang terkait dengan penetapan kegiatan pada kawasan-kawasan yang memiliki risiko bencana dengan alternatif tindakan yang meliputi28:
Draft Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft), Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, 2014
28
120
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
(a) Tindakan Relokasi Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya pemindahan aktivitas berikut sarana prasarana penunjang aktivitas ke zona aman dari bencana; (b) Tindakan Adaptasi Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui rekayasa teknis, ketentuan khusus untuk konstruksi bangunan, serta sistem peringatan dini. (c) Tindakan Proteksi Upaya penanganan kawasan dengan risiko bencana melalui upaya preservasi dapat berupa proteksi terhadap kawasan dengan risiko bencana guna meningkatkan kualitas lingkungan alami.Misalnya dengan pembangunan waduk, tanggul, sea wall, atau tembok pemecah gelombang. 3. Strategi Penataan Ruang Kawasan Strategis Nasional Strategi penataan ruang kawasan strategis nasional merupakan penjabaran masing-masing kebijakan penataan ruang kawasan strategis nasional ke dalam langkah-langkah operasional untuk mencapai tujuan penataan ruang yang telah ditetapkan.Strategi penataan ruang kawasan strategis nasional ini dirumuskan salah satunya berdasarkan kebijakan penataan ruang kawasan stategis nasional. Bila kebijakan penataan ruang yang dirumuskan telah memuat aspek penanggulangan bencana, maka strategi yang dirumuskan juga akan mencakup strategi penanggulangan bencana.
29
Salah satu strategi yang dapat dirumuskan adalah strategi terkait dengan sistem evakuasi (khususnya pada RTR KSN dengan peta skala besar). Strategi terkait sistem evakuasi ini antara lain meliputi29: (a) Strategi penetapan lokasi kawasan aman bencana terkait dengan sistem evakuasi bencana; (b) Strategi penetapan sistem prasarana utama (jaringan transportasi), sekaligus berfungsi sebagai jalur evakuasi dalam sistem evakuasi bencana; (c) Strategi penetapan dukungan sarana dan sistem jaringan prasarana lainnya untuk mendukung ruang evakuasi sesuai standar pelayanan minimal yang ditentukan.
Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
121
b. Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang Rencana struktur ruang dalam rencana tata ruang kawasan strategis nasional dirumuskan berdasarkan arahan yang terdapat pada Permen PU No. 15/ PRT/M/2012 untuk setiap jenis tipologi KSN dengan ditambahkan pendekatan mitigasi bencana. Contoh arahan rencana struktur ruang yang berbasis mitigasi bencana dapat dilihat pada arahan Rencana Struktur Ruang untuk Tipologi Kawasan Rawan Bencana pada Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tersebut yang meliputi: (1) Sistem jaringan prasarana utama berbasis mitigasi bencana; (2) Sistem jaringan prasarana lainnya berbasis mitigasi bencana yang terintegrasi antara kawasan yang memiliki risiko bencana dan kawasan aman bencana, termasuk kekhususan sistem jaringan pada ruang evakuasi di mana sistem tetap operasional pada saat bencana; (3) Sistem sarana pada ruang evakuasi meliputi sarana sosial dan budaya, sarana ekonomi, dan sarana kesehatan.
Perlu digarisbawahi bahwa pengembangan struktur ruang di kawasan yang memiliki risiko bencana harus memenuhi ketentuan mengenai struktur ruang yang dilarang untuk dikembangkan pada kawasan yang memiliki risiko bencana tersebut. Arahan lebih rinci tentang struktur ruang yang tidak layak dibangun di kawasan dengan risiko bencana untuk setiap jenis bencana dapat dilihat pada Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft) yang telah disusun oleh Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum.
Rencana pola ruang disusun dengan mempertimbangkan hasil kajian risiko bencana yang telah dilakukan.Kajian risiko bencana menghasilkan penentuan kelas risiko bencana untuk setiap jenis bencana yang dibedakan menjadi kelas risiko bencana tinggi, kelas risiko bencana sedang, dan kelas risiko bencana rendah.Berdasarkan penentuan kelas risiko bencana tersebut, dapat dirumuskan kawasan-kawasan dengan risiko bencana yang harus menjadi kawasan lindung dan/atau menjadi kawasan budidaya.
Kawasan dengan kelas risiko bencana rendah, misalnya, dapat menjadi kawasan budidaya dengan persyaratan-persyaratan khusus yang harus dipenuhi dalam pengembangannya. Sementara kawasan dengan kelas risiko bencana tinggi sebaiknya ditetapkan sebagai kawasan lindung.Rencana pola ruang (terutama untuk rencana tata ruang dengan peta skala besar) juga memuat ruang evakuasi bencana dan kawasan permukiman yang dapat dialokasikan sebagai lokasi hunian sementara atau lokasi permukiman kembali (resettlement). Arahan lebih rinci tentang peruntukan ruang yang tidak layak untuk dibudidayakan di kawasan dengan risiko bencana untuk setiap jenis bencana dapat dilihat pada Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft).
122
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
c. Arahan Pemanfaatan Ruang Arahan pemanfaatan ruang merupakan upaya perwujudan rencana tata ruang KSN yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama, indikasi sumber pembiayaan, indikasi instansi pelaksana, dan indikasi waktu pelaksanaan. Indikasi program utama merupakan acuan sektor dan daerah dalam menyusun program dalam rangka mewujudkan RTR KSN dalam jangka waktu perencanaan 5 (lima) tahunan sampai akhir tahun perencanaan (20 tahun).
Indikasi program utama untuk setiap tipologi KSN mengacu pada Permen PU No. 15/PRT/M/2012 dengan tambahan fokus pada perwujudan pemanfaatan ruang yang mendukung upaya mitigasi bencana pada kawasan-kawasan dengan risiko bencana, antara lain meliputi: (1) Indikasi program utama perwujudan struktur ruang, meliputi: a) Indikasi program utama perwujudan sistem jaringan prasarana utama berbasis mitigasi bencana; b) Indikasi program utama perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya berbasis mitigasi bencana; dan c) Indikasi program utama perwujudan sistem sarana pada ruang evakuasi; (2) Indikasi program utama perwujudan pola ruang meliputi indikasi program utama perwujudan kawasan lindung dan kawasan budi daya yang telah memuat kebijakan mitigasi bencana.
d. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Arahan pengendalian pemanfaatan ruang adalah arahan yang diperuntukan sebagai alat penertiban penataan ruang, meliputi indikasi arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi dalam rangka perwujudan rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
Untuk wilayah yang memiliki risiko bencana, arahan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional dilakukan untuk mewujudkan tertib tata ruang melalui penyusunan indikasi arahan peraturan zonasi berbasis mitigasi bencana, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi berdasarkan rencana tata ruang yang berbasis mitigasi bencana.
Arahan peraturan zonasi dalam RTR KSN merupakan ketentuan zonasi sektoral pada sistem nasional yang meliputi arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang nasional dan pola ruang nasional. Arahan peraturan zonasi ini antara lain memuat:
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
123
(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional sebagai ketentuan pemanfaatan ruang sistem nasional yang berbasis mitigasi bencana; (2) Ketentuan kegiatan dan penggunaan lahan yang berisikan kegiatan yang diperbolehkan, diperbolehkan dengan syarat, dan tidak diperbolehkan pada setiap kawasan dengan telah mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana; (3) Ketentuan intensitas pemanfaatan ruang yang akan menjadi arahan minimal dalam menetapkan besaran kawasan lindung, intensitas pemanfaatan ruang di kawasan budi daya, dan besaran ruang terbuka hijau dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana; dan (4) Ketentuan prasarana dan sarana minimum sebagai dasar fisik lingkungan guna mendukung pengembangan kawasan agar dapat berfungsi secara optimal dengan mempertimbangkan kawasan-kawasan dengan risiko bencana dan upaya mitigasi bencana. 4.4 Contoh Pengintegrasian Kajian Risiko Bencana ke dalam RTR KSN Tipologi Kawasan Perkotaan Metropolitan Jabodetabekpunjur30 1. Profil Risiko Bencana di Kawasan Jabodetabekpunjur Hasil pengkajian risiko bencana merupakan dasar perumusan kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah.Mengingat adanya keterbatasan sumber daya, maka perlu dilakukan pemrioritasan dalam penanggulangan bencana.Prioritas ini disusun dengan memperhatikan tingkat risiko bencana dan hasil analisis kecenderungan kejadian bencana di daerah. Dari pemrioritasan tersebut diperoleh daftar bencana yang perlu ditanggulangi secara cepat di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten (lihat Tabel 4.7). Di Provinsi DKI Jakarta, bencana yang potensi terjadinya meningkat dan memiliki risiko tinggi adalah banjir. Sedangkan di Provinsi Jawa Barat, terdapat 7 (tujuh) bencana dengan risiko tinggi tetapi potensi terjadinya cenderung tetap, yaitu cuaca ekstrim, tanah longsor, kekeringan, banjir, letusan gunung api, gempabumi, dan tsunami. Sementara di Provinsi Banten terdapat 4 (empat) bencana dengan tingkat risiko tinggi dan potensi terjadinya meningkat, yaitu tanah longsor, banjir, kekeringan, dan gagal teknologi.
Bagian ini diambil dari hasil studi Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Project Safer Communities Through Disaster Risk Reduction in Development (SCDRR-D) Phase II, November2013
30
124
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 4.7 Bencana Prioritas di Jabodetabekpunjur Provinsi DKI Jakarta
Jawa Barat
Banten
Bencana Prioritas 1. Banjir 2. Gempabumi 3. Gelombang Ekstrim & Abrasi 4. Cuaca Ekstrim 5. Epidemi & Wabah Penyakit 6. Tsunami 1. Cuaca Ekstrim 2. Tanah Longsor 3. Kekeringan 4. Banjir 5. Letusan Gn. Api 6. Gempabumi 7. Tsunami 1. Tanah Longsor 3. Banjir 4. Kekeringan 5. Gagal Teknologi 6. Cuaca Ekstrim 7. Gempabumi 8. Tsunami
Keterangan 1 : Potensi terjadinya MENINGKAT dan risiko TINGGI 2 – 6: kecenderungan TETAP dan risiko TINGGI
1 – 7: potensi terjadinya cenderung TETAP dan risiko TINGGI
1 – 5:Potensi terjadinya MENINGKAT dan risiko TINGGI 6 – 8:Potensi terjadinya MENINGKAT dan risiko SEDANG
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
2. Kajian Risiko Bencana pada RTR KSN Jabodetabekpunjur Analisis ini dilakukan pada 13 jenis bencana berdasarkan overlay dari peta ancaman, kerentanan dan risiko bencana dari BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang dari Perpres 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Semua peta ancaman, kerentanan dan risiko tersebut memiliki gradasi dari hijau ke merah yang menunjukkan tingkat rendah ke tinggi.
Dari Peta Ancaman diperoleh gambaran wilayah-wilayah yang memiliki suatu ancaman atau bahaya tertentu.Dari Peta Kerentanan diperoleh gambaran
wilayah-wilayah yang memiliki suatu kerentanan tertentu pada aset-aset penghidupan dan kehidupan yang dimiliki yang dapat mengakibatkan risiko bencana. Sedangkan dari Peta Risiko Bencana diperoleh gambaran wilayahwilayah yang memiliki tingkat risiko tertentu berdasarkan adanya parameterparameter ancaman, kerentanan dan kapasitas yang ada di suatu wilayah. Aspekaspek kebencanaan yang perlu diperhatikan pada rencana struktur ruang dan rencana pola ruang dapat dilihat pada tabel 4.8.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
125
Tabel 4.8 Aspek-aspek Kebencanaan yang Perlu Diperhatikan pada Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang Jenis Bencana Jabodetabekpunjur 1. Gempabumi 2. Tsunami 3. Banjir 4. Tanah Longsor 5. Letusan Gunung Api 6. Gelombang Ekstrim & Abrasi 7. Angin Puting Beliung/ Cuaca Ekstrim 8. Kekeringan 9. Kebakaran Hutan Lahan 10 Kebakaran Pemukiman 11. Epidemi & Wabah Penyakit 12. Kegagalan Teknologi 13. Konflik Sosial
A. Rencana Struktur Ruang RTR KSN JabodetabekPunjur 1. Sistem Pusat 2. Sistem Jaringan Prasarana: Permukiman: PKN Kawasan Transportasi Darat, Perkotaan Jakarta Laut, Udara kota inti: 1. Jakarta, Penyediaan Air Baku kota satelit: Pengelolaan Air 2. Bogor, 3. Depok, Limbah 4. Tangerang, Drainase & 5. Bekasi Pengendalian Banjir Sub Pusat Perkotaan: Pengelolaan Sampah 6. Serpong, 7. Lainnya Cinere, 8. Cimanggis, 9. Cileungsi, 10. Setu, 11. Tambun/ Cikarang JORR 2
B. Rencana Pola Ruang RTR KSN JabodetabekPunjur 1. Kawasan 2. Kawasan Lindung atau Zona Budidaya: Non-Budidaya (N): Zona Budidaya: N-1 B-1 N-2 B-2 B-3 B-4 B-4/HP B-5 B-6 B-7 B-7/HP Zona Penyangga: P-1 P-2 P-3 P-4 P-5
1 Peta Ancaman Bencana
Pusat kegiatan yang mana yang berada di lokasi yang rawan bencana?
Jaringan prasarana yang mana yang berada di lokasi rawan bencana?
Zona Lindung yang mana yang berada pada lokasi rawan bencana?
Kawasan Budidaya yang mana yang berada pada lokasi rawan bencana?
Sampai batas apa orang-orang di pusat kegiatan sensitif dengan bencana ?
Sampai batas apa jaringan prasarana dan bangunan sensitif terhadap kerusakan ?
Kerusakan apa yang bisa terjadi di zona lindung?
Kerusakan apa yang bisa terjadi di zona budidaya?
Bagian mana dari sistem perkotaan yang memiliki risiko tinggi ?
Bagian mana dari jaringan prasarana yang memiliki risiko tinggi?
Bagian mana dari zona proteksi yang memiliki risiko tinggi?
Bagian mana dari zona budidaya yang memiliki risiko tinggi?
Menunjukkan lokasi yang memiliki potensi untuk terjadi bencana berdasarkan sejarah kejadian bencana,dan analisis secara geografis, geologi, geomorfologi, hidrologi, dan kondisi klimatologi (frekuensi dan intensitas) 2 Peta Kerentanan Bencana Menunjukkan eksposure dan sensitivitas dari populasi (korban), ekonomi (mata pencaharian), infrastruktur (kerusakan) dan lingkungan (degradasi) 3 Peta Risiko Bencana Menggabungkan antara ancaman bencana dan kerentanan dan kapasitas dengan formula risiko = (ancaman x kerentanan) / kapasitas . Ancaman yang kecil, kerentanan yang dikurangi dan peningkatan kapasitas menghasilkan risiko yang kecil.
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
126
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Langkah kegiatan analisis adalah sebagai berikut: (a) Tampilkan hasil tumpangsusun peta ancaman, kerentanan, dan risiko bencana terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur; (b) Amati lokasi yang memiliki tingkat acaman, kerentanan, dan risiko yang tinggi (warna merah), sedang maupun rendah (warna hijau); (c) Perhatian lebih difokuskan pada lokasi dengan tingkat risiko bencana yang tinggi, yang diartikan bahwa lokasi tersebut memiliki potensi tinggi terkena dampak bencana apabila bencana tersebut terjadi dalam kurun waktu 5 tahun; (d) Kemudian dilihat zona dan pusat-pusat kegiatan menurut Perpres 54/2008 yang ada di lokasi tersebut dan dilihat pula penggunaan lahan saat ini pada zona tersebut untuk melihat kesesuaiannya dengan arahan dari Perpres; (e) Susun upaya mitigasi bencana pada lokasi tersebut sebagai upaya pengurangan risiko bencana yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah yang terkait. 3. Contoh Penerapan untuk Bencana Banjir dan Mitigasi Bencana Agar lebih jelas, berikut ini contoh penerapannya untuk bencana banjir dan upaya mitigasi bencana banjir di Kawasan Jabodetabekpunjur.
Gambar 4.4 adalah peta ancaman bencana banjir berdasarkan overlay dari peta ancaman bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur.
Ancaman bahaya banjir signifikan dibagian utara baik di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat maupun Banten, meliputi zona Budidaya (B), dan Non budidaya (N). Ancaman juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi). 1. Kawasan Barat, termasuk wilayah Kota Tangerang, tingkat ancaman bencana banjir tinggi pada kawasan pertanian dan sawah (zona B5), kawasan bandara (pada zona B2). Sebagian merupakan kawasan industri di sepanjang jalan Daan Mogot dan Kapuk, kawasan pergudangan di daerah Dadap dan Kapuk/Kamal. 2. Kawasan Timur, tingkat ancaman bencana banjir tinggi pada kawasan yang direncanakan pada Perpres 54/2008 sebagai zona B5 (pertanian lahan basah beririgasi teknis). Ada kecenderungan konversi dari B5 ke B1 juga. Ancaman banjir cukup luas akibat topografi.
Gambar 4.5 adalah peta kerentanan bencana banjir berdasarkan overlay dari peta kerentanan bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
127
Gambar 4.4 Peta Ancaman Bencana Banjir
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
Gambar 4.5 Peta Kerentanan Bencana Banjir
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untuk Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008 Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013.
128
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Terlihat kerentanan banjir signifikan untuk bagian utara Provinsi DKI Jakarta, sebagian Kota Tangerang dan sebagian Bekasi sebelah timur sebagaimana terlihat pada peta ancaman.
Gambar berikutnya, gambar 4.6, adalah peta risiko bencana banjir berdasarkan overlay dari peta risiko bencana banjir BNPB terhadap peta struktur dan pola ruang Jabodetabekpunjur. Gambar 4.6 Gambar 42 Peta Risiko Bencana Banjir Peta Risiko Bencana Banjir
1
2 3
•
•
Wilayah risiko banjir rendahsedang. Rencana ruang
• •
•
Wilayah risiko banjir tinggi. Rencana ruang untuk permukiman padat. Isu reviu: manajemen risiko bencana (kesiapsiaga an,
• • •
Wilayah risiko banjir sedang-tinggi. Rencana ruang di domisasi lindung, lahan basah dan permukiman padat-sedang. Isu reviu: Optimalkah rencana alokasi ruang ini? Perlu dipertimbangkan alternatif peruntukan ruang yang lebih optimal dengan risiko yang ada?
Sumber: Pendekatan Kajian Risiko Bencana Untukbaik Perencanaan Kawasan Strategis Nasional, Studi Kasus: Perpres 54/2008 Risiko bencana banjir signifikan dibagian utara di Prov DKI Jakarta, Jawa Barat maupun Banten. Tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, November 2013. Meliputi zona Budidaya (B1, B6, B7) dan Non budidaya (N1). Juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, kota Tangerang, kota Bekasi).
1. Kawasan Barat; tingkat risiko sedang cenderung rendah akibat kepadatan infrastruktur yang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
129
Risiko bencana banjir signifikan dibagian utara baik di Provinsi DKIJakarta, Jawa Barat maupun Banten. Meliputi zonaBudidaya (B1, B6, B7) dan Non budidaya (N1). Juga signifikan untuk 3 titik Pusat Perkotaan (Jakarta Pusat, Kota Tangerang, Kota Bekasi). 1. Kawasan Barat; tingkat risiko sedang cenderung rendah akibat kepadatan infrastruktur yang masih rendah terkait juga dengan support area sekitar bandara (zona B2 & B5). Risiko cenderung meningkat apabila ada pembangunan infrastruktur strategis (misalnya pembangunan jalan tol dan rel kereta api ke arah Serpong atau Kalideres)atau konversi dari B2 (perumahan hunian sedang, perdagangan dan jasa, industri padat tenaga kerja), maupun B5 (pertanian lahan basah beririgasi teknis) ke B1 (perumahan hunian padat, perdagangan & jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar). Hal tersebut juga berpotensi meningkatkan risiko dan frekuensi bencana banjir yang merugikan serta mengancam kehidupan manusia. Perlu dikembangkan pengelolaan lingkungan yang tepat untuk melindungi kawasan bandara dari bencana banjir, dan perlu studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi arahan penggunaan lahan menjadi kawasan lindung berupa situ, hutan bakau atau hutan kota. 2. Kawasan Timur; tingkat risiko sedang cenderung tinggi akibat perkembangan kawasan industri, pergudangan dan pusat transportasi di Pulo Gadung dan pertumbuhan permukiman. Banjir juga sampai menyebabkan kerugian di kawasan industri Pulo Gadung tahun 2012 yang lalu. Sebagian kawasan pada tingkat risiko sedang menurut rencana dalam Perpres 54/2008 adalah zona B5 (pertanian lahan basah beririgasi teknis). Perlu dipertimbangkan untuk dicarikan alternatif lain selain untuk pertanian mengingat kurang optimal penggunaannya apalagi bila banjir datang. Perlu dipertimbangkan alternatif peruntukan ruang yang lebih optimal di kawasan. Alternatifnya a.l: konversi dari sawah ke biofarming (tambak), atau menjadi situ dan hutan kota untuk meningkatkan daya dukung dan kualitas lingkungan sekaligus tempat wisata. Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk melakukan realokasi penggunaan lahan tersebut. 3. Kawasan Tengah; merupakan wilayah DKI Jakarta, tingkat risiko cenderung tinggi, sudah terlampau padat, menurut Perpres direncanakan sebagai zona B1 (perumahan hunian padat, perdagangan & jasa, industri ringan non-polutan dan berorientasi pasar), juga di kawasan pantai utara Jakarta padazona B6 (perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal 50%), B7 (perumahan hunian rendah dengan KZB maksimal 40%) dan N1 (kawasan hutan lindung, resapan air, kawasan pantai berhutan bakau).
130
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Upaya mitigasi bencana banjir dengan risiko bencana yang tinggi pada zona B1 a.l: sangat diperlukan untuk membangun infrastruktur kesiapsiagaan agar masyarakat dapat lebih tangguh menghadapi bahaya a.l. penyusunan rencana kontijensi dimana diperlukan koordinasi antar K/L, dan pelatihan untuk meningkatkan kesiagaan masyarakat maupun Pemerintah Kecamatan/ Kelurahan dalam menghadapi bencana banjir; perlu dipertimbangkan pula pergeseran paradigma menuju penggunaan lahan intensif (diperlukan arahan tentang intensitas ruang, pengaturan kawasan budidaya dengan instrumen KZB, KDB, KLB), misal pembangunan hunian vertikal (KDB ditekan sedang, KLB besar atau sangat besar, KZB ditekan sekecil mungkin), pelarangan/pengurangan hunian satu tingkat, transportasi masal, penataan bantaran sungai Ciliwung melalui penertiban bangunan illegal, penerapan sistem polder, normalisasi kali Ciliwung dan seterusnya; selain itu perlu juga memperkuat bangunan dan infrastruktur yang berpotensi terkena bencana. Sehubungan dengan risiko bencana banjir yang tinggi akan mengenai struktur pusat perkotaan di Jakarta Pusat pada kawasan Medan Merdeka yang merupakan pusat kegiatan primer; perlu dipertimbangkan bagi pembangunan & pemulihan kapasitas polder dan pemompaan di polder (misal di wilayah Istana Merdeka); Kesemuanya harus didukung oleh Pemprov DKI Jakarta untuk segera menyusun RDTR berbasis mitigasi bencana banjir di Kota Jakarta Utara dan Kota Jakarta Pusat.
4.5 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam RTR Kawasan Strategis Nasional Beberapa tantangan yang dihadapi oleh Pemerintah Pusat dalam menyusun Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional dengan perspektif pengurangan risiko bencana diantaranya adalah: 1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTR KSNdengan perspektif pengurangan risiko bencana. 2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD PRB) Provinsi/Kabupaten/Kota yang dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN. BNPB telah menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB)untuk 33 Provinsi (kecuali Kalimantan Utara) denganunit analisis sampai
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
131
kecamatan dengan skala 1:250.000. Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, baru sekitar 63 kabupaten/kota yang difasilitasilangsung oleh BNPB untuk skala 1: 50.000. Apabila kegiatan upayapenyusunan RPB pada tingkat kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendakan secarateratur dan konsisten setiap tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota lagi akanselesai kurang lebih dalam 9 tahun lagi (33 kabupaten/kota per tahun)31. Sementara saat ini sudah 291 RTRW Kabupaten yang memiliki Perda (73.12%) dan 75 RTRW Kota memiliki Perda (80.65%)32. Saat peninjauan kembali tentunya diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia. Tantangannya adalah bagaimana mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/Kota? Namun demikian penyusunan RPB di daerah saat ini juga sudah banyak mendapat dukungan dari donor, misalnya seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara mendapat dukungan dari JICA.Demikian juga NTB.NTT mendapat dukungan dari OXFAM, dan IOM turut mendukung 5 kabupaten di Provinsi NAD serta 7 kabupaten di Provinsi Jawa Barat33.Sehingga bila diakumulasi penyusunan RPB telah dilakukan pada lebih dari 80 kabupaten/kota sampai saat ini.Perkiraan penyelesaian penyusunan RPB Kabupaten/Kota selama 9 tahun tersebut di atas adalah bila BNPB melakukan dukungan langsung ke seluruh daerah. Namun saat ini, BNPB sudah tidak lagi melakukan dukungan langsung ke daerah, tetapi melakukan bimbingan teknis ke daerah di seluruh wilayah kabupaten/kota agar daerah dapat melakukan kajian risiko bencana sendiri. Saat ini baru ada 2 (dua) daerah yang telah menyelesaikan bimbingan teknis, yakni Jawa Barat (dilakukan di Bandung) dan Sumatera Utara (dilakukan di Medan)34.Harapannya semua kabupaten/kota dapat tercakup dalam bimbingan teknis tersebut. 3. Penyelesaian Perpres RTR KSN berbasis mitigasi bencana sesuai amanat UU No. 26 tahun 2007. Mengingat RPB untuk provinsi baru ada pada tahun 2012 dan untuk kabupaten/ kota baru ada pada tahun 2013/2014, maka kemungkinan besar kajian risiko bencana belum diintegrasikan ke dalam muatan RTR KSN yang sudah ada. Proses pengintegrasian baru dapat dilakukan pada saat dilakukan peninjauan kembali pada tahun kelima. Hal ini menjadi tantangan karena RPB memiliki jangka waktu
BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78 Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014. 33 BNPB dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014 34 Ibid. 31 32
132
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
5 tahun.Apakah pada saat dilakukan peninjauan kembali terhadap RTR KSN, RPB masih berlaku?Sebagai contoh, Perpres No. 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur yang memiliki jangka waktu 2008-2028. Peninjauan kembali pertama dilakukan pada tahun 2013.RPB untuk Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat memiliki jangka waktu 2012-2016.Dengan demikian, masih sesuai digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana pada saat peninjauan kembali. Namun untuk RTR KSN yang memiliki jangka waktu 2010-2030, pada saat peninjauan kembali di tahun 2015, jangka waktu RPB provinsi sudah hampir habis (2012-2016), sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam proses peninjauan kembali RTR KSN tersebut. Apabila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka K/L penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. 4. Kualitas RPB yang ada. Apakah Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi, Kabupaten, Kota yang ada (1) sudah memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan, dan (2) muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat digunakan sebagai acuan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTR KSN? Bila K/L melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, bagaimana agar kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan? 5. RTR KSN saat ini ada yang sudah menjadi Perpres, sedang proses Raperpres, atau sudah mendapatkan persetujuan substansi. Bagaimana dan kapan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTR KSN tersebut harus dilakukan? 6. Ketersediaan peta rupa bumi dengan skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi, skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten, skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi35, skala 1:10.000 sedang dibuat untuk kota-kota di Pulau Jawa36, dan skala 1:5.000 belum ada. Demikian juga petapeta skala 1:2.000 dan 1:1.000 belum ada. Hal ini merupakan tantangan yang harus segera ditangani. Peta-peta dengan skala tersebut sangat dibutuhkan dalam penyusunan RTR KSN berbasis pengurangan risiko bencana. Oleh karenanya Badan 35 36
BIG dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014 BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
133
Informasi Geospasial (BIG) perlu mengusahakan dan mempersiapkan dukungan bagi penyusunan RTR KSN melalui penyiapan peta-peta pada skala tersebut di atas.
Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga peta tematik. Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait. BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta yang disusun oleh K/L atau SKPD terkait. Berdasarkan peta kerawanan tersebut disusun peta ancaman/bahaya (hazard). Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar.Berdasarkan peta ancaman/bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkahlangkahnya adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2) peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko.Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala 1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan) yang siap dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.00037. Permasalahannya adalah bagaimana menyusun peta bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru peta tematik skala 1:250.000?
Pembuatan peta bahaya harus diprioritaskan pembuatannya baik oleh K/L maupun Daerah.Karena peta risiko baru dapat dibuat bila peta bahaya sudah ada. Permasalahan pembuatan peta bahaya ini belum terselesaikan karena peta bahaya baru dapat dibuat kalau peta dasarnya sudah ada.
7. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN. 8. Kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin pemanfaatan ruang yang berbasis mitigasi bencana dan mengoptimalkan pengendalian pemanfaatan ruang terutama di kawasan dengan risiko bencana.
37 BNPB dalam Lokakarya Materi Teknis – SCDRR-II - Bappenas, 30 Juni 2014.
134
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
BAB 5
Pemetaan Pemangku Kepentingan
135
136
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
137
BAB 5
Pemetaan Pemangku Kepentingan Pemetaan pemangku kepentingan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional dilakukan dengan mengkaji keterlibatan pemangku kepentingan dan kelembagaan dalam: a. Penyelenggaraan penanggulangan bencana dengan mengacu pada Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014 dan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019 (draft); b. Proses penyusunan RTRW Provinsi dengan mengacu pada Permen PU No. 15/ PRT/M/2009; c. Proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional dengan mengacu pada Permen PU No. 15/PRT/M/2012; d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah; e. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah; dan f. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 50 tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. 5.1 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana 5.1.1 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Tingkat Nasional Dalam rangka pelaksanaaan tanggung-jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB (UU No. 24/2007 Pasal 10, ayat 1)yang kedudukannya merupakan lembaga pemerintah non departemen setingkat menteri (UU No. 24/2007 Pasal 10, ayat 2). BNPB terdiri atas unsur pengarah penanggulangan bencana; dan pelaksana penanggulangan bencana. Fungsi BNPB adalah melakukan (1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi; serta melakukan (2) pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh (pasal 13).
138
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Selain BNPB, kelembagaan penyelenggaraan penanggulangan bencana lain yang telah dibentuk adalah Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (SRC PB) di tingkat nasional. SRC PB ini terdiri dari SRC Wilayah Barat yang berkedudukan di Jakarta dan SRC Wilayah Timur yang berkedudukan di Malang, Jawa Timur. Dalam melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana, BNPB melaksanakan fungsi koordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya.Dalam melaksanakan fungsinya, BNPB didukung oleh unsur pengarah yang beranggotakan 19 (sembilan belas) orang yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang pejabat pemerintah dan sembilan orang unsur profesional. Anggota unsur pengarah dari pejabat pemerintah terdiri dari : (1) Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, (2) Kementerian Dalam Negeri, (3) Kementerian Sosial, (4) Kementerian Pekerjaan Umum,(5) Kementerian Kesehatan, (6) Kementerian Keuangan, (7) Kementerian Perhubungan,(8) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, (9) Kepolisian Republik Indonesia dan (10) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana dilakukan oleh BNPB dengan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait pada setiap tahapan. Lihat Tabel 5.1 Tabel 5.1 Kementerian/Lembaga yang terkait dalam Pelaksanaan Penanggulangan Bencana No A 1.
2.
Kementerian/Lembaga Tugas dan Fungsi TAHAP PRA BENCANA Koordinasi Kementerian Kordinator Bidang Mengkordinasikanprogram-program penanggulangan bencana lintas Kesejahteraan Rakyat Kementerian dan Lembaga Kementerian Dalam Negeri Mengendalikan program-program dan kegiatan pembangunan daerah yang berkaitan dengan penanggulangan bencana Kementerian Luar Negeri Mendukung program-program dan kegiatan penanggulangan bencana yang berkaitan dengan kemitraan Internasional Kementerian Perencanaan Mendukung perencanaanprogram-program pembangunan yang peka Pembangunan Nasional terhadap risiko bencana Kementerian Hukum dan HAM Mendorong peningkatan dan penyelarasan perangkat-perangkat hukum terkait kebencanaan Kementerian Pendidikan dan Mengkordinasikan tentang pendidikan sadar bencana pada semua Kebudayaan jenjangpendidikan formal dan informal Perencanaan & Pengendalian Kementerian Keuangan Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan bencana pada masa pra-bencana Kementerian Energi dan Sumberdaya Merencanakan dan mengendalikanupaya mitigasi bencana dibidang Mineral geologi dan bencana akibat ulah manusia yangterkait dengan bencana geologi
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
139
Lanjutan Tabel 5.1 No
3.
4.
B
Kementerian/Lembaga Kementerian Pertanian
Tugas dan Fungsi Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasidibidang bencana kekeringan dan bencana lain terkait dengan bidang pertaniandan ketahanan pangan Kementerian Kehutanan Merencanakan dan mengendalikan upaya mitigasibencana khususnya kebakaran hutan/lahan dan konservasi hutan Kementerian Kelautan dan Perikanan Merencanakan dan mengendalikan upayamitigasi dibidang bencana tsunami dan abrasi pantai Kementerian Pekerjaan Umum Merencanakan tata-ruang daerah yang rawanterhadap risiko bencana serta penyiapan lokasi dan jalur evakuasi Kementerian Lingkungan Hidup Merencanakan dan mengendalikan upaya yangbersifat preventif,advokasi dan deteksi dini dalam pencegahan bencana terkaitlingkungan hidup. Kementerian Pembangunan Daerah Merencanakan dan mengendalikan program-program pembangunan di Tertinggal daerah tertinggal yangberdasarkan kajian risiko bencana. Badan Informasi Geospasial (BIG) Merencanakan dan mengendalikan pemetaan risiko bencana bekerjasama dengan kementerian/lembaga teknis. Dukungan pemantauan BMKG Membantu dalam bidang pemantauan potensi bencana yang terkait dengan metereologi, klimatologi dan geofisika. Badan Pengawas Tenaga Nuklir Membantu dalam bidang pemantauan, pemanfaatan dan (BAPETEN) pengendalianbahaya nuklir. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Membantu dalam bidang pemantauan, pemanfataan dan pengendalianbahaya akibat tenaga atom Dukungan penelitian, data dan informasi Kementerian Riset dan Teknologi Melakukan kajian dan penelitian sebagai bahanuntuk merencanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasitidak terjadi bencana,tanggap darurat,dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Membantu dalam bidang pengkajian dan penerapan tehnologi (BPPT) khususnyateknologi yang berkaitan dengan penanggulangan bencana BadanPusat Statitstik (BPS) Membantu dalam bidang penyiapan data-data statistik terkait kebencanaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Membantu dalam bidang penyediaan dataterkait dengan pertanahan Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia Membantu dalam bidang pengkajian ilmu pengetahuan yang (LIPI) berkaitandengan upaya penanggulangan bencana Lembaga Penerbangan dan Antariksa Membantu dalam bidang penyediaan informasi dan data Nasional (LAPAN) spasialkhususnya dari satelit BadanStandardisasi Nasional (BSN) Membantu dalam bidang standarisasi pedoman-pedoman teknis maupunpanduan teknis penanggulangan bencana TANGGAP DARURAT Tentara Nasional Indonesia Membantu dalam kegiatan pencarian danpenyelamatan (Search And Rescue/SAR) dan mendukung pengkordinasian upayatanggap darurat Kepolisian Republik Indonesia Membantu dalam kegiatan SAR dan pengamanansaat tanggap darurat termasuk mengamankan lokasi yang ditinggalkan karena para penghuninya mengungsi, menjamin ketertiban masyarakat di daerahbencana Badan SAR Nasional (BASARNAS) Mendukung BNPB dalam mengkordinasikan dan menyelenggarakankegiatan pencarian dan penyelamatan (SAR) Kementerian Keuangan Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan bencana pada masa tanggap darurat Kementerian Pertahanan Mendukung pengamanan daerah-daerah yang terkenabencana pada masa tanggap darurat Kementerian Perhubungan Merencanakan dan melaksanakan kebutuhantransportasi, khususnya pada masa tanggap darurat
140
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Lanjutan Tabel 5.1 No
C
Kementerian/Lembaga Kementerian Kesehatan
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Kementerian Sosial Kementerian Komunikasi Informatika PASCA BENCANA Kementerian Pertahanan Kementerian Keuangan Kementerian Perhubungan Kementerian Pekerjaan Umum Kementerian Kesehatan
Kementerian Pendidikan Kebudayaan Kementerian Komunikasi Informatika Kementerian Koperasi dan UKM
Kementerian Perumahan Rakyat Kementerian Transmigrasi
Tenaga
Kerja
Tugas dan Fungsi Merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk obat-obatan, tenaga medis/paramedis, dan relawan pada masatanggap darurat dan Merencanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pendidikan pada masa darurat untuk daerah-daerah yangterkena bencana Merencanakan kebutuhan bagi para pengungsi dan relawan dan Merencanakan dan mengendalikanpengadaan fasilitas dan sarana komunikasi darurat untuk mendukung tanggapdarurat bencana Mendukung pengamanan daerah-daerah yang terkenabencana masa pasca bencana Penyiapan anggaran biaya kegiatan penyelenggaraanpenanggulangan bencana pada masa pasca bencana Merencanakan dan melaksanakan kebutuhantransportasi, khususnya pada dampak bencanakegagalan teknologi transportasi Merencanakan dan melaksanakan pemulihan prasarana publik yang terkena dampak bencana Merencanakan pelayanan kesehatan dan medik termasuk obat-obatan, tenaga medis/paramedis, dan relawan pada masa pemulihan pasca bencana. dan Merencanakan dan mengendalikan pemulihan sarana dan prasarana pendidikan untuk daerah-daerah yangterkena bencana dan Merencanakan dan mengendalikanpengadaan fasilitas dan sarana komunikasi darurat untuk mendukung pemulihan pasca bencana. Menyelenggarakan program-program koperasidan usaha-usaha kecil dan kegiatan ekonomi produktif bagi warga masyarakatmiskin pada daerah-daerah pasca bencana untuk mempercepat pemulihankehidupan ekonomi. Mengkordinasikan pengadaan perumahan dan permukiman untuk warga yang menjadi korban bencana. dan Merencanakan penyerahan danpemindahan korban bencana ke daerah yang aman bencana.
Sumber: diolah dari Renas PB 2015-2019 (draft), BNPB, 2014
Selain pemangku kepentingan dari kementerian/lembaga seperti tersebut di atas, di dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana juga dikenal adanya jejaring dari para pemangkukepentingan untuk mengurangi risiko bencana. Walaupun tidak secara khusus diaturdalam UU No. 24/2007 tapi dalam praktiknya jejaring tersebut diakomodasi dandilaksanakan dengan membentuk forum (platform) baik di tingkat nasional, provinsi,kabupaten/ kota, berbasis masyarakat, dan tematik. Di tingkat nasional ada Platform Nasional PRB (Planas PRB), Forum Masyarakat Sipil, Forum Lembaga Usaha, Forum Perguruan Tinggi untuk PRB (FPT PRB), Forum Media, dan Forum Lembaga Internasional. Sementara di tingkat provinsi sampai saat ini sudah terbentuk sebanyak 10 Forum PRB, antara lain ada Forum PRB Nusa Tenggara Timur (NTT), Forum PRB Yogyakarta, dan Forum PRB Sumatera Barat. Selain itu ada forum yang
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
141
bersifat tematik, seperti Forum Merapi, Forum Slamet, Forum Bengawan Solo, dan lain-lain. Sedangkan di tingkat masyarakat ada Paguyuban Siaga Merapi, Jangkar Kelud, dan lain-lain. Kendala utama yang dihadapi oleh Forum PRB baik yang berbasis kawasan maupun ancaman adalah keberlanjutannya. 5.1.2 Kelembagaan dalam Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) Penyusunan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) 20152009 dilakukan melalui pembentukan 4 (empat) tim, yaitu Tim Substansi, Tim Asistensi, Tim RAN PRB dan Tim Penulis. 1. Tim Substansi Tim Substansi bertugas untuk membahas dan memutuskan substansi dalam Renas PB 2015-2019. Tim ini merupakan perwakilan 37 kementerian/lembaga (K/L) terkait penanggulangan bencana di mana masing-masing K/L diwakili oleh Unit Teknis dan Perencananaan.Sebagai Ketua Tim Substansi adalah pejabat BNPB sebagai pemegang mandat UU No. 24/2007 danWakil Ketua dari Bappenas sebagai pemegang mandat perencanaan pembangunan nasional. Anggota Tim Substansi merupakan perwakilan dari kementerian/ lembaga (K/L) terkait, antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (KemenkoKesra), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri(Kemenlu), Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kementerian Hukum dan HakAsasi Manusia (Kemenkumham), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Kehutanan (Kemenhut), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Kementerian Kelautan dan Perikanan (Kemen KP), Kementerian Pekerjaan Umum (Kemen PU), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Kementerian Lingkungan Hidup (Kemen LH), Kementerian Negera Urusan Koperasi dan UKM (Kemen KUKM), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemen PDT), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN / BAPPENAS), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), BNPB, BMKG, Badan SAR Nasional (BASARNAS), Badan Informasi Geospasial
142
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
(BIG), Badan Pelayanan Perijinan Terpadu (BPPT), Badan Pusat Statitstik (BPS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Standardisasi Nasional (BSN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN), dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). 2. Tim Asistensi Tim Asistensi bertugas untuk mendukung penyusunan Renas PB 20152019. Tim inimenyiapkan bahan yang digunakan oleh Tim Substansi. Tim ini dibentuk oleh BNPB. Anggota-anggota Tim Asistensi merupakan para para pelaku dan praktisi penanggulangan bencana yang berasal dari K/L, pemerintah daerah, ornop nasional, perguruan tinggi dan lembaga internasional. 3. Tim RAN PRB Tim RAN PRB bertugas untuk menyusun kegiatan-kegiatan spesifik (rencana aksi) yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari Renas PB. Tim RAN PRB terdiri dari para praktisi penanggulangan bencana. 4. Tim Penulis Tim Penulis bertugas untuk menuliskan dokumen Renas PB 2015-2019. Tim initerdiri dari para praktisi penanggulangan bencana yang ditunjuk oleh BNPB.
Dalam proses penyusunan Renas PB 2015-2019 ini, para pakar dari perguruan tinggi dilibatkan dalam pengkajian ancaman dankerentanan serta penilaian risiko bencana dengan hasil rencana induk (masterplan)12 bencana. Ada 12 perguruan tinggi yang dilibatkan dalam penyusunan rencana induk12 bencana, yaitu (1) Universitas Syiahkuala (tsunami), (2) Univesitas Andalas(gelombang ekstrim), (3) Institut Pertanian Bogor (kebakaran hutan danlahan), (4) Institut Teknologi Surabaya (kecelakaan industri), (5) Universitas Diponegoro (banjir), (6) Universitas Gadjah Mada (gerakan tanah atau tanah longsor), (7) UPN Veteran Yogyakarta (gunungapi), (8) Institut Teknologi Bandung(gempabumi), (9) Universitas Udayana (kekeringan), (10) Universitas Airlangga(epidemi), (11) Universitas Hasanuddin (banjir bandang), dan (12) Universitas Indonesia (cuaca ekstrim).
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
143
Selain itu, para pemangku kepentingan yang meliputi asosiasi-asosiasi pemerintah daerah,lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasiorganisasi profesi dan pihakswasta, media serta publik yang lebih luas juga telah dilibatkan dalam memberikanmasukan dalam penyusunan Renas PB.
Proses penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di daerah, khususnya provinsi, dapat mengikuti proses yang sama, yaitu melalui pembentukan 4 (empat) tim yang terdiri dari Tim Substansi, Tim Asistensi, Tim RAD PRB, dan Tim Penulis serta melibatkan pemangku kepentingan yang terkait di daerah. Penyusunan RPB dikoordinasikan oleh BPBD.BPBD menjadi ketua Tim Substansi dibantu oleh Bappeda sebagai wakil ketua Tim Substansi.Anggota Tim Substansi merupakan perwakilan dari SKPD yang terkait dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana.BPBD membentuk dan menunjuk Tim Asistensi, Tim RAD PRB, dan Tim Penulis yang terdiri dari para praktisi penanggulangan bencana di daerah.
5.1.3 Kelembagaan Penanggulangan Bencana di Daerah Di tingkat daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, dibentuk BPBD.Pembentukan ini sesuai dengan UU No. 24 tahun 2007 pasal 18 ayat 1. Pembentukan BPBD merujuk pada Perka BNPB No. 3/2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD dan Permendagri No. 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD.Sesuai dengan Permendagri No. 46/2008 Pasal 2, BPBD dibentuk di setiap provinsi dan dapat dibentuk di tingkat kabupaten/kota. Pembentukan BPBD di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota ditetapkan melalui Peraturan Daerah (Perda). Bagi daerah-daerah yang belum membentuk atau tidak membentuk BPBD, maka tugas dan fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana. Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/kota). Dengan demikian, BPBD saat ini sudah ada di semua provinsi (kecuali Provinsi Kalimantan Utara yang baru), tetapi masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD. Hal ini dapat karena berbagai hal, salah satunya mungkin karena pembentukannya belum diprioritaskan oleh Daerah, khususnya Daerah yang merasamemiliki kerawanan bencana yang rendah38. Sebagai contoh, Kabupaten Karo yang tadinya merasa bahwa pembentukan 38
BPBD Bengkulu dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
144
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BPBD tidak menjadi prioritas, namun begitu terjadi bencana meletusnya Gunung Sinabung, maka mereka segera membentuk BPBD. Seperti disebutkan di atas, bagi kabupaten/kota yang belum/tidak membentuk BPBD, maka tugas dan fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana. Pada kenyataannya antara kabupaten/kota yang satu dengan yang lain, kelembagaan kebencanaan ini dapat berbedabeda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya. Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah eselon 2, 3, atau 4. Misalnya, sebagai contoh, di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) kebencanaan menjadi bagian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas), di mana kebencanaan berada di bawah Bidang Pengamanan dan Penanggulangan Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana39, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD. Susunan organisasi BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota terdiri atas (1) Kepala; (2) Unsur Pengarah; dan (3) Unsur Pelaksana.Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris Daerah. Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD dengan tugas memberikan masukan dan saran kepada Kepala BPBD dalam penanggulangan bencana. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Unsur Pengarah menyelenggarakan fungsi: a) Perumusan kebijakan penanggulangan bencana daerah; b) Pemantauan; dan c) Evaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Unsur Pengarah terdiri dari Ketua dan Anggota, di mana ketua Unsur Pengarah dijabat oleh Kepala BPBD. Sedangkan anggota unsur pengarah berasal dari (a) lembaga/instansi pemerintah daerah, yakni dari badan/dinas terkait dengan penanggulangan bencana; (b) masyarakat professional, yakni pakar, professional, dan tokoh masyarakat di daerah. Unsur pelaksana penanggulangan bencana berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala BPBD.Unsur pelaksana dipimpin 39
BNPB dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
145
oleh seorang Kepala Pelaksana yang membantu Kepala BPBD dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi unsur pelaksana BPBD sehari-hari.Unsur pelaksana mempunyai tugas melaksanakan penanggulangan bencana secara terintegrasi yang meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Unsur pelaksana BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota menyelenggarakan fungsi (a) pengoordinasian; (b) pengkomandoan, dan (c) pelaksana. Susunan organisasi Unsur Pelaksana BPBD terdiri atas: 1) Kepala Pelaksana; 2) Sekretariat Unsur Pelaksana; 3) Bidang/Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan; 4) Bidang/Seksi Kedaruratan dan Logistik; dan 5) Bidang/Seksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal sumber daya manusia dan anggarannya.Dirasakan sumber daya manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)40.Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar Pemerinah Daerah mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah terbentuk, mau memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan sumber daya manusia maupun anggaran. Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. 5.2 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTRW Provinsi Dalam Permen PU No. 15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan RTRW Provinsi disebutkan bahwa prosedur penyusunan RTRW provinsi merupakan pentahapan yang harus dilalui dalam penyusunan RTRW provinsi sampai dengan pembahasan raperda RTRWProvinsi yang melibatkan pemangku kepentingan di tingkat kabupaten/kota termasuk masyarakat. Masyarakat yang menjadi pemangku kepentingan dalam penyusunan RTRW Provinsi terdiri atas: a. Orang perseorangan atau kelompok orang; b. Organisasi masyarakat tingkat provinsi atau yang memiliki cakupan wilayah
40
Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
146
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
layanan satu provinsi atau lebih dari satu provinsi yang sedang melakukan penyusunan RTRW Provinsi; c. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat provinsi dan provinsi yang berdekatan secara sistemik (memiliki hubungan interaksi langsung) yang dapat terkena dampak dari penataan ruang di daerah yang sedang disusun RTRW Provinsinya; dan d. Perwakilan organisasi masyarakat tingkat provinsi dan provinsi dari daerah yang dapat memberikan dampak bagi penataan ruang di daerah yang sedang disusun RTRW Provinsi-nya. Prosedur penyusunan RTRW Provinsi meliputi: a. Pembentukan tim penyusun RTRW Provinsi yang beranggotakan unsur-unsur dari pemerintah daerah provinsi, khususnya dalam lingkup Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) provinsi yang bersangkutan; b. Pelaksanaan penyusunan RTRW Provinsi; c. Pelibatan peran masyarakat di tingkat provinsi dalam penyusunan RTRW Provinsi melalui: 1) Pada tahap persiapan pemerintah telah melibatkan masyarakat secarapasif dengan pemberitaan mengenai informasi penataan ruang antara lain melalui media massa (televisi, radio, surat kabar, majalah); brosur, leaflet, flyers, surat edaran, buletin, jurnal, buku;kegiatan pameran;kegiatan kebudayaan; multimedia (video, VCD, DVD); website; dan sebagainya. 2) Pada tahap pengumpulan data peran masyarakat/organisasi masyarakat dapat lebih aktif dalam bentuk: (a) pemberian data & informasi kewilayahan yang diketahui/dimiliki datanya; (b) pendataan untuk kepentingan penatan ruang yang diperlukan; (c) pemberian masukan, aspirasi, dan opini awal usulan rencana penataan ruang; dan (d) identifikasi potensi dan masalah penataan ruang. 3) Pada tahap perumusan konsepsi RTRW provinsi, masyarakat terlibat secara aktif dan bersifat dialogis/komunikasi dua arah. Dialog dilakukanantara lain melalui konsultasi publik, workshop, FGD, seminar, dan bentuk komunikasi dua arah lainnya. d. Pembahasan raperda tentang RTRW provinsi oleh pemangku kepentingan di tingkat provinsi. Pada tahap pembahasan ini, masyarakat dapat berperan dalam bentuk pengajuan usulan, keberatan, dan sanggahan terhadap rancangan RTRW provinsi dan naskah raperda RTRW provinsi.
Seperti disebutkan di atas, penyusunan RTRW provinsi dilakukan oleh tim penyusun RTRW provinsi yang beranggotakan unsur-unsur dari pemerintah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
147
daerah provinsi, khususnya dalam lingkup Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) provinsi yang bersangkutan. Dalam Permendagri No. 50 tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah disebutkan bahwa Gubernur dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang membentuk BKPRD Provinsi, dengan susunan keanggotaan sebagai berikut (pasal 3): a. Penanggung jawab: Gubernur dan Wakil Gubernur; b. Ketua: Sekretaris Daerah Provinsi; c. Sekretaris: Kepala Bappeda Provinsi; d. Anggota: SKPD terkait penataan ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan daerah.
Salah satu tugas BKPRD dalam melaksanakan koordinasi penataan ruang di daerah adalah memaduserasikan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah dengan rencana tata ruang provinsi serta mempertimbangkan pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan melalui instrumen KajianLingkungan Hidup Strategis (KLHS) (pasal 4 ayat 1). Bila ditelaah tugas-tugas yang diamanatkan kepada BKPRD, terlihat sudah memasukkan instrumen KLHS dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan ke dalam penataan ruang, namun belum memuat tentang pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang. Padahal KLHS baru diamanatkan penyusunannya pada tahun 2009 dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), sementara penyelenggaraan penanggulangan bencana diatur melalui UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Apakah ini terkait dengan tidak masuknya BNPB/BPBD dalam keanggotaan BKPRN/BKPRD, sementara Menteri Negara Lingkungan Hidup merupakan anggota BKPRN dan Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup menjadi anggota Tim Pelaksana BKPRN sehingga koordinasi dapat berjalan lebih baik?
Namun demikian, bila dilihat pada pasal 5 Permendagri No. 50 tahun 2009, disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya BKPRD Provinsi dapat (a) menggunakan tenaga ahli yang diperlukan; (b) membentuk Tim Teknis untuk menangani penyelesaian masalah-masalah yang bersifat khusus; dan (c) meminta bahan yang diperlukan dari SKPD Provinsi. Dengan demikian sebenarnya BPBD Provinsi dapat dimasukkan dalam Tim Teknis untuk penyelesaian masalah kebencanaan, bila kebencanaan merupakan salah satu isu strategis di provinsi yang bersangkutan.
Selain itu, pada pasal 7 Permendagri No. 50 tahun 2009 disebutkan bahwa BKPRD Provinsi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh (a) Sekretariat BKPRD
148
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Provinsi; dan (b) Kelompok kerja. Kelompok kerja ini terdiri atas (Pasal 9) (a) Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang; dan (b) Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang.Pembentukan BKPRD Provinsi, Sekretariat BKPRD, dan Kelompok Kerja ditetapkan dengan Keputusan Gubernur (Pasal 12).
Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang? Ada beberapa alternatif yang dapat diambil: (1) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (2) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; atau (3) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.
Terkait dengan upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang, BKPRD perlu berkoordinasi dengan BPBD.Kedua badan ini dipimpin oleh Sekretaris Daerah Provinsi sebagai ketua, sehingga seharusnya koordinasi diantara keduanya dapat dilakukan dengan baik.Selain itu, sebagai bagian dari pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang, perlu dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi.Berarti dalam penyusunan RTRW Provinsi perlu pula melibatkan Tim Substansi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) di provinsi yang bersangkutan dengan BPBD sebagai ketua dan Bappeda sebagai wakil ketua.
Selain Sekretaris Daerah berperan sebagai ketua BKPRD dan ketua BPBD, Bappeda juga terlibat dalam kedua badan tersebut, yaitu di BKPRD sebagai sekretaris BKPRD dan ketua Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang; sedang di BPBD, Bappeda terlibat sebagai wakil ketua dalam Tim Substansi penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana.Dengan demikian, seharusnya pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang dapat dikoordinasikan dengan baik.Dalam hal ini perlu koordinasi antara Bappeda sebagai Sekretaris BKPRD dengan BPBD.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
149
5.3 Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) menetapkan bahwa penyusunan RTR KSN dilaksanakan dengan memperhatikan keterlibatan pemangku kepentingan sesuai dengan jenis tipologi KSN. Pemangku kepentingan yang harus dilibatkan yaitu: 1. Kementerian/lembaga terkait (sektor); 2. Pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota; 3. Lembaga di daerah; 4. Lembaga/organisasi internasional (apabila relevan); dan 5. Pelibatan peran masyarakat, meliputi: a. Pada tahap persiapan, pemerintah telah melibatkan masyarakat secara pasif dengan pemberitaan mengenai informasi penataan ruang melalui mediapublikasi sesuai kebutuhan; b. Pada tahap pengumpulan data, peran masyarakat dapat dilakukan lebih aktif dalam berbagai bentuk media komunikasi/interaksi sesuai dengan situasi dan kondisi tiap KSN; c. Pada tahap pengolahan dan analisis data, masyarakat dapat berperan dalam proses analisis sepanjang dibutuhkan sesuai dengan situasi dan kondisi tiap KSN; d. Pada tahap perumusan konsepsi rencana, masyarakat dapat terlibat secara aktif dan bersifat dialogis/komunikasi dua arah melalui berbagai bentuk media komunikasi/interaksi; dan e. Pada tahap penyusunan raperpres, masyarakat dilibatkan secara pasif dengan pemberitaan/informasi tentang penataan ruang melalui media publikasi sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian untuk penyusunan RTR KSN yang berbasis mitigasi bencana maka BNPB dan/atau BPBD (provinsi/kabupaten/kota) perlu dilibatkan sesuai dengan jenis tipologi KSN.Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penyusunan RTR KSN yang berbasis mitigasi bencana dapat dilihat pada Tabel 5.2.Sedangkan keterlibatan sektor berdasarkan tipologi KSN dapat dilihat pada Tabel 5.3, dengan memasukkan sektor terkait kebencanaan sebagai salah satu pemangku kepentingan di tingkat kementerian/lembaga dan lembaga terkait dengan kebencanaan di daerah sebagai pemangku kepentingan di tingkat lembaga daerah.
150
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tabel 5.2 Pemangku Kepentingan dalam Prosedur Penyusunan RTR KSN Prosedur Penyusunan RTR KSN 1. Persiapan Penyusunan RTR KSN
2.
Pengumpulan Data dan Informasi
3.
Pengolahan dan Analisis Data
4.
Perumusan Konsep RTR KSN
1.
Penyusunan Naskah Raperpres
Pemangku Kepentingan yang Dilibatkan a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB; b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk BPBD; c. lembaga di daerah; d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan e. masyarakat yang dilibatkan secara pasif dengan pemberitaan mengenai informasi penataan ruang melalui media publikasi sesuai kebutuhan a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB; b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk BPBD; c. lembaga di daerah; d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan e. masyarakat yang dilibatkan lebih aktif dalam berbagai bentuk media komunikasi/ interaksi dalam memberikan data dan informasi sesuai situasi dan kondisi tiap KSN a. Tidak ada pelibatan peran kementerian/ lembaga terkait dalam proses ini; b. Masyarakat/organisasi masyarakat dapat berperan dalam proses analisis sepanjang dibutuhkan sesuai situasi dan kondisi tiap KSN a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB; b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk BPBD; c. lembaga di daerah; d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan e. masyarakat yang dilibatkan secara aktif dan bersifat dialogis melalui berbagai bentuk media komunikasi/ interaksi a. kementerian/ lembaga terkait (sektor), termasuk BNPB; b. pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/ kota, termasuk BPBD; c. lembaga di daerah; d. lembaga/ organisasi internasional (apabila relevan); dan e. masyarakat terlibat secara pasif.
Sumber: diolah dari Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusunan RTR KSN
Lembaga daerah
Lembaga adat
Organisasi internasio-nal
2
3
4
-
lembaga terkait dengan perbatasan dan kebencanaan di daerah lembaga adat daerah
1 sektor terkait: pertahanan, keamanan, perbatasan, ekonomi, prasarana dan sarana, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan, lingkungan, kebencanaan
-
-
lembaga terkait dengan metropolitan dan kebencanaan di daerah
2 sektor terkait: pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, industri, transportasi, lingkungan, kebenca-naan
-
-
-
lembaga terkait dengan KSN dan kebencanaan di daerah
lembaga terkait dengan KAPET dan kebenca-naan di daerah -
4 sektor terkait: pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, industri, transportasi, pertambangan, lingkungan, kebencanaan
3 sektor terkait: pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, kehutanan, industri, transportasi, lingkungan, kebenca-naan
5. Kawasan warisan budaya/adat tertentu
4. Kawasan ekonomi dengan perlakuan khusus (nonKAPET)
3. KAPET
2. Kawasan perkotaan yang merupakan kawasan metropolitan
1. Kawasan pertahanan dan keamanan (kawasan perbatasan negara dan wilayah pertahanan)
Keterangan:
lembaga terkait dengan KSN dan kebenca-naan di daerah lembaga adat terkait organisasi internsional terkait
5 sektor terkait: kebudayaan, pendidikan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, industri, transportasi, lingkungan, kebenca-naan
lembaga terkait dengan KSN dan kebenca-naan di daerah
lembaga terkait dengan KSN dan kebenca-naan di daerah lembaga adat terkait organisasi internsional terkait
lembaga terkait dengan KSN dan kebenca-naan di daerah lembaga adat terkait organisasi internsional terkait
9. Kawasan ekosistem termasuk kawasan kritis lingkungan
8. Kawasan rawan bencana
lembaga adat terkait organisasi internsional terkait
8 sektor terkait: pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, kehutanan industri, transportasi, pertambangan, lingkungan, kebencanaan
7 sektor terkait: pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, kehutanan industri, transportasi, ertambangan, lingkungan, kebencanaan
Tipologi KSN 6 sektor terkait: teknologi tinggi, pendidikan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, industri, transportasi, lingkungan, kebenca-naan
7. Kawasan hutan lindung-taman nasional
6. Kawasan SDA di darat
Sumber: diolah dari Permen PU No. 15/PRT/M/2012 tentang Pedoman Penyusuna RTR KSN
Kemente-rian/ lembaga
Tipe Pemangku Kepentingan
1
No
Tabel 5.3 Keterlibatan Sektor berdasarkan Tipologi KSN*)
organisasi internsional terkait
lembaga adat terkait
lembaga terkait dengan KSN dan kebenca-naan di daerah
9 sektor terkait: kebencanaan pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana,permukiman,pertanian, kehutanan industri, transportasi, pertambangan, lingkungan, geologi, vulkanologi, sumber daya alam
lembaga adat terkait organisasi internsional terkait
10 sektor terkait: kebencanaan pertahanan, keamanan, ekonomi, prasarana dan sarana, permukiman, pertanian, kehutanan industri, transportasi, pertambangan, lingkungan, geologi, vulkanologi, sumber daya air lembaga terkait dengan KSN dan kebenca-naan di daerah
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
151
152
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
BAB 6
Arahan Untuk Implementasi
153
154
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
155
BAB 6
Arahan Untuk Implementasi Bab 6 merupakan bab terakhir dari Materi Teknis ini. Bab ini membahas hal-hal yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) dengan mempertimbangkan berbagai tantangan yang dihadapi. Dari pembahasan pada Bab 3, Bab 4, dan Bab 5 telah diidentifikasi beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN. Pada dasarnya terdapat 7 (tujuh) tantangan utama yang dihadapi, yaitu: 1. Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSNdengan perspektif pengurangan risiko bencana. 2. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/Kabupaten/Kota yang dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana (KRB) ke dalam penyusunanRTRW Provinsi dan RTR KSN. Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33 provinsi (kecuali Kalimantan Utara), serta 63 kabupaten/kota. Sementara dari status per 30 Mei 201441, sudah 25 RTRW Provinsi, 291 RTRW Kabupaten (73.12%), dan 75 RTRW Kota (80.65%) yang menjadi Perda.Tantangannya adalah bagaimana mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/Kota dan RTR KSN? 3. Kualitas RPB Provinsi/Kabupaten/Kota, apakah sudah memenuhi standar kualitas yang dibutuhkan dan muatannya lengkap dan sesuai sehingga dapat langsung digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi dan RTR KSN? 4. Kesesuaian jangka waktu RPB yang ada dengan proses penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Provinsi dan RTR KSN. Apabila pada saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang, RPB belum tersedia, maka K/L atau SKPD penyusun rencana tata ruang dapat melakukan kajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan
Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
41
156
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, bagaimana agar kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan? 5. RTRW Provinsi saat ini ada yang sudah menjadi Perda dan ada yang sudah mendapatkan persetujuan substansi. Demikian juga RTR KSN saat ini ada yang sudah menjadi Perpres dan ada yang masih dalam proses penyusunan. Bagaimana dan kapan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi dan RTR KSN tersebut harus dilakukan? 6. Ketersediaan peta dasar dan peta tematik, terutama peta dengan skala besar, sebagai dasar pelaksanaan Kajian Risiko Bencana yang akan diintegrasikan ke dalam muatan RTRW Provinsi dan RTR KSN. 7. Keberadaan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang penataan ruang dan penanggulangan bencana di daerah, BKPRD dan BPBD, dalam mendukung pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi yang meliputi: a. Keberadaan lembaga BKPRD dan BPBD di daerah; b. Kapasitas BKPRD dan BPBD yang ada; dan c. Penguatan BKPRD terkait kebencanaan. Relevansi kelima tantangan tersebut dalam implementasi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN dapat dilihat pada Tabel 6.1. Tabel 6.1 Tantangan dalam Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana Ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN No
Tantangan
1
Kelengkapan peraturan perUUan dan NSPK Ketersediaan RPB Kualitas RPB Kesesuaian jangka waktu RPB Langkah-langkah pengintegrasian Ketersediaan peta dasar dan peta tematik Kelembagaan: Keberadaan lembaga BKPRD dan BPBD; Kapasitas BKPRD dan BPBD yang ada; Penguatan BKPRD terkait kebencanaan.
2 3 4 5 6 7
Sumber: Hasil Analisis
RTRW Provinsi √
RTR KSN
Penanggungjawab Utama
√
BKPRN, BNPB
√ √ √ -
√ √ √ √ √
BPBD Kabupaten/Kota, BNPB BNPB/BPBD BKPRN/BKPRD, BNPB/BPBD BKPRN/BKPRD BKPRN
-
√
BKPRN, BNPB
√
√
√
√
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
157
6.1 Arahan Implementasi Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN melalui Integrasi Dokumen/Proses 6.1.1 Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW Provinsi) Salah satu tantangan yang dihadapi pada saat akan mengimplementasikan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruang adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Provinsi. Saat ini telah ada Rencana Penanggulangan Bencana untuk 33 Provinsi (kecuali Kalimantan Utara) untuk periode 2012-2016.Sedangkan dari status Perda RTRW Provinsi per 30 Mei 201442, sudah 25 provinsi yang telah mempunyai perda RTRW Provinsi dengan periode yang berbeda-beda sesuai waktu penyusunannya. Sementara 8 (delapan) provinsi sisanya sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU. Untuk melihat kesesuaian jangka waktu maka dilakukan perbandingan antara jangka waktu RPB dengan waktu peninjauan kembali ke-25 RTRW yang sudah Perda tersebut. Lihat Tabel 6.2. Tabel 6.2 Kesesuaian antara Jangka Waktu RPB Provinsi dengan Waktu Peninjauan Kembali Perda RTRW Provinsi No
Perda RTRW Provinsi
Periode
1 2
Bali, Sulawesi Selatan Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat Banten, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, Jawa Timur Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara
2009-2029
Peninjauan Kembali 1 2014
2010-2030
2015
x
2011-2031
2016
x
2012-2032
2017
2017-2022
2013-2033
2018
2017-2022
2014-2034
2019
2017-2022
3 4 5
6
Acuan RPB 2012-2016
Sumber: Hasil Analisis Keterangan: x RPB yang ada tidak dapat menjadi acuan karena jangka waktunya sudah hampir habis
42 Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
158
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Dengan melakukan perbandingan tersebut, dapat disimpulkan hal-hal berikut ini: a. Untuk Provinsi Bali dan Sulawesi Selatan, pada saat peninjauan kembali tahun 2014 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari RPB periode 2012-2016 yang sudah ada saat ini. Namun, pengintegrasian hanya dapat dilakukan untuk periode 2014-2016 saja. Sementara periode 2017-2019 tidak dapat dilakukan pengintegrasian karena belum ada RPB periode berikutnya (2017-2022) pada saat peninjauan kembali. b. Untuk Provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Barat, pada saat peninjauan kembali tahun 2015 tidak dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana karena periode RPB yang ada sudah hampir selesai, tinggal 1 tahun terakhir, sementara RPB yang baru belum disusun. c. Untuk Provinsi Banten, Nusa Tenggara Timur, dan Gorontalo, pada saat peninjauan kembali tahun 2016 tidak dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana karena periode RPB yang ada sudah selesai sementara RPB yang baru belum ada. d. Untuk Provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, DKI Jakarta, dan Jawa Timur, pada saat peninjauan kembali tahun 2017 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari RPB periode 2017-2022 yang baru disusun. e. Untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jambi, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat, pada saat peninjauan kembali tahun 2018 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari RPB periode 2017-2022 yang telah disusun. f. Untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara, pada saat peninjauan kembali tahun 2019 dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dari RPB periode 20172022 yang sudah ada. Namun, pengintegrasian hanya dapat dilakukan untuk periode 2019-2022 saja. Sementara periode 2023-2024 tidak dapat dilakukan pengintegrasian karena belum ada RPB periode berikutnya (2023-2028) pada saat peninjauan kembali. Sehubungan dengan isu kesesuaian jangka waktu RPB dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTRW Provinsi, seperti tersebut di
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
159
atas, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi dapat dilakukan antara lain melalui langkah-langkah berikut: 1. Integrasi pada saat proses penyusunan RTRW Provinsi Untuk 8 (delapan) provinsi yang penyusunan RTRWnya sudah mendapatkan persetujuan substansi dari Menteri PU, maka sebaiknya segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana dengan mengacu pada RPB Provinsi 2012-2016 sebelum RTRW menjadi Perda. Hal ini signifikan karena 6 (enam) dari 8 provinsi tersebut memiliki kelas risiko tinggi, dan hanya Provinsi Sumatera Selatan dan Kepulauan Riau yang memiliki kelas risiko sedang. Lihat Tabel 6.3.Bila dilihat dari IRBI 2013, maka dari 33 provinsi yang ada, sebanyak 26 provinsi memiliki kelas risiko tinggi, dan hanya 7 provinsi yang memiliki kelas risiko sedang, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Gorontalo, dan Papua. Tabel 6.3 Indeks Risiko Bencana 8 Provinsi yang Belum Memiliki Perda RTRW Provinsi No 1 2 3 4 5 6 7 8
Provinsi Sumatera Utara Riau Kepulauan Riau Sumatera Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Tenggara
Skor 150 147 116 142 157 152 165 169
Kelas Risiko Tinggi Tinggi Sedang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi
Sumber: Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) 2013
Apabila pengintegrasian dilakukan menunggu sampai dilakukan peninjauan kembali akan terlalu lama.Mengingat hampir semua provinsi tersebut masuk dalam kelas risiko tinggi, maka sebaiknya pengintegrasian dilakukan segera. Mengingat RPB Provinsi yang ada mempunyai jangka waktu 20122016, sementara sekarang sudah tahun 2014, maka hal ini akan menjadi masalah. Alternatifnya adalah: a. Pengintegrasian segera dilakukan walau hanya untuk 2 tahun terakhir (2014-2016);
160
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
b. Pengintegrasian dilakukan setelah RPB yang baru disusun (jangka waktu 2017-2022); atau c. SKPD segera menyusun pengkajian risiko bencana yang baru berkoordinasi dengan BPBD dengan jangka waktu yang disesuaikan dengan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW.
Untuk saat ini mungkin dapat dilakukan kombinasi dari (a) dan (c), dengan pertimbangan berikut ini: a. Peta Kerawanan dan peta ancaman bersifat jangka panjang, sehingga peta kerawanan dan peta ancaman yang ada dapat digunakan untuk acuan perumusan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta indikasi arahan peraturan zonasi; b. Sedangkan peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko bersifat jangka menengah, sehingga perlu diperbaharui oleh SKPD sesuai waktu berkoordinasi dengan BPBD. Peta kerentanan, peta kapasitas, dan peta risiko yang telah diperbaharui digunakan untuk acuan perumusan indikasi program utama sebagai arahan pemanfaatan ruang untuk 5 tahun berikutnya. c. Sebelum waktu peninjauan kembali, sebaiknya RPB yang baru sudah disusun dengan memperhatikan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi tersebut.
Sehubungan dengan upaya pengurangan risiko bencana ini, maka BKPRN perlu mempertimbangkan untuk memasukkan kajian risiko bencana menjadi salah satu muatan yang harus ada dalam rencana tata ruang, dan dikaji kualitasnya pada saat proses persetujuan substansi. Seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). 2. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTRW Provinsi Untuk 25 RTRW Provinsi yang sudah menjadi Perda: a. Pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali RTRW tersebut. b. Untuk itu, diperlukan penyesuaian periode antara RPB dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi.Mengingat adanya keterbatasan kapasitas BNPB/BPBD, maka penyesuaian penyusunan RPB ini dilakukan dengan pemrioritasan berdasarkan kelas risikonya, semakin tinggi kelas risiko provinsi yang bersangkutan, semakin diprioritaskan penyusunannya. c. Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan, maka SKPD, berkoordinasi dengan BPBD, menyiapkan pengkajian risiko bencana secara mandiri
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
161
yang jangka waktunya disesuaikan dengan waktu peninjauan kembali RTRW Provinsi. Pengkajian risiko bencana secara mandiri ini dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Pengintegrasian pengurangan risiko bencana memiliki fungsi strategis dan berkaitan dengan peninjauan kembali rencana tata ruang. Peninjauan kembali rencana tata ruang dilakukan 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun. Namun, PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang pasal 82 (2) menetapkan bahwa peninjauan kembali rencana tata ruang dapat segera dilakukan tanpa menunggu 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa (a) bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan; (b) perubahan batas territorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang; atau (c) perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undangundang. BKPRN perlu membahas hal tersebut dan mempertimbangkan apakah peninjauan kembali dapat dilakukan segera untuk mengantisipasi kejadian bencana alam dan sebagai upaya pengurangan risiko bencana, terutama di daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi.Hal ini sangat signifikan mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan 204 juta (80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pemrioritasan berdasarkan kelas risiko suatu daerah.Semakin tinggi kelas risikonya semakin diprioritaskan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya untuk dapat segera dilakukan. Saat ini, dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia 2013, kabupaten/kota dibedakan menjadi kelas risiko tinggi, sedang, dan rendah, dimana 322 kabupaten/ kota (65%) memiliki kelas risiko tinggi, dan 174 kabupaten/kota (35%) memiliki kelas risiko sedang, dan tidak ada yang memiliki kelas risiko rendah. Dengan demikian perlu dilakukan perumusan ulang kelas risiko bencana yang lebih rinci untuk kebutuhan perumusan prioritas tersebut di atas.Penyusunan kajian risiko bencana (KRB) didasarkan pada tiga hal utama, yakni: a) jumlah jiwa terpapar; b) kerugian (rupiah); dan c) kerusakan lingkungan (ha). Ketiganya merupakan komponen penyusun KRB yang kemudian diterjemahkan ke dalam kelas risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah sesuai dengan dampak yang terjadi.Berdasarkan ketiga komponen tersebut dapat dirumuskan ulang kelas risikonya yang lebih rinci, untuk kebutuhan perumusan prioritas.
162
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Apabila RTRW sedang dalam proses penyusunan, maka pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dapat segera diintegrasikan. Namun, bagaimana bila RTRW sudah menjadi Perda? Saat ini 25 RTRW Provinsi, 291 RTRW Kabupaten (73,12%), dan 75 RTRW Kota (80,65%) sudah menjadi Perda. Apabila pengarusutamaan pengurangan risiko bencana harus segera diintegrasikan ke dalam RTRW yang sudah menjadi Perda, maka hal ini tidak mudah bagi Pemerintah Daerah.Karena tidak mudah membuat Perda, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat non-teknis. Dalam Lokakarya Materi Teknis – Bappenas-SCDRR II yang diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2014, ada usulan dari Daerah, bahwa untuk RTRW yang sudah Perda, sebaiknya kajian risiko bencana dilakukan dengan memasukkannya sebagai addendum. Apabila perubahan dibuat dalam bentuk addendum, maka tidak perlu melibatkan DPRD lagi. Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa upaya pengurangan risiko bencana tidak hanya terbatas pada tahap analisis, yaitu dengan melakukan kajian risiko bencana, tetapi hasil analisis tersebut harus diterjemahkan ke dalam kebijakan, strategi, rencana struktur ruang dan rencana pola ruang, serta rencana pemanfaatan ruang secara sinkron dengan alur yang jelas. Dengan demikian perlu dipertimbangkan apakah perubahan tersebut cukup dituangkan dalam addendum?Hal-hal ini perlu dibahas dan ditetapkan oleh BKPRN agar pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan isu-isu yang harus dihadapi oleh Daerah.
Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan oleh BKPRN bila hendak menetapkan perlunya Daerah segera mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam RTRW adalah ketersediaan konsultan yang paham dan siap untuk melakukan hal tersebut. Seperti diketahui, penyusunan RTRW di Daerah umumnya dilakukan oleh pihak ketiga (konsultan). Dengan demikian, apabila pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PRB) ke dalam rencana tata ruang (RTR) akan dilaksanakan, harus dipastikan terlebih dulu bahwa sudah ada konsultan-konsultan yang siap dan dapat melakukannya. Jangan sampai Daerah sudah menganggarkan kegiatan tersebut, tetapi ternyata konsultannya belum ada yang siap untuk melakukan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam RTR.
6.1.2 Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) Sama seperti pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam RTRW Provinsi, tantangan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
163
adalah kesesuaian jangka waktu antara Rencana Penanggulangan Bencana yang ada dengan waktu penyusunan atau peninjauan kembali RTR KSN. 1. Integrasi pada saat proses penyusunan RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) Untuk RTR KSN yang belum menjadi Perpres atau masih dalam proses penyusunan, perlu segera dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana. Sehubungan dengan itu perlu ada koordinasi antara BKPRN dengan BNPB/BPBD dalam mengintegrasikan kajian risiko bencana ke dalam penyusunan RTR KSN, dengan memperhatikan jangka waktunya. a. Untuk RTR KSN yang sudah dalam proses penyusunan: 1. Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan jangka waktunya sesuai, maka kajian risiko bencana dapat segera diintegrasikan ke dalam penyusunan RTR KSN; 2. Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada atau jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD untuk: (a) Segera diintegrasikan ke dalam proses penyusunan RTR KSN; atau (b) Diintegrasikan pada saat peninjauan kembali RTR KSN tersebut, tergantung sudah seberapa jauh tahap penyusunan RTR KSN tersebut, misal Raperpes. Pengkajian dilakukan oleh K/L dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. b. Untuk RTR KSN yang belum disusun, maka dalam penyusunannya nanti langsung dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana sesuai dengan kebutuhan masing-masing tipologi. 2. Integrasi pada saat peninjauan kembali RTR Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN) Untuk RTR KSN yang telah menjadi Perpres, maka pengintegrasian kajian risiko bencana dilakukan pada saat peninjauan kembali: i. Cek apakah RPB Provinsi/Kabupaten/Kota sudah ada dan apakah jangka waktunya sesuai? Bila sesuai, maka dapat langsung diintegrasikan.
164
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
ii. Bila RPB Provinsi/Kabupaten/Kota belum ada, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. iii. Bila jangka waktunya tidak sesuai, maka K/L melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BPBD, dengan memperhatikan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang sudah ada.
BKPRN perlu membahas dan menetapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN, baik yang dalam proses penyusunan maupun yang sudah Raperpres, dan Perpres.
6.2 Arahan Penguatan Muatan 6.2.1 Percepatan Ketersediaan dan Penanggulangan Bencana (RPB)
Peningkatan
Kualitas
Rencana
1. Ketersediaan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/ Kabupaten/Kota Saat ini RPB yang telah ada adalah untuk 33 provinsi (kecuali Kalimantan Utara) serta 63 kabupaten/kota.Apabila kegiatan upaya penyusunan RPB pada tingkat kabupaten/kota dilanjutkan serta diagendakan secara teratur dan konsisten setiap tahun, maka sekitar 275 kabupaten/kota lagi akan selesai kurang lebih dalam 9 tahun lagi (33 kabupaten/kota per tahun)43.
Sementara saat ini, status per 30 Mei 2014,sudah 25 provinsi yang mempunyai perda RTRW Provinsi (75%), 290 kabupaten memiliki perda RTRW Kabupaten (72.9%), dan 75 kota memiliki perda RTRW Kota (80.6%)44. Saat peninjauan kembali tentunya diharapkan dapat dilakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW tersebut. Namun hal ini akan menjadi masalah bila pada saat peninjauan kembali tersebut ternyata RPB Kabupaten/Kota tersebut belum tersedia.
43 BNPB, Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2015-2019, draft 3, halaman 78. 44 Rekapitulasi Progress Penyelesaian RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum, Status 30 Mei 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
165
Di sini terlihat adanya perbedaan kecepatan penyusunan RTRW Kabupaten/Kota dengan RPB Kabupaten/Kota.Mungkin 3-4 tahun lagi semua Kabupaten/Kota sudah memiliki Perda RTRW, sementara dibutuhkan 9 tahun lebih untuk menyelesaikan semua RPB Kabupaten/ Kota. Dengan demikian akan sulit untuk menyusun RTRW Kabupaten/Kota dengan perspektif pengurangan risiko bencana, bila RPB belum tersedia. Perkiraan penyelesaian penyusunan RPB Kabupaten/Kota selama 9 tahun itu jika BNPB melakukan dukungan langsung ke daerah.Namun saat ini, BNPB sudah tidak lagi melakukan dukungan langsung ke daerah, tetapi melakukan bimbingan teknis ke daerah di seluruh wilayah kabupaten/ kota agar daerah dapat melakukan kajian risiko bencana sendiri. Saat ini baru ada 2 (dua) daerah yang telah menyelesaikan bimbingan teknis, yakni Jawa Barat (dilakukan di Bandung) dan Sumatera Utara (dilakukan di Medan).Harapannya semua kabupaten/kota dapat tercakup semuanya dalam bimbingan teknis tersebut, sehingga RPB dapat segera disusun.
Selain itu, penyusunan RPB di daerah saat ini juga sudah banyak mendapat dukungan dari donor, misalnya seluruh kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Utara mendapat dukungan dari JICA, demikian juga NTB.NTT mendapat dukungan dari OXFAM, dan IOM turut mendukung 5 kabupaten di Provinsi NAD serta 7 kabupaten di Provinsi Jawa Barat.Sehingga bila diakumulasi, sampai saat ini penyusunan RPB telah dilakukan pada lebih dari 80 kabupaten/kota.
Namun demikian, hal tersebut masih menjadi tantangan utama yang dihadapi yaitu bagaimana mempercepat penyusunan RPB Kabupaten/ Kota yang berkualitas sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Kabupaten/ Kota.Semua hal tersebut di atas menjadi signifikan dalam penyusunan RTR KSN, karena pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR KSN dilakukan berdasarkan RPB Provinsi/Kabupaten/Kota yang ada, kecuali untuk tipologi tertentu yang membutuhkan kajian risiko bencana secara khusus (seperti KSN rawan bencana).
Hal ini menjadi tantangan utama BNPB dalam: a. Memperkuat BPBD Provinsi sehingga dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan memfasilitasi BPBD Kabupaten/Kota; dan b. Memperkuat BPBD Kabupaten/Kota sehingga dapat menyusun RPB sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang.
166
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Apabila pada saat hendak menyusun atau melakukan peninjauan kembali RTRW/RTR KSN, RPB belum ada, memang dimungkinkan bagi K/L atau SKPD untuk melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Namun bila hal ini dilakukan, maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan, yaitu: a. Tugas BPBD akan berkurang. Dalam Permendagri No. 46 tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD pasal 4 disebutkan bahwa BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten/Kota mempunyai tugas, antara lain, menetapkan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana; serta menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. Sementara dalam Perka BNPB No. 3 tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD (Bab 4) disebutkan bahwa koordinasi BPBD dengan instansi atau lembaga dinas/badan secara horizontal pada tahap prabencana antara lain dilakukan dalam bentuk penyusunan kebijakan dan strategi penanggulangan bencana, penyusunan perencanaan penanggulangan bencana, penentuan standar kebutuhan minimum, pengurangan risiko bencana, dan pembuatan peta rawan bencana. Bila hal ini berlanjut terus, dikhawatirkan tugas BPBD menyempit hanya fokus pada hal-hal operasional saat tanggap darurat dan pascabencana. Padahal secara struktur organisasi, BPBD memiliki bidang pencegahan dan kesiapsiagaan. b. Kualitas RPB yang dihasilkan. Bila K/L atau SKPD melakukan sendiri pengkajian risiko bencana, apakah dapat dijamin bahwa kualitas yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang ditetapkan BNPB? Apakah BNPB sudah mempunyai mekanisme yang baku untuk menjamin kualitas setiap RPB (dan KRB) yang disusun oleh setiap BPBD maupun SKPD dan K/L agar memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan?
2. Kualitas Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Provinsi/ Kabupaten/Kota Sehubungan dengan masalah kualitas ini, perlu dilakukan pembahasan terhadap RPB yang ada oleh BKPRN/BKPRD dengan BNPB/BPBD untuk mengkaji kualitas RPB tersebut serta kesesuaian muatannya untuk dapat diintegrasikan ke dalam RTRW Provinsi.
Penyusunan RPB dilakukan dengan mengacu pada Perka BNPB No. 4 tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, sementara kajian risiko bencana dilakukan dengan mengacu
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
167
pada Perka BNPB No. 2 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Pertanyaannya adalah dengan acuan yang sama dan disusun oleh masing-masing BPBD dengan fasilitasi dari BNPB, apakah RPB yang dihasilkan memiliki kualitas yang standar atau berbeda-beda untuk setiap provinsi? Apabila kualitas RPB yang dihasilkan dapat berbeda antara satu provinsi dengan yang lain, maka salah satu tahap yang harus dilakukan sebelum melakukan pengintegrasian kajian risiko bencana ke dalam muatan RTRW Provinsi adalah pengkajian terhadap kualitas RPB itu sendiri. Dalam pengkajian kualitas RPB ini juga dilihat apakah muatan kajian risiko bencana dalam RPB ini sesuai dengan kebutuhan RTRW Provinsi?
Sehubungan dengan itu, dibutuhkan mekanisme yang dapat menjamin kualitas RPB yang disusun oleh setiap daerah (provinsi, kabupaten, kota), baik oleh BPBD maupun SKPD terkait. Selain itu, ada/tidaknya dan kualitas kajian risiko bencana ini sebaiknya juga menjadi muatan yang dikaji pada saat proses persetujuan substansi dalam penyusunan rencana tata ruang. Perspektif pengurangan risiko bencana tersebut harus terlihat jelas alurnya mulai dari tahap analisis sampai dengan perumusan kebijakan, rencana, dan program, sehingga pengurangan risiko bencana menjadi muatan yang telah terintegrasi di dalam rencana tata ruang.
6.2.2 Percepatan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik Ketersediaan peta dasar untuk pelaksanaan pengkajian risiko bencana yang akan diintegrasikan ke dalam muatan rencana tata ruang merupakan tantangan yang harus segera ditangani.
Ketersediaan peta-peta ini merupakan tantangan yang besar, terutama untuk peta-peta skala besar. Saat ini peta-peta yang sudah ada, sebagai berikut45: - Skala 1:250.000 sudah ada untuk semua provinsi; - Skala 1:50.000 sudah ada untuk semua kabupaten; - Skala 1:25.000 sudah ada untuk Jawa-Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi46; - Skala 1:10.000 sedang dibuat untuk kota-kota di P. Jawa.
Sedangkan peta rupabumi untuk skala yang lebih besar, yaitu 1:5.000, 1:2.000, dan 1:1.000 belum tersedia. Peta-peta skala besar ini digunakan untuk penyusunan rencana rinci (RTR KSN/P/K dan RDTR).
45 BIG dalam Diskusi Terarah Materi Teknis – SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014. 46 BIG dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas, 30 Juni 2014.
168
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
Tantangannya adalah bagaimana agar Badan Informasi Geospasial (BIG) dapat memenuhi kebutuhan tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama? Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh BIG untuk menyelesaikan semua peta tersebut? Bagaimana caranya untuk mempercepat penyelesaian semua peta tersebut? Anggaran adalah salah satu kendala utama, di samping ketersediaan SDM dengan kapabilitas yang dibutuhkan.
Tantangan ketersediaan peta, tidak hanya pada ketersediaan peta dasar tetapi juga peta tematik.Peta kerawanan dan peta ancaman dibuat oleh K/L atau SKPD terkait.BNPB tidak menyusun sendiri peta bahaya/ancaman, tetapi menggunakan peta yang disusun oleh K/L atau SKPD terkait.Berdasarkan peta kerawanan tersebut disusun peta ancaman/bahaya (hazard). Peta ancaman baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Berdasarkan peta ancaman/ bahaya, disusun peta risiko. Jadi langkah-langkahnya adalah: (1) tersedianya peta dasar; yang digunakan sebagai dasar penyusunan (2) peta bahaya; yang kemudian menjadi dasar bagi perumusan (3) peta risiko. Hal tersebut juga menjadi tantangan tersendiri karena peta bahaya baru dapat dibuat bila ada peta dasar. Sedangkan peta dasar yang lengkap baru ada untuk peta skala 1:250.000 dan 1:50.000, sementara peta skala 1:25.000 baru ada untuk JawaBali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Sedangkan peta tematik (peta kerawanan) yang siap dan dapat digunakan untuk menyusun peta bahaya, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.00047. Permasalahannya adalah bagaimana menyusun peta bahaya skala 1:50.000 bila yang tersedia baru peta tematik skala 1:250.000?
Pembuatan peta bahaya harus diprioritaskan pembuatannya baik oleh K/L maupun Daerah. Karena peta risiko baru dapat dibuat bila peta bahaya sudah ada. Permasalahan pembuatan peta bahaya ini belum terselesaikan karena peta bahaya baru dapat dibuat kalau peta dasarnya sudah ada.
Tantangan lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa kebencanaan di daerah tidak termasuk urusan wajib, sehingga sering tidak dilakukan penganggaran untuk aspek-aspek kebencanaan48. Selain itu, kewajiban Daerah untuk membuat peta bahaya mengalami kesulitan karena adanya ketidaksesuaian tupoksi SKPD. Di daerah ada Dinas ESDM. Tapi sekarang Dinas ESDM tidak memiliki bidang geologi, sehingga kesulitan untuk membuat peta bahaya karena tidak ada tupoksinya49. Dulu tupoksi terkait kebencanaan ada di Dinas
BNPB, Ibid. Ibid. 49 Badan Geologi, Ibid. 47 48
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
169
ESDM.Tetapi sejak ada BPBD, Dinas ESDM tidak lagi melakukan perencanaan terkait kebencanaan; ternyata BPBD juga tidak melakukan perencanaan atau membuat peta, tetapi lebih fokus pada tanggap darurat50. BPBD diharapkan tidak hanya responsif terhadap bencana yang terjadi, tetapi juga aktif dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana. Untuk itu BPBD perlu diperkuat.
50 51 52
Sehubungan dengan pembuatan peta bahaya, diharapkan Daerah paling tidak dapat membuat peta bahaya gerakan tanah, karena bencana ini paling sering terjadi dibandingkan bencana lainnya51.
Tantangan yang juga harus dihadapi adalah belum tersedianya peta skala 1:5.000 untuk penyusunan RDTR.Tidak mungkin melakukan rencana yang detil tetapi petanya tidak sesuai (bukan peta skala 1:5.000). Sementara peta yang tersedia saat ini baru peta dasar skala 1:50.000 dan 1:25.000 serta peta tematik (kerawanan) geologi skala 1:250.000, sehingga tidak dapat digunakan untuk menyusun RDTR.Padahal selain menyusun RTRW, Daerah juga harus menyusun RDTR dengan peta skala 1:5.000. Informasi di peta skala kecil (1:50.000 atau 1:25.000) tidak dapat digunakan untuk peta skala besar (1:5.000) karena informasinya dapat menjadi tidak tepat (presisi).Peta yang ada harus disesuaikan dengan rencana yang ada, disesuaikan dengan kondisi di daerah.Melalui Rakornas BKPRD, Daerah dihimbau untuk mengalokasikan anggaran untuk penyusunan peta skala rinci (1:5.000) dengan fasilitasi BIG, untuk penyusunan RDTR52. Namun terkait dengan hal tersebut, ada pertanyaan dari Daerah, yaitu apabila Daerah harus membuat peta-peta tersebut sendiri, bagaimana dengan kualitasnya, khususnya terkait SDM dan anggarannya?
Dalam konteks pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, dapat dilakukan langkah-langkah berikut ini: a. Membuat pemrioritasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan pembuatannya. Prioritas utama adalah untuk membuat peta skala 1:25.000 untuk kota-kota dengan kelas risiko tinggi, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasan-kawasan dalam kabupaten/ kota yang memiliki kelas risiko tinggi. Hal ini juga bukan merupakan hal yang mudah karena berdasarkan IRBI 2013 terdapat 322 kabupaten/kota (65%) dengan kelas risiko tinggi, sementara sisanya 174 kabupaten/kota
Bappeda Kabupaten Bogor, Ibid. Ibid. Kementerian Dalam Negeri, Ibid.
170
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
(35%) memiliki kelas risiko sedang. Kabupaten/kota dengan kelas risiko semakin tinggi, perlu semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya. Contohnya, Kabupaten Cianjur yang memiliki kelas risiko tertinggi di Indonesia dengan skor 250. Perlu ada kesepakatan antara BNPB dan BKPRN mengenai kabupaten/kota dan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan petanya. b. Perlu adanya koordinasi antara BKPRN dan BNPB dalam menetapkan kawasan-kawasan yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan rawan bencana. c. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa petapeta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. Dan sementara ini peta yang ada, misalnya dari Badan Geologi, baru ada peta skala 1:250.000.
Untuk daerah yang belum memiliki peta dasar, maka dapat menggunakan Citra Tegak Resolusi Tinggi53. Citra Tegak Resolusi Tinggi ini memiliki kedetilan skala submeter. Peta Citra Tegak Resolusi Tinggi tersebut masih memiliki banyak kesalahan, sehingga perlu dikoreksi dulu, yaitu dengan koreksi: i. Radiometrik, koreksi dilakukan oleh LAPAN; dan ii. Geometrik, koreksi dilakukan oleh BIG. Peta yang telah dikoreksi dapat digunakan oleh daerah sebagai peta dasar. Pemerintah Daerah dapat mengirim surat ke BIG untuk meminta agar penyusunan peta untuk daerahnya diprioritaskan.
6.3 Arahan Penguatan Kelembagaan 6.3.1 Kerangka Regulasi Kelengkapan peraturan perundang-undangan, standar, pedoman, dan manual di bidang penataan ruang yang dapat dijadikan acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi yang berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana) merupakan tantangan yang perlu segera ditangani. Saat ini peraturan perundang-undangan yang ada sudah banyak, namun masih berjalan sendiri-sendiri. Untuk penyusunan rencana tata ruang mengacu pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan peraturan turunannya, sedangkan untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana, termasuk penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), mengacu pada UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan peraturan 53 BIG, dalam Diskusi Terarah Materi Teknis - SCDRR II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
171
turunannya. Saat ini belum ada peraturan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penyusunan rencana tata ruang.Peraturan yang menjadi acuan dalam penyusunan rencana tata ruang, dalam hal ini RTRW Provinsi dan RTR KSN, adalah Permen PU No. 15/PRT/M/2009 dan Permen PU No. 15/PRT/M/2012. Namun peraturan tersebut belum secara jelas memberikan arahan bagi penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN yang berbasis pengurangan risiko bencana (mitigasi bencana).Namun demikian, perlu dikemukakan pula bahwa saat ini Ditjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum sedang menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (sudah pada tahap legal drafting). Sehubungan dengan hal tersebut, maka langkah-langkah berikut ini dapat dijadikan alternatif solusi: 1. Diperlukan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. Saat ini sudah terdapat upaya-upaya untuk merumuskan pedoman tersebut, antara lain: a. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri bekerja sama dengan Georisk Jerman dan Badan Geologi yang sedang menyusun pedoman penyusunan rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana, khususnya bencana geologi; b. Upaya yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum, berkoordinasi dengan BNPB, yang telah menyusun Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (SPR-KRB) dan saat ini telah mencapai proses legal drafting; dan c. Upaya yang dilakukan oleh Bappenas dengan dukungan SCDRR II yang tengah menyusun Materi Teknis Revisi Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang berdasarkan Perspektif Pengurangan Risiko Bencana, khususnya untuk RTRW Provinsi dan RTR Kawasan Strategis Nasional. 2. Apabila daerah akan melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka sebaiknya pada saat melakukan penyusunan atau peninjauan kembali RTRW sudah tersedia pedoman yang dapat digunakan sebagai acuan. Pedoman tersebut harus jelas dan dapat diimplementasikan. Oleh karenanya, sebaiknya dibuat satu pedoman saja mengenai upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang yang mengkombinasikan antara pedoman yang telah dibuat oleh Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri.Selain itu perlu dipertimbangkan bahwa pedoman tersebut tidak hanya menjadi
172
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi dan RTR KSN, tetapi juga rencana tata ruang lainnya (RTRW Kabupaten dan RTRW Kota, serta rencana rinci lainnya).
Sehubungan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang ini, ada kekhawatiran dari Daerah.Pada dasarnya Daerah hanya melaksanakan arahan dari Pemerintah Pusat.Namun sebaiknya harus ada integrasi antara arahan-arahan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat sehingga tidak membingungkan buat Daerah.Salah satunya adalah antara Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri.Sudah saatnya norma-norma yang ada di Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Dalam Negeri diintegrasikan dan disinkronkan, sehingga tidak membingungkan buat daerah.
3. Agar dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L dalam melakukan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, maka pedoman tersebut harus memiliki kerangka regulasi yang cukup kuat. Alternatif yang dapat dilakukan: a. Membuat Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB) tentang Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang. SEB ini dibuat agar pedoman pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam RTR dapat segera disusun dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah maupun K/L. Dengan demikian pengarusutamaan PRB dapat segera dilakukan. SEB ini bersifat sementara. b. Pada saat yang sama dimulai proses penyusunan Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Pengurangan Risiko Bencana dalam Rencana Tata Ruang. Dengan demikian pedoman tersebut nantinya memiliki dasar hukum yang lebih kuat. 4. Materi Teknis yang disusun ini dapat digunakan sebagai masukan dalam penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang tersebut di atas. Muatan Materi Teknis ini telah melalui pembahasan dalam (a) diskusi bilateral dengan Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana; (b) diskusi terarah untuk mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan terkait; dan (b) lokakarya untuk diseminasi dan mendapatkan masukan dari pemangku kepentingan yang lebih luas. Dengan demikian diharapkan muatannya sudah sesuai dengan kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
173
memberikan masukan bagi penyusunan Pedoman Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang.Selain itu dalam penyusunan Materi Teknis ini juga sudah dengan memperhatikan Standar Penataan Ruang di Kawasan Rawan Bencana (draft) yang sedang disusun oleh Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga muatannya dapat saling melengkapi. 6.3.2 Keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hingga bulan Februari 2014 telah terbentuk 436 BPBD yang terdiri dari 33 BPBD Provinsi dan 403 BPBD Kabupaten/Kota (81% dari 497 kabupaten/ kota).Berarti masih ada 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD. Untuk kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD,tugas dan fungsi penanggulangan bencana dilaksanakan oleh SKPD yang mempunyai fungsi yang bersesuaian dengan fungsi penanggulangan bencana. Di kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD, bentuk kelembagaan kebencanaan dapat berbeda-beda, baik dari segi SKPD penanggungjawab maupun eselonnya. Di suatu kabupaten/kota kelembagaan kebencanaan ini dapat berada di bawah eselon 2, 3, atau 4. Misalnya, sebagai contoh, di Kabupaten Grobogan (Jawa Tengah) kebencanaan menjadi bagian dari Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat(Kesbanglinmas), di mana kebencanaan berada di bawah Bidang Pengamanan dan Penanggulangan Bencana. Mengingat bahwa hasil kajian BNPB menunjukkan bahwa 204 juta (sekitar 80%) rakyat Indonesia tinggal di kawasan rawan bencana54, maka sebaiknya semua kabupaten/kota memiliki BPBD. Sehubungan dengan hal tersebut, prioritas utama adalah menyegerakan pembentukan BPBD di 94 kabupaten/kota yang belum memiliki BPBD saat ini. Setelah BPBD terbentuk, tantangan berikutnya adalah masalah kapasitas BPBD. Bila dibandingkan dengan BKPRD yang sudah terbentuk cukup lama, maka kapasitas BPBD merupakan salah satu isu yang penting diperhatikan. Isu kapasitas ini antara lain terkait dengan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta anggaran yang dimiliki oleh BPBD. Kapasitas BPBD perlu diperkuat antara lain agar mampu menyusun Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sendiri yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan rencana tata ruang sehingga dapat diintegrasikan.
Bapak Lilik Kurniawan, Direktur Pengurangan Risiko Bencana,“Isu-isu Strategis Pengarusutamaan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Rencana Tata Ruang”, Kedeputian Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BNPB, Keynote Speech dalam Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
54
174
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
6.3.3 Kapasitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Struktur BPBD yang ada saat ini dirasakan sudah cukup untuk penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah, hanya perlu dioptimalkan lagi dalam hal sumber daya manusia dan anggarannya. Dirasakan sumber daya manusia yang ada saat ini masih sangat kurang kapabilitasnya dalam penanggulangan bencana, khususnya untuk aspek pencegahan dan mitigasi bencana (perencanaan), karena saat ini fokusnya masih lebih pada hal-hal yang operasional (kesiapsiagaan dan tanggap darurat)55. Hal tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi, yaitu bagaimana agar Pemerinah Daerah mau memprioritaskan pembentukan BPBD, dan bila sudah terbentuk, mau memprioritaskan penguatan BPBD, baik dari segi penguatan sumber daya manusia maupun anggaran. Dalam pembentukan dan penguatan BPBD ini, sebaiknya pemerintah daerah juga mempertimbangkan karakteristik fisik daerahnya, misalnya provinsi kepulauan seperti NTT atau kota kepulauan seperti Ternate. Sebagai wilayah kepulauan, maka sarana dan prasarana evakuasi menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. 6.3.4 Penguatan BKPRD terkait Kebencanaan Sehubungan dengan belum masuknya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam salah satu tugas BKPRD dan tidak masuknya kelembagaan bencana, BPBD, sebagai anggota BKPRD, maka tantangannya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas BKPRD terhadap kebencanaan, terutama dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam penataan ruang? Ada beberapa alternatif yang dapat diambil: (1) Memasukkan kelembagaan bencana, dalam hal ini BPBD, sebagai salah satu anggota BKPRD; atau (2) Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; atau (3) Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana.
55
Diskusi Terarah Materi Teknis-SCDRR-II, Bappenas, 10 Juni 2014.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
175
Dalam Lokakarya Materi Teknis SCDRR II – Bappenas yang diselenggarakan pada tanggal 30 Juni 2014 (lihat prosiding pada Lampiran C), isu kelembagaan ini telah dibahas. Dari pembahasan tersebut, dihasilkan beberapa butir penting berikut ini: 1. Terkait dengan pengintegrasian pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, diperlukan pelibatan BPBD dan BKPRD. Dalam konteks tersebut maka penting agar BPBD menjadi anggota BKPRD. Penguatan BKPRD dan BPBD dalam penanganan aspek kebencanaan menjadi hal yang penting pula. 2. Penguatan BKPRD dalam aspek kebencanaan, antara lain dengan cara (dapat dilakukan ketiganya): (i) eselon 2 masuk sebagai anggota BKPRD; eselon 3 masuk dalam pokja BKPRD; dan masuk dalam tim teknis BKPRD. 3. Bila BPBD direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRD, dan BNPB direkomendasikan untuk masuk sebagai anggota BKPRN, maka perlu dipikirkan bagaimana mekanismenya karena ada peraturan yang perlu diubah. Misalnya, Keppres tentang BKPRN perlu direvisi. Sebelumnya tentu harus ada kesepakatan terlebih dahulu mengenai keanggotaan tersebut. Hal ini penting karena salah satu tujuanpenyelenggaraan penataan ruang adalah mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman (UU No. 26 tahun 2007 pasal 3), di mana kebencanaan adalah salah satu isu strategis. 4. Mendagri bersama para Menteri anggota BKPRN berkewajiban untuk melakukan fungsi dan pembinaan BKPRD dalam penyelenggaran penataan ruang terkait upaya pengurangan risiko bencana. 6.4 Rencana Tindak Lanjut Sesuai dengan pembahasan di atas, dalam upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, khususnya RTRW Provinsi dan RTR KSN, maka tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah: A. BKPRN BKPRN melaksanakan rapat eselon II BKPRN untuk menyepakati pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang, yang meliputi: 1. Menyepakati dan membangun komitmen akan perlunya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang segera dilakukan. Bila hal ini disepakati, maka implikasinya adalah: a. Rencana tata ruang yang belum disusun, dalam penyusunannya nanti langsung mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana; b. Rencana tata ruang yang masih dalam proses penyusunan (s/d persetujuan substansi), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ini;
176
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
c. Rencana tata ruang yang sudah dalam proses Raperda dan sudah Perda atau sudah Raperpres dan sudah Perpres, segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana pada saat dilakukan peninjauan kembali yang pertama. d. Daerah-daerah yang memiliki kelas risiko sangat tinggi (perlu dirumuskan kriterianya), segera mengintegrasikan perspektif pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruangnya. Dalam IRBI 2013, sepuluh kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko bencana multi ancaman tertinggi dapat dilihat pada Tabel 6.4. Tabel 6.4 Indeks Risiko Bencana Multi Ancaman 10 Kabupaten/Kota Tertinggi Tahun 2013 No 1
Kabupaten/Kota Cianjur
Provinsi Jawa Barat
Skor 250
Kelas Risiko Tinggi
2
Garut
Jawa Barat
238
Tinggi
3
Sukabumi
Jawa Barat
231
Tinggi
4 5
Lumajang Tasikmalaya
Jawa Timur Jawa Barat
231 225
Tinggi Tinggi
6
Halmahera Selatan
Maluku Utara
224
Tinggi
7
Maluku Barat Daya
Maluku
223
Tinggi
8
Majene
Sulawesi Barat
221
Tinggi
9 10
Malang Jember
Jawa Timur Jawa Timur
219 219
Tinggi Tinggi
Status RTRW Perda 2012, PK RTRW 2017 Perda 2011 PK RTRW 2016 Perda 2012 PK RTRW 2017 PK RTRW 2014 Perda 2012 PK RTRW 2017 Perda 2012 PK RTRW 2017 Perda 2013 PK RTRW 2018 Perda 2012 PK RTRW 2017 PK RTRW 2015 Belum Perda
Sumber: IRBI 2013 dan Roadmap (draft), Bappenas
Sehubungan dengan langkah-langkah pengintegrasian tersebut di atas, hal-hal berikut ini perlu dibahas dan diputuskan oleh BKPRN: i. Apakah peninjauan kembali RTR dapat dilakukan segera tanpa menunggu 5 tahun agar pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang dapat segera dilakukan, khususnya untuk daerah-daerah dengan kelas risiko tinggi? ii. Untuk RTRW yang sudah Perda, apakah kajian risiko bencana dapat dimasukkan ke dalam addendum sehingga tidak perlu melalui proses dengan DPRD? 2. Menyepakati bahwa pengurangan risiko bencana menjadi salah satu muatan yang dikaji pada saat proses persetujuan substansi di BKPRN. Pengurangan risiko bencana ini mencakup: (a) kajian risiko bencana pada tahap analisis, dan (b) muatan pengurangan risiko bencana dalam kebijakan, rencana, dan indikasi program utama.
MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA —
177
3. Menyepakati bahwa a. K/L atau SKPD dapat melakukan pengkajian risiko bencana secara mandiri berkoordinasi dengan BNPB/BPBD dan mengacu pada Perka BNPB No. 02 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana, apabila Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) belum ada pada saat penyusunan atau peninjauan kembali rencana tata ruang. b. BNPB dilibatkan dalam proses persetujuan substansi untuk menjamin kualitas kajian risiko bencana yang dilakukan telah memenuhi standar. 4. Menyepakati bahwa: a. Perlu membuat pemrioritasan dalam pembuatan peta dasar berdasarkan kelas risiko suatu daerah/kawasan. Kabupaten/kota/kawasan yang memiliki kelas risiko tinggi diprioritaskan pembuatannya. Semakin tinggi risikonya semakin diprioritaskan pembuatan peta dasarnya. b. Pentahapan pembuatan peta dasar sebagai berikut: i. Tahap pertama adalah menyelesaikan pembuatan peta skala 1:25.000 untuk seluruh Indonesia, dan peta skala 1:10.000 untuk kawasankawasan dalam kabupaten/kota yang memiliki kelas risiko tinggi; ii. Tahap kedua adalah membuat peta skala 1:5.000, 1:2.000, 1:1.000 untuk kawasan-kawasan dengan kelas risiko tinggi. iii. BKPRN perlu membahas tantangan penyediaan peta kerawanan dan peta bahaya yang harus disiapkan oleh K/L dan Daerah. Karena tanpa peta-peta tersebut, peta risiko tidak dapat dibuat. 5. Menyepakati bahwa: a. Dibutuhkan satu pedoman yang dapat menjadi acuan bagi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. b. Dasar hukum pedoman tersebut adalah (i) Surat Edaran Bersama 3 Menteri (Kemen PU, Kemendagri, dan BNPB); yang kemudian ditingkatkan menjadi (ii) Peraturan Menteri PU. c. Pedoman tersebut disusun dengan mengintegrasikan berbagai upaya yang telah dilakukan saat ini terkait dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana tata ruang. d. Pedoman tersebut menjadi acuan dalam penyusunan RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW Kota dan RTR Kawasan Strategis Nasional. 6. Menyepakati bahwa penguatan BKPRD terhadap kebencanaan dilakukan dengan cara: a. Memasukkan BPBD sebagai salah satu anggota BKPRD;
178
— MATERI TEKNIS REVISI PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG BERDASARKAN PERSPEKTIF PENGURANGAN RISIKO BENCANA
b. Memasukkan BPBD ke dalam Kelompok Kerja Perencanaan Tata Ruang pada saat penyusunan rencana tata ruang, dan ke dalam Kelompok Kerja Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang pada saat rencana tata ruang sudah selesai disusun dan masuk pada tahap implementasi; c. Memasukkan BPBD dalam Tim Teknis tentang penanggulangan bencana. Demikian juga di tingkat pusat, perlu dilakukan penguatan BKPRN dengan melibatkan BNPB.
B. Rekomendasi untuk BNPB 1. Berkoordinasi dengan BKPRN dalam menetapkan daerah-daerah yang perlu diprioritaskan pembuatan peta dasar dan peta tematiknya berdasarkan kelas risiko suatu daerah; 2. Mendorong agar Pemerintah Daerah memrioritaskan pembentukan dan penguatan BPBD (sumber daya manusia maupun anggaran); 3. Mendorong percepatan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana di kabupaten/kota; dan 4. Merumuskan kelas risiko yang lebih rinci (tidak hanya tinggi, sedang, rendah).